Anda di halaman 1dari 16

Studi Pencitraan terhadap Komplikasi Akut pada Pasien

Kanker: Apa yang harus dievaluasi pada situasi gawat darurat?

Saat ini kanker telah menjadi penyebab utama pada kasus kematian di
seluruh dunia. Tingginya insidensi kanker berakibat pada peningkatan layanan
medis yang berkaitan dengan berbagai komplikasi yang diakibatkan oleh kanker
itu sendiri. Komplikasi komplikasi tersebut dapat muncul berupa penyakit yang
mengancam jiwa atau pun dapat pula berupa penyakit non asimptomatik,
keduanya membutuhkan waktu berminggu minggu hingga bulanan untuk
menegakkan diagnosis serta penanganannya. Meskipun begitu, seringkali
komplikasi kanker menjadi manifestasi awal dari penyakit kanker itu sendiri.
Berbagai komplikasi akibat kanker dapat dibagi menjadi komplikasi
langsung dan tidak langsung. Dinyatakan sebagai komplikasi langsung jika
adanya tanda tanda invasi atau pun desakan langsung dari struktur kanker ke
jaringan sekitarnya. Sedangkan komplikasi tidak langsung muncul sebagai
manifestasi sistemik berupa hiperkoagulasi, imunosupresi dan sindroma
paraneoplastik. Komplikasi akibat pembedahan dan yang berkaitan dengan
kemoterapi juga digolongkan ke dalam komplikasi tidak langsung dari suatu
kanker. Tabel 1 menguraikan berbagai komplikasi yang sering dialami oleh
pasien kanker.
Pemeriksaan radiologi memainkan peran penting pada tahap evaluasi
kanker dan komplikasinya. Pemeriksaan USG dan radiografi umumnya dilakukan
pada kasus kasus kanker karena harganya yang terjangkau, paparan radiasi yang
minim serta memiliki nilai diagnostik yang memadai. Meskipun begitu,
terkadang pemeriksaan MRI dan CT Scan juga perlu dilakukan pada beberapa
kondisi.
Pada artikel ini kami membahas tentang pentingnya pemeriksaan
penunjang radiologi dalam evaluasi komplikasi akut yang ditimbulkan oleh
kanker.
Pembahasan
Spinal Cord Compression Syndrome
Spinal Cord Compression Syndrome (SCCS) dialami pada sebanyak 2,5-6%
kelompok pasien penderita kanker. Deteksi dini terhadap SCCS sangatlah
penting untuk mencegah terjadinya defisit neurologis seperti paralisis dan
gangguan pengendalian usus/kandung kemih yang nantinya dapat menjadi
permanen apabila telat dalam penanganan selama beberapa jam saja. Prognosis
terbilang memburuk apabila telah terjadi paralisis atau respon terapi yang tidak
baik.
Komplikasi kanker akut non infeksius yang sering dialami

Sebanyak 80% dari kasus SCCS berawal dari kanker sebelumnya. Gejala
yang paling awal dan sering muncul adalah nyeri pinggang (90%) kemudian
disertai dengan gejala neurologis lainnya pada beberapa minggu kemudian.
Gejala lainnya berupa nyeri radicular, gangguan sensorik-motorik, gangguan saat
berjalan, disfungsi usus dan kandung kemih. Factor utama penentu prognosis
penderita adalah status neurologis pasien pada saat diagnosis awal; karena jika
deficit neurologis tidak respon terhadap terapi maka harus dicurigai kearah
kanker dengan komplikasi nyeri pada area dorsal.
Vertebrae thoracis pars columna merupakan jaringan yang paling rentan
mengalami kompresi (70% kasus). Sebagian besar kompresi tersebut berasal
dari extradural yang merupakan suatu metastase lesi vertebrae menyebabkan
terjadinya erosi kortikal dan mengalami desakan hingga ke kanalis spinalis.
Kanker payudara, paru, dan prostat merupakan kasus kanker yang paling
berkaitan dengan kondisi metastase tersebut dengan frekuensi mencapai 2/3
dari seluruh kasus yang ada. Terdapat juga beberapa jenis kanker lainnya yang
berakibat metastase serupa namun terbilang jarang seperti limfoma, sarcoma,
dan kanker paru dimana invasi dapat mencapai foramen intervertebrae dan
mendesak hingga chordae spinalis. Manifestasi tersebut pada pasien kanker
dapat juga disebabkan oleh factor non neoplastic seperti fraktur dan abses
spinal.

MRI merupakan gold standard dalam menegakkan diagnosis kompresi


chordae. Modalitas ini memungkinkan bagi klinisi untuk menilai sejauh mana
kompresi yang telah dialami dan menunjang klinisi untuk menentukan rencana
terapi seperti radioterapi. Penggunaan kontras intravena paramagnetic dapat
meningkatkan sensitivitas metode ini dalam menegakkan diagnosis meliputi
identifikasi metastase pada jaringan leptomeningeal atau intramedullary.

Tumor maligna paravertebrae umumnya ditunjukkan dengan hipointense


pada MRI 1T-weighted images, hiperintens pada MRI T2-weighted images, dan
contrast enhancement. Beberapa pasien dengan tumor yang mendesak hingga ke
kanalis spinalis cenderung mengalami dislokasi spinal cord. Hal tersebut tampak
sebagai hiperintense pada MRI T2-weighted images dimana gambaran ini
dicurigai mengarah ke edema (gambar 1).

Ketika fasilitas MRI tidak tersedia ataupun pasien mengalami


kontraindikasi pemeriksaan MRI maka CT scan dengan myelografi dapat menjadi
pilihan. Jika CT dengan myelografi tidak tersedia pula, maka dapat dilakukan CT
scan dengan kontras. Scintigrafi tulang dan foto polos bisa saja memperlihatkan
perubahan susunan tulang namun tidak dapat menunjukkan gambaran cordae
spinalis.
Hipertensi intracranial

Peningkatan tekanan intracranial (TIK) seringkali menyebabkan


terjadinya komplikasi neurologis yang serius pada penderita kanker. Hal ini
diakibatkan oleh metastase pada jaringan intraparenkimal. Kanker yang paling
sering bermetastase ke otak diantaranya adalah tumor maligna, kanker paru,
kanker payudara, dan melanoma. Penyebab lainnya peningkatan TIK dapat
berawal dari pendarahan intratumor dan hidrosefalus. Pasien pasien dengan
metastase serebral akibat melanoma, koriokarsinoma, dan renal cell carcinoma
beresiko tinggi untuk mengalami pendarahan. Hidrosefalus paling sering dialami
adalah hidrosefalus jenis non-comunicans yang disebabkan oleh adanya lesi
pada bagian foramen Monro, aqueductus Sylvii atau pada ventrikel IV. Di
samping itu, hidrosefalus communicans dapat pula dialami pada pasien dengan
karsinomatosis leptomeningeal diffusa menyebabkan terjadinya reabsoprsi
cairan serebrospinal (CSS).

Peningkatan TIK dapat ditandai dengan beberapa gejala umum seperti


nyeri kepala, mual, muntah, dan penurunan kesadaran. Nyeri kepala muncul
pada separuh jumlah pasien dengan tumor serebral (baik sekunder maupun
primer) terutama pada mereka dengan progresifitas tinggi. Muntah proyektil
tanpa diawali mual sering dialami oleh pasien dengan tumor pada fossa
posterior. Gejala lainnya adalah disfungsi neurologis, deficit daya kognitif, dan
kejang. Peningkatan TIK dan ukuran massa dapat menyebabkan terjadinya
iskemik cerebrovaskuler dan herniasi otak.

Meskipun MRI merupakan modalitas yang paling unggul, namun CT scan


tetap masih dilakukan pada kasus urgensi seperti peningkatan TIK. Pada CT
scan, dapat dinilai keadaan massa (gambaran 2), pendarahan akut, hidrosefalus,
dan herniasi. MRI jauh lebih sensitive dalam menilai metastase dan dapat
menjadi alternative apabila CT scan tidak menunjukkan adanya abnormalitas
pada jaringan.
Superior Vena Cava Syndrome

Superior Vena Cava Syndrome (SVCS) merupakan hasil dari obstruksi


parsial atau total pada Vena Cava Superior menyebabkan terjadinya penurunan
venous return ke kepala, leher, dan extremitas atas. Meskipun telah digolongkan
ke dalam kegawatdaruratan onkologi, penyakit ini jarang mengancam jiwa.

Gejala yang ditimbulkan dapat berupa batuk, dyspnea, disfagia, edema


mukosa leher, wajah, dan extremitas atas. Sirkulasi vena kolateral dapat
menyebabkan terjadinya distensi pada permukaan vena di dinding cavitas
thoracis.

Sebanyak lebih dari 50% pasien dengan SVCS baru merasakan gejala
setelah ditegakkan diagnosis kanker. Prognosis bergantung pada penyakit yang
mendasari dan penyerta. Sebanyak 90% kasus SVCS berawal dari tumor maligna
seperti kanker paru, limfoma, dan metastase tumor mediastinum. Thrombosis
vena post kateterisasi biasanya tidak berkaitan dengan kondisi tersebut.

Meskipun SVCS dapat didiagnosis dari gejala klinis, CT scan perlu


dilakukan sebagai konfirmasi dengan menilai penyempitan lumen vena cava
akibat desakan tumor (gambar 3) atau trombosis. CT scan dapat menunjukkan
lokasi obstruksi dan memungkinkan klinisi untuk membedakan apakah
penyempitan diakibatkan oleh desakan tumor ekstrinsik atau akibat thrombosis
intravaskuler. Di samping itu, CT scan juga menyajikan informasi penting
mengenai tumor berupa ukuran dan kaitannya dengan struktur mediastinum.

CT harus dilakukan dengan kontras untuk mendapatkan hasil optimal


gambaran vena brachiocephalica dan menghindari gambaran artefak yang
berasal dari kontras arterial. Jika kontras iodin tidak dapat dilakukan maka
dapat beralih ke modalitas MRI. Potongan melintang sangat mendukung klinisi
dalam menyusun rencana terapi terutama pada pasien dengan indikasi operasi.

Efusi Perikard dengan Cardiac Tamponade

Efusi perikard maligna dialami oleh sebanyak 10-15% pasien penderita


kanker dikarenakan adanya obstruksi pada drainase limfatik, metastasis
hematogen dan penjalaran langsung jaringan kanker. Efusi perikard seringkali
telat diketahui pada pasien dengan kanker metastase. Penyebab paling sering
adalah kanker paru dan kanker payudara diikuti dengan melanoma, leukemia,
dan limfoma. Penebalan perikard benigna dan efusi muncul sebagai efek
samping dari radioterapi dan kemoterapi atau dapat pula akibat infeksi pada
pasien pasien dengan imunokompromais. Sebanyak 2/3 pasien dengan kondisi
tersebut tidak mengalami gejala apapun. Gejala yang sering dialami diantaranya,
dyspnea, ortopnea, fatigue, palpitasi, dan pusing.

Cardiac Tamponade (CT) terjadi akibat sejumlah cairan terakumulasi di


pericardial sac menyebabkan restriksi pada ekspansi diatolik dan instabilitas
hemodinamik. Hal ini lebih rentan terjadi apabila akumulasi cairan berlangsung
dalam waktu yang singkat. Tanda dari penyakit ini dapat ditemui pada
pemeriksaan fisik yaitu pulsus paradoksus, takikardia, hipotensi, distensi vena
servikal, pulsasi perifer yang lemah, dan suara jantung menjauh.

Echocardiography (ECG) merupakan modalitas utama yang digunakan


untuk menunjang diagnosis efusi perikard, mengevaluasi pengaruh nya terhadap
hemodinamik, dan guiding pericardiosintesis. Pemeriksaan sitology harus
dilakukan untuk konfirmasi atau menyingkirkan adanya sel kanker.

Pada beberapa kasus, radiografi dan CT scan thorax dilakukan untuk


mencari tanda tanda efusi perikard. Fototoraks mungkin dapat menunjukkan
diameter transversal pada area jantung. CT scan dapat menunjukkan penebalan
pericardium pada sebagian besar kasus, namun densitas yang lebih tinggi dapat
diakibatkan oleh adanya debris atau pendarahan. Bukti adanya penebalan
irregular atau nodul tumor di perikard terbilang jarang. Dari pemeriksaan CT
scan, klinisi dapat menilai langsung insufisiensi kardiak seperti kongesti hepatic
dengan gambaran bercak hiperintense di liver dan adanya reflux cairan kontras
ke vena cava inferior dan vena vena hepatica.

Efusi Pleura

Efusi pleura benigna dan manigna keduanya sama sama sering dialami
oleh penderita kanker. Hal ini dapat memicu terjadinya kompresi ke jaringan
parenkim paru sekitar hingga akhirnya pasien mengalami gangguan pernapasan.
Biasanya efusi pleura bersifat asimptomatik namun ketika gejala muncul pasien
akan merasakan dyspnea, batuk, nyeri dada, penurunan berat badan, anoreksia,
dan atau fatigue.

Efusi pleura benigna berawal dari gangguan system limfatik, proses


inflamasi, dan penurunan tekanan onkotik. Efusi pleura maligna disebabkan oleh
gangguan pleura akibat penyakit yang mendasari. Penyakit kegananasan yang
paling sering menyerang jaringan pleura adalah kanker paru, payudara, ovarium,
dan limfoma. Sedangkan tumor pleura primer seperti mesothelioma malah
terbilang jarang mneyebabkan terjadinya efusi.

Klinisi dapat melakukan pemeriksaan USG atau radiografi jika curiga


terjadinya efusi pleura serta dapat digunakan sebagai guiding pada saat tindakan
torakosintesis. CT scan sangatlah penting dalam evaluasi jaringan parenkim paru
untuk menyingkirkan berbagai penyebab dyspnea dan menilai tanda-tanda
adanya keganasan. Meskipun sebagian besar kasus efusi pleura pada
pemeriksaan CT scan terlihat biasa dengan gambaran atenuasi cairan tanpa
disertai adanya penebalan pleura namun jika ditemui adanya penebalan pleura
nodular maka dapat dicurigai ke arah keganasan (gambar 5). CT scan sangat
berguna dalam mengidentifikasi area yang dicurigai mengalami penebalan
pleura untuk kebutuhan tindakan needle biopsy perkutaneus.

Tromboemboli Pulmonal (TEP)

DVT dan TEP merupakan komplikasi yang paling sering dialami pasien
kanker akibat efek hiperkoagulasi yang ditimbulkan, efek tumor local, dan efek
samping pengobatan. Tumor ganas paling sering berkaitan dengan kejadian TEP
adalah kanker paru, kolon, dan prostat. Insidensi tromboemboli vena lebih tinggi
pada pasien yang mendapatkan kemoterapi dengan angka mencapai 10% pada
pasien kanker ovarium atau limfoma dan 28% pada pasien dengan glioma
maligna. Prognosis penderit akanker yang disertai TEP juga cenderung lebih
buruk dengan angka mortalitas mencapai 4-8 kali lipar daripada kelompok
pasien TEP tanpa disertai kanker.
Telah diketahui bahwa pemeriksaan penunjang yang dilakukan bukan
karena indikasi kanker pada sebanyak 4% penderita kanker dan secara
kebetulan ditemukan adanya kelainan pada arteri pulmonal. Temuan ini harus
segera dilaporkan dan disarankan untuk segera memulai terapi dikarenakan
telah muncul DVT dan kemungkinan akan muncul kejadian tromboemboli
lainnya.

Pada umumnya, TEP cenderung asimptomatik atau berkaitan dengan


gejala non spesifik. Dyspnea onset akut merupakan gejala paling spesifik dari
penyakit TEP dan bisa disertai dengan nyeri pleuritik. TEP massif dapat
menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal dan insufisiensi kardiak. Terdapat
beberapa hal yang mempengaruhi timbulnya TEP diantaranya adalah riwayat
kemoterapi, riwayat operasi, immobilisasi jangka panjang, dan DVT.

Diagnosis banding TEP meliputi pulmonary tumor thrombotic


microangiopathy (PTTM), suatu jenis penyakit yang sangat jarang namun dapat
menimbulkan komplikasi serius pada penderita kanker dikarenakan adanya
mikroemboli; hal tersebut berkaitan dengan adenokarsinoma terutama yang
berasal dari gaster. Penderita PTTM cenderung lebih rentan mengalami gejala
dan tanda hipertensi pulmonal dan gagal jantung secara progresif sehingga
memungkinkan pasien untuk mengalami kematian dalam beberapa hari saja.
Penegakan diagnosis penyakit ini cenderung sulit dan biasanya baru dapat
ditegakkan pada tahap post mortem.

CT angiografi merupakan metode pilihan untuk mendiagnosis dan


mengevaluasi tingkat keparahan TEP. CT harus dilakukan menggunakan
protokol angiografi spesifik untuk mencapai kontras yang adekuat pada arteri
pulmonal melalui akses vena yang sesuai. Rekonstruksi multiplanar dapat
berguna dalam mengidentifikasi thrombus.

Dinyatakan sebagai TEP akut apabila terdapat sebanyak satu atau lebih
filling defect di percabangan arteri pulmonal (Gambar 6). Beberapa kasus
termasuk tanda-tanda infark paru, ditandai dengan adanya gambaran opasitas
wedge-shaped parenkim paru perifer disertai dengan basis dan apeks pleura
yang berorientasi ke arah arteri pulmonalis yang mengalami sumbatan. CT juga
dapat digunakan untuk mendiagnosis kondisi alternatif lainnya seperti
pneumonia atau penyakit parenkim paru lainnya, atau penyakit perikardial,
pleura, atau mediastinum yang dapat berperan dalam menimbulkan gejala
dyspnea atau nyeri toraks.

Pada pasien yang tidak dapat menjalani pemeriksaan CT angiografi,


metode pemeriksaan penunjang yang menjadi pilihan adalah skintigrafi
ventilasi/perfusi-paru. Namun, modalitas ini mungkin tidak tersedia pada
keadaan yang mendesak atau darurat di beberapa institusi. Alternatif lain adalah
MRI thorax, yang dpat mengidentifikasi trombus besar tanpa menggunakan
parameter paramagnetik (Gambar 6). Rontgen toraks mungkin hanya
memberikan gambaran yang normal atau temuan nonspesifik, seperti kekeruhan
fokal dan efusi pleura minimal. Tanda-tanda x-ray yang tidak spesifik telah
ditunjukkan pada pasien dengan TEP, termasuk diantaranya Hampton's Hump
(opasitas segitiga perifer dengan basis pleura), Fleischner's sign (pembesaran
arteri pulmonalis di sisi bagian lokasi TEP), dan Westermark's sign (oligemia
pulmonal distal dari lokasi TEP).

PTTM tidak menunjukkan tanda tanda spesifik dari hipertensi pulmonal


pada gambaran CT scan thorax. Karena adanya perubahan pada pembuluh-
pembuluh darah kecil, bebrapa temuan spesifik dari bronkiolitis tampak jelas
seperti opasitas sentrilobular diffusa dan gambaran tree-in-bud.

Obstruksi Intestinal

Obstruksi intestinal relatif umum dialami pada penderita kanker dan


dapat disebabkan oleh etiologi non maligna atau berkaitan langsung dengan
tumor (maligna). Penyebab non maligna termasuk diantaranya adhesi pasca
operasi, sequiele aktinik, dan perubahan inflamasi dan infeksi. Malignansi
menyebabkan terjadinya obstruksi karena desakan tumor primer, kekambuhan,
dan metastasis. Manifestasi klinis obstruksi maligna maupun benigna terbilang
sangat identic dan temuan dari pemeriksaan radiologi cenderung sulit untuk
ditentukan. Meskipun begitu, diagnosis banding memiliki implikasi terhadap
prognosis dan terapi.
Obstruksi intestinal akibat keganasan cenderung lebih jarang terjadi
dibandiingkan dengan obstruksi intestinal akibat faktor non maligna seperti
adhesi dan perubahan inflamasi. Obstruksi maligna pada usus kecil lebih sering
disebabkan oleh tumor metastatik dibandingkan dengan tumor primer dari usus
halus, yang dialami pada sebanyak <2% dari semua kasus neoplasia
gastrointestinal. Obstruksi usus besar maligna umumnya disebabkan oleh
karsinoma kolorektal primer.

Lesi intestinal fokal juga dapat menyebabkan terjadinya kasus


intususepsi. Kondisi ini umumnya jarang terjadi pada orang dewasa, kasus ini
hanya 5% dari seluruh kasus obstruksi intestinal. Selain benda asing, neoplasias
primer dari usus halus dan usus besar dan lesi metastasis (misalnya, melanoma)
juga dapat menyebabkan terjadinya intususepsi. Ketika mulai dicurigai adanya
neoplasia, perawatan harus segera dilakukan untuk membedakan massa tumor
nyata dengan pseudomassa yang disebabkan oleh intususepsi.

Pemeriksaan radiografi dapat menunjukkan gambaran obstruksi


intestinal dengan tampaknya distensi udara pada usus halus dan gambaran air
fluid level pada lengkungan usus. CT scan biasanya dilakukan untuk
mengevaluasi lokasi dan penyebab yang paling mungkin menyebabkan obstruksi
serta untuk menentukan rencana terapi. Temuan obstruksi intestinal maligna
pada CT scan menunjukkan adanya penebalan irregular pada struktur parietal
atau massa dengan densitas jaringan lunak pada titik transisi. Jika tidak ditemui
adanya massa maka dapat disimpulkan obstruksi terjadi akibat adhesi.

Pada CT scan, gambaran patognomonik intususepsi berupa target sign


atau gambaran loop within loop dengan atau tanpa adanya invaginasi lemak dan
pemebuluh mesenterika (gambar 7).

Perubahan Inflamasi pada Intestinal

Perubahan inflamasi akut pada usus halus sering dialami pada pasien
kanker, dan berbagai etiologi mungkin terlibat dalam proses ini. Kolitis
Neutropenik atau typhlitis adalah keadaan darurat yang menunjukkan
peradangan transmural pada sekum, kolon proksimal, dan terminal ileum. Ini
dapat berkembang pada anak-anak dan orang dewasa yang
immunokompromais, misalnya mereka yang menjalani perawatan untuk
leukemia, menjalani kemoterapi, atau yang telah menjalani transplantasi
sumsum tulang. Deteksi dini perlu dilakukan karena jika dibiarkan dapat
menyebabkan terjadinya nekrosis intestinal. Angka morbiditas dan mortalitas
terbilang tinggi pada keadaan ini. Pasien biasanya mengalami demam,
neutropenia, dan nyeri perut.

Kolitis pseudomembran disebabkan oleh infeksi Clostridium difficile,


biasanya terjadi setelah pengobatan antibiotik, harus dipertimbangkan terutama
pada pasien kanker dengan gangguan imun pada keluhan abdomen. Penyakit ini
merupakan penyebab paling umum diare pada pasien rawat inap. Pasien
imunosupresif yang menjalani kemoterapi yang menggunakan antibiotik
spektrum luas berisiko mengalami komplikasi ini. Diare, nyeri perut, dan demam
biasanya bermanifestasi 1 minggu setelah inisiasi terapi antibiotik. Dalam
beberapa kasus, kondisi ini dapat berkembang menjadi kolitis difus dan
megacolon toksik.

Tumor ganas juga dapat dikaitkan dengan iskemia mesenterika dan


kolitis iskemik. Iskemia dapat menjadi oklusi vaskular sekunder yang
disebabkan oleh kompresi/invasi tumor atau proliferasi bakteri yang
berhubungan dengan distensi usus halus dan stasis kronis.

Usus halus dan usus besar sensitif terhadap terapi radiasi. Dengan
demikian, aktinik enteritis dan kolitis harus dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding ketika tanda-tanda proses inflamasi muncul pada lokasi yang
sebelumnya terpapar radiasi. USG hanya berguna dalam beberapa kasus dan CT
scan umumnya merupakan metode terbaik dalam evaluasi mengenai keluhan
pada usus yang disampaikan oleh pasien. CT scan juga berguna untuk
menyingkirkan penyebab lain nyeri perut yakni obstruksi dan perubahan
inflamasi yang tidak berkaitan dengan kanker seperti appendicitis, diverticulitis,
dan inflammatory bowel disease.

CT scan dapat menunjukkan temuan inflamasi nonspesifik, termasuk


penebalan usus halus dan atau kolon, dengan atau tanpa penipisan dan striasi
jaringan adiposa perikolik. Identifikasi pneumatosis, pneumoperitoneum, dan
pericolic sering menunjukkan ke arah pembentukan jaringan nekrotik atau
perforasi jaringan yang membutuhkan evaluasi pembedahan segera. Adanya
temuan tersebut pada sekum, bagian proksimal dari kolon asendens, dan atau
ileum distal pada pasien immunokompromais menunjukkan tegaknya diagnosis
typhlitis (Gambar 8). Kolitis pseudomembran ditandai dengan adanya penebalan
dinding diffusa umumnya sepanjang seluruh usus besar, dinyatakan sebagai
"accordion sign".

Obstruksi Bilier

Obstruksi bilier dapat menjadi masalah sekunder akibat stasis bilier pada
pasien dengan infiltrasi metastatik diffusa dari hepar, hal ini menyebabkan
obstruksi duktus empedu intrahepatik kecil, atau dapat terjadi karena kompresi
saluran empedu utama pada pasien akibat metastasis atau limfoma atau
penyakit di intraduktus, misalnya, kompresi dari cholangiocarcinoma.

Tumor maligna caput pankreas dan ampula Vateri adalah penyebab


utama obstruksi duktus empedu. Diagnosis diferensial benigna termasuk
diantaranya pseudocyst dari pankreatitis.

Obstruksi saluran empedu bermanifestasi berupa ikterus, urin berwarna


gelap seperti teh dan feses berwarna pucat seperti dempul. Pada pasien dengan
nyeri abdomen dan atau demam, harus dipertimbangkan kemungkinan
terjadinya kolangitis yang juga berhubungan dengan obstruksi bilier.

Metode pencitraan harus dapat menentukan tingkat keparahan, penyebab


dan ada atau tidak adanya obstruksi saluran empedu. Ultrasound umumnya
merupakan metode awal yang digunakan dan memiliki akurasi diagnostik yang
baik dalam mendeteksi pelebaran duktus empedu intra dan ekstrahepatik.
Sebuah tinjauan pustaka menunjukkan bahwa USG memiliki sensitivitas 71%
dalam menggambarkan tingkat obstruksi dan 51% dalam menentukan etiologi.
Gas lemak dan gastrointestinal dapat membatasi penilaian saat evaluasi.

Metode lain untuk mengevaluasi saluran empedu termasuk diantaranya


adalah endoskopi retrograde kolangopankreatografi (ERCP), yang juga
memungkinkan untuk dilakukan biopsi. Namun, metode ini bersifat invasif, lebih
kompleks dan biasanya lebih jarang tersedia di instansi kesehatan dibandingkan
dengan CT scan atau MRI. Umumnya, tes yang paling sering dilakukan karena
kemudahan dan ketersediaannya adalah CT scan. MR juga dapat
memvisualisasikan struktur visceral, dan salah satunya seperti sekuens MR T2-
weighted dapat digunakan untuk memvisualisasikan duktus (MRCP)

Pada kasus infiltrasi metastatik diffusa hepatik, CT scan atau MRI


keduanya menunjukkan lesi hepar multipel yang umumnya infiltratif atau
konfluen bergantung pada tumor primer, disertai dengan dilatasi fokal duktus
empedu intrahepatik kecil yang berdekatan dengan pembuluh dari triad hepatic.

Pada kasus kompresi duktus biliaris, dilatasi diffusa dari saluran empedu
intra dan ekstrahepatik muncul pada bagian proksimal lokasi obstruksi (Gambar
9). Tumor semacam itu umumnya bertempat pada sistem porta hepatica,
pankreas atau di ampula. Pada kasus tumor pankreas atau ampula, sering
muncul gambaran “double duct sign”deisertai dilatasi sistem bilier dan saluran
pankreas. Namun, saluran pankreas utama tidak menyingkirkan diagnosis.
Gambaran cholangiocarcinoma dapat bervariasi mulai dari lesi polypoid
intraluminal pada saluran empedu, penebalan dinding hingga massa infiltratif
yang umumnya tidak berbatas tegas.

Obstruksi Saluran Kencing

Obstruksi saluran kencing dapat terjadi pada pasien dengan tumor


retroperitoneal atau pelvis; obstruksi saluran kencing merupakan manifestasi
klinis yang sering muncul pada kanker ginekologi seperti tumor serviks,
ovarium, dan kandung kemih atau pada kanker urologi seperti tumor prostat.
Penyakit metastase dari kanker lambung terkadang memicu terjadinya
obstruksi. Sarkoma dan limfoma terbilang relatif jarang menyebabkan obstruksi
saluran kemih. Sumbatan urin unilateral biasanya tidak menyebabkan disfungsi
ginjal akut karena adanya kompensasi oleh sistem kontralateral ginjal. Obstruksi
kemih dapat muncul pada pasca operasi karena fibrosis ureter. Obstruksi
saluran kemih harus dicurigai pada pasien dengan keluhan nyeri pada bagian
pelvis dan anuria tiba-tiba sehingga meningkatkan kadar kreatinin serum.

Ultrasound merupakan cara paling praktis untuk mendeteksi dini


hidronefrosis. Namun, CT scan terbilang lebih unggul untuk menentukan lokasi
yang tepat dari obstruksi, terutama ketika ditemui adanya massa panggul atau
retroperitoneal. Obstruksi unilateral biasanya ditandai dengan ditemui adanya
lesi fokal di saluran kemih dengan densitas jaringan lunak dan pelebaran aliran
uretra (Gambar 10). Sedangkan pada kasus obstruksi bilateral, temuan
radiografi yang paling umum adalah adanya massa heterogen besar yang
melibatkan kedua ureter dan menyebabkan ureterohidronephrosis bilateral.
Kontras iodinasi intravena harus dilakukan dengan hati-hati karena pasien
sudah mengalami disfungsi ginjal pada derajat keparahan tertentu yang bahkan
dapat diperberat setelah terpapar kontras intravena. MR urografi merupakan
metode alternatif yang efektif; metode ini memungkinkan identifikasi lokasi dan
penyebab obstruksi pada sebagian besar kasus. T2-weighted sequencial
mungkin perlu dilakukan, tetapi single shot T2-fast spin echo (FSE) dan balanced
steady state free precession (SSFP) sequencial juga dapat berguna dalam hal
mengidentifikasi adanya hidronefrosis dan massa.

Komplikasi Pendarahan

Penderita kanker dapat mengalami komplikasi pendarahan akibat


trombositopenia, rupture tumor, dan pendarahan dari vaskulerisasi neoplasma.

Hemoptisis massif biasanya dinyatakan sebagai ekspektorasi sejumlah


besar cairan berupa darah dengan atau tanpa peningkatan proses pendarahan
yang singkat, dan ketika hal ini dialami pasien kanker maka angka mortalitas
dapat meningkat mencapai 60%. Karsinoma bronkogenik merupakan penyebab
utama hemoptysis massif pada pasien berusia lebih dari 40 tahun. Metastase
endobronkial yang berasal dari tumor karsinoid, tumor payudara, kolon atau
ginjal, melanoma dan sarcoma dapat bermanifestasi menjadi hemoptysis.
Hemoptysis pada pasien kanker juga dapat disebabkan oleh factor nonmaligna
diantaranyaa adalah infeksi jamur dan trombositopeni serta gangguan koagulasi.

Pada pasien yang mengalami hemoptisis masif akibat kanker,


pemeriksaan radiografi thorax dapat menunjukkan kelainan seperti tumor, lesi
kavitasi, dan infiltrat paru (Gambar 11), serta massa mediastinum. Pada pasien
yang stabil, CT scan multidetektor thorax dapat dilakukan sebelum bronkoskopi
untuk membantu mengidentifikasi lokasi, penyebab, dan sumber perdarahan
vaskular . Multidetector CT angiography memainkan peran penting dalam
menilai sumber dan jalannya arteri bronkus abnormal dan pembuluh kolateral
sistemik nonbronkial yang menyebabkan terjadinya hemoptisis, hal ini dapat
membantu ahli radiologi intervensional untuk melakukan kateter angiografi.

Pendarahan intraabdominal yang parah pada pasien kanker merupakan


komplikasi yang terbilang jarang namun jika terjadi maka dapat berpotensi fatal
sehingga memerlukan diagnosis dan pengobatan yang segera. Pendarahan akibat
malignansi dapat terjadi pada parenkim organ atau ruang subkapsular, akibat
ruptur tumor, dan di rongga peritoneum dari carcinomatosis atau akibat
perluasan ruptur tumor visceral. Tumor hipervaskular, seperti karsinoma
hepatoselular, karsinoma sel ginjal, dan melanoma, merupakan kanker yang
paling sering dikaitkan dengan kejadian hemoperitoneum spontan. Ukuran
massa yang besar, lokasi nya yang perifer atau subkapsular dan peningkatan
vaskularisasi merupakan faktor risiko utama kejadian perdarahan intratumoral
dan ruptur spontan selanjutnya. Selain itu, pasien dengan keganasan hematologi
dapat berakhir menjadi ruptur hati atau ruptur limpa secara spontan.

Gambaran pendarahan intratumoral tampak sebagai hyperechogenik


pada pemeriksaan USG atau hyperattenuasi pada unenhanced-CT scan (Gambar
12). Hematoma relatif tampak hyperdense dibandingkan unenhanced-parenkim
hati selama fase akut (biasanya pada kadar 45-70 HU), tetapi atenuasi secara
bertahap menurun seiring waktu dan mungkin dapat lebih rendah pada pasien
dengan penurunan kadar hematokrit serum. Pada MRI, fokus intensitas sinyal
tinggi T1 tampak pada perdarahan akut, meskipun begitu intensitas sinyal darah
juga bervariasi dan bergantung pada usia berlangsungnya perdarahan.

Pada unenhanced-CT scan, hemoperitoneum bermanifestasi sebagai


asites dengan atenuasi tinggi (biasanya pada kadar 30-45 HU). Hematoma
subkapsul merupakan akumulasi atenuasi tinggi elips yang terikat pada kapsul
organ tempat asalnya. Dengan demikian, pada gambar CT scan, hematoma
atenuasi tertinggi, atau bekuan sentinel paling dekat dengan lokasi perdarahan.
Fokus ekstravasasi aktif bahan kontras intravena memanjang ke dalam atau di
sekitar hematoma menunjukkan perdarahan yang sedang berlangsung.
Angiografi arteri visceral tidak hanya membantu mengidentifikasi sumber
perdarahan tetapi juga membantu dalam penentuan rencana pengobatan

Kesimpulan

Saat ini jumlah kasus onkologi terus meningkat terutama pasien dengan
komplikasi onkologi noninfektif yang asimptomatik. Pemeriksana penunjang
berupa pencitraan memainkan peran penting dalam mendiagnosis berbagai
kondisi akibat komplikasi nonasimptomatik tersebut. Pendekatan terapi berupa
peningkatan kualitas dan harapan hidup pasien.

Anda mungkin juga menyukai