Anda di halaman 1dari 8

SILABUSE:

4.1 Budaya Berdasarkan Kepatuhan dan Berdasarkan Nilai


4.2 Peran Pemimpin dalam Membangun Budaya Etis
4.3 Pemimpin yang Etis dan yang Efektif
4.4 Ringkasan
4.5 Evaluasi

A. Budaya Organisasi
Budaya organisasi adalah sekumpulan asumsi, keyakinan dan nilai yang
dikembangkan dalam tubuh organisasi tertentu untuk mengatasi berbagai perubahan
yang terjadi dalam lingkungan internal dan eksternal organisasi. Dari sudut panndang
antropologi, seperti yang dikemukakan oelh Edgan Schein, budaya suatu kelompok
mencakup keyakinan-keyakinan, nilai-nilai yang dianut, percakapan, dan tampak luar
(artifacts) dari orang-orang dalam kelompok tersebut yang mengatur tata kehidupan
mereka dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dua pakar manajemen, John Kotter dan James Hesket membagi budaya menjadi
dua lapisan, yaitu lapisan pertama yang disebut nilai-nilai (values) dan lapisan kedua
adalah norma-norma (norms). Pada lapisan yang pertama, nilai-nilai yang dianut
dandiyakini keberadaannya oleh kelompok akan dipertahankan untuk jangka panjang,
tidak jarang hingga pergantian generasi kepemimpinan pun nilai-nilai ini relatif tidak
banyak berubah dibandingkan generasi pendahulu. Karena nilai-nilai telah mengakar
jauh ke dalam budaya organisasi, sering para anggota organisasi pun tidak menyadari
bahwa mereka hidup di dalam organisasi itu dengan nilai-nilai yang terwariskan. Pihak di
luar organisasi sulit untuk memahami nilai-nilai dalam tindakan-tindakan anggota
organisasi. Nilai-nilai cenderung stabil,meskipun lingkungan bisnis berubah, nilai-nilai
yang dianut organisasi belum tentu ikut berubah.
Nilai-nilai juga berfungsi sebagai pemersatu tindakan dalam organisasi dalam
menyediakan terminology dan konsep yang sama untuk dipergunakan dalam komunikasi
internal. Nilai-nilai menciptakan konsensus bersama tentang hal-hal yang boleh dan
tidak boleh dilakukan oleh anggota, termasuk batasan-batasan hak dan kewajiban para
anggota organisasi. Untuk mewujudkan nilai-nilai ini, Rokeach (1973) membagi nilai-nilai
tersebut ke dalam nilai-nilai utama (terminal values), yaitu nilai-nilai yang bersentuhan
dengan tujuan utama hidup seseorang,misal: hidupbahagia, damai, dan sebagainya,
serta nilai-nilai instrumental (instrumental values) sebagai perilaku-perilaku yang
diharapkan mampu membawa seseorang mencapai tujuan hidupnya, termasuk
ambisius, berwawasan terbuka, teratur,rapi, dan sebagainya. Tabel 3.1. menguraikan
komponen perilaku yang termasuk dalam nilai-nilai utama dan nilai-nilai instrumental.
Lapisan kedua budaya berisi norma-norma yang berfungsi sebagai rambu-rambu
keperilakuan anggota organisasi dalam kehidupan sehari-hari. Pada lapisan teratas ini,
budaya organisasi tampak jelas (visible) melalui pakaian, bahasa yang digunakan,
bangunan fisik (termasuk perlengkapan di dalamnya) dan aturan-aturan formal. Norma-
norma ini terbentuk darirangkaian nilai-nilai yang diterjemahkan ke dalam bentuk aturan
sehingga mengikat anggota organisasi untuk mematuhi aturan tersebut.
Perkembangan budaya terjadi beriringan tahap terbentuknya organisasi. Pada saat
organisasi dibentuk untuk pertama kalinya,para pendiri organisasi membentuk karakter
dasar organisasi yang mencakup nilai-nilai dan norma-norma berorganisasi. Karakter
dasar ini dapat berubah secara radikal jika seorang pemimpin barumuncul, membawa
nilai-nilai baru yang lebih baik dibandingkan pemimpin sebelumnya.

B. Budaya Bedasarkan Kepatuhan dan Berdasarkan Nilai


 Budaya berdasarkan kepatuhan/compliance based culture (pendekatan tradisional)
Budaya perusahaan berdasarkan kepatuhan menekankan kepatuhan terhadap
peraturan sebagai tanggung jawab utama etika. Budaya berdasarkan kepatuhan
memberikan wewnang kepada bagian legal dan audit untuk memerintahkan dan
memantau kepatuhan berdasarkan aturan hhukum dan peraturan internal.

 Budaya berdasarkan nilai/values based culture(budaya berdasarkan integritas)


Adalah budaya yang memperkuat seperangkat nilai tertentu daripada seperangkat
peraturan tertentu. Budaya berdasarkan nilai-nilai menyadari bahwa ketika sebuah
peraturan tidak dapat digunakan, perusahaan harus mengandalkan pada integritas
pribadi tenaga kerjanya pada saat keputusan harus dibuat.

C. Peran Pemimpin dalam Membangun Budaya Etis


PEMIMPIN YANG ETIS
Saat ini nilai kejujuran merupakan sebuah harga yang sangat mahal didapat. Jujur dalam
ucapan dan perkataan, maupun jujur dalam perbuatan dan tingkah laku. Kejujuran sangat
berpengaruh pada reputasi seseorang, dan demi menjaga reputasi maka seseorang akan
berusaha menunjukkan “kejujuran”. Seorang pemimpin harus menjaga reputasinya dan
dalam membangun reputasi diperlukan nilai kejujuran. Sulitnya kedudukan pemimpin
adalah Anda akan berada pada posisi sebagai SOROTAN atau PANUTAN. Tindak tanduk,
tingkah laku, tabiat dan kebiasaan menjadi perhatian setiap pasang mata. Setitik kesalahan
dapat berakibat fatal bagi seorang pemimpin, dan sudah banyak contoh yang
mengalaminya. Tidak lepas karena kesalahan yang bersifat personal, bahkan kesalahan
yang bersifat profesional pun dapat berujung pada Lengser Keprabon. Inilah mengapa
Membangun Nilai Kepemimpinan yang Etis, dengan cara melakukan Hal yang
Benar merupakan fundametal dasar seseorang layak disebut sebagai pemimpin. Pemimpin
yang baik dan benar akan membawa armada kapalnya kearah kebenaran dan kebaikan,
dan berujung pada keberhasilan atau kesuksesan. Kepemimpinan Etis adalah
fundamental kepemimpinan sejati Anda dalam memimpin orang dan tim. Kepemimpinan
Etis adalah kepemimpinan yang dilakukan dengan BENAR dan melakukan hal yang
BENAR.
Dengan berbagai cara dan berbagai rencana, banyak orang mempertahankan reputasi
kepemimpinan mereka meski mengabaikan nilai kejujuran. Inilah uniknya pribadi dan
karakter orang, yang akan menjaga nama baik sebagaimana menjaga kehidupannya.
Risiko sebagai pemimpin adalah risiko menjadi orang yang disorot, dipandang dan mungkin
ditiru. Sedemikian Anda perlu menjadi seorang pemimpin dengan gaya Kepemimpinan
yang Etis (Ethical Leadership).
Sebagai pemimpin tim Anda perlu menjadikan etika sebagai dasar paling bawah dalam
Kepemimpinan. Dengan melakukan hal yang benar, pada saat yang tepat dan alasan yang
akurat, Anda telah menjadi seorang pemimpin yang akan mampu menggerakkan orang lain
mendedikasikan diri mereka dalam kepemimpinan Anda.
BUDAYA KEPATUHAN

8 Januari 2015

Barangkali kita sering menyaksikan fenomena-fenomena di sekitar kita yang berubah! Ada,
fenomena alam yang menggambarkan perubahan yang dramatis; curah hujan yang tidak
semestinya, perubahan suhu yang ekstrim dan sebagainya. Ada pula, fenomena-fenomena
yang berubah dalam kehidupan manusia yang tak mungkin disebutkan satu persatu dalam
tulisan ini. Bahkan, fenomena perubahan kehidupan binatang-pun tak luput dari kesaksian
kita!

Sebagai perumpamaan adalah kucing. Kucing barangkali merupakan salah satu binatang
yang “diagungkan” sebagai binatang peliharaan para raja atau bangsawan dahulu kala.
Sampai saat inipun, binatang ini masih sering “dikeramatkan” orang, atau paling tidak
“disegani” sebagai binatang yang “dihormati”. Dengarlah nasehat orang tua kita, “bila kamu
mencelakai kucing, kamu bakal mendapat pula kecelakaan suatu saat nanti!. Lihatlah pula,
ketika seseorang menabrak kucing, maka seringkali mereka akan menghormati dengan
mengubur selayaknya. Bahkan, ada yang sampai mengubur dengan menyertakan rangkaian
bunga untuk menghindari “celaka” yang dianggap bakal terjadi karena “membunuh” binatang
ini.

Kucing selama ini dianggap sebagai binatang yang bersih, yang selalu membersihkan diri
dengan menjilati badannya. Binatang yang senantiasa mengubur kotorannya dengan pasir
atau tanah, sehingga tidak mengganggu makhluk lain, karena bau dan joroknya.

Lihatlah fenomena yang terjadi saat ini! Apa yang diperlihatkan saat ini mungkin sangat
berbeda drastis dengan kondisi sebelumnya! Kucing sekarang menjadi binatang yang sering
“diusir” orang karena memasuki rumahnya. Kucing sering tidak lagi “dihormati” orang.
Bahkan, kucing menjadi binatang yang sering “dikejar-kejar” orang hanya karena mencuri
ikan asin miliknya.

Fenomena kehidupan kucing-pun saat ini kita saksikan mengalami perubahan yang cukup
berbeda! Kita seringkali menyaksikan kucing membuang kotoran tanpa lagi mengubur
dengan pasir atau tanah. Sekarang, kucing kencing ataupun membuang kotoran di
sembarang tempat. Bahkan, kucing-pun saat ini “tidak mau” lagi mengejar tikus sebagai
makanan lezatnya. Namun, kucing lebih suka mengejar makanan yang ada di meja makan,
bila kita lengah mengawasinya. Aneh memang! Tapi itulah fenomena kehidupan yang
berubah.

Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan adalah: layakkah kita disandingkan dengan


kehidupan kucing? Adakah juga fenomena kehidupan kita yang berubah (drastis) disaat
alam sekitar telah mengalami perubahan?

Fenomena Manusia
Perubahan fenomena kehidupan kucing yang berubah, tentu ada penyebabnya! Kucing
tidak lagi mengubur kotorannya barangkali memang saat ini tidak lagi ditemui pasir atau
tanah disekitarnya. Lahan sekarang tidak lagi terhindar dari aspal, conblock ataupun semen
yang menutupinya. Lantas, darimana kucing bisa memperoleh pasir atau tanahnya? Jadi,
mungkin tidak ada alasan bagi kucing untuk bersusah payah menutupi kotorannya. Atau,
apakah mungkin juga karena kucing sekarang tidak lagi mempunyai rasa “malu” terhadap
makhluk lain, untuk “menyembunyikan” kotoran karena bau dan joroknya? Wallahu’ alam!
Dalam konteks kehidupan kita sebagai manusia, fenomena kucing mungkin dapat menjadi
pelajaran yang berharga. Kita seringkali melakukan perbuatan-perbuatan atau tindakan-
tindakan yang tidak jauh serupa kucing yang membuang kotorannya. Kita juga tidak lagi
mau menutupi tindakan-tindakan yang “kotor”.

Dari apa yang semua manusia atau kita lakukan, apakah sudah tidak ada lagi “lahan”,
seperti yang dihadapi kucing, untuk menghindar dari perbuatan “kotor” itu? Atau, apakah kita
juga sudah tidak malu dan tidak perduli lagi dengan sekitarnya apa yang kita perbuat?

Bila kucing sudah tidak lagi memiliki “lahan” yang bertabur pasir dan tanah untuk menutupi
kotorannya. Maka, barangkali manusia juga telah kehilangan “lahan harapan” untuk
menghindari perbuatan kotornya. Manusia telah berputus asa dengan “lahan” yang terbatas
untuk mengekspresikan dirinya. Manusia telah “kehilangan” lahan untuk mencari
pendapatan yang berlebih bagi diri dan keluarganya.

Fenomena “menjamurnya” koruptor, yang masih tetap rame diperbincangkan, barangkali


merupakan gambaran nyata dari potret kondisi di atas. Para pelaku korupsi telah kehilangan
atau mungkin tidak memiliki lahan (pencaharian lain) untuk menambah banyak
penghasilannya. Maka, mereka nekad menerobos batas-batas yang bukan menjadi
lahannya. Mereka tidak lagi mau “bersusah payah” mencari makan yang memang menjadi
haknya. Bahkan, mereka tidak malu “merampas” hak-hak yang semestinya bukan miliknya.
Dan, mereka telah “rela” dan tanpa malu mengotori dirinya demi kesenangan-kesenangan
duniawi saja.

Budaya Kepatuhan
Gambaran kecil tentang fenomena di atas, mungkin menerpa dalam kehidupan kita semua.
Bahkan, yang kita jalani selama ini dan terjadi setiap hari. Seringkali, sadar atau tidak
sadar kita melakukan tindakan yang “kotor”, meski sekecil apapun yang telah kita kerjakan.
Dan, kita jarang malu mengakuinya.

Misalnya, datang terlambat dan pulang cepat dalam bekerja, menandatangani presensi
meski tidak masuk kerja, membolos pada jam kerja, mengambil hak orang lain, menjegal
“kemajuan” orang lain, dan lain-lainnya.

Lantas, apa yang perlu kita pedomani untuk mengubah “budaya” yang telah terlanjur
melekat itu? Barangkali yang pertama perlu kita lakukan adalah menyadarkan pada diri kita
sendiri. Menyadari bahwa kita bekerja merupakan hal yang melekat dan patut kita hargai
oleh diri sendiri! Bila Rene Descarte menyatakan “cagito ergo sum” (aku ada karena aku),
maka dalam kaitan ini seharusnya terus dikatakan dengan ungkapan “labora ergo sum” (aku
bekerja maka aku ada).
Dalam konteks ini, seseorang harus memiliki persepsi bahwa cara dirinya untuk meraih
cintaillahiyah hanya mungkin diwujudkan dengan bekerja secara profesional dan berakhlak.
Dengan demikian, bekerja adalah ibadah, bahkan memperoleh kedudukan yang tinggi disisi
Allah. Bekerja merupakan perintah Tuhan atau panggilan tugas mulia dan menempatkannya
sebagai bentuk ibadah.
Kemudian, terkait dengan bekerja atau beramal, dikenal pula kata ikhsan dan itqon yaitu
bentuk hasil pekerjaan yang optimal dan bukan sekedar asal bekerja dengan hasil seadanya
atau asal jadi dan selesai. Untuk itu, manusia didorong untuk bekerja secara maksimal atau
profesional serta dengan akhlak yang mulia. Profesional disini dimaksudkan kemampuan,
keahlian atau ketrampilan seseorang dalam bidang tertentu yang ditekuninya sedemikian
rupa dalam kurun waktu tertentu yang relative lama sehingga hasil kerjanya bernilai tinggi
dan diakui serta diterima masyarakat. Sedangkan, yang dimaksud berakhlak artinya mereka
bekerja atas dasar prinsip-prinsip moral yang kuat, sehingga tampak rasa
tanggungjawabnya, integritas serta cara dirinya menghasikan sesuatu yang berkualitas.
Disisi lain, dukungan dari luar untuk mencegah budaya yang telah mengkooptasi kita adalah
dengan penerapan “budaya kerja”. Budaya kerja disini diartikan sebagai “cara kerja sehari-
hari yang bermutu dan selalu mendasari nilai-nilai yang penuh makna, sehingga menjadi
motivasi, memberi inspirasi untuk senantiasa bekerja lebih baik, dan memuaskan bagi
masyarakat yang dilayani” (Kemenpan RI, 2002). Budaya-budaya kerja bagi PNS yang telah
ditetapkan oleh Kemenegpan tersebut tentunya akan lebih “menggigit” bila dimaksudkan
sebagai semacam budaya hukum yang diterapkan dalam masyarakat umum. Sehingga,
PNS pun berkewajiban untuk mematuhinya.

Permasalahannya, kesadaran kita terhadap budaya kerja, sebagaimana budaya hukum,


masih merupakan sesuatu yang bersifat abstrak, dan belum merupakan bentuk perilaku
yang nyata. Meski, secara instinktif maupun rasional kita sadar adanya hukum atau aturan
yang berlaku, namun belum tentu kita patuh pada hukum atau aturan tersebut. Secara a
contra-rioketidakpatuhan pada hukum atau aturan disebabkan kita dihadapkan pada dua
tuntutan “kesetiaan”, yakni kesetiaan pada hukum itu sendiri dan kesetiaan pada
kepentingan pribadi. Dan, kepentingan pribadilah yang sering menjadi pemenang dan
sebagai pangkal tolak kita tidak patuh pada hukum atau aturan.
Untuk itulah, perlu ditumbuhkan pula budaya kepatuhan (compliance culture) dalam diri kita
semua terhadap hukum atau aturan yang berlaku. Kepatuhan kita secara konsisten pada
hukum atau aturan ditumbuhkan dengan kesadaran untuk membangun organisasi dan
bangsa ini dari keterpurukan. Kepatuhan juga ditujukan untuk menjaga “kewibawaan”
terhadap hukum atau aturan itu sendiri. Budaya kepatuhan, pada akhirnya, dibangun untuk
menghindari timbulnya “pemaksaan kepatuhan” (punishment) yang memang dapat
diterapkan oleh negara atau organisasi agar kita patuh pada hukum atau aturan

https://muhlisirfanbkn.wordpress.com/2015/01/08/budaya-kepatuhan/
KEPEMIMPINAN YANG BERETIKA
Perubahan budaya adalah proses yang sulit dan memerlukan waktu lama untuk memetik
hasilnya. Selain itu, tidak ada jaminan bahwa proses yang lama ini mampu mengubah
budaya lama menjadi budaya baru yang lebih adaptif terhadap lingkungan bisnis. Inisiatif
perubahan harus berasal dari pucuk pimpinan, dengan para manajer madya sebagai
pendukung utamanya. Dengan dukungan seperti ini, pimpinan dapat memperluas pengaruh
kepemimpinannya ke dalamkelompok-kelompok yang lebih kecil, divisi atau departemen
untuk menegaskan perilaku positif yang diperlukan dalam perusahaan berkinerja tinggi.
Perubahan budaya selanjutnya dapat dilaksanakan melalui konsensus bersama yang
diikrarkan dan dilaksanakan oleh seluruh bagian dalam perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai