A. Budaya Organisasi
Budaya organisasi adalah sekumpulan asumsi, keyakinan dan nilai yang
dikembangkan dalam tubuh organisasi tertentu untuk mengatasi berbagai perubahan
yang terjadi dalam lingkungan internal dan eksternal organisasi. Dari sudut panndang
antropologi, seperti yang dikemukakan oelh Edgan Schein, budaya suatu kelompok
mencakup keyakinan-keyakinan, nilai-nilai yang dianut, percakapan, dan tampak luar
(artifacts) dari orang-orang dalam kelompok tersebut yang mengatur tata kehidupan
mereka dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dua pakar manajemen, John Kotter dan James Hesket membagi budaya menjadi
dua lapisan, yaitu lapisan pertama yang disebut nilai-nilai (values) dan lapisan kedua
adalah norma-norma (norms). Pada lapisan yang pertama, nilai-nilai yang dianut
dandiyakini keberadaannya oleh kelompok akan dipertahankan untuk jangka panjang,
tidak jarang hingga pergantian generasi kepemimpinan pun nilai-nilai ini relatif tidak
banyak berubah dibandingkan generasi pendahulu. Karena nilai-nilai telah mengakar
jauh ke dalam budaya organisasi, sering para anggota organisasi pun tidak menyadari
bahwa mereka hidup di dalam organisasi itu dengan nilai-nilai yang terwariskan. Pihak di
luar organisasi sulit untuk memahami nilai-nilai dalam tindakan-tindakan anggota
organisasi. Nilai-nilai cenderung stabil,meskipun lingkungan bisnis berubah, nilai-nilai
yang dianut organisasi belum tentu ikut berubah.
Nilai-nilai juga berfungsi sebagai pemersatu tindakan dalam organisasi dalam
menyediakan terminology dan konsep yang sama untuk dipergunakan dalam komunikasi
internal. Nilai-nilai menciptakan konsensus bersama tentang hal-hal yang boleh dan
tidak boleh dilakukan oleh anggota, termasuk batasan-batasan hak dan kewajiban para
anggota organisasi. Untuk mewujudkan nilai-nilai ini, Rokeach (1973) membagi nilai-nilai
tersebut ke dalam nilai-nilai utama (terminal values), yaitu nilai-nilai yang bersentuhan
dengan tujuan utama hidup seseorang,misal: hidupbahagia, damai, dan sebagainya,
serta nilai-nilai instrumental (instrumental values) sebagai perilaku-perilaku yang
diharapkan mampu membawa seseorang mencapai tujuan hidupnya, termasuk
ambisius, berwawasan terbuka, teratur,rapi, dan sebagainya. Tabel 3.1. menguraikan
komponen perilaku yang termasuk dalam nilai-nilai utama dan nilai-nilai instrumental.
Lapisan kedua budaya berisi norma-norma yang berfungsi sebagai rambu-rambu
keperilakuan anggota organisasi dalam kehidupan sehari-hari. Pada lapisan teratas ini,
budaya organisasi tampak jelas (visible) melalui pakaian, bahasa yang digunakan,
bangunan fisik (termasuk perlengkapan di dalamnya) dan aturan-aturan formal. Norma-
norma ini terbentuk darirangkaian nilai-nilai yang diterjemahkan ke dalam bentuk aturan
sehingga mengikat anggota organisasi untuk mematuhi aturan tersebut.
Perkembangan budaya terjadi beriringan tahap terbentuknya organisasi. Pada saat
organisasi dibentuk untuk pertama kalinya,para pendiri organisasi membentuk karakter
dasar organisasi yang mencakup nilai-nilai dan norma-norma berorganisasi. Karakter
dasar ini dapat berubah secara radikal jika seorang pemimpin barumuncul, membawa
nilai-nilai baru yang lebih baik dibandingkan pemimpin sebelumnya.
8 Januari 2015
Barangkali kita sering menyaksikan fenomena-fenomena di sekitar kita yang berubah! Ada,
fenomena alam yang menggambarkan perubahan yang dramatis; curah hujan yang tidak
semestinya, perubahan suhu yang ekstrim dan sebagainya. Ada pula, fenomena-fenomena
yang berubah dalam kehidupan manusia yang tak mungkin disebutkan satu persatu dalam
tulisan ini. Bahkan, fenomena perubahan kehidupan binatang-pun tak luput dari kesaksian
kita!
Sebagai perumpamaan adalah kucing. Kucing barangkali merupakan salah satu binatang
yang “diagungkan” sebagai binatang peliharaan para raja atau bangsawan dahulu kala.
Sampai saat inipun, binatang ini masih sering “dikeramatkan” orang, atau paling tidak
“disegani” sebagai binatang yang “dihormati”. Dengarlah nasehat orang tua kita, “bila kamu
mencelakai kucing, kamu bakal mendapat pula kecelakaan suatu saat nanti!. Lihatlah pula,
ketika seseorang menabrak kucing, maka seringkali mereka akan menghormati dengan
mengubur selayaknya. Bahkan, ada yang sampai mengubur dengan menyertakan rangkaian
bunga untuk menghindari “celaka” yang dianggap bakal terjadi karena “membunuh” binatang
ini.
Kucing selama ini dianggap sebagai binatang yang bersih, yang selalu membersihkan diri
dengan menjilati badannya. Binatang yang senantiasa mengubur kotorannya dengan pasir
atau tanah, sehingga tidak mengganggu makhluk lain, karena bau dan joroknya.
Lihatlah fenomena yang terjadi saat ini! Apa yang diperlihatkan saat ini mungkin sangat
berbeda drastis dengan kondisi sebelumnya! Kucing sekarang menjadi binatang yang sering
“diusir” orang karena memasuki rumahnya. Kucing sering tidak lagi “dihormati” orang.
Bahkan, kucing menjadi binatang yang sering “dikejar-kejar” orang hanya karena mencuri
ikan asin miliknya.
Fenomena kehidupan kucing-pun saat ini kita saksikan mengalami perubahan yang cukup
berbeda! Kita seringkali menyaksikan kucing membuang kotoran tanpa lagi mengubur
dengan pasir atau tanah. Sekarang, kucing kencing ataupun membuang kotoran di
sembarang tempat. Bahkan, kucing-pun saat ini “tidak mau” lagi mengejar tikus sebagai
makanan lezatnya. Namun, kucing lebih suka mengejar makanan yang ada di meja makan,
bila kita lengah mengawasinya. Aneh memang! Tapi itulah fenomena kehidupan yang
berubah.
Fenomena Manusia
Perubahan fenomena kehidupan kucing yang berubah, tentu ada penyebabnya! Kucing
tidak lagi mengubur kotorannya barangkali memang saat ini tidak lagi ditemui pasir atau
tanah disekitarnya. Lahan sekarang tidak lagi terhindar dari aspal, conblock ataupun semen
yang menutupinya. Lantas, darimana kucing bisa memperoleh pasir atau tanahnya? Jadi,
mungkin tidak ada alasan bagi kucing untuk bersusah payah menutupi kotorannya. Atau,
apakah mungkin juga karena kucing sekarang tidak lagi mempunyai rasa “malu” terhadap
makhluk lain, untuk “menyembunyikan” kotoran karena bau dan joroknya? Wallahu’ alam!
Dalam konteks kehidupan kita sebagai manusia, fenomena kucing mungkin dapat menjadi
pelajaran yang berharga. Kita seringkali melakukan perbuatan-perbuatan atau tindakan-
tindakan yang tidak jauh serupa kucing yang membuang kotorannya. Kita juga tidak lagi
mau menutupi tindakan-tindakan yang “kotor”.
Dari apa yang semua manusia atau kita lakukan, apakah sudah tidak ada lagi “lahan”,
seperti yang dihadapi kucing, untuk menghindar dari perbuatan “kotor” itu? Atau, apakah kita
juga sudah tidak malu dan tidak perduli lagi dengan sekitarnya apa yang kita perbuat?
Bila kucing sudah tidak lagi memiliki “lahan” yang bertabur pasir dan tanah untuk menutupi
kotorannya. Maka, barangkali manusia juga telah kehilangan “lahan harapan” untuk
menghindari perbuatan kotornya. Manusia telah berputus asa dengan “lahan” yang terbatas
untuk mengekspresikan dirinya. Manusia telah “kehilangan” lahan untuk mencari
pendapatan yang berlebih bagi diri dan keluarganya.
Budaya Kepatuhan
Gambaran kecil tentang fenomena di atas, mungkin menerpa dalam kehidupan kita semua.
Bahkan, yang kita jalani selama ini dan terjadi setiap hari. Seringkali, sadar atau tidak
sadar kita melakukan tindakan yang “kotor”, meski sekecil apapun yang telah kita kerjakan.
Dan, kita jarang malu mengakuinya.
Misalnya, datang terlambat dan pulang cepat dalam bekerja, menandatangani presensi
meski tidak masuk kerja, membolos pada jam kerja, mengambil hak orang lain, menjegal
“kemajuan” orang lain, dan lain-lainnya.
Lantas, apa yang perlu kita pedomani untuk mengubah “budaya” yang telah terlanjur
melekat itu? Barangkali yang pertama perlu kita lakukan adalah menyadarkan pada diri kita
sendiri. Menyadari bahwa kita bekerja merupakan hal yang melekat dan patut kita hargai
oleh diri sendiri! Bila Rene Descarte menyatakan “cagito ergo sum” (aku ada karena aku),
maka dalam kaitan ini seharusnya terus dikatakan dengan ungkapan “labora ergo sum” (aku
bekerja maka aku ada).
Dalam konteks ini, seseorang harus memiliki persepsi bahwa cara dirinya untuk meraih
cintaillahiyah hanya mungkin diwujudkan dengan bekerja secara profesional dan berakhlak.
Dengan demikian, bekerja adalah ibadah, bahkan memperoleh kedudukan yang tinggi disisi
Allah. Bekerja merupakan perintah Tuhan atau panggilan tugas mulia dan menempatkannya
sebagai bentuk ibadah.
Kemudian, terkait dengan bekerja atau beramal, dikenal pula kata ikhsan dan itqon yaitu
bentuk hasil pekerjaan yang optimal dan bukan sekedar asal bekerja dengan hasil seadanya
atau asal jadi dan selesai. Untuk itu, manusia didorong untuk bekerja secara maksimal atau
profesional serta dengan akhlak yang mulia. Profesional disini dimaksudkan kemampuan,
keahlian atau ketrampilan seseorang dalam bidang tertentu yang ditekuninya sedemikian
rupa dalam kurun waktu tertentu yang relative lama sehingga hasil kerjanya bernilai tinggi
dan diakui serta diterima masyarakat. Sedangkan, yang dimaksud berakhlak artinya mereka
bekerja atas dasar prinsip-prinsip moral yang kuat, sehingga tampak rasa
tanggungjawabnya, integritas serta cara dirinya menghasikan sesuatu yang berkualitas.
Disisi lain, dukungan dari luar untuk mencegah budaya yang telah mengkooptasi kita adalah
dengan penerapan “budaya kerja”. Budaya kerja disini diartikan sebagai “cara kerja sehari-
hari yang bermutu dan selalu mendasari nilai-nilai yang penuh makna, sehingga menjadi
motivasi, memberi inspirasi untuk senantiasa bekerja lebih baik, dan memuaskan bagi
masyarakat yang dilayani” (Kemenpan RI, 2002). Budaya-budaya kerja bagi PNS yang telah
ditetapkan oleh Kemenegpan tersebut tentunya akan lebih “menggigit” bila dimaksudkan
sebagai semacam budaya hukum yang diterapkan dalam masyarakat umum. Sehingga,
PNS pun berkewajiban untuk mematuhinya.
https://muhlisirfanbkn.wordpress.com/2015/01/08/budaya-kepatuhan/
KEPEMIMPINAN YANG BERETIKA
Perubahan budaya adalah proses yang sulit dan memerlukan waktu lama untuk memetik
hasilnya. Selain itu, tidak ada jaminan bahwa proses yang lama ini mampu mengubah
budaya lama menjadi budaya baru yang lebih adaptif terhadap lingkungan bisnis. Inisiatif
perubahan harus berasal dari pucuk pimpinan, dengan para manajer madya sebagai
pendukung utamanya. Dengan dukungan seperti ini, pimpinan dapat memperluas pengaruh
kepemimpinannya ke dalamkelompok-kelompok yang lebih kecil, divisi atau departemen
untuk menegaskan perilaku positif yang diperlukan dalam perusahaan berkinerja tinggi.
Perubahan budaya selanjutnya dapat dilaksanakan melalui konsensus bersama yang
diikrarkan dan dilaksanakan oleh seluruh bagian dalam perusahaan.