Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH HIPERBILIRUBINEMIA

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak


Dosen Pengampu : Ibu Welas Haryati, S.Pd.,S.Kp,.MMR

Disusun oleh :
Nama : Isna Kurniati Rizqi ( P1337420216051 )
Dias Pradika ( P1337420216053 )

Bangkit Bayu P ( P1337420216066 )

Nurul Diah Anisa ( P1337420216067 )

Fita Pramesti W ( P1337420216077 )

Amalia Nur Hanifah ( P1337420216083 )

Shinta Yuliana ( P1337420215118 )

Kelas : 2B

PRODI D III KEPERAWATAN PURWOKERTO

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

2017/2018

1
KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia
dan rahmat-Nya. Hanya dengan karunia-Nya penulisan makalah ini yang
berjudul “hiperbiliruninemia” dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Ada
beberapa kendala yang menghambat terselesainya karya tulis ini diantaranya
keterbatasan pengetahuan serta sumber yang penulias miliki.
Penulis menyadari bahwa tugas ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa
adanya bantuan dari beberaapa pihak tertentu. Dan kami menyadari bahwa
penulisan tugas makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan kritikdari pembaca. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat para pembaca.

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 4


1.2 Rumusan Masalah.................................................................................... 4

BAB I PEMBAHASAN

2.1 Hiperbilirubin........................................................................................... 6
2.2 Patofisiologi............................................................................................... 9
2.3 Manifestasi Klinik .................................................................................... 10
2.4 Faktor Resiko ........................................................................................... 11
2.5 Komplikasi ................................................................................................ 12
2.6 Diagnosis ................................................................................................... 12
2.7 Asuhan Keperawatan .............................................................................. 15

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ............................................................................................... 23


3.2 Saran ......................................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Setiap ibu yang telah melahirkan menginginkan anaknya lahir dalam
keadaan sehat dan tidak ada kelainan – kelainan pada bayi tersebut. Tetapi
keinginan tersebut tidak akan diperoleh oleh setiap ibu. Karena sebagian kecil
ada yang lahir dalam keadaan abnormal.Misalnya anak lahir dengan BBLR,
ikterus, hidrosefalus, dan kelainan – kelainan lainnya.Hal ini di sebabkan oleh
banyak factor pencetusnya. Seperti kurang teraturnya antenatal care ibu saat
hamil, asupan gizi yang kurang baik pada ibu maupun pada janin yang di
kandung, atau penyakit yang diturunkan oleh ibu sendiri.Kemudian kurangnya
pengetahuan ibu untuk mengenali tanda – tanda kelainan yang mungkin timbul
pada bayi baru lahir.
Seperti bayi dengan hiperbilirubin, dimana kebanyakan ibu membawa
bayinya ke Rumah Sakit dalam derajat yang tinggi.Sebagaimana kita ketahui
bahwa ikterik itu terjadinya dimulai dari wajah.Ikterus terjadi apabila terdapat
akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian neonatus, ikterus akan
ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka
kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80% bayi kurang
bulan.. Di sini jelas bahwa kurangnya pengetahuan ibu atau orang tua tentang
hiperbilirubin tersebut, kemudian kurangnya memperoleh pelayanan kesehatan
dari tenaga kesehatan.Untuk itulah penulis mengangkat makalah ini dengan
judul Hiperbilirubin pada Bayi.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apakah yang dimaksud dengan hiperbilirubin ?
1.2.2 Apakah yang menjadi patofisiologi hiperbilirubin ?
1.2.3 Bagaimana manifestasi klinis penyakit hiperbilirubin?
1.2.4 Bagaimana faktor risiko penyakit hiperbilirubin?
1.2.5 Bagaimana komplikasi yang terjadi pada penyakit hiperbilirubini?

4
1.2.6 Bagaimana diagnosis dan penatalaksanaan pada penyakit
hiperbilirubin?
1.2.7 Bagaimana proses asuhan keperawatan pada penyakit hiperbilirubin?

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 HIPERBILIRUBIN
A. Pengertian
Hiperbilirubinemia ialah terjadinya peningkatan kadar bilirubin dalam
darah, baik oleh faktor fisiologik maupun non-fisiologik, yang secara klinis
ditandai dengan ikterus. Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial
sebagai produk akhir dari katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi
oksidasi reduksi. Karena sifat hidrofobiknya, bilirubin tak terkonjugasi
diangkut dalam plasma, terikat erat pada albumin. Ketika mencapai hati,
bilirubin diangkut ke dalam hepatosit, terikat dengan ligandin. Setelah
diekskresikan ke dalam usus melalui empedu, bilirubin direduksi menjadi
tetrapirol tak berwarna oleh mikroba di usus besar. Bilirubin tak terkonjugasi
ini dapat diserap kembali ke dalam sirkulasi, sehingga meningkatkan bilirubin
plasma total. Pengobatan pada kasus hiperbilirubinemia dapat berupa
fototerapi, intravena immunoglobulin (IVIG), transfusi pengganti,
penghentian ASI sementara, dan terapi medikamentosa.
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling
sering ditemu-kan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan
yang kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebab-kan oleh
keadaan ini. Bayi dengan hiper-bilirubinemia tampak kuning akibat aku-
mulasi pigmen bilirubin yang berwarna kuning pada sklera dan kulit. Pada
janin, tugas mengeluarkan biliru-bin dari darah dilakukan oleh plasenta, dan
bukan oleh hati. Setelah bayi lahir, tugas ini langsung diambil alih oleh hati,
yang memerlukan sampai beberapa minggu untuk penyesuaian. Selama
selang waktu tersebut, hati bekerja keras untuk menge-luarkan bilirubin dari
darah. Walaupun demikian, jumlah bilirubin yang tersisa masih menumpuk di
dalam tubuh. Oleh karena bilirubin berwarna kuning, maka jumlah bilirubin
yang berlebihan dapat memberi warna pada kulit, sklera, dan jaringan-
jaringan tubuh lainnya.

6
Pada setiap bayi yang mengalami ikterus harus dibedakan apakah ikterus
yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologik atau non-fisiologik. Selain
itu, perlu dimonitor apakah keadaan tersebut mempunyai kecenderungan
untuk berkem-bang menjadi hiperbilirubinemia berat yang memerlukan
penanganan optimal.

B. Hiperbilirubinemia Dan Ikterus


Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar
bilirubin dalam darah >5mg/dL, yang secara klinis ditandai oleh adanya
ikterus, dengan faktor penyebab fisiologik dan non-fisiologik.
Ikterus fisiologik, bentuk ikterus ini umumnya terjadi pada bayi baru
lahir dengan kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL.
Pada bayi cukup bulan yang diberi susu formula, kadar bilirubin akan men-
capai puncaknya sekitar 6-8 mg/dl pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian
akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan lambat sebesar
1 mg/dL selama 1 sampai 2 minggu. Pada bayi cukup bulan yang mendapat
ASI, kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi (7-14
mg/dL) dan penurunan terjadi lebih lambat, bisa terjadi selama 2-4 minggu,
bahkan dapat mencapai 6 minggu.Pada bayi kurang bulan yang mendapat
susu formula juga akan terjadi peningkatan kadar bilirubun dengan kadar
puncak yang lebih tinggi dan bertahan lebih lama, demikian pula dengan
penurunannya bila tidak diberikan fototerapi pencegahan. Peningkatan kadar
billirubin sampai 10-12 mg/dl masih dalam kisaran fisiologik, bahkan hingga
15 mg/dL tanpa disertai kelainan metabolism bilirubin. Frekuensi ikterus
pada bayi cukup bulan dan kurang bulan ialah secara berurut 50-60% dan
80%. Umumnya fenomena ikterus ini ringan dan dapat membaik tanpa
pengobatan. Ikterus fisiologik tidak disebabkan oleh faktor tunggal tetapi
kombinasi dari berbagai faktor yang berhubungan dengan maturitas fisiologik
bayi baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi
bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi pening-katan ketersediaan
bilirubin dan penurunan klirens bilirubin.

7
Ikterus non-fisiologik, jenis ikterus ini dahulu dikenal sebagai ikterus
patologik, yang tidak mudah dibedakan dengan ikterus fisiologik. Ter-
dapatnya hal-hal di bawah ini merupakan petunjuk untuk tindak lanjut,
yaitu:ikterus yang terjadi sebelum usia 24 jam; setiap peningkatan kadar
bilirubin serum yang memerlukan fototerapi; peningkatan kadarbilirubin total
serum >0,5 mg/dL/jam; adanya tanda-tanda penyakit yang men-dasar pada
setiap bayi (muntah, letargis, malas menetek, penurunan berat badan yang
cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang tidak stabil); ikterus yang bertahan
setelah delapan hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi
kurang bulan.

C. Etiologi Ikterus
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
1. Pembentukan bilirubin yang berlebihan.
2. Gangguan pengambilan (uptake) dan transportasi bilirubin dalam hati.
3. Gangguan konjugasi bilirubin.
4. Penyakit Hemolitik, yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel darah
merah. Disebut juga ikterus hemolitik. Hemolisis dapat pula timbul
karena adanya perdarahan tertutup.
5. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan,
misalnya Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obatan tertentu.
6. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme
atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan sel darah merah
seperti : infeksi toxoplasma. Siphilis.
7. Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor.
8. Produksi yang berlebihan, hal ini melebihi kemampuannya bayi untuk
mengeluarkannya, misal pada hemolisis yang meningkat pada
inkompabilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim
G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.

8
9. Gangguan proses “uptake” dan konjugasi hepar. Gangguan ini dapat
disebabkan oleh immturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi
bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi
atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler-
Najjar) penyebab lain atau defisiensi protein Y dalam hepar yang
berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar.
10. Gangguan transportasi. Bilirubin dalam darah terikat pada albumin
kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin dapat
dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, dan sulfaforazole. Defisiensi
albumin menyebabkan lebih banyak terdapat bilirubin indirek yang
bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
11. Gangguan dalam ekskresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi
dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya
disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya
akibat infeksi/kerusakan hepar oleh penyebab lain.

2.2 PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar(85-90%) terjadi
dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil(10-15%) dari senyawa lain
seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan
hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian
mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan
memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang
disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air(bilirubin tak terkonjugasi,
indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin
untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan
melewati lobulus hati ,hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan
menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam
glukoronat(bilirubin terkonjugasi, direk)(Sacher,2004).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut
masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus

9
,bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat
diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian
urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta
membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya
diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian
dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai
senyawa larut air bersama urin(Sacher, 2004).
Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan muncul
pada dewasa bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan
muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl(Cloherty et al, 2008).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang
melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh
kegagalan hati(karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan
dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi
hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini,
bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai
tertentu(sekitar 2-2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang
kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice(Murray et
al,2009).

2.3 MANIFESTASI KLINIS


Bayi baru lahir(neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya
kira-kira 6mg/dl(Mansjoer at al, 2007). Ikterus sebagai akibat penimbunan
bilirubin indirek pada kulit mempunyai kecenderungan menimbulkan warna
kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus obstruksi(bilirubin direk)
memperlihatkan warna kuning-kehijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini hanya
dapat ditemukan pada ikterus yang berat(Nelson, 2007).
Gambaran klinis ikterus fisiologis:
a Tampak pada hari 3,4
b Bayi tampak sehat(normal)
c Kadar bilirubin total <12mg%

10
d Menghilang paling lambat 10-14 hari
e Tak ada faktor resiko
f Sebab: proses fisiologis(berlangsung dalam kondisi fisiologis)(Sarwono et
al, 1994)
Gambaran klinik ikterus patologis:
a Timbul pada umur <36 jam
b Cepat berkembang
c Bisa disertai anemia
d Menghilang lebih dari 2 minggu
e Ada faktor resiko
f Dasar: proses patologis (Sarwono et al, 1994)

Menurut Surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :


1. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada
neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
2. Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi
hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala
sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran,
paralysis sebagian otot mata dan displasia dentalis).
Sedangakan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning
(ikterik) pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat
saat kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40 µmol/l.
Sedangakan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning
(ikterik) pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat
saat kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40 μmol/l.

2.4 FAKTOR RISIKO


a. ASI yang kurang
Bayi yang tidak mendapat ASI cukup saat menyusui dapat bermasalah
karena tidak cukupnya asupan ASI yang masuk ke usus untuk memroses

11
pembuangan bilirubin dari dalam tubuh. Hal ini dapat terjadi pada bayi
prematur yang ibunya tidak memroduksi cukup ASI.
b. Peningkatan jumlah sel darah merah
Peningkatan jumlah sel darah merah dengan penyebab apapun berisiko
untuk terjadinya hiperbilirubinemia. Sebagai contoh, bayi yang memiliki jenis
golongan darah yang berbeda dengan ibunya, lahir dengan anemia akibat
abnormalitas eritrosit (antara lain eliptositosis), atau mendapat transfusi
darah; kesemuanya berisiko tinggi akan mengalami hiperbilirubinemia.
c. Infeksi/ inkompabilitas ABO-Rh
Bermacam infeksi yang dapat terjadipada bayi atau ditularkan dari ibu ke
janin di dalam rahim dapat meningkatkan risiko hiperbilirubinemia. Kondisi
ini dapat me-liputi infeksi kongenital virus herpes, sifilis kongenital, rubela,
dan sepsis.

2.5 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat ditimbulkan penyakit ini yaitu terjadi kern ikterus
yaitu keruskan otak akibat perlangketan bilirubin indirek pada otak. Pada kern
ikterus gejala klinik pada permulaan tidak jelas antara lain : bayi tidak mau
menghisap, letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak menentu (involuntary
movements), kejang tonus otot meninggi, leher kaku, dan akhirnya opistotonus.
Selain itu dapat juga terjadi Infeksi/sepsis, peritonitis, pneumonia.

2.6 DIAGNOSIS
A. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Visual
Metode visual memiliki angka ke-salahan yang cukup tinggi, namun
masih dapat digunakan bila tidak tersedia alat yang memadai. Pemeriksaan
ini sulit di-terapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias
penilaian. Secara evident base, pemeriksaan metode visual tidak
direkomendasikan, namun bila ter-dapat keterbatasan alat masih boleh

12
diguna-kan untuk tujuan skrining. Bayi dengan skrining positif harus
segera dirujuk untuk diagnosis dan tata laksana lebih lanjut.
Panduan WHO mengemukakan cara menentukan ikterus secara visual,
sebagai berikut:
a. Pemeriksaan dilakukan pada pencaha-yaan yang cukup (di siang hari
dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila
dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada
pencahayaan yang kurang.
b. Kulit bayi ditekan dengan jari secara lembut untuk mengetahui warna di
bawah kulit dan jaringan subkutan.
c. Keparahan ikterus ditentukan berdasar-kan usia bayi dan bagian tubuh
yang tampak kuning
2) Bilirubin serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupa-kan baku emas penegakan
diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentu-kan perlu-nya
intervensi lebih lanjut. Pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin total
perlu dipertimbangkan karena hal ini merupakan tindakan invasif yang
dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus.
3) Bilirubinometer transkutan
Bilirubinometer merupakan instrumen spektrofotometrik dengan
prinsip kerja memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya (panjang
gelombang 450 nm). Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi
warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.
4) Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO
Bilirubin bebas dapat melewati sawar darah otak secara difusi. Oleh
karena itu, ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin
serum yang rendah.
Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin
bebas, antara lain dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini
yaitu berdasar-kan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin

13
dimana bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pen-dekatan
bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.
Pemecahan heme menghasilkan biliru-bin dan gas CO dalam jumlah
yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka peng-ukuran konsentrasi CO
yang dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan seba-gai indeks
produksi bilirubin.
5) Diagnosis banding
Sebagai diagnosis banding dari ikterus yaitu: atresia bilier, breast milk
jaundice, kolestasis, anemia hemolitik pada bayi baru lahir, hepatitis B,
dan hipotiroid.

B. PENGOBATAN
a) Fototerapi
Fototerapi dapat digunakan tunggalatau dikombinasi dengan transfusi
peng-ganti untuk menurunkan bilirubin. Bila neonatus dipapar dengan
cahaya ber-intensitas tinggi, tindakan ini dapat menurunkan bilirubin
dalam kulit. Secara umum, fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin
indirek 4-5 mg/dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari
1000 gram harus difototerapi bila kon-sentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa
pakar mengarahkan untuk memberikan fototerapi profilaksis 24 jam
pertama pada bayi berisiko tinggi dan berat badan lahir rendah.
b) Intravena immunoglobulin (IVIG)
Pemberian IVIG digunakan pada kasus yang berhubungan dengan faktor
imunolo-gik. Pada hiperbilirubinemia yang disebab-kan oleh
inkompatibilitas golongan darah ibu dan bayi, pemberian IVIG dapat
menu-runkan kemungkinan dilakukannya trans-fusi tukar.
c) Transfusi pengganti
Transfusi pengganti digunakan untuk mengatasi anemia akibat eritrosit
yang rentan terhadap antibodi erirtosit maternal; menghilangkan eritrosit
yang tersensitisasi; mengeluarkan bilirubin serum; serta meningkatkan

14
albumin yang masih bebas bilirubin dan meningkatkan keterikatannya
dangan bilirubin.
d) Penghentian ASI
Pada hiperbilirubinemia akibat pem-berian ASI, penghentian ASI selama
24-48 jam akan menurunkan bilirubin serum. Mengenai pengentian
pemberian ASI (walaupun hanya sementara) masih terda-pat perbedaan
pendapat.
e) Terapi medikamentosa
Phenobarbital dapat merangsang hati untuk menghasilkan enzim yang
mening-katkan konjugasi bilirubin dan mengeks-kresikannya. Obat ini
efektif diberikan pa-da ibu hamil selama beberapa hari sampai beberapa
minggu sebelum melahirkan.menjadi pertentangan oleh karena efek
sampingnya (letargi). Coloistrin dapat mengurangi bilirubin dengan
mengeluar-kannya melalui urin sehingga dapat menu-runkan kerja siklus
enterohepatika

2.7 ASUHAN KEPERAWATAN


KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI HIPERBILIRUBIN
Untuk memberikan keperawatan yang paripurna digunakan proses
keperawatan yang meliputi Pengkajian, Diagnosa Keperawatan, Perencanaan,
Pelaksanaan dan Evaluasi.
A. Pengkajian
1. Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO,
Polisitemia, Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
a. Riwayat kehamilan dengan komplikasi(obat-obatan, ibu DM, gawat
janin, malnutrisi intrauterine, infeksi intranatal)
b. Riwayat persalinan dengan tindakan/komplikasi
c. Riwayat ikterus/terapi sinar/transfusi tukar pada bayi sebelumnya
d. Riwayat inkompatibilitas darah

15
e. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan
limpa(Etika et al, 2006).
2. Pemeriksaan Fisik :
Kuning, Pallor Konvulsi, Letargi, Hipotonik, menangis melengking,
refleks menyusui yang lemah, Iritabilitas.
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
setelah beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar
yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa
tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus
yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila
penderita sedang mendapatkan terapi sinar(Etika et al, 2006).
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis,
mudah dan sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer(1969).
Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang
tulangnya menonjol seperti tulang hidung,dada,lutut dan lain-lain. Tempat
yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin
pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah
diperkirakan kadar bilirubinnya(Mansjoer et al, 2007).
Derajat Ikterus pada Neonatus menurut Kramer
Zona indirek Bagian tubuh yang kuning Rata-rata serum bilirubin
1 Kepala dan leher 100
2 Pusat-leher 150
3 Pusat-paha 200
4 Lengan+Tungkai 250
5 Tangan+Kaki >250
Tabel 2.1 Derajat ikterus pada neonatus menurut Kramer
Sumber:Arif Mansjoer.Kapita Selekta Kedokteran jilid 2,edisi ш Media Aesculapius FK
UI.2007:504
Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan
penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat
dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut(Etika et al, 2006).

16
3. Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua
merasa bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
4. Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah
mengenal keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan,
kemampuan mempelajari Hiperbilirubinemia (Cindy Smith Greenberg.
1988)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul :
1. Risiko/ defisit volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya
intake cairan, serta peningkatan Insensible Water Loss (IWL) dan
defikasi sekunder fototherapi.
2. Risiko /gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin,
efek fototerapi.
3. Risiko hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi.
4. Gangguan parenting ( perubahan peran orang tua ) berhubungan dengan
perpisahan dan penghalangan untuk gabung.
5. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada
bayi.
6. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
7. Risiko tinggi komplikasi (trombosis, aritmia, gangguan elektrolit,
infeksi) berhubungan dengan tranfusi tukar.
8. PK : Kern Ikterus

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Risiko /defisit volume cairan b/d tidak adekuatnya intake cairan serta
peningkatan IWL dan defikasi sekunder fototherapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam
diharapkan tidak terjadi deficit volume cairan dengan kriteria :

17
 Jumlah intake dan output seimbang
 Turgor kulit baik, tanda vital dalam batas normal
 Penurunan BB tidak lebih dari 10 % BBL
Intervensi & Rasional :
a. Kaji reflek hisap bayi
( Rasional/R : mengetahui kemampuan hisap bayi )
b. Beri minum per oral/menyusui bila reflek hisap adekuat
(R: menjamin keadekuatan intake )
c. Catat jumlah intake dan output , frekuensi dan konsistensi faeces
( R : mengetahui kecukupan intake )
d. Pantau turgor kulit, tanda- tanda vital ( suhu, HR ) setiap 4 jam
(R : turgor menurun, suhu meningkat HR meningkat adalah tanda-tanda
dehidrasi)
e. Timbang BB setiap hari
(R : mengetahui kecukupan cairan dan nutrisi).
2. Risiko/hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam
diharapkan tidak terjadi hipertermi dengan kriteria suhu aksilla stabil
antara 36,5-37 0 C.
Intervensi dan rasionalisasi :
a. Observasi suhu tubuh ( aksilla ) setiap 4 - 6 jam
(R : suhu terpantau secara rutin )
b. Matikan lampu sementara bila terjadi kenaikan suhu, dan berikan
kompres dingin serta ekstra minum
( R : mengurangi pajanan sinar sementara )
c. Kolaborasi dengan dokter bila suhu tetap tinggi
( R : Memberi terapi lebih dini atau mencari penyebab lain dari
hipertermi ).

18
3. Risiko /Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin,
efek fototerapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam
diharapkan tidak terjadi gangguan integritas kulit dengan kriteria :
- Tidak terjadi decubitus
- Kulit bersih dan lembab
Intervensi :
a. Kaji warna kulit tiap 8 jam
(R : mengetahui adanya perubahan warna kulit )
b. Ubah posisi setiap 2 jam
(R : mencegah penekanan kulit pada daerah tertentu dalam waktu
lama).
c. Masase daerah yang menonjol
(R : melancarkan peredaran darah sehingga mencegah luka tekan di
daerah tersebut ).
d. Jaga kebersihan kulit bayi dan berikan baby oil atau lotion pelembab
( R : mencegah lecet )
e. Kolaborasi untuk pemeriksaan kadar bilirubin, bila kadar bilirubin turun
menjadi 7,5 mg% fototerafi dihentikan
(R: untuk mencegah pemajanan sinar yang terlalu lama )
4. Gangguan parenting ( perubahan peran orangtua) berhubungan dengan
perpisahan dan penghalangan untuk gabung.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam
diharapkan orang tua dan bayi menunjukan tingkah laku “Attachment” ,
orang tua dapat mengekspresikan ketidak mengertian proses Bounding.
Intervensi :
a. Bawa bayi ke ibu untuk disusui
( R : mempererat kontak sosial ibu dan bayi )
b. Buka tutup mata saat disusui
(R: untuk stimulasi sosial dengan ibu )
c. Anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya

19
(R: mempererat kontak dan stimulasi sosial ).
d. Libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan
( R: meningkatkan peran orangtua untuk merawat bayi ).
e. Dorong orang tua mengekspresikan perasaannya
(R: mengurangi beban psikis orangtua)
5. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada
bayi.
Tujuan : Setelah diberikan penjelasan selama 2x15 menit diharapkan orang
tua menyatakan mengerti tentang perawatan bayi hiperbilirubin dan
kooperatif dalam perawatan.
Intervensi :
a. Kaji pengetahuan keluarga tentang penyakit pasien
( R : mengetahui tingkat pemahaman keluarga tentang penyakit )
b. Beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan
perawatannya
( R : Meningkatkan pemahaman tentang keadaan penyakit )
c. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah
(R : meningkatkan tanggung jawab dan peran orang tua dalam erawat
bayi)
6. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam
diharapkan tidak terjadi injury akibat fototerapi ( misal ; konjungtivitis,
kerusakan jaringan kornea )
Intervensi :
a. Tempatkan neonatus pada jarak 40-45 cm dari sumber cahaya
( R : mencegah iritasi yang berlebihan).
b. Biarkan neonatus dalam keadaan telanjang, kecuali pada mata dan
daerah genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat
memantulkan cahaya usahakan agar penutup mata tidak menutupi
hidung dan bibir
(R : mencegah paparan sinar pada daerah yang sensitif )

20
c. Matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya
konjungtivitis tiap 8 jam
(R: pemantauan dini terhadap kerusakan daerah mata )
d. Buka penutup mata setiap akan disusukan.
( R : memberi kesempatan pada bayi untuk kontak mata dengan ibu ).
e. Ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan
( R : memberi rasa aman pada bayi ).
7. Risiko tinggi terhadap komplikasi berhubungan dengan tranfusi tukar
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 1x24 jam
diharapkan tranfusi tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi
Intervensi :
a. Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan.
(R : menjamin keadekuatan akses vaskuler )
b. Basahi umbilikal dengan NaCl selama 30 menit sebelum melakukan
tindakan.
( R : mencegah trauma pada vena umbilical ).
c. Puasakan neonatus 4 jam sebelum tindakan.
(R: mencegah aspirasi )
d. Pertahankan suhu tubuh sebelum, selama dan setelah prosedur.
( R : mencegah hipotermi
e. Catat jenis darah ibu dan Rhesus memastikan darah yang akan
ditranfusikan adalah darah segar.
f. ( R : mencegah tertukarnya darah dan reaksi tranfusi yang berlebihan 0
g. Pantau tanda-tanda vital, adanya perdarahan, gangguan cairan dan
elektrolit, kejang selama dan sesudah tranfusi.
(R : Meningkatkan kewaspadaan terhadap komplikasi dan dapat
melakukan tindakan lebih dini )
h. Jamin ketersediaan alat-alat resusitatif
(R : dapat melakukan tindakan segera bila terjadi kegawatan )

21
8. PK Kern Ikterus
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam
diharapkan tanda-tanda awal kern ikterus bisa dipantau
Intervensi :
a. Observasi tanda-tanda awal Kern Ikterus ( mata berputar, letargi ,
epistotonus, dll)
b. Kolaborasi dengan dokter bila ada tanda-tanda kern ikterus.

22
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar
bilirubin >5 mg/dL pada darah, yang sering ditandai oleh adanya ikterus. Pada
bayi baru lahir, hiperbilirubinemia sering terjadi oleh kare-na kemampuan hati
bayi yang masih kurang untuk mengekskresikan bilirubin yang terus diproduksi.
Etiologi hiperbilirubunemia perlu di-deteksi secara pasti, fisiologik atau
non-fisiologik, sebagai dasar pemeriksaan dan tindak lanjut penanganan
neonatus.
Pengobatan hiperbilirubinemia ber-tujuan untuk menurunkan kadar
bilirubin yang tinggi. Pemantauan dan pemeriksaan yang tepat sangat
dibutuhkan untuk menentukan jenis pengobatan yang akan dipergunakan.

3.2 SARAN
Dalam pembuatan makalah ini, penulis menyadari masih banyak
kekurangan. Kritik dan saran yang sangat membangun dari para pembaca sangat
dibutuhkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca dan penulis.

23
DAFTAR PUSTAKA

Stevry Mathindas, Rocky Wilar, Audrey Wahani.(2013). Hiperbilirubinemia Pada


Neonatus

Undus, Maulaya.(2014).Sistem Imun dan Hematologi Hiperbilirubin.Retrieved


fromhttp://maulaya-triwok.blogspot.com/2014/09/makalah-
hiperbilirubin.html?m=1

Wahyuni, Rika Sri.(2016).Kebidanan Makalah Hiperbilirubin.Retrieved from


http://rikasriwahyuni.blogspot.com/2016/07/kebidanan-makalah-
hiperbilirubin.html?m=1

24

Anda mungkin juga menyukai