A. Latar Belakang
Patient safety atau keselamatan pasien merupakan prinsip dasar dari perawatan
kesehatan (WHO). Menurut Sunaryo (2009), patient safety adalah tidak adanya kesalahan
atau bebas dari cedera karena kecelakaan. Patient safety merupakan bagian penting dalam
institusi kesehatan, terutama rumah sakit. Regulasi tentang patient safety di rumah sakit
diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 yang menyatakan, “Rumah
sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien”.
Pentingnya patient safety juga diatur dalam prinsip tata kelola klinis (clinica l
governance). Tujuan dari clinical governance tidak lain adalah untuk memberika n
pelayanan kepada pasien yang berfokus pada keamanan dan keselamatan. Sumber lain juga
menyebutkan bahwa patient safety merupakan salah satu dari empat elemen clinica l
governance yang baik dimana di dalamnya diatur mengenai manajemen risiko dan adverse
event (Connell, 2014).
Meskipun aturan tentang patient patient safety sangat dijunjung di lini kesehatan,
namun implementasinya di lapangan masih belum maksimal. Hal ini bisa dilihat dari masih
maraknya kasus insiden keselamatan pasien yang terjadi di Indonesia. Menurut Data
Kemenkes (2015), di Indonesia terdapat Kejadian Nyaris Cedera (KNC) sebanyak 197
kasus, Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) 330 kasus dan Kejadian Tidak Cedera (KTC)
205 kasus. Dari kejadian insiden tersebut yang mengakibatkan kematian sebanyak 29
kasus, cedera berat 9 kasus, cedera sedang 104 kasus, cedera 2 ringan 132 kasus dan tidak
cedera 458 kasus.
Pelaporan insiden keselamatan pasien (IKP) merupakan salah satu langkah dan syarat
untuk membangun budaya keselamatan pasien (Depkes RI, 2006). Ketentuan mengena i
pelaporan IKP sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah
Sakit yang menyatakan bahwa rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien
yang dilaksanakan melalui pelaporan insiden, menganalisa, dan menetapkan pemecahan
masalah dalam rangka menurunkan angka kejadian yang tidak diharapkan. Pelaporan IKP
dibuat secara anonim dan ditujukan untuk mengoreksi sistem dalam rangka meningka tka n
keselamatan pasien.
Pelaporan IKP memerlukan keterlibatan dan komitmen yang tinggi dari organisasi dan
individu pemberi pelayanan kesehatan (Gunawan.dkk, 2015). Akan tetapi, pelaporan IKP
oleh organisasi dan individu pemberi pelayanan kesehatan cenderung rendah. Penelitia n
oleh Kingston et al (2014) menemukan bahwa 76%-82% insiden keselamatan pasien tidak
dilaporkan. Sementara itu di Indonesia sendiri, pada rentang waktu 2006-2011 KPRS
melaporkan terdapat 877 kejadian keselamatan pasien. Data ini masih jauh dibandingka n
dengan negara lain yaitu Malaysia yang melaporkan angka insiden keselamatan pasien pada
tahun 2013 sebanyak 2.769 dan Inggris yang melaporkan sebanyak 1.879.822 kejadian
pada tahun 2017 (RSUDZA, 2017). Data ini menunjukkan bahwa angka pelaporan IKP,
terutama di Indonesia, masih terbilang rendah.
Rasa takut juga merupakan faktor yang mempengaruhi pelaporan IKP. Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Gunawan, dkk (2015), ditemukan bahwa ketakutan petugas
untuk melaporkan IKP merupakan akar masalah utama yang menyebabkan kurangnya
pemahaman petugas untuk melaporkan IKP dan berdampak pada rendahnya laporan.
Ketakutan itu sendiri didasari oleh konsekuensi negatif yang akan diterima dari
pimpinannya.
Berdasarkan studi literatur telah didapatkan dua faktor utama yang menyebabkan
minimnya pelaporan IKP yakni kurangnya pemahaman tentang pelaporan insiden
kesalamatan pasien dan rasa takut. Pemahaman akan pelaporan IKP yang kurang dapat
ditingkatkan dengan memberikan pelatihan tentang konsep patient safety, jenis insiden,
cara pengisian format pelaporan insiden internal, dan alur pelaporan bagi tenaga kesehatan
di rumah sakit (Ariyanti, 2008 dalam Suparti, 2013). Pelatihan adalah proses memberika n
bantuan kepada para pekerja untuk menguasai keterampilan khusus, membantu
memperbaiki kekurangannya dalam melaksanakan pekerjaan (Notoatmodjo, 2003).
Pelatihan yang diberikan kepada tenaga kesehatan dapat berupa seminar atau workshop
dengan demonstrasi.
Rasa takut yang dimiliki oleh tenaga kesehatan dalam melaporkan IKP didasari atas
konsekuensi negatif yang mungkin akan diterima dari pimpinan. Oleh karena itu,
dibutuhkan sistem pelaporan IKP yang memungkinkan para tenaga kesehatan untuk
melapor secara anonim dan sukarela tanpa takut untuk dihukum atau dihakimi. Berdasarkan
studi dari beberapa literatur bentuk sistem pelaporan yang sesuai dengan kondisi tersebut
adalah sistem pelaporan berbasis web. Aplikasi berbasis web dianggap lebih bersahabat
dalam permasalahan yang sensitif seperti pelaporan tentang adanya kesalahan atau insiden,
akses mudah untuk pelaporan, waktu entri data lebih pendek, mudah dibaca, dan informa s i
langsung diketahui oleh orang-orang yang bertanggung jawab, serta bisa diakses di
manapun, baik di kantor, rumah, jalan, dari komputer kantor, maupun laptop pribadi
(Zahro, 2016).
E. Kesimpulan
Pelaporan insiden keselamatan pasien (IKP) merupakan salah satu langkah dan syarat
untuk membangun budaya keselamatan pasien. Pelaporan IKP memerlukan keterlibata n
dan komitmen yang tinggi dari organisasi dan individu pemberi pelayanan kesehatan. Akan
tetapi, data pelaporan IKP di lapangan masih rendah.