Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN KASUS

SINDROM STEVEN JOHNSON

Pembimbing :
dr. Dyni Ayu Lestari
dr. Mardiana

Disusun Oleh :
dr. Katrina Suryanita Simanjuntak

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


TELUK KUANTAN
KUANTAN SINGINGI
2017-2018
LAPORAN KASUS

STEVEN JOHNSON SYNDROME (SJS)

I. IDENTITAS

Nama : Tn. S

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 16 tahun

Alamat : Baserah

Pekerjaan : Pelajar

Tanggal Masuk RS : 14 September 2017

I. ANAMNESIS (Alloanamnesis dengan bapak pasien)

Keluhan Utama : Kulit Melepuh

Riwayat Penyakit Sekarang

6HRSMRS : pasien mengeluh demam . batuk (-), plek (-)

5HRSMRS : pasien berobat ke bidan pagi hari. Diberi obat 3 macam (ket obat :
Amoxicillin, CTM, As. Mefenamat. sore hari muncul ruam-ruam di seluruh tubuh. Saat
mulai timbul ruam obat masih diminum oleh pasien.

4HRSMRS : Keluhan memberat, terutama di seluruh tubuh. Beberapa bagian tubuh


mulai timbul bintil-bintil berisi cairan. Nyeri (+), tubuh melepuh di beberapa bagian.
Bibir mulai pecah-pecah. Pasien juga mengeluh Mual (+), muntah (+)
Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat penyakit dengan gejala serupa (-)

Riwayat alergi (makanan/obat-obatan) : tidak ada

Ket Lain : Pasien merupakan penderita Retardasi mental

Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat keluarga sakit serupa (-)

II. PEMERIKSAAN FISIK

- Papula eritemasosa dan vesikel generalisata


- Krusta hiperpigmentasi di labium oris, juga terdapat erosi
- Terdapat konjuctivitis

III. DIAGNOSIS BANDING

- Steven Johnson syndrome


- Toxic Epidermal Nekrolisis

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Kimia Darah

Nilai Nilai Normal


Gula Darah 73,8 100-200 mg/dL
Sewaktu
SGOT 29,3 <38 U/L
SGPT 30,5 <42 U/L
Ureum 41,6 10-50 mg/dL
Kreatinin 0,73 0,60-1,20 mg/dL
Pemeriksaan darah Rutin :

Parameter Nilai Satuan Nilai normal

WBC 8.33 [10^3/ul] M:4.8-10.8 F:4.8-


10.8

RBC 5.30 [10^3/ul] M:4.7-6.1 F:4.2-5.4

HGB 15.8 [g/dl] M:14-18 F:12-16

HCT 46.3 [%] M:42-52 F:37-47

MCV 87.4 [fL] 79.0-99.0

MCH 29.8 [pg] 27.0-31.0

MCHC 34.1 [g/dL] 33.0-37.0

PLT 221 [10^3/ul] 150-450

RDW-CV 12.9 [%] 11.5-14.5

RDW-SD 40.7 [fL] 35-47

PDW 12.9 [fL] 9.0-13.0

MPV 10.6 [fL] 7.2-11.1

P-LCR 29.5 [%] 5.0-25.0

DIFFERENTIAL Nilai Satuan Nilai normal

EO# 0.37 [10^3/ul] 0.045 - 0.44

BASO# 0.00 [10^3/ul] 0 - 0.2

NEUT# 6.26 [10^3/ul] 1.8 - 8

LYMPH# 1.02 [10^3/ul] 0.9 – 5.2

MONO# 0.68 [10^3/ul] 0.16 – 1

EO% 4.4 [%] 2-4

BASO% 0.0 [%] 0–1


NEUT% 75.2 + [%] 50 - 70

LYMPH% 12.2 [%] 25 – 40

MONO% 8.2 [%] 2–8

V. DIAGNOSIS

Steven Johnson Syndrom

VI. TERAPI

 Pengaturan keseimbangan cairan


 Mengontrol temperature lingkungan (sekitar 28-30 derajat celcius)
 Keseimbangan nutrisi, terutama terhadap penderita dengan lesi di mulut yang sukar
menelan. NGT bisa diberikan
 Untuk menurunkan resiko infeksi, teksik aseptic yang baik harus diperhatikan.
 Kortikosteroid bisa dipertimbangkan pada fase akut SJS
 Bibir : Kompres dengan NaCl

VII. SARAN

Hentikan obat penyebab alergi

VII. PEMBAHASAN

DEFINISI

Steven Johnson sindrom merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lemdir di
orifisium, dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat ;
kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura. Pertama kali
dideskrpsikan tahun 1922, SJS merupakan kompleks imun yang memediasi proses
hipersentitifitas , bisa dikatakan SJS merupakan menifestasi parah dari eritema
multiforme. Banyak penelitian meempertimbangakan bahwa steven Johnson sindrom
dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN) adalah sebuah penyakit yang sama hanya
berbeda manifestasi, daripada itu, banyak yang Penyebutan SJS-TEN(. Pada SJS,
pelepasan epidermal terjadi kurang dari 10% total area tubuh. Pada transisional SJS-
TEN , pelepasan epidermis tubuh terjadi antara 10-30% dari total area tubuh. Pada TEN
, Pelepasan epidermis terdali pada lebih dari 30% dari total area tubuh.

PATOFISIOLOGI

Penyakit ini merupakan suatu proses hipersensitivitas yang dapat disebabkan oleh
berbagai hal, misalnya obat-obatan, infeksi virus, ataupun keganasan (misalnya
kegansan hematologi). Penggunaan kokain akhir2 ini mulai dimasukkan sebagai salah
satu penyebab terjadinya SJS. Sasaran utama SJS dan NET adalah pada kulit berupa
dekstruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktifitass sel T, termasuk CD4 dan
CD8. IL-5 juga meningkat. , juga sitokin-sitokin yang lain. CD4 terutama terdapat
dalam dermis, sedangkan CD8 pada epidermis.

Faktor resiko yang bisa memperberat SJS antara lain : penyakit HIV atau autoimun
yang lain (missal SLE).

INSIDENSI

Pada SJS, rasio penderita pria;wanita 2;1. Angka kematian pada kasus SJS didasarkan
pada luas tidaknya kulit yang terkena. Jika total luas tubuh yang mengelupas kurang
dari 10%, angka kematian berkisar antar 1-5%. Jika total luas tubuh yang
terkena(mengelupas) lebih dari 30%, angka kematian akan menjadi sekitar 25-35%. ,
mungkin bisa bertambah menjadi diatas 50% jika bakteremia/sepsis ikut menyerang.

Lesi pada kulit akan berkembang menjadi erosi dalam 2-3 minggu. Lesi pada membrane
mukosa mungkin akan berkembang membentuk skar dan menggangu fungsi organ yang
terkena. Striktur esophagus mungkin dapat muncul jika terdapat perluasan lesi ke
esophagus. Gejala sisa yang dapat terjadi pada mata antara lain ulserasi kornea dan
uveitis anterior. Kebutaan dapat terjadi sebagai efek sekunder dari keratitis berat atau
panophthalmitis pada 3-10% pasien.
ETIOLOGI

 Obat-obatan dan proses keganasan merupakan penyebab yang paling sering


dilaporkan terjadi pada orang dewasa dan geriatric
 Pada kasus SJS anak-anak, lebih sering penyebab dikarenakan infeksi

Kategori etiologi Steven Johnson syndrome

Infeksi Infeksi bakteri Fungal Infeksi Obat-obatan Lain-lain


virus protozoa
Herpes Streptococcus Coccidiodomycosis Malaria Antibiotic Keganasan (
virus Diphtheria Dermatophytosis Trichomoniasis (penisilin,sulfa) misalnya
HIV Brucellosis Histoplasmosis Antikonvulsan kegansan
Influenza Mycobacteria (phenitoin, hematologi)
Hepatitis Mycoplasma CBZ)
Mumps pneumonia Digitalis
Rickettsia Typhoid Analgetik
Variola Antipiretik
Epstein-
Barr

MANIFESTASI KLINIS

Biasanya, proses penyakit dimulai dengan infeksi saluran pernapasan atas yang tidak
spesifik. Hal ini merupakan bagian dari gejala prodormal yang biasanya berlangsung
selama 1-14 hari . Selain itu dapat ditemukan juga gejala lain seperti: demam, sakit
tenggorokan, menggigil, sakit kepala, dan malaise. Dalam sedikit kasus dapat juga
ditemukan mual dan muntah.

Lesi pada kulit muncul dengan tiba-tiba. Kulit akan mengalami keadaan melepuh
selama 2-4 minggu, lesi yang terjadi biasanya non pruritik. Demam dilaporkan terjadi
pada sekitar 85% kasus.

Lesi yang terjadi pada bibir bisa terjadi sangat parah sehingga pasien sampai kesulitan
untuk makan.

Pasien dengan keterlibatan system genourinari bisa mengeluhkan disuria atau kesulitan
dalam mengosongkan kandung kemih.
KELUHAN FISIK

 Ruam dapat mulai sebagai macula yang berkembang menjadi papul, vesikel,
bula, plak, urtikaria, atau eritma konfluen
 Lesi khas memiliki penampilan target.target dianggap patogmonic. Berbeda
dengan lesi pada eritema multiforme, lesi pada eritema multiforme hanya
memiliki dua zona warna. Inti mungkin vesikuler, purpura, ataupun nekrotik.
Zona tersebut dikelilingi oleh eritema macular. Beberapa menyebutnya target
lesi
 Lesi dapat pecah dan meninggalkan kulit yang terbuka. Kulit ini rentan terhadap
infeksi sekunder
 Lesi urtikarial biasanya tidak gatal
 Infeksi mungkin bertanggung jawab atas bekas luka yang berhubungan dengan
morbiditas
 Meskipun lesi dapat terjadi di mana saja, akan tetapi bagian telapak tangan,
punggung tangan, dan permukaan ekstensor paling banyak dialporkan terjadi
 Keterlibatan mukosa termasuk adanya eritema, edema, ulserasi, dan nekrosis

Tanda-tanda berikut mungkin dicatat pada pemeriksaan:

 Demam
 Orthostasis
 Tachycardia
 Hipotensi
 Perubahan tingkat kesadaran
 Epistaksis
 Konjungtivitis
 Ulserasi kornea
 Erosif vulvovaginitis atau balanitis
 Kejang, koma

DIAGNOSIS BANDING

 Burns
 Eritema multiforme
 Toxic Epidermal nekrolisis
 Stafilococcal Scalded skin syndrome
 Toxic shock syndrome

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak ada pemeriksaan laboratorium khusus ( keculai biopsy) yang dapat menegakkan
diagnosis SJS.

 HItung darah lengkap dapat menunjukkan keadaan leusitosis yang non spesifik.
Hitung jenis leukosis yang sangat tinggi dapat menunjukkan adanya infeksi
bakteri.
 Kulit dan kultur darah telah dianjurkan karena kejadian serius infeksi aliran
darah oleh bakteri dan sepsis berkontribusi terhadap morbiditas dan kematian.
 Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi urin untuk darah
 Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi secara klinis dicurigai.
 Biopsi kulit merupakan alat diagnosis pasti terhadap SJS tapi bukan merupakan
prosedur emergency

TREATMENT

Prinsip penatalaksanaan pasien SJS sebelum rumah sakit sama dengan penatalaksanaan
pasien luka bakar, dengan pencegahan infeksi. Penatalaksanaan pasien SJS pada
instalasi gawat darurat meliputi menegakkan diagnosis dan pemberian penatalaksanaan
awal yang terfokus pada ABC, perawatan lesi, dan penanganan nyeri. penatalaksanaan
awal bersifat suportif dan simtomatik, antara lain mengatasi lesi kulit seperti luka bakar,
mukosa oral diberi kumur cuci mulut, kulit mengelupas dikompres dengan salin. Serta
anestesi topikal untuk mengurangi nyeri. Selain itu, agen pencetus atau dicurigai
pencetus sesegera mungkin dihentikan.

Penatalaksaan pasien steven Johnson syndrome dan TEN

 Pengaturan keseimbangan cairan


 Mengontrol temperature lingkungan (sekitar 28-30 derajat celcius)
 Keseimbangan nutrisi, terutama terhadap penderita dengan lesi di mulut yang sukar
menelan. NGT bisa diberikan
 Untuk menurunkan resiko infeksi, teksik aseptic yang baik harus diperhatikan.
 Kortikosteroid : Penggunaan kortikosteroid sistemik sampai saat ini masih menjadi
kontroversi. Pada beberapa penelitian, penggunaan kortikosteroid pada fase akut
SJS dapat mencegah perburukan penyakit. Penelitian yang lain menyebutkan bahwa
pemberian kortikosteroid tidak menghentikan perjalanan penyakit tetapi justru bisa
meningkatkan angka mortalitas, biasanya karena sepsis.
 Antibiotic tidak mutlak harus digunakan. Antibiotic bisa diberikan untuk pasien
ketika dicurugai adanya infeksi.

Salah satu penelitian menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid pada fase akut
dapat memberikan hasil yang baik pada kasus SJS. Dosis yang digunakan :

Prednison 60mg selama 4 hari. Setelah itu diturunkan menjadi 40mg/hari. Setelah
satu minggu dosis diturunkan kembali menjadi 20mg/hari. Satu minggu kemudian
dosis diturunkan kembali menjadi 10mg/hari. Dosis ini dipertahankan selama satu
minggu kemudian pengobatan di stop.

SJS merupakan penyakit sistemik bermanifestasi bukan hanya pada kulit, melainkan
juga pada mukosa dan mata untuk itu, kasus SJS perlu di konsultasikan pada berbagai
disiplin ilmu seperti spesialis kulit kelamin untuk perawatan, spesialis gigi dan mulut,
spesialis telinga hidung tenggorok, spesialis penyakit dalam, spesialis mata, dan jika
perlu, spesialis bedah plastic.

Intravena Immunoglobulin

Salah satu teori menyatakan bahwa apoptosis melibatkan interaksi antara reseptor
permukaan sel (seperti Fas) dengan ligand untuk membentuk Fas ligand( FasL). Secara
in vitro, kematian dari sel target dihalangi oleh antibodi yang memblok FasL dan juga
dihalangi oleh antibodi yang ada pada immunoglobulin intravena manusia. Intinya,
obat-obat tertentu dapat mengaktivasi produksi ligand apoptotik yang berasal dari
keratinosit, dikenal sebagai CD95 (fas) ligand. Ligand ini dapat berikatan dengan
reseptor apoptotik CD 95 (fas) yang berada di permukaan keratinosit. Hal ini dapat
menyebabkan kematian sel yang terprogram. IVIG dibuktikan memiliki kemampuan
memblok ligand apoptotik dari berikatan dengan reseptor ini. Hal ini mencegah
apoptosis dari keratinosit dan pengelupasan epidermis. Penelitian yang dilakukan pada
pasein dewasa dan pasien anak-anak menunjukkan hasil yang baik dengan pemberian
IVIG. Akan tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan untuk lebih mengetahui dosis
optimal IVIG yang diperlukan serta kemanan dan kemanjuran agen ini jika digunakan
pada penyakit SJS dan TEN.

KOMPLIKASI

• Mata : ulserasi kornea, uveitis anterior, panophtalmitis, kebutaan


• Gastroenterology : striktur esophagus
• Genitourinary : Renal tubular nekrosis, gagal ginjal
• Kulit : pembentukan skar, infeksi sekunder

PROGNOSIS

• Lesi pada pasien akan mebaik kira-kira 1-2 minggu, kecuali jika terdapat
sekunder infeksi. Sebagian besar pasien membaik tanap sekuele.
• Lebih dari 15% pasien SJS meninggal. Bakteremia dan sepsis menjadi pemicu
utama tingginya mortalitas

KESIMPULAN

Steven Johnson syndrome merupakan suatu penyakit yang didasari oleh reaksi
hipersensitivitas dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat.
Penyebab terbanyak dari penyakit ini adalah obat-obatan, selain itu masih ada penyebab
lainnya misalnya infeksi, maupun keganasan. Manifestasi dari SJS timbul di kulit,
selaput lendir, dan mata tanpa ada pemeriksaan penunjang yang spesifik kecuali biopsy
kulit. Penatalaksaan SJS termasuk diantaranya Pengaturan keseimbangan cairan,
pengontrolan temperature lingkungan, pengaturan asupan nutrisi yang baik, dan
kortikosteroid pada fase akut SJS. Dengan penanganan yang baik, SJS bisa sembuh
tanpa meninggalkan sequel.
DAFTAR PUSTAKA

1. Parrillo, Steven j. 2010. StEven Johnson Syndrome in Emergency medicine. E-


Medicine. URL : http://www.emedicine.medscape.com/article/756523-overview

2. Roujeau, Jean-Claude, Kelly., Judith P., Naldi, L., Rzany, B., Stern, R., Anderson, T., et
al. (1995). Medication use and the risk of steven-Johnson syndrome or toxic epidermal
necrolysis. The New England Journal of Medicine. 1995,1600-7

3. Ghislain, Pierre-Dominique.,(2002). Treatment of svere drug reaction: Steven Johnson


Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis and Hypersensitivity syndrome. Dermatology
online journal. , Vol 8 (1):5

4. Metry, Denise w., Jung, Peter., Levy, Moise L. (2002). Use of Intravenous
Immunoglobulin in Children With Steven-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal
Necrolysis: Seven case and review of the Literature. Official journal of the American
Academy of Pediatric. 112, 1430-1436

5. Davis, Mark D., Rogers, Roy S., Pittelkow, Mark R. (2002). Recurrent Erythema
Multiforme/Stevens-Johnson Syndrome. Arch Dermatol vol.138

6. Allanore, Valeyrie., Roujeau, Jean-Claude. (2002). Epidermal Necrolysis (steven


Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. In Wolff,Klaus.,Goldsmith,Lowell
A.,Katz,Stephen I., Gilchrest,Barbara A., Paller, amy S., Leffell,David J.Fitzpatrick’s
Dermatology in general medicine (7th ed.)

Anda mungkin juga menyukai