Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

PATOFISIOLOGI DAN PENATALAKSANAAN

SEPSIS

DISUSUN OLEH:

AULIYA SAUMA (1102014050)

DIAH AYU KUSUMA WARDANI (1102014072)

PEMBIMBING:

Dr. SULISTIANA, SpPD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

RSUD ARJAWINANGUN

2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang


masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan
kerusakan jaringan di sebut penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas
sehingga timbulah reaksi inflamasi. Meskipun dasar proses inflamasi sama, namun
intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas jejas dan reaksi tubuh. Inflamasi akut
dapat terbatas pada tempat jejas saja atau dapat meluas serta menyebabkan tanda dan
gejala sistemik.
Inflamasi ialah reaksi jaringan vaskuler terhadap semua bentuk jejas. Pada
dasarnya inflamasi adalah suatu reaksi pembuluh darah, syaraf, cairan dan sel tubuh di
tempat jejas. Inflamasi akut merupakan respon langsung yang dini terhadap agen
penyebab jejas dan kejadian yang berhubungan dengan inflamasi akut sebagian besar
dimungkinkan oleh produksi dan pelepasan berbagai macam mediator kimia. Meskipun
jenis jaringan yang mengalami inflamasi berbeda, mediator yang dilepaskan adalah
sama.
Manifestasi klinik yang berupa inflamasi sistemik disebut sistemic inflammation
respons syndrome (SIRS). Sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa sepsis
adalah SIRS dengan dugaan infeksi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Definisi untuk sepsis dan gagal organ serta petunjuk penggunaan terapi inovatif pada
sepsis berdasarkan Bone et al.
Systemic Inflammatory Response Syndrome adalah pasien yang memiliki dua atau
lebih kriteria sebagai berikut:
1 3 C atau 3 C.
2. Denyut jantung > 90 denyut/menit.
3. Respirasi >20/ menit atau PaC < 32 mmHg.
4. Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau > 10% sel imatur (band).
Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (ditentukan dengan
biakan positip terhadap organisme dari tempat tersebut). Biakan darah tidak harus
positip. Meskipun SIRS, sepsis dan syok septik biasanya berhubungan dengan infeksi
bakteri, tidak harus terdapat bakteriemia. Bakteriemia adalah keberadaan bakteri hidup
dalam komponen cairan darah. Bakteriemia bersifat sepintas, seperti biasanya dijumpai
setelah jejas pada permukaan mukosa, primer (tanpa fokus infeksi teridentifikasi) atau
seringkali sekunder terhadap fokus infeksi intravaskuler atau ekstravaskular.
Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan
hipoperfusi, atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi ( tetapi tidak terbatas ) pada:
l. Asidosis laktat.
2. Oliguria.
3. Atau perubahan akut pada status mental.
Sepsis dengan hipotensi adalah sepsis dengan tekanan sistolik <90mmHg atau
penurunan tekanan sistolik >40mmHg.
Syok septik adalah subset dari sepsis berat yang didefinisikan sebagai hipotensi
yang diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan disertai
hipoperfusi jaringan.
Berdasarkan konferensi internasional pada tahun 2001, terdapat tambahan
terhadap kriteria sebelumnya. Dimana pada konferensi tahun 2001 menambahkan
beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis. Bagian yang terpenting adalah dengan
memasukkan petanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein
(CRP), sebagai langkah awal dalam diagnosa sepsis. Rekomendasi yang utama adalah

implementasi dari suatu sistem tingkatan Predisposition, insult Infection, Response, and
Organ disfunction (PIRO) untuk menentukan pengobatan secara maksimum
berdasarkan karakteristik pasien dengan stratifikasi gejala dan resiko yang individual.

2.2 ETIOLOGI SEPSIS


Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan prosentase 60
sampai 70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi sel imun.
Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan
penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin
glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri gram
negatif. LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita yang
terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam tubuh
penderita. Staphylococci, Pneumococci, Streptococci dan bakteri gram positip lainnya
jarang menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian 20 sampai 40% dari keseluruhan
kasus. Selain itu jamur oportunistik, virus (Dengue dan Herpes) atau protozoa
(Falciparum malariae) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis, walaupun jarang.
Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel dari semua kuman, pemberian
infus substansi ini pada binatang akan memberikan gejala mirip pemberian endotoksin.
Peptidoglikan diketahui dapat menyebabkan agregasi trombosit.
Eksotoksin yang dihasilkan oleh berbagai macam kuman, misahya a-hemolisin (S.
Aurens), E. Coli haemolisin (E. Coli) dapat merusak integritas membran sel imun secara
langsung.
Dari semua faktor diatas, faktor yang paling penting adalah LPS endotoksin gram
negatip dan dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak. LPS dapat langsung
mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan
perkembangan gejala septikemia. LPS sendiri tidak mempunyai sifat toksik, tetapi
merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis.
Makrofag mengeluarkan polipeptida, yang disebut faktor nekrosis tumor (Tumor
necrosis factor/TNF) dan interleukin 1 (IL-l), IL-6 dan IL-8 yang merupakan mediator
kunci dan sering meningkat sangat tinggi pada penderita immunocompromise (IC) yang
mengalami sepsis.
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi
yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih, perut, dan
panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:

1) Infeksi paru-paru (pneumonia) 


2) Flu (influenza) 


3) Appendiksitis

4) Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis) 


5) Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus 
 urinarius) 


6) Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus 
 atau kateter telah
dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit 


7) Infeksi pasca operasi 



8) Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis. 


Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat terdeteksi.

2.3 PATOGENESIS
Sebagian besar penderita sepsis menunjukkan fokus infeksi jaringan sebagai sumber
bakteriemia, hal ini disebut sebagai bakteriaemia sekunder. Sepsis gram negatip
merupakan komensal normal dalam saluran gastrointestinal, yang kemudian menyebar
ke struktur yang berdekatan, seperti pada peritonitis setelah perforasi apendikal, atau
bisa berpindah dari perineum ke urethra atau kandung kemih. Selain itu sepsis gram
negatif fokus primemya dapat berasal dari saluran genitourinarium, saluran empedu dan
saluran gastrointestinum. Sepsis gram positip biasanya timbul dari infeksi kulit, saluran
respirasi dan juga bisa berasal dari luka terbuka, misalnya pada luka bakar.
Inflamasi sebagai tanggapan imunitas tubuh terhadap berbagai macam stimulasi
imunogen dari luar. Inflamasi sesungguhnya merupakan upaya tubuh untuk
menghilangkan dan eradikasi organisme penyebab. Berbagai jenis sel akan teraktivasi
dan memproduksi berbagai jenis mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin.
Mediator inflamasi sangat komplek karena melibatkan banyak sel dan mediator yang
dapat mempengaruhi satu sama lain.
Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis. Masih banyak
faktor lain (non sitokin) yang sangat berperanan dalam menentukan perjalanan suatu
penyakit. Respon tubuh terhadap suatu patogen melibatkan bermacam-macam
komponen sistem imun dan berbagai macam sitokin baik itu yang bersifat proinflamasi
dan antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah TNF, IL-1, Interferon (IFN-y)
yang bekerja rnembantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi.
Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1 reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4,
IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang
berlebihan. Apabila keseimbangan kerja artara pro-inflamasi dan anti-inflamasi
mediator ini tidak tercapai dengan sempurna maka dapat memberikan kerugian bagi
tubuh.
Penyebab sepsis dan syok septik yang paling banyak berasal dari stimulasi toksin,
baik dari endotoksin gram (-) maupun eksotoksin gram (+). Endotoksin dapat secara
langsung dengan LPS dan bersama-sama dengan antibodi dalam serum darah penderita
membentukk LPSab (Lipo Poli Sakarida Antibodi). LPSab yang berada dalam darah
penderita akan bereaksi dengan makrofag melalui TLRs4 (Toll Like Receptors 4)
sebagai reseptor transmembran dengan perantaraan reseptor CD 14+ dan makrofag
mengekspresikan imuno modulator, hal ini hanya dapat terjadi pada bakteri gram
negatip yang mempunyai LPS dalam dindingnya.
Pada bakteri gram positif eksotoksin dapat merangsang langsung terhadap makrofag
dengan melalui TLRs2 (Toll Like Receptors 2) tetapi ada juga eksotoksin sebagai
superantigen.
Padahal sepsis dapat terjadi pada rangasangan endotoksin, eksotoksin, virus dan
parasit, maka mekanisme tersebut diatas masih kurang lengkap dan tidak dapat
menerangkan patogenesis sepsis dalam arti keseluruhan, oleh karena konsep tersebut
tidak melibatkan peran limfosit T dalam keadaan sepsis dan kejadian syok septik.
Di Indonesia dan negara berkembang sepsis tidak hanya disebabkan oleh gram
negatip saja, tetapi juga disebabkan oleh gram positip yang mengeluarkan eksotoksin.
Eksotoksin, virus, dan parasit yang dapat berperan sebagai superantigen setelah di
fagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Processing Cell dan
kemudian ditampilkan dalam Antigen Presenting Cell (APC). Antigen ini membawa
muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Major Histocom- patibility Complex
(MHC). Antigen yang bermuatan peptida MCH kelas II akan berikatan dengan CD4-
(limfosit Th 1 dan Th2) dengan p eraltaraal TCR (T Cell Receptor).
Sebagai usaha tubuh untuk beraksi terhadap sepsis maka limfosit T akan
mengeluarkan substansi dari Thl yang berfungsi sebagai imuno modulator yaitu : IFN-y,
IL-2 dan M-CSF (Macophage coIony stimulating factor). Limfosit Th2 akan
mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. IFN-y merangsang makrofag

mengeluarkan IL-lb dan TNF-α IFN-ᵞ, IL-1β dan TNF-α merupakan sitokin

proinflamatori, sehingga pada keadaan sepsis terjadi peningkatan kadar IL-1β dan TNF-
α serum penderita. Pada beberapa kajian biasanya selama terjadi sepsis tingkat IL- 1β
dan TNF-α berkolerasi dengan keparahan penyakit dalam kematian, tetapi ternyata
sitokin IL-2 dan TNF-α selain merupakan reaksi terhadap sepsis dapat pula merusakkan
endotel pembuluh darah yang mekanismenya sampai dengan saat ini belum jelas. IL-1β
sebagai imuno regulator utama juga mempunyai efek pada sel endotelial termasuk di
dalamnya pembentukan prostaglandin E2 (PG ) dan merangsang ekspresi intercellular
adhesion molecule-l (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang
telah tersensitasi oleh granulocyte-macrophage coIony stimulating factor (GM-CSF)
akan mudah mengadakan adhesi. Interaksi endotel dengan neutrofil terdiri dari tiga
langkah, yaitu :
1. Bergulirnya neutrofil, P dan E-selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan L-selektin
neutrofil dalam mengikat ligan respektif.
2. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang mengikat
intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil pada endotel dengan molekul
adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel.
3. Transmigrasi netrofil menembus dinding endotel.
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan megeluarkan lisosim yang akan
menyebabkan dinding endotel lisis, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga membawa
superoksidan yang termasuk dalam radikal bebas yang akan mempengaruhi oksigenasi
pada mitokondria dan siklus GMPs. Akibat dari proses tersebut endotel menjadi
nekrosis, sehingga terjadi kerusakan endotel pembuluh darah. Ternyata kerusakan
endotel pembuluh darah tersebut akan menyebabkan terjadinya gangguan vaskuler
(Vascular leak) sehingga menyebabkan kerusakan organ multipel sesuai dengan
pendapat Bone bahwa kelainan organ multipel tidak disebabkan oleh infeksi tetapi
akibat inflamasi yang sistemik dengan sitokin sebagai mediator. Pendapat tersebut
diperkuat oleh Cohen bahwa kelainan organ multipel disebabkan karena trombosis dan
koagulasi dalam pembuluh darah kecil sehingga terjadi syok septik yang berakhir
dengan kematian.
Syok septik merupakan diagnosis klinik sesuai dengan sindroma sepsis disertai
dengan hipotensi (tekanan darah turun < 90 mmHg) atau terjadi penumnan tekanan
darah sistolik > 40 mmHg dari tekanan darah sebelumnya. Organ yang paling penting
adalah hati, paru dan ginjal, angka kematian sangat tinggi bila terjadi kerusakan lebih
dari tiga organ tersebut. Dalam suatu penelitian disebutkan angka kematian syok septik
adalah 72% dan 50% penderita meninggal bila terjadi syok lebih dari 72 jam, 30% -
80% penderita dengan syok septik menderita ARDS.
Menurut Dale DC, bahwa pada penderita diabetes melitus, sirosis hati, gagal
ginjal kronik dan usia lanjut yang merupakan kelompok IC lebih mudah menderita
sepsis. Pada penderita IC bila mengalami sepsis sering terjadi komplikasi yang berat
yaitu syok septik dan berakhir dengan kematian. Untuk mencegah terjadinya sepsis
yang berkelanjutan, Th-2 mengekspresikan IL-10 sebagai sitokin anti inflamasi yang
akan menghambat ekspresi IFN-y, TNF-α dan fungsi APC. IL-10 juga memperbaiki
jaringan yang rusak akibat paradangan. Apabila IL-10 meningkat lebih tinggi,
kemungkinan kejadian syok septik pada sepsis dapat dicegah.
Dengan mengetahui konsep patogenesis sepsis dan syok septik, maka kita dapat
mengetahui, sitokin yang berperan dalam syok septik dan dapat diketahui apakah
terdapat perbedaan peran sitokin pada beberapa penyakit dasar yang berbeda.

2.4 GEJALA KLINIK


Gejala klinik sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda-tanda
sepsis non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah,
malaise, gelisah atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat
dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat infeksi yang
paling sering : paru, traktur digestifus, traktus urinaris, kulit, jaringan lunak dan saraf
pusat. Sumber infeksi merupakan diterminan penting untuk terjadinya berat dan
tidaknya gejala-gejala sepsis. Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih berat pada
penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan
granulosiopenia. Yang sering diikuti gejala MODS sampai dengan terjadinya syok
sepsis.
Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi :
 sindroma distress pemafasan pada dewasa,
 koagulasi intravaskular,
 gagal ginjal akut,
 perdarahan usus,
 gagal hati,
 disfungsi sistem saraf pusat ,
 gagal jantung.
 kematian
2.5 DIAGNOSIS

Diagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi, pengambilan riwayat medis


yang cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut status
hemodinamik.

Riwayat
Membantu menentukan apakah infeksi didapatkan dari komunitas atau nosokomial dan
apakah pasien imunokompromis. Rincian yang harus diketahui meliputi paparan pada
hewan, perjalanan, gigitan tungau, bahaya di tempat kerja, penggunaan alkohol, seizure,
hilang kesadaran, medikasi dan penyakit dasar yang mengarahkan pasien kepada agen
infeksius tertentu. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:
1. Demam atau tanda yang tak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi.
2. Hipotensi, Oliguria, atau anuria
3. Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab jelas
4. Perdarahan

PEMERIKSAAN FISIK
Perlu dilakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada semua pasien neutropenia
dan pasien dengan dugaan infeksi pelvis, pemeriksaan fisik harus meliputi pemeriksaan
rektum, pelvis, dan genital. Pemeriksaan tersebut akan mengungkap abses rektal,
perirektal, dan/atat perineal, penyakit dan/atau abses inflamasi pelvis, prostatitis.

Data laboratorium
Uji laboratorium meliputi Complete blood count (CBC) dengan hitung diferensial,
urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji
fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan ronsen dada.
Biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan. Lakukan
Gram stain di tempat yang biasanya steril (darah, CSF, cairan artikular, ruang pleura)
dengan aspirasi. Minimal 2 set (ada yang menganggap 3) biakan darah harus diperoleh
dalam periode 24 jam. Volume sampel sering terdapat kurang dari 1 bakterium/ml pada
dewasa (pada anak lebih tinggi). Ambil 10-20 ml per sampling pada dewasa ( 1-5 ml
pada anak) dan inokulasikan dengan trypticase soy broth dan thioglycolate soy broth.
Waktu sampel untuk spike demam intermiten, bakteremia dominan 0,5 jam sebelum
spike. Jlka terapi antibiotik sudah dimulai, beberapa macam antibiotik dapat
dideaktivasi di laboratorium klinis. Tergantung pada status klinis pasien dan resiko
resiko terkait, penelitian dapat juga mengunakan foto ronsen abdomen, CT Scanning,
MRI, ekokardiografi,, dan/atat lumbar puncture.

Temuan laboratorium lain:


Sepsis awal. leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan
proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Neutrofil mengandung granulasi toksik, badan
Dohle, atau vakuola sitoplasma. Hiperventilasi menimbulkan alkalosis respirator.
Hipoksemia dapat dikoreksi dengan oksigen. Penderita diabetes dapat mengalami
hiperglikemia. Lipida serum meningkat.
Selanjutnya. Trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu trombin,
penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Azotemia dan
hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase (enzim liver) meningkat. Bila otot
pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolik (peningkatan gap
anion) terjadi setelah alkalosis respirator. Hipoksemia tidak dapat dikoreksi bahkan
dengan oksigen 100%. Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan ketoasidosis yang
memperburuk hipotensi. Mortalitas meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah
gejala SIRS dan berat proses penyakit.
Tabel 1. Indikator laboratorium untuk sepsis

2.6 KOMPLIKASI

• Sindroma distress pernafasan dewasa ( ARDS, adult respiratory disease syndrome)

• Koagulasi intravaskular diseminata (DIC, disseminated intravaskular coagulation)

• gagal ginjal akut (ARF, acute renal failure)

• Pendarahan usus

• Gagal hati

• Disfungsi sistem saraf pusat


• Gagal jantung

• Kematian
Insidensi komplikasi tersebut yang dilaporkan pada SIRS dan sepsi dalam penelitian
berbeda adalah 19% untuk disfungsi CNS, 2-8% untuk ARDS, 12% untuk gagal hati, 9
-23% untuk ARF, dan 8- 18% untuk DIC. Pada syok septik, ARDS dijumpai pada
sekitar 18%, DIC pada 38%, dan gagal ginjal 50%.

2.7 TERAPI
tiga prioritas utama dalam terapi sepsis, yaitu:
1. Stabilisasi Pasien Langsung
Masalah mendesak yang dihadapi pasien dengan sepsis berat adalah pemulihan
abnormalitas yang membahayakan jiwa (ABC: aitway, breathing, circulation).
Pemberian resusitasi awal sangat penting pada penderita sepsis, dapat diberikan
kristaloid atau koloid untuk mempertahankan stabilitas hemodinamik. Perubahan status
mental atau penurunan tingkat kesadaran akibat sepsis memerlukan perlindungan
langsung terhadap jalan napas pasien. Intubasi diperlukan juga untuk memberikan kadar
oksigen lebih tinggi. Ventilasi mekanis dapat membantu menurunkan konsumsi oksigen
oleh otot pernapasan dan peningkatan ketersediaan oksigen untuk jaringan lain.
Peredaran darah terancam, dan penurunan bermakna pada tekanan darah memerlukan
terapi empirik gabungan yang agresif dengan cairan (ditambah kristaloid atau koloid)
dan inotrop/vasopresor (dopamin, dobutamin, fenilefrin, epinefrin, atau norepinefrin).
Pada sepsis berat diperlukan pemantauan peredaran darah. CVP 8-12 mm Hg; Mean
arterial pressure> 65mmHg; Urine output> 0.5 ml/kg/jam; Central venous (superior
vena cava) oxygen saturation > 70% atau mixed venous > 65%. (Sepsis Campaign,
2008).
Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital pasien
(tekanan darah, denyut jantung, laju napas, dan suhu badan) harus dipantau.
Frekuensinya tergantung pada berat sepsis. Pertahankan curah jantung dan ventilasi
yang memadai dengan obat. Pertimbangkan dialisis untuk membantu fungsi ginjal.
Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien hipotensi dengan obat vasoaktif, misal,
dopamin, dobutamin, atau norepinefrin.
2. Pemberian antibiotik yang adekuat
Agen antimikrobial tertentu dapat memperburuk keadaan pasien. Diyakini
bahwa antimikrobial tertentu menyebabkan pelepasan lebih banyak LPS sehingga
menimbulkan lebih banyak masalah bagi pasien. Antimikrobial yang tidak
menyebabkan pasien memburuk adalah: karbapenem, seftriakson, sefepim,
glikopeptida, aminoglikosida, dan quinolon.
Perlu segera diberikan terapi empirik dengan antimikrobial, artinya bahwa
diberikan antibiotika sebelum hasil kultur dan sensivitas tes terhadap kuman didapatkan.
Pemberian antimikrobial secara dini diketahui menurunkan perkembangan syok dan
angka mortalitas. Setelah hasil kultur dan sensivitas didapatkan maka terapi empirik
dirubah menjadi terapi rasional sesuai dengan hasil kultur dan sensivitas, pengobatan
tersebut akan mengurangi jumlah antibiotika yang diberikan sebelumnya (dieskalasi).
Diperlukan regimen antimikrobial dengan spektrum aktivitas luas sesuai dengan hasil
kultur. Hal ini karena terapi antimikrobial hampir selalu diberikan sebelum organisme
yang menyebabkan sepsis diidentifikasi.
Obat yang digunakan tergantung sumber sepsis:
1. Untuk pneumonia dapatan komunitas biasanya digunakan 2 regimen obat. Biasanya
sefalosporin generasi ketiga (seftriakson) atau keempat (sefepim) diberikan dengan
aminoglikosida (biasanya gentamisin).
2. Pneumonia nosokomial: Sefipim atau iminem-silastatin dan aminoglikosida
3. Infeksi abdomen: imipenem-silastatin atau pipersilin-tazobaktam dan amino glikosida
4. Infeksi abdomen nosokomial: imipenem-silastatin dan aminoglikosida atau pipersilin-
tazobaktam dan amfoterisinB.
5. Kulit/jaringan lunak: vankomisin dan imipenem-silastatin atau piperasilin
tazobaktam.
6. Kulit/jaringan lunak nosokomial: vankomisin dan sefipim.
7. Infeksi traktus urinaris: siprofloksasin dan aminoglikosida
8. Infeksi traktus urinaris nosokomial: vankomisin dan sefipim
9. Infeksi CNS: vankomisin dan sefalosporin generasi ketiga atau meropenem
10. Infeksi CNS nosokomial: meropenem dan vankomisin
*Obat berubah sejalan dengan waktu. Pilihan obat tersebut hanya untuk menunjukkan
bahwa bahan antimikrobial yang berbeda dipilih tergantung pada penyebab sepsis.
Regimen obat tunggal biasanya hanya diindikasikan bila organisme penyebab
sepsis telah diidentifikasi dan uji sensitivitas antibiotik menunjukkan macam
antimikrobial yang terhadapnya organisme memiliki sensitivitas.
Rekomendasi Surviving Sepsis Campaign terkini adalah untuk memberikan
antibiotika dalam waktu 1 jam setelah terjadi diagnosis sepsis. Strategi antibiotika
spesifik tidak akan dibahas dalam artikel ini dan ulasan mengenai strategi antibiotika
dapat ditemukan disumber lainnya. Meskipun demikian, direkomendasikan untuk
pemberian antibiotika spektrum luas pada awalnya yang disesuaikan dengan sumber
infeksi potensial dan menurut pola sensitivitas dan resistensi lokal rumah sakit.
Konsultasi bedah untuk pengendalian sumber layak dilakukan apabila pasien
mempunyai abses yang tidak dapat didrainase atau sumber sepsis intraabdominal.
Pertimbangan juga harus diberikan pada kemungkinan organisme resisten pada saat
pasien tinggal di dalam rumah jompo atau para pengguna obat-obatan intravena.

3. Fokus infeksi awal harus dieliminasi.


Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk infeksi anaerobik.
Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang gangren.

4. Pemberian Nutrisi yang adequat


Pemberian nutrisi merupakan terapi tambahan yang sangat penting berupa makro dan
mikronutrient. Makronutrient terdiri dari omega-3 dan golongan nukluetida yaitu
glutamin sedangkan mikronutrient berupa vitamin dan trace element.

5. Terapi suportif
Eli Lilly and Company mengumumkan bahwa hasil uji klinis Phase III menunjukkan
drotrecogin alfa (protein C teraktifkan rekombinan, Zovant) menurunkan resiko relatif
kematian akibat sepsis dengan disfungsi organ akut terkait (dikenal sebagai sepsis berat)
sebesar 19,4 persen. Zovant merupakan antikoagulan.

KORTIKOSTEROID
Penggunaan kortikosteroid masih banyak kontroversial, ada yatg mengunakan pada
awal terjadinya sepsis, ada yang menggunakan terapi steroid seusai dengan kebutuhan
dan kekurangan yang ada di dalam darah dengan memeriksa kadar steroid pada saat itu
(pengobatan suplementasi). Penggunaan steroid ada yarg menganjurkan setelah terjadi
septic shock. Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan adalah dengan low doses
corticosteroid > 300 mg hydrocotisone per hari dalam keadaan septic shock.
Penggunaan high dose corticosteroid tidak efektif sama sekali pada keadaan sepsis dan
septic shock. (sepsis campaign, 2008).

GLUKOSA KONTROL
Pada penderita sepsis sering terjadi peningkatan gula darah yang tidak
mengalami dan yang mengalami diabetes mellitus. Sebaiknya kadar gula darah
dipertahankan sampai dengan < 150mg / dL. Dengan melakukan monitoring pada gula
darah setiap 1-2 jam dan dipertahankan minimal sampai dengan 4 hari. Mencegah
terjadinya stress ulcer dapat diberikan profilaksis dengan menggunakan H, broker
protonpan inhibitor. Apabila terjadi kesulitan pernafasan penderita memerlukan
ventilator dimana tersedia di ICU.

PEMANTAUAN HEMODINAMIK
Optimalisasi hemodinamik dini memerlukan pemantauan tekanan vena sentral
(CVP), tekanan darah arterial dan SCVO2. Pemantauan tekanan intra-arterial
direkomendasikan, terutama untuk pasien-pasien dengan obat-obatan vasopresor,
namun dengan catatan bahwa obat-obatan vasopresor dapat menyebabkan tekanan
arterial sentral terlihat lebih rendah saat diukur dari arteri radialis. SCVO2 dapat diukur
secara intermiten dengan sampel gas vena yang diambil dari saluran distal kateter vena
sentral standar atau secara kontinyu dengan menggunakan kateter vena sentral serat
optik. Meskipun pada tangan ahli arteri pulmonar tetap merupakan tempat pengukuran
yang efektif, bukti keuntungan kesintasan dari penggunaannya masih harus dibuktikan.

TERAPI VOLUME

Target pertama EGDT pada kasus sepsis adalah pemulihan volume intravaskular
pasien. Terapi cairan intravena harus dimulai dengan bolus 500 cc secara cepat dan
berulang baik cairan kristaloid ataupun koloid sampai tercapai volume cairan resusitasi
20-40 cc/kgBB, sehingga mencapai CVP 8-12 mmHg. Sampai beberapa saat yang lalu
tidak ada penelitian terkontrol atau tinjauan sistematik telah secara pasti menunjukkan
adanya keuntungan penggunaan koloid ataupun kristaloid pada pasien kritis. Namun
demikian, suatu studi acak terkontrol besar yang membandingkan antara 4% albumin
dengan normal salin pada 6997 pasien sakit kritis heterogen dan membutuhkan
resusitasi volume menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan dalam mortalitas antar
kelompok. Meskipun analisis subkelompok pada pasien dengan sepsis berat
menunjukkan adanya kecenderungan keuntungan mortalitas pada kelompok yang
menerima albumin, temuan ini untuk sementara harus dipandang sebagai sarana
pembentukan hipotesis: hasil ini memerlukan konfirmasi dengan penelitian acak
terkontrol pada pasien sepsis.

OBAT-OBAT VASOAKTIF

Setelah target CVP dicapai, obat-obatan vasopresor diberikan bila pasien tetap
hipotensif (tekanan arterial rerata <65mmHg). Target tekanan arterial rerata 65mmHg
telah ditunjukkan secara fisiologis ekuivalen dengan tekanan yang lebih tinggi. Obat-
obatan vasopresor termasuk dopamin (5-20 μg/kg/menit intravena), noradrenalin (2-
20μg/menit), fenilefrin (40- 300μg/menit) dan vasopresin (0,01-0,04 unit/menit). Baik
noradrenalin dan dopamin telah disarankan sebagai obat-obatan vasopresor lini pertama
pada kasus-kasus sepsis. Oleh karena takikardia dapat dieksakserbasi oleh vasopresor β-
agonis, obat-obatan dengan α-agonis yang lebih kuat (seperti noradrenalin dan
penilefrin) dapat lebih dipilih pada pasien dengan takikardia atau penyakit koroner
mendasar.

Epinefrin (1-10μg/menit) dapat dipertimbangkan untuk pasien-pasien yang tidak


berespons terhadap vasopresor lainnya. Obat ini meningkatkan tekanan arterial rerata
dengan meningkatkan keluaran jantung dan volume pompa. Efek samping buruk yang
dikaitkan dengan obat-obatan vasopresor termasuk timbulnya hipoperfusi splanknik,
takikardia berlebih dan iskemia koroner. Bukti-bukti yang tersedia belum secara pasti
membuktikan satu obat vasopresor lebih superior dibandingkan lainnya pada keadaan
sepsis berat ataupun syok sepsis. Beberapa bukti definitif mengenai peranan vasopresin
dan efeknya pada hasil akhir diharapkan pada studi Vasopressin and Septic Shock Trial
(VASST).

PEMBERIAN ERITROSIT

Apabila SCVO2 tetap dibawah 70% setelah optimalisasi preload, afterload dan
saturasi oksigen arterial, kapasitas pembawa oksigen pasien dapat ditingkatkan dengan
pemberian PRC untuk mencapai hematokrit di atas 30%. Meskipun studi-studi terkini
telah menunjukkan bahwa batasan transfusi yang lebih konservatif mungkin dapat
ditoleransi pada kelompok pasien kritis yang heterogen dan stabil secara klinis, hasil ini
tidak dapat diekstrapolasi kepada pasien sepsis akut dengan ketidakimbangan sediaan
dan permintaan. Pada fase resusitasi akut target hematokrit 30% nampaknya sesuai,
dengan strategi transfusi yang lebih restriktif dapat dilakukan pada fase konvalesens.

PROTEIN C TEREAKTIVASI

Protein C merupakan antikoagulan endogen yang juga memiliki efek


profibrinolitik, anti- inflamatorik, anti-apoptosis dan dapat memperbaiki aliran
mikrosirkulasi. Studi PROWESS (the Recombinant Human Activated Protein C
Worldwide Evaluation in Severe Sepsis), suatu penelitian multicentre acak terkendali,
menunjukkan bahwa pemberian r-APC (juga dikenal sebagai drotecogin alfa activated
atau Xigris) menurunkan mortalitas sepsis berat atau syok sepsis sebesar 6%
dibandingkan dengan plasebo. Analisis subgrup juga menunjukkan bahwa kesintasan
dengan r-APC meningkat pada pasien dengan skor APACHE II 25 atau lebih tinggi dan
juga mempunyai disfungsi 2 organ atau lebih. Pemberian r-APC juga dikaitkan dengan
kecenderungan risiko perdarahan (3,5% vs. 2,0%; p=0,06). Pada studi PROWESS, r-
APC dimulai dalam waktu 24 jam setelah kriteria sepsis berat dipenuhi.

2.8 PENCEGAHAN
 Hindarkan trauma pada permukaan mukosa yang biasanya dihuni bakteri Gram-
negatif
 Gunakan trimetoprim-sulfametoksazol secara profilaktik pada anak penderita
leukemia
 Gunakan nitrat perak tipikal, sulfadiazin perak, atau sulfamilon secara
profilaktik pada pasien luka bakar.
 Berikan semprotan (spray) polimiksin pada faring posterior untuk mencegah
pneumonia Gram-negatif nosokomial
 Sterilisasi flora aerobik lambung dengan polimiksin dan gentamisin dengan
vankomisin dan nistatin efektif dalam mengurangi sepsis Gram-negatif pada
pasien neutropenia.
 Lingkungan yang protektifbagi pasien beresiko kurang berhasil karena sebagian
besar infeksi berasal dari dalam (endogen).
 Untuk melindungi neonatus dari sepsis strep Grup B ambil apusan (swab)
vagina/rektum pada kehamilan 35 hingga 37 minggu. Biakkan untuk
Streptococcus agalactiae (penyebab utama sepsis pada neonatus). Jika positif
untuk strep Grup B, berikan penisilin intrapartum pada ibu hamil. Hal ini akan
menurunkan infeksi Grup B sebesar 78%.
DAFTAR PUSTAKA

Bone RC, Balk RA, Cerra FB, et al. Definitions for sepsis and organ failure
and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. The ACCP/SCCM
Consensus Conference Committee. American College of Chest
Physicians/Society of Critical Care Medicine. Chest 1992;101:1644-55. 


Oematan Y, et al. 2009. Peran Inflamasi Dalam Patofisiologi Sepsis dan


Syok Septik pada Anak. Manado: Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Manado.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.

Anda mungkin juga menyukai