Anda di halaman 1dari 4

A.

Karakteristik Pendidikan Multikultural

Menurut Abdullah Aly (2011: 109) pendidikan multikultural terdapat tiga


karakteristik, yaitu: berprinsip pada demokrasi, kesetaraan dan keadilan, Berorientasi
pada kemanusiaan, kebersamaan dan kedamaian dan Mengembangkan sikap mengakui,
menerima dan menghargai.
1. Berprinsip pada Demokrasi, Kesetaraan dan Keadilan.
Demokrasi adalah suatu kebebasan berpendapat bagi setiap individu. Kebebasan
dalam artian disini adalah kebebasan yang ada batasnya. Dalam menyampaikan
pendapat setiap orang memiliki sebuah kesetaraan atau kesemptan yang sama.
Nilai kesetaraan dalam demokrasi mengacu pada keyakinan bahwa manusia
diciptakan setara. Semua manusia diperlakukan kesetaraan seperti contohnya
tidak ada lagi perbedaan antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi
pemempin. Setara dalam mengembangkan potensi yang dimaki setiap manusia.
Setiap manusia mengakui kesetaraan antara manusia satu dengan yang lain.
Pengakuan kesetaraan derajat, kesetaraan hak dan kesetaraan kewajiban sesama
manusia. dengan begitu, manusia dilindungi hak-hak dan memperoleh haknya
setelah melakukan kewajiban-kewajibannya Kesetaraan penting dalam kondisi
masyarakat yang beragam.
Demokrasi adalah sistem terbaik untuk menciptakan keadilan. Karena semua
orang bebas berkarya tapi dibatasi oleh ideologi negara dan kepentingan umum;
keterwakilan setiap kelompok untuk menjadi pemimpin; dan perselisihan politik
diselesaikan secara damai dan demi kepentingan umum; peran serta rakyat
menjadi lebih banyak orang memperoleh keadilan; dan inti demokrasi adalah
pemantauan rakyat, dengan begitu penguasa tidak semena-mena. Materi ajar
diberi muatan demokrasi, kesetaraan dan keadilan. Materi ajar demokrasi,
kesetaraan dan keadilan menjadi materi pokok yang kemudian dijabarkan
submateri. Siswa memahami demokrasi, kesetaraan dan keadilan yang
kemudian melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Siswa memiliki sifat
demokrasi, kesetaraan dan keadilan di kondisi masyarakat beragam.
2. Berorientasi kepada kemanusiaan, kebersamaan dan kedamaian.
Nilai kemanusiaan seorang manusia itu secara alamiah dan sosial juga
didasarkan pada kemampuannya menghargai kode etik dan sopan santun sebagai
makhluk berbudaya yang tidak liar. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia
dihargai bukan karena bangunan tubuhnya yang indah, akan tetapi karena
kualitas perbuatannya yang didasarkan pada kematangan pemikiran dan
kesadaran yang membentuk sikap hidup yang bijak. Kapasitas akal manusia
itulah yang menjadi ciri utama kemanusiaan dan aktualitasnya dalam kehidupan
konkret (Rahman, 2011: 56). Memanusiakan manusia adalah bersikap
memanusiakan antar sesamanya. Karena dirinya adalah manusia dan orang
lain adalah manusia. sikap memanusiakan manusia memiliki manfaat bagi
dirinya dan manusia lainnya. Bagi dirinya akan tampak martabat dan luhur budi
perkertinya. Sedangkan bagi manusia yang lain, manusia yang lain merasa
dihargai, dipahami, keharmonisan. Kebersamaan adalah kesatuan perasaan dan
sikap dalam hubungan manusia satu dengan yang lain, meskipun mempunyai
perbedaan suku, budaya, agama, ras, etnik dan strata sosial. Manusia
mengharapkan kedamaian dalam berhubungan dengan manusia lain. Kedamaian
dalam berhubungan dengan masyarakat yang beragam. Kedamaian itu terbentuk
dengan tidak adanya sikap-sikap dan perilaku yang menyakitkan dan merugikan
manusia yang lain. (Aly, 2011: 117). Dan kedamaian itu juga terbentuk di dalam
masyarakat yang beragam, dimana manusia berinteraksi dengan damai (Ali,
2003: 72). Materi ajar diberi pembahasan tentang kemanusiaan, kebersamaan
dan kedamaian. Materi ajar kemanusiaan, kebersamaan dan kedamaian bisa
dimuncul dalam cerita-cerita yang mengandung ketiga nilai multikultural. Tokoh
yang berperan baik akan menjadi teladan bagi siswa.
3. Mengembangkan sikap mengakui, menerima, dan menghargai keragaman.
Sikap menerima, mengakui dan menghargai keragaman penting dalam hubungan
sosial di masyarakat yang beranekaragam. Dalam masyarakat beragam ada
bagian masyarakat yang dominan dan minoritas. Dengan sikap menerima,
mengakui dan menghargai keragaman memunculkan hubungan harmonis
Melalui pendidikan multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu
kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan sebagaimana yang telah diamantkan dalam Undang-Undang Dasar.

B. Ideologi Sirkularisme sebagai Ideologi Pendidikan Multukultural


Ideologi Sirkularisme sebagai ideologi pendidikan multikultural, Ideologi ini
merupakan ideologi yang memberikan perhatian terhadap hubungan yang setara antara
manusia dengan alam, manusia dengan manusia, dan manusia dengan Tuhannya, serta
manusia dengan dirinya sendiri sebagai hubungan yang saling terikat. Dengan ideologi
pendidikan sirkularisme tersebut menghendaki pendidikan yang dapat ..memanusiakan
manusia.. sesuai dengan nilai kemanusiaan. Tak hanya itu, pendidikan sirkularisme ini
menghendaki perlakuan segala sesuatu tepat pada hak-hak yang melekat pada objeknya
sehingga segala sesuatu yang ada di kehidupan terlihat asri dan nyaman.

C. Anti Hegemoni dan Dominasi dalam Pendidikan Multikultur

Hegemoni bisa didefinisikan sebagai dominasi. Hegemoni dan Dominasi


adalah sebuah Penguasaan oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau
tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang ditekan oleh kelompok dominan
terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar (common
sense). Hegemoni budaya adalah dominasi terhadap masyarakat ragam-budaya oleh
kelas penguasa yang membentuk (atau memanipulasi) budaya masyarakat tersebut, baik
itu dari sisi keyakinan, persepsi, nilai-nilai, dan adat istiadat sehingga pandangan
kelompok tertentu menjadi sebuah norma budaya umum yang dilaksnakan tanpa
paksaan. Hegemoni juga dapat dikatakan sebagai suatu kekuasaan atau dominasi atas
nilai2 kehidupan, norma amupun kebudayaan. Hegemoni budaya bisa didefinisikan
sebagai dominasi oleh suatu budaya terhadap budaya lainnya dengan atau tanpa
ancaman kekerasan, sehingga ide yang didiktekan oleh budaya yang dominan terhadap
budaya yg didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar.

D. Lintas Batas Pendidikan Multikultur


 Keadilan Sosial
 Di Indonesia Keadilan sosial seringkali menjadi sebuah permasalahan,
terkhususnya bagi kaum minoritas. Ada peperapa masalah keadilan sosial yang
selalu menimpa kaum2 minoritas, contohnya saja dalam hal agama. Penganut
agama minoritas seringkali di deskriminasi oleh kaum2 mayoritas. Padahal
kaum minorotas pun memiliki hak untuk mengembangkan, menikmati dan
memperdayaguna seluruh kekayaan kultur, tradisi dan bahasa mereka sesuai
dengan kearifan lokal yang mereka miliki sebagai ruang perkembangan budaya.
Pendidikan multikultural merupakan cara pandang yang menghormati adanya
keanekaragaman suatu masyarakat. Merupakan penting ketika kaum minoritas
dipinggikan atau dipaksa bergabung dengen kelompok mayoritas.
 Penegakan Nilai-Nilai Demokrasi
Pendidikan multikultur sebagai perekat sosial dan resolusi konflik bagi
perselisihan yang terjadi. Pendidikan multikultur menjamin kebebasan
warga negara dalam mejalankan aktivitas sosial tanpa ada paksaan dari
pihak manapun dengan tetap menjadikan hukum sebagai panglimanya.
 Penghormatan Terhadap Hak Asasi Manusia.
Indonesia merupakan negara yang multikultur. Budaya yang dimiliki masing-
masing warga negara merupakan hak asasi bagi pemilik budaya tersebut.
Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan
penghormatan terhadap HAM. Oleh sebab itu, penghormatan terhadap HAM
merupakan salah satu wujud penerapan nilai-nilai dalam pendidikan
multikultural. Hal ini sesuai dengan pemikiran Tilaar yang menyatakan bahwa
Pendidikan multikultural dapat dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang
keanekaragaman kultural, hak-hak asasi manusia serta pengurangan atau
penghapusan berbagai jenis prasangka atau prejudice untuk membangun suatu
kehidupan masyarakat yang adil H.A.R. Tilaar (2003: 174). Pemikiran Tilaar
tersebut menunjukkan pentingnya pengakuan terhadap hak asasi manusia.
Penghormatan terhadap hak asasi manusia harus diimbangi dengan
penghapusan berbagai jenis prasangka. Menghormati budaya lain dengan
menghilangkan berbagai prasangka berarti menghormati hak asasi manusia.
Kenyataan masyarakat yang ada di Indoneesia terdiri dari berbagai budaya yang
berbeda sehingga budaya yang dimiliki masing-masing individu merupakan hak
asasi bagi individu tersebut.

E. Segregasi dan Melting Pot dalam Pendidikan Multikultural


Segregasi adalah sebuah pemisahan kelompok, ras atau seuku secara paksa.
Akibat dari adanya segregasi akan menimbulkan sebuah pertentangan antar kelompok
sosial dimasyarakat. Pengertian pendidikan yang bersifat segregasi ini pada hakekatnya
adalah pendidikan yang memisah atau menggolongkan atar kelompok sosial.
Pendidikan segregrasi sangat terlihat pada masa Kolonialisme Belanda. Pada masa ini
kaum bumi putra (pribumi/inlender) mendapat pendidikan ala kadarnya. Berbeda
dengan kaum bangsawan atau anak keturunan penjajah (Tilaar,2004: 132). Pada proses
pendidikan kaum bumi putra sangat terbatas dan tujuannya untuk keperluan penjajah.
Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan prinsip pendidikan multikultural, yang
dalam prosesnya tidak membeda-bedakan anak bangsa dalam mengakses pendidikan.

Konsep pendidikan model melting pot menurut Tilaar (2004: 134), merupakan
konsep pendidikan dimana masing-masing kelompok etnis dengan budayanya sendiri
menyadari adanya perbedaan antar sesamanya. Namun dengan menyadari perbedaan
tersebut mereka dapat membina hidup bersama. Pendidikan konsep melting pot di
Indonesia, terjadi pada paraktik-praktik pendidikan pada masa pemerintahan Orde baru.
Pendidikan juga terjadi pada di Amerika, khususnya di Hawai dengan istilah budaya
Amerika atau istilah Amerikanisasi. Praktik pendidikan yang bermodelkan melting pot
di Indonesia terjadi pada masa pemerintahan orde baru dengan budaya nasional
Indonesia yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Hal ini tercermin dalam praktek
pendidikan pada semua tingkatan pendidikan. Misalnya dalam penelitian Usman Pelly
(2004), terlihat bagaimana politik asimilasi orde baru yang diterapkan pada etnis China
di Medan. Dimana para pelajar yang berlatar belakang etnis China digolongkan sebagai
pelajar non pribumi. Para pelajar yang berlatar belakang etnis China atau Tionghua
mengalami poltik asimilasi dengan cara menyatukan adat istiadat atau tradisi mereka
kedalam budaya nasional, contohnya dalam nama dan bahasa.

Anda mungkin juga menyukai