Penyakit Demam Tifoid (bahasa Inggris: Typhoid fever) yang biasa juga disebut typhus
atau types dalam bahasa Indonesianya, merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi terutama menyerang
bagian saluran pencernaan. Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di
masyarakat (endemik) di Indonesia, mulai dari usia balita, anak-anak dan dewasa. Besarnya
angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal
mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Memperkirakan terdapat sekitar
17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap
tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis
dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25
kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia demam tifoid dapat
ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak besar,umur 5- 9 tahun.
Sehingga masih diperlukan adanya pengkajian mengenai demam tifoid. (WHO 2005).
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram negatif,
mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai
antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari
protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekuler
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan
endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan
1. Antigen dinding sel (o) merupakan polisakarida dan bersifat spesifik grup
2. Antigen flagella (H) yg merupakan kompnen protein berada dlm flagella,bersifat spesifik
spesies.
3. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida,berada di kapsul.Berhubungan dengan
daya invasif bakteri dan efektifitas vaksin. Endotoksin merupakan bagian terluar dinding
sel terdiri dari :
a. antigen O yg sdh dilepaskan
b. lipopolisakarida
c. lipid A.
C. Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. Typhi) dan Salmonella paratyphi (S.
Paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (Ig A) usus kurang
baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina
propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag
ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteriemia pertama yang simtomatik)
dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-
organ ini, kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel
atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteriemia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik (Astuti, 2013).
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melaui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental,
dan koagulasi (Widodo, 2006).
Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan
(S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia
jaringan, dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh
darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologi jaringan limfoid ini dapat
berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi
(Widodo, 2006).
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan
organ lainnya (Widodo, 2006).
D. Faktor Resiko
Faktor penyebab typhoid menurut Potter & Perry (2005) adalah pola makan, kebersihan
makanan, hygiene sanitasi (kualitas sumber air dan kebersihan jamban), tingkat pengetahuan
hygien perorangan (perilaku cuci tangan dan kebersihan badan), pengobatan yang belum tuntas
(Soegianto, 2006).
a. Kebersihan Makanan
Hygiene adalah ilmu yang berhubungan dengan masalah kesehatan, serta berbagai
sepuluh aturan tersebut jika diperlukan harus disesuaikan dengan kondisi setempat yakni:
(Soegianto, 2006).
b. Hyginie Sanitasi
Hyginie adalah suatu usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari mengenai pengaruh
kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena
pengaruh lingkungan kesehatan serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga
sehingga berbagai faktor lingkungan yang menguntungkan tersebut tidak sampai menimbulkan
Sanitasi adala usaha kesehatan masyarakat yang menitik berat pada pengawasan terhadap
berbagai faktor yang mempengaruhi atau mungkin mempengaruhi derajat kesehatan manusia.
Lebih mengutamakan usaha pencegahan terhadap berbagai faktor lingkungan (Azwar, 2005).
a. Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya penularan
Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang
berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan tinja atau urine. Dapat
juga terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada
bayinya. Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan desain case control ,
mengatakan bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid
pada anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan diluar (OR=3,65)
dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan beresiko terkena
penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan
b. Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang dapat
menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 – 109 kuman yang tertelan melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka
semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid (Heru Laksono 2009).
c. Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis
terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar hygiene dan
sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid
adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart hygiene industri
Berdasarkan hasil penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000) dengan desain
case control , mengatakan bahwa higiene perorangan yang kurang, mempunyai resiko terkena
penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang higiene perorangan
yang baik (OR=20,8) dan kualitas air minum yang tercemar berat coliform beresiko 6,4 kali
lebih besar terkena penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya
tidak tercemar berat coliform (OR=6,4) (Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo 2000).
tekanan pasien dan waktu dan diagnostik ketidakpastian adalah beberapa penyebab utama
selain sebab oleh peresepan yang irasional dari kombinasi antimikroba. Keadaan pasien yang
imunosupresif maupun malnutrisi dapat menyebabkan MDRTF, selain pengaruh daerah yang
E. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Masa inkubasi demam tifoid berkisar antara 7-14 hari, namun dapat mencapai 3-
30 hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan
tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Kemudian
menyusul gejala dan tanda klinis yang biasa ditemukan. Kemudian menyusul gejala
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten
dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur
meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada
sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan
demam. Dalam minggu ketiga suhu badan berangsur-angsur turun dan normal
kembali pada kahir minggu ketiga (Zaki and Karande, 2013).
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis
sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma dan gelisah. (Zaki and Karande,
2013).
2. Pemeriksaan Fisik
Periode inkubasi demam tifoid antara 5–40 hari dengan rata-rata antara 10–40 hari. Gejala
klinis demam tifoid sangat bervariasi, hal tersebut dapat terjadi disebabkan oleh faktor galur
Salmonella, status nutrisi dan imunologik penjamu, serta lama sakit di rumahnya. Penampilan
demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature
chart yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya
dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama. Setelah itu demam akan bertahan
tinggi. Pada minggu ke-4, demam turun perlahan secara lisis. Demam lebih tinggi saat sore dan
malam hari dibandingkan dengan pagi harinya (Zaki and Karanda, 2013).
Pada minggu pertama, gejala klinisnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi/diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epistaksis.Dalam minggu ke-2, gejala telah lebih jelas, yaitu berupa demam, bradikardia relatif
(peningkatan suhu 1oC tidak diikuti dengan peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah
3. Pemeriksaan penunjang
a) Suspected case : dikenali dengan adanya onset demam (≥ 37,5 ° C) Untuk ≥ 3 hari dan
seterusnya, dengan sakit kepala, sakit perut, tes negatif untuk malaria atau kegagalan untuk
respond terhadap pengobatan anti malaria, dan ≥ 2 dari berikut ini Gejala: diare, mual atau
b) Probable case : kasus yang dicurigai sampel serum menghasilkan tes TUBEX® TF positif.
Sampel darah dikumpulkan dari 5 dugaan pertama kasus setiap hari dari setiap pusat perawatan
dan dirujuk ke laboratorium mikrobiologi di Medical Research untuk kultur darah. (Kabwama
et al, 2017)
Oleh karena tanda klinis yang tidak spesifik dari kasus MDRTF makaa pmeriksaan
awal oleh penderita suspek MDRTF meliputi srining dari penyakit endemis umum berupa
acute febrile illness pada wilayah tersebut, seperti malaria, DHF, leptospira maupun hepatitis
akut. Gold standard penegakan diagnosis MDR-TF adalah isolasi kultur organisme. Kultur S
thypi diberikan paparan antibiotik 1) lini pertama : chlorampenicol, ampicillin, dan golongan
a) Gagal merespons (yaitu, tidak ada perbaikan kondisi umum, kehilangan nafsu makan,
tidak ada defensif demam, atau tidak ada pengurangan tampilan toksik) setelah lima
hingga tujuh hari pengobatan dengan antibiotik lini pertama (kloramfenikol atau
ampisilin atau trimetoprim / sulfamethoxazole) untuk demam tifoid (Zaki dan Karanda,
2013).
b) Demam tifoid berat disertai syok atau abnormal sensorium atau berpotensi mengancam
nyawa lainnya komplikasi seperti perdarahan usus dan / atau perforasi, koagulasi
F. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Indikasi rawat
Klinis ringan dapat dirawat jalan dengan control poli teratur. Jika klinis disertai
hiperpireksia, muntah-muntah, intake tidak adekuat, dehidrasi, keadaan umum lemah,
maka harus di rawat inapkan.
Perawatan
Penderita harus tirah baring 5-7 hari bebas panas, kemudian secara bertahap mulai
mobilisasi.
Diet
Pemberian diet tahap awal pada penderita demam tifoid harus mengutamakan lunak,
mudah dicerna, tidak merangsang, bebas serat, dan tidak menimbulkan gas. Pemberian
makan dalam porsi kecil tetapi sering. Biasanya disajikan dalam bentuk bubur saring.
Medikamentosa
Obat terpilih untuk penderita demam tifoid adalah kloramphenikol dengan dosis
50-100 mg/kgBb/ hari maksimal 2 gr/hari. Obat diberikan sampai 7 hari bebas panas,
minimal diberikan selama 10 hari. Bila dalam 10 hari pemberian kloramphenikol panas
tidak turun maka obat diganti ampicilin 200mg/kgBb/hari diberkan secara Iv selama
10-14 hari. Demikian juga bila ditemukan Hb<8 g/dl, dan atau leukosit <2000/mm3
obat diganti dengan ampicilin.
Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 80 mg/kg BB/kali dan
diberikan sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari.
2. Non medikamentosa
khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan
sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam
kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak
tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan
G. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh,
jumlah dan virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada
anak-anak adalah 2,6% dan pada orang dewasa adalah 7,4 %. Sehingga rata-ratanya adalah
Tempat predileksi kuman S thypi terdapat pada Patch Peyer. Terdapat hiperplasia yang
signifikan diikuti oleh ulserasi dan nekrosis pada patch Peyer. Hal ini menyebabkan
perdarahan yang signifikan akhirnya berakhir menjadi perforasi. Komplikasi ini biasanya
terjadi pada minggu ketiga atau keempat dari penyakit ini. Karena ileum terminal berlimpah
dengan patch Peyer, beberapa perforasi di ileum umum menyebabkan morbiditas tinggi dan
Beberapa pasien memberikan riwayat melena sebelum onset sakit perut. Tanda pada
abdomen biasanya seperti kekakuan perut. Karena peritonitis parah, pasien mengalami
penurunan drastis dalam output urin yang akhirnya masuk ke keadaan syok septik. waktu di
mana kondisi didiagnosis dan kecepatan intervensi bedah ditawarkan menentukan hasilnya
Pada studi lain, komplikasi demam tifoid terlihat pada 8,16% pasien. Apendisitis,
kolitis, dan hepatitis terlihat dengan masing-masing presentase (2,04%). Ensefalopati, syok
septik, perdarahan GI, dan trombositopenia terkait infeksi terlihat dengan masing-masing
Garna Herry, dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI.
Yan, et al. 2016. The emergence and outbreak of multidrug-resistant typhoid fever in China.
Kabwama et al. 2017. A large and persistent outbreak of typhoid fever caused by consuming
Nasronudin, dkk. 2007. Penyakit Infeksi di Indonesia: Solusi Kini dan Mendatang. Jakarta: Airlangga
University Press.
Modi, Rohit. 2015. Clinical profile and treatment outcome of typhoid fever in children at a
Sudoyo, AW, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi 4. Jakarta: FKUI.
Prasetyo, Risky Vitria., Ismoedijanto. 2010. Metode diagnostik demam tifoid pada anak. Divisi
tropik dan penyakit infeksi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/ RSU dr.Soetomo
Surabaya
Siswandari, wahyu. 2012. Lecture : Pemeriksaan laboratorium pada infeksi bakteri.Blok
TROPMED
Wardhani, puspa., Prihatani., Probohusodo, M.Y. 2005. Kemampuan uji tabung widal
menggunakan antigen import dan antigen lokal. ndonesian Journal of Clinical Pathology
and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 1, Nov 2005: 31-37