1. Definisi
2. Etiologi
Penyebab utama terjadinya Sindrom Koroner Akut lebih dari 90%
pasien adalah rupture, fisur atau erosi plak aterosklerotik karena terdapat
kondisi plak aterosklerotik yang tidak stabil (vulnerable atherosclerotic
plaques) dengan karakteristik; lipid core besar, fibrous cap tipis, dan plak
penuh dengan aktivitas sel-sel inflamasi seperti sel limfosit T dan lain-lain.
Menurunnya suplai oksigen disebabkan oleh tiga faktor, antara lain:
1. Faktor pembuluh darah
Hal ini berkaitan dengan kepatenan pembuluh darah sebagai jalan darah
mencapai sel-sel jantung. Beberapa hal yang bisa mengganggu kepatenan
pembuluh darah diantaranya: atherosclerosis (arteroma mengandung
kolesterol), spasme (kontraksi otot secara mendadak/ penyempitan saluran), dan
arteritis (peradangan arteri). Spasme pembuluh darah bisa juga terjadi dan
biasanya dihubungkan dengan beberapa hal antara lain : (i) mengkonsumsi
obat-obatan tertentu, (ii) stress emosional atau nyeri, (iii) terpapar suhu dingin
yang ekstrim, (iv) merokok.
2. Faktor Sirkulasi
3. Faktor darah
4. Manifestasi klinis
1. Anamnesis
Adanya nyeri dada yang lamanya lebih dari 30 menit di daerah
prekordial,retrosternal dan menjalar ke lengan kiri,lengan kanan dan ke
belakang interskapuler. Rasa nyeri seperti dicekam,diremas-remas,tertindih
benda padat,tertusuk pisau atau seperti terbakar.Kadang-kadang rasa nyeri tidak
ada dan penderita hanya mengeluh lemah,banyak keringat, pusing, palpitasi,
dan perasaan akan mati.
2. Pemeriksaan fisik
Penderita nampak sakit,muka pucat,kulit basah dan dingin.Tekanan darah bisa
tinggi,normal atau rendah.Dapat ditemui bunyi jantung kedua yang pecah
paradoksal,irama gallop. Kadang-kadang ditemukan pulsasi diskinetik yang
tampak atau teraba di dinding dada pada IMA inferior.
3. EKG
Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard infark
akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner menunjukkan
elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG berupa elevasi segmen ST akan
berkembang menjadi gelombang Q. Sebagian kecil berkembang menjadi
gelombang non-Q. Pada STEMI inferior, ST elevasi dapat dilihat pada lead II,
III, dan aVF.
4. Pemeriksaan laboratorium
Pada nekrosis miokard, protein intraseluler akan masuk dalam ruang
interstitial dan masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal
dan aliran limfatik. Oleh sebab itu, nekrosis miokard dapat dideteksi dari
pemeriksaan protein dalam darah yang disebabkan kerusakan sel.
Protein-protein tersebut antara lain aspartate aminotransferase (AST),
lactate dehydrogenase, creatine kinase isoenzyme MB (CK-MB),
mioglobin, carbonic anhydrase III (CA III), myosin light chain (MLC)
dan cardiac troponin I dan T (cTnI dan cTnT). Peningkatan kadar serum
protein-protein ini mengkonfirmasi adanya infark miokard.
5. Komplikasi
a. Disfungsi ventrikel
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran, dan
ketebalan baik pada segmen yang infark maupun non infark. Proses ini
dinamakan remodeling ventricular. Secara akut, hal ini terjadi karena
ekspansi infark, disrupsi sel-sel miokardial yang normal, dan kehilangan
jaringan pada zona nekrotik. Pembesaran yang terjadi berhubungan
dengan ukuran dan lokasi infark.
b. Gagal pemompaan (pump failure)
Merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI.
Perluasaan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan
tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya. Tanda klinis yang sering dijumpai adalah ronkhi basah di
paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen
dijumpai kongesti paru.
c. Aritmia
Insiden aritmia setelah STEMI meningkat pada pasien setelah gejala
awal. Mekanisme yang berperan dalam aritmia karena infark meliputi
ketidakseimbangan sistem saraf otonom, ketidakseimbangan elektrolit,
iskemia, dan konduksi yang lambat pada zona iskemik.
d. Gagal jantung kongestif
Hal ini terjadi karena kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium.
Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan kongesti
vena pulmonalis, sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung
kanan mengakibatkan kongesti vena sistemik.
e. Syok kardiogenik
Diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang
massif, biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri. Timbul
lingkaran setan akibat perubahan hemodinamik progresif hebat yang
ireversibel dengan manifestasi seperti penurunan perfusi perifer,
penurunan perfusi koroner, peningkatan kongesti paru-paru, hipotensi,
asidosis metabolic, dan hipoksemia yang selanjutnya makin menekan
fungsi miokardium.
f. Edema paru akut
Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga
interstisial maupun dalam alveoli. Edema paru merupakan tanda adanya
kongesti paru tingkat lanjut, di mana cairan mengalami kebocoran melalui
dinding kapiler, merembes keluar, dan menimbulkan dispnea yang sangat
berat. Kongesti paru terjadi jika dasar vascular paru menerima darah yang
berlebihan dari ventrikel kanan yang tidak mampu diakomodasi dan
diambil oleh jantung kiri. Oleh karena adanya timbunan cairan, paru
menjadi kaku dan tidak dapat mengembang serta udara tidak dapat masuk,
akibatnya terjadi hipoksia berat.
g. Disfungsi otot papilaris
Disfungsi iskemik atau ruptur nekrotik otot papilaris akan mengganggu
fungsi katup mitralis, sehingga memungkinkan eversi daun katup ke dalam
atrium selama sistolik. Inkompetensi katup mengakibatkan aliran
retrograde dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri dengan dua akibat yaitu
pengurangan aliran ke aorta dan peningkatan kongesti pada atrium kiri dan
vena pulmonalis.
h. Defek septum ventrikel
Nekrosis septum interventrikular dapat menyebabkan rupture dinding
septum sehingga terjadi defek septum ventrikel.
i. Rupture jantung
Rupture dinding ventrikel yang bebas dapat terjadi pada awal perjalanan
infark selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum pembentukan
parut. Dinding nekrotik yang tipis pecah, sehingga terjadi peradarahan
massif ke dalam kantong pericardium yang relative tidak elastic dapat
berkembang. Kantong pericardium yang terisi oleh darah menekan
jantung, sehingga menimbulkan tamponade jantung. Tamponade jantung
ini akan mengurangi aliran balik vena dan curah jantung.
j. Aneurisma ventrikel
c. Cardiac Imaging
1) Echocardiography
Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional
echocardiography hampir selalu ditemukan pada pasien STEMI.
Walaupun STEMI akut tidak dapat dibedakan dari scar miokardial
sebelumnya atau dari iskemia berat akut dengan echocardiography,
prosedur ini masih digunakan karena keamanannya. Ketika tidak
terdapat ECG untuk metode diagnostic STEMI, deteksi awal aka nada
atau tidaknya abnormalitas pergerakan dinding dengan
echocardiography dapat digunakan untuk mengambil keputusan,
seperti apakah pasien harus mendapatkan terapi reperfusi. Estimasi
echocardiographic untuk fungsi ventrikel kiri sangat berguna dalam
segi prognosis, deteksi penurunan fungsi ventrikel kiri menunjukkan
indikasi terapi dengan inhibitor RAAS. Echocardiography juga dapat
mengidentifikasi infark pada ventrikel kanan, aneurisma ventrikuler,
efusi pericardial, dan thrombus pada ventrikel kiri. Selain itu, Doppler
echocardiography juga dapat mendeteksi dan kuantifikasi VSD dan
regurgitasi mitral, dua komplikasi STEMI.
2) High resolution MRI
Infark miokard dapat dideteksi secara akurat dengan high resolution
cardiac MRI.
3) Angiografi
Tes diagnostik invasif dengan memasukan katerterisasi jantung yang
memungkinkan visualisasi langsung terhadap arteri koroner besar dan
pengukuran langsung terhadap ventrikel kiri.
7. Penatalaksanaan
a. Pre Hospital
Tatalaksana pra-rumah sakit. Prognosis STEMI sebagian besar
tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu komplikasi
elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian
besar kematian di luar RS pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi
ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama
onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama.
Sehingga elemen utama tatalaksana pra-RS pada pasien yang dicurigai
STEMI :
1) Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
2) Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan
tindakan resusitasi
3) Transportasi pasien ke RS yang memiliki fasilitas ICCU/ICU serta
staf medis dokter dan perawat yang terlatih
4) Terapi REPERFUSI
Tatalaksana di IGD. Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang
dicurigai STEMI mencakup mengurangi/menghilangkan nyeri dada,
identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi
segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di RS dan
menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
b. Hospital
1) Aktivitas
Faktor-faktor yang meningkatkan kerja jantung selama masa-masa
awal infark dapat meningkatkan ukuran infark. Oleh karena itu,
pasien dengan STEMI harus tetap berada pada tempat tidur selama
12 jam pertama. Kemudian, jika tidak terdapat komplikasi, pasien
harus didukung untuk untuk melanjutkan postur tegak dengan
menggantung kaki mereka ke sisi tempat tidur dan duduk di kursi
dalam 24 jam pertama. Latihan ini bermanfaat secara psikologis dan
biasanya menurunkan tekanan kapiler paru. Jika tidak terdapat
hipotensi dan komplikasi lain, pasien dapat berjalan-jalan di ruangan
dengan durasi dan frekuensi yang ditingkatkan secara bertahap pada
hari kedua atau ketiga. Pada hari ketiga, pasien harus sudah dapat
berjalan 185 m minimal tiga kali sehari.
2) Diet
Karena adanya risiko emesis dan aspirasi segera setelah STEMI,
pasien hanya diberikan air peroral atau tidak diberikan apapun pada
4-12 jam pertama. Asupan nutrisi yang diberikan harus mengandung
kolesterol ± 300 mg/hari. Kompleks karbohidrat harus mencapai 50-
55% dari kalori total. Diet yang diberikan harus tinggi kalium,
magnesium, dan serat tetapi rendah natrium.
3) Bowel
Bedrest dan efek narkotik yang digunakan untuk menghilangkan
nyeri seringkali menyebabkan konstipasi. Laksatif dapat diberikan
jika pasien mengalami konstipasi
c. Farmakoterapi
1) Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis
0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit.
Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan
kebutuhan oksigen dengan menurunkan preload dan meningkatkan
suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah
koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Jika
nyeri dada terus berlangsung, dapat diberikan NTG intravena. NTG
IV juga dapat diberikan untuk mengendalikan hipertensi dan edema
paru. Terapi nitrat harus dihindarkan pada pasien dengan tensi
sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark
ventrikel kanan.
2) Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin
diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulangi dengan interval
5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu
diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan
arteriolar melalui penurunan, sehingga terjadi pooling vena yang
akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Morfin juga
dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia
atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark
posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine
0,5 mg IV.
3) Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spektrum SKA. Inhibisi cepat
siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar
tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis
160-325 mg di UGD. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan
dosis 75-162 mg.
4) Beta-adrenoreceptor blocker
Pemberian beta blocker intravena secara akut dapat memperbaiki
hubungan supply-demand oksigen, menurunkan nyeri, menurunkan
ukuran infark, dan menurunkan insiden ventricular aritmia.
5) Terapi reperfusi
Terapi reperfusi yaitu menjamin aliran darah koroner kembali
menjadi lancar. Reperfusi ada 2 macam yaitu berupa tindakan
kateterisasi (PCI) yang berupa tindakan invasive (semi-bedah) dan
terapi dengan obat melalui jalur infuse (agen fibrinolitik). PCI
walaupun terkesan lebih menyeramkan ketimbang terapi dengan
sekedar obat per infuse, sebenarnya memiliki efek samping yang
lebih kecil ketimbang terapi obat per infuse tersebut selain itu
efektivitasnya jauh lebih baik, bahkan mendekati sempurna.
Tindakan PCI yang berupa memasukkan selang kateter langsung
menuju jantung dari pembuluh darah di pangkal paha dapat berupa
pengembangan ballon maupun pemasangan cincin/stent.Walaupun
terkesan mudah saja untuk dilakukan (hanya seperti obat-obat per
infuse seperti umumnya), fibrinolitik menyimpan efek samping
yang sangat berbahaya yaitu perdarahan. Resiko paling buruk adalah
terjadinya stroke perdarahan (sekitar 1,4 % pasien. Efektivitas
fibrinolitik adalah baik, walaupun tidak sebaik PCI.
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang sering terjadi antara lain:
1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap
oklusi arteri koroner
2. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan pengembangan
paru tidak optimal, kelebihan cairan di dalam paru akibat sekunder dari
edema paru akut
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi,
irama, konduksi elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan
vaskuler sistemik, otot infark, kerusakan struktural
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai oksigen miokard dengan kebutuhan, adanya iskemia/nekrotik
jaringan miokard, efek obat depresan jantung
(Wilkinson. 2012)
3. Intrevensi Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap
oklusi arteri koroner
a. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
nyeri berkurang
b. Kriteria hasil:
1) Nyeri dada hilang/terkontrol
2) Mendemonstrasikan penggunaan teknik relaksasi
3) Klien tampak rileks,mudah bergerak
Intervensi:
a) Kaji keluhan pasien mengenai nyeri dada, meliputi : lokasi,
radiasi, durasi dan faktor yang mempengaruhinya.
Rasional: Data tersebut membantu menentukan penyebab dan
efek nyeri dada serta merupakan garis dasar untuk
membandingkan gejala pasca terapi.
b) Berikan istirahat fisik dengan punggung ditinggikan atau dalam
kursi kardiak. Rasional: Untuk mengurangi rasa tidak nyaman
serta dispnea dan istirahat fisik juga dapat mengurangi konsumsi
oksigen jantung.
c) Kaji ulang riwayat angina sebelumnya, nyeri menyerupai angina
Rasional: Untuk membandingkan nyeri yang ada dari pola
sebelumnya, sesuai dengan identifikasi komplikasi seperti
meluasnya infark, emboli paru, atau perikarditis
d) Anjurkan pasien untuk melaporkan nyeri dengan segera
Rasional : Untuk memberi intervensi secara tepat sehingga
mengurangi kerusakan jaringan otot jantung yang lebih lanjut
e) Berikan lingkungan yang tenang, aktivitas perlahan, dan
tindakan nyaman Rasional: Menurunkan rangsang eksternal
f) Bantu melakukan teknik relaksasi (napas
dalam/perlahan,perilaku distraksi, visualisasi, bimbingan
imajinasi Rasional: Membantu dalam menurunkan
persepsi/respon nyeri
g) Periksa tanda vital sebelum dan sesudah obat narkotik
Rasional: Hipotensi /depresi pernapasan dapat terjadi sebagai
akibat pemberian narkotik. Dimana keadaan ini dapat
meningkatkan kerusakan miokardia pada adanya kegagalan
ventrikel
h) Kolaborasi dengan tim medis pemberian:
Antiangina (NTG) à Rasional: Untuk mengontrol nyeri dengan
efek vasodilatasi koroner, yang meningkatkan aliran darah
koroner dan perfusi miokardia
Penyekat β (atenolol) à Rasional: Untuk mengontrol nyeri
melalui efek hambatan rangsang simpatis, sehingga
menurunkan fungsi jantung, TD sistolik dan kebutuhan oksigen
miokard
Preparat analgesik (Morfin Sulfat) à Rasional: Untuk
menurunkan nyeri hebat, memberikan sedasi dan mengurangi
kerja miokard
Pemberian oksigen bersamaan dengan analgesik à Rasional:
Untuk memulihkan otot jantung dan untuk memastikan
peredaan maksimum nyeri (inhalasi oksigen menurunkan nyeri
yang berkaitan dengan rendahnya tingkat oksigen yang
bersirkulasi).
2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi,
irama, konduksi elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan
vaskuler sistemik, otot infark, kerusakan struktural
a. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
curah jantung adekuat
b. Kriteria Hasil:
1) TD, curah jantung dalam batas normal
2) Haluaran urine adekuat
3) Tidak ada disritmia
4) Penurunan dispnea, angina
5) Peningkatan toleransi terhadap aktivitas
Intervensi :
a) Pantau tanda vital: frekuensi jantung, TD,nadi
Rasional: Untuk mengetahui adanya perubahan TD,nadi secara
dini sehingga memudahkan dalam melakukan intervensi karena
TD dapat meningkatkan rangsangan simpatis, kemudian turun bila
curah jantung dipengaruhi.
b) Evaluasi adanya bunyi jantung S3,S4
Rasional: Untuk megetahui adanya komplikasi pada GJK gagal
mitral untuk S3, sedangkan S4 karena iskemia miokardia,
kekakuan ventrikel, dan hipertensi pulmonal /sistemik
c) Auskultasi bunyi napas
Rasional: Untuk mengetahui adanya kongesti paru akibat
penurunan fungsi miokard
d) Berikan makanan porsi makan kecil dan mudah dikunyah, batasi
asupan kafein,kopi, coklat, cola
Rasional: Untuk menghindari kerja miokardia,
bradikardi,peningkatan frekuensi jantung
Kolaborasi:
a) Berikan oksigen sesuai indikasi Rasional: Untuk memenuhi
kebutuhan miokard, menurunkan iskemia dan disritmia lanjut
b) Pertahankan cairan IV
Rasional: Jalur yang paten untuk pemberian obat darurat pada
disritmia/nyeri dada
c) Kaji ulang seri EKG
Rasional: memberikan informasi sehubungan dengan kemajuan
atau perbaikan infark, fungsi ventrikel, keseimbangan elektrolit,
dan efek terapi obat
d) Pantau laboratorium (enzim jantung, GDA, elektrolit)
Rasional: Untuk mengetahui perbaikan/perluasan infark adanya
hipoksia, hipokalemia/hiperkalsemia
e) Berikan obat antidisritmia.
Fauci, et.al. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th edition. The
McGraw-Hill Companies, Inc.
Kumar, et.al. 2007. Robbin’s Basic Pathology. Elsevier Inc.
Muttaqin, A. 2009. Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika
Price, S. A., & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2010. Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3. Edisi
8. Jakarta : EGC.
Wilkinson, judith. 2012. Buku saku diagnosa keperawatan: diagnosis, NANDA,
NIC, NOC 2012-2015. Jakarta: ECG