PENDAHULUAN
Penyakit Demam Tifoid (bahasa Inggris: Typhoid fever) yang biasa juga disebut
typhus atau types dalam bahasa Indonesianya, merupakan penyakit yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi terutama
menyerang bagian saluran pencernaan. Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang
selalu ada di masyarakat (endemik) di Indonesia, mulai dari usia balita, anak-anak dan
dewasa.
Penyakit ini pertama kali muncul dalam wabah yang terjadi di Athena sampai
Sparta Yunani pada tahun 430-424 SM. Sejarah yang tidak kalah menarik adalah tentang
“Tifoid Marry” yang pada tahun 1907 menjadi seorang carier/ pembawa penyakit tifoid di
Amerika, dimana setiap restoran tempat dia bekerja selalu terjadi epidemi tifoid.
Di Indonesia, diperkirakan antara 800 - 100.000 orang terkena penyakit tifus atau
demam tifoid sepanjang tahun. Demam ini terutama muncul di musim kemarau dan konon
anak perempuan lebih sering terserang, peningkatan kasus saat ini terjadi pada usia
dibawah 5 tahun.
Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi
lingkungan. Di daerah rural (Jawa Barat) didapatkan 157 kasus per 100.000 penduduk,
sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 kasus per 100.000 penduduk. Perbedaan
insiden di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai
serta sanitasi lingkungan dengan salah satunya tempat pembuangan sampah yang kurang
memenuhi syarat kesehatan lingkungan.
Prevalensi kasus 91% demam tifoid terjadi pada usia 3-19 tahun, kejadian
meningkat setelah usia 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar
dibedakan dengan penyakit demam lainnya sehingga untuk memastikan diagnosis
diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi. Demam yang terjadi biasanya
bertipe berkepanjangan (prolonged fever), yaitu demam yang berlangsung minimal lebih
dari 5 hari dengan pola yang biasanya khas/klasik yaitu demam yang rendah dan perlahan
lahan lalu meningkat dari hari ke hari hingga cenderung konstan tinggi. Namun pola
demam yang seperti itu sudah jarang ditemui karena pengaruh pemakaian antibiotik dalam
pengobatan pribadi.
Bakteri penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhii bersama turunan lainnya
Salmonella paratyphii A dan parathypii B kedua kuman ini dapat mencemari makanan dan
minuman penderita karena paling sering ditemukan di tinja atau air kemih penderita.
Sanitasi yang kurang adalah penyebab utama seperti pencucian tangan yang kurang bersih,
makanan atau minuman yang tercemar vektor pembawa penyakit seperti lalat sehingga
memudahkan penularan penyakit melalui media fecal-oral.
Pada anak- anak demam tifoid cukup sering ditemui, salah satu penyebabnya selain
sanitasi adalah system kekebalan atau imunitas yang belum berkembang dengan baik.
Komplikasi atau penyulit pun tidak jarang terjadi seperti gangguan SSP (delirium sampai
gangguan kesadaran) dan perforasi usus yang menyebabkan peritonitis. Sedangkan pada
bayi relative jarang ditemukan karena masih mendapatkan perlindungan dari ASI yang
mengandung IgA sekretorik yang memberikan proteksi local khususnya pada saluran
cerna.
Pada tahun 1897, Almorth Edward Wright mengembangkan vaksin untuk penyakit
ini disusul pada tahun 1909 Frederik F. Russell, seorang dokter Angkatan Darat AS yang
mengembangkan vaksin ini untuk kemudian divaksinasikan guna mengeliminasi epidemi
tifus kala itu.
Saat ini telah berkembang imunisasi untuk demam tifoid ini yaitu Ty21a dan
ViCPS, namun masih dicari tingkat efektivitas dan keamanannya terutama bagi anak anak.
II.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram negatif
Salmonella typhii. Disebut Tifoid karena pada awalnya penyakit ini memiliki mnanifestasi
yang hampir sama dengan Demam Tifus yang disebabkan oleh bakteri Rickettsia oleh
karena itu penyakit ini diberi akhiran “id” yang berarti mirip.
Di Indonesia sendiri penyakit ini lebih akrab dengan sebutan Tifus atau Tipes
karena kemiripannya dengan demam Tifus tersebut. Demam tifoid merupakan suatu infeksi
Fecal-Oral yang pada nantinya akan menyerang saluran Cerna khususnya usus halus
(jejunum dan ileum) dilanjutkan dengan masuknya ke dalam aliran darah (bakteremia)
yang akan menyebabkan gejala atau tanda yang khas tempat dimana kuman melewati organ
selama bakteremia tersebut.
II.2 Etiologi
Salmonella sp. adalah salah satu strain dari bakteri gram negative bentuk bacil atau
batang, tidak berspora, tidak berkapsul, bergerak dengan flagella peritrik, memiliki ukuran
2-4 µm x 0,5 -0,8 µm. Kuman ini tumbuh dalam suasana aerob dan fakultatif anaerob, mati
dalam suhu 56oC dan pada keadaan kering. Di dalam air dapat bertahan selama 4 minggu
dan hidup subur dalam media yang mengandung garam empedu. Memiliki 3 macam
antigen yaitu antigen O (somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel) dan
antigen Vi
Demam tifoid dan paratifoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemic di
Asia, Afrika, Amerika Latin, kep. Karibia, dan Oceania, termasuk Indonesia. Penyakit ini
tergolong menular yang dapat menyerang banyak orang melalui makanan dan minuman
yang terkontaminasi.
Insiden demam tifoid di seluruh dunia menurut data pada tahun 2002 sekitar 16 juta
per tahun, 600.000 diantaranya berakhir dengan kematian. Di Indonesia prevalensi 91%
kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun dengan kejadian yang meningkat setelah
usia 5 tahun.
Ada dua sumber penularan penyakit ini yaitu pasien yang menderita demam tifoid
dan yang lebih sering adalah dari carier yaitu orang yang sudah sembuh dari demam tifoid
tapi masih mengekskresikan S. typhii dalam tinja selama lebih dari setahun.
Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui
secret saluran nafas, urin, tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella
typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada
di dalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Mudah mati pada
klorisasi dan pasteurinisasi (temp 63oC).
Dapat juga terjadi transmisi transprasental dari seorang ibu hamil yang berada
dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang
ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman
berasal dari laboratorium penelitian.
II.4 Patofisiologi
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum.
Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan
menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer
Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di
lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan
Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi
sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala
infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan
mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai
gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini
biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut.
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S.
typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan
dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel-
sel mononuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel
endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti
dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan
limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam
hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin
dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis
seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabiil, demam, depresi sumsum tulang,
kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologis.
Bagan patomekanisme Infeksi Salmonella typhi :
II.5 Gejala Klinis
Keluhan dan gejala Demam Tifoid umumnya tidak khas, dan bervariasi dari gejala
yang menyerupai flu ringan sampai sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem
organ. Secara klinis gambaran penyakit demam tifoid berupa demam berkepanjangan,
gangguan gastrointestinal dan keluhan susunan saraf pusat.
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Demam lebih dari 7 hari,
biasanya mulai dengan subfebris yang makin hari makin meninggi, sehingga pada minggu
ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari. Demam yang terjadi biasanya
khas tinggi pada sore hingga malam hari dapat mencapai 39-40oC dan cenderung turun
menjelang pagi. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Pada
minggu ketiga suhu badan berangsur- angsur turun dan normal pada akhir minggu ketiga.
Perlu diperhatikan bahwa tidak selalu ada bentuk demam yang khas seperti di atas pada
demam tifoid. Tipe deman menjadi tidak beraturan, mungkin karena intervensi pengobatan
(penggunaan antipiretik atau antibiotic lebih awal) atau komplikasi yang terjadi lebih awal.
Pada khususnya anak balita, demam tinggi dapat menyebabkan kejang.
Mekanisme demam sendiri tidak jauh berbeda dengan mekanisme demam akibat
infeksi pada umumnya. Dimana Bakteri Salmonella typhi yang memproduksi endotoksin
merupakan pirogen eksogen selain mediator- mediator radang yang disekresi oleh sel- sel
mukosa usus yang mengalami infeksi (IL-1, IL-6, TNF-alfa, & IFN-6) yang merupakan
pirogen endogen. Kedua pirogen ini akan mengaktivasi pelepasan Fosfolipase A2 pada
membran sel yang mana akan mengaktivasi asam arakidonat yang melalui jalur
siklooksigenase memproduksi Prostaglandin E2 (PGE2). Prostaglandin E2 bersama
dengan AMP siklik yang diaktivasinya akan mengubah seting termostat yang terdapat di
hipothalamus sehingga terjadilah demam.
Gejala sistem gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, perut
kembung, lidah kotor, sampai hepato-splenomegali. Gastrointestinal problem biasanya
dipengaruhi oleh peredaran bakteri atau endotoksinnya pada sirkulasi. Dari cavum oris
didapatkan lidah kotor yaitu ditutupi selaput putih dengan tepi yang kemerehan kadangkala
waktu lidah dijulurkan lidah akan tremor kesemua tanda pada lidah ini disebut dengan
Tifoid Tongue. Meskipun jarang ditemukan pada anak- anak tapi cukup berarti diagnostik.
Gejala- gejala lain yang tidak spesifik seperti mual, anoreksia. Karena bakteri menempel
pada mukosa usus dan berkembang biak dalam Peyer patch di dalamnya maka tidak jarang
akan muncul gejala- gejala seperti diare atau kadang diselingi konstipasi. Diare merupakan
respon terhadap adanya bakteri dalam lumen usus yang perlu untuk secepatnya
dikeluarkan, namun diare pada demam tifoid tidak sampai menyebabkan dehidrasi, pun
begitu dengan konstipasi yang mungkin baru dialami setelah mengalami diare beberapa
kali. Penderita anak- anak lebih sering mengalami diare daripada konstipasi dewasa
sebaliknya, hal itulah yang kadang- kadang membuat sering miss diagnosis ketika
penderita datang berobat.
Gangguan Sistem Saraf terjadi bila ada toksin yang menembus Blood Brain Barier,
pada anak gangguan sistem saraf akibat tifoid ini lebih sering bersifat Sindrom Otak
Organik yang berarti kelainan extra cranial mengakibatkan gangguan kesadaran seperti
Delirium, gelisah, somnolen, supor hingga koma. Pada anak- anak tanda- tanda ini sering
muncul waktu mereka tidur dengan manifestasi khas “mengigau atau nglindur” yang
terjadi selama periode demam tifoid tersebut. Gangguan otak organik ini biasanya lebih
berat ditemukan pada demam tifoid pada keadaan lanjut yang sudah mengalami
komplikasi. Pada keadaan ini biasanya gangguan kesadaran tidak lagi ditemukan hanya
sewaktu tidur saja melainkan bisa timbul sewaktu- waktu.
Pada ekstremitas, punggung, atau perut mungkin didapatkan floresensi kulit berupa
ruam makulo papular kemerahan dengan ukuran 1-5 mm yang mirip dengan ptechiae
disebut dengan Roseola/ Rose Spot. Penyebab roseola ini karena emboli basil dalam kapiler
kulit terkumpul di bawah permukaan kulit sehingga menyerupai bentuk bunga roseola.
Ruam ini muncul paa hari ke 7-10 dan beratahn selama 2-3 hari. Namun menurut IDAI
penyakit tropik infeksi ruam/rose spot ini hampir tidak pernah dilaporkan pada kasus anak
di Indonesia.
Bradikardi Relatif, adalah tanda lain yang mungkin ditemukan pada infeksi tifoid.
Pada umumnya tiap kenaikan suhu 1oC akan diikuti oleh peningkatan denyut nadi sampai
10x tiap menitnya. Namun pada demam tifoid peningkatan suhu tubuh tidak diikuti oleh
peningkatan denyut nadi sehingga dikatakan Bradikardi yang relatif pada demam.
Bradikardi relatif ini juga cenderung jarang terjadi pada anak.
Makanan yang Masuk Saluran Cerna dalam
terkontaminasi jumlah minimal 105-109 untuk
Salmonell typhii menimbulkan infeksi
Aktivasi Asam
Arakidonat Hepatomegali
Splenomegali
II.6.a Anamnesis
- Demam, onset (hitung lama demam dari awal sakit sampai dibawa ke pusat
pengobatan), tipe demam (demam terutama pada malam hari dan turun
menjelang pagi hari), menggigil atau tidak, keringat dingin, sejak kapan mulai
demam tinggi terus tanpa suhu turun, disertai kejang atau tidak
- Gejala SSP, apakah anak sempat mengalami tidak sadar? Atau hanya sebatas
ngelindur atau mengigau saja waktu tidur.
- Riwayat Penyakit dahulu ditanyakan untuk mencari tahu apakah pernah sakit
seperti ini, karena demam tifoid adalah infeksi yang sangat mungkin
menjadikan penderitanya sebagai carier atau pembawa meskipun tidak
menunjukkan gejala
- Riwayat Terapi, bila sudah mendapatkan terapi baik hanya antipiretik dan atau
antibiotika klinis penyakit kemungkinan sangat mungkin sudah mengalami
perubahan
- Riwayat kehidupan sosial adalah yang tidak boleh dilupakan mengingat salah
satu faktor resiko terjadinya penyakit adalah lingkungan yang padat dan
sanitasi perorangan yang kurang baik.
- Riwayat makanan penderita perlu dicari kebiasaan makan atau minum
sembarangan atau di tempat yang kurang sehat dan mudah dihinggapi lalat dan
vektor penyakit yang lain. Riwayat pemberian ASI juga perlu diketahui karena
pentingnya ASI dalam pembentukan IgA yang berperan dalam imunologi
lokal dalam saluran cerna. Anak yang minum susu formula sejak kecil
tentunya memiliki saluran cerna yang kurang diproteksi dengan baik oleh
Imunoglobulin.
Keadaan Umum anak biasanya tampak lemah atau lebih rewel dari biasanya.
Pada keadaan yang sudah terjadi komplikasi sangat mungkin keadaan menjadi
toksik, salah satunya adalah penurunan kesadaran mulai dari delirium, stupor
hingga koma.
Pada pemeriksaan kepala dan leher observasi tanda- tanda dehidrasi yang
mungkin terjadi akibat diare sebagai suatu symptom yang dapat terjadi pada
infeksi demam tifoid. Tanda- tanda dehidrasi dapat dinilai dari mata cowong dan
bibir kering dengan rasa haus yang meningkat. Pemeriksaan intra oral evaluasi
lidah apakah didapatkan Tifoid Tongue dengan pinggir yang hiperemi sampai
tremor.
Uji Widal, uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman
Salmonella typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen
kuman Salmonella typhi dengan antibody penderita yang disebut agglutinin.
Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense bakteri Salmonella yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk
menentukan adanya agglutinin/antibodi dalam serum penderita tersangka
demam tifoid yaitu: antigen O (dari tubuh kuman itu sendiri), antigen H (dari
flagella kuman), antigen Vi (simpai kuman) dan antigen Paratyphi A dan B
(antigen dari Salmonella Paratyphi A dan B)
Tabung I II III IV V
Deretan + + - - -
Tabung
+ + + - -
+ + + + +
o Keterangan: tanda (+) berarti terjadi aglutinat yaitu terjadi reaksi antigen
antibodi dan yang digunakan adalah tabung aglutinat terakhir (titer 1/160)
o Uji widal dianggap positif apabila didapatkan titer 1/200 atau terjadi
peningkatan sebanyak 4x
Dari keempat agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pembentukan antibodi mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam atau
awal minggu kedua, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak
pada minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut
mula- mula timbul agglutinin O, kemudian diikuti oleh agglutinin H. pada
penderita yang sudah sembuh agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6
bulan, sedangkan agglutinin H dapat menetap 9-12 bulan. Oleh karena itu uji
Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu: 1) pengobatan dini
dengan antibiotik, 2) gangguan pembentukan antibody/ immunocompromissed,
3) pemberian kortikosteroid, 4) waktu pengambilan darah, 5) riwayat vaksinasi,
6) Reaksi amnestik, yaitu peningkatan titer antibodi pada non infeksi tifoid atau
infeksi tifoid pada masa lalu, 7) faktor teknik pemeriksaan antara
laboratorium,akibat aglutinasi silang dan strain salmonella yang digunakan
untuk suspense antigen. Tromnositopeni juga sangat mungkin terjadi bila terjadi
penekanan sumsum tulang akibat bakteremia kuman.
Kultur, hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan
beberapa hal sebagai berikut: 1) telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien
sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman
dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif, 2) volume darah yang
kurang (< 5cc darah). Bila volume darah yang dibiakkan terlalu sedikit hasil
biakan kuman bisa negative. Darah yang diambil sebaiknya secara bedsaide
langsung dimasukkan ke media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman.
3) riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lalu dapat menimbulkan antibodi dalam
darah pasien. Antibodi in dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat
negatif, 4) saat pengambilan darah yang kurang tepat pada waktu antibodi
meningkat (minggu pertama).
Oleh karena itu untuk pengambilan spesimen yang akan dikultur sebaiknya
diambil waktu awal minggu kedua setelah sakit karena sensitifitasnya cukup
tinggi, dikarenakan kuman hampir pasti didapatkan diseluruh organ dan jaringan
tubuh.
Kultur kuman dapat diambil dari darah, urin, atau feses. Arti diagnostik yang
penting didapat dari gall kultur (kultur di media biakan garam empedu) karena
kemampuan hidup bakteri salmonella sangat tinggi di media ini. Spesimen lain
yang mengandung arti diagnostik penting adalah biopsi sumsum tulang yang
memiliki hasil positif hampir 90% kasus. Pada biakan feses yang perlu dicari
adalah Fecal Monocyte sebagai respon dari usus yang mengalami reaksi dengan
skuman salmonella yang bereplikasi di dalamnya. Biakan dari feses ini
khususnya bermanfaat bagi carier tifoid
Pemeriksaan Serologi (IgM dan IgG anti Salmonella), IgM anti salmonella
atau yang dikenal dengan TUBEXR tes adalah pemeriksaan diagnostic in vitro
semikuantitatif yang cepat dan mudah untuk mendeteksi infeksi Tifoid akut.
Pemeriksaan ini mendeteksi antibody IgM terhadap antigen Lipo Polisakarida
bakteri Salmonella typhi dengan sensitivitas dan spesifitas mencapai > 95% dan
> 91%.
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang- kadang secara klinis
dapat menjadi diagnosis banding dari demam tifoid diantaranya influenza/common cold,
gastroenteritis akut, bronchitis atau bronkopneumonia bila didapatkan tanda- tanda sesak,
batuk dan demam. Pada demam tifoid yang berat sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit
Hodgkin dapat sebagai diagnosis banding.
II.8 Penatalaksanaan
Prinsip utama dalam pengobatan demam tifoid adalah Istirahat dan perawatan, diet
dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), serta pemberian antibiotika. Pada kasus
tifoid yang berat hasus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, eletrolit, serta nutrisi
disamping observasi kemungkinan penyulit.
Pemberian diet penderita demam tifoid awalnya diberi bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi,yang mana perubahan
diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring
tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau
perforasi usus. Hal ini disebabkan karena usus harus diistirahatkan. Pemberian
makanan padat dini terutama tinggi serat seperti sayur dan daging dapat
meningkatkan kerja dan peristaltic usus sedangkan keadaan usus sedang kurang baik
karena infeksi mukosa dan epitel oleh kuman Salmonella typhi. Pemberian makanan
tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang paling membantu
dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus.
Terapi penunjang/suportif lain yang dapat diberikan tergantung gejala yang muncul
pada anak yang sakit tersebut. Pemberian infus pada anak- anak penting tapi tidak
mutlak, mengingat resiko untuk terjadinya phlebitis cukup tinggi. Oleh karena itu
pemberian infuse sebaiknya diberikan bagi anak yang sakit dengan intake perOral
yang kurang. Jenis infus yang diberikan tergantung usia: 3 bln-3 tahun D5 ¼ Normal
saline, > 3 tahun D5 ½ Normal saline. Jumlah pemberian infus disesuaikan dengan
kebutuhan kalori pada anak. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan
kebutuhan cairan rumatannya.
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk
menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran
cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk
diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat
diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.
c) Antibiotika
Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari.
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian
Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan
infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari
antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.
d) Terapi penyulit
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai syok
dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk
dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan
tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan
laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.
II.9 Pencegahan
Vaksinasi. Vaksin tifoid pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah tahun 1960
efektifitas vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-88%
(WHO). Jenis vaksin ada yang berisi kuman Salmonella typhi, S. paratyphi A, S.
paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan tahun digunakan dengan
cara pemberian Sub Kutan, namun daya kekebalannya terbatas, disamping efek
samping lokal pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman
Salmonella typhi hidup yang dilemahkan disebut : Ty21a (vivotif Berna)
pemberiannya secara Oral belum beredar di Indonesia, parenteral: ViCPS (Typhim
Vi/Pasteur Merineux) yang merupakan vaksin kapsul polisakarida.
Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3x secara bermakna dengan
selang 1 hari (hari 1,3,5) dapat memberi daya perlindungan selama 6 tahun. Usia
sasaran vaksinasi berbeda efektivitasnya, untuk anak usia > 10 tahun insiden yang
turun dapat sebesar 53% sedangkan anak usia 5-9 tahun insiden turun sebesar 17%.
Imunisasi ulangan dilakukan tiap 3-5 tahun. Vaksin jenis ini diberikan pada anak
berumur diatas 2 tahun. Vaksin oral ini pada umumnya diperlukan untuk turis yang
akan berkunjung ke daerah endemis tifoid.
Vaksin parenteral non aktif relatif lebih sering menyebabkan reaksi efek samping
serta tidak seefektif dibandingkan dengan pemberian peroral. Diberikan pada usia
> 2 tahun dan di booster tiap 3 tahun. Kemasannya di dalam prefilled syringe 0,5
cc dan diberikan secara Intra Muskuler.
Kelompok orang yang menjadi sasaran vaksinasi tergantung pada faktor resiko
yang berkaitan diantaranya: anak usia sekolah terutama yang berada di daerah
endemik, pengunjung yang akan berwisata ke daerah endemic, dan anak- anak yang
kontak erta dengan pengidap tifoid (carier)
Perlu diperhatikan tentang efek samping vaksin yang dapat berupa demam, sakit
kepala akibat pemberian vaksin Ty21a, sedangkan pada ViCPS efek samping yang
timbul lebih ringan. Efek samping yang paling sering terjadi bila diberikan secara
Intravena karena dapat terjadi reaksi lokal berat, edema, hipotensi dan nyeri dada.
Secara garis besar terdapat 2 macam komplikasi yaitu komplikasi intestinal dan
komplikasi ekstra intestinal.
Komplikasi intestinal mencakup perdarahan intestinal dan perforasi usus. Pada
perdarahan intestinal diawali dari Peyer Patch yang mengalami infeksi terutama
pada ileum terminal dapat terbentuk tukak/luka yang berbentuk lonjong dan
memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai
pembuluh darah maka akan terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus
dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan
juga dapat terjadi gangguan koagulasi darah atau gabungan keduanya. Sekitar 25%
penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor dan tidak memerlukan
tranfusi darah. Perdarahan yang hebat dapat terjadi hingga penderita dapat
mengalami syok hipovilemik. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah
ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kg/jam dengan factor
hemostasis yang masih dalam batas normal.
Perforasi Usus terjadi sekitar 3% penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum
demam tifoid yang biasa terjadi, penderita demam tifoid dengan perforasi usus akan
mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah lalu
menyebar ke seluruh lapang perut dan disertai tanda- tanda ileus. Bising usus
melemah, pekak hapar juga menghilang yang menandakan adanya udara bebas
dalam cavum abdomen. Untuk lebih menguatkan kea rah perforasi usus dapat
dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen AP dan lateral dimana akan didapatka
gambaran air fluid level dan bayangan radiolusen pada hepar.
Bila sudah terjadi perforasi maka harus segera diberikan antibiotik spectrum luas
untuk infeksi kuman Salmonella typhi dengan kombinasi Chloramphenicol dan
Ampisilin IV serta untuk mengatasi kuman yang fakultatif anaerob pada flora usus
digunakan Gentamisin atau Metronidazole. Walaupun jarang terjadi pada anak-
anak namun mortalitasnya cukup tinggi bila sampai terjadi perforasi usus.
Komplikasi extraintestinal yang paling sering terjadi pada anak- anak adalah
manifestasi neuropsikiatrik yang mana sering terjadi delirium dan atau Sindroma
Otak Organik yang lain. Hal ini sering juga disebut sebagai tifoid toxic atau tofoid
ensefalopati. Pengobatannya ditambah dengan Kortikosteroid (dexamethasone)
3x5 mg.
II.11 Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Di Negara maju, dengan terapi antibiotic yang
adekuat, angka mortalitas < 1%. Di Negara berkembang, angka mortalitasnya > 10%,
biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya
komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis,
endokarditis, dan pneumonia dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps atau kambuh dapat timbuh beberapa kali. Individu yang mengeluarkan
Salmonella typhi lebih dari 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi carier yang kronis.
Resiko menjadi carier pada anak- anak rendah dan meningkat sesuai usia. Carier kronik
terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih
tinggi pada carier kronis dibandingkan populasi umum. Walaupun carier urin kronis juga
dapat terjadi, namun hal ini jarang dan dijumpai terutama pada individu dengan
schistosomiasis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, Kliegma dkk. 2014. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 volume Z.
Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.
3. Hegar, Badriul dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia Jilid 1. Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia.
6. Panitia Medik Farmasi dan Terapi RSU Dr. Soetomo. 2015. Pedoman Diagnosis
dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak Edisi III. Surabaya: RSU Dr. Soetomo
Surabaya.
7. Soedarmo, Poorwo Sumarmo S. dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis
Edisi Kedua. Jakarta: Badan Peberbit IDAI.
8. Sudoyo, Aru W. dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid III Edisi IV.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
9. Wilson, dan Price. 2002. Patofisiologi Volume 1 Edisi Keenam. Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta.
10. www.medicastore.com
11. www.pediatric.com
12. www. emedicine/tifoidfever/patofisiogy.com