Anda di halaman 1dari 30

PERTUMBUHAN BALITA

OLEH :

Dr. Nurhaedar Jafar, Apt, M.Kes

PROGRAM STUDI ILMU GIZI


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
DAFTAR ISI

Contents
BAB I ...................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 4
A. LATAR BELAKANG ................................................................................................................ 4
1. RUMUSAN MASALAH ............................................................................................................ 5
2. TUJUAN PENULISAN .............................................................................................................. 6
BAB II..................................................................................................................................................... 7
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 7
A. Pengertian Balita ......................................................................................................................... 7
B. Pertumbuhan Balita ..................................................................................................................... 7
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan balita .............................................................. 8
D. Teori dan Prinsip Pertumbuhan................................................................................................. 14
E. Parameter dan cara penilaian pertumbuhan .............................................................................. 15
F. Kebutuhan gizi pada Balita ....................................................................................................... 22
G. Masalah gizi pada Balita ........................................................................................................... 23
BAB III ................................................................................................................................................. 29
KESIMPULAN ..................................................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 30
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Usia balita merupakan masa di mana proses pertumbuhan dan perkembangan


terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup
dalam jumlah dan kualitas yang lebih banyak, karena pada umumnya aktivitas fi sik yang
cukup tinggi dan masih dalam proses belajar. Apabila intake zat gizi tidak terpenuhi
maka pertumbuhan fi sik dan intelektualitas balita akan mengalami gangguan, yang
akhirnya akan menyebabkan mereka menjadi generasi yang hilang (lost generation), dan
dampak yang luas negara akan kehilangan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas
(Welasasih and Wirjatmadi 2012).
Menurut Dorice M. dalam Waspadji (2003), bahwa status gizi optimal adalah
keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan zat gizi. Dengan demikian
asupan zat gizi Memengaruhi status gizi seseorang. Status gizi adalah keadaan kesehatan
individu yang ditentukan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan zat
gizi. Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang .Banyaknya faktor
yang berhubungan dengan pertumbuhan linier atau tinggi badan anak balita, maka dalam
penelitian ini variabel yang akan diteliti meliputi karakteristik balita dan orang tua balita,
tingkat konsumsi zat gizi balita, riwayat menyusui dan pola konsumsi balita, pola asuh
keluarga terhadap balita, kejangkitan penyakit infeksi, dan praktek hygiene sanitasi ibu
pada balita (Welasasih and Wirjatmadi 2012).
Status gizi stunting disebut juga sebagai gizi kurang kronis yang menggambarkan
adanya gangguan pertumbuhan tinggi badan yang berlangsung pada kurun waktu cukup
lama. Pada kelompok balita stunting sebagian besar balita berada pada kelompok umur
23–36 bulan, kemungkinan mereka pernah mengalami kondisi gizi kurang pada saat
berada di tahapan usia 12–24 bulan atau bahkan sebelumnya. Dengan demikian
manifestasi stunting semakin tampak pada mereka saat berada pada tahapan usia 23–36
bulan. Keadaan ini sesuai dengan pendapat Soetjiningsih (2005), bahwa umur yang
paling rawan adalah masa balita, oleh karena pada masa itu anak mudah sakit dan mudah
terjadi kurang gizi. Masa balita merupakan dasar pembentukan kepribadian anak
sehingga diperlukan perhatian khusus. Selain itu, masa balita adalah masa yang cukup
penting karena pada kelompok usia balita mengalami proses perkembangan dan
pertumbuhan yang cepat dan menentukan kualitas anak di kemudian hari dalam
menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sedangkan pada kelompok umur
6–23 bulan merupakan kelompok umur yang sedang mengalami pertumbuhan kritis.
Oleh karenanya penanganan gizi kurang pada kelompok umur ini (6–23 bulan) menjadi
lebih diperhatikan karena apabila tidak ditangani dengan baik dapat mengalami
kegagalan tumbuh (growth failure) (Depkes 2000).
Pemantauan pertumbuhan merupakan salah satu kegiatan utama program
perbaikan gizi, menitikberatkan pada upaya pencegahan dan peningkatan keadaan gizi
balita (EVITA and Abidillah Musyid 2009). Keaktifan balita ke posyandu sangat besar
pengaruhnya terhadap pemantauan status gizi. Posyandu merupakan kegiatan rutin yang
dilakukan bulanan, balita yang setiap bulan aktif ke posyandu akan mendapatkan
penimbangan berat badan, pemeriksaan kesehatan jika ada masalah, pemberian makanan
tambahan dan penyuluhan gizi. Balita yang rutin dilakukan penimbangan berat badan
dan tinggi badan setiap bulannya, akan diketahui perubahan status gizinya. Anak sehat
adalah anak yang berat badannya mengalami kenaikan karena pertambahan tinggi badan
bukan karena anak semakin gemuk. Kehadiran ke posyandu bisa menjadi indikator
terjangkaunya pelayanan kesehatan pada balita, karena dengan hadir rutin balita akan
mendapat imunisasi dan program kesehatan lain seperti vitamin A dan kapsul yodium.
Dengan tercakupnya balita dengan program kesehatan dasar maka diharapkan balita
terpantau perkembangan dan pertumbuhannya, minimal selama masa balita, di mana
masa ini adalah masa rawan/rentan terhadap penyakit infeksi dan rentan terkena penyakit
gizi (Welasasih and Wirjatmadi 2012).

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimanakah :
1. Pengertian Balita
2. Pertumbuhan Balita
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan balita
4. Teori dan Prinsip Pertumbuhan
5. Parameter dan cara penilaian pertumbuhan
6. Kebutuhan gizi pada Balita
7. Masalah gizi pada Balita
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dalam makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui Pertumbuhan Balita.
2. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan balita.
3. Untuk mengetahui Teori dan Prinsip Pertumbuhan.
4. Untuk mengetahui Parameter dan cara penilaian pertumbuhan.
5. Untuk mengetahui Kebutuhan gizi pada Balita.
6. Untuk mengetahui Masalah gizi pada Balita
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Balita
Adapun pengertian BALITA yaitu :

 Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai Balita merupakan salah
satu periode usia manusia setelah bayi dengan rentang usia dimulai dari dua sampai
dengan limatahun, atau biasa digunakan perhitungan bulan yaitu usia 24-60 bulan.
Periode usia ini disebut juga sebagai usia prasekolah. Pertambahan berat
badan menurun, terutama diawal balita. Hal ini terjadi karena balita
menggunakan banyak energi untuk bergerak (Wikipedia 2016).
 Milyatani menyebutkan bahwa Balita adalah masa anak mulai berjalan dan
merupakan masa yang paling hebat dalam tumbuh kembang, yaitu pada usia 1
sampai 5 tahun. Masa ini merupakan masa yang penting terhadap
perkembangan kepandaian dan pertumbuhan intelektual (Mitayani 2010).
 Menurut Depkes RI (2009) yang berada pada kategori mur 0 - 5 tahun.
 Menurut Profil Kesehatan (2013), balita merupakan anak yang usianya
berumur antara satu hingga lima tahun. Saat usia balita kebutuhan akan
aktivitas hariannya masih tergantung penuh terhadap orang lain mulai dari
makan, buang air besar maupun air kecil dan kebersihan diri. Masa balita
merupakan masa yang sangat penting bagi proses kehidupan manusia. Pada
masa ini akan berpengaruh besar terhadap keberhasilan anak dalam proses
tumbuh kembang selanjutnya.
B. Pertumbuhan Balita
Secara umum pertumbuhan setiap anak berbeda-beda, namun prosesnya
senantiasa melalui tiga pola yang sama, yakni (Erly 2015):
1. Pertumbuhan dimulai dari tubuh bagian atas menuju bagian bawah (sefalokaudal).
Pertumbuhannya dimulai dari kepala hingga ke ujung kaki, anak akan berusaha
menegakkan tubuhnya, lalu dilanjutkan belajar menggunakan kakinya.
2. Perkembangan dimulai dari batang tubuh ke arah luar. Contohnya adalah anak
akan lebih dulu menguasai penggunaan telapak tangan untuk menggenggam,
sebelum ia mampu meraih benda dengan jemarinya.
3. Setelah dua pola di atas dikuasai, barulah anak belajar mengeksplorasi
keterampilan-keterampilan lain. Seperti melempar, menendang, berlari dan lain-
lain. Pertumbuhan pada bayi dan balita merupakan gejala kuantitatif.
Pada konteks ini, berlangsung perubahan ukuran dan jumlah sel, serta jaringan
intraseluler pada tubuh anak. Dengan kata lain, berlangsung proses multiplikasi organ
tubuh anak, disertai penambahan ukuran-ukuran tubuhnya. Hal ini ditandai oleh:
1. Meningkatnya berat badan dan tinggi badan.
2. Bertambahnya ukuran lingkar kepala.
3. Muncul dan bertambahnya gigi dan geraham.
4. Menguatnya tulang dan membesarnya otot-otot.
5. Bertambahnya organ-organ tubuh lainnya, seperti rambut, kuku, dan sebagainya.
Penambahan ukuran-ukuran tubuh ini tentu tidak harus drastis. Sebaliknya,
berlangsung perlahan, bertahap, dan terpola secara proporsional pada tiap bulannya.
Ketika didapati penambahan ukuran tubuhnya, artinya proses pertumbuhannya
berlangsung baik. Sebaliknya jika yang terlihat gejala penurunan ukuran, itu sinyal
terjadinya gangguan atau hambatan proses pertumbuhan. Cara mudah mengetahui
baik tidaknya pertumbuhan bayi dan balita adalah dengan mengamati grafik
pertambahan berat dan tinggi badan yang terdapat pada Kartu Menuju Sehat (KMS).
Dengan bertambahnya usia anak, harusnya bertambah pula berat dan tinggi badannya.
Cara lainnya yaitu dengan pemantauan status gizi. Pemantauan status gizi pada bayi
dan balita telah dibuatkan standarisasinya oleh Harvard University dan Wolanski.
Penggunaan standar tersebut di Indonesia telah dimodifikasi agar sesuai untuk kasus
anak Indonesia.

C. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan balita


Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik dari waktu ke waktu (baik
berat badan, tinggi badan atau ukuran tubuh lainnya) dan merupakan gambaran
tentang keseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat gizi seorang anak dalam
proses tumbuh (Aritonang 2003).
Usia balita merupakan masa di mana proses pertumbuhan dan perkembangan
terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup
dalam jumlah dan kualitas yang lebih banyak, karena pada umumnya aktivitas fi sik
yang cukup tinggi dan masih dalam proses belajar. Apabila intake zat gizi tidak
terpenuhi maka pertumbuhan fisik dan intelektualitas balita akan mengalami
gangguan, yang akhirnya akan menyebabkan mereka menjadi generasi yang hilang
(lost generation), dan dampak yang luas negara akan kehilangan sumber daya manusia
(SDM) yang berkualitas. Hasil Riskesdas Indikator status gizi TB/U (gizi kurang
kronis) menggambarkan adanya gangguan pertumbuhan pada tinggi badan yang
berlangsung pada kurun waktu yang cukup lama tahun 2007 diperoleh keterangan
bahwa prevalensi balita menurut indeks TB/U menunjukkan bahwa prevalensi balita
pendek masih cukup tinggi yaitu sebesar 36,5%. Berdasarkan analisa lebih lanjut
diketahui bahwa 18,4% balita yang BB/U kurang ternyata dikontribusi oleh 12,42%
balita pendek dan hanya 4,82% tidak pendek. Hal ini menunjukkan bahwa balita yang
status gizinya pendek memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap terjadinya
status gizi kurang berdasarkan indeks BB/U (Basuni, 2009) (Welasasih and
Wirjatmadi 2012).
Banyaknya faktor yang berhubungan dengan pertumbuhan linier atau tinggi
badan anak balita, maka dalam penelitian ini variabel yang akan diteliti meliputi
karakteristik balita dan orang tua balita, tingkat konsumsi zat gizi balita, riwayat
menyusui dan pola konsumsi balita, pola asuh keluarga terhadap balita, kejangkitan
penyakit infeksi, dan praktek hygiene sanitasi ibu pada balita (Welasasih and
Wirjatmadi 2012).
Secara normal pertumbuhan dan perkembangan antara anak yang satu dengan
yang lain pada akhirnya tidak selalu sama, karena dipengauhi oleh interaksi banyak
faktor. Menurut Soetjiningsih faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor dalam (internal) dan faktor
eksternal/lingkungan (pra natal dan pasca natal) (Soetjiningsih and Gde 2005;
Kusminarti 2009).
1. Faktor dalam (internal), meliputi :
Genetik Faktor genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir
proses tumbuh kembang anak. Melalui instruksi genetik yang terkandung di dalam sel
telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan.
Ditandai dengan intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan
terhadap rangsangan, umur pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang. Termasuk
faktor genetik antara lain adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan patologik,
jenis kelamin, suku bangsa atau bangsa.
2. Faktor eksternal (luar) meliputi :
a. Lingkungan Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan
tercapai atau tidaknya potensi bawaan. Lingkungan yang cukup baik akan
memungkinkan tercapainya potensi bawaan, sedangkan lingkungan yang kurang baik
akan menghambatnya. Faktor lingkungan ini secara garis besar dibagi menjadi
lingkungan yang mempengaruhi anak pada waktu masih di dalam kandungan (faktor
pranatal) dan lingkungan yang mempengaruhi tumbuh kembang anak setelah lahir
(faktor postnatal).
a.) Faktor Lingkungan Pranatal
1) (Gizi Ibu pada waktu hamil Gizi ibu yang jelek sebelum terjadinya
kehamilan maupun pada waktu sedang hamil, lebih sering
menghasilkan bayi BBLR/lahir mati, menyebabkan cacat bawaan,
hambatan pertumbuhan otak, anemia pada bayi baru lahir,bayi baru
lahir mudah terkena infeksi, abortus dan sebagainya (Soetjiningsih,
1995:3).
2) Mekanis Trauma dan cairan ketuban yang kurang, posisi janin dalam
uterus dapat menyebabkan kelainan bawaan, talipes, dislokasi panggul,
tortikolis kongenital, palsi fasialis, atau kranio tabes (Soetjiningsih,
1995:3).
3) Toksin/zat kimia Zat-zat kimia yang dapat menyebabkan kelainan
bawaan pada bayi antara lain obat anti kanker, rokok, alkohol beserta
logam berat lainnya (Soetjiningsih, 1995:3).
4) Endokrin Hormon-hormon yang mungkin berperan pada pertumbuhan
janin, adalah somatotropin, tiroid, insulin, hormon plasenta, peptida-
peptida lainnya dengan aktivitas mirip insulin. Apabila salah satu dari
hormon tersebut mengalami defisiensi maka dapat menyebabkan
terjadinya gangguan pada pertumbuhan susunan saraf pusat sehingga
terjadi retardasi mental, cacat bawaan dan lain-lain (Soetjiningsih,
1995:3).
5) Radiasi Radiasi pada janin sebelum umur kehamilan 18 minggu dapat
menyebabkan kematian janin, kerusakan otak, mikrosefali, atau cacat
bawaan lainnya, sedangkan efek radiasi pada orang laki-laki dapat
menyebabkan cacat bawaan pada anaknya (Soetjingsih, 1995:4).
6) Infeksi Setiap hiperpirexia pada ibu hamil dapat merusak janin. Infeksi
intrauterin yang sering menyebabkan cacat bawaan adalah TORCH,
sedangkan infeksi lainnya yang juga dapat menyebabkan penyakit pada
janin adalah varisela, malaria, polio, influenza dan lain-lain
(Soetjingsih, 1995:4).
7) Stress Stres yang dialami oleh ibu pada waktu hamil dapat
mempengaruhi tumbuh kembang janin, antara lain cacat bawaan,
kelainan kejiwaan dan lain-lain (Soetjingsih, 1995:4).
8) Imunitas Rhesus atau ABO inkomtabilitas sering menyebabkan
abortus, hidrops fetalis, kern ikterus, atau lahir mati (Soetjingsih,
1995:4).
9) Anoksia embrio Menurunnya oksigenisasi janin melalui gangguan
pada plasenta atau tali pusat, menyebabkan BBLR (Soetjingsih,
1995:4).
b.) Faktor Lingkungan Postnatal Lingkungan postnatal yang mempengaruhi
tumbuh kembang anak secara umum dapat digolongkan menjadi :
1. Lingkungan biologis, yang dimaksud adalah:
1) ras/suku bangsa, bangsa eropa mempunyai pertumbuhan somatik lebih
tinggi daripada bangsa asia
2) jenis kelamin, laki-laki lebih sering sakit daripada perempuan namun
belum diketahui alasannya.
3) Umur umur yang paling rawan adalah balita maka anak mudah sakit
dan terjadi kurang gizi. Disamping itu masa balita merupakan dasar
pembentukan kepribadian anak sehingga diperlukan perhatian khusus
(Soetjiningsih, 1995:6).
4) Gizi Makanan memegang peranan penting dalam tumbuh kembang
anak, dimana kebutuhan anak berbeda dengan orang dewasa, karena
makanan bagi anak dibutuhkan juga untuk pertumbuhan, dimana
dipengaruhi oleh ketahanan makanan (food security) keluarga. Satu
aspek yang penting yang perlu ditambahkan adalah keamanan pangan
(food safety) yang mencakup pembebasan makanan dari berbagai
”racun” fisika, kimia, biologis yang kian mengancam kesehatan
manusia (Soetjingsih, 1995:7).
5) Perawatan kesehatan perawatan kesehatan yang teratur tidak hanya saat
anak sakit, tetapi pemeriksaan kesehatan dan menimbang anak secara
rutin akan menunjang tumbuh kembang anak (Soetjingsih, 1995:7).
6) Fungsi metabolisme Khusus pada anak, karena adanya perbedaan yang
mendasar dalam proses metabolisme pada berbagai umur, maka
kebutuhan akan berbagai nutrien harus didasarkan atas perhitungan
yang tepat atau setidak-tidaknya memadai (Soetjiningsih, 1995:7).
7) Jarak kelahiran kurang dari 2 tahun Bila jarak kelahiran dengan anak
sebelumnya kurang dari 2 tahun, rahim Ibu belum pulih dengan baik.
Kehamilan dalam keadaaan ini perlu diwaspadai karena ada
kemungkinan pertumbuhan janin kurang baik, mengalami persalinan
lama/ perdarahan (Soetjiningsih, 1995:5).
8) Riwayat Balita Berat Lahir rendah (BBLR) Ibu yang lingkar lengan
atas kurang dari 23,5 cm perlu diwaspadai karena berarti Ibu mungkin
menderita kekurangan energi kronik (KEK) atau 23 kekurangan gzi.
Bila hamil Ibu akan melahirkan bayi berat lahi rendah (BBLR) dan
pertumbuhan perkembangan janin terhambat. Anak yang lahir dari Ibu
yang gizinya kurang dan hidup di lingkungan miskin akan mengalami
kurang gizi dan mudah terkena penyakit infeksidan selanjutnya
mengahasilkan wanita dewasa yang berat dan tinggi badannya kurang
(Soetjiningsih, 1995:3).
9) Riwayat persalinan Ibu Bila Ibu hanil pernah mengalami kehamilan
dan persalinan yang bermasalah sebelumnya, Ibu perlu memperhatikan
riwayat perdarahan, kejang-kejang, demam tinggi, persalinan lama
(>12 jam), melahirkan dengan caesar, bayi lahir mati akan
mempengaruhi pertumbuhan janin (Soetjiningsih, 1995:3).
2. Faktor Fisik, antara lain :
1) Sanitasi Sanitasi lingkungan mempunyai peran yang cukup dominan
dalam penyediaan lingkungan yang mendukung kesehatan anak dan
tumbuh kembangnya. Kebersihan, baik kebersihan perorangan maupun
lingkungan memegang peranan penting dalam timbulnya penyakit.
Akibat kebersihan yang kurang, maka anak akan sering sakit, misalnya
diare, kecacingan, dan sebagainya. Demikian pula dengan polusi udara
baik yang berasal dari pabrik, asap kendaraan, atau asap rokok dapat
berpengaruh terhadap tingginya angka kejadian ISPA. Apabila anak
sering menderita sakit maka tumbuh kembangnya akan terganggu
(Soetjiningsih, 1995:8).
2) Cuaca Musim kemarau yang panjang atau adanya bencana alam
lainnya dapat berdampak pada tumbuh kembang anak antara lain
sebagai akibat gagal panen sehingga banyak anak kurang gizi.
Demikian pula gondok endemik banyak ditemukan pada daerah
pegunungan, dimana air tanahnya kurang mengandung yodium
(Soetjiningsih, 1995:8).
3. Faktor Psikososial, antara lain :
1) Stimulasi Stimulasi merupakan hal yang penting dalam tumbuh kembang
anak. Anak yang mendapatkan stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih
cepat berkembang dibandingkan anak yang kurang atau tidak mendapat
stimulasi (Soetjiningsih, 1995:9).
2) Kualitas interaksi anak-orangtua Interaksi timbal balik antara anak dan
orangtua akan menimbulkan keakraban dalam keluarga. Interaksi tidak
ditentukan oleh seberapa lama kita bersama anak, tetapi lebih ditentukan oleh
kualitas dari interaksi tersebut, yaitu pemahaman terhadap kebutuhan masing-
masing dan upaya optimal untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang dilandasi
oleh rasa saling menyayangi (Soetjiningsih, 1995:10).
4. Faktor keluarga dan adat istiadat, antara lain :
1) Pekerjaan/ Pendapatan keluarga (orangtua) Pendapatan keluarga yang
memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orangtua dapat
menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang sekunder
(Soetjiningsih, 1995:10).
2) Pendidikan Ayah/Ibu Pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang
penting dalam tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik
maka orangtua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang
cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anaknya, atau
pendidikannya (Soetjiningsih, 1995:10).
3) Pengetahuan Ibu Pemilihan makanan dan kebiasaan diet, dipengaruhi oleh
pengetahuan, sikap terhadap makanan, dan praktik-praktik. Pengetahuan
tentang nutrisi melandasi pemilihan makanan dan mempunyai asosiasi positif
dengan pengembangan pola-pola konsumsi makanan dalam keluarga.
Beberapa studi menunjukkan bahwa apabila pengetahuan ibu tentang nutrisi
dan praktik-praktiknya baik, maka usaha untuk memilih makanan yang
bernilai nutrisi makin meningkat. Ibu rumah tangga yang mempunyai
pengetahuan nutrisi akan memilih makanan yang lebih bergizi daripada yang
kurang bergizi (Mulyono Joyomartono, 2005:98).

D. Teori dan Prinsip Pertumbuhan


1. Teori Pertumbuhan
a. Teori Deprivasi Pertumbuhan (Konvensional)
Mendeskripsikan pertumbuhan sebagai suatu patokan yang pasti, seorang
anak telah memiliki patokan tersebut sejak lahir, yang bersifat tunggal dan
ia akan tetap berada pada kurva pertumbuhan tersebut selama hidupnya
dan ia akan jatuh ke keadaan terganggu manakala faktor lingkungannya
tiak mendukung
b. Teori Homeostatik Pertumbuhan
Menjelaskan bahwa faktor genetic berperan dalam memberikan ruang
pertumbuhan potensial, suatu kawasan berspektrum luas. Faktor
lingkungan membentuk kurva pertumbuhan pada kawasan tersebut,
dikontrol oleh mekanisme homeostatik
c. Teori Potensi Pertumbuhan Optimal
Mendeskripsikan bahwa faktor genetic menyediakan batas atas kurva
pertumbuhan, yang apabila faktor lingkunagan seorang anak mendukung
pertumbuhannya akan tercapai, sebaliknya kelemahan faktor lingkungan
dapat memnyebabkan tidak tercapainya kurva pertumbuhan maksimal
2. Prinsip Pertumbuhan
Menurut Sutterly Donnely (1973) terhadap 10 prinsip dasar pertumbuhan:
a. Pertumbuhan adalah kompleks, semua aspek-aspeknya berhubungan
sangat erat
b. Pertumbuhan mencakup hal-hal kuntitatif dan kualitatif
c. Pertumbuhan adalah proses yang berkesinambungan dan terjadi secara
teratur
d. Pada pertumbuhan dan perkembangan terdapat keteraturan arah
e. Tempo pertumbuhan tiap anak tidak sama
f. Aspek-aspek berbeda dari pertumbuhan, berkembang pada waktu dan
kecepatan berbeda
g. Kecepatan dan pola pertumbuhan dapat dimodifikasikan oleh faktor
intrinsic dan ekstrinsik
h. Pada pertumbuhan dan perkembangan terdapat masa-masa krisis
i. Pada suatu organism akan kecenderungan untuk mencapai potensi
perkembangan yang maksimum
j. Setiap indivisu tumbuh dengan caranya sendiri yang unik

E. Parameter dan cara penilaian pertumbuhan


Untuk memantau keadaan gizi masyarakat, kelompok anak balita merupakan
parameter yang sangat sesuai karena dinilai berada pada masa yang cukup sensitif.
Hal ini berhubungan erat dengan konsumsi energi dan protein yang merupakan dua
jenis zat gizi yang paling sering menimbulkan masalah gizi kesehatan pada skala
nasional atau daerah luas regional di Indonesia (Sediaoetama 2008). Masa balita
merupakan masa kritis dalam upaya menciptakan SDM yang berkualitas. Gagal
tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada masa-masa emas ini akan berakibat
buruk pada kehidupan balita di masa yang akan datang dan sulit diperbaiki (Shekar,
Heaver et al. 2006; Erni and Rialihanto 2008).
Status gizi terutama ditentukan oleh ketersediaan zatzat gizi pada tingkat sel
dalam jumlah yang cukup dan kombinasi yang tepat yang diperlukan tubuh untuk
tumbuh, berkembang, dan berfungsi normal. Oleh karena itu, pada prinsipnya status
gizi ditentukan oleh dua hal, yaitu: asupan zat-zat gizi yang berasal dari makanan
yang diperlukan tubuh serta peran faktor yang menentukan besarnya kebutuhan,
penyerapan, dan penggunaan zat-zat gizi tersebut (Erni and Rialihanto 2008;
Waspadji, Suyono et al. 2010).
Pemantauan pertumbuhan memerlukan standar yang tepat yang bertujuan
untuk mendeteksi dini adanya gangguan pertumbuhan, memantau status gizi serta
dapat meningkatkan gizi anak, menilai dampak kegiatan intervensi medis dan nutrisi,
serta deteksi dini penyakit yang mendasari gangguan pertumbuhan. Adapun
pengukran pertumbuhan balita dapat dilakukan sebagai berikut (LAB 2012):
1. Alat-alat
Perlengkapan pengukuran dasar seperti timbangan berat badan yang sudah
ditera, papan pengukur panjang /tinggi badan, pita pengukur lingkar kepala, pita
pengukur lengan kiri atas.
2. Persiapan

Untuk anak <2 tahun: timbangan pediatrik dengan alas tidur (pediatric scale
with pan). (Gambar 1)

Gambar 1. Timbangan pediatrik (pediatric scale)


Untuk anak >2 tahun: beam balance scale (Gambar 2),

Gambar 2. Beam balance scale


UNISCALE (timbangan elektronik untuk menimbang ibu dan anak sekaligus
(Gambar 3)
Timbangan berat badan yang direkomendasikan adalah sbb:
- Solidity built dan durable
- Elektronik (digital)
- Dapat mengukur berat sampai 150 kg
- Mengukur sampai ketelitian 0,1 kg (100g)
- Penimbangan berat badan dengan cara ditera
Timbangan harus ditera secara berkala sesuai dengan spesifikasi masing-
masing timbangan.
Anak dalam kondisi tidak berpakaian atau berpakaian minimal
3. Mengukur pertumbuhan anak
Mulai dari catatan pertumbuhan (growth record) anak, Tentukan umur anak
pada saat pengukuran. Kenali tanda-tanda klinis marasmus dan kwashiorkor
Ukur dan catat berat badan anak.
Ukur dan catat panjang badan atau tinggi badan
Ukur dan catat lingkar kepala anak
Ukur dan catat lingkar lengan kiri atas anak
Tentukan BMI dengan menggunakan tabel atau kalkulator
BMI = BB (kg)
-------------
[TB ]2 (m2)
4. Tanda-tanda marasmus dan kwashiorkor
Tanda-tanda klinis marasmus dan kwashiorkor perlu diketahui karena perlu
penanganan khusus segera yang meliputi pemberian asupan khusus, pemantauan
ketat, antibiotika, dll. Anak dengan kondisi seperti ini sebaiknya segera dirujuk.
5. Pengukuran berat badan
Mengukur berat badan anak usia di bawah 2 tahun. Penimbangan juga dapat
dilakukan dengan timbangan pediatrik. Pada penimbangan dengan menggunakan alat
ini, harus dipastikan anak ditempatkan di alas baring sehingga berat badan
terdistribusi secara merata. Setelah anak berbaring dengan tenang, berat badan dicatat.
(Gambar 1).
Bila tidak ada alternatif, dapat digunakan UNISCALE. (Gambar 3)
 Mengukur berat badan anak usia >2 tahun dengan beam balance scale
atau timbangan elektronik
 Penimbangan sebaiknya dilakukan setelah anak mengosongkan
kandung kemih dan sebelum makan.
 Timbangan harus ditempatkan di alas yang keras dan datar serta
dipastikan ada pada angka nol sebelum digunakan.
 Anak berdiri tenang di tengah timbangan dan kepala menghadap lurus
ke depan, tanpa dipegangi.
 Adanya edema atau massa harus dicatat. Berat badan dicatat hingga 0,1
kg terdekat.
6. Pengukuran panjang badan
Untuk bayi dan anak dengan panjang badan ≤85 cm, panjang badan diukur
menggunakan papan pengukur kayu atau Perspex (Perspex measuring board,
(Gambar 4).

Gambar 4. Papan pengukur panjang (Length board)


Pengukuran dilakukan oleh dua pemeriksa untuk memastikan posisi anak
secara benar agar hasilnya akurat dan dapat dipercaya.
Anak diposisikan dengan wajah menghadap ke atas, kepala menempel pada
sisi yang terfiksasi (Gambar 5), bahu menempel di permukaan papan, dan tubuh
paralel terhadap aksis papan.

Gambar 5. Kepala anak melawan fixed headboard


Pemeriksa kedua memegang kaki anak, tanpa sepatu, jari kaki menghadap ke
atas, dan lutut anak lurus.
Ujung papan yang dapat digerakkan, didekatkan hingga tumit anak dapat
menginjak papan (Gambar 6).
Bila anak tidak dapat diam, pengukuran dapat dilakukan hanya dengan
mengukur tungkai kiri.
Pengukuran dilakukan hingga milimeter terdekat.

Gambar 6. Pengukuran panjang badan

Cantumkan hasil pengukuran pada grafik sesuai umur.


7. Pengukuran tinggi badan
Untuk anak dengan tinggi badan >85 cm atau berusia >2 tahun dan sudah bisa
berdiri, pengukuran tinggi badan harus dilakukan dalam posisi berdiri karena terdapat
perbedaan sebesar 0.7 cm antara pengukuran dalam posisi berdiri dan berbaring.
Jika memungkinkan, gunakan free-standing stadiometer atau anthropometer
(Gambar 7).
Gambar 7. Papan pengukur tinggi (height board)
Pengukuran juga dapat dilakukan dengan right-angle headboard dan batang
pengukur, pita yang tidak meregang dan terfiksasi ke dinding, atau wall-mounted
stadiometer.
Pakaian anak seminimal mungkin sehingga postur tubuh dapat dilihat dengan
jelas. Sepatu dan kaos kaki harus dilepas.
Anak diminta berdiri tegak, kepala dalam posisi horisontal, kedua kaki
dirapatkan, lutut lurus, dan tumit, bokong, serta bahu menempel pada dinding atau
permukaan vertikal stadiometer atau anthropometer. Kedua lengan berada disisi
tubuh dan telapak tangan menghadap ke paha; kepala tidak harus menempel pada
permukaan vertikal. Untuk anak yang lebih muda, tumit perlu dipegang agar kaki
tidak diangkat (Gambar 8).

Gambar 8. Pengukuran tinggi badan posisi berdiri


Papan di bagian kepala yang dapat bergerak (movable head-board) diturunkan
perlahan hingga menyentuh ujung kepala. Tinggi badan dicatat saat anak inspirasi
maksimal dan posisi mata pemeriksa paralel dengan papan kepala. Tinggi badan
diukur hingga milimeter terdekat. Cantumkan hasil pengukuran pada grafik sesuai
umur.
8. Pengukuran lingkar kepala
Cara pengukuran
Pengukuran lingkar kepala dilakukan pada semua bayi dan anak secara rutin
untuk mengetahui adanya mikrosefali, makrosefali, atau normal sesuai dengan umur
dan jenis kelamin. Alat yang dipakai adalah pita pengukur fleksibel, terbuat dari
bahan yang tidak elastik (pita plastik atau metal yang fleksibel). Sebaiknya ada yang
membantu memegang kepala bayi/anak selama pemeriksaan agar posisi kepala anak
tetap. Kepala pasien harus diam selama diukur

Pita pengukur ditempatkan melingkar di kepala pasien melalui bagian yang


paling menonjol (protuberantia occipitalis) dan dahi (glabella), pita pengukur harus
kencang mengikat kepala.
Cantumkan hasil pengukuran pada grafik lingkar kepala.
Interpretasi
Pemeriksaan lingkar kepala secara serial dapat menentukan pertumbuhan dan
perkembangan otak: normal, terlalu cepat (keluar dari jalur pertumbuhan normal)
seperti pada hidrosefalus , terlambat atau tidak tumbuh yang dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit. Jika lingkar kepala lebih besar dari 2 SD di atas angka rata-rata
untuk umur dan jenis kelamin/ras (> + 2 SD) disebut makrosefali. Bila lingkar kepala
lebih kecil dari 2 SD di bawah angka rata-rata untuk umur dan jenis kelamin/ras (< - 2
SD) disebut mikrosefali.
9. Pengukuran lingkaran lengan kiri atas.
Alat pengukuran yang dipakai adalah pita skala Shakir yang disederhanakan
oleh Morley dengan memberi warna hijau, kuning dan merah agar mudah dipahami.
Pengukuran dilakukan pada pertengahan lengan kiri atas, antara akromion dan
olekranon.
Ukuran normal lingkaran lengan :
Bayi baru lahir : 11 cm
Umur 1 tahun : 16 cm
Umur 5 tahun : 17 cm.
Apabila hasil pengukuran terdapat pada warna hijau, hasil pengukuran adalah
normal. Interpretasi kecenderungan pada kurva pertumbuhan, dan menentukan apakah
anak tumbuh normal, mempunyai masalah pertumbuhan atau berisiko mengalami
masalah pertumbuhan. Peningkatan dan penurunan tajam pada garis pertumbuhan
(growth line).
10. Garis pertumbuhan datar (flat growth line/stagnation)
Kecenderungan pada BMI terhadap umur. BMI tidak meningkat sesuai dengan
umur. Pada kurva normal, BMI pada bayi meningkat tajam dimana pencapaian berat
cepat relatif terhadap panjang badan pada 6 bulan kehidupan. BMI kemudian
menurun kemudian setelah itu dan relatif stabil dari umur 2 tahun sampai 5 tahun.
BMI terhadap umur bermaanfaat untuk skrining overweight dan obesitas. Jika
mengatakan anak overweight, perhatikan berat badan orangtuanya. Jika salah satu
orangtua obese, 40% kemungkinan menjadi overweight, jika keduanya, 70%
kemungkinan anak mengalami overweight.

F. Kebutuhan gizi pada Balita


Masa Balita merupakan penentu kehidupan selanjutnya. Agar tumbuh kembang
optimal, berikan anak balita makanan dengan gizi seimbang (Kemenkes 2011).
1. MAKANAN YANG BAIK BAGI ANAK
• Sumber zat tenaga ( beras, beras jagung,kentang, sagu, bihun, mie, roti,
makaroni, biskuit).
• Sumber zat pembangun ( ayam, ikan, daging, telur, hati, keju, susu,
kacang-kacangan, tahu, tempe).
• Sumber zat pengatur ( sayur dan buah yang berwarna segar).

2. BAHAN MAKANAN YANG DIBATASI


Makanan dan minuman yang manis/gurih seperti: dodol, coklat
(kecuali coklat bubuk), permen, junk food dan soft drink.
3. HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN :
Gunakan bahan makanan yang beraneka ragam
- Pilih bahan makanan yang mudah dicerna
- Irisan lauk pauk dan sayur dibuat dalam potongan- potongan kecil
• Gunakan bumbu yang tidak terlalu merangsang/pedas
• Hindari makanan yang membuat tersedak seperti kacang goreng, anggur atau
klengkeng dalam bentuk utuh.
• Gunakan alat makan yang aman, menarik dan berwarna- warni
• Agar anak balita mau makan sendiri, bujuk dan dampingi dengan sabar.

G. Masalah gizi pada Balita


Kunjungan petugas puskesmas sebaiknya lebih ditingkatkan untuk
memberikan pelayanan kesehatan, penyuluhan gizi, dan hal-hal lain dalam rangka
meningkatkan status kesehatan dan gizi pada masyarakat SAD terutama anak balita
(Erni and Rialihanto 2008). Usia terbanyak pada kelompok balita stunting yaitu usia
25–36 bulan, sedangkan pada kelompok balita normal terbanyak pada usia 12–24
bulan. Terbagi dalam beberapa tahapan usia pada balita, dikatakan masa rawan di
mana balita sering mengalami infeksi dan atau gangguan status gizi adalah usia antara
12–24 bulan, karena pada usia ini balita mengalami masa peralihan dari bayi menjadi
anak. Pada usia ini banyak perubahan pola hidup yang terjadi, diantaranya perubahan
pola makan dari yang semula ASI bergeser ke arah makanan padat, beberapa balita
mulai mengalami kesulitan makan, sedangkan balita sudah mulai berinteraksi dengan
lingkungan yang tidak sehat. Apabila pola pengasuhan tidak betul diperhatikan, maka
balita akan lebih sering beberapa penyakit terutama penyakit infeksi. Kejadian
penyakit infeksi yang berulang tidak hanya berakibat pada menurunnya berat badan
atau akan tampak pada rendahnya nilai indikator berat badan menurut umur, akan
tetapi juga indikator tinggi badan menurut umur (Welasasih and Wirjatmadi 2012).
Hal tersebut bisa dijelaskan bahwa status gizi stunting disebut juga sebagai
gizi kurang kronis yang menggambarkan adanya gangguan pertumbuhan tinggi badan
yang berlangsung pada kurun waktu cukup lama. Pada kelompok balita stunting
sebagian besar balita berada pada kelompok umur 23–36 bulan, kemungkinan mereka
pernah mengalami kondisi gizi kurang pada saat berada di tahapan usia 12–24 bulan
atau bahkan sebelumnya. Dengan demikian manifestasi stunting semakin tampak pada
mereka saat berada pada tahapan usia 23–36 bulan. Keadaan ini sesuai dengan
pendapat Soetjiningsih (2005), bahwa umur yang paling rawan adalah masa balita,
oleh karena pada masa itu anak mudah sakit dan mudah terjadi kurang gizi. Masa
balita merupakan dasar pembentukan kepribadian anak sehingga diperlukan perhatian
khusus. Selain itu, masa balita adalah masa yang cukup penting karena pada
kelompok usia balita mengalami proses perkembangan dan pertumbuhan yang cepat
dan menentukan kualitas anak di kemudian hari dalam menghasilkan sumber daya
manusia yang berkualitas. Sedangkan pada kelompok umur 6–23 bulan merupakan
kelompok umur yang sedang mengalami pertumbuhan kritis. Oleh karenanya
penanganan gizi kurang pada kelompok umur ini (6–23 bulan) menjadi lebih
diperhatikan karena apabila tidak ditangani dengan baik dapat mengalami kegagalan
tumbuh (growth failure) (Soetjiningsih and Gde 2005; Welasasih and Wirjatmadi
2012).
Keaktifan balita ke posyandu sangat besar pengaruhnya terhadap pemantauan
status gizi. Posyandu merupakan kegiatan rutin yang dilakukan bulanan, balita yang
setiap bulan aktif ke posyandu akan mendapatkan penimbangan berat badan,
pemeriksaan kesehatan jika ada masalah, pemberian makanan tambahan dan
penyuluhan gizi. Balita yang rutin dilakukan penimbangan berat badan dan tinggi
badan setiap bulannya, akan diketahui perubahan status gizinya. Anak sehat adalah
anak yang berat badannya mengalami kenaikan karena pertambahan tinggi badan
bukan karena anak semakin gemuk. Kehadiran ke posyandu bisa menjadi indikator
terjangkaunya pelayanan kesehatan pada balita, karena dengan hadir rutin balita akan
mendapat imunisasi dan program kesehatan lain seperti vitamin A dan kapsul yodium.
Dengan tercakupnya balita dengan program kesehatan dasar maka diharapkan balita
terpantau perkembangan dan pertumbuhannya, minimal selama masa balita, di mana
masa ini adalah masa rawan/rentan terhadap penyakit infeksi dan rentan terkena
penyakit gizi. Hal ini sesuai dengan pendapat Aritonang (2003), bahwa upaya
pelayanan kesehatan dasar diarahkan kepada peningkatan kesehatan dan status gizi
anak sehingga terhindar dari kematian dini dan mutu fisik yang rendah (Aritonang
2003).
Peran pelayanan kesehatan telah lama diadakan untuk memperbaiki status gizi.
Pelayanan kesehatan berpengaruh terhadap kesehatan dengan adanya penanganan
yang cepat terhadap masalah kesehatan terutama masalah gizi. Pelayanan yang selalu
siap dan dekat dengan masyarakat akan sangat membantu dalam meningkatkan
derajat kesehatan. Dengan pelayanan kesehatan masyarakat yang optimal kebutuhan
kesehatan masyarakat akan terpenuhi. Memantau status gizi penduduk secara rutin
merupakan bentuk komitmen untuk menjaga akuntabilitas pelaksanaan program
melalui penyediaan data dan informasi berbasis bukti dan spesifik wilayah untuk
daerah dan pusat. Untuk itu, sejak tahun 2014 telah dilaksanakan Pemantauan Status
Gizi (PSG) yang bermanfaat sebagai sumber informasi yang cepat, akurat, teratur dan
berkelanjutan yang dapat digunakan untuk perencanaan, penentuan kebijakan dan
monitoring serta pengambilan tindakan intervensi.
Berdasarkan hasil PSG 2015 menunjukkan hasil yang lebih baik dari tahun
sebelumnya. Persentase balita dengan gizi buruk dan sangat pendek mengalami
penurunan. PSG 2015
menyebut 3,8% Balita mengalami gizi buruk. Berikut adalah Hasil PSG 2015, antara
lain (Kemenkes 2016):
 Status Gizi Balita menurut Indeks Berat Badan per Usia (BB/U), didapatkan
hasil: 79,7% gizi baik; 14,9% gizi kurang; 3,8% gizi buruk, dan 1,5% gizi
lebih.
 Status Gizi Balita Menurut Indeks Tinggi Badan per Usia (TB/U), didapatkan
hasil: 71% ormal dan 29,9% Balita pendek dan sangat pendek.
 Status Gizi Balita Menurut Indext Berat Badan per Tinggi Badan (BB/TB),
didapatkan hasil,: 82,7% Normal, 8,2% kurus, 5,3% gemuk, dan 3,7% sangat
kurus.
Tingkat keseringan balita menderita penyakit infeksi lebih banyak terdapat pada
kelompok stunting daripada kelompok normal. Banyak faktor yang Memengaruhi
status gizi diantaranya adalah faktor penyebab langsung yang meliputi asupan gizi
dan penyakit infeksi. Balita yang sering mendapat infeksi dalam waktu yang lama
tidak hanya berpengaruh terhadap berat badannya akan tetapi juga berdampak pada
pertumbuhan linier. Status gizi TB/U merupakan cerminan status gizi masa lampau
yang menggambarkan kondisi anak pada waktu yang lalu. Timbulnya status gizi
stunting tidak hanya karena makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak
yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering menderita diare atau demam,
akhirnya akan menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang makanannya
tidak cukup (jumlah dan mutunya) maka daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam
keadaan demikian akan mudah diserang infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan,
dan akhirnya dapat menderita kurang gizi.
Masalah Gizi Pada Balita :
 Balita gemuk
Ditandai dengan kurangnya berat badan menurut panjang/tinggi badan anak
(BB/TB). Panjang badan digunakan untuk anak berumur kurang dari 24 bulan dan
tinggi badan digunakan untuk anak berumur 24 bulan ke atas. Balita gemuk
disebabkan karena kebiasaan pemberian makanan yang kurang baik, banyak
makanan yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan anak. Kondisi balita
gemuk terjadi dalam waktu yang lama (tidak terjadi mendadak), maka ciri
masalah gizinya merupakan masalah gizi kronis.
 Balita gizi kurang
Ditandai dengan kurangnya berat badan menurut umur anak (BB/U). Anak dengan
gizi kurang dapat diakibatkan oleh kekurangan makan atau karena anak tersebut
pendek. Status gizi tersebut tidak memberikan indikasi spesifik tentang
karakteristik masalah gizi yang diderita (akut, kronis atau akut-kronis), tapi secara
umum mengindikasikan adanya gangguan gizi.
 Balita kurus (wasting)
Ditandai dengan kurangnya berat badan menurut panjang/tinggi badan anak
(BB/TB). Panjang badan digunakan untuk anak berumur kurang dari 24 bulan dan
tinggi badan digunakan untuk anak berumur 24 bulan ke atas. Balita kurus
disebabkan karena kekurangan makan atau terkena penyakit infeksi yang terjadi
dalam waktu yang singkat. Karakteristik masalah gizi yang ditunjukkan oleh
balita kurus adalah masalah gizi akut.
 Balita pendek (stunting)
Ditandai dengan kurangnya tinggi/panjang badan menurut umur anak (TB/U).
Panjang badan digunakan untuk anak berumur kurang dari 24 bulan dan tingga
badan digunakan untuk anak berumur 24 bulan ke atas. Balita pendek diakibatkan
oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri masalah gizi yang ditunjukkan
oleh balita pendek adalah masalah gizi yang sifatnya kronis.
 Gizi baik
Keadaan gizi seseorang terjadi karena seimbangnya jumlah asupan (intake) zat
gizi dan jumlah yang dibutuhkan (required) oleh tubuh yang ditandai dengan berat
badan menurut umur (BB/U) yang berada pada > -2SD sampai 2 SD tabel baku
WHO-NCHS. (Sumber: Pemantauan Pertumbuhan Balita, Dit. GM, Depkes,
2003)
 Gizi kurang (under nutrition)
Keadaan kurang zat gizi tingkat sedang yang disebabkan oleh rendahnya asupan
energi dan protein dalam waktu cukup lama yang ditandai dengan berat badan
menurut umur (BB/U) yang berada pada <-2 SD sampai >-3SD tabel baku WHO-
NCHS. (Sumber: Pemantauan Pertumbuhan Balita, Dit. GM, Depkes, 2003)
 Gizi lebih (over nutrition)
Keadaan kelebihan zat gizi yng disebabkan oleh kelebihan konsumsi energi dan
protein yang ditandai dengan berat badan menurut umur (BB/U) yang berada pada
>2SD tabel baku WHO-NCHS. (Sumber: Pemantauan Pertumbuhan Balita, Dit.
GM, Depkes, 2003)
 KEP = Kurang Energi Protein
Keadaan kurang zat gizi tingkat sedang yang disebabkan oleh rendahnya asupan
energi dan protein dalam waktu cukup lama yang ditandai dengan berat badan
menurut umur (BB/U) yang berada pada <-2 SD sampai >-3SD tabel baku WHO-
NCHS. (Sumber: Pemantauan Pertumbuhan Balita, Dit. GM, Depkes, 2003)
Schroeder (2001), menyatakan bahwa kekurangan gizi dipengaruhi oleh
functional outcome (misalnya kognitif, status gizi/pertumbuhan, kematian, asupan
makan, perawatan/pola asuh ketersediaan makanan, penyakit infeksi, dan
pelayanan kesehatan), sedangkan penyebab mendasar adalah asupan makan,
perawatan (pola asuh) dan pelayanan kesehatan. Pendapat lain juga mengatakan
bahwa infeksi mempunyai efek terhadap status gizi untuk semua umur, tetapi
lebih nyata pada kelompok anak. Infeksi juga mempunyai kontribusi terhadap defi
siensi energi, protein, dan gizi lain karena menurunnya nafsu makan sehingga
asupan makanan berkurang. Kebutuhan energi pada saat infeksi bisa mencapai
dua kali kebutuhan normal karena meningkatnya metabolisme basal, sehingga hal
ini menyebabkan deplesi otot dan glikogen hati (Thoha, 1995).
Balita pada kelompok stunting lebih banyak yang menderita sakit dalam waktu
lama dibandingkan jumlah balita pada kelompok normal. Sebagian besar balita
pada kelompok stunting tersebut menderita penyakit ISPA. Balita yang sering
mengalami sakit dalam waktu yang lama akan segera berpengaruh pada keadaan
gizinya, karena adanya sakit akan diikuti nafsu makan menurun yang pada
akhirnya berat badan anak juga akan ikut menyusut seiring dengan berkurangnya
nafsu makan. Apabila kondisi ini terjadi dalam waktu lama dan tidak segera
diatasi maka akan berpengaruh pada status gizinya. Sedangkan penyakit ISPA
maupun diare merupakan jenis penyakit yang sering diderita balita dalam waktu
lama jika tidak segera diobati. Hal ini sesuai dengan pendapat yang mengatakan
bahwa penyakit infeksi yang menyerang anak menyebabkan gizi anak menjadi
buruk. Memburuknya keadaan gizi anak akibat penyakit infeksi dapat
menyebabkan turunnya nafsu makan, sehingga masukan zat gizi berkurang
padahal anak justru memerlukan zat gizi yang lebih banyak. Penyakit infeksi
sering disertai oleh diare dan muntah yang menyebabkan penderita kehilangan
cairan dan sejumlah zat gizi seperti mineral, dan sebagainya (Moehji, 2002).
BAB III

KESIMPULAN

Balita merupakan masa emas terjadinya pertumbuhan. Pertumbuhan terjadi sangat pesat
pada umur tersebut. Peningkatan berupa ukuran tubuh yang terjadi pada balita seperti
perubahan fisik dengan bertambahnya berat badan dan tinggi badan. Banyak faktor yang
dapat mempengaruhi pertumbuhan balita. Faktor tersebut perlu dijaga agar Balita dapat
bertumbuh menjadi balita sehat. Sehingga dalam menganani masalah pertumbuhan Balita
dapat segera ditangani.

Penanganan masalah pertumbuhan balita dapat dilakukan melalui pemantaun


pertumbuhan balita. Pemantauan tersebut dapat dilakukan dengan mengikuti kegitan
posyandu. Hal ini penting karena melalui pemantauan tersebut, Ibu dapat melihat bagaimana
pertumbuhan anak dari bulan ke bulan. Jika terdapat masalah pertumbuhan maka ibu dapat
segera mengatasi masalah pertumbuhan tersebut dengan tanggap.
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, I. (2003). "Pemantauan Pertumbuhan Balita." Pt. Kanisius Jakarta.
Depkes, R. (2000). "Pedoman Tatalaksana Kekurangan Energi Protein Pada Anak Di Rumah
Sakit Kabupaten/Kodya." Jakarta: Departemen Kesehatan Ri.
Erly, H. (2015). Pengaruh Pengetahuan Gizi Ibu Dan Pendapatan Orang Tua Terhadap Pola
Makan Anak Balita Umur 6 Bulan-5tahun Di Dusun 1 Desa Palumbungan Kecamatan
Bobotsari Kabupaten Purbalingga, Uny.
Erni, M. And M. P. Rialihanto (2008). "Pola Makan, Asupan Zat Gizi, Dan Status Gizi Anak
Balita Suku Anak Dalam Di Nyogan Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi." Jurnal
Gizi Klinik Indonesia 5(2): 84-90.
Evita, J. And S. Abidillah Musyid (2009). Pengaruh Pelatihan Terhadap Pengetahuan,
Keterampilan, Kepatuhan Kader Posyandu Dalam Menerapkan Standar Pemantauan
Pertumbuhan Balita Di Kota Bitung, Sulawesi Utara, Universitas Gadjah Mada.
Kemenkes. (2011). "Makanan Sehat Untuk Bayi." 23 September 2016, From
Http://Gizi.Depkes.Go.Id/Wp-Content/Uploads/2012/08/Brosur-Anak-Balita-Dan-
Bayi-Sehat_Rev.Pdf.
Kemenkes. (2016, 22 Maret 2016). "Tahun 2015, Pemantauan Status Gizi Dilakukan Di
Seluruh Kabupaten/Kota Di Indonesia." 22 September 2016, From
Http://Www.Depkes.Go.Id/Pdf.Php?Id=16032200005.
Kusminarti, D. E. (2009). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pertumbuhan Balita
Usia 2-4 Tahun Di Kelurahan Salaman Mloyo Kecamatan Semarang Barat Kota
Semarang, Universitas Negeri Semarang.
Lab, T. P. S. (2012). Penuntun Skills Lab Blok 1.6 Siklus Kehidupan. Padang, Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.
Mitayani, S. W. (2010). Buku Saku Ilmu Gizi, Jakarta: Cv. Trans Info Media.
Sediaoetama, A. (2008). "Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa Dan Profesi Di Indonesia." Jilid Ii.
Jakarta: Dian Rakyat.
Shekar, M., R. Heaver, Et Al. (2006). Repositioning Nutrition As Central To Development: A
Strategy For Large Scale Action, World Bank Publications.
Soetjiningsih, P. And I. Gde (2005). "Tumbuh Kembang Anak." Jakarta. Egc.
Waspadji, S., S. Suyono, Et Al. (2010). Pengkajian Status Gizi Studi Epidemiologi Dan
Penelitian Di Rumah Sakit Edisi Kedua, Jakarta: Balai Penerbit Fkui.
Welasasih, B. D. And R. B. Wirjatmadi (2012). "Beberapa Faktor Yang Berhubungan
Dengan Status Gizi Balita Stunting." Public Health 8(3).
Wikipedia. (2016, 3 Maret 2016). "Balita." 23 September 2016, From
Https://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Balita.

Anda mungkin juga menyukai