Anda di halaman 1dari 39

PRESENTASI KASUS

DISENTRI DAN HIPERTENSI

Pembimbing :
dr. Tiara Paramita P, Sp.PD, M.Sc

Disusun oleh :
Muharramadina Fla Ravinda G4A016046
Rafa Naufalin G4A017032
Ufik Maulena G4A017040
Silvana Oktaviana G4A017042
Fiahliha Nur Azizah G4A017056
Titik Fadhilah 1310221003

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

DISENTRI DAN HIPERTENSI

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu


Penyakit Dalam RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun oleh :
Muharramadina Fla Ravinda G4A016046
Rafa Naufalin G4A017032
Ufik Maulena G4A017040
Silvana Oktaviana G4A017042
Fiahliha Nur Azizah G4A017056

Telah dipresentasikan pada


Tanggal, September 2018

Pembimbing,

dr. Tiara Paramita P, Sp.PD, M.Sc

2
I. LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. R
Usia : 49 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Purwokerto Kidul RT3/RW10, Purwokerto Selatan
Tanggal masuk IGD : 26 Agustus 2018
Tanggal periksa : 28 Agustus 2018
No. CM : 02065583

B. SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama
BAB disertai lendir darah sejak 9 jam SMRS
2. Keluhan Tambahan
Nyeri perut, mual dan muntah
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan BAB sering lebih
dari 10x/hari dan disertai lendir darah sejak 9 jam sebelum masuk
rumah sakit. BAB disertai lendir dan darah berwarna merah segar
kurang lebih sebanyak ½ sendok teh. BAB lendir darah disertai dengan
nyeri perut. Nyeri perut dirasakan pada perut bagian bawah. Nyeri perut
terasa sangat sakit seperti diremas-remas dan muncul ketika hendak
BAB. BAB lendir darah dirasakan sering dan tanpa ada faktor pencetus
sebelumnya.
Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah 1 kali saat kira-kira 10
jam sebelum masuk rumah sakit sebelum BAB lendir darah terjadi.
Muntahan berisi sisa makanan terakhir pasien, berwarna kekuningan
tanpa disertai dengan darah. Kemudian setelah pasien muntah, pasien

3
hanya merasa mual saja dan mengaku perut terasa sangat sakit dan
mengalami BAB lendir darah yang sering. Pasien mengaku 1 hari
sebelumnya pasien hanya memakan sayur kangkung yang dimasak
sendiri oleh pasien. Anggota keluarga pasien lainnya juga mengaku
memakan makanan yang sama dengan pasien, namun tidak
mengeluhkan keluhan serupa. Riwayat makan 1 minggu terakhir
menurut pasien sama seperti hari-hari biasanya, namun pasien
mengakui sering telat makan dan jarang makan nasi dan lebih memilih
memakan gorengan seperti mendoan yang pasien masak sendiri.
Pasien menyangkal adanya demam. Pasien menyangkal adanya
keluhan BAB sering yang berdarah sebelumnya. Pasien menyangkal
adanya riwayat BAB sering yang berlendir sebelumnya. Pasien
menyangkal adanya riwayat wasir. Pasien menyangkal adanya riwayat
batuk lama ataupun batuk sebelumnya. Pasien menyangkal adanya
keluar keringat banyak saat malam hari. Pasien menyangkal adanya
penurunan BB yang signifikan dalam waktu 1 bulan terakhir.
Pasien menyangkal adanya penyakit gula ataupun kencing manis.
Pasien menyangkal adanya riwayat sering minum banyak, sering lapar
dan makan banyak, ataupun sering kencing yang sampai mengganggu
aktivitas ataupun saat malam hari.
Pasien juga memiliki penyakit darah tinggi yang sudah terkontrol.
Hal ini dikarenakan pasien rajin mengikuti kegiatan prolanis dan sering
mengkonsumsi obat yang diberikan untuk menurunkan tekanan darah.
Pasien mengakui sudah mengikuti kegiatan prolanis dan sudah
mengkonsumsi obat amlodipin 1x5 mg sejak 3 tahun yang lalu, dengan
tekanan darah sistol rata-rata 130-140 mmHg. Pasien menyangkal
adanya riwayat penyakit ginjal ataupun gangguan berkemih. Pasien
juga menyangkal adanya riwayat penyakit jantung.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat asma : disangkal
c. Riwayat alergi : disangkal

4
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat hipertensi : diakui (Ibu dari pasien)
c. Riwayat kencing manis : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal
6. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga yang memiliki 4
orang anak. Pasien tinggal di rumah bersama suami dan keempat
anaknya. Anak ke-1 (perempuan) berusia 29 tahun, anak ke-2 (laki-
laki) berusia 22 tahun, anak ke-3 (laki-laki) berusia 19 tahun dan
anak ke-4 (perempuan) berusia 8 tahun. Pasien tinggal di
lingkungan yang cukup padat penduduknya. Rumah satu dengan
yang lain berdekatan. Pasien memiliki hubungan dengan tetangga
dan keluarga yang cukup baik. Di lingkungan rumah pasien, pasien
mengaku tidak ada yang memiliki keluhan yang sama seperti
pasien.
b. Home
Pasien tinggal di rumah bersama suami dan keempat anaknya.
Lantai rumah pasien terbuat dari keramik dan seringkali
dibersihkan. Terdapat 3 buah kamar, 1 kamar untuk anaknya ke-1
dan ke-4, 1 kamar untuk anak ke-2 dan ke-3, dan 1 kamar lagi untuk
pasien beserta suaminya. Pasien tidur dengan suaminya. Terdapat
beberapa buah jendela serta ventilasi yang selalu cukup baik.
Pencahayaan rumah pasien berasal dari lampu dan sinar matahari
yang cukup. Pasien menyangkal ada anggota keluarga lain yang
mengeluhkan gejala serupa.
c. Personal habit
Pasien mengaku makan sehari 1-2 kali sehari, dengan nasi,
sayur dan lauk pauk seadanya. Pasien sering memakan sayur-
sayuran dan ikan namun pasien mengakui jarang memakan daging-

5
dagingan dan buah-buahan. Hal ini dikarenakan pasien tidak
menyukai daging-dagingan. Pasien mengaku lebih menyukai dan
sering memakan goreng-gorengan daripada makan nasi. Pasien
memasak sendiri makanan yang dikonsumsi oleh keluarganya.
Pasien bukan seorang perokok. Pasien jarang berolahraga secara
rutin. Pasien mengaku tidak pernah konsumsi alkohol maupun obat-
obatan terlarang.
d. Sosial ekonomi
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga dan suaminya bekerja
sebagai buruh. Pasien menggunakan Badan Penyelenggara Jaminan
Kesehatan (BPJS PBI). Kesan sosial ekonomi yaitu golongan
menengah ke bawah.

C. OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Sedang
b. Kesadaran : Composmentis, GCS E4M6V5 (15)
c. BB : 70 kg
d. TB : 168 cm
e. IMT : 24.80 (Overweight; IMT normal 18.00-22.99)
f. Vital sign
- Tekanan Darah : 120/70 mmHg
- Nadi : 79x/menit
- RR : 18x/menit
- Suhu : 36.7oC
d. Status Generalis
1) Kepala
- Bentuk : Mesochepal, simetris, venektasi temporal (-)
- Rambut :Warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusi
merata.
2) Mata
- Konjungtiva : anemis (-/-)

6
- Sclera : ikterik (-/-)
- Pupil : reflek cahaya (+/+) normal,isokor
3mm/3mm
3) Telinga
otore (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-), discharge (-/-)
4) Hidung
nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-/-), discharge (-/-),
rinorhea (-/-)
5) Mulut
bibir sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-)
6) Leher
- Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
- Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar thyroid : tidak membesar, nyeri (-)
- JVP : nampak,tidak kuat angkat
7) Dada
a) Paru
- Inspeksi : Bentuk simetris,ketinggalan gerak (-)
Retraksi suprasternalis (-)
Retraksi intercostalis (-)
Retraksi epigastrik (-)
- Palpasi : Vokal fremitus kanan=kiri
Ketinggalan gerak (-)
- Perkusi : Sonor pada seluruh lapang dada
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-)
Ronki basah kasar (-/-), ronki basah halus (-/-)
b) Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
- Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC VI LMCS, tidak kuat
angkat
- Perkusi : Batas jantung kanan atas di SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas di SIC II LPSS

7
Batas jantung kanan bawah di SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah di SIC VI LMCS
- Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallop (-)
8) Abdomen
- Inspeksi : datar
- Auskultasi : bising usus (+) meningkat
- Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-), nyeri
ketok costovertebrae (-)
- Palpasi : supel, nyeri tekan (+) regio epigastric dan
hipogastric, undulasi (-)
- Hepar dan lien : tidak teraba
9) Ekstremitas
- Superior : edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+),
CRT <2 detik
- Inferior : edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+), CRT
<2 detik
2. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium darah 26 Agustus 2018 di RSMS
Hb : 13.4 g/dl N Normal : 14 – 18 gr/dl
Leukosit : 10470 /ul N Normal : 4.800 – 10.800/ul
Hematokrit : 40 % N Normal : 42 % - 52 %
Eritrosit : 4.7 juta/ul N Normal : 4,7 – 6,1 juta/ul
Trombosit : 269000/ul N Normal: 150.000 - 450.000/ul
MCV : 81.7fL N Normal : 79 - 99 fL
MCH : 27.6pg N Normal : 27 - 31 pg
MCHC : 33.8gr/dl N Normal : 33 – 37gr/dl
RDW : 14.0% N Normal : 11,5 - 14.5 %
MPV : 10.1fL N Normal : 7,2 - 11,1 fL
Hitung Jenis
Basofil : 0.7 % N Normal : 0 – 1
Eosinofil : 0.1% L Normal : 2 – 4
Batang : 0.8 % L Normal :3 – 5
Segmen : 71.3% H Normal : 40 – 70

8
Limfosit : 21.8% L Normal : 25 - 40
Monosit : 5.3% N Normal : 2 – 8
Ureum : 29.6 mg/dL N Normal : 14.38-38.52
Kreatinin : 1.16mg/dL H Normal : 0.70-1.20
GDS : 164
3. Usulan Pemeriksaan
a. Dilakukan pemeriksaan Rectal Touche
Dinilai tonus sfingter ani, adanya benjolan sekitar anus, mukosa
rectum, adanya benjolan atau massa, ampula recti kolaps atau tidak,
nyeri di arah jam tertentu, terdapat sisa feses, lendir, ataupun darah,
warna darah dan feses.
b. Pemeriksaan SGOT, SGPT, ALP, Billirubin, dan Albumin.
c. Pemeriksaan feses rutin
d. Pemeriksaan Laktoferin feses
e. Pemeriksaan kultur feses
f. Pemeriksaan Colon in Loop

D. ASSESSMENT
Diagnosis Klinis:
1) Disentri
2) Hipertensi Esential derajat I
E. PLANNING
1. Terapi
a. Farmakologi
1) IVFD RL 20 tpm
2) Inj Ranitidin 2x1 amp
3) Inj Ondansentron 3x1 amp
4) Metronidazole 3x500mg
5) Paracetamol 3x1 tab
6) Amlodipin 1x5 mg
7) New diatabs 3x1
b. Non Farmakologi

9
1) Bed rest
2) Diet Lunak
3) Edukasi minum antibiotik sesuai aturan dan sampai habis
4) Edukasi minum obat anti hipertensi jangka panjang dan prolanis
5) Edukasi penyakit pasien
6) Edukasi menurunkan berat badan
7) Edukasi diet DASH (diet kaya buah-buahan, sayur-sayuran,
gandum dan biji-bijian, dan produk susu rendah lemak jenuh
dan lemak trans)
8) Edukasi diet makanan tidak pedas
2. Prognosis
Ad vitam : Bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

10
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. DISENTRI
1. Definisi Disentri
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair
atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak
dari biasanya lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai
kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari.
Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah.
Sedangkan disentri berasal dari bahasa Yunani yaitu dys (=gangguan) dan
enteron (=usus), yang berarti radang usus yang menimbulkan gejala
meluas, tinja lendir bercampur darah. Disentri adalah peradangan usus
besar yang ditandai dengan sakit perut dan buang air besar. Buang air
besar ini berulang-ulang yang menyebabkan penderita kehilangan banyak
cairan dan darah (Blaser, 2015).
Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan
berlangsung kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang
berlangsung lebih dari 14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun
non infeksi. Dari penyebab diare yang terbanyak adalah diare infeksi.
Diare infeksi dapat disebabkan virus, bakteri, dan parasit. Tinggiya
kejadian diare di negara barat ini oleh karena foodborne infections dan
waterborne infections yang disebabkan bakteri Salmonella spp,
Campylobacter jejuni, Stafilococcus aureus, Bacillus cereus, Clostridium
perfringens dan Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC) (Blaser,
2015).
2. Patofisiologi Disentri
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis
menjadi diare non inflamasi dan diare inflamasi. Diare inflamasi
disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi
sindroma disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah. Gejala
klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti
kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi.

11
Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan lendir
dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear
(Blaser, 2015).
Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin
yang mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir
dan darah. Keluhan abdomen biasanya minimal atau tidak ada sama sekali,
namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang
tidak mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak
ditemukan leukosit (Blaser, 2015).
Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat
dibagi menjadi kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan
motilitas. Diare osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap
meningkatkan osmolaritas dalam lumen yang menarik air dari plasma
sehingga terjadi diare. Contohnya adalah malabsorbsi karbohidrat akibat
defisiensi laktase atau akibat garam magnesium. Diare sekretorik bila
terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang berkurang ataupun
sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang
dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu,
asam lemak rantai pendek, atau laksantif non osmotik (Anna, 2017).
Beberapa hormon intestinal seperti gastrin vasoactive intestinal
polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik. Diare
eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus
halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat
infeksi bakteri atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive
enteropathy, inflamatory bowel disease (IBD) atau akibat radiasi.
Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan
waktu transit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan
tirotoksikosis, sindroma usus iritabel atau diabetes melitus (Anna, 2017).
Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi
bakteri paling tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan
sekresi usus dan penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan
inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare.

12
Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya
leukosit dalam feses. Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat
kuman enteropatogen meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan
atau tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan produksi enterotoksin
atau sitotoksin. Satu bakteri dapat menggunakan satu atau lebih
mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan mukosa usus
(Anna, 2017).
1) Faktor infeksi
a) Infeksi internal yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan
penyebab utama diare pada anak :
a. Bakteri (Disentri basiler)
- Shigella, penyebab disentri yang terpenting dan tersering (± 60%
kasus disentri yang dirujuk serta hampir semua kasus disentri yang
berat dan mengancam jiwa disebabkan oleh Shigella
- Escherichia coli enteroinvasif (EIEC)
- Salmonella
- Campylobacter jejuni, terutama pada bayi
b. Amoeba (Disentri amoeba)
disebabkan Entamoeba hystolitica, lebih sering pada anak usia > 5
tahun
b) Infeksi Parenteral yaitu infeksi dibagian tubuh lain di luar alat
pencernaan seperti tonsilofaringitis. Keadaan ini terutama terdapat pada
bayi atau anak dibawah tiga tahun. Makanan dan minuman yang
terkontaminasi melalui tangan yang kotor, lalat, dan alat-alat makan
yang terkontaminasi juga dapat menyebabkan seseorang tertular
penyakit diare tersebut (Blaser, 2015).
2) Faktor Malabsorbsi
Faktor malabsorbsi ini meliputi :
a) Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa,
sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa).
Pada bayi dan anak yang terserang ialah intoleransi laktosa
b) Malabsorbsi lemak

13
c) Malabsorbsi protein
3) Faktor makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan,
4) Faktor psikologis: rasa takut dan cemas, walaupun jarang tetapi
menimbulkan diare terutama pada anak yang lebih besar.
Adhesi
Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur
polimer fimbria atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik pada
permukaan sel epitel. Fimbria terdiri atas lebih dari 7 jenis, disebut juga
sebagai colonization factor antigen (CFA) yang lebih sering ditemukan
pada enteropatogen seperti Enterotoxic E. Coli (ETEC) Mekanisme adhesi
yang kedua terlihat pada infeksi Enteropatogenic E.coli (EPEC), yang
melibatkan gen EPEC adherence factor (EAF), menyebabkan perubahan
konsentrasi kalsium intraselluler dan arsitektur sitoskleton di bawah
membran mikrovilus. Invasi intraselluler yang ekstensif tidak terlihat pada
infeksi EPEC ini dadiare terjadi akibat shiga like toksin. Mekanisme adhesi
yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang terlihat pada jenis
kuman enteropatogenik yang berbeda dari ETEC atau EHEC (Corinne,
2015).
Invasi
Kuman Shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel
usus. Di dalam sel terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke
sel epitel sekitarnya. Invasi dan multiplikasi intraseluler menimbulkan
reaksi inflamasi serta kematian sel epitel. Reaksi inflamasi terjadi akibat
dilepaskannya mediator seperti leukotrien, interleukin, kinin, dan zat
vasoaktif lain. Kuman Shigella juga memproduksi toksin shiga yang
menimbulkan kerusakan sel. Proses patologis ini akan menimbulkan gejala
sistemik seperti demam, nyeri perut, rasa lemah, dan gejala disentri. Bakteri
lain bersifat invasif misalnya Salmonella (Corinne, 2015).
Sitotoksin
Prototipe kelompok toksin ini adalah toksin shiga yang dihasilkan oleh
Shigella dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan
sitotoksin adalah Enterohemorrhagic E. Coli (EHEC) serogroup 0157 yang

14
dapat menyebabkan kolitis hemoragik dan sindroma uremik hemolitik,
kuman EPEC serta V. Parahemolyticus (Corinne, 2015).
Enterotoksin
Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera toxin (CT)
yang secara biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus.
Toksin kolera terdiri dari satu subunit A dan 5 subunit B. Subunit A1
akan merangsang aktivitas adenil siklase, meningkatkan konsentrasi cAMP
intraseluler sehingga terjadi inhibisi absorbsi Na dan klorida pada sel vilus
serta peningkatan sekresi klorida dan HCO3 pada sel kripta mukosa usus.
ETEC menghasilkan heat labile toxin (LT) yang mekanisme kerjanya sama
dengan CT serta heat stabile toxin (ST). ST akan meningkatkan kadar
cGMP selular, mengaktifkan protein kinase, fosforilasi protein membran
mikrovili, membuka kanal dan mengaktifkan sekresi klorida (Corinne,
2015).
Peranan Enteric Nervous System (ENS)
Berbagai penelitian menunjukkan peranan refleks neural yang melibatkan
reseptor neural 5-HT pada saraf sensorik aferen, interneuron kolinergik di
pleksus mienterikus, neuron nitrergik serta neuron sekretori VIPergik. Efek
sekretorik toksin enterik CT, LT, ST paling tidak sebagian melibatkan
refleks neural ENS. Penelitian menunjukkan keterlibatan neuron sensorik
aferen kolinergik, interneuron pleksus mienterikus, dan neuron sekretorik
tipe 1 VIPergik. CT juga menyebabkan pelepasan berbagai sekretagok
seperti 5-HT, neurotensin, dan prostaglandin. Hal ini membuka
kemungkinan penggunaan obat antidiare yang bekerja pada ENS selain
yang bersifat antisekretorik pada enterosit (Corinne, 2015).

15
3. Penegakan Diagnosis Disentri

Gambar 1. Alur Penegakan Diagnosis Diare


4. Manifestasi Klinis Disentri
Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah
dan/atau demam, tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut.
Diare yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis
yang adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di
badan yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan
biokimiawi berupa asidosis metabolik yang lanjut. Karena kehilangan
cairan seseorang merasa haus, berat badan berkurang, mata menjadi
cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun serta

16
suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air yang
isotonik (Anna, 2017).
Karena kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas
berkurang, yang mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan
merangsang pusat pernapasan sehingga frekwensi nafas lebih cepat dan
lebih dalam (kussmaul). Reaksi ini adalah usaha tubuh untuk
mengeluarkan asam karbonas agar pH dapat naik kembali normal. Pada
keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi, bikarbonat standard
juga rendah, pCO2 normal dan base excess sangat negative (Anna, 2017).
Gangguan kardiovaskular pada hipovolemik yang berat dapat
berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah
menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, ujung-
ujung ekstremitas dingin dan kadang sianosis. Karena kehilangan kalium
pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung. Penurunan tekanan
darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun dan akan timbul anuria.
Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul penyulit berupa nekrosis
tubulus ginjal akut, yang berarti pada saat tersebut kita menghadapi gagal
ginjal akut. Bila keadaan asidosis metabolik menjadi lebih berat, akan
terjadi kepincangan pembagian darah dengan pemusatan yang lebih
banyak dalam sirkulasi paru-paru. Observasi ini penting karena dapat
menyebabkan edema paru pada pasien yang menerima rehidrasi cairan
intravena tanpa alkali (Anna, 2017).
Gejala pada disentri dimulai dalam 1-4 hari setelah terinfeksi. Pada
anak-anak yang lebih muda, gejala dimulai secara tiba-tiba dengan
demam, rewel, perasaan mengantuk, hilangnya nafsu makan, mual dan
muntah, diare, nyeri perut dan kembung dan nyeri pada saat buang air
besar. Setelah 3 hari, tinja akan mengandung nanah, darah dan lendir.
Buang air besar menjadi lebih sering, sampai lebih dari 20 kali/hari. Bisa
terjadi penurunan berat badan dan dehidrasi berat (Kottlof, 2013).
Pada orang dewasa tidak terjadi demam dan pada mulanya tinja
sering tidak berdarah dan tidak berlendir. Gejalanya dimulai dengan nyeri
perut, rasa ingin buang air besar dan pengeluaran tinja yang padat, yang

17
kadang mengurangi rasa nyeri. Episode ini berulang, lebih sering dan lebih
berat. Terjadi diare hebat dan tinja menjadi lunak atau cair disertai lendir,
nanah dan darah. Kadang penyakit dimulai secara tiba-tiba dengan tinja
yang jernih atau putih, kadang dimulai dengan tinja berdarah. Sering
disertai muntah-muntah dan bisa menyebabkan dehidrasi (Kottlof, 2013).
1). Disentri basiler
a. Diare mendadak yang disertai darah dan lendir dalam tinja. Pada
disentri shigellosis, pada permulaan sakit, bisa terdapat diare
encer tanpa darah dalam 6-24 jam pertama, dan setelah 12-72 jam
sesudah permulaan sakit, didapatkan darah dan lendir dalam tinja.
b. Panas tinggi (39.50 – 40.00 C), appear toxic.
c. Muntah-muntah.
d. Anoreksia.
e. Sakit kram di perut dan sakit di anus saat BAB.
f. Kadang-kadang disertai dengan gejala menyerupai ensefalitis dan
sepsis (kejang, sakit kepala, letargi, kaku kuduk, halusinasi).
2). Disentri amoeba
a. Diare disertai darah dan lendir dalam tinja.
b. Frekuensi BAB umumnya lebih sedikit daripada disentri basiler
(≤10x/hari)
c. Sakit perut hebat (kolik)
d. Gejala konstitusional biasanya tidak ada (panas hanya ditemukan
pada 1/3 kasus).
5. Pemeriksaan Laboratorium Disentri
Evaluasi laboratorium pasien curiga diare infeksi dimulai dari
pemeriksaan feses adanya leukosit. Kotoran biasanya tidak mengandung
leukosit, jika ada itu dianggap sebagai penanda inflamasi kolon baik
infeksi maupun non infeksi. Karena netrofil akan berubah, sampel harus
diperiksa sesegera mungkin. Sensitifitas lekosit feses terhadap inflamasi
patogen (Salmonella, Shigella dan Campylobacter) yang dideteksi dengan
kultur feses bervariasi dari 45% - 95% tergantung dari jenis patogennya
(Riddle, 2017).

18
Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah
laktoferin. Laktoferin adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan
netrofil, keberadaannya dalam feses menunjukkan inflamasi kolon. Positif
palsu dapat terjadi pada bayi yang minum ASI. Pada suatu studi, laktoferin
feses, dideteksi dengan menggunakan uji agglutinasi lateks yang tersedia
secara komersial, sensitifitas 83 – 93 % dan spesifisitas 61 – 100 %
terhadap pasien dengan Salmonella, Campilobakter, atau Shigella spp,
yang dideteksi dengan biakan kotoran (Riddle, 2017).
Biakan kotoran harus dilakukan setiap pasien tersangka atau
menderita diare inflammasi berdasarkan klinis dan epidemiologis, test
lekosit feses atau laktoferin positif, atau keduanya. Pasien dengan diare
berdarah yang nyata harus dilakukan kultur feses untuk EHEC O157 : H7
(Riddle, 2017).
Pasien dengan diare berat, demam, nyeri abdomen, atau kehilangan
cairan harus diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida, ureum,
kreatinin, analisa gas darah dan pemeriksaan darah lengkap. Pemeriksaan
radiologis seperti sigmoidoskopi, kolonoskopi dan lainnya biasanya tidak
membantu untuk evaluasi diare akut infeksi (Riddle, 2017).
6. Tatalaksana Disentri
a. Pasien dengan disentri harus dicurigai menderita shigellosis dan
mendapatkan terapi yang sesuai. Pengobatan dengan antibiotika yang
tepat akan mengurangi masa sakit dan menurunkan resiko komplikasi
dan kematian.
b. Pilihan utama untuk Shigelosis (menurut anjuran WHO) :
Kotrimokasazol (trimetoprim 10mg/kbBB/hari dan sulfametoksazol
50mg/kgBB/hari) dibagi dalam 2 dosis, selama 5 hari.
c. Dari hasil penelitian, tidak didapatkan perbedaan manfaat pemberian
kotrimoksazol dibandingkan placebo
d. Alternatif yang dapat diberikan :
- Ampisilin 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
- Cefixime 8mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis
- Ceftriaxone 50mg/kgBB/hari, dosis tunggal IV atau IM

19
- Asam nalidiksat 55mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis.
e. Perbaikan seharusnya tampak dalam 2 hari, misalnya panas turun,
sakit dan darah dalam tinja berkurang, frekuensi BAB berkurang, dll.
Bila dalam 2 hari tidak terjadi perbaikan, antibiotik harus dihentikan
dan diganti dengan alternatif lain.
f. Terapi antiamubik diberikan dengan indikasi : o Ditemukan trofozoit
Entamoeba hystolistica dalam pemeriksaan mikroskopis tinja. o Tinja
berdarah menetap setelah terapi dengan 2 antibiotika berturut-turut
(masing-masing diberikan untuk 2 hari), yang biasanya efektif untuk
disentri basiler.
g. Terapi yang dipilih sebagai antiamubik intestinal pada anak adalah
Metronidazol 30-50mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 10
hari. Bila disentri memang disebabkan oleh E. hystolistica, keadaan
akan membaik dalam 2-3 hari terapi.

B. HIPERTENSI
1. Definisi Hipertensi
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg.
Hipertensi diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan
hipertensi sekunder (5-10%). Disebut hipertensi primer bila tidak ditemukan
penyebab dari peningkatan tekanan darah tersebut, sedangkan hipertensi
sekunder disebabkan oleh kelainan seperti feokromositoma,
hiperaldosteronisme primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit
parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat obat (Bakri, 2008).
2. Klasifikasi Hipertensi
Ada beberapa klasifikasi dari hipertensi, diantaranya menurut The
Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention,
Detection, Eveluation, and Tretment of High Blood Pressure (JNC7)
klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok
normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2 serta menurut
World Health Organization (WHO) dan International Society Of
Hypertension Working Group (ISHWG) (Palmer, 2007).

20
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7
Klasifikasi Tekanan TDS (mmHg) TDD (mmHg)
Darah
Normal < 120 Dan < 80
Prehipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89
Hipertensi stadium 1 140 – 159 Atau 90 – 99
Hipertensi stadium 2 ≥ 160 Atau ≥ 100
TDS = Tekanan Darah Sistolik, TDD = Tekanan Darah Diastolik

Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah World Health Organization (WHO)


dan International Society Of Hypertension Working Group (ISHWG)
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Optimal < 120 Dan < 80
Normal < 130 Dan < 85
Normal tinggi / 130 – 139 Atau 85 – 89
pra hipertensi
Hipertensi derajat I 140 – 159 Atau 90 – 99
Hipertensi derajat II 160 – 179 Atau 100 – 109
Hipertensi derajat III ≥ 180 Atau ≥ 110

3. Faktor Risiko Hipertensi


Faktor risiko hipertensi terbagi menjadi 2 yaitu (Palmer, 2007) :
1. Faktor yang tidak dapat diubah/dikontrol
a. Umur
Semakin tua seseorang semakin besar risikonya untuk terserang
hipertensi. Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi
lebih besar sehingga prevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut
cukup tinggi yaitu sekitar 40 % dengan kematian sekitar 50 %
diatas umur 60 tahun. Arteri kehilangan elastisitasnya atau
kelenturannya dan tekanan darah seiring bertambahnya usia.
Meskipun hipertensi bisa terjadi pada segala usia, namun paling
sering dijumpai pada orang berusia 35 tahun atau lebih. Sebenarnya
wajar bila tekanan darah sedikit meningkat dengan bertambahnya
umur. Hal ini disebabkan oleh perubahan alami pada jantung,
pembuluh darah dan hormon. Tetapi bila perubahan tersebut
disertai faktor-faktor lain maka bisa memicu terjadinya hipertensi.

b. Jenis Kelamin

21
Bila ditinjau perbandingan antara wanita dan pria, ternyata terdapat
angka yang cukup bervariasi. Dari laporan Sugiri di Jawa Tengah
didapatkan angka prevalensi 6,0% untuk pria dan 11,6% untuk
wanita. Prevalensi di Sumatera Barat 18,6% pria dan 17,4%
perempuan, sedangkan daerah perkotaan di Jakarta (Petukangan)
didapatkan 14,6% pria dan 13,7% wanita.10
c. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor
keturunan) meningkatkan risiko terkena hipertensi terutama pada
hipertensi primer. Keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit
jantung meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lipat. Jika kedua
orang tua punya hipertensi, kemungkinan anaknya hipertensi
menjadi 60%.
d. Genetik
Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan
ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar
monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur).
Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer
(esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi,
bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya
berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul
tanda dan gejala.
2. Faktor yang dapat diubah/dikontrol
a. Kebiasaan Merokok
Hubungan antara rokok dengan peningkatan risiko kardiovaskuler
telah banyak dibuktikan. Selain dari lamanya, risiko merokok
terbesar tergantung pada jumlah rokok yang dihisap perhari.
Seseorang yang merokok lebih dari satu pak rokok sehari menjadi 2
kali lebih rentan hipertensi dari pada mereka yang tidak merokok.
Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang
diisap melalui rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat

22
merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan
proses aterosklerosis dan hipertensi.
b. Konsumsi Garam
Garam merupakan faktor yang sangat penting dalam patogenesis
hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku
bangsa dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang
dari 3 gram tiap hari menyebabkan prevalensi hipertensi yang
rendah, sedangkan jika asupan garam antara 5-15 gram perhari
prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20 %. Pengaruh
asupan terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan
volume plasma, curah jantung dan tekanan darah.
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena
menarik cairan diluar sel agar tidak keluar, sehingga akan
meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada manusia yang
mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang ditemukan tekanan darah
rata-rata rendah, sedangkan asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan
darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam yang dianjurkan
tidak lebih dari 6 gram/hari setara dengan 110 mmol natrium atau
2400 mg/hari.
c. Konsumsi Lemak Jenuh
Kebiasaan konsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan
peningkatan berat badan yang berisiko terjadinya hipertensi.
Konsumsi lemak jenuh juga meningkatkan risiko aterosklerosis
yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan
konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang
bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak
jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian dan
makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan
tekanan darah.

23
d. Konsumsi Alkohol
Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Orang-orang yang
minum alkohol terlalu sering atau yang terlalu banyak memiliki
tekanan yang lebih tinggi dari pada individu yang tidak minum atau
minum sedikit. Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat
alkohol masih belum jelas. Namun diduga, peningkatan kadar
kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan
darah merah berperan dalam menaikkan tekanan darah.
e. Obesitas
Obesitas erat kaitannya dengan kegemaran mengkonsumsi
makanan yang mengandung tinggi lemak. Obesitas meningkatkan
risiko terjadinya hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar
massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok
oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah
yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga
memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat
badan juga meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar
insulin dalam darah. Peningkatan insulin menyebabkan tubuh
menahan natrium dan air.
Berat badan dan indeks Massa Tubuh (IMT) berkorelasi langsung
dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko
relatif untuk menderita hipertensi pada orang obes 5 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan seorang yang berat badannya normal.
f. Olahraga
Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi
karena meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang
tidak aktif juga cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung
yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih
keras pada setiap kontraksi sehinggan makin besar pula tekanan
yang dibebankan pada arteri.

24
g. Stres
Stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara waktu
dan bila stres sudah hilang tekanan darah bisa normal kembali.
Peristiwa mendadak menyebabkan stres dapat meningkatkan
tekanan darah.
4. Etiologi Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang
beragam. Pada kebanyakan pasien etiologinya tidak diketahui (essensial
atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan
tetapi dapat dikontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase
rendah mempunyai penyebab tertentu yang disebut hipertensi sekunder.
Hipertensi sekunder dapat disebabkan oleh faktorendogen maupun
eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi,
hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial
(Massie, 2002).
a. Hipertensi primer (esensial)
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi
esensial (hipertensi primer). Beberapa mekanisme yang mungkin
berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi,
namun belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis
hipertensi primer tersebut. Hipertensi sering diturunkan dalam suatu
keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik
memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi primer.
Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan
darah yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan
timbulnya hipertensi essensial. Banyak karakteristik genetik dari
gen-gen ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium, selain itu
terdapat pula data bahwa adanya mutasi-mutasi genetik dapat
mengubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitric oxide, ekskresi
aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen (Massie, 2002).

25
b. Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari
penyakit atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan
darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit
ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder
yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun
tidak langsung, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat
hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Jika penyebab
sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat
yang bersangkutan atau mengoreksi kondisi komorbid yang
menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan
hipertensi sekunder (Massie, 2002).
Tabel 3. Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi
Penyakit Obat
1. penyakit ginjal kronis 1. Kortikosteroid, ACTH
2. hiperaldosteronisme primer 2. Estrogen (biasanya pil KB dg
3. penyakit renovaskular kadar estrogen tinggi)
4. sindroma Cushing 3. NSAID, cox-2 inhibitor
5. pheochromocytoma 4. Fenilpropanolamine dan analog
6. koarktasi aorta 5. Cyclosporin dan tacrolimus
7. penyakit tiroid atau paratiroid 6. Eritropoetin
7. Sibutramin
8. Antidepresan (terutama
venlafaxine)

5. Patofisiologi Hipertensi
Mekanisme patofisiologi yang berhubungan dengan peningkatan
hipertensi esensial antara lain :
g. Curah jantung dan tahanan perifer
Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh
terhadap kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi
esensial curah jantung biasanya normal tetapi tahanan perifernya
meningkat. Tekanan darah ditentukan oleh konsentrasi sel otot halus

26
yang terdapat pada arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel otot halus
akan berpengaruh pada peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler.
Peningkatan konsentrasi otot halus ini semakin lama akan mengakibatkan
penebalan pembuluh darah arteriol yang mungkin dimediasi oleh
angiotensin yang menjadi awal meningkatnya tahanan perifer yang
irreversible (Gray, et al. 2005).
h. Sistem Renin-Angiotensin
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan
ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan
sistem endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin
disekresi oleh juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon
glomerulus underperfusion atau penurunan asupan garam, ataupun
respon dari sistem saraf simpatetik (Gray, et al. 2005).
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya
angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme
(ACE). ACE memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur
tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati,
yang oleh hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi
angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di
paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida yang
sangat aktif). Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan
darah karena bersifat sebagai vasoconstrictor melalui dua jalur, yaitu:
1) Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus.
ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada
ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan
meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar
tubuh (antidiuresis) sehingga urin menjadi pekat dan tinggi
osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume cairan ekstraseluler
akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian
instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga
meningkatkan tekanan darah.
2) Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk
mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi

27
ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus
ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan
cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya
akan meningkatkan volume dan tekanan darah (Gray, et al. 2005).
c. Sistem Saraf Otonom
Sirkulasi sistem saraf simpatetik dapat menyebabkan vasokonstriksi
dan dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang
penting dalam pempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi
karena interaksi antara sistem saraf otonom dan sistem renin-angiotensin
bersama – sama dengan faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi,
dan beberapa hormon (Gray, et al. 2005).
d. Disfungsi Endotelium
Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam
pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah
vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium.
Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer. Secara
klinis pengobatan dengan antihipertensi menunjukkan perbaikan
gangguan produksi dari oksida nitrit (Gray, et al. 2005).
e. Substansi vasoaktif
Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transpor natrium
dalam mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin
merupakan vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin
dapat meningkatkan sensitifitas garam pada tekanan darah serta
mengaktifkan sistem renin-angiotensin lokal. Arterial natriuretic peptide
merupakan hormon yang diproduksi di atrium jantung dalam merespon
peningkatan volum darah. Hal ini dapat meningkatkan ekskresi garam
dan air dari ginjal yang akhirnya dapat meningkatkan retensi cairan dan
hipertensi (Gray, et al. 2005).
f. Hiperkoagulasi
Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari
dinding pembuluh darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel
endotelium), ketidaknormalan faktor homeostasis, platelet, dan
fibrinolisis. Diduga hipertensi dapat menyebabkan protombotik dan

28
hiperkoagulasi yang semakin lama akan semakin parah dan merusak
organ target (Gray, et al, 2005).
g. Disfungsi diastolik
Hipertropi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat
beristirahat ketika terjadi tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi
peningkatan kebutuhan input ventrikel, terutama pada saat olahraga
terjadi peningkatan tekanan atrium kiri melebihi normal, dan penurunan
tekanan ventrikel (Gray, et al. 2005).

Gambar 2. Patofisiologi hipertensi


6. Penegakan Diagnosis Hipertensi
Diagnosis Hipertensi ditegakkan berdasarkan gambaran klinis,
yaitu (Gunawan, 2007) :
a. Anamnesis
1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
2. Indikasi adanya hipertensi sekunder
a. Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)
b. Adanya penyakt ginjal, infeksi saluran kemih, hematuria,
pemakaian obat – obat analgesik dan obat/bahan lain
c. Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi
(feokromositoma)
d. Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme)

29
3. Faktor – faktor risiko :
a. Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau
keluarga pasien
b. Riwayat hyperlipidemia pada pasien atau keluarganya
c. Riwayat diabetes mellitus pada pasien atau keluarganya
d. Kebiasaan merokok
e. Pola makan
f. Kegemukan
4. Gejala kerusakan organ
a. Otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan,
transient ischemic attacks, deficit sensoris atau motoris
b. Jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki
c. Ginjal : poliuri, nokturia, hematuria
d. Arteri perifer : ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten
5. Pengobatan antihipertensi sebelumnya
6. Faktor – faktor pribadi, keluarga, dan lingkungan
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah
dikedua lengan, mencari kerusakan organ sasaran (retinopati, gangguan
neurologi, payah jantung kongestif, diseksi aorta). Palpasi denyut nadi di
keempat ekstremitas. Auskultasi untuk mendengar ada atau tidaknya bruit
pembuluh darah besar, bising jantung dan ronki paru. Pengukuran TD
dilakukan minimal 3 kali pada posisi duduk dengan jarak pemeriksaan
minimal 1 menit. Pengukuran pertama diabaikan, kemudian diambil nilai
rata-rata dari dua pengukuran selanjutnya. TD saat berdiri juga harus
diukur setelah pasien berdiri 2 menit, demikian pula bila pasien memiliki
keluhan hipotensi ortrostatik. Pengukuran TD sebaiknya dilakukan pada
kedua lengan pada minimal 1x kunjungan. Bila salah satu lengan secara
konsisten menunjukkan TD yang lebih tinggi, maka lengan tersebut
sebaiknya digunakan sebagai patokan untuk pengukuran maupun
interpretasi TD.

30
c. Pemeriksaan penunjang
 Test darah rutin
 Glukosa darah (sebaiknya puasa)
 Kolesterol total serum
 Profil lipid
 Asam urat, kreatinin, kalium serum
 Hemoglobin dan hematocrit
 Urinalisis (uji carik celup serta sedimen urin)
 EKG
7. Tatalaksana Hipertensi
a. Tatalaksana non farmakologis
Pendekatan non farmakologis yaitu (Gray, et al. 2005).
1. Menurunkan faktor risiko yang menyebabkan aterosklerosis.
Menurut Corwin berhenti merokok penting untuk mengurangi efek
jangka panjang hipertensi karena asap rokok diketahui menurunkan
aliran darah ke berbagai organ dan dapat meningkatkan beban kerja
jantung. Selain itu pengurangan makanan berlemak dapat
menurunkan risiko aterosklerosis.
2. Olahraga dan aktifitas fisik
Olahraga yang teratur dibuktikan dapat menurunkan tekanan
perifer sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Olahraga dapat
menimbulkan perasaan santai dan mengurangi berat badan
sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Yang perlu diingat
adalah bahwa olahraga saja tidak dapat digunakan sebagai
pengobatan hipertensi.
3. Perubahan pola makan
a. Mengurangi asupan garam
Pada hipertensi derajat I, pengurangan asupan garam dan
upaya penurunan berat badan dapat digunakan sebagai langkah
awal pengobatan hipertensi. Pembatasan asupan garam sampai
60 mmol per hari, berarti tidak menambahkan garam pada waktu

31
makan, memasak tanpa garam, menghindari makanan yang
sudah diasinkan, dan menggunakan mentega yang bebas garam.
b. Diet rendah lemak jenuh
Lemak dalam diet meningkatkan risiko terjadinya
aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah.
Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam
makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi
lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak
sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari
tanaman dapat menurunkan tekanan darah.
c. Memperbanyak konsumsi sayuran, buah-buahan dan susu
rendah lemak.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa mineral
bermanfaat mengatasi hipertensi. Kalium dibuktikan erat
kaitannya dengan penurunan tekanan darah arteri dan
mengurangi risiko terjadinya stroke. Selain itu, mengkonsumsi
kalsium dan magnesium bermanfaat dalam penurunan tekanan
darah. Banyak konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan
mengandung banyak mineral, seperti seledri, kol, jamur (banyak
mengandung kalium), kacang-kacangan (banyak mengandung
magnesium). Sedangkan susu dan produk susu mengandung
banyak kalsium.
b. Tatalaksana farmakologis
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi
yang dianjurkan oleh JNC 7 (Gray, et al. 2005):
1) Diuretic, terutama jenis Thiazide (Thiaz) Aldosteron Antagonist
(Ald Ant)
2) Beta Blocker (BB)
3) Calcium channel blocker atau Calcium antagonist (CCB)
4) Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
5) Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 Receptor angiotensint/
blocker (ARB).

32
Adapun Tatalaksana hipertensi menurut menurut JNC7 dapat dilihat
pada tabel 4 dibawah ini (Gray, et al. 2005) :
Tabel 4. Tatalaksana hipertensi menurut menurut JNC7
Klasifikasi TDS TDD Perbaikan Tanpa Dengan
Tekanan (mmHg) (mmHg) Pola Hidup indikasi indikasi yang
Darah yang memaksa
memaksa

Normal < 120 Dan <80 Dianjurkan

Prehipertensi 120-139 atau ya Tidak Obat-obatan


80-89 indikasi obat untuk indikasi
yang
memaksa

Hipertensi 140-159 Atau ya Diuretic Obat-obatan


derajat 1 90-99 jenis untuk indikasi
Thiazide yang
untuk memaksa
sebagian Obat
besar kasus, antihipertensi
dapat lain
dipertimban (diuretika,
gkan ACEI, ACEI, ARB,
ARB, BB, BB, CCB)
CCB, atau sesuai
kombinasi kebutuhan

Hipertensi ≥160 Atau ya Kombinasi 2


derajat 2 ≥100 obat
umumnya
diuretika
jenis
Thiazide dan
ACEI atau
ARB atau
BB atau
CCB

33
Gambar 3. Algoritma hipertensi menurut JNC 7

Kombinasi obat hipertensi yang telah terbukti efektif dan dapat


ditoleransi pasien antara lain sebagai berikut
a. Diuretika dan ACEI atau ARB
b. CCB dan BB
c. CCB dan ACEI atau ARB
d. CCB dan diuretika
e. ARB dan BB

34
Tabel 5. Obat hipertensi yang dianjurkan JNC 7
Diuretik Beta Blocker Calcium Channel Blocker
Thiazid Propanolol 10 mg 2 X I Verapamil 40, 80 mg 2 X I
- Hidroklortiazid 12,5mg 1 Atenolol 50 mg 2 X I Amlodipin 5, 10 mg 1 X I
XI Bisoprolol 5 mg 1-2 X ½-1 Diltiazem 60 mg 2-3 X I
Loop diuretik Nifedipin 5, 10 mg 1-3 X I
- Furosemid 40mg 2 X I
Diuretik hemat kalium
- Amilorid 5 mg 1 X I
Antagonis aldosteron
- Spironolakton 100mg 1 X
I
ACE Inhibitor Angiotensin II Receptor
Blocker
Kaptopril 12,5; 25mg 2 X I Losartan 50 mg 1 X I
Lisinopril 5; 10mg 2 X I Valsartan 80 mg 1 X I
Perindopril 4mg 2 X I Candesartan 8 mg 1 X I
Silazapril 2,5mg 2 X I Telmisartan 40 mg 1 X I
Ramipril 5mg 2 X I

Tabel 6. Pilihan Obat Antihipertensi untuk Kondisi Tertentu2,3


Indikasi yang Memaksa Pilihan Terapi Awal
Gagal Jantung Diuretik Thiaz, BB, ACEI, ARB.
Pasca Infrak Miokard Aldo Ant
Risiko Penyakit Pembuluh Darah Koroner BB, ACEI, Aldo Ant
Diabetes Diuretik Thiaz, BB, ACEI, CCB
Penyakit Ginjal Kronis Diuretik Thiaz, BB, ACEI, ARB,
Pencegahan stroke berulang CCB
ACEI, ARB
Diuretik Thiaz, ACEI

Dengan adanya klasifikasi hipertensi terbaru dari JNC 8 sejak


Desember 2013 maka terdapat panduan baru pada manajemen hipertensi
meliputi ambang pengobatan farmakologis, target terapi, dan pemilihan
obat anti hipertensi sesuai algoritma sebagai berikut

35
Gambar 4. Algoritma hipertensi menurut JNC 8.
Dalam JNC 8 beta blocker tidak lagi digunakan dan
direkomendasikan 4 kelas obat tertentu berdasarkan penelaahan bukti
untuk subkelompok ras, gagal ginjal kronis, dan diabetes dimana panelis
membuat tabel obat dan dosis yang digunakan berdasarkan hasil uji coba.
Berdasarkan rekomendasi di atas baik JNC 7 maupun JNC 8 tidak
dikenal penggunaan reserpine sebagai obat anti hipertensi sehingga
reserpine sebaiknya tidak lagi digunakan dalam tata laksana hipertensi.

36
Pada kasus krisis hipertensi yaitu tekanan darah lebih dari 180/110
mmHg perlu dibedakan antara hipertensi urgency (tanpa kerusakan organ
tubuh) dan hipertensi emergency (dengan kerusakan organ tubuh).
Hipertensi urgency dapat diobati secara rawat jalan dengan terapi anti
hipertensi oral, dianjurkan untuk menurunkan tekanan darah secara
perlahan dalam 24 - 48 jam. Obat yang dianjurkan adalah captopril 50
mg sublingual atau oral. Pemberian nifedipine sublingual atau oral tidak
lagi direkomendasikan untuk hipertensi urgency karena dapat
menyebabkan hipotensi berat dan iskemia organ.
Hipertensi emergency memerlukan penanganan cepat, termasuk
perawatan ICU. Pemeriksaan tekanan darah harus diperiksa di kedua
lengan menggunakan teknik pemeriksaan yang benar. Pemeriksaan fisik
dilakukan dengan tujuan mencari adanya kerusakan organ target,
sedangkan pemeriksaan laboratorium harus mencakup kimia klinik,
urinalisis, darah lengkap, dan toksikologi. Terapi dengan obat anti
hipertensi secara intravena sangat disarankan dalam kondisi ini.
Pemilihan obat harus didasarkan karakteristik obat yang spesifik (efek
samping). Penurunan tekanan darah harus terkontrol untuk menghindari
hipoperfusi organ dan iskemia atau infark. Obat-obatan yang biasa
dipakai adalah labetalol, esmolol, nitrogliceryn, sodium nitroprusside,
clevidipine, trimetaphan, dan pentholamine.

37
III. KESIMPULAN

1. Disentri adalah peradangan usus besar yang ditandai dengan sakit perut dan
buang air besar. Disentri dibedakan menjadi dua berdasarkan penyebabnya,
yaitu disentri basiler dan disentri amoeba.
2. Terapi utama untuk disentri basiler adalah kotrimokasazol (trimetoprim
10mg/kbBB/hari dan sulfametoksazol 50mg/kgBB/hari), sedangkan terapi
untuk disentri amoeba adalah metronidazol.
3. Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg. Hipertensi
diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan hipertensi
sekunder (5-10%).
4. Tatalaksana farmakologis untuk hiperensi yaitu Diuretic, terutama jenis
Thiazide (Thiaz) Aldosteron Antagonist (Ald Ant), Beta Blocker (BB),
Calcium channel blocker atau Calcium antagonist (CCB), Angiotensin
Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) dan Angiotensin II Receptor Blocker
atau AT1 Receptor angiotensint/ blocker (ARB).

38
DAFTAR PUSTAKA

Anna, A., I. Dabrowska, K. Paulina, Z. Wyzewski. 2017. Phage Therapy in


Bacterial Infections Treatment: One Hundred Years After the Discovery of
Bacteriophages. Current Microbiology. 74 (2): 277-283.

Bakri, S., Lawrence, G.S., 2008. Genetika Hipertensi. Dalam: Lubis, H.R., dkk.,
eds. 2008. Hipertensi dan Ginjal: Dalam Rangka Purna Bakti Prof. Dr.
Harun Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH. Medan: USU Press, 19-31.

Blaser, A. A. Deane, M. Adam, F. Sonja. 2015. Diarrhoea in The Critically Ill.


Current Opinion in Critical Care. 21 (2): 142-153.

Corinne, A., N. Thompson, P. Duy, S. Baker. 2015. The Rising Dominance of


Shigella sonnei: An Intercontinental Shift in the Etiology of Bacillary
Dysentery. Neglected Tropical Diseases. 363: 641-653.

Gray, H.H., Dawkins, K.D., Morgan, J.M., dan Simpson, I.A. 2005. Kardiologi:
lecture notes. Ed 4. Jakarta : Penerbit Erlangga

Gunawan, Lany. 2007. Hipertensi, penyakit tekanan darah tinggi. Cetakan 8.


Yogyakarta : Kanisius

JNC 7, 2003, The Seventh Joint National Committee on Prevention Detection


Evaluation and Treatment of High Blood Pressure

JNC 8, 2013, The Eighth Joint National Committee on Prevention Detection


Evaluation and Treatment of High Blood Pressure

Kotloff KL, Nataro JP, Blackwelder WC, Nasrin D, Farag TH, et al. (2013)
Burden and aetiology of diarrhoeal disease in infants and young children
in developing countries (the Global Enteric Multicenter Study, GEMS): a
prospective, case-control study. Lancet 382: 209–222.

Massie, B.M., 2002. Hipertensi Sistemik. Dalam: Gofir, A., dkk., eds. Diagnosis
dan Terapi Kedokteran. Jilid 1. Edisi I. Jakarta: Salemba Medika.

Palmer, A. 2007. Tekanan Darah Tinggi. Jakarta : Erlangga

Riddle, M., B. Connor, N. Beeching, H. DuPont, D. Hamer, P. Kozarsky. 2017.


Guidelines for The Prevention and Treatment of Travelers’ Diarrhea: A
Graded Expert Panel Report. Journal of Travel Medicine. 24 (1): 63-80.

Yogiantoro, M. 2006. Hipertensi Esensial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I Edisi IV. Jakarta: FK UI

Zaidi MB, Estrada-Garcia T (2014) Shigella: A Highly Virulent and Elusive


Pathogen. Curr Trop Med Reports 1: 81–87.

39

Anda mungkin juga menyukai