Hubungan Sputum Eosinifil dengan Derajat Keparahan Asma
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang merupakan
masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi kejadian yang meningkat baik di negara sedang berkembang seperti Indonesia maupun di negara maju (Riskesdas, 2013). Konsensus internasional yang dikeluarkan oleh Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai suatu inflamasi kronis saluran napas yang didalamnya terlibat berbagai sel inflamasi. Asma dalam derajat apapun sudah terjadi inflamasi kronis saluran nafas sekalipun yang sangat ringan (GINA, 2016). Inflamasi saluran napas merupakan mekanisme utama yang menyebabkan obstruksi saluran nafas dan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai stimuli pada asma (Possa et al., 2013). Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi yang terjadi pada asma adalah inflamasi yang khas yaitu inflamasi yang disertai infiltrasi eosinofil, hal ini yang membedakan asma dari gangguan inflamasi jalan napas lainnya. Eosinofil merupakan sel inflamasi utama pada asma (Trivedi, 2007), terbukti setelah inhalasi dengan allergen didapatkan peningkatan eosinofil pada cairan kurasan bronkoalveolar (BAL) pada saat reaksi asma lambat yang disertai dengan inflamasi. Saha 2013 dalam penelitiannya mengatakan bahwa gejala asma dan skor keparahan seperti jumlah eksaserbasi, gangguan tidur, dan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas harian secara bertahap menurun dalam kunjungan tindak lanjut berturut-turut mulai dari kunjungan pertama. Berdampingan dengan hal tersebut, jumlah sputum eosinofil juga secara bertahap turun di setiap kunjungan tindak lanjut berturut-turut. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa gejala asma dan skor keparahan memiliki hubungan dengan jumlah sputum eosinofil, dimana jumlah sputum eosinofil lebih menunjukkan tingkat keparahan (Saha, 2013). Penelitian lain juga menyebutkan bahwa pada subyek dengan asma intermitten ringan yang tidak mendapatkan pengobatan menunjukkan persentase eosinofil sputum yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok lain dari keparahan asma. Sedangkan pada subjek yang mendapat pengobatan, severe asma menunjukkan peningkatan eosinofil sputum yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lain dari tingkat keparahan asma (Bartoli, 2004). Duncan (2003) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa mild asma memiliki persentase eosinofil sputum yang lebih rendah dibandingkan dengan moderat asma atau severe chronic asma. Subjek dengan severe asma memiliki durasi asma dan jumlah eosinofil sputum yang jauh lebih besar daripada subyek mild asma. Dapat disimpulkan bahwa skor gejala subjek asma dan skor keparahan berkorelasi terbalik dengan persentase sputum eosinofil. Begitupula dengan baseline volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV 1%) juga berbanding terbalik dengan persentase sputum eosinofil. Dalam penelitian hubungan sputum eosinofil dengan tingkat keparahan asma pada anak menunjukkan bahwa pola klinis asma terkait dengan tingkat peradangan saluran napas, dimana pada status klinis asma yang meningkat didapatkan pula peningkatan dalam peradangan saluran napas yang ditandai dengan eosinofilia sputum dan deskuamasi epitel bronkus (Gibson, 2003). Hasil ini juga mendukung penilaian asma dengan frekuensi episode wheezing selama 12 bulan terakhir ketika menentukan syarat penggunaan anti-inflamasi. Observasi ini memvalidasi penilaian tingkat keparahan yang direkomendasikan dalam panduan asma dan mengidentifikasi peluang untuk penggunaan sputum eosinofil ketika gejala yang muncul pada pasien saat ini tidak dikendalikan oleh pengobatan awal.
Penelitian mengenai hubungan jumlah sputum eosinofil dengan tingkat
keparahan juga dilakukan pada remaja. Grootendorst et al., menyebutkan bahwa hubungan jumlah eosinofil dengan volume ekspirasi paksa awal dalam satu detik (FEV 1%) dan indeks keparahan asma mendukung peran dahak yang diinduksi dalam memantau remaja dengan asma berat (Grootendorst, 1999).