Anda di halaman 1dari 13

NASKAH PUBLIKASI

PENGARUH TERAPI RELAKSASI OTOT PROGRESIF


TERHADAP TINGKAT INSOMNIA PADA LANSIA
DI PANTI JOMPO GRAHA KASIH BAPA
KABUPATEN KUBU RAYA

CITRA BORNEO
NIM I1032131013

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2017
PENGARUH TERAPI RELAKSASI OTOT PROGRESIF
TERHADAP TINGKAT INSOMNIA PADA LANSIA
DI PANTI JOMPO GRAHA KASIH BAPA
KABUPATEN KUBU RAYA
Citra Borneo*, Faisal Kholid Fahdi**, Ichsan Budiharto***
*Mahasiswa Program Studi Keperawatan Universitas Tanjungpura,
**Dosen Program Studi Keperawatan Universitas Tanjung Pura

ABSTRAK

Latar Belakang : Insomnia sering terjadi pada lansia yang merupakan gangguan
kesulitan tidur, bila tidak diatasi akan mempengaruhi secara fisik, psikologi, dan
kejiwaan pada lansia tersebut. Peningkatan angka kesakitan yang lebih tinggi akan
terjadi pada seseorang yang lama tidurnya lebih dari 9 jam atau kurang dari 6 jam
setiap hari bila dibandingkan dengan seseorang yang lama tidurnya antara 7 - 8 jam
setiap hari dan prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67%.
Terapi relaksasi otot progresif dipercaya dapat menurunkan tingkat insomnia pada
lansia di Panti Jompo Graha Kasih Bapa Kabupaten Kubu Raya.
Tujuan : Mengetahui pengaruh terapi relaksasi otot progresif terhadap tingkat
insomnia pada lansia di Panti Jompo Graha Kasih Bapa Kabupaten Kubu Raya.
Metode : Penelitian ini menggunakan pendekatan Pra eksperimen dengan rancangan
one group pre-test and post-test design. Tehnik Pengambilan sampel dilakukan
dengan teknik Purposive sampling sebanyak 10 lansia yang menderita insomnia. Uji
statistik yang digunakan uji paired samples t test dengan nilai p < 0,05.
Hasil : Pada uji t berpasangan didapatkan hasil nilai mean pada pretest 14,80 dengan
standar deviasi 3,327 dan pada posttest yang telah di tranformasi data nilai mean
0,7993 dengan standar deviasi 0,18398, dengan hasil nilai p=0,001.
Kesimpulan : Terdapat pengaruh terapi relaksasi otot progresif terhadap tingkat
insomnia pada lansia di Panti Jompo Graha Kasih Bapa Kabupaten Kubu Raya.

Kata Kunci : Insomnia, Lansia, Terapi Relaksasi Otot Progresif


Referensi : 57 (1998-2016)
THE EFFECTS OF PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION THERAPY
ON THE INSOMNIA LEVEL OF ELDERLY PEOPLE AT GRAHA KASIH BAPA
ELDERLY PEOPLE’S HOME IN KUBU RAYA REGENCY
Citra Borneo*, Faisal Kholid Fahdi**, Ichsan Budiharto***
*Nursing Student Tanjungpura University
**Nursing Lecture Tanjungpura University

ABSTRACT

Background: Insomnia often occurs among elderly people. This sleep disorder, if not
treated, will have physical, psychological, and mental effects on elderly people.
Increased rates of higher morbidity will occur in someone who slept longer than 9
hours or less than 6 hours each day when compared with someone who slept between
7 - 8 hours each day and the prevalence of sleep disturbance in elderly is quite high
at around 67%. The progressive muscle relaxation therapy is believed to decrease
insomnia levels in the elderly people at Graha Kasih Bapa Elderly People’s Home in
Kubu Raya Regency.
Objective: To find out the effects of the progressive muscle relaxation therapy on
insomnia level among elderly people at Graha Kasih Bapa Elderly People’s Home in
Kubu Raya Regency.
Method: This study used Pra Experiment approach with one group pre-test and post-
test design. The samples were taken using the purposive sampling technique with 10
elderly people who suffer from insomnia. The statistical test used was paired samples
t-test with p < 0,05.
Results: In the paired t-test, the mean score of the pretest was 14.80 with standard
deviation of 3.327 and in the posttest which had been transformed, the mean score
was 0.7993 with standard deviation of 0.18398. The value of p = 0.001.
Conclusion: There is an effect of the progressive muscle relaxation therapy on
insomnia level among elderly people at Graha Kasih Bapa Elderly People’s Home in
Kubu Raya Regency.

Keywords: Insomnia, Elderly People, Progressive Relaxation Muscle Therapy


Reference: 57 (1998-2016)
PENDAHULUAN mengatasi gangguan tidur adalah terapi relaksasi
Menurut WHO, di kawasan Asia Tenggara otot progresif yang merupakan terapi khusus untuk
8% populasi adalah Lanjut usia (Lansia) atau membantu lansia mengurangi gangguan tidur,
sekitar 142 juta jiwa [4]. Perkiraan di dunia terjadi adapun manfaat terapi relaksasi otot progresif bagi
peningkatan dari tahun 2013 sekitar 13,4%, tahun penderita gangguan tidur dapat meningkatkan
2050 sekitar 25,3% dan tahun 2100 sekitar 35,1%. kualitas tidur penderita dengan mengurangi
Indonesia sendiri penduduk lanjut usia pada tahun ketegangan otot dan syaraf, mengurangi tingkat
2013 sekitar 8,9%, diperkirakan terjadi kecemasan, mengurangi stress dan depresi,
peningkatan tahun 2050 sekitar 21,5% dan pada menghilangkan kelelahan, sehingga terapi
tahun 2100 sekitar 41%. Dari data tersebut relaksasi otot progresif ini dapat membantu
populasi lansia di Indonesia di prediksi meningkat memperbaiki kualitas tidur pada lansia[13].
lebih tinggi dari pada populasi lansia di dunia Latihan relaksasi ini membuat perasaan
setelah tahun 2100[7]. Berdasarkan hasil survei menjadi rileks kemudian diteruskan ke
sosial ekonomi nasional pada tahun 2014, jumlah hipotalamus untuk menghasilkan Corticotropin
lanjut usia di Indonesia mencapai 20, 24 juta atau Releasing Factor (CFR), pada Corticotropin
sekitar 8,03% dari seluruh penduduk Indonesia. Releasing Factor (CFR) merangsang kelenjar
Data tersebut mengalami peningkatan jika pituitari untuk meningkatkan produksi
dibandingkan dengan hasil survei sosial ekonomi Propioidmelanicortin yang menyebabkan B
nasional penduduk tahun 2010 yaitu 18,1 juta endorfin sebagai neurotransmitter yang
orang atau 7,6% dari total jumlah penduduk[8]. mempengaruhi suasana hati menjadi rileks dan
Penduduk lanjut usia di Provinsi Kalimantan Barat produksi encephalin oleh medulla adrenal
pada tahun 2016 penduduk lansia yang tersebar meningkat sehingga terjadi peningkatan kualitas
104.946 jiwa dan penduduk lanjut usia di tidur lansia[11].
Kabupaten Kubu Raya yang tersebar 38.531 jiwa. Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti
Dengan meningkatnya jumlah lansia tersebut, lakukan pada tanggal 4 maret 2017 terdapat 28
akan berdampak pada proses penuaan yang telah orang yang tinggal di Panti Jompo Graha Kasih
terjadi perubahan secara biologis yang meliputi Bapa Kabupaten Kubu Raya didapatkan 10 lansia
perubahan sistem musculoskeletal, sistem mengalami gangguan tidur dengan kondisi
neurologis, sistem kardiovaskuler, dan perubahan tersebut lansia mengeluh sering mengantuk pada
pada sistem indra[19]. Perubahan psikososial pada siang hari dan mengalami keletihan, selain itu dari
lansia meliputi perubahan masa pensiun, 10 lansia 6 orang diantaranya menyatakan tidurnya
perubahan aspek kepribadian, perubahan dalam terganggu karena banyak pikiran (stress) dan 4
peran sosial dimasyarakat, perubahan spiritual, orang menyatakan sering terbangun waktu ingin
perubahan penurunan fungsi dan potensial berkemih, dari kondisi tersebut menyebabkan
seksual[3]. lansia sering terbangun di malam hari. Beberapa
Insomnia sering terjadi pada lansia yang lansia mengatakan sulit memulai tidur kembali dan
merupakan gangguan kesulitan tidur, bila tidak membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
diatasi akan mempengaruhi secara fisik, psikologi memulai tidur kembali. Berdasarkan hasil
dan kejiwaan pada lansia tersebut. Beberapa faktor wawacara dengan kepala panti selama ini para
tersebut dapat mempengaruhi pola tidur lansia lansia tidak pernah mengkomsumsi obat tidur
yang biasa dikenal dengan gangguan tidur. dikarenakan takut membahayakan kesehatan bagi
Menurut survei epidemiologi hingga 40-50% dari lansia dan di panti jompo graha kasih bapa
individu lebih dari 60 tahun menunjukkan bahwa sebelumnya sudah dilakukan terapi lavender untuk
mereka tidak puas dengan tidur atau mengalami menurunkan tingkat kecemasan sedangkan untuk
kesulitan tidur, antara 12 dan 25% mengeluh mengatasi insomnia itu sendiri belum ada terapi
insomnia kronis[10]. khusus yang diberikan kepada lansia termasuk
Insomnia yang tidak ditangani dapat terapi relaksasi otot progresif.
membawa perubahan yang dapat mempengaruhi
fisik maupun psikologis sehingga dapat
menurunkan kualitas hidup pada lansia. Salah satu
pengobatan secara nonfarmakologi dalam

1
METODOLOGI PENELITIAN Tabel 2 Karakteristik Responden Berdasarkan
Penelitian ini merupakan penelitian Insomnia Severity Index Tingkat Insomnia pada
kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian Pretest dan Posttest
Pra Eksperimen dengan rancangan one group pre-
test and post-test yaitu desain rancangan yang Pretest Posttest
tidak ada kelompok pembanding atau kelompok Tingkat Insomnia f % f %
kontrol.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia Tidak Insomnia 0 0 6
yang tinggal di Panti Jompo Graha Kasih Bapa 60,0
Kabupaten Kubu Raya dengan jumlah 28 orang. Insomnia Ringan 4 40,0 3
Sampel yang digunakan pada penelitian ini sebesar 30,0
10 orang responden kelompok intervensi, dengan Insomnia Sedang 5 50,0 1
tehnik pengambilan sampel menggunakan 10,0
Purposive sampling. Insomnia Berat 1 10,0 0 0
Kriteria inklusi penelitian ini lansia yang
mengalami insomnia dan lansia yang bersedia Berdasarkan tabel 2 didapatkan hasil dari tingkat
menjadi subjek penelitian, kriteria eksklusi insomnia lansia sebelum dan sesudah dilakukan
penelitian ini lansia yang sedang mengkonsumsi intervensi terapi relaksasi otot progresif pada
obat tidur dan lansia yang mengalami lansia dengan menggunakan kuesioner insomnia
osteoarthritis. severity index didapatkan hasil tingkat insomnia
Uji statistik yang digunakan yaitu uji paired pada pretest yang paling tinggi yaitu insomnia
samples t test untuk menganalisis pengaruh terapi sedang sebanyak 5 responden (50,0%) sedangkan
relaksasi otot progresif terhadap tingkat insomnia tingkat insomnia pada pretest yang paling rendah
pada lansia di Panti Jompo Graha Kasih Bapa yaitu insomnia berat sebanyak 1 responden
Kabupaten Kubu Raya. (10,0%). Tingkat insomnia pada posttest yang
paling tinggi yaitu tidak insomnia sebanyak 6
HASIL responden (60,0%) sedangkan tingkat insomnia
Karakteristik responden pada posttest yang paling rendah yaitu insomnia
Tabel 1 Karakteristik Responden Berdasarkan sedang sebanyak 1 responden (10,0%).
Jenis Kelamin, Usia, dan Tingkat Pendidikan
Karakteristik Tabel 3 Hasil Uji paired samples t test tingkat
Kategori f %
Responden insomnia sebelum dan sesudah terapi Relaksasi
Jenis kelamin Laki-laki 5 50,0 Otot Progresif
Perempuan 5 50,0
60-69 (lansia muda) 2 20,0 Variabel f Mean SD p value
Usia 70-79 (lansia madya) 6 60,0 Skor insomnia sebelum 10 14,80 ±3,327
80-89 (lansia tua) 2 20,0
Skor transform 0,799 0,001
10 ±0,18398
Tidak Tamat SD 2 50 insomnia sesudah 3
Tingkat SD 6 60,0
Pendidikan SMP 1 10,0 Berdasarkan uji paired samples t test di peroleh
SI 1 10,0 nilai signifikan p value = 0,001 (p<0,05) maka Ha
di tolak dan Ho di terima. Hal ini menunjukkan
Berdasarkan tabel 1 didapat jumlah responden bahwa ada pengaruh terapi relaksasi otot progresif
perempuan dan laki-laki sama-sama (50,0%). terhadap tingkat insomnia pada lansia di Panti
Pada rentang usia data yang tertinggi didapatkan Jompo Graha Kasih Bapa Kabupaten Kubu Raya.
berjumlah 6 responden (60,0%) dengan rentang
usia yaitu 70-79 (lansia madya). Sedangkan pada
tingkat pendidikan yang terbanyak adalah
responden yang sekolah dasar dengan data yang
tertinggi berjumlah 6 responden (60,0%).

2
PEMBAHASAN perimenopause mengalami masalah tidur. Selain
Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis itu salah satu faktor yang mempengaruhi gangguan
Kelamin tidur dikarenakan faktor hormonal pada
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan perempuan yang sudah menopause mengalami
jumlah perempuan 5 orang (50,0%) dan jumlah perubahan, dimana penurunan kadar hormon
laki-laki 5 orang (50,0%), jenis kelamin pada estrogen dan progesteron berhubungan dengan
penelitian ini memiliki karakteristik persamaaan meningkatnya jumlah yang mengalami gangguan
responden antara laki-laki dan perempuan, tidak tidur.
ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan Menurut penelitian Rianjani (2011)
dengan terjadinya insomnia, insomnia dapat terjadi menyatakan bahwa jenis kelamin responden di
kepada siapa saja jika seseorang mengalami Panti Werdha Pucang Gading Semarang, dari 97
banyak beban pikiran, suasana lingkungan yang responden yang diberikan pertanyaan berdasarkan
ribut, gaya hidup yang kurang baik maupun akibat jenis kelamin responden diketahui bahwa sebagian
penyakit fisik. Berdasarkan dari tempat penelitian besar adalah perempuan 51 orang (52,6%) dan
ini di Panti Jompo Graha Kasih Bapa Kabupaten sisanya laki-laki 46 orang (47,7%). Sebagian besar
Kubu Raya, dari jumlah populasi, perempuan 15 lansia perempuan beresiko mengalami ganggu
orang dan laki-laki 13 orang, dari jumlah populasi tidur, salah satu dari penyebabnya karena faktor
tersebut lansia perempuan lebih mendominasi dari psikologis terutama yang memiliki banyak pikiran
pada laki-laki, dan selama penelitian berlangsung sampai ke tahap stress akibatnya perempuan
antara laki-laki maupun perempuan dari sebagian mudah merasa cemas maupun khawatir dengan
itu banyak tidak dapat mengikuti relaksasi otot masalah kehidupannya sehingga dapat mengubah
progresif karena beberapa lansia mengalami pola tidur pada lansia perempuan tersebut.
penyakit fisik yang menyebabkan lansia tidak Teori ini didukung oleh Mass (2011) yang
dapat mengerakkan kaki dan tangan secara menyatakan bahwa kekhawatiran dan kecemasan
maksimal bahkan ada beberapa lansia yang dapat menunda seseorang untuk tidur, hal ini
mengalami tirah baring total, dengan terjadi karena stress psikologi dapat terjadi secara
meningkatnya jumlah lansia perempuan pada panti berkala pada lansia. Selain itu secara psikologis
tersebut, semakin banyak juga beban pikiran yang perempuan memiliki mekanisme koping yang
timbulkan pada lansia mulai ada nya perbedaan lebih rendah serta sulit menyesuaikan diri dengan
dengan teman sekamar ataupun faktor lainnya. Hal perubahan yang terjadi pada dirinya dari pada laki-
ini akan membawa dampak semakin laki, dari setiap perubahan tersebut seorang
meningkatnya tingkat insomnia. perempuan akan lebih mudah mengalami
Menurut teori Kaplan & Sadock (2010) yang ketegangan dan kecemasan sehingga stressor
menyatakan bahwa jenis kelamin perempuan meningkat untuk terjadinya insomnia.
merupakan faktor yang berhubungan dengan
terjadi peningkatan prevalensi gangguan tidur Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
karena adanya gangguan mental dan faktor usia Hasil penelitian yang dilakukan didapatkan
lanjut. Menurut penelitian Vidyanti (2014) rentang usia lansia dari data yang tertinggi
menunjukkan bahwa 20 responden, dari 2 didapatkan berjumlah 6 responden (60,0%) dengan
responden laki-laki tidak satupun yang menjadi rentang usia yaitu 70-79 (lansia madya), rentang
tidak insomnia, sedangkan pada 18 responden usia terendah yaitu usia 60-69 (lansia muda) dan
perempuan yang insomnia menjadi sebagian besar 80-89 (lansia tua) dengan jumlah 2 responden
(55,6%), tidak insomnia yaitu sebanyak 10 (20,0%). Berdasarkan klasifikasi lansia menurut
responden. Statistik Penduduk Lanjut Usia dapat digolongkan
Teori ini didukung Mass (2011) yang yaitu pra lansia (45-59 tahun), lansia muda (60-69
menyatakan bahwa perempuan yang insomnia tahun), lansia madya (70-79 tahun), lansia tua (80-
disebakan oleh faktor internal yaitu dari gejala 89 tahun).
menopause dapat mengganggu pola tidur, selama Berdasarkan hasil penelitian didapatkan
menopause terjadi terdapat perubahan yang besar rentang usia 70-79 (lansia madya) dengan
pada sistem neuroendokrin terutama di persentase 60,0% lebih mendominasi dari usia pra
hipotalamus, yang menyebabkan wanita lansia dan usia lanjut karena dari usia pra lansia

3
yang tinggal dipanti jompo hanya beberapa orang pendidikan sebagian besar responden tidak
saja sedangkan pada usia lanjut beberapa lansia sekolah 32,35% (11 orang). Dengan meningkat
tidak dapat berjalan, serta mengalami tirah baring pendidikan yang rendah, semakin meningkat juga
maupun penyakit fisik lainnya sehingga di Panti penyebab dari gangguan tidur, yang tidak di
Jompo Kasih Bapa banyak lansia yang rentang ketahui lansia hal ini disebabkan karena
usia 70-79 tahun. keterbatasan pengetahuan untuk mengobati dan
Hal ini sesuai dengan penelitian Kanender mencari penatalaksanaan yang tepat.
(2015) menunjukkan bahwa responden yang
berumur 71-75 tahun dan 76-80 tahun merupakan Sebelum Dilakukan Terapi Relaksasi Otot
responden terbanyak dengan persentase 25 % Progresif (Pretest)
dengan jumlah 9 orang. Dengan meningkatnya Berdasarkan hasil penelitian sebelum atau
jumlah usia pada lansia semua sistem di dalam prestest dilakukan terapi relaksasi otot progresif
tubuh mengalami perubahan mulai dari sistem dengan menggunakan insomnia severity index
biologis, psikososial dan psikologis, hal ini dapat dengan jumlah terbanyak terdapat 5 responden
mempengaruhi kebutuhan dasar manusia yaitu dengan kategori tingkat insomnia sedang, dan 1
kebutuhan pola tidur pada lansia jika tidak responden dengan kategori tingkat insomnia berat.
terpenuhi lansia dengan rentan mengalami Menurut penelitian Austaryani (2010)
gangguan tidur. Hal ini sesuai dengan teori Stanley menyatakan bahwa sebelum dilakukan terapi
& Beare (2007) yang menyatakan bahwa sebagian relaksasi otot progresif yang paling terbanyak
besar lansia berisiko tinggi mengalami gangguan yaitu lansia yang mengalami tingkat insomnia
tidur akibat berbagai faktor yaitu proses patologis sedang, dengan jumlah 25 responden.
yang berkaitan dengan usia 65 tahun atau lebih Dari hasil observasi lansia yang berada di
dapat menyebabkan 50 % mengalami gangguan panti jompo beberapa lansia kurang melakukan
tidur, faktor tersebut dapat juga disebabkan karena aktivitas seperti senam maupun relaksasi karena
gaya hidup, stress emosional, penyakit fisik dan rata-rata lansia setelah selesai merawat diri mereka
lingkungan. sendiri seperti mandi maupun makan, lansia lebih
memilih untuk berbaring ditempat tidur mereka
Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat karena kurangnya aktivitas hal ini dapat membuat
Pendidikan otot-otot menjadi kaku maupun tegang hal ini
Berdasarkan hasil penelitian dilihat dari dapat mempengaruhi gaya hidup maupun tingkat
sebaran tingkat pendidikan yang terbanyak adalah stress lansia dan salah satu faktor yang
responden yang sekolah dasar dengan data yang mempengaruhi lansia tersebut merupakan faktor
tertinggi berjumlah 6 responden (60,0%) dan penyebab terjadinya gangguan tidur pada lansia.
tingkat pendidikan terendah yaitu tingkat SMP dan Beberapa lansia di Panti Jompo Kasih Bapa
S1 berjumlah 1 responden (10,0%). menyatakan bahwa tidurnya terganggu karena
Ini menerangkan bahwa di Panti Jompo banyak pikiran atau stress dan sering terbangun
Graha Kasih Bapa secara garis besar memiliki waktu ingin berkemih, dari kondisi tersebut
pendidikan sebatas tingkat sekolah dasar, karena menyebabkan lansia sering terbangun di malam
pada zaman dahulu untuk bersekolah saja sangat hari. Beberapa lansia juga mengatakan sulit
sulit sehingga rata-rata lansia hanya sampai memulai tidur kembali dan membutuhkan waktu
ditingkat sekolah dasar saja, sehingga jarang sekali yang cukup lama untuk memulai tidur kembali
lansia yang menempuh pendidikan lebih tinggi bahkan ada yang mengatakan tidak bisa tidur
dengan meningkatnya tingkat pendidikan yang sampai di pagi hari. Ini terjadi karena proses
rendah, menjadi minimnya bagi lansia untuk fisiologi maupun psikologis pada lansia yang telah
mendapat informasi mengenai terapi secara mengalami perubahan akibat dari proses penuaan.
nonfarmakologi yang tepat untuk mengatasi Menurut Potter & Perry (2012) menyatakan
gangguan tidur. bahwa lansia yang mengalami kesulitan tidur di
Sejalan dengan penelitian yang sebelumnya waktu malam hari disebabkan karena penyakit
Yurintika (2015) berdasarkan tingkat pendidikan fisik tertentu, gaya hidup, stress emosional dan
mayoritas responden tamatan SD yaitu sebanyak faktor lingkungan. Terutama pada lansia yang
53% (18 orang), sedangkan kategori status mengalami stress dapat mengganggu tidur yang

4
menyebabkan seseorang menjadi tegang, sering sistem saraf pusat yang dapat mempengaruhi pola
terbangun selama waktu tidur dapat menyebabkan tidur lansia.
kualitas tidur menjadi buruk. Sejalan dengan penelitian Marlina (2011)
Menurut Hardani (2016) yang menyatakan menyatakan bahwa orang yang menderita
bahwa stress yang terjadi pada lansia merupakan nokturia atau berkemih pada malam hari,
terstimulusnya respon stress yang dihantarkan ke mengganggu tidur dan siklus tidur. Kondisi ini
sistem saraf pusat dan diterima oleh hipotalamus yang paling umum terjadi pada lanjut usia dengan
kemudian hipotalamus melepaskan corticotrophin penurunan tonus kandung kemih atau orang yang
releasing factor yang kemudian merangsang berpenyakit jantung, diabetes, uretritis, atau
sistem saraf simpatis serta mengeluarkan hormon penyakit prostat.
norepeinephrine, dengan meningkatnya hormon
norepinephrine dapat menyebabkan penurunan Sesudah Dilakukan Terapi Relaksasi Otot
pada pola tidur lansia dan kualitas tidur lansia Progresif (Posttest)
menjadi terganggu. Sesudah dilakukan terapi relaksasi otot
Sejalan dengan penelitian Erliana (2009) progresif selama 7 hari dengan waktu 30 menit
yang menyatakan bahwa dengan terjadinya secara berturut-turut dan pada hari ke 8 diberikan
penurunan kualitas tidur pada lansia akibat posttest dengan menggunakan instrument
bertambahnya usia, waktu tidur lansia menjadi insomnia severity index berdasarkan hasil
kurang efektif hal ini sebabkan oleh faktor observasi 6 responden tidak mengalami insomnia
biologis dan faktor psikis. Faktor biologis seperti dan 1 responden insomnia sedang. Menurut
adanya penyakit tertentu yang mengakibatkan penelitian Safitri (2015) menyatakan bahwa
seseorang tidak dapat tidur dengan baik. Faktor tingkat insomnia setelah diberikan terapi relaksasi
psikis bisa berupa kecemasan, stres psikologis, otot progresif yang tidak ada keluhan insomnia
ketakutan dan ketegangan emosional sehingga sebanyak 25 orang dan tingkat insomnia ringan
dapat mengaktifkan saraf simpatis yang membuat sebanyak 5 orang.
lansia merasa tegang atau tidak merasa relaks Selama setelah penelitian berlangsung
sehingga tidak dapat memunculkan rasa kantuk. terdapat perubahan yang signifikan rata-rata lansia
Menurut penelitian Wahyuni (2010) yang mengalami gangguan tidur menyatakan
menyatakan bahwa pada lansia seringkali bahwa pola tidur lansia menjadi puas dan tidurnya
mengalami perubahan pola tidur dan lamanya menjadi nyenyak hal disebabkan faktor fisiologis
waktu tidur, mulai dari bayi sampai usia lanjut, dan faktor psikologis menjadi relaks, pikiran
perubahan ini dipengaruhi pengaturan tidur, menjadi tenang dan nyaman hal ini dikarena kan
kerusakan sensorik, dan yang umum akibat proses efek dari metode relaksasi otot progresif yang
penuaan yang dapat mengurangi sensitifitas waktu berkerja dengan cara menegangkan pada otot-otot
dalam mempertahan irama sirkadian yang dapat tertentu kemudian mereksasikan kembali. Terapi
mempengaruhi pola fungsi biologis dan fungsi ini bermanfaat untuk mengurangi gangguan tidur
perilaku. sehingga dapat meningkat kualitas tidur, stress,
Gangguan tidur pada lansia juga dipengaruhi kecemasan, hipertensi dan mengurangi ketegangan
faktor internal dimana lansia yang sering berkemih pada otot. Menurut Snyder & Lindquist (2010)
pada malam hari, hal ini disebabkan karena otot terapi ini fokus pada kelompok otot tertentu dan
pada kandung kemih lansia mulai mangalami berlatih mengendurkan otot-otot sehingga dapat
penurunan sehingga lansia ingin segera membuang mengelola stress, menghilangkan ketegangan dari
air kecil, akibat terbangun dari tidur yang di tubuh dan pikiran.
sebabkan ingin membuang air kecil, lansia Sejalan dengan penelitian Alfiyanti (2014)
mencoba memulai tidur kembali dengan waktu yang menyatakan bahwa relaksasi otot progresif
yang cukup lama serta sulit untuk memulai tidur, dapat menstimulus respon tubuh menjadi rileks
dari faktor tersebut dapat meningkatkan jumlah dan pikiran menjadi tenang serta nyaman dengan
waktu tidur di siang hari meningkat secara kondisi tersebut dapat meningkatkan produksi
progresif dan mengalami perubahan pola tidur endorphin, serotonin dan melatonin, dimana
pada lansia yang disebabkan perubahan pada hormon endorphin sebagai hormon pemicu rasa
bahagia, hormon serotonin sebagai pemicu mood,

5
hasrat seksual, tidur, ingatan, dan pengaturan berkerja sesuai dengan fungsinya, sistem saraf
temperatur sedangkan hormon melatonin dapat pusat berkerja mengendalikan gerakan-gerakan
membuat tidur nyenyak yang diperlukan tubuh yang dikehendaki sedangkan saraf otonom
untuk memproduksi penyembuhan secara alami berkerja mengendalikan gerakan yang otomatis.
sehingga dapat membuat tubuh menjadi rileks. Saraf otonom ini secara fisilogis mengatur dua
Menurut penelitian sebelumnya Sustrami sistem pada tubuh manusia yaitu saraf simpatis
(2014) yang menyatakan bahwa ketika kodisi dan saraf parasimpatis, kedua saraf ini berkerja
tubuh dalam keadaan rileks maka gelombang otak secara berlawanan. Saraf simpatis berkerja secara
yang berperan seperti delta, theta, alpha, beta dan aktif ketika tubuh merespon terkejut, takut, cemas,
gamma akan berkerja secara optimal maka proses dan semua keadaan akan menjadi tegang sehingga
tidur NREM dan REM dengan mudah didapatkan membutuhkan lebih banyak energi. Pada kondisi
sehingga lansia tidak lagi sulit untuk memulai ini sistem saraf akan berkerja meningkatkan aliran
tidur dan terbangun di malam hari bahkan tidak darah ke otot-otot skeletal dan sistem parasimpatis
memerlukan waktu cukup lama untuk memulai berkerja mengontrol aktivitas yang tegang
tidur kembali. Dengan berkurang gangguan tidur kemudian sistem parasimpatis menstimulus tubuh
akibat dari faktor biologis maupun psikis secara dalam keadaan tenang. Terapi relaksasi otot
perlahan akan kembali ketahap normal yang dapat progresif ini dapat berkerja pada sistem saraf
meningkatkan kualitas tidur lansia. simpatis dan parasimpatis sehingga dapat
mengelola keadaan lansia tersebut, terapi ini
Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif terbukti efektif dapat mengurangi gangguan tidur,
Terhadap Tingkat Insomnia Pada Lansia Di stress dan otot-otot yang tegang sehingga dapat
Panti Jompo Graha Kasih Bapa Kabupaten meningkatkan kualitas tidur pada lansia.
Kubu Raya Sejalan dengan penelitian sebelumnya
Berdasarkan hasil uji paired samples t test Nuryanti (2014) yang menyatakan bahwa terapi
tingkat insomnia sebelum dan sesudah dilakukan relaksasi otot progresif merupakan terapi yang
terapi relaksasi otot progresif pada lansia dengan fokus pada otot-otot tertentu yang ditegangkan
hasil p = 0,001 (p<0,05) sehingga dapat kemudian merileksasikan kembali sehingga
disimpulkan bahwa ada pengaruh terapi relaksasi terbukti efektif mengurangi gangguan tidur pada
otot progresif terhadap tingkat insomnia pada lansia dan membuat perasaan menjadi tenang,
lansia di Panti Jompo Graha Kasih Bapa santai, dan rilek kemudian perasaan yang rileks
Kabupaten Kubu Raya. Berdasarkan hasil diteruskan ke hipotalamus untuk menghasilkan
observasi setelah melakukan terapi relaksasi otot Corticotropin Releasing Factor (CFR) kemudian
progresif beberapa lansia mengatakan tidurnya Corticotropin Releasing Factor (CFR)
menjadi nyenyak dan terbangun hanya sekali, efek merangsang kelenjar putuitari untuk meningkatkan
dari terapi relaksasi otot progresif membawa produksi Propioidmelanicortin yang menyebabkan
dampak positif bagi lansia karena terapi ini mudah B endorfin sebagai neurotransmitter yang
dan dapat dilakukan secara mandiri serta tidak mempengaruhi suasana hati menjadi rileks dan
menimbulkan efek samping yang dapat produksi encephalin oleh medulla adrenal
menyakitkan bagi lansia. Terapi relaksasi otot meningkat sehingga terjadi peningkatan kualitas
progresif ini berkerja pada otot-otot tertentu mulai tidur lansia.
dari tegangkan bagian otot tangan bawah, Menurut penelitian Sulidah (2016)
belakang dan bisep, otot bahu, otot dahi, otot mata, menyatakan bahwa latihan relaksasi otot progresif
otot rahang, otot mlut, otot leher bagian belakang cukup ektif untuk memperpendek latensi tidur,
dan depan, otot punggung, otot dada, otot perut, memperlama durasi tidur, meningkatkan efisiensi
otot paha dan otot betis kemudian lansia tidur, mengurangi gangguan tidur, dan mengurangi
merileksasikan kembali sehingga membuat otot gangguan aktifitas pada siang hari sehingga
tubuh menjadi rileks dan memberikan sensasi meningkatkan respon puas terhadap kualitas
tubuh yang nyaman. tidurnya.
Menurut teori Ramdhani (2008) relaksasi Dengan dilakukan terapi relaksasi otot
diciptakan mempelajari sistem saraf pusat dan progresif secara rutin selama 7 hari serta
saraf otonom pada manusia, dan masing-masing menjadikan kebiasaan bagi lansia setiap

6
minggunya akan membawa dampak yang positif 3. Bagi Panti Jompo Graha Kasih Bapa
bagi lansia dan dapat mengurangi gangguan tidur Dapat dijadikan intervensi kepada lansia di
serta membantu menghilang kekakuan dibagian Panti Jompo Graha kasih bapa untuk
otot-otot tertentu yang menjadi tubuh tetap segar menurunkan tingkat insomnia.
dan rilek, ini disebabkan karena sistem kerja saraf
parasimpatis yang memberikan efek yang 4. Bagi Peneliti lain
menenangkan sehingga memudahkan lansia untuk Peneliti lain dapat mengkaji lebih dalam lagi
memulai tidur. faktor-faktor yang mempengaruhi insomnia
Menurut penelitian Safithry (2014) dan mengkaji responden lebih rinci sesuai
menyatakan bahwa latihan relaksasi otot progresif dengan kriteria penelitian.
selama satu minggu secara teratur membuktikan
bahwa latihan relaksasi otot progresif mempunyai DAFTAR PUSTAKA
hasil yang baik yang dapat menurunkan keluhan
dari insomnia, hal ini harus diperpadukan antara
1. Alfiyanti Eva Nur, Setyawan Dody, Kusuma
pemikiran dan keadaan dalam kondisi yang tenang
Argo Bayu Muslim. (2014). Pengaruh
dan rileks.
Relaksasi Otot Progresif Terhadap
Tingkat Depresi Pada Pasien Gagal
KESIMPULAN Ginjal Kronik Yang Menjalani
Jenis kelamin laki-laki dan perempuan sama-sama Hemodialisis Di Unit Hemodialisa Rs
50%, rentang usia 71-79 sebanyak 60% dan Telogorejo Semarang. Skripsi Ilmu
tingkat pendidikan yang terbanyak yaitu tingkat Keperawatan Stikes Telogorejo
sekolah dasar dengan jumlah 60%. Berdasarkan Semarang. Diakses pada tanggal 18 juli
hasil penelitian sebelum atau prestest dilakukan 2017. http://download.portalgaruda.org.
terapi relaksasi otot progresif terdapat tingkat tidak dipublikasikan.
insomnia ringan (40,0%), tingkat insomnia sedang
(50,0%), dan tingkat insomnia berat (10,0%). 2. Austaryani,putri nessma.widodo, arif.
Sedangkan sesudah dilakukan terapi relaksasi otot (2010).Pengaruh Terapi Relaksasi Otot
progresif dengan hasil yaitu (60,0%) dikategorikan Progresif Terhadap Perubahan Tingkat
tidak insomnia, (30,0%) dikategorikan insomnia Insomnia Pada Lansia Di Posyandu
ringan, (10,0%) dikategorikan insomnia sedang. Lansia Desa Gonilan, Kartasura.
Terdapat pengaruh terapi relaksasi otot progresif Keperawatan FIK UMS Jln. Ahmad Yani
terhadap tingkat insomnia pada lansia di Panti Tromol Pos I Pabelan Kartasura.
Jompo Graha Kasih Bapa Kabupaten Kubu Raya.
3. Azizah Ma’rifatul lilik. (2011). Keperawatan
SARAN Lanjut Usia. Edisi Pertama. Yogyakarta:
1. Bagi Ilmu Keperawatan Graha Ilmu.
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai peran perawat dalam memberikan 4. Depkes. (2013). Triple-Burden-Ancaman-
intervensi keperawatan khususnya dapat Lansia. Diakses tanggal 3 maret 2017.
digunakan pada panti untuk memberikan http://www.depkes.go.id.
implementasi kepada lansia yang mengalami
insomnia. 5. Erliana, E.,Haroen, H.,Susanti, R.D. (2009).
2. Bagi Lanjut Usia Perbedaan Tingkat Insomnia Lansia
Lansia dapat menerapkan terapi Sebelum dan Sesudah Latihan Relaksasi
nonfarmakologi yaitu terapi relaksasi otot Otot Progresif di BPSTW Ciparay
progresif khususnya bagi lansia yang Bandung. Di akses pada tanggal 17
mengalami insomnia. Agustus 2017. www.pustaka.unpad.ac.id.

6. Hardani Tri Paramudita, Putri Susanti Eka


Yossie. (2016). Relaksasi Otot Progresif

7
dalam Mengatasi Insomnia pada Lansia di 15. Rianjani Evi, Nugroho Adi Heryanto, Astuti
Panti Tresna Werdha. Jurnal Rahayu. (2011). Kejadian Insomnia
Keperawatan Jiwa. Volume 4, No 1:40-44. Berdasar Karakteristik dan Tingkat
Diakses pada tanggal 19 juli 2017. Kecemasan pada Lansia Di Panti
Wredha Pucang Gading Semarang. Jurnal
7. Infodatin (Pusat Data Dan Informasi Keperawatan. Volume 4, No 2. Diakses
Kemenkes RI). (2016). Situasi Lanjut pada tanggal 13 juli 2017.
Usia di Indonesia. Diakses tanggal 30
maret 2017. 16. Sadock, B.J. & Sadock, V.A. (2010). Kaplan
http://www.pusdatin.kemkes.go.id. and Sadock’s synopsis of psychiatry. 10th
ed. Philadelphia: Wolter Kluwer.
8. Kementrian kesehatan RI. (2016).Menkes
Lansia Yang Sehat Lansia Yang Jauh 17. Safithry Esty Aryani. (2014). Latihan
Dari Demensia. Diakses pada tanggal 15 Relaksasi Untuk Mengurangi Gejala
maret 2017. Insomnia. Pedagogik Jurnal Pendidikan.
http://www.depkes.go.id/article. Volume 9. Nomor 1.

9. Marlina. (2011). Faktor – Faktor Yang 18. Safitri, Wahyuningsih & Agustin Rima
Mempengaruhi Tidur Pada Lanjut Usia Di Wahyu. (2015). Pengaruh Terapi
Desa Meunasah Balek Kecamatan Kota Relaksasi Progresif Terhadap Penurunan
Meureudu Kabupaten Pidie Jaya. Jurnal Tingkat Insomnia Pada Lansia Di Panti
Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan. Wreda Dharma Bakti Kasih Surakarta.
Volume 4, Nomor 4. Diakses pada Jurnal KesmaDaska.
tanggal 17 juli 2017.
19. Stanley, M. & Beare, P.G. (2007). Buku Ajar
10. Montgomery, Shepard Paul., & Shepard, Keperawatan Gerontik. (2nd ed). Jakarta:
Lindsay D. (2010). Insomnia In Older EGC.
People. Joulnal cambridge.org. Vol. 20
No. 3. 20. Sulidah, Yamin Ahmad, Susanti Diah Raini.
(2016). Pengaruh Latihan Relaksasi
11. Nuryanti, lisna. (2014). Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Kualitas Tidur
Otot Progresif Terhadap Insomnia Pada Lansia. Skripsi Fakultas Keperawatan
Lansia Di Pstw Budhi Dharma Bekasi. Universitas Padjadjaran. Volume 4,
Skripsi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Nomor 1. Diakses pada tanggal 20 juli
Medistra Indonesia Bekasi. tidak 2017.
dipublikasikan.
21. Sustrami Dya & Sukmono Catur Antonius.
12. Potter & Perry. (2012). Buku Ajar (2014). Pengaruh Relaksasi Otot
Fundamental Keperawatan. Edisi 4. Vol 2 Progresif Terhadap Peningkatan Jumlah
EGC. Jakarta. Kebutuhan Tidur Pada Lanjut Usia
Insomnia. Skripsi stikes Hang Tuah
13. Purwanto, Budhi. (2013). Herbal Dan Surabaya. Diakses pada tanggal 18 juli
Keperawatan Komplementer. Yoyakarta: 2017. https://www.researchgate.net. Tidak
Nuha Medika. di publikasikan.

14. Ramdhani Neila & Putra Aulia Adhyos. 22. Vidyanti Devi & Syarifah Satus Anis. (2014).
(2008). Pengembangan Multimedia Pengaruh Relaksasi Otot Progresif
Relaksasi. Diakses pada tanggal 19 Terhadap Insomnia Pada Lansia Di Upt
Agustus 2017.melalui Panti Werdha Mojopahit Kabupaten
neila.staff.ugm.ac.id. Mojokerto. Skripsi keperawatan stikes
pemkeb jombang. Diakses pada

8
tanggal 13 juli 2017.
http://jurnalperawat.stikespemkabjombang
.ac.id/index.php,tidak dipublikasikan.

23. Wahyuni Tri Ida. (2010). Pengaruh Terapi


Musik Terhadap Insomnia pada Usia
Lanjut di Panti social Tersna Werdha
“Abiyoso” Pakembinangun,
Pakem,Sleman Yogyakarta. Skripsi Ilmu
Keperawatan Sekolah tinggi Ilmu
Kesehatan Aisyiyah Yogyakarta. Diakses
pada tanggal 17 juli 2017.
http://opac.unisayogya.ac.id Tidak
dipublikasikan.

24. Kanender R Yuliana. palandeng, henry.


Kallo, D vandri. (2015). Pengaruh Terapi
Relaksasi Otot Progresif Terhadap
Perubahan Tingkat Insomnia Pada Lansia
Di Panti Werdha Manado. eJournal
Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 1.

25. Yurintika Famelia, Sabrian Febriana, Dewi


Irvani Yulia. (2015). Pengaruh Senam
Lansia Terhadap Kualitas Tidur Pada
Lansia Yang Insomnia. Skripsi Ilmu
Keperawatan Universitas Riau. JOM Vol
2 No 2. Di akses pada tanggal 14 juli
2017.

26. Snyder. M., Lindquist. R. (2010).


Complementary Alternative Therapies
In Nursing. 6th Ed. New York :
Springer Publishing Company, LLC.

Anda mungkin juga menyukai