Disusun Oleh
Fika Muntahaya 11171010000074
i
BAB I
TRANSAKSI TERAPEUTIK
A. Definisi Transaksi Terapeutik
Secara yuridis, transaksi terapeutik adalah hubungan hukum antara tenaga
medis dengan pasien dalam pelayanan medis secara profesional didasarkan
kempetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu dalam bidang
kesehatan (Triwibowo, 2014). Menurut Mukaddimah Kode Etik Kedokteran Manusia,
yang dimaksud dengan transaksi terapeutik adalah hubungan antara dokter dan
penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta senantiasa
diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani (Nuha, 2016).
Dalam transaksi terapeutik terdapat subyek hukum dan obyek hukum. Subyek
hukum meliputi pasien, tenaga kesehatan atau dokter atau dokter gigi, obyek hukumnya
adalah upaya maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien (Mayasari,
2017).
1
5. Azas Kejujuran. Informasi yang disampaikan oleh tenaga medis maupun
pasien dalam berkomunikasi harus yang sebenar-benarnya.
6. Azas Kehati-hatian. Tindakan tenaga medis harus didasarkan atas ketelitian
dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya.
7. Azas keterbukaan. Tenaga medis dan pasien harus memiliki sikap saling
percaya, terbuka dan kerjasama yang baik sehingga pelayanan medik dapat
berdayaguna dan berhasilguna.
2
Sedangkan tanggung jawab hukum tenaga kesehatan, diatur dalam hal-hal
berikut (Amin, 2017).
1. Bidang hukum pidana, Pasal 120 sampai 200 Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 dan pasal-pasal dalam KUHP seperti pasal 48- 51, 224, 267, 268, 322,
344, 361, 531, dan pasal 535.
2. Bidang hukum perdata, khususnya mengenai ketentuan-ketentuan pada buku II
KUHP perdat tentang perikatan dan pasal 58 Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009.
Dalam suatu perjanjian terapeutik, sebagaimana yang dicantumkan dalam
deklarasi Helsinki yang penyusunannya berpedoman pada The Nuremberg Code yang
semula disebut persetujuan sukarela, dikemukakan mengenai empat syarat sahnya
persetujuan yang harus diberikan secara sukarela, yaitu: 1) persetujuan harus diberikan
secara sukarela, 2) diberikan oleh yang berwenang dalam hukum, 3) diberitahukan, dan
4) dipahami (Triwibowo, 2014).
Selain syarat-syarat yang telah dipaparkan di atas, ada satu faktor utama yang
harus dimiliki oleh para pihak yang melakukan transaksi terapeutik, yaitu adanya suatu
itikad baik dari masing-masing pihak untuk melaksanakan perjanjian. Hal tersebut
diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata yang berbunyi “Suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik” (Triwibowo, 2014).
3
1. Sembuhnya pasien
2. Dokter atau tenaga kesehatan mengundurkan diri
Alasan-alasan yang memperbolehkan dokter mengundurkan diri dari
hubungannya dengan pasien adalah sebagai berikut.
a. Persetujuan pasien
b. Pasien telah memperoleh waktu dan informasi yang cukup, sehingga ia bisa
memperoleh pengobatan dari tenaga kesehatan lain.
c. Dokter merekomendasikan kepada dokter lain yang sama kompetensinya
untuk menggantikannya dengan persetujuan pasien.
d. Dokter tersebut merekomendasikan (merujuk) ke doker lain atau rumah
sakit lain yang lebih ahli dan fasilitas yang lebih baik.
3. Pengakhiran pasien
4. Meninggalnya pasien
5. Kewajiban dokter atau tenaga kesehatan sudah selesai sesuai kontrak
6. Dalam keadaan gawat darurat, apabila dokter atau tenaga kesehatan yang
mengobati atau tenaga kesehatan pilihan pasien sudah datang, atau terdapat
penghentian keadaan gawat darurat.
7. Telah melewati jangka waktu yang ditentukan dalam kontrak.
8. Persetujuan kedua belah pihak.
4
Daftar Pustaka
Amin, Yanuar. 2017. Etika Profesi dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia (diperoleh dari
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/11/Etika-
Profesi-dan-Hukes-SC.pdf pada tanggal 2 Juni 2018 pukul 11.23 WIB)
Mayasari, Dian Ety. 2017. Tinjauan Yuridis Tentang Informed consent Sebagai Hak
Pasien Dan Kewajiban Dokter. Vol. 13 (2), 93-102 (Diperoleh dari:
http://journal.ummgl.ac.id/index.php/variajusticia/article/view/1883/1097
pada tanggal 2 Juni 2018 pukul 12.21 WIB)
Nuha, Richard. 2016. Analisis Hukum Kontrak Terapeutik Terhadap Tindakan Medik
Dalam Hubungan Pasien Dengan Dokter Di Rumah Sakit. Lex Et Societatis,
Vol. 4 (3), 33-40 (diperoleh dari:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/view/11527 pada
tanggal 2 Juni 2018 pukul 14.20 WIB)
Triwibowo, Cecep. 2014. Etika dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika
5
BAB II
INFORMED CONSENT
6
Menurut Koeswadji (1998) dalam Mayasari (2017), informed consent
mengandung dua unsur esensial, yaitu sebagai berikut.
1. Informasi yang diberikan oleh tenaga medis (information for consent)
2. Persetujuan yang diberikan oleh pasien (statement of informed consent)
2
2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
3. Alternatif tindakan lain dan risikonya;
4. Risiko dan kompilasi yang mungkin terjadi, dan;
5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Selain hal-hal yang disebutkan diatas, Undang-Undang Praktik Kedokteran
juga mengatur bahwa informed consent merupakan hak pasien, khususnya Pasal 52
mengatur tentang hak pasien yaitu sebagai berikut (Mayasari, 2017).
1. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
2. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
3. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
4. Menolak tindakan medis; dan
5. Mendapatkan isi rekam medis.
C. Bentuk Informed Consent
Menurut Astuti (2009) dalam Kinanti, dkk (2015), informed consent dibedakan
menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
1. Informed consent yang dinyatakan secara tegas (expressed).
a. Informed consent yang dinyatakan secara lisan yaitu apabila tindakan medis
itu tidak berisiko.
b. Informed consent yang dinyatakan secara tertulis yaitu bentuk yang paling
tidak diragukan.
2. Informed concent yang dinyatakan secara diam-diam atau tersirat (implied),
yaitu tersirat dari gerakan pasien yang diyakini oleh dokter, misalnya dengan
anggukan kepala.
D. Fungsi dan Tujuan Informed Consent
Menurut Guwandi (2004) dalam Amin (2017), fungsi dari informed consent
adalah sebagi berikut.
1. Promosi dari hak otonomi perorangan;
2. Proteksi dari pasien dan subyek;
3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan;
3
4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan introspeksi
terhadap diri sendiri;
5. Promosi dari keputusan-keputusan rasional;
6. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu nilai
sosial dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan biomedik.
Sedangkan tujuan dari informed consent menurut Guwandi (2005) dalam Amin
(2017) adalah sebagai berikut.
1. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien;
2. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak
terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak
mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal mungkin
dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.
4
Sesuai yang dijelaskan pada Permenkes No.209/Menkes/Per/III/2008 pada
pasal 4 ayat (1), bahwa tidak diperlukan informed consent pada keadaan gawat darurat.
Namun pada ayat (3) dijelaskan lebih lanjut bahwa dokter berkewajiban memberikan
penjelasan kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat pasien
setelah dilakukannya tindakan penyelamatan gawat darurat (Triwibowo, 2014).
Selain itu berdasarkan KUHPerdata Pasal 1354, tindakan medis tanpa izin
pasien diperbolehkan apabila pasien dalam keadaan gawat darurat sehingga dokter
tidak mungkin mengajukan informed consent, tindakan tersebut dinamakan
zaakwaarnerning atau perwalian sukarela.
10
Daftar Pustaka
Amin, Yanuar. 2017. Etika Profesi dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia (diperoleh dari
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/11/Etika-
Profesi-dan-Hukes-SC.pdf pada tanggal 2 Juni 2018 pukul 11.23 WIB)
Kinanti, Armanda Dian, dkk. 2015. Urgensi Penerapan Mekanisme Informed consent
Untuk Mencegah Tuntutan Malpraktik Dalam Perjanjian Terapeutik. Privat
Law, Vol. 3 (2), 108-113. (diperoleh dari
https://media.neliti.com/media/publications/164465-ID-none.pdf pada tanggal
2 Juni 2018 pukul 20.31 WIB)
Mayasari, Dian Ety. 2017. Tinjauan Yuridis Tentang Informed consent Sebagai Hak
Pasien Dan Kewajiban Dokter. Vol. 13 (2), 93-102 (diperoleh dari:
http://journal.ummgl.ac.id/index.php/variajusticia/article/view/1883/1097
pada tanggal 2 Juni 2018 pukul 12.21 WIB)
Triwibowo, Cecep. 2014. Etika dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika
11
BAB III
MALPRAKTIK
A. Definisi Malpraktik
Malpraktik dapat didefinisikan sebagai tindakan atau praktik yang salah atau
yang menyimpang dari ketentuan yang baku (Notoatmodjo, 2010). Dalam bidang
kesehatan malpraktik adalah penyimpangan penanganan kasus atau masalah kesehatan
(termasuk penyakit) oleh petugas kesehatan, sehingga menyebabkan dampak buruk
bagi penderita aau pasien (Notoatmodjo, 2010).
12
melakukan, terlambat melakukan, dan tidak sempurna dalam melakukan apa yang
menurut kesepakatan wajib dilakukan, serta melakukan apa yang menurut
kesepakatan seharusnya tidak dilakukan. Pertanggung jawaban malpraktik ini dapat
bersifat individual/personal maupun dialihkan ke pihak lain berdasarkan principle
of vicarious liability.
C. Pembuktian Malpraktik
Selain dapat dipidana sesuai dengan tindak pidananya, tenaga medis yang terbukti
bersalah juga dapat digugat melalui peradilan perdata atas dasar perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad) (Wiriadinata, 2014). Pembuktian malpraktik perdata dapat dibuktikan
dengan dua cara, yaitu langsung atau tak langsung.
1. Secara langsung, yaitu dengan membuktikan empat kriteria hukum berikut (Nuha,
2016).
a. Ada duty of are, artinya tenaga medis/rumah sakit mengaku berkewajiban
memberi asuhan kepada pasien yang terdaftar dan dokter sudah mulai
melakukan tanya jawab, maka sudah terjadi kontrak medis atau kontrak
pengobatan antara dokter dengan pasien, sekalipun tidak tertulis.
b. Ada breach of duty, artinya tenaga medis/rumah sakit tidak melakukan
kewajiban sebagaimana seharusnya. Wujud breach atau pelanggaran adalah
sebagai berikut.
1) Kekeliruan atau kesalahan (error of commission, medical error) dalam
medis, seperti kekeliruan dalam diagnosis, interpretasi hasi
pemeriksaan, indikasi tindakan, tindakan tidak sesuai standar
pelayanan, dan sebagainya.
13
2) Kelalaian berat (gross negligence, error of emission), yaitu tidak
dilakukannya hal-hal yang seharusnya dilakukan menurut asas-asas
dan standar praktek kedokteran yang baik.
c. Ada cedera (harm, damage) pada pasien, berupa cedera fisik, psikologis,
mental, sampai kecacatan tetap atau meninggal.
d. Ada hubungan sebab-akibat langsung antara butir 2 dengan 3, artinya
cedera memang akibat breach of duty pada pemberi asuhan kesehatan.
2. Secara tidak langsung, yaitu dengan mencari fakta-fakta yang berdasarkan doktrin res
ipsa loquitor dapat membuktikan adanya kesalahan di pihak dokter. Namun tidak se-
mua kelalaian dokter meninggalkan fakta semacam itu dan diperlukan sedikit bantuan
kesaksian dari ahli untuk menguji apakah fakta yang ditemukan memang dapat
dijadikan bukti adanya kelalaian dokter. Misalnya terdapat gunting atau tang yang
tertinggal dalam perut pasien yang menjalani operasi, maka gunting atau tang itu
berdasarkan doktrin res ipsa loquitor, dapat dijadikan fakta yang secara tidak langsung
dapat membuktikan kesalahan dokter, sebab gunting atau tang itu tak mungkin
tertinggal kalau tak ada kelalaian.
14
2. Vicarius liability, yaitu tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat
oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (subordinate,
misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang
diakibatkan kelalaian tenaga medis sebagai karyawannya).
3. Liability in tort, yaiu tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad).
15
Sedangkan pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice, dimana
tenaga medis digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dapat dilakukan adalah
mementahkan dalil-dalil atau alasan-alasan penggugat.
Dengan kata lain ada sebuah kegagalan dalam proses penetapan gas anastesi.
Dan ternyata, di rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar pengamanan pemakaian
gas yang dipasang di mesin anastesi. Idealnya dan sudah menjadi keharusan bahwa
perlu ada sebuah standar yang tertulis (misalnya warna tabung gas yang berbeda), jelas,
dengan formulir yang memuat berbagai prosedur tiap kali harus ditandai dan
ditanda tangani.
Dalam hal ini berarti apa yang terdapat azas yang tidak terpenuhi dalam
transaksi terapeutik, yaitu azas kehati-hatian. Selain itu tentu informasi-informasi yang
tertera di dalam informed consent tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
16
diatur dalam Pasal 359, 360, dan 361 KUHP. Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan
dokter terbukti dilakukan dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian seperti dalam
kasus tersebut, maka dokter yang bersangkutan akan dikenakan sanksi pidana karena
dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan perbuatan melawan
hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang.
Selain itu ditinjau dari Sudut Pandang Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia
/KODEKI), tindakan tersebut juga dapat menjadi bentuk malpraktik etik karena dokter
tersebut tidak melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi.
17
Daftar Pustaka
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Nuha, Richard. 2016. Analisis Hukum Kontrak Terapeutik Terhadap Tindakan Medik
Dalam Hubungan Pasien Dengan Dokter Di Rumah Sakit. Lex Et Societatis,
Vol. 4 (3), 33-40 (diperoleh dari:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/view/11527 pada
tanggal 2 Juni 2018 pukul 14.20 WIB)
Purwaningsih, Endang dan Sri Wahyu Dwi Astuti. 2017. Bahan Ajar Keperawatan
Gigi: Etika Profesi dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Kementrian Kesehatan
(diperoleh dari http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2017/11/etika_bab1-3.pdf pada tangga 2 Juni 2018 pukul
12.24 WIB)
Wiriadinata, Wahyu. 2014. Dokter, Pasien dan Malpraktik. Mimbar Hukum, Vol 26
(1), 43-53. (diperoleh dari https://media.neliti.com/media/publications/40617-
ID-dokter-pasien-dan-malpraktik.pdf pada tanggal 2 Juni 2018 pukul 21.22
WIB)
18
LAMPIRAN
19
20