Anda di halaman 1dari 22

RANGKUMAN MATERI

TRANSAKSI TERAPEUTIK, INFORMED CONSENT, DAN MALPRAKTIK


Rangkuman Materi Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Etika
Hukum
Dosen Pengampu: Milza N. Rosad, S.H, MARS

Disusun Oleh
Fika Muntahaya 11171010000074

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
JUNI/2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................. i


BAB I TRANSAKSI TERAPEUTIK ........................................................................ 1
A. Definisi Transaksi Terapeutik ............................................................................ 1
B. Azas Transaksi Terapeutik ................................................................................. 1
C. Dasar Hukum dan Syarat Transaksi Terapeutik................................................. 2
D. Para Pihak dalam Transaksi Terapeutik ............................................................. 3
E. Berakhirnya Transaksi Terapeutik ..................................................................... 3
BAB II INFORMED CONSENT ................................................................................ 6
A. Definisi Informed Consent ................................................................................. 6
B. Dasar Hukum Informed Consent........................................................................ 2
C. Bentuk Informed Consent .................................................................................. 3
D. Fungsi dan Tujuan Informed Consent .................................................................. 3
E. Informed Consent dalam Tindakan Kegawatdaruratan ......................................... 4
F. Urgensi Penerapan Informed Consent Sebagai Upaya Pencegahan Terhadap
Tuntutan Malpraktik ................................................................................................ 10
BAB III MALPRAKTIK .......................................................................................... 12
A. Definisi Malpraktik .......................................................................................... 12
B. Malpraktik Dalam Sudat Pandang Hukum ...................................................... 12
C. Pembuktian Malpraktik .................................................................................... 13
D. Tanggung Jawab Hukum.................................................................................. 14
E. Upaya Mencegah dan Mengahadapi Tuntutan Malpraktik .............................. 15
F. Contoh Kasus Malpraktik dan Penyelesaiannya .............................................. 16
LAMPIRAN ............................................................................................................... 19

i
BAB I
TRANSAKSI TERAPEUTIK
A. Definisi Transaksi Terapeutik
Secara yuridis, transaksi terapeutik adalah hubungan hukum antara tenaga
medis dengan pasien dalam pelayanan medis secara profesional didasarkan
kempetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu dalam bidang
kesehatan (Triwibowo, 2014). Menurut Mukaddimah Kode Etik Kedokteran Manusia,
yang dimaksud dengan transaksi terapeutik adalah hubungan antara dokter dan
penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta senantiasa
diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani (Nuha, 2016).
Dalam transaksi terapeutik terdapat subyek hukum dan obyek hukum. Subyek
hukum meliputi pasien, tenaga kesehatan atau dokter atau dokter gigi, obyek hukumnya
adalah upaya maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien (Mayasari,
2017).

B. Azas Transaksi Terapeutik


Berikut adalah asas dalam transaksi terapeutik menurut Komalawati (1999)
dalam Amin (2017).
1. Azas Legalitas. Penyelenggaraan medik harus memenuhi persyaratan dan
perizinan yang diatur dalam perundang-undangan.
2. Azas Keseimbangan. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus seimbang
antara kepentingan individu dan masyarakat, fisik dan mental, materiil dan
spiritual, sehingga perlu adanya keseimbangan antara tujuan dan sarana, sarana
dan hasil, serta antara manfaat dan risiko yang ditimbulkan dari upaya medis
tersebut.
3. Azas Tepat Waktu. Tenaga medis harus tepat waktu dalam menangani pasien
agar tidak menimbulkan kerugian.
4. Azas Itikad Baik. Setiap tenaga medis wajib berperilaku etis dan berbuat baik
terhadap pasien dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan.

1
5. Azas Kejujuran. Informasi yang disampaikan oleh tenaga medis maupun
pasien dalam berkomunikasi harus yang sebenar-benarnya.
6. Azas Kehati-hatian. Tindakan tenaga medis harus didasarkan atas ketelitian
dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya.
7. Azas keterbukaan. Tenaga medis dan pasien harus memiliki sikap saling
percaya, terbuka dan kerjasama yang baik sehingga pelayanan medik dapat
berdayaguna dan berhasilguna.

C. Dasar Hukum dan Syarat Transaksi Terapeutik


Transaksi terapeutik merupakan bagian dari hubungan perjanjian dokter dan
pasien, diatur dalam Bab III (tiga) KUHPerdata. KUHPerdata Pasal 1313
mendefinisikan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Sebagai bagian perjanjian,
transaksi terapeutik dianggap sah apabila memenuhi syarat sahnya perjanjian yang
diatur dalam 1320 KUHPerdata, yaitu sebagai berikut (Mayasari 2017).
1. Kesepakatan; Kesepakatan didalam perjanjian tidak boleh terjadi jika ada
pemaksaan dan penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1323 sampai dengan
Pasal 1328 KUHPerdata. Ketegasan mengenai harus ada kesepakatan antara
dokter dan pasien dalam rangka melakukan upaya kesehatan pasien juga diatur
dalam Pasal 39 Undang-Undang Praktik Kedokteran.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; Pasal 1330 KUHPerdata mengatur
tentang pihakpihak yang dianggap tidak cakap membuat perjanjian, yaitu orang
yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan dan
perempuan.
3. Suatu hal tertentu; Yang dimaksud dengan hal tertentu dalam perjanjian
terapeutik adalah upaya penyembuhan.
4. Suatu sebab yang halal. Sebab yang halal adalah perjanjian yang dibuat tidak
melanggar undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Hal ini diatur
dalam Pasal 1337 KUHPerdata.

2
Sedangkan tanggung jawab hukum tenaga kesehatan, diatur dalam hal-hal
berikut (Amin, 2017).
1. Bidang hukum pidana, Pasal 120 sampai 200 Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 dan pasal-pasal dalam KUHP seperti pasal 48- 51, 224, 267, 268, 322,
344, 361, 531, dan pasal 535.
2. Bidang hukum perdata, khususnya mengenai ketentuan-ketentuan pada buku II
KUHP perdat tentang perikatan dan pasal 58 Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009.
Dalam suatu perjanjian terapeutik, sebagaimana yang dicantumkan dalam
deklarasi Helsinki yang penyusunannya berpedoman pada The Nuremberg Code yang
semula disebut persetujuan sukarela, dikemukakan mengenai empat syarat sahnya
persetujuan yang harus diberikan secara sukarela, yaitu: 1) persetujuan harus diberikan
secara sukarela, 2) diberikan oleh yang berwenang dalam hukum, 3) diberitahukan, dan
4) dipahami (Triwibowo, 2014).
Selain syarat-syarat yang telah dipaparkan di atas, ada satu faktor utama yang
harus dimiliki oleh para pihak yang melakukan transaksi terapeutik, yaitu adanya suatu
itikad baik dari masing-masing pihak untuk melaksanakan perjanjian. Hal tersebut
diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata yang berbunyi “Suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik” (Triwibowo, 2014).

D. Para Pihak dalam Transaksi Terapeutik


Pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi terapeutik adalah sebagai berikut.
1. Dokter dan tenaga kesehatan
Menurut Peraturan Pemerintah No. 32/1996 Pasal 2 ayat 1, tenaga kesehatan
terdiri dari tenaga medis, keperawatan, kefarmasian, kesehatan masyarakat,
gizi, keterapian fisik, dan tenaga keteknisian medis.
2. Pasien
3. Rumah Sakit

E. Berakhirnya Transaksi Terapeutik


Berakhirnya transaksi terapeutik dapat disebabkan karena hal-hal berikut.

3
1. Sembuhnya pasien
2. Dokter atau tenaga kesehatan mengundurkan diri
Alasan-alasan yang memperbolehkan dokter mengundurkan diri dari
hubungannya dengan pasien adalah sebagai berikut.
a. Persetujuan pasien
b. Pasien telah memperoleh waktu dan informasi yang cukup, sehingga ia bisa
memperoleh pengobatan dari tenaga kesehatan lain.
c. Dokter merekomendasikan kepada dokter lain yang sama kompetensinya
untuk menggantikannya dengan persetujuan pasien.
d. Dokter tersebut merekomendasikan (merujuk) ke doker lain atau rumah
sakit lain yang lebih ahli dan fasilitas yang lebih baik.
3. Pengakhiran pasien
4. Meninggalnya pasien
5. Kewajiban dokter atau tenaga kesehatan sudah selesai sesuai kontrak
6. Dalam keadaan gawat darurat, apabila dokter atau tenaga kesehatan yang
mengobati atau tenaga kesehatan pilihan pasien sudah datang, atau terdapat
penghentian keadaan gawat darurat.
7. Telah melewati jangka waktu yang ditentukan dalam kontrak.
8. Persetujuan kedua belah pihak.

4
Daftar Pustaka
Amin, Yanuar. 2017. Etika Profesi dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia (diperoleh dari
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/11/Etika-
Profesi-dan-Hukes-SC.pdf pada tanggal 2 Juni 2018 pukul 11.23 WIB)
Mayasari, Dian Ety. 2017. Tinjauan Yuridis Tentang Informed consent Sebagai Hak
Pasien Dan Kewajiban Dokter. Vol. 13 (2), 93-102 (Diperoleh dari:
http://journal.ummgl.ac.id/index.php/variajusticia/article/view/1883/1097
pada tanggal 2 Juni 2018 pukul 12.21 WIB)
Nuha, Richard. 2016. Analisis Hukum Kontrak Terapeutik Terhadap Tindakan Medik
Dalam Hubungan Pasien Dengan Dokter Di Rumah Sakit. Lex Et Societatis,
Vol. 4 (3), 33-40 (diperoleh dari:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/view/11527 pada
tanggal 2 Juni 2018 pukul 14.20 WIB)
Triwibowo, Cecep. 2014. Etika dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika

5
BAB II
INFORMED CONSENT

A. Definisi Informed Consent


Informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien (atau keluarga yang
berhak) kepada dokter untuk melakukan tindakan medis atas dirinya, setelah
kepadanya oleh dokter yang bersangkutan diberikan informasi atau penjelasan yang
lengkap tentang tindakan itu (Amin, 2017). Mendapat penjelasan lengkap itu adalah
salah satu hak pasien yang diakui oleh undang-undang sehingga dengan kata lain
Informed consent adalah Persetujuan Setelah Penjelasan.
Informed consent diperlukan untuk memastikan bahwa pasien telah mengerti
semua informasi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan, dan pasien mampu
memahami informasi yang relevan dan pasien memberikan persetujuan (Triwibowo,
2014).
Menurut leenen, isi informasi medis yang harus dikemukakan antara lain adalah
sebagai berikut (Triwibowo, 2014).
1. Diagnosa 4. Risiko
2. Terapi, dengan kemungkinan 5. Kemungkinan perasaan sakit
alternatif terapi ataupun perasaan lainnya
3. Cara kerja dan pengalaman 6. Keuntungan terapi
tenaga medis 7. Prognosis

Selanjutnya tindakan medis yang memerlukan informed consent adalah sebagai


berikut (Triwibowo, 2014).
1. Pembedahan invasive mayor atau minor
2. Semua prosedur yang menyangkut lebih dari risiko bahaya yang ringan
3. Semua bentuk terapi radiologi
4. Terapi kejut listrik
5. Semua prosedur yang berhubungan dengan percobaan
6. Semua prosedur yang mana formulir consent dibutuhkan oleh undang-undang
atau peraturan

6
Menurut Koeswadji (1998) dalam Mayasari (2017), informed consent
mengandung dua unsur esensial, yaitu sebagai berikut.
1. Informasi yang diberikan oleh tenaga medis (information for consent)
2. Persetujuan yang diberikan oleh pasien (statement of informed consent)

B. Dasar Hukum Informed Consent


Ketentuan tentang informed consent di Indonesia adalah sebagai berikut
(Triwibowo, 2014).
1. Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981
a. Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat atau jaringan tubuh manusia
diberikan oleh calon donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih
dahulu diberi tahu oleh dokter yang merawatnya, termasuk dokter konsultan
mengenai sifat operasi, akibat-akibatnya, dan kemungkinan yang dapat
terjadi.
b. Dokter yang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus yakin benar
bahwa calon donor yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari
pemberitahuan tersebut.
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
585/Menkes/Per/IX/1989 tetang Persetujuan Tindakan Medis, dan
ditindaklanjuti dengan SK Dirjen Yanmed 21 April 1999.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik, pasal 2 ayat
(1) dan (3)
4. Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Pasal 8, pasal 56 ayat (1), dan pasal 65 ayat (2)
5. Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit,
pasal 32J dan 32K.
Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Praktik Kedokteran menentukan penjelasan
lengkap untuk pasien sekurang-kurangnya mencakup hal-hal berikut (Mayasari, 2017).
1. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;

2
2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
3. Alternatif tindakan lain dan risikonya;
4. Risiko dan kompilasi yang mungkin terjadi, dan;
5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Selain hal-hal yang disebutkan diatas, Undang-Undang Praktik Kedokteran
juga mengatur bahwa informed consent merupakan hak pasien, khususnya Pasal 52
mengatur tentang hak pasien yaitu sebagai berikut (Mayasari, 2017).
1. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
2. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
3. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
4. Menolak tindakan medis; dan
5. Mendapatkan isi rekam medis.
C. Bentuk Informed Consent
Menurut Astuti (2009) dalam Kinanti, dkk (2015), informed consent dibedakan
menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
1. Informed consent yang dinyatakan secara tegas (expressed).
a. Informed consent yang dinyatakan secara lisan yaitu apabila tindakan medis
itu tidak berisiko.
b. Informed consent yang dinyatakan secara tertulis yaitu bentuk yang paling
tidak diragukan.
2. Informed concent yang dinyatakan secara diam-diam atau tersirat (implied),
yaitu tersirat dari gerakan pasien yang diyakini oleh dokter, misalnya dengan
anggukan kepala.
D. Fungsi dan Tujuan Informed Consent
Menurut Guwandi (2004) dalam Amin (2017), fungsi dari informed consent
adalah sebagi berikut.
1. Promosi dari hak otonomi perorangan;
2. Proteksi dari pasien dan subyek;
3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan;

3
4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan introspeksi
terhadap diri sendiri;
5. Promosi dari keputusan-keputusan rasional;
6. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu nilai
sosial dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan biomedik.

Sedangkan tujuan dari informed consent menurut Guwandi (2005) dalam Amin
(2017) adalah sebagai berikut.
1. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien;
2. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak
terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak
mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal mungkin
dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.

E. Informed Consent dalam Tindakan Kegawatdaruratan


Kegawatdaruratan dalam tinjauan doktrin informed consent adalah keadaan
yang memenuhi hal-hal berikut (Triwibowo, 2014).
1. Tidak ada kesempatan lagi untuk memintakan informed consent, baik dari
pasien atau anggota keluarga terdekat.
2. Tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda.
3. Suatu tindakan harus segera diambil.
4. Untuk menyelamatkan jiwa pasien atau anggota tubuh.

Standar untuk menentukan keadaan gawat darurat erdasarkan Hayt di dalam


“Law of Hospital, Physician and Patient” adalah sebagai berikut (Triwibowo, 2014).
1. Cardiac arrest 5. Massive Haemorrhage
2. Shock 6. Patah tulang terbuka (Open
3. Pendarahan (Hermorraghe) Fracture)
4. Racun yang bekerja sangat 7. Kesakitan (Pain)
cepat

4
Sesuai yang dijelaskan pada Permenkes No.209/Menkes/Per/III/2008 pada
pasal 4 ayat (1), bahwa tidak diperlukan informed consent pada keadaan gawat darurat.
Namun pada ayat (3) dijelaskan lebih lanjut bahwa dokter berkewajiban memberikan
penjelasan kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat pasien
setelah dilakukannya tindakan penyelamatan gawat darurat (Triwibowo, 2014).

Selain itu berdasarkan KUHPerdata Pasal 1354, tindakan medis tanpa izin
pasien diperbolehkan apabila pasien dalam keadaan gawat darurat sehingga dokter
tidak mungkin mengajukan informed consent, tindakan tersebut dinamakan
zaakwaarnerning atau perwalian sukarela.

F. Urgensi Penerapan Informed Consent Sebagai Upaya Pencegahan Terhadap


Tuntutan Malpraktik
Hasil dari perawatan medis tidak dapat diprediksi secara pasti, karena tenaga
medis dalam praktiknya hanya memberikan jaminan proses sebaik mungkin
(inspanningsverbintenis), serta sama sekali tidak menjanjikan hasil
(resultaatsverbintenis) (Kinanti, 2015). Gugatan malpraktik seringkali disebabkan oleh
ketidakpahaman masyarakat awam terhadap dunia kedokteran, sehingga masyarakat
cenderung hanya melihat hasil perawatan. Hal tersebut dapat berdampak ketidakadilan
terhadap profesi tenaga medis, karena pada dasarnya perjanjian terapeutik itu sendiri
memang merupakan suatu perjanjian yang bersifat inspanningverbintennis, yaitu tidak
menjanjikan suatu hasil yang pasti melainkan suatu upaya maksimal untuk
kesembuhan pasien.

Oleh karena itu untuk mencegah tuntutan malpraktik karena ketidaktahuan


pasien sebagai pihak yang awam terhadap dunia medis, diperlukan pelaksanaan
mekanisme informed consent, agar pasien mendapatkan haknya untuk menerima
informasi yang cukup untuk dapat mengambil keputusan yang tepat atas terapi yang
akan dilaksanakan.

10
Daftar Pustaka

Amin, Yanuar. 2017. Etika Profesi dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia (diperoleh dari
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2017/11/Etika-
Profesi-dan-Hukes-SC.pdf pada tanggal 2 Juni 2018 pukul 11.23 WIB)
Kinanti, Armanda Dian, dkk. 2015. Urgensi Penerapan Mekanisme Informed consent
Untuk Mencegah Tuntutan Malpraktik Dalam Perjanjian Terapeutik. Privat
Law, Vol. 3 (2), 108-113. (diperoleh dari
https://media.neliti.com/media/publications/164465-ID-none.pdf pada tanggal
2 Juni 2018 pukul 20.31 WIB)

Mayasari, Dian Ety. 2017. Tinjauan Yuridis Tentang Informed consent Sebagai Hak
Pasien Dan Kewajiban Dokter. Vol. 13 (2), 93-102 (diperoleh dari:
http://journal.ummgl.ac.id/index.php/variajusticia/article/view/1883/1097
pada tanggal 2 Juni 2018 pukul 12.21 WIB)
Triwibowo, Cecep. 2014. Etika dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika

11
BAB III
MALPRAKTIK

A. Definisi Malpraktik
Malpraktik dapat didefinisikan sebagai tindakan atau praktik yang salah atau
yang menyimpang dari ketentuan yang baku (Notoatmodjo, 2010). Dalam bidang
kesehatan malpraktik adalah penyimpangan penanganan kasus atau masalah kesehatan
(termasuk penyakit) oleh petugas kesehatan, sehingga menyebabkan dampak buruk
bagi penderita aau pasien (Notoatmodjo, 2010).

B. Malpraktik Dalam Sudat Pandang Hukum


Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice, sedangkan
kesalahan dari sudut pandang hukum disebut yudical malpractice.
Yudical malpractice dibagi dalam tiga kategori sesuai bidang hukum yang
dilanggar, yaitu sebagai berikut (Purwaningsih dan Astuti, 2017).
1. Criminal Malpractice, yaitu apabila memenuhi rumusan delik pidana, yakni
sebagai berikut.
a. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (sadar)
1) Criminal Malpractice bersifat sengaja (intensional), misalnya uthanasia
(pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat
surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi
medis (pasal 299 KUHP), dsb.
2) Criminal Malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness), misalnya
melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien (informed consent)
3) Criminal Malpractice yang bersifat lalai (negligence), misalnya kurang
hati-hati sehingga menimbulkan luka atau cacat.
Pertanggung jawaban malpraktik ini bersifat individual/personal sehingga tidak
dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.

2. Civil Malpractice, yaitu apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak


memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. Misalnya tidak

12
melakukan, terlambat melakukan, dan tidak sempurna dalam melakukan apa yang
menurut kesepakatan wajib dilakukan, serta melakukan apa yang menurut
kesepakatan seharusnya tidak dilakukan. Pertanggung jawaban malpraktik ini dapat
bersifat individual/personal maupun dialihkan ke pihak lain berdasarkan principle
of vicarious liability.

3. Administrative Malpractice, yaitu apabila melanggar hukum administrasi, seperti


tidak memenuhi persyaratan bagi tenaga kesehatan (SIK), dan/atau melanggar
batas kewenangan dan kewajiban suatu profesi, dan melanggar ketentuan-
ketentuan pemerintah lainnya.

C. Pembuktian Malpraktik
Selain dapat dipidana sesuai dengan tindak pidananya, tenaga medis yang terbukti
bersalah juga dapat digugat melalui peradilan perdata atas dasar perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad) (Wiriadinata, 2014). Pembuktian malpraktik perdata dapat dibuktikan
dengan dua cara, yaitu langsung atau tak langsung.
1. Secara langsung, yaitu dengan membuktikan empat kriteria hukum berikut (Nuha,
2016).
a. Ada duty of are, artinya tenaga medis/rumah sakit mengaku berkewajiban
memberi asuhan kepada pasien yang terdaftar dan dokter sudah mulai
melakukan tanya jawab, maka sudah terjadi kontrak medis atau kontrak
pengobatan antara dokter dengan pasien, sekalipun tidak tertulis.
b. Ada breach of duty, artinya tenaga medis/rumah sakit tidak melakukan
kewajiban sebagaimana seharusnya. Wujud breach atau pelanggaran adalah
sebagai berikut.
1) Kekeliruan atau kesalahan (error of commission, medical error) dalam
medis, seperti kekeliruan dalam diagnosis, interpretasi hasi
pemeriksaan, indikasi tindakan, tindakan tidak sesuai standar
pelayanan, dan sebagainya.

13
2) Kelalaian berat (gross negligence, error of emission), yaitu tidak
dilakukannya hal-hal yang seharusnya dilakukan menurut asas-asas
dan standar praktek kedokteran yang baik.
c. Ada cedera (harm, damage) pada pasien, berupa cedera fisik, psikologis,
mental, sampai kecacatan tetap atau meninggal.
d. Ada hubungan sebab-akibat langsung antara butir 2 dengan 3, artinya
cedera memang akibat breach of duty pada pemberi asuhan kesehatan.
2. Secara tidak langsung, yaitu dengan mencari fakta-fakta yang berdasarkan doktrin res
ipsa loquitor dapat membuktikan adanya kesalahan di pihak dokter. Namun tidak se-
mua kelalaian dokter meninggalkan fakta semacam itu dan diperlukan sedikit bantuan
kesaksian dari ahli untuk menguji apakah fakta yang ditemukan memang dapat
dijadikan bukti adanya kelalaian dokter. Misalnya terdapat gunting atau tang yang
tertinggal dalam perut pasien yang menjalani operasi, maka gunting atau tang itu
berdasarkan doktrin res ipsa loquitor, dapat dijadikan fakta yang secara tidak langsung
dapat membuktikan kesalahan dokter, sebab gunting atau tang itu tak mungkin
tertinggal kalau tak ada kelalaian.

Ditinjau dari definisinya, malpraktik harus dibuktikan dengan memperhatikan


hal-hal berikut (Purwaningsih dan Astuti, 2017).
1. Tenaga kesehatan melakukan kelalaian dalam menerapkan ilmu pengetahuan
dan keterampilannya, sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.
2. Akibat yan terjadi bukan merupakan risiko yang melekat atas tindakan yang
dilakukan (risk of treatment)
3. Perikatan/perjanjian pada transaksi terapeutik antara tenaga kesehatan dengan
pasien adalah perikatan/perjanjian tentang upaya pengobatan/perawatan dan
bukan perikatan/perjanjian akan hasil perobatan/perawatan.

D. Tanggung Jawab Hukum


Menurut Hogeraad (1919) dalam Purwaningsih dan Astuti (2017), tanggung
gugat dalam transaksi terapeutik antara lain adalah sebagai berikut.
1. Contractual liability, yaitu tanggung gugat yang timbul sebagai akibat tidak
dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati.

14
2. Vicarius liability, yaitu tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat
oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (subordinate,
misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang
diakibatkan kelalaian tenaga medis sebagai karyawannya).
3. Liability in tort, yaiu tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad).

E. Upaya Mencegah dan Mengahadapi Tuntutan Malpraktik


Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menghadapi
malpraktik adalah sebagai berikut (Purwaningsih dan Astuti, 2017).

1. Upaya mencegah malpraktik


a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upaya
perawatan/pengobatan.
b. Selalu melaksanakan informed consent sebelum melakukan intervensi
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Konsultasi kepada sejawat yang senior atau dokter apabila terjadi
keraguan.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala
kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien serta keluarga dan
masyarakat sekitarnya.

2. Upaya menghadapi tuntutan hukum


Apabila tuduhan merupakan criminal practiece, maka tenaga kesehatan dapat
melakukan hal berikut.
a. Informed defence, yaitu mengajukan bukti untuk menyangkal tuduhan
yang dituduhkan kepadanya.
b. Formal legal defence, yaitu menyangkal tuntutan dengan cara menolak
atau membebaskan diri dari unsur-unsur pertanggung jawaban, dengan
mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh paksaan

15
Sedangkan pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice, dimana
tenaga medis digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dapat dilakukan adalah
mementahkan dalil-dalil atau alasan-alasan penggugat.

F. Contoh Kasus Malpraktik dan Penyelesaiannya


Seorang pasien menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebelum
pembedahan dilakukan anastesi terlebih dahulu. Pembiusan dilakukan oleh dokter
anastesi, sedangkan operasi dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang (orthopedy).
Operasi berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan bernafas.
Bahkan setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan
pernapasan hingga tak sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus menerus di
perawatan intensif dengan bantuan mesin pernapasan (ventilator). Padahal sebelum
dilakukan operasi, pasien dalam keadaan baik, kecuali masalah tulangnnya. Ternyata
ditemukan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan gas anastesi (N2O) yang dipasang
pada mesin anastesi. Harusnya gas N2O, ternyata yang diberikan gas CO2. Padahal gas
CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian CO2 pada pasien tentu mengakibatkan
tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga proses oksigenasi menjadi sangat
terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya meninggal.

Dengan kata lain ada sebuah kegagalan dalam proses penetapan gas anastesi.
Dan ternyata, di rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar pengamanan pemakaian
gas yang dipasang di mesin anastesi. Idealnya dan sudah menjadi keharusan bahwa
perlu ada sebuah standar yang tertulis (misalnya warna tabung gas yang berbeda), jelas,
dengan formulir yang memuat berbagai prosedur tiap kali harus ditandai dan
ditanda tangani.

Dalam hal ini berarti apa yang terdapat azas yang tidak terpenuhi dalam
transaksi terapeutik, yaitu azas kehati-hatian. Selain itu tentu informasi-informasi yang
tertera di dalam informed consent tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Kasus tersebut merupakan bentuk malpraktik pidana sebab telah melanggar


beberapa aturan dalam KUHP untuk kelalaian yang berlaku bagi setiap orang, yang

16
diatur dalam Pasal 359, 360, dan 361 KUHP. Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan
dokter terbukti dilakukan dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian seperti dalam
kasus tersebut, maka dokter yang bersangkutan akan dikenakan sanksi pidana karena
dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan perbuatan melawan
hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang.

Kasus di atas juga dapat dikategorikan sebagai malpraktik perdata apabila


dokter yang bersangkutan terbukti melakukan kelalaian sehingga pasiennya menderita
luka atau mati. Tindakan malpraktik tersebut juga dapat berimplikasi pada gugatan
perdata oleh seseorang terhadap dokter yang dengan sengaja telah menimbulkan
kerugian kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan
kerugian untuk mengganti kerugian yang dialami kepada korban, sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Seorang dokter yang telah terbukti melakukan kelalaian hingga pasiennya menderita
luka atau mati, dapat digugat secara perdata berdasarkan Pasal 1366 atau 1370 KUH
Perdata.

Selain itu ditinjau dari Sudut Pandang Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia
/KODEKI), tindakan tersebut juga dapat menjadi bentuk malpraktik etik karena dokter
tersebut tidak melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi.

17
Daftar Pustaka

Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Nuha, Richard. 2016. Analisis Hukum Kontrak Terapeutik Terhadap Tindakan Medik
Dalam Hubungan Pasien Dengan Dokter Di Rumah Sakit. Lex Et Societatis,
Vol. 4 (3), 33-40 (diperoleh dari:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/view/11527 pada
tanggal 2 Juni 2018 pukul 14.20 WIB)

Purwaningsih, Endang dan Sri Wahyu Dwi Astuti. 2017. Bahan Ajar Keperawatan
Gigi: Etika Profesi dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Kementrian Kesehatan
(diperoleh dari http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2017/11/etika_bab1-3.pdf pada tangga 2 Juni 2018 pukul
12.24 WIB)

Wiriadinata, Wahyu. 2014. Dokter, Pasien dan Malpraktik. Mimbar Hukum, Vol 26
(1), 43-53. (diperoleh dari https://media.neliti.com/media/publications/40617-
ID-dokter-pasien-dan-malpraktik.pdf pada tanggal 2 Juni 2018 pukul 21.22
WIB)

18
LAMPIRAN

19
20

Anda mungkin juga menyukai