Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya


dilatasi (ektasis) dan distorsi bronkus yang bersifat patologis dan
berjalan kronik, persisten atau irreversibel. Kelainan bronkus tersebut
disebabkan oleh perubahan- perubahan dalam dinding bronkus berupa
destruksi elemen – elemen elastis, otot-otot polos bronkus, tulang
rawan dan pembuluh – pembuluh darah. Bronkus yang terkena
umumnya adalah bronkus kecil (medium size) sedangkan bronkus besar
umumnya jarang.1
Angka kejadian yang sebenarnya dari bronkiekasis tidak diketahui
pasti. Di negara – negara Barat, angka kejadian bronkiektasis
diperkiraan sebanyak 1,3% diantara populasi. Angka kejadian
bronkiektais mulai menurun sejak adanya kemajuan pengobatan
memakai antibiotika. Akan tetapi perlu diingat bahwa insidens ini juga
dipengaruhi oleh kebiasaan merokok, polusi udara dan kelainan
kongenital.1 Di negara-negara maju seperti AS, bronkiektasis
mengalami penurunan seiring dengan kemajuan pengobatan. Prevalensi
bronkiektasis lebih tinggi pada penduduk dengan golongan
sosioekonomi yang rendah.2 Di indonesia, belum ada laporan tentang
angka kejadian yang pasti mengenai penyakit ini. Penyakit ini dapat
diderita mulai sejak anak, bahkan dapat merupakan kelainan
kongenital.1
Berbagai macam faktor telah diidentifikasi sebagai faktor
predisposisi terjadinya bronkiektasis, fibrosis non kistik (non-CF),
infeksi berulang, defisiensi imun, kemasukan benda asing, asma,
tuberkulosis dan diskinesia primer bulu getar adalah beberapa hal yang
menjadi faktor resiko. Bronkiektasis post infeksi pada penderita normal
akan sering menyertai dan di negara berkembang beberapa pasien
dengan kelainan tersebut memiliki penyakit sistemik yang mendasari.2,4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya
dilatasi (ektasis) dan distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis dan
berjalan kronik, persisten atau irrevesibel. Kelainan bronkus tersebut
disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa
destruksi elemen elastis, otot polos brokus, tulang rawan dan pembuluh-
pembuluh darah. Brokus yang terkena umumnya adalah bronkus ukuran
sedang (medium size), sedangkan bronkus besar umumnya jarang.1
B. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian yang sebenarnya dari bronkiekasis belum
diketahui pasti. Di negara – negara Barat, angka kejadian bronkiektasis
diperkiraan sebanyak 1,3% diantara populasi. Angka kejadian
bronkiektais mulai menurun sejak adanya kemajuan pengobatan
memakai antibiotika. Akan tetapi perlu diingat bahwa insidens ini juga
dipengaruhi oleh kebiasaan merokok, polusi udara dan kelainan
kongenital.1 Bronkiektasis merupakan penyebab kematian yang cukup
sering di negara-negara berkembang. Di negara-negara maju seperti
AS, bronkiektasis mengalami penurunan seiring dengan kemajuan
pengobatan.1
Penggunanaan High Resolution Computed Tomography saat ini
membuat bronkiektassis dapat didiganosis lebih awal. Hal ini juga
mengakibatkan terjadinya peningkatan prevalensi dari bronkienktasis.3
Di New Zealand prevalensi yang dialporkan adalah 3.7/100.000
populasi, di USdilaporkan hingga 52/100.000. Prevalensi terjadi
peningjktan pada usia lebih dari 74 tahun yaitu 272/1000.000.
Diperkirakan 30 hingga 35 % kasus diawali infeksi paru yang
dapat merusak bronkus. Selain pneumonia, infeksi lain, seperti batuk
rejan (pertusis) atau tuberkulosis, dapat menyebabkan kerusakan
bronkial. Meskipun infeksi yang mengawali biasanya berat,
bronkiektasis juga dapat terjadi dengan infeksi minimal. Individu
dengan sistem kekebalan tubuh yang tidak memadai berisiko tinggi
terhadap infeksi bronkial kronis, yang dapat merusak saluran
pernapasan dan mengarah pada kondisi bronkiektasis.3,4
Prevalensi bronkiektasis lebih tinggi pada penduduk dengan
golongan sosioekonomi yang rendah.2 Di indonesia, belum ada laporan
tentang angka kejadian yang pasti mengenai penyakit ini. Penyakit ini
dapat diderita mulai sejak anak, bahkan dapat merupakan kelainan
kongenital.1

C. ETIOLOGI
Penyebab bronkiektasis sampai sekarang masih belum jelas.
Namun, diduga bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun
didapat.1
 Kelainan Kongenital
Bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam kandungan.
Faktor genetik atau faktor pertumbuhan dan perkembangan memegang
peranan penting. Bronkiektasis yang timbul kongenital biasanya
mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua paru.
Selain itu, bronkiektasis kongenital biasanya menyertai penyakit –
penyakit kongenital seperti Fibrosis Kistik, Sindroma Kertagener,
William Campbell syndrome, Penyakit jantung bawaan, dll.1,5
 Kelainan Didapat
Bronkiektasis sering merupakan kelainan didapat dan kebanyakan
merupakan akibat proses :1,5,6
a. Infeksi
Bronkiektasis sering terjadi sesudah seseorang anak menderita
pneumonia yang sering kambuh dan berlangsung lama.
Pneumonia ini umumnya merupakan komplikasi pertusis maupun
influenza yang diderita semasa anak, tuberkulosis paru, dan
sebagainya
b. Obstruksi bronkus
Obstruksi`bronkus yang dimaksud disini dapat disebabkan oleh
berbagai macam sebab, seperti korpus alineum, karsinoma
bronkus atau tekanan dari luar lainnya terhadap bronkus.
c. Cedera Penghirupan
Cedera karena asap, gas atau partikel beracun.
d. Kelainan Imunologik
Sindroma kekurangan imunoglobulin, defisiensi komplemen,
disfungsi sel darah putih, infeksi HIV, kelainan autoimun atau
hiperimun seperti artritis reumatoid.
e. Keadaan lain : Penyalahgunaan obat (misalnya : heroin)

D. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Gambar 1. Anatomi Bronkus.

Dari gambar dapat kita lihat bahwa cabang utama bronkus kanan
dan kiri akan bercabang menjadi bronkus lobaris dan bronkus
segmentalis. Percabangan ini berjalan terus-menerus menjadi bronkus
yang ukurannya semakin kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus
terminalis, yaitu bronkiolus yang tidak mengandung alveoli.
Bronkiolus terminalis mempunyai diameter kurang lebih 1 mm.
bronkiolus tidak diperkuat oleh kartilago tetapi dikelilingi oleh otot
polos sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara
sampai pada tingkat ini disebut saluran penghantar udara karena
fungsinya menghantarkan udara ke tempat pertukaran gas terjadi.6
Setelah bronkiolus terdapat asinus yang merupakan unit fungsional
dari paru – paru. Asinus terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus
alveolaris dan sakkus alveolaris terminalis. Asinus atau kadang
disebut lobulus primer memiliki diameter 0,5 sampai 1 cm. terdapat
sekitar 23 percabangan mulai dari trakea sampai sakkus alveolaris
terminalis. Alveolus dipisahkan dari alveolus di dekatnya oleh septum.
Lubang pada dinding ini dinamakan pori – pori Kohn yang
memungkinkan komunikasi antara sakkus. Alveolus hanya selapis sel
saja, namun jika seluruh alveolus yang berjumlah sekitar 300 juta itu
dibentangkan akan seluas satu lapangan tennis.6,7
Alveolus pada hakikatnya merupakan gelembung yang dikelilingi
oleh kapiler – kapiler darah. Batas antara cairan dengan gas akan
membentuk suatu tegangan permukaan yang cenderung mencegah
ekspansi pada saat inspirasi dan cenderung kolaps saat ekspirasi. Di
sinilah letak peranan surfaktan sebagai lipoprotein yang mengurangi
tegangan permukaan dan mengurangi resistensi saat inspirasi sekaligus
mencegah kolaps saat ekspirasi.6
Pembentukan surfaktan oleh sel pembatas alveolus dipengaruhi
oleh kematangan sel – sel alveolus, enzim biosintetik utamanya alfa
anti tripsin, kecepatan regenerasi, ventilasi yang adekuat serta perfusi
ke dinding alveolus. Defisiensi surfaktan, enzim biosintesis serta
mekanisme inflamasi yang berujung pada pelepasan produk yang
mempengaruhi elastisitas paru menjadi dasar patogenesis emphysema,
dan penyakit lainnya.6 Bronkus merupakan percabangan dari trakea.
Terdiri dari bronkus dextra dan bronkus sinistra.
Bronkus Dextra, mempunyai bentuk yang lebih besar, lebih
pendek dan letaknya lebih vertikal daripada bronkus sinistra. Hal ini
disebabkan oleh desakan dari arcus aortae pada ujung caudal trachea
ke arah kanan, sehingga benda – benda asing mudah masuk ke dalam
bronkus dextra. Panjangnya kira – kira 2,5 cm dan masuk ke dalam
hilus pulmonalis setinggi vertebra thoracalis VI. Vena Azygos
melengkung disebelah cranialnya. Arteri pulmonais pada mulanya
berada di sebelah inferior, kemudian berada di sebelah ventralnya.
Membentuk tiga cabang (bronkus sekunder), masing – masing ke
lobus superior, lobus medius dan lobus inferior. Bronkus sekunder
yang menuju ke lobus superior letaknya di sebelah cranial
A.Pulmonalis dan disebut bronkus eparerialis. Cabang bronkus yang
menuju ke lobus medius dan lobus inferior berada di sebelah caudal A.
Pulmonalis disebut bronkus hyparterialis. Selanjutnya bronkus
sekunder tersebut mempercabangkan bronkus tertier yang menuju ke
segmen pulmo.6,7
Bronkus Sinistra, mempunyai diameter yang lebih kecil, tetapi
bentuknya lebih panjang daripada bronkus dextra. Berada di sebelah
caudal arcus aortae, menyilang di sebelah ventral oesophagus ductus
thoracicus, dan aorta thoracalis. Pada mulanya berada di sebelah
superior arteri pulmonalis, lalu di sebelah dorsalnya dan akhirnya
berada di sebelah inferiornya sebelum bronkus bercabang menuju ke
lobus superior dan lobus inferior, disebut letak bronkus hyparterialis.6
Pada tepi lateral batas trachea dan bronkus terdapat lymphonodus
tracheobronchialis superior dan pada bifurcatio trachea (di sebelah
caudal) terdapat lymphonodus tracheobronchialis inferior. Bronkus
memperoleh vaskularisasi dari A. thyroidea Inferior. Dan innervasinya
berasal dari N.Vagus, N.Recurrens, dan Truncus Sympathicus.6,7
E. KLASIFIKASI
Klasifikasi menurut Reid (atas dasar hubungan patologi dan
bronkografi):1,3
 Bronkiektasis Silindris, meliputi edema mukosa yang
difus,ronkus tampak seperti bentukan pipa berdilatasi,
jalan nafas yang lebih kecil dipenuhi oleh mukus.

Gambar 2. Bronkiektasis Silindris.

 Bronkiektasis varicose, merupakan bentukan


intermediate, bronkus mempunyai gambaran yang
irregular atau bentukan manik – manik yang berdilatasi
menyerupai varises vena.

Gambar 3. Bronkiektasis varicose.

 Bronkiektasis sakuler atau kistik, bronkus mengalami


ulserasi dengan neovaskularisasi bronkus sehingga
bronkus tampak seperti gambaran balon, yang kadang –
kadang ada gambaran udara.
Gambar 4. Bronkiektasis sakuler atau kistik.

F. PATOFISIOLOGI
Patogenesis bronkiektasis tergantung penyebabnya, jika kongenital
faktor penyebabnya tidak diketahui, diduga erat hubungannya dengan
faktor genetik dan faktor pertumbuhan dan perkembangan fetus dalam
kandungan. Ada beberapa faktor yang diduga ikut berperan antara lain :1
1. Faktor obstruksi bronkus
2. Faktor infeksi pada bronkus atau paru
3. Faktor adanya beberapa penyakit tertentu seperti fibrosis paru,
asthmatic pulmonary, eusinophilia.
4. Faktor intrinsik dalam bronkus atau paru.
Kelainan fungsi paru yang terjadi sangat bervariasi dan tingkatan
beratnya tergantung pada luasnya kerusakan parenkim paru dan
komplikasi yang terjadi. Akibatnya dapat dijumpai pasien bronkiektasis
ringan tanpa kelaianan fungsi paru atau ringan, bronkiektasis sedang dan
berat. Selain itu perlu dinyatakan bahwa kelainan fungsi paru (faal
ventilasi) yang terjadi selain jenisnya tidak sama( artinya bisa tipe
obstruktif, restriktif atau campuran), jenis kelainannya juga tidak khas.1,2
Bronkiektasis menggambarkan suatu keadaan dimana terjadi
dilatasi bronkus yang ireversibel (> 2 mm dalam diameter) yang
merupakan akibat dari destruksi komponen muskular dan elastis pada
dinding bronkus. Rusaknya kedua komponen tersebut adalah akibat dari
suatu proses infeksi, dan juga oleh pengaruh cytokine inflamasi, nitrit
okside dan netrophilic protease yang dilepaskan oleh system imun tubuh
sebagai respon terhadap antigen.2 Pertahanan jalan nafas terdiri dari silia
yang berukuran kecil pada jalan nafas. Silia tersebut bergerak berulang-
ulang, memindahkan cairan berupa mukus yang normal melapisi jalan
nafas. Partikel yang berbahaya dan bakteri yang terperangkap pada
lapisan mukus tersebut akan dipindahkan naik ke tenggorokan dan
kemudian batukkan keluar atau tertelan.1,2
Terlepas dari apakah kerusakan tersebut diakibatkan secara
langsung atau tidak langsung, daerah dinding bronkus mengalami
kerusakan dan menjadi inflamasi yang kronik. Bronkus yang mengalami
inflamasi akan kehilangan keelastisannya, sehingga bronkus akan
menjadi lebar dan lembek serta membentuk kantung atau saccus yang
menyerupai balon yang kecil. Inflamasi juga meningkatkan sekresi
mukus. Karena sel yang bersilia mengalami kerusakan, sekret yang
dihasilkan akan menumpuk dan memenuhi jalan nafas dan menjadi
tempat berkembangnya bakteri. Yang pada akhirnya bakteri-bakteri
tersebut akan merusak dinding bronkus, sehingga menjadi lingkaran
setan antara infeksi dan kerusakan jalan nafas.1,2

Gambar 5. Pada bronkiektasis, produksi mukus meningkat, silia


mengalami kerusakandan daerah bronkus mengalami inflamasi kronik
dan mengalami kerusakan.

G. MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronkiektasis
tergantung pada luas dan beratnya penyakit, lokasi kelainannya dan ada
atau tidaknya komplikasi lanjut. Ciri khas penyakit ini adalah adanya
batuk kronik disertai produksi sputum, adanya hemoptisis dan
peneumonia berulang. Bronkiektasis yang mengenai bronkus pada lobus
atas sering dan memberikan gejala.1,5
a. Batuk.
Batuk pada bronkiektasis mempunyai ciri antara lain batuk
produktif berlangsung kronik dan frekuens mirip seperti pada
bronkitis kronik (bronkitis-like symptoms), jumlah sputum
bervariasi, umumnya jumlahnya banyak pada pagi hari sesudah ada
perubahan posisi tidur atau bangun dari tidur. Kalau tidak ada
infeksi sekunder sputumnya mukoid, sedangkan apabila terjadi
infeksi sekunder sputumnya purulen, terjadi memberikan bau
mulut yang tidak sedap (fetor ax ore). Pada kasus yang sudah berat,
misalnya pada saccular type bronchiectasis, sputum jumlahnya
banyak sekali, purulen dan apabila ditampung beberapa lama,
tampak terpisah menjadi 3 lapisan: 1) Lapisan teratas agak keruh,
terdiri atas mukus, 2) lapisan tengah jernih, terdiri atas saliva
(ludah), 3) lapisan terbawah keruh, terdiri atas nanah dan jaringan
nekrosis dari bronkus yang rusak (cellular debris).1,8
b. Hemoptisis
Hemoptisis atau hemoptoe terjadi kira-kira pada 50% kasus
bronkiektasis. Kelainan ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi
mukosa bronkus mengenai pembuluh darah (pecah) dan timbul
perdarahan. Perdarahan yang terjadi bervariasi, mulai dari yang
paling ringan (streaks of blood) sampai perdarahan yang cukup
banyak (masif) yaitu apabila nekrosis yang mengenai mukosa amat
hebat atau terjadi nekrosis yang mengenai cabang arteri
bronkialis.1,5
Pada dry bronchiectasis (bronkiektasis kering), hemoptisis
justru merupakan gejala satu-satunya, karena bronkiektasis jenis ini
letaknya di lobus atas paru, drainasenya baik, sputum tidak pernah
menumpuk dan kurang menimbulkan refleks batuk. Dapat diambil
pelajaran, bahwa apabila ditemukan kasus hemoptisis hebat tanpa
adanya gejala-gejala batuk sebelumnya atau tanpa kelainan fisis
yang jelas hendaknya diingat dry bronchiectasis ini.1
c. Sesak Napas (Dispnea)
Pada sebagian besar pasien (50% kasus) ditemukan keluhan
sesak napas. Timbul dan beratnya sesak napas tergantung pada
seberapa luasnya bronkitis kronis yang terjadi serta seberapa jauh
timbulnya kolaps paru dan destruksi jaringan paru yang terjadi
sebagai akibat infeksi berulang (ISPA), yang biasanya menimbulkan
fibrosis paru dan empisema yang menimbulkan sesak napas tadi.
Kadang-kadang ditemukan pula suara mengi (wheezing), akibat
adanya obstruksi bronkus.1,5
d. Demam Berulang.
Bronkiektasis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering
mengalami infeksi berulang pada bronkus maupun pada paru,
sehingga sering timbul demam (demam berulang).1

H. DIAGNOSIS
Anamnesis
Manifestasi klasik dari bronkiektasis adalah batuk dan produksi
sputum harian yang mukopurulen sering berlangsung bulanan sampai
tahunan. Batuk kronik yang produktif merupakan gejala yang menonjol.
Terjadi hampir 90% pasien.1 Sputum yang bercampur darah atau
hemoptisis dapat menjadi akibat dari kerusakan jalan napas dengan
infeksi akut. Sputum yang dihasilkan dapat berbagai macam, tergantung
berat ringannya penyakit dan ada tidaknya infeksi sekunder. Sputum
dapat berupa mukoid, mukopurulen, kental dan purulen. Jika terjadi
infeksi berulang, sputum menjadi purulen dengan bau yang tidak sedap.
Berat ringannya bronkiektasis dikalsifikasikan berdasarkan temuan
radiologis. Pada pasien fibrosis kistik, volume sputum pada umumnya
lebih banyak dibanding penyakit penyebab bronkiektasis lainnya.
Dispnea dan mengi terjadi pada 75 % pasien. Nyeri dada pleuritis terjadi
pada 50 % pasien dan mencerminkan adanya distensi saluran napas
perifer atau pneumonitis distal yang berdekatan dengan permukaan
pleura viseral. 1
Pemeriksaan fisik
Ditemukannya suara napas tambahan pada pemeriksaan fisik
dada, termasuk crackles (70 %), wheezing (34 %), dan ronki (44 %)
adalah petunjuk untuk diagnosis. Dahulu, clubbing finger atau jari tabuh
adalah gambaran yang sering ditemukan, tapi saat ini prevalensi
gambaran tersebut hanya 3 %. Penyakit utama yang mengaburkan
bronkiektasis adalah penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). 5,8
Perbandingan gambaran dari dua kondisi disajikan pada Tabel 1.

Tabel.1 Perbedaan antara PPOK dan bronkiektasis


Variabel PPOK Bronkiektasis
Penyebab Merokok Infeksi/genetik/imun defek
Infeksi Sekunder Primer
Predominan organisme Streptococcus pneumoniae, Heamophilus influenzae,
dalam sputum Heamophilus influenzae Pseudomonas aeroginosa
Obstruksi saluran napas + +
dan hiperresponsif
Rontgen thoraks Hiperlusens, hiperinflasi, Dilatasi dan penebalan
dilatasi saluran napas saluran napas, mukous plug
Sputum Mukoid, jernih Purulen, 3 lapis

Pemeriksaan penunjang
Spirometri
Pada spirometri sering menunjukkan keterbatasan aliran udara,
dengan rasio penurunan volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV 1)
untuk memaksa volume kapasitas paksa (FVC), FVC normal atau sedikit
berkurang dan FEV1 menurun. Penurunan FVC menunjukkan bahwa
saluran udara tertutup oleh lendir, dimana saluran napas kolaps saat
ekspirasi paksa atau adanya pneumonitis pada paru. Merokok dapat
memperburuk fungsi paru dan mempercepat kerusakan.
Hyperresponsiveness saluran napas dapat ditunjukkan, dimana 40 %
pasien memiliki 15 % atau peningkatan yang lebih besar pada FEV 1
setelah pemberian agonis beta-adrenergik, dan 30 sampai 69 % pasien
yang tidak memiliki terlihat penurunan FEV1 memiliki 20 % penurunan
FEV1 setelah pemberian histamin atau methacholine.6,8
Rontgen thoraks
Dengan pemeriksaan foto thoraks, maka pada bronkiektasis dapat
ditemukan gambaran seperti dibawah ini:9,10
a. Ring shadow
Terdapat bayangan seperti cincin dengan berbagai ukuran
(dapat mencapai diameter 1 cm). Dengan jumlah satu atau lebih
bayangan cincin sehingga membentuk gambaran ‘honeycomb
appearance’ atau ‘bounches of grapes’. Bayangan cincin tersebut
menunjukkan kelainan yang terjadi pada bronkus.
b. Tramline shadow
Gambaran ini dapat terlihat pada bagian perifer paru. Bayangan
ini terlihat terdiri atas dua garis paralel yang putih dan tebal yang
dipisahkan oleh daerah berwarna hitam. Gambaran seperti ini
sebenarnya normal ditemukan pada daerah parahilus.Tramline
shadow yang sebenarnya terlihat lebih tebal dan bukan pada daerah
parahilus

Gambar 6. Gambaran honeycomb appearance.


c. Tubular shadow Ini merupakan bayangan yang putih dan tebal.
Lebarnya dapat mencapai 8 mm. Gambaran ini sebenarnya
menunjukkan bronkus yang penuh dengan sekret. Gambaran ini
jarang ditemukan, namun gambaran ini khas untuk bronkiektasis.

Gambar 7. Tanda panah menunjukan gambaran Ring shadow,


gambaran tubular shadow.
Bronkografi
Merupakan pemeriksaan foto dengan pengisian media kontras ke
dalam sistem saluran bronkus pada berbagai posisi (AP, Lateral, Oblik).
Pemeriksaan ini selain dapat menentukan adanya bronkiektasis, juga
dapat menentukan bentuk-bentuk bronkiektasis yang dibedakan dalam
bentuk silindris (tubulus, fusiformis), sakuler (kistik) dan varikosis.9,10
Gambar 8. Bronkografi; kini teknik
yang kuno namun elegan dapat
menunjukkan bronkiektasis silindris
yang disertai dilatasi bronkus lobus
bawah
CT-Scan thorax
CT-Scan dengan resolusi tinggi menjadi pemeriksaan penunjang
terbaik untuk mendiagnosis bronkiektasis, mengklarifikasi temuan dari
foto thorax dan melihat letak kelainan jalan napas yang tidak dapat
terlihat pada foto polos thorax. CT-Scan resolusi tinggi mempunyai
sensitivitas sebesar 97% dan spesifisitas sebesar 93%. CT-Scan resolusi
tinggi akan memperlihatkan dilatasi bronkus dan penebalan dinding
bronkus. Modalitas ini juga mampu mengetahui lobus mana yang
terkena, terutama penting untuk menentukan apakah diperlukan
pembedahan. 9,10
CT-Scan, terutama resolusi tinggi dapat menghasilkan gambar yang
menunjukan dilatasi saluran napas dengan ketebalan dengan ketebalan
1,0-1,55 mm (Gambar 9 dan 10). Sebagai konsekuensinya, saat ini
pemeriksaan ini adalah teknik standar atau untuk mengkonfirmasi
diagnosis bronkiektasis.9,10

Gambar 9. Pada CT resolusi tinggi menunjukan dilatasi saluran napas


pada kedua lobus dan lingula. Pada potongan melintang, dilatasi saluran
napas menunjukan ringlike appearance.
Patologi anatomi
Terdapat berbagai variasi bronkiektasis, baik mengenai jumlah atau
luasnya bronkus yang terkena maupun beratnya penyakit.1
Perubahan morfologis bronkus yang terkena
a. Dinding bronkus
Dinding bronkus yang terkena dapat mengalami perubahan berupa proses
inflamasi yang sifatnya destruktif dan ireversibel. Pada pemeriksaan
patologi anatomi sering ditemukan berbagai tingkatan keaktifan proses
inflamasi serta terdapat proses fibrosis. Jaringan bronkus yang
mengalami kerusakan selain otot-otot polos bronkus juga elemen-elemen
elastis.1
b. Mukosa bronkus
Mukosa bronkus permukaannya menjadi abnormal, silia pada sel epitel
menghilang, terjadi perubahan metaplasia skuamosa, dan terjadi sebukan
hebat sel-sel inflamasi. Apabila terjadi eksaserbasi infeksi akut, pada
mukosa akan terjadi pengelupasan, ulserasi, dan pernanahan.1

c. Jaringan paru peribronkial


Pada parenkim paru peribronkial dapat ditemukan kelainan antara lain
berupa pneumonia, fibrosis paru atau pleuritis apabila prosesnya dekat
pleura. Pada keadaan yang berat, jaringan paru distal bronkiektasis akan
diganti jaringan fibrotik dengan kista-kista berisi nanah.1

I. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa penyakit yang perlu diingat atau dipertimbangkan kalah
berhadapan dengan bronkiektasis :1
 Bronkitis kronik.
 Tuberkulosis paru.
 Abses paru.
 Penyakit paru penyebab hemoptisis, misalnya; Ca paru,
adenoma paru, dan sebagainya.
 Fistula bronkopleural dengan empiema.
J. TATALAKSANA
Pengelolaan Umum
Pengelolaan ini ditujukan terhadap semua pasien bronkiektasis,
meliputi:
a. Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien
Contohnya membuat ruangan hangat, udara ruangan kering, mencegah
atau menghentikan merokok, mencegah atau menghindari debu, asap dan
sebagainya.1
b. Memperbaiki drainase sekret bronkus
Melakukan drainase portural tindakan ini merupakan cara yang paling
efektif untuk mengurangi gejala, tetapi harus terjadi secara terus-
menerus. Pasien diletakkan dengan posisi tubuh sedemikaian rupa
sehingga dapat dicapai drainase sputum secara maksimal. Tiap kali
melakukan drainase postural dikerjakan selama 10-20 menit samapi
sputum tidak keluar lagi dan tiap hari dikerjakan 2 sampai 4 kali. Prinsip
drainase postural ini adalah usaha mengeluarkan sputum dengan bantuan
gravitasi. Untuk keperluan tersebut, posisi tubuh saat dilakukan drainase
postural harus disesuaikan dengan letak bronkiektasisnya. Tujuannya
adalah untuk menggerakkan sputum dengan pertolongan gaya gravitasi
agar menuju ke hilus paru bahkan mengalir sampai tenggorokan sehingga
mudah dibatukkan keluar. Apabila dengan mengatur posisi tubuh pasien
seperti tersebut diatas belum diperoleh drainase sputum secara maksimal
dapat dibantu dengan tindakan memberikan ketukan dengan jari pada
punggung pasien (tabotage).1
Pengelolaan khusus
Kemoterapi
Kemoterapi pada bronkiektasis dapat digunakan:1). Secara kontinyu
untuk mengontrol infeksi bronkus (ISPA), 2). Untuk pengobatan
eksaserbasi infeksi akut pada bronkus/paru, atau 3). Keduanya.
Kemoterapi disini mengunakan obat antibiotik tertentu. Pemilihan
antibiotik mana yang harus dipakai sebaiknya berdasarkan hasil uji
sensitivitas kuman terhadap antibiotik. Antibiotik hanya diberikan kalau
diperlukan saja, yaitu apabila terdapat eksaserbasi infeksi akut. Antibiotik
diberikan selama 7-10 hari, terapi tunggal atau kombinasi beberapa
antibiotik, samapai kuman penyebab infeksi terbasmi atau sampai terjadi
konversi warna sputum yang semula berwarna kuning/hijau menjadi
mukoid (putih jernih). Selanjutnya ada dosis pemeliharaan. Ada yang
berpendapat bahwa kemoterapi dengan antibiotik ini apabila berhasil
akan dapat mengurangi gejala batuk, jumlah sputum dan gejala lainnya
terutama pada saat ada eksaserbasi akut, tetapi keadaan ini hanya bersifat
sementara.1
Drainase sekret dengan bronkoskop
Cara ini penting dikerjakan terutama pada permulaan perawatan pasien.
Keperluannya antara lain adalah untuk 1). Menentukan darimana asal
sekret, 2). Mengidentifikasi lokali stenosis atau obstruksi bronkus, dan
3). Menghilangkan obstruksi bronkus dengan sustion drainage daerah
obstruksi tadi (misalnya pada pengobatan atelektasis paru).1
Pengobatan simtomatik
Pengobatan ini hanya diberikan jika timbul gejala yang mungkin
menganggu atau membahayakan pasien.
a) Pengobatan obstruksi bronkus
Apabila ditemukan tanda obstruksi bronkus yang diketahui dari
hasil uji faal paru (% VEP1 < 70%) dapat diberikan obat bronkodilator.
Sebaiknya sewaktu dilakukan uji faal paru dan diketahui adanya tanda
obstruksi saluran napas sekaligus dilakukan tes terhadap obat
bronkodilator. Apabila hasil tes bronkodilator positif, pasien perlu
diberikan obat bronkodilator tersebut.1
b) Pengobatan hipoksia
Pada pasien yang mengalami hipoksia (terutama pada waktu
terjadinya eksaserbasi akut) perlu diberikan oksigen. Apabila pada
pasien telah terdapat komplikasi bronkitis kronik, pemberian oksigen
harus hati-hati, harus dengan aliran rendah (cukup 1 liter/menit).1
c) Pengobatan hemoptisis
Apabila perdarahan cukup banyak (masif), mungkin merupakan
perdarahan arterial yang memerlukan tidakan operatif segera untuk
menghentikan perdarahannya, dan sementara harus diberikan transfusi
darah untuk menggantikan darah yang hilang.1
Hemoptisis yang mengancam kehidupan (lebih dari 600 ml darah
per hari) dapat terjadi pada pasien dengan bronkiektasis. Setelah jalan
napas telah dilindungi dengan pasien berbaring di sisi tempat
perdarahan yang dicurigai atau dengan intubasi endotrakeal,
bronkoskopi atau CT dari thoraks diyakinkan membantu menentukan
lobus atau sisi yang mengalami perdarahan. Jika intervensi radiologi
tersedia, aortography dan kanulasi dari arteri bronkial untuk
memgambarkan lokasi ekstravasasi darah atau neovaskularisasi
sehingga embolisasi yang dapat ditunjukan. Pembedahan mungkin
masih diperlukan untuk direseksi daerah yang dicurigai mengalami
perdarahan.1
d) Pengobatan demam
Pada pasien dengan eksaserbasi akut sering terdapat demam,
terlebih jika terjadi septikemia. Pada keadaan ini selain perlu diberikan
antibiotik yang sesuai, dosis cukup, perlu ditambahkan abat antipiretik
lainnya.1
Pembedahan
Peran pembedahan untuk bronkiektasis telah menurun tetapi tidak
menghilang. Tujuan dari operasi pengangkatan tumor termasuk
menghilangkan tumor obstruktif atau residu dari benda asing,
pengangkatan segmen atau lobus yang paling rusak dan diduga
berkontribusi terhadap eksaserbasi akut, sekret yang sangat kental, impaksi
lendir. Pengambilan daerah yang memiliki perdarahan abnormal yang
tidak terkontrol, dan pengambilan dari paru rusak yang dicurigai
menyembunyikan organisme seperti M. MDR-TB atau avium M. complex.
Tiga pusat bedah telah menggambarkan pengalaman mereka dengan
operasi tersebut selama dekade terakhir, dengan rata-rata tindak lanjut
empat sampai enam tahun. Mereka telah mencatat perbaikan dalam gejala
di lebih dari 90 % pasien, dengan mortalitas perioperatif kurang dari 3 %.
Indikasi pembedahan berupa pasien bronkiektasis yang terbatas dan
resektabel yang tidak berespon terhadap tindakan konservatif yang
adekuat, dan pasien bronkiektasis yang terbatas tetapi sering mengalami
infeksi berulang atau hemoptisis masif. Kontraindikasi pembedahan
berupa pasien bronkiektasis dengan PPOK, pasien bronkiektasis berat dan
pasien dengan komplikasi korpulmonum kronik dekompensata.1,8

K. PRGONOSIS
Prognosis pasien bronkiektasis tergantung pada berat-ringannya
serta luasnya penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan
pengobatan secara tepat (konservatif atau pembedahan) dapat
memperbaiki prognosis penyakit. Pada kasus yang berat dan tidak diobati,
prognosisnya buruk, survivalnya tidak akan lebih dari 5-15 tahun.
Kematian pasien tersebut biasanya karena pneumonia, empiema, payah
jantung kanan, hemoptisis dan lain-lain. Pada kasus-kasus tanpa
komplikasi bronkitis kronik berat dan difus biasanya disabilitasnya
ringan.1
BAB III
KESIMPULAN

Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya


dilatasi (ektasis) dan distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis dan
berjalan kronik, persisten atau irrevesibel. Kelainan bronkus tersebut
disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa
destruksi elemen elastis, otot polos brokus, tulang rawan dan pembuluh-
pembuluh darah. Brokus yang terkena umumnya adalah bronkus ukuran
sedang (medium size), sedangkan bronkus besar umumnya jarang.
Bronkiektasis adalah penyebab kematian yang sangat penting pada
Negara-negara berkembang. Di Negara maju seperti AS, bronkiektasis
mengalami penurunan sesuai dengan kemajuan pengobatan. Prevalensi
bronkiektasis lebih tinggi pada penduduk dengan golongan sosial
ekonomi yang rendah. Faktor risiko dan etiologi dari bronkiektasis antara
lain masalah kongenital atau penyakit yang didapat, yang mempengaruhi
paru atau saluran napas, misalnya infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
Penatalaksanaan bronkiektasis dibagi menjadi dua antara lain terapi lama
yang terdiri dari terapi konservatif dan simptomatik dan terapi baru yaitu
pembedahan. Infeksi yang berulang dan radang menyebabkan
berlanjutkan nekrosis saluran nafas dan destruksi jaringan paru.
Prognosis bronkiektasis berdasarkan berat ringannya penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rahmatullah P. Bronkiektasis.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II


Edisi VI. Editor Suyono. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2014. Hal 1682-
1689.
2. Barker AF. Bronkiektasis. The New English Journal of Medicine. 2002;
346:1383-1393.
3. Pasteur MC, Bilton D, Hill AT. British thoracic society guidline for non-
CF bronchiectasis. Thorax. 2010;65:1-58.
4. Rademacher, Jessica, et al. Bronchiectasis—Diagnosis and Treatment.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3244167/. Diakses pada 18
Juli 2018.
5. Alsagaf H, Mukty A. Bronkiektasis. Dasar – Dasar Ilmu Penyakit
Paru. Airlangga. Surabaya . 2009 .Hal 256-261.
6. Jane Ward, dkk. At a Glance System Respirasi. Ed II. Jakarta. Erlangga.
Hal:72-73.
7. Price S.A, Wilson L.M. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses – Proses
Penyakit) edisi 6 volume 2. Penerbit Buku Kedokteran:EGC. Jakarta .
2006. 736-792.
8. Djojodibroto RD. Respirologi. Jakarta:EGC, 2014; 111-114
9. Sutton,david. 2003. Disease of the Airway Textbook of Radiology and
Imaging. Vol 1. Ed 7th . London. British Library and Cataloging Data.
10. Planner, Andrew et all.2007.Bronkiektasis. A-Z Chest Radiology.
Newyork. Cambridge University Press.

Anda mungkin juga menyukai