Anda di halaman 1dari 4

LEMBAGA KAJIAN KEILMUAN

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Sekretariat: Ruang Student Center Gedung F Kampus FHUI, Depok 16424
email lk2.fhui@gmail.com, website www.lk2fhui.law.ui.ac.id

KASUS POSISI DISKUSI RUTIN V


REFLEKSI IMPLEMENTASI DEMOKRASI DI INDONESIA:
MENILIK SERBA-SERBI PEMILIHAN UMUM
DALAM MENYONGSONG PESTA DEMOKRASI TAHUN 2019
Oleh Bidang Kajian Ilmiah LK2 FHUI 2018

Wujud dari penyelenggaraan kedaulatan rakyat di Indonesia salah satunya


dimanifestasikan dari penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu). Ihwal
mengenai Pemilu diatur di dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum. Semakin dekatnya pesta demokrasi tahun 2019 yang diwarnai oleh
Pemilu, mekanisme dari Pemilu kerap menjadi perbincangan yang hangat di
masyarakat karena terdapat beberapa permasalahan yang menjadi polemik bagi
berbagai kalangan.
Permasalahan pertama adalah affirmative action kuota keterwakilan
perempuan di parlemen. Minimnya representasi perempuan, baik secara nasional
maupun daerah menyebabkan banyaknya regulasi yang masih bersifat
diskriminatif terhadap kaum marginal perempuan. Berdasarkan data yang didapat
Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pada tahun 2016, hingga bulan Agustus
terdapat 421 kebijakan daerah di seluruh Provinsi Indonesia yang bersifat
diskriminatif terhadap kaum perempuan.1 Wakil Ketua Komnas Perempuan,
Yuniyanti Chuzaifah, mengatakan bahwa permasalahannya terletak pada proses
pembuatan kebijakan Pemerintah Daerah yang masih minim terhadap keterlibatan
kaum perempuan.2 Permasalahan kedua adalah ambang batas pemilihan presiden

1 Edi Komar Sinaga, “Komnas Perempuan: Kebijakan Diskriminatif Terhadap Perempuan


Naik 273 Persen dalam 6 Tahun Terakhir,”
http://www.tribunnews.com/nasional/2017/07/11/komnas-perempuan-kebijakan-
diskriminatifterhadap-perempuan-naik-273-persen-dalam-6-tahun-terakhir, diakses pada 4 Juni
2018.
2 Mohamad Agus Yozami, “Komnas Perempuan: 421 Perda Rugikan Perempuan,”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5805ba0803953/komnas-perempuan--421-
perdarugikan-perempuan, diakses pada 4 Juni 2018.

1
LEMBAGA KAJIAN KEILMUAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Sekretariat: Ruang Student Center Gedung F Kampus FHUI, Depok 16424
email lk2.fhui@gmail.com, website www.lk2fhui.law.ui.ac.id

atau presidential threshold. Di Indonesia, Presidential Threshold diatur di dalam


Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 bahwa besaran ambang batas perolehan kursi
pada Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebelumnya bagi partai
politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang hendak mengusulkan
pasangan calon presiden dan atau calon wakil presiden adalah sekurang-
kurangnya 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah
secara nasional. Beberapa pihak menganggap bahwa presidential threshold
merupakan salah satu alat untuk memperkuat sistem presidensial di Indonesia.
Akan tetapi, tidaak sedikit pula yang menganggap bahwa presidential threshold
justru akan memperlemah, bahkan mencederai sistem presidensial.3
Permasalahan ketiga adalah peningkatan batas maksimal dana kampanye.
Dalam UU No. 7 Tahun 2017, Pemerintah dan DPR menyetujui naiknya batas
maksimal sumbangan dana kampanye untuk Pemilihan Presiden dan Pemilihan
Anggota DPR dan DPD. Penambahan batas maksimal sumbangan dana kampanye
tersebut diatur pada Pasal 327 dan Pasal 331 UU No. 7 Tahun 2017. 4
Permasalahan keempat adalah penambahan kursi anggota DPR. DPR dan
pemerintah telah sepakat tentang penambahan 15 kursi di DPR. Menurut mantan
Menteri Percepatan Daerah Tertinggal pada Kabinet Indonesia Bersatu ini,
penambahan kursi di DPR harus dilakukan secara kumulatif karena telah terjadi
kesenjangan antara daerah Pulau Jawa dan daerah luar Pulau Jawa. Hal ini terlihat
dari jumlah anggota DPR dari Pulau Jawa sebanyak 306 anggota yang setara
dengan 55% dari jumlah kursi keseluruhan. Oleh karena itu, kebijakan ini
diharapkan dapat memperkecil kesenjangan antara keterwakilan provinsi di Jawa
dengan provinsi yang berada di luar Jawa menjadi 53% berbanding 47%.5

3 Rustan Amarullah dan Lina Maulana, “Patronage Culture in the Middle of Bureaucratic
Reform Efforts in Indonesia,” Public Policy and Administration Research 7 No. 1 (2017), hlm. 27.
4 Joko Sadewo, “ICW Sebut Kenaikan Sumbangan Kampanye Perbesar Potensi Korupsi,”
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/05/11/ops5xi318-icw-sebutkenaikan-
sumbangan-kampanye-perbesar-potensi-korupsi, diakses pada 16 April 2018.
5 Elza Astari Retaduari, “DPR Beberkan Alasan Jumlah Anggota Harus Ditambah 15,”
https://news.detik.com/berita/3519750/dpr-beberkan-alasan-jumlah-anggota-harus-ditambah-15,
diakses pada 3 Juni 2018.

2
LEMBAGA KAJIAN KEILMUAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Sekretariat: Ruang Student Center Gedung F Kampus FHUI, Depok 16424
email lk2.fhui@gmail.com, website www.lk2fhui.law.ui.ac.id

Permasalahan kelima adalah Tindak Pidana Pemilu yang telah membudaya


dalam setiap penyelenggaraan pesta demokrasi di Indonesia, baik itu dalam
pelaksanaan Pemilu maupun pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Pada pelaksanaan Pilkada Serentak di tahun 2018, Badan Pengawas Pemilihan
Umum (Bawaslu) mencatat bahwa ada 291 laporan dan temuan dugaan
pelanggaran pidana Pemilu selama masa Pilkada Serentak 2018. Menurut Anggota
Bawaslu, Ratna Dewi Pettalolo, dari 291 laporan dan temuan dugaan pelanggaran
pidana Pemilu, 52 kasus sudah dibawa ke pengadilan dan sudah ada vonisnya. 6
Kemudian, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa terdapat 313
kasus politik uang yang terjadi pada Pemilu tahun 2014. 7 Catatan Bawaslu juga
menyebutkan terdapat 3.238 pelanggaran administrasi dalam Pemilu 2014. Hal ini
merefleksikan fenomena melonjaknya angka pelanggaran administrasi sebesar
423% dibandingkan Pemilu tahun 2009 sebagaimana terdapat 619 pelanggaran
administrasi. Pada Pemilu tahun 2014, tercatat angka Tindak Pidana Pemilu yang
terjadi mencapai 209 kasus sebagaimana meningkat 51,4% dibandingkan Pemilu
tahun 2009 – terjadi 138 kasus Tindak Pidana Pemilu pada Pemilu tahun 2009.8
Jumlah kasus Tindak Pidana Pemilu yang terjadi menandakan bahwa masih
terdapat adanya kekurangan, baik dari segi materill maupun formil terhadap
peraturan yang mengatur sehingga berpotensi menodai pelaksanaan Pemilu.
Permasalahan keenam adalah penerapan sistem proporsional terbuka dalam
pelaksanaan Pemilu di Indonesia. Sistem ini dilaksanakan dengan memilih calon
peserta Pemilu dengan secara langsung dapat melihat nama calon dan partai
politiknya. Akan tetapi, sistem proporsional terbuka ini masih memiliki banyak
kekurangan, yakni mereduksi peran partai, menimbulkan kontestasi antarkader

6 Yoga Sukmana, “Pilkada Serentak 2018,52 Pidana Pemilu Sudah Divonis Pengadilan,”
https://nasional.kompas.com/read/2018/07/12/18162271/pilkada-serentak-2018-52-pidana-pemilu-
sudah-divonis-pengadilan, diakses pada 1 Oktober 2018.
7 Danang Setiaji Prabowo, “Tren Politik Uang Terus Naik Setelah Reformasi,”
http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/04/21/tren-politik-uang-terus-naik-setelah-
reformasi, diakses pada 1 Oktober 2018.
8 Anonim, “Bawaslu Terganjang Kewenangan,”
http://www.bawaslu.go.id/id/berita/bawaslu-terganjal-kewenangan, diakses pada 1 Oktober 2018.

3
LEMBAGA KAJIAN KEILMUAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Sekretariat: Ruang Student Center Gedung F Kampus FHUI, Depok 16424
email lk2.fhui@gmail.com, website www.lk2fhui.law.ui.ac.id

internal partai, lemahnya kontrol partai terhadap kandidiat, dan menghambat


kader ideologis partai. Problematika tersebut dilahirkan dari keterbukaan
seseorang untuk menjadi calon peserta Pemilu yang hanya mengandalkan
popularitas di atas bukan kompetensi.9 Oleh karena itu, sistem ini kerap dinilai
mencederai sifat kompetitif dari Pemilu karena merefleksikan esensi politik yang
destruktif.
Permasalahan ketujuh adalah dwifungsi Bawaslu, yakni fungsi lembaga
pengawas Pemilu dan lembaga yang berwenang mengadili sengketa Pemilu.
Meskipun dinilai sebagai bentuk efektivitas, tetapi ada pula yang berpendapat
bahwa untuk mengadili pelanggaran Pemilu dibutuhkan lembaga peradilan
terpisah.10 Oleh karena itu, permasalahan yang telah dipaparkan di atas menjadi
basis terhadap kebutuhan reformasi sistem Pemilu sehingga mampu menghasilkan
Pemilu dan demokrasi yang berkeadilan.

9 Eko Supriyadi, “Ini Kelebihan dan Kekurangan Sistem Proporsional Terbuka,”


https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/01/18/ojyvqu354-ini-kelebihan-dan-
kekurangan-sistem-proporsional-terbuka, diakses pada 1 Oktober 2018.
10 Eki Baihaki, “Peran Bawaslu dan Pemilu yang Berintegritas,”
https://nasional.kompas.com/read/2018/03/13/08160081/peran-bawaslu-dan-pemilu-yang-
berintegritas, diakses pada 1 Oktober 2018.

Anda mungkin juga menyukai