Anda di halaman 1dari 9

Rabu, 15 September 2010

PENTINGNYA RASA TOLERANSI DALAM KEHIDUPAN MANUSIA


Agus Wijaya

Rasa toleransi sangat penting dalam kehidupan manusia, baik dalam berkata-kata maupun
dalam bertingkah laku. Dalam hal ini, toleransi berarti menghormati dan belajar dari orang lain,
menghargai perbedaan, menjembatani kesenjangan budaya, sehingga tercapai kesamaan sikap.
Toleransi juga merupakan awal dari sikap menerima bahwa perbedaan bukanlah suatu hal yang
salah, justru perbedaan harus dihargai dan dimengerti sebagai kekayaan. Misalnya perbedaan ras,
suku, agama, adat istiadat, cara pandang, perilaku, pendapat dan lain sebagainya. Dengan
perbedaan tersebut, diharapkan manusia bisa mempunyai sikap toleransi terhadap segala
perbedaan yang ada, dan berusaha hidup rukun, baik individu dengan individu, individu dengan
kelompok masyarakat, dan kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lainnya.

Dalam kehidupan di kampus Undiksha misalnya, sangat perlu sekali memupuk rasa toleransi
tersebut, karena mahasiswa yang kuliah disana bukan hanya dari satu daerah saja, melainkan dari
berbagai daerah, bahkan dari luar Bali pun ada. Di Bali saja sudah terdapat berbagai kebudayaan dan
adat istiadat yang berbeda, bahkan memiliki dialek yang bebeda-beda setiap daerah dan itu
merupakan ciri khas dari daerang masing-masing. Sehingga sangat dibutuhkan sifat saling
menghargai antar individu dengan individu yang lainnya. Perbedaan pendapat juga sering terjadi,
misalnya dalam forum diskusi, baik diskusi dalam lingkup yang besar maupun lingkup yang kecil.
Dalam lingkup yang kecil misalnya diskusi dalam kelas, banyak perbedaan pendapat antara
pemakalah dengan peserta yang bertanya. Pada saat pemakalah menjawab pertanyaan dari salah
satu peserta, ada yang pro dan kontra antara peserta yang satu dengan peserta yang lainnya. Di saat
seperti itu, rasa saling menghargai pendapat orang lain sangat dibutuhkan. Jangan sampai selesai
diskusi terjadi pertikaian karena perbedaan pendapat atau ada salah satu peserta yang pendapatnya
melenceng dari materi kemudian ada yang mengejek. Kita sebagai mahasiswa seharusnya tidak
melakukan hal seperti itu, karena manusia takkan luput dari kesalahan dan manusia tidak ada yang
sempurna.

Dalam pergaulan sehari-hari juga, kita harus bisa menghargai dan menghormati orang lain.
Dalam pergaulan ada teman, dalam pertemanan juga banyak sekali perbedaan. Misalnya dari beda
sifat, karakter, cara berpikir, dari fisik pun banyak perbedaan karena ada yang tinggi, ada yang
pendek, ada yang kurus, dan ada yang gemuk. Tapi kita masih bisa berteman dengan baik, karena
kita dapat saling mengerti dan tidak memperdulikan perbedaan yang ada. Kadang antara teman
yang satu dengan yang lainnya bisa saling ejek, tapi kita harus tahu batasannya, jangan sampai
terlalu memojokkan teman kita, jangan sampai menyakiti teman kita sendiri. Selain kita harus tahu
batasan-batasannya, kita juga harus mengerti bahwa hal tersebut hanyalah bercanda yang
tujuannya untuk mengakrabkan persahabatan yang sudah ada. Dalam hal ini, dibutuhkan suatu
pengertian bahwa kita hidup di dunia ini tidak bisa hidup sendiri. Manusia selalu membutuhkan
seorang teman dalam hidupnya karena manusia adalah mahluk sosial yang selalu membutuhkan
bantuan dari orang lain.

Sehingga dalam hal ini kita harus selalu memupuk rasa toleransi dengan selalu bersikap yang
baik dan bisa menghargai orang lain. Jadi dalam hal ini, rasa toleransi sangat diperlukan oleh
manusia dalam menjalani hidup di dunia ini, karena tanpa rasa saling menghargai dan saling
menghormati, manusia tidak akan dapat hidup dengan tenang. Pertengkaran dan pertikaian
mungkin akan terjadi apabila manusia tidak memiliki rasa toleransi terhadap orang lain, bahkan
peperangan antar ras, suku, bangsa dan negara juga bisa terjadi. Oleh karena itu, konsep tentang
toleransi harus diajarkan sejak dini agar setelah dewasa nanti bisa menjadi anak yang berbudi
pekerti yang luhur. Dalam mengenalkan sikap toleransi pada anak dapat dilakukan dengan
menunjukkan sikap menghargai orang lain, memberikan contoh yang baik, mengajarkan berbicara
dengan berhati-hati, dan bersikap jujur. Dengan begitu anak tersebut akan menanamkan sikap yang
sama seiring perkembangannya.
KONVENSI KERANGKA KERJA PENGENDALIAN TEMBAKAU (FCTC)

Konvensi mengenai Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC, Framework


Convention on Tobacco Control) merupakan traktat internasional pertama yang dibahas
dalam forum Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO, World Health Organization) yang berisi
seluruh negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. FCTC berbasis data ilmiah yang
menegaskan kembali hak semua orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya.

FCTC menandai suatu pergeseran paradigma dalam mengembangkan strategi dalam


mengendalikan dan mengatasi zat adiktif; yang berbeda dengan traktat pengendalian obat
masa lalu. Pasal-pasal dalam FCTC menegaskan pentingnya strategi pengurangan
permintaan terhadap produk tembakau. Karena itu fokus FCTC adalah mencegah orang
merokok ketimbang mengobati kecanduan.

FCTC dibuat untuk menghadapi globalisasi epidemi tembakau. Penyebaran epidemi


tembakau difasilitasi melalui sejumlah faktor yang kompleks dengan efek lintas batas,
termasuk perdagangan bebas dan investasi asing secara langsung. Faktor lain seperti
pemasaran global, iklan, promosi, sponsor tembakau yang bersifat lintas-negara, dan
pergerakan internasional rokok ilegal dan palsu juga telah berkontribusi pada meledaknya
peningkatan penggunaan tembakau. Semua faktor itu kini tengah berlangsung di negara-
negara berkembang karena aturan pengendalian tembakau masih sangat longgar, termasuk
Indonesia.
WHO dan FCTC

Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau, atau Framework Convention on Tobacco


Control (FCTC) dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah konvensi internasional
pertama yang mengatur kesehatan masyarakat. FCTC diadopsi oleh Sidang Umum WHO
pada bulan Mei 2003 dan mulai berlaku sejak Februari 2005. Lebih dari 180 negara
merupakan bagian dari FCTC. Hingga kini, Indonesia belum menandatangani dan
meratifikasi FCTC.

Sasaran FCTC adalah membentuk agenda global bagi regulasi tembakau, dengan
tujuan mengurangi inisiasi penggunaan tembakau dan mendorong penghentian. Ketentuan-
ketentuan FCTC dibagi menjadi langkah-langkah untuk mengurangi permintaan atas produk
tembakau dan langkah-langkah untuk mengurangi pasokan produk tembakau.

Meski demikian, dalam beberapa tahun terakhir, FCTC telah mengalami banyak
perubahan, dimana pedoman-pedomannya semakin eksesif sehingga semakin mengancam
kedaulatan dari negara-negara yang telah melakukan aksesi/ratifikasi. Hal tersebut tentunya
sangat berpotensi mengurangi lapangan pekerjaan secara signifikan, serta mampu
menyebabkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan (contohnya: meningkatnya
perdagangan rokok illicit). Beberapa pedoman FCTC yang telah diterapkan di beberapa
negara adalah: kebijakan kemasan polos di Australia dan pelarangan bahan di Eropa, dimana
di dalamnya termasuk pelarangan cengkeh (kretek).
PENDIDIKAN TINGGI BERBADAN HUKUM

Sebagaimana diketahui bahwa RUU tentang Pendidikan Tinggi sedang digodok oleh
Komisi X dan sekarang merupakan waktunya untuk mendengarkan berbagai usulan
masyarakat tentang RUU Pendidikan Tinggi dimaksud. Sebagaimana proses perumusan UU
yang lain, maka memang dibutuhkan berbagai masukan untuk menyempurnakan RUU
tersebut agar kelak ke depan tidak terjadi berbagai masalah di dalam pelaksanaannya.
Melalui keterlibatan stakeholder pendidikan tinggi, maka dimungkinkan rumusan UU yang
bisa menjadi pedoman bagi dunia pendidikan khususnya pendidikan tinggi.

Makanya, Komisi X DPRRI sekarang sedang melakukan berbagai Rapat Dengar


Pendapat (RDP) yang menyangkut rumusan RUU Pendidikan Tinggi dimaksud dengan
harapan agar memperoleh masukan yang sangat memadai tentang UU Pendidikan Tinggi.

Ada tiga hal yang mendasar tentang RUU Pendidikan Tinggi tersebut, yaitu: status
perguruan tinggi, penjaminan mutu akademik dan tata kelola. Pertama, mengenai status
perguruan tinggi, maka akan didapati ada tiga status perguruan tinggi, yaitu: perguruan
tinggi berbadan hukum, perguruan tinggi negeri mandiri, dan PTN dan PTK sebagai unit
pelaksana teknis kementerian, kementerian lain dan/atau LPNK. Status perguruan tinggi ini
terkait dengan otonomi PT.

PTN berbadan hukum adalah PTN yang memiliki otonomi aspek akademik dan aspek
nonakademik dan PTS berbadan hukum yang memiliki otonomi aspek akademik. PTN
mandiri adalah PTN yang memiliki otonomi dalam aspek akademik dan nonakademik dan
PTS mandiri yang memiliki otonomi dalam aspek akademik. Kemudian PTS yang berbadan
hukum sebagaimana dimaksud yaitu atas prakarsa badan hukum nirlaba yang
mendirikannya.

Sebagaimana diketahui bahwa pasca dicabutnya UUBHP oleh MK, maka beberapa
PTN yang sudah tergabung di dalam BHMN telah mengalami kekosongan aturan perundang-
undangan. Maka melalui RUU ini, maka BHP kemudian diadaptasilah di dalam RUU
Pendidikan tinggi tersebut. Dengan mencamtumkan PTN atau PTS berbadan hukum, maka
secara tidak langsung UU ini telah memberikan wadah perundang-undangan bagi PTN yang
sudah menjadi BHMN. Sebagaimana diketahui bahwa untuk persoalan PTN berbadan
hukum akan diatur secara khusus di dalam peraturan pemerintah. Kiranya yang akan
memantik diskusi agak panjang adalah tentang PTN berbadan hukum ini. Sebagaimana
dipahami bahwa di dalam praktik penyelenggaraan PTBHMN memang terdapat
kecenderungan untuk memperoleh dana yang sangat besar melalui “penjualan” prodinya.
Bukan rahasia, misalnya untuk bisa memasuki prodi kedokteran, maka seorang calon
mahasiswa harus menyediakan dana yang sangat besar. Bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Makanya kemudian semaraklah program ekstensi kedokteran, yang bisa menjadi andalan di
dalam mengakses anggaran sebanyak mungkin.

Jadi yang sangat mendasar adalah bagaimana menjadikan PTN berbadan hukum
tersebut tidak menjadi alibi bagi PTN untuk mengembangkan sisi buruk “kapitalisme”
pendidikan atau “komersialisasi” pendidikan. Jangan sampai kemudian muncul dengan kuat
tuduhan dan stigmatisasi “orang miskin dilarang kuliah”. Kita tentu ingin membayangkan
bahwa di suatu saat akan tetapi didapati seorang anak miskin di pedesaan tetapi pintar akan
dapat masuk ke fakultas kedokteran, karena peluang yang diberikan memang terbuka untuk
hal itu.

Anak miskin tetapi pintar di pedesaan memang tidak memiliki kemampuan untuk
mengikuti bimbingan test, bahkan juga tidak memiliki peluang untuk menambah jam
pelajaran karena harus membantu orang tuanya bekerja. Jika bisa menambah jam
pelajarannya, maka akan diusahakan dengan kemampuannya sendiri. Maka kepandaiannya
itu tertu kemudian tidak ada gunanya, sebab dia akan kalah bersaing dengan rekannya dari
anak orang kaya yang memang bisa disiapkan dengan matang untuk kepentingan
pendidikannya.

Di dalam kerangka ini, maka anak-anak pintar tetapi miskin haruslah memperoleh
kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya. Makanya UU yang baik adalah UU yang
memberikan peluang yang sama bagi seluruh warga Negara untuk merasa diperlakukan
secara adil di depan UU tersebut. Keadilan di dalam UU PT adalah ketika UU tersebut dapat
dirasakan kehadirannya oleh seluruh masyarakat, terutama anak-anak pintar tetapi miskin
yang hidup di desa-desa di seluruh pelosok tanah air.
OTONOMI DAN PTN BADAN HUKUM
Didi Achjari, Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Keuangan, dan Sistem Informasi UGM

Otonomi kampus adalah ruh suatu perguruan tinggi. Otonomi kampus tidak sekadar
kebebasan mimbar akademik, tetapi juga otonomi non-akademik, antara lain di bidang
keuangan, sumber daya manusia, serta pengembangan sarana dan prasarana.

Meski saat ini otonomi kampus diatur dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi, masih ada resistansi terhadap UU itu, khususnya terkait isu
komersialisasi dan liberalisasi pendidikan. Karena itu, penulis mencoba memaparkan alasan
mengapa otonomi non-akademik sangat dibutuhkan secara faktual berdasarkan
pengalaman dalam mengelola perguruan tinggi negeri (PTN).

Karakteristik unik PTN yang berbeda dengan satuan kerja pemerintah lain
membutuhkan otonomi non-akademik yang lebih luas. Namun, peraturan yang ada
cenderung kurang bisa mengakomodasi dan bahkan membatasi gerak PTN melakukan Tri
Darma (pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat) perguruan tinggi
dengan baik.

Untuk mendapatkan otonomi non-akademik, PTN dihadapkan pada pilihan untuk


bermain di dalam ”rumah” atau di luar ”rumah” peraturan yang sudah ada. Pilihan pertama
jelas kurang mengakomodasi dinamika PTN. Koridor yang harus dilewati antara lain UU No
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Begitu penerimaan PTN masuk kategori
penerimaan negara bukan pajak, segala peraturan di bawahnya akan memagari gerak PTN,
seperti dalam hal pengadaan barang dan jasa, penganggaran, dan pelaporan keuangan.

Pilihan kedua lebih masuk akal, yaitu PTN dibuatkan ”rumah” peraturan tersendiri.
Rumah baru itu saat ini dimanifestasikan dalam bentuk PTN berbadan hukum yang diatur
UU No 12 Tahun 2012. Dengan kekayaan negara yang dipisahkan, kecuali tanah, PTN badan
hukum bisa memiliki aturan main yang lebih sesuai dengan karakteristiknya dan
memungkinkan untuk berkembang lebih baik. Kebutuhan akan otonomi non-akademik bagi
PTN badan hukum sebenarnya merupakan amanah UU No 12 Tahun 2012 Pasal 89 Ayat 3,
yang menyatakan, perlu ditetapkan PP tentang bentuk dan mekanisme pendanaan PTN
badan hukum.

Empat alasan pokok

Pentingnya otonomi non-akademik tercermin dari berbagai kondisi berikut. Pertama,


tahun anggaran pemerintah, Januari sampai Desember, tak sama dengan tahun akademik
(tahun ajaran) yang dimulai Juli sampai Juni tahun berikutnya. Di PTN biasa, pada akhir
tahun sisa saldo kas harus disetorkan kembali ke negara. Di sisi lain, sering kali kegiatan Tri
Darma—misalnya riset atau ujian tetap—harus berjalan awal tahun. Padahal, dana DIPA
sering kali belum cair.

Terkait perbedaan siklus itu, bagi auditor, pertanyaan yang sering muncul adalah
mengapa di laporan keuangan akhir tahun PTN badan layanan umum atau eks badan hukum
milik negara (BHMN) menyisakan saldo kas? Ini menimbulkan kecurigaan, jangan-jangan
saldo kas PTN itu adalah keuntungan. Perlu diketahui, saldo kas tersebut adalah bagian dari
penerimaan tahun ajaran berjalan untuk semester kedua. Situasi semacam ini menunjukkan
institusi pendidikan, khususnya PTN, tidak dapat disamakan perlakuannya dengan institusi
pemerintah lainnya.

Kedua, sisi permasalahan sumber daya manusia. Meski PTN badan hukum (dulu PT
BHMN) bisa merekrut dosen dan tenaga kependidikan, karier dan penggajian tak bisa
disinkronkan dengan sistem penggajian PNS. Sistem anggaran pemerintah bukan block grant
yang memberi otonomi kepada PTN untuk menggunakan anggarannya.

Ketiga, sistem pelaporan keuangan pemerintah kurang bisa mengakomodasi laporan


keuangan PTN yang bisa lebih kompleks dibandingkan laporan keuangan satuan kerja
pemerintah. Dalam menjalankan Tri Darma, PTN bisa punya rumah sakit, asrama, wisma,
laboratorium, dan unit usaha. Konsekuensinya, dalam hal sistem pelaporan keuangan, PTN
membuat laporan yang menggunakan standar akuntansi nirlaba, yaitu PSAK 45 dan standar
akuntansi instansi. Kewajiban akuntabilitas dengan membuat dua jenis laporan keuangan
tersebut sangat tidak efisien waktu dan tenaga. Kerumitan ini ditambah dengan kewajiban
untuk dikonsolidasikan pada laporan keuangan kementerian/lembaga yang hanya mengacu
pada standar akuntansi instansi.

Keempat, ketika keuangan PTN mengacu kepada UU Keuangan Negara, proses


pengadaan barang dan jasa harus mengikuti peraturan pemerintah yang belum tentu cocok
dengan siklus akademik dan kebutuhan hilirisasi produk penelitian. Dengan otonomi non-
akademik, PTN bisa merancang sistem pengadaan barang dan jasa yang sesuai dengan
karakteristiknya.

Sebagai PTN yang pernah menjadi BHMN, banyak manfaat yang dirasakan dari
otonomi non-akademik. Di bidang keuangan, sebagai contoh, penggunaan dana internal bisa
menalangi keterlambatan cairnya beasiswa mahasiswa dan dosen yang tugas belajar. Di
kegiatan kemahasiswaan, kegiatan yang sangat dinamis sering kali tidak terakomodasi di
sistem penganggaran pemerintah yang jadwalnya sangat kaku dan nilainya kurang
memadai.

Sebenarnya, sejak 2000 pemerintah melalui PT BHMN telah mencoba memberi


otonomi akademik dan non-akademik yang lebih besar kepada beberapa PTN. Otonomi
tersebut telah memberikan dampak positif terhadap kinerja PT BHMN, misalnya, tercermin
dalam sejumlah indikator seperti akreditasi dalam dan luar negeri.

Cermin prinsip demokrasi

Tentu saja harus diakui, prestasi PT BHMN itu tidak lepas dari sejumlah kritik,
misalnya komersialiasi kampus. Namun, kritik tersebut dijawab pemerintah dengan
mengeluarkan sejumlah kebijakan, antara lain penghapusan uang pangkal di PTN dan
pemberian beasiswa Bidik Misi kepada mahasiswa tidak mampu. UGM juga telah membuka
akses bagi mahasiswa tidak mampu dengan memberi beasiswa dan menerima mahasiswa
Bidik Misi yang jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Secara kelembagaan, otonomi non-akademik dalam bentuk PTN badan hukum lebih
mencerminkan prinsip demokrasi, desentralisasi, dan check and balance. Otonomi tersebut
memberi peran serta kepada masyarakat, termasuk mahasiswa, untuk ikut dalam
pengawasan pengelolaan PTN melalui Majelis Wali Amanat. Upaya untuk membatalkan
pasal-pasal terkait PTN badan hukum akan mengebiri peran mahasiswa, alumni, dan
masyarakat sebagai pemangku kepentingan PTN badan hukum.

Selain itu, kekhawatiran akan adanya komersialisasi dan liberalisasi pendidikan di


balik UU No 12 Tahun 2012 merupakan hipotesis yang perlu diuji lebih lanjut dengan data
empiris. Dugaan dan prasangka bukanlah bukti empiris yang layak dijadikan alat untuk
menguji hipotesis secara ilmiah.

Akhirnya, mari kita lihat permasalahan otonomi pendidikan tinggi ini secara jernih,
arif, dan komprehensif. Sejarah akan mencatat siapa pihak yang menjadi pendukung
kemajuan dan kemandirian bangsa melalui pendidikan tinggi dengan tetap memberikan
otonomi yang menyeluruh. Akankah sejarah mencatat hal yang sebaliknya?

Anda mungkin juga menyukai