Sebelum agama Kristen masuk di Indonesia, agama Indonesia asli dibawa oleh suku-
suku yang masuk ke Indonesia. Agama suku itu terikat pada suku-suku mereka sendiri.
Suku-suku tersebut punya silsilah mulai dari nenek moyang sampai dewa-dewa mereka.
Mitos itu berisi aturan hidup, adat istiadat yang diberikan oleh nenek moyang atau dewa-
dewa mereka. Tiap suku punya adat yang berbeda, jadi suku lain tidak mungkin ikut
agama atau kepercayaan pada suku yang lainnya lagi.
Di abad ke 17, dari kota La Rochelle Perancis, muncul seorang pemuda bernama
Anthonie Chastelein. Dia pengikut aliran Hugenot (Protestan). Demi menghindarkan diri
dari pertumpahan darah yang sedang berkecamuk antara Roma Katolik dengan pengikut
Hugenot (Protestan/calvinis), Anthonie melarikan diri ke Belanda. Anthonie dan Martin
Luther yang berasal dari Jerman, sama-sama tidak setuju dengan peraturan-peraturan
yang dibuat oleh pempimpin Roma Katolik. Peraturan itu berupa, “Penebusan Dosa”
dengan membayar sejumlah uang pada gereja. Akibatnya, pada tanggal 24 Agustus tahun
1572, terjadi peristiwa bersejarah, dalam sejarah Perancis diberi nama· Bortholomeus
Nacht' (Malam Bortholomeus) atau disebut juga ‘Bloed Bruiluft’ (Pernikahan Berdarah).
Saat itu, tepat pukul tiga pagi dan bersamaan dengan bunyi lonceng Gereja
St. Bortholomeus, kaum Hugenot diserang dengan tiba-tiba. Padahal, kaum Hugenot sudah
mendapat simpati dari ibunda Raja Perancis Lodewyk ke Xlll, yaitu Khaterina de Medisi.
Dalam penyerangan itu, seorang pemimpin Hugenot bernama Gaspart de Coligny gugur.
Pada 1598, akibat dari peristiwa penyerangan itu, muncul perjanjian Nantes atau 'Edict
de Nantes'. isinya :
Setelah menikah dengan wanita Belanda yang bernama Maria Cruidenar, puteri dari
walikota Dordtrecht, Anthonie memiliki seorang putera yang diberi nama Cornelis
Chastelein. Dia menjadi pengikut aliran Hugenot yang keras dan fanatik.
Pada tahun 1657, Cornelis mulai melanglangbuana, dia tiba di Batavia (Jakarta)
setelah berlayar lebih kurang 7 sampai 8 bulan. Di Batavia, Cornelis bekerja pada kantor
dagang VOC, jabatannya sebagai pemegang buku. Dengan gajinya yang tinggi, dia
membeli tanah di sekitar Batavia. Karena tidak menyukai politik dagang Willem van
outhoorn, Cornelis Chastelein mengajukan permohonan mengundurkan diri dari
pekerjaannya di VOC. Dia beralih ke bidang pertanian. Untuk mewujudkan cita-citanya,
Cornelis membeli tanah di Lenteng Agung, Srengseng Sawah hingga daerah yang
kemudian dikenal dengan nama Pancoran Mas. Nama itu diberikan karena di daerah itu
terdapat pancuran air yang berwarna keemasan di kala pagi dan sore hari. Nama
Pancoran Mas, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Depok.
Kepada kedua belas marga ini, Cornelis membebaskan mereka dari perbudakan
Syaratnya, mereka menjadi pemeluk agama Kristen Protestan. Cornelis kemudian
memberikan surat wasiat pada mereka, lsinya berupa pasal-pasal yang melindungi hak
kedua belas marga itu. Salah satu pasal itu berisi larangan buat orang-orang Cina untuk
bermalam di Depok. Bila matahari terbenam, semua orang Cina harus meninggalkan
Depok, tempat pemondokan orang-orang Cina yang berbatasan dengan Depok, kemudiar
terkenal dengan nama Pondok Cina.
Menurut cerita, konon orang-orang yang tinggal di daerah Mampang dan Srengseng
sawah, masih ada ikatan tali persaudaraan dengan dua belas marga itu. Mereka menolak
menerima persyaratan-persyaratan yang diberikan Cornelis Chastelein. Meski
berseberangan, baik dalam hal agama dan adat isliadat, hingga sekarang mereka masih
berhubungan baik dengan orang-orang Depok, Saat itu, satu-satunya jalan yang
menghubungkan Batavia, Lenteng Agung dan Pancoran Mas (Depok) adalah kali Ciliwung
ltu sebabnya, dermaga Pancoran Mas dinamakan Kali Rawa dan lokasi itu sampai
sekarang masih ada.
Semakin lama, jumlah kedua belas marga itu makin bertambah banyak. Ada beberapa
marga yang tidak tinggal dl Depok. Harta-harta mereka akhirnya diurus oleh panitia yang
khusus mengurus pelepasan dan pembubaran tanah-tanah swasta di Depok. Panitia ini
mendirikan sebuah yayasan yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan
peninggalan-peninggalan kedua belas marga itu. Nama yayasan itu: Lembaga Cornelis
Chastelein. Yayasan ini dikuatkan dengan akte notaris R.M. Soerojo No. 10 tertanggal 4
Agustus 1952.