Anda di halaman 1dari 24

INFEKSI CMV

Infeksi CMV kongenital merupakan penyebab terbanyak dari kelainan bawaan


dari masa kanak-kanan di Amerika Serikat. Diperkirakan sekitar 40.000 anak (0,2 – 2%)
dari semua persalinan lahir dengan CMV, yang menyebabkan sekitar 400 kasus fatal
setiap tahun. Hanya 10-15% anak dengan CMV kongenital menunjukkan gejala klinis
saat lahir, meskipun anak yang asimptomatik saat lahir memiliki risiko gangguan
neurodevelopmental.1 (Level of Evidence 2) Penelitian di Amerika menunjukkan
prevalensi CMV lebih tinggi pada orang-orang kulit hitam dan sosial ekonomi rendah.2
(Level of Evidence 1)
Media transmisi CMV antara lain saliva, ASI, sekresi vaginal, cervical, urin,
semen, darah dan feses.3,4
Risiko infeksi CMV pada kehamilan adalah:
1. Penularan intrauterin, 40%
2. Janin yang terinfeksi dan lahir dengan gejala sebesar 10-15%
3. 90% bayi simptomatik mengalami sekuele, hanya 5-15% bayi asimptomatik
mengalami sekuele
Apabila bayi mengalami infeksi CMV kongenital, IgG anti CMV akan memberikan
hasil positif dengan titer yang makin meninggi sampai bayi berusia 4-9 bulan.
Serologi serial juga dapat diperiksa saat bayi berusia 1,3 dan 6 bulan. Jika kadar
antibodi IgG menghilang selama bulan pertama kehidupan, infeksi kongenital dapat
disingkirkan. Namun jika menetap, berarti bayi terinfeksi secara kongenital atau
perinatal atau pascanatal. Adanya IgM CMV pada tali pusat bayi yang diperiksa pada
3 minggu pertama mendukung infeksi CMV kongenital. Diagnosis pasti ditegakkan
dengan ditemukannya virus dari pemeriksaan kultur virus dan antigen (Ag) CMV
dengan antigenemia assay dari sekret, urin atau darah 5.6
Pemeriksaan klinis pada bayi baru lahir yang positif CMV, 40-50%
mengalami IUGR, hepatosplenomegali, ptechiae, trombositopenia,kolestasis, dan
hearing loss pada skrining pendengaran bayi.7(Level of Evidence 2). Manifestasi
klinis lain termasuk oligohidramnion, polihidramnion, prematuritas, malas minum,
letargi, ventrikulomegali, mikrosefali, kalsifikasi intracranial, korioretinitis, dan
jarang hepatitis, pneumonia, osteitis dan perdarahan intrakranial.8 (Level of Evidence
1)
Pemeriksaan CT scan/MRI kepala sebaiknya dipertimbankan jika
terdapat kecurigaan neurologis dengan infeksi CMV kongenital.7 (Level of Evidence
2). Pemeriksaan mata pada CMV kongenital didapatkan chorioretinitis, skar retina,
strabismus, cortical visual loss. Pemeriksaan pendengaran dapat ditemukan
gangguan pendengaran baik progresif maupun awitan lambat.9 (Level of Evidence 3)
Terapi CMV kongenital saat ini masih kontroversial dan belum
memuaskan. Terdapat 4 macam obat: gancyclovir, valgancyclovir, cidofovir dan
foscarnet. Saat ini hanya gancyclovir dan valgancyclovir yang banyak digunakan
untuk terapi karena keterbatasan penelitian preparat lainnya. US FDA belum
menyetujui pemberian gancyclovir kecuali pada anak yang tegak CMV kongenital
dengan manifestasi neurologis saat diagnosis ditegakkan. Target terapi adalah
mencegah kerusakan pendengaran lebih lanjut atau menjaga pendengaran tetap
normal pada anak asimptomatik.10,11 Penelitian acak tahap II dengan gancyclovir 12
mg/kgbb/hari selama 6 minggu menunjukkan hasil yang memuaskan dalam
perbaikan kerusakan saraf otak terutama fungsi pendengaran setelah pemantauan 6
bulan dan 12 bulan, mereka menglami keterlambatan perkembangan yang lebih
sedikit pada usia 6 dan 12 bulan dibandingkan dengan yang tidak diterapi.12 (Level
of Evidence 2) Salah satuefek gancyclovir adalah neutropenia, jika didapatkan
neutropenia maka dilakukan penyesuaian dosis. Mengigat efeknya yang bersifat
mutagenik, teratogenik dan karsinogenik, sata ini terapi gancyclovir ditujukan pada
penderita simptomatik saja.10,11
Tabel 1. Sekuele pada infeksi CMV kongenital.13
Sekuele Anak yang terkena (%)
Simtomatik Asimptomatik
Kejadian semuanya 50-90 10-15
Ganguan pendengaran 50-60 7-15
Defisit kognitif 50-70 4
Mikrosefali 35-40 2
Zzabnormalitas okuler 25-50 3
Kejang 15-20 1
Defisit motorik (ringan sedang) 25-30 <1
Defisit motorik berat 15-25 <1

Hanya sedikit anak CMV kongenital dapat bertahan hidup dengan intelektual dan
pendengaran normal. Saru atau lebih kecacatan terjadi pada hampir 90% pasien yang

2
hidup. 75% anak dengan CMV kongenital simptomatik mengalami retardasi
psikomotor, biasanya diikuti dengan komplikasi neurologis dan mikrosefal. Adanya
kalsifikasi intrakranial merupakan faktor prediktor retardasi mental sedang atau
berat. IQ yang rendah berhubungan dengan mikrosefal sat lahir, gangguan
perkembangan neurologis pada tahun pertama kehidupan, lesi pada mata dan
mikrosefal yang menetap.13
Temuan hasil CT scan kepala abnormal pada bulan perama kehidupan
merupakan prediktor utaa perburukan neurodevelopmental. Gambaran palingbanyak
adalah kalsifikasi intracranial. 79% anak dengan CT scan abnormal memiliki IQ
<70.13(Level of Evidence 4).

Tabel 2. Jadwal pemantauan direkomendasikan pada infeksi CMV11


Evaluasi Usia rekomendasi
Audometri Saat lahir, 3,6,9,12,18,24,30,36 bulan
kemudian setiap tahun s.d usias sekolah
Oftalmoskopi, fungsi penglihatan Saat lahir, 12 bulan, 3 tahun, usia
sekolah
Pemeriksaan neurologis/ Setiap kontrol sampai usia sekolah
perkembangan
Neurologi/ rujukan dr neuropsikologi Sesuai indikasi dari temuan klinis

HIPOTIROID KONGENITAL

Angka kejadian hipotiroid kongenital di berbagai negara bervariasi dengan kisaran


antara 1 per 3000-4000 kelahiran hidup. Di Amerika, angka kejadian hipotiroid
kongenital cenderung meningkat dari tahun 1987 mencapai 1:3985 menjadi 1:2273 di
tahun 2002.7 Perbandingan angka kejadian antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1
dan terdapat peningkatan risiko untuk terjadi hipotiroid kongenital pada bayi dengan
sindroma Down.8 ( level of evidence 3)

Etiologi dari hipotiroid kongenital secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi 4
yaitu : primary congenital hypothyroid, secondary congenital hypothyroid, peripheral

congenital hypothyroid dan transient congenital hypothyroid.9 


3
Tabel 7. Etiologi hipotiroid kongenital

Primary congenital hypothyroidism


Thyroid dysgenesis Aplasia
Hypoplasia

Ectopic gland


Thyroid dyshormogenesis
Sodium-iodine sympoter (trapping) defect
Thyroid peroxidase defect
Hydrogen peroxidase generation or maturation defects
Tg defect

Deiodinase defect


Resistence to TSH binding or signaling


TSH receptor defect
G protein defect
Secondary congenital hypothyroidism
Isolated TSH deficiency
Congenital hypopituitarism
Peripheral congenital hypothyroidism

Thyroid hormone transport defect (monocarboxylase transporter 8)


Thyroid hormone metabolism defect (selenocysteine insertion sequence binding protein

2)


Thyroid hormone resistance


Transient congenital hypothyroidism
Maternal or neonatal excess iodine exposure
Maternal or neonatal iodine deficiency

Maternal antityroid drugs


Maternal TRB-Ab
Heterozygous THOX2 or DUOXA2 mutations
Congenital hepatic hemangiomas

4
Diagnosis hipotiroid ditegakkan bila dari anamnesis didapatkan keterlambatan
perkembangan, gagal tumbuh atau perawakan pendek, letargi, kurang aktif, konstipasi,
malas menetek, suara menangis serak, pucat, bayi dilahirkan didaerah dengan prevalens
kretin endemik dan daerah kekurangan yodium, biasanya lahir matur atau postmatur,
riwayat gangguan tiroid dalam keluarga, penyakit ibu saat hamil, obat antitiroid yang
sedang diminum dan terapi sinar. Dari pemeriksaan fisik didapatkan ubun-ubun besar
lebar atau terlambat menutup, dull face, lidah besar, kulit kering, hernia umbilikalis,
mottling, kutis mamorata, penurunan aktivitas, kuning, hipotonia, pucat, sekitar 3-7%
bayi hipotiroid biasanya disertai kelainan bawaan lainnya terutama defek septum atrium
dan ventrikel. Hal ini sesuai dengan penelitian deskriptif yang dilakukan di RSCM pada
tahun1992-2002, bahwa gejala klinis tersering saat diagnosis adalah perkembangan
motorik terlambat (83,3%), konstipasi (73,3%), aktivitas menurun (70%), makroglosia
(70%), pucat (70%). Ditemukan anemia (66,7%), hiperkolesterolemia (14,3%), kadar
gula darah sewaktu rendah (3,3%), maturasi tulang terlambat (95,5%), agenesis tiroid
(11,1%), gangguan pendengaran (22,7%), gangguan sistem neuromuskular (16,7%),
kelainan jantung bawaan (16,7%) dan retardasi mental (62,5%).10

Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan fungsi tiroid T4 dan
Tiroid Stimulating Hormone (TSH). Bila ditemukan kadar T4 rendah disertai TSH yang
meningkat maka diagnosis sudah dapat ditegakkan. Pemeriksaan darah perifer juga
diperlukan, bila ibu dicurigai menderita hipotiroid maka bayi perlu diperiksa antibodi
antitiroid. Kadar thyroid binding globulin(TBG) diperiksa bila ada dugaan defisiensi
TBG yaitu bila dengan pengobatan hormon tiroid tidak ada respon. Pemeriksaan
radiologis yang diperlukan adalah bone age, biasanya didapatkan keterlambatan,
skintigrafi kelenjar tiroid/sidik tiroid (menggunakan technetium-99 atau iodine-123)
dapat dilakukan untuk menentukan penyebab hipotiroid dan membantu dalam konseling
genetik. Ultrasonografi dapat dijadikan alternatif sidik tiroid.1

5
Gambar 5. Alogaritma diagnosis hipotiroid kongenital11


Bayi baru lahir yang menderita hipotiroid kongenital umumnya tidak memperlihatkan
gejala. Kalaupun ada gejalanya tidak spesifik, sehingga bila keaadan ini tidak terdeteksi
dan diobati, maka bayi akan mengalami kecacatan yaitu gangguan pertumbuhan fisik
secara keseluruhan dan keterlambatan perkembangan mental. Untuk sangat diperlukan
dilakukan skrining hipotiroid kongenital pada bayi baru lahir sebelum timbulnya gejala
klinis.12 Di Indonesia skrining hipotiroid kongenital saat ini belum menjadi program
nasional. Dari telaah rekam medis di klini endokrin anak RSCM menunjukan bahwa
53,3% penderita didiagnosis pada usia 1-5 tahun. Hanya 2,3% yang bisa dikenali
sebelum usia 3 bulan. 10 Skrining hipotiroid dilakukan dengan memeriksa kadar TSH dan
FT4.

Nilai cut of point yang digunakan adalah 20 μIU/mL (WHO) untuk dugaan (presumptive

classification) hipotiroid kongenital.
 Beberapa kemungkinan hasil TSH adalah sebagai

berikut :12

- Kadar TSH ≤ 20 μIU/mL : normal 


- Kadar TSH >20-≤ 40 μIU/mL : meragukan, perlu diambil sampel ulang,


6
bila hasil ≤ 20 μIU/mL dianggap normal, bila hasil > 20 μIU/mL maka dilakukan

pemeriksaan TSH dan FT4 serum. 


- Kadar TSH > 40 μIU/mL : konfirmasi dengan pemeriksaan TSH dan

FT4 serum. 
 Terapi pengganti hormon dengan L-tiroksin harus secepatnya

diberikan setelah diagnosis ditegakkan. Preparat L-tiroksin diberikan dengan


dosis berdasarkan usia. Pengobatan diberikan seumur hidup pada hipotiroid
kongenital permanen karena tubuh tidak mampu memproduksi kebutuhan tiroid
sehingga prinsip terapi adalah replacement therapy. IDAI menganjurkan
pemberian dosis permulaan 10- 15μg/kg/hari. Pada bayi cukup bulan diberikan
rata-rata 37,5-50 μg per hari. Besarnya dosis hormon tergantung berat ringannya
kelainan. Hasil pengobatan sangat dipengaruhi usia pasien saat terapi dimulai dan
jumlah dosis.1,12 Apabila hipotiroid kongenital permanen tidak dapat ditegakan
pada usia 2-3 tahun maka American Academy of Pediatrics merekomendasikan
menghentikan pemberian terapi L tiroksin selama 30 hari. Kemudian diperiksa
kembali bila T4 atau FT4 rendah dan TSH tinggi maka pasien dapat didiagnosis
hipotiroid kongenital permanen sehingga dapat dimulai memberikan terapi L
tiroksin kembali. Bila T4 atau FT4 dan TSH normal maka dapat diduga sebagai
hipotiroid kongenital transien sehingga tidak diperlukan terapi lagi. Namun
pasien harus dimonitor dengan ketat gejala dan tanda hipotiroid, bila terdapat
gejala maka di cek kembali fungsi tiroid.13

Penelitian pada tahun 2002 di California didapatkan bahwa bayi hipotiroid kongenital
yang mendapatkan L tiroksin dosis awal 50 μg/hari(12-17 μg/kgBB/hari ) menaikan
serum T4 dan FT4 mencapai rentang target dalam 3 hari dan normal dalam 2 minggu.14
(level of evidence 2) Penelitian yang dilakukan La Franchi pada tahun 2005, didapatkan
bahwa bayi yang diterapi dengan dosis awal L tiroksin yang lebih tinggi yaitu 50 μg
mempunyai skor IQ 11 point lebih tinggi dibandingkan yang dosis awal dimulai dari 37,5
μg.15 (level of evidence 3)

7
Tabel 8. Dosis L-tiroksin pada hipotiroid kongenital1

Setelah pemberian terapi pengganti hormon diperlukan pemantauan kadar TSH dan FT4
dengan jadwal sebagai berikut :12

- Setelah 2 minggu dan 4 minggu sejak pengobatan tiroksin 


- Pada 6 bulan pertama, tiap 1 atau 2 bulan 


- Umur 6 bulan -3 tahun, tiap 3 atau 4 bulan 


- Umur 3 tahun - 18 tahun, tiap 6 -12 bulan 
 Tujuan pengobatan dengan

L-tiroksin adalah mempertahankan kadar FT4 pada nilai pertengahan atas


rentang nilai normal. Kadar TSHs harus diusahakan dibawah 10 uIU/mL. Jika
kadar FT4 masih berada pada kisaran normal tetapi berada pada setengah bawah
rentang nilai normal dan kadar TSH masih tinggi maka diperlukan evaluasi
kembali kepatuhan minum obat dan dipastikan bahwa L-tiroksin diminum
dengan benar dan tidak bersamaan dengan zat yang dapat menghambat
penyerapan absorpsi L-tiroksin. Selain itu juga penting untuk dipantau
pertumbuhan/antropometri, perkembangan, fungsi mental dan kognitif tes
pendengaran dan usia tulang.12

GLOBAL DEVELOPMENTAL DELAY


Definisi
Global Developmental delay (GDD) adalah keterlambatan yang signifikan pada
dua atau lebih domain perkembangan (motorik kasar dan halus, bicara dan bahasa
reseptif dan ekspresif, sosioemosional, dan kognitif). Global developmental delay
menggambarkan presentasi klinis yang memiliki profil etiologi yang heterogen dan

8
dikaitkan dengan defisit yang sesuai usia dalam beradaptasi dan kemampuan belajar.(14)
Keterlambatan yang signifikan didefinisikan sebagai adanya 2 standar deviasi atau lebih
di bawah mean usia yang sesuai pada uji standar rujukan.
Istilah developmental delay biasanya digunakan pada anak-anak yang lebih kecil
(<5 tahun), sedang istilah retardasi mental biasanya digunakan pada anak-anak yang
lebih besar setelah menjalani tes IQ. Istilah developmental delay merupakan istilah
deskriptif yang digunakan untuk anak-anak yang memiliki kesulitan dalam masa kanak-
kanak awalnya di mana penyebabnya belum dapat ditegakkan. Istilah ini tidak
mengimplikasikan adanya penyebab organik atau sindrom tertentu, dan istilah ini tidak
ada dalam ICD-10.(15)
Mencari kelebihan dan kelemahan dalam perkembangan anak merupakan
langkah awal dalam mencari penyebab keterlambatan perkembangan, sehingga dapat
diketahui rekomendasi tata laksana yang tepat. (level of evidence 4).(16)

Epidemiologi
Para peneliti Centers for Disease Control and Prevention (CDC) bersama dengan
para peneliti Health Resources and Services Administration (HRSA) mempublikasikan
prevalensi DD pada anak-anak di Amerika Serikat dari tahun 1997-2008. Prevalensi DD
12-16 %. Selain itu data penelitian ini menunjukkan bahwa angka prevalensi pada laki-
laki dua kali lipat lebih besar pada perempuan.(17)
Angka kejadian keterlambatan perkembangan secara umum sekitar 10% anak-
anak di seluruh dunia. Sedangkan angka kejadian GDD diperkirakan 1%-3% anak-anak
berumur <5 tahun.(18)

Etiologi
Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh kondisi musculoskeletal dan
neurologisnya. Kondisi pada saat perinatal juga sangat mempengaruhi perkembangan
anak. Faktor sosial ekonomi keluarga juga berpengaruh dalam tumbuh kembang anak.
Orang tua yang berpendidikan rendah cenderung kurang memberikan stimulasi yang
penting untuk perkembangan anak. Anak yang kurang diberikan stimulasi dapat
mengalami keterlambatan perkembangan.
Tabel 3. Penyebab Global Developmental delay (14, 15, 17)
Kategori Keterangan

9
Genetik atau sindrom - sindrom yang mudah diidentifikasi misalnya sindrom Down
20% di antaranya tanpa - penyebab genetik - fragile X, sindrom velo-cardio-facial (delesi
tanda-tanda neurologis, 22q), Angelman, Soto’s, Rett’s, fenilketouria
gambaran dismorfik, atau maternal,mukopolisakaridosis, Duchenne Muscular Distrophy,
riwayat keluarga. Tuberous sclerosis, neurofibromatosis tipe 1, dan delesi
subtelomerik.
Metabolik - Fenilketouria (PKU), Medium-chain acyl Co-A
1% di antaranya tanpa tanda Dehydrogenase Deficiency (MCAD)
neurologik, gambaran - Gangguan siklus urea
dismorfik, atau riwayat
keluarga
Endokrin Hipotiroidisme
Traumatik Cedera otak yang didapat
Lingkungan Anak-anak membutuhkan kebutuhan dasar untuk makanan,
pakaian, kehangatan, kasih sayang, dan stimulasi untuk dapat
berkembang secara normal. Anak-anak yang tidak mendapat
perhatian, mengalami kekerasan, merasa ketakutan, kurang
stimulasi tidak menunjukkan perkembangan yang normal.
Malformasi serebral Neuronal Migration Disorder
Cerebral palsy dan Menyebabkan kesulitan motorik yang dapat mengganggu
ganggauan kordinasi perkembangan.
(dispraksia)
Infeksi - Prenatal: Rubella, CMV, HIV
- Neonatal meningitis
Toksin -Fetal: alkohol atau obat yang dikonsumsi ibu selama kehamilan
- Masa kanak-kanak: keracunan

Pada penelitian yang dilakukan Roshan Koul,dkk di rumah sakit pendidikan di


Oman, dikatakan bahwa riwayat perinatal secara bermakna berhubungan dengan etiologi
yang mendasari terjadinya GDD. Riwayat perinatal yang dimaksud antara lain riwayat
asfiksia, neonatal sepsis, hiperbilirubinemia, hipoglikemi, kejang, prematuritas, dan
intra uterine growth retardation.(19) (level of evidence 3)

10
Klasifikasi
Pembagian DD menurut waktunya : (20)
1. DD transien
Contohnya pada bayi prematur yang mengalami keterlambatan dalam duduk,
merangkak, dan berjalan tetapi lambat laun akan mencapai perkembangan yang normal.
Penyebab lain dapat berhubungan dengan penyakit fisik dan rawat inap dalam jangka
waktu yang lama, imaturitas, stress keluarga, atau kurangnya kesempatan belajar.
2. DD persisten
Bila keterlambatan perkembangan menetap biasanya berhubungan dengan 1 atau
lebih masalah berikut: pengertian dan belajar, pergerakan, komunikasi, pendengaran, dan
penglihatan.
Pembagian tipe DD :
1. Global developmental delay
2. Mixed developmental delay
3. Pervasive developmental disorder
4. Non-specific developmental disorder
Anak-anak dengan gambaran defisit kualitatif dalam keterampilan sosial, komunikasi,
dan pola tingkah laku yang repetitif/ restriktif dimasukkan dalam kelompok DD pervasif,
dan anak-anak dengan disfungsi visual, pendengaran, atau sensori integrasi K(SI)
dimasukkan dalam kelompok DD non-spesifik. Disfungsi SI merupakan hasil dari
gangguan proses integrasi sistem multisensori subkortikal. (20)
Pembagian DD menurut jumlah domain yang mengalami keterlambatan(15) :
1. Global developmental delay: keterlambatan pada dua atau lebih domain (sering terjadi
keterlambatan pada semua domain)
2. Specific developmental delay : keterlambatan pada satu domain, misal motorik atau
bicara dan bahasa

Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
cermat serta pemeriksaan penunjang lainnya.
Anamnesis

11
Evaluasi anak dengan GDD dimulai dengan anamnesis mendetail dan cermat
mengenai(21): riwayat keluarga, dan riwayat pre natal, natal, dan post natal. Ditanyakan
apakah selama kehamilan terdapat perdarahan per vaginam, diabetes gestasional, infeksi,
konsumsi obat-obatan, tembakau, alkohol. Ditanyakan pula tentang waktu lahir
(prematur/ cukup bulan), spontan atau diinduksi, durasi, presentasi dan alat yang dipakai
untuk membantu proses kelahiran, serta penyulit proses kelahiran seperti mekoneum
staining, atau kelainan denyut jantung fetal. Alasan section caesarea merupakan hal yang
penting. Berat lahir, skor Apgar (terutama di atas 5 menit) dan durasi rawat inap post
natal merupakan parameter obyektif yang penting. Kejadian neonatal juga perlu
ditelusuri adakah kejang, ensefalopati, kesulitan pemberian makanan.
Riwayat tumbuh kembang anak: ditanyakan perkembangan anak berdasarkan
milestones motorik kunci dan bahasa.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum, meliputi: antropometri, wajah dismorfik, stigmata
kelainan neurokutaneus seperti macula hipomelanotik café au lait spot. Palpasi abdomen
untuk mendeteksi pembesaran hepar dan lien berkaitan dengan gangguan penyimpanan.
Tulang belakang untuk mendeteksi defek atau abnormalitas overlying kutaneus yang
mengarah pada myelodisplasia.
Pemeriksaan neurologis, meliputi: lingkar kepala oksipitofrontal kemudian
diplotkan pada persentil menurut usia. Dikatakan mikrosefal bila <2 % dan makrosefal
bila > 98%. Bila terdapat mikrosefal maupun makrosefal, lingkar kepala orang tua juga
diukur dan diplot. Nistagmus, paresis facial, drooling berlebihan, disfagia, disartria,
lapangan pandang, reflek pupil, dan funduskopi.
Motorik: asimetri, lateralisasi, kekuatan, tonus, reflek fisiologis, kualitas gerak
ekstremitas (diskinesia: distonia, atetosis, chorea, tremor, dismetria). Gait juga harus
dinilai bila anak sudah berjalan dan dicatat rinci bila abnormal. Bangkit dari posisi
jongkok atau telentang di lantai (Gower’s sign) merupakan tes yang baik untuk menilai
kelemahan proksimal. Berlari menurun jarak jauh, naik turun tangga, berdiri dengan satu
kaki dan meloncat, meniru gerak tubuh sederhana, menangkap, melempar, menendang
bola merupakan penilaian yang baik untuk deksteritas.
Pemeriksaan Penunjang
 Tes logam: dilakukan pada anak yang terpapar berlebihan dengan logam
 Tes untuk hormon tiroid: bila skrining neonatal belum dilakukan, terdapat gambaran
hipotiroid
12
 Skrining metabolik: bila belum pernah skrining newborn atau pemeriksaan fisik
mengarah pada kelainan metabolik. Temuan ini meliputi kosanguitas orang tua,
riwayat keguguran, riwayat dekompensasi episodik, regresi developmental
 Karyotyping resolusi tinggi direkomendasikan rutin bila tidak terdapat gambaran
dismorfik, seperti fragile X mental retardation (FMR-1) molecular genotyping.
Fluoresensi ini situ hibridisasi (FISH) diberikan pada keterlambatan yang tidak dapat
dijelaskan atau diagnosa sindrom spesifik dicurigai.
 Ensefalogram (EEG) tidak berguna untuk diagnostik dalam hal ini, dan ditawarkan
bila mengarah pada kejang atau sindrom epilepsy
 Neuroimaging rutin direkomendasikan: MRI dan CT-scan
 Semua anak dengan global developmental delay harus dinilai pendengaran dan
penglihatannya.

Penilaian Menggunakan Tools yang Terstandarisasi(17)


Penilaian formal terhadap perkembangan pada bayi dan anak yang masih kecil
dapat dilakukan dengan menggunakan evaluasi perkembangan yang terstandarisasi.
Penggunakan Denver Developmental Screening Test (DDST-II) banyak digunakan oleh
penyedia pelayanan kesehatan unutk mengidentifikasi anak yang membutuhkan evaluasi
yang lebih jauh. Penilaian DDST-II dapat digunakan pada anak baru lahir hingga usia 6
tahun. Penilaian ini meliputi 4 domain yaitu motorik kasar, motorik halus, bahasa dan
tingkah laku personal-sosial. Anak yang gagal pada DDST-II dapat di evaluasi lebih
lanjut dengan Bayley Scale of Infant Development yang menyediakan skor mental dan
motorik yang terpisah atau Gessel Developmental Schedule.(tabel 7).(22)

Tata laksana gangguan perkembangan umum


Tata laksana keterlambatan perkembangan umum adalah dilakukan stimulasi
sesuai dengan sektor keterlambatan yang ada. Stimulasi pada pasien dengan
keterlambatan perkembangan tidak akan memberikan hasil maksimal jika kelainan yang
mendasarinya tidak dikoreksi terlebih dahulu. Penanganan kasus DD membutuhkan tim
interdisipliner, di antaranya neurologi, ophtalmologi, THT, tumbuh kembang anak,
genetika, dan rehabilitasi medik. (14)
Terapi medika mentosa dapat diberikan untuk mengobati peningkatan tonus.
Selain itu perlu diperhatikan pula status gizi anak.rehabilitasi medik diperlukan untuk
meningkatkan kemampuan fungsional anak; terdiri dari fisioterapi, terapi okupasi,
13
ortotik, psikologik, sosial worker, dan terapi wicara. Untuk kasus-kasus dengan
spastisitas dapat dilakukan injeksi dengan botulinum toksin dan neurolisis dengan fenol.
Kasus DD jarang membutuhkan tindakan pembedahan. Anak dengan abnormalitas
motorik, developmental delay dan disabilitas merupakan problem yang sering kali
ditemukan dalam bidang rehabilitasi medik. Pelayanan rehabilitasi medik melalui
programnya haruslah mengarah pada goal yang ingin dicapai. Seorang spesialis
rehabilitasi medik pediatri harus memiliki pandangan global dalam menyusun rencana
rehabilitasi untuk memastikan semua elemen yang dimiliki rehabilitasi medik
mendukung kemajuan fungsional. Bidang-bidang rehabilitasi medik yaitu fisioterapi,
okupasi terapi, terapi wicara sangat berkaitan dengan anak dengan developmental delay.
Fisioterapi untuk kemampuan motorik kasar, okupasi terapi untuk kemampuan motorik
halus, adaptasi sosial-emosional, sensori integrasi; terapi wicara untuk keterampilan
komunikasi; ortotik untuk memfasilitasi habilitasi dari ketrampilan yang dicapai anak,
menstimulasi neuromuskular fungsional.(23)
a. Fisioterapi
1. Latihan tradisional
Latihan tradisional terdiri dari latihan penguatan, peregangan, ketahanan,
koordinasi, dan keseimbangan dimodifikasi sesuai tingkat perkembangan anak. Latihan-
latihan ini diterjemahkan dalam bentuk bermain, mainan adaptif, dan permainan. Latihan
ini ditujukan untuk meningkatkan lingkup gerak sendi (LGS), kekuatan, ketahanan,
koordinasi dan keseimbangan.
2. Terapi neuromotorik dan sensorimotorik
Yang biasa digunakan adalah neurodevelopmental treatment (NDT). Teknik
NDT menggunakan pola gerak refleks inhibisi untuk menginihibisi peningkatan tonus.
Teknik NDT juga menggabungkan reaksi postural untuk menstimulasi penyembuhan.
Fokus NDT adalah memfasilitasi kontrol postural dan sikap postur yang optimal.
b. Okupasi Terapi
Okupasi terapi merupakan bentuk layanan kesehatan yang ditujukan kepada
individu dan/atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara, memulihkan fungsi
dan mengupayakan adaptasi untuk aktivitas sehari-hari, melalui stimulasi dan fasilitasi.
Salah satu bagian dari okupasi terapi adalah sensori integrasi yang merupakan suatu
proses neurologis yang mengintegrasikan sistem sensoris, visual, auditif, taktil,
vestibular, dan proprioseptif sehingga timbul suatu persepsi yang memungkinkan
seorang anak dapat beradapatasi secara optimal dengan lingkungannya. Terapi sensori
14
integrasi memberikan stimulasi sensori dan interaksi fisik untuk dapat meningkatkan
integrasi sensori dan peningkatan kemampuan belajar serta perilaku. Bersifat individual
melalui aktivitas yang bertujuan dengan melibatkan stimulasi sensori untuk perbaikan
organisasi dan proses neurologis. Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan pada
aplikasi pendekatan terapi ini diantaranya harus mempertimbangkan karakter khas
masing-masing pasien, terapi ini harus dimasukkan dalam kegiatan sehari-hari.
Perencanaan yang dibuat merupakan hasil kerjasama pasien, keluarga dan pengasuh.
Okupasional terapi untuk penderita developmental delay umumnya meliputi: (23)
1. Latihan fungsi tangan : Reach, Grasp, Placement, Release.
2. Aktivitas bimanual. Perlu diingat hipotesa yang mengatakan bahwa tumbuhnya
dominasi dari salah satu hemisfer otak, akan menghasilkan kemampuan berfikir abstrak
pada level intelektual yang tinggi. Karena itu latihan bimanual tetap menghasilkan pola
dominan salah satu sisi.
3. Latihan aktivitas hidup sehari-hari (Activities of daily living = ADL), dengan tehnik
/ metoda yang sama seperti pada program fisioterapi. Aktivitas ini meliputi: aktivitas
makan dan minum, personal hygiene, berpakaian (memasang dan membuka), serta
aktivitas-aktivitas tambahan seperti membuka-menutup pintu, memegang buku bacaan,
menggunakan tilpon dan lain-lain. Adanya sasaran aktivitas yang konkrit, yang
memerlukan gerakan koordinatif yang halus, tentunya memerlukan usaha-usaha yang
tekun dari para terapis.
4. Latihan modifikasi tingkah laku.
Penderita keterlambatan perkembangan tipe spastik mempunyai masalah-
masalah tingkah laku antara lain, kecemasan bila dipisahkan atau ditinggalkan orang tua,
cengeng, emosional, takut. Pada tahap awal terapi, orang tua dibenarkan berada di
ruangan yang sama. Secara bertahap dibiarkan sendiri dengan terapis. Biasanya akan
terlihat perkembangan antara 2 minggu – 1 bulan.
5. Sosialisasi.
Penyelenggaraan bermain secara kelompok antara penderita keterlambatan
perkembangan di dalam ruangan merupakan langkah maju untuk mencapai interaksi
yang baik antar anak sebaya.

c. Terapi wicara
15
Penatalaksanaan pada anak dengan keterlambatan bicara dan bahasa umumnya
difokuskan stimulasi bahasa secara umum sesuai penyebab keterlambatannya.
Contohnya adalah pada anak dengan keterlambatan bahasa ekspresif, tujuan umumnya
adalah agar anak dapat menggunakan bahasa sesuai dengan kebutuhannya
berkomunikasi dan sesuai dengan apa yang ia jumpai sehari-hari. Hal ini dilakukan
dengan meningkatkan perbendaharaan kata ekspresif, meningkatkan ucapan-ucapan,
bertanya dan menjawab pertanyaan, dan meningkatkan pemahaman pembicaraan. (23)
Prosedur Terapi
1. Usia 0-2 tahun
- Tujuan : mengembangkan kemampuan dasar periode perkembangan dini, periode
meningkatkan kemampuan kognitif, sosial dan komunikasi. Intervensi dini adalah
penting sebagai usaha prevensi. Terutama ditekankan keterlibatan keluarga dan edukasi.
- Aktivitas yang dilakukan mencari sumber suara (ouditory-visual association), berbagi
fokus terhadap 1 benda, hubungan antara orang dewasa dan bayi, bermain bersama :
ciluk-ba, membaca buku cerita, vokalisasi, intensi komunikatif, bermain simbolik dan
non simbolik, meningkatkan kosakata
Pada pasien ini, pada pemeriksaan didapatkan keterlambatan di keempat sektor
yaitu sektor motorik kasar, motorik halus, personal sosial, dan bahasa. Keterlambatan
tersebut diperberat oleh kondisi cerebral palsy dan hipotiroid. Saat ini anak telah
menjalani fisioterapi, terapi wicara, dan okupasi terapi. Sudah tampak perkembangan
pada anak walaupun belum didapatkan hasil sesuai dengan usia.

Pengelolaan secara Komprehensif


a. Kuratif : meliputi tim multidisipliner: terapi hipotiroid
b. Preventif : pemantauan terhadap kadar IgG dan IgM CMV pada orangtua untuk
rencana kehamilan selanjutnya
c. Promotif : edukasi kepada orangtua tentang pentingnya evaluasi lingkar kepala,
oftalmoskopi, audiometri, dan pemeriksaan neurologis lainnya secara berkala setiap
bulan untuk mengevaluasi efek samping/gejala sisa dari CMV
d. Rehabilitatif : program rehabilitasi untuk stimulasi motorik kasar, motorik halus, dan
wicara (rehabilitasi medik).

Pengelolaan secara Holistik


Faktor lingkungan fisiko-bio-psikososial yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
16
perkembangan anak.
Lingkungan lain yang berpengaruh :
a. Lingkungan mikro : dukungan nutrisi, kebersihan diri untuk mencegah infeksi,
kedekatan anak dengan orang tua.
b. Lingkungan Mini : dukungan orang tua dan anggota keluarga lain serta suasana
hubungan keluarga yang harmonis.
c. Lingkungan Meso : lingkungan tetangga yang baik dan ramah.
d. Lingkungan Makro : Kebijakan pemerintah dimana pada pasien ini sudah
mendapatkan BPJS.

CEREBRAL PALSY
Cerebral palsy (CP) adalah sekumpulan gejala dengan karakteristik kelainan
gerak dan postur yang disebabkan oleh lesi yang tidak progresif pada otak yang belum
matang (imatur).25 Karakteristik yang khas dari sindrom ini adalah adanya perubahan
pada tonus otot dan postur, baik pada saat istirahat maupun dengan aktivitas volunter.
Untuk menentukan penyebab CP harus digali mengenai hal seperti: bentuk CP, riwayat
kesehatan ibu dan anak, dan onset penyakit.25
Cerebral Palsy tidak dapat disembuhkan, terapi yang dilakukan ditujukan untuk
memperbaiki kapabilitas anak dan mengusahakan penderita dapat hidup mendekati
kehidupan normal dengan mengelola masalah neurologis yang ada seoptimal mungkin.26

Definisi
Cerebral Palsy (CP) adalah terminologi untuk mendeskripsikan kelompok
penyakit kronik yang mengenai pusat pengendalian pergerakan dengan manifestasi klinis
yang tampak pada beberapa tahun pertama kehidupan dan secara umum tidak akan
bertambah memburuk pada usia selanjutnya. Istilah cerebral ditujukan pada kedua
belahan otak atau hemisfer, dan palsy mendeskripsikan bermacam penyakit yang
mengenai pusat pengendalian pergerakan tubuh. Jadi, penyakit tersebut tidak disebabkan
oleh masalah pada otot atau jaringan saraf tepi, melainkan terjadi perkembangan yang
salah atau kerusakan pada area motorik otak yang akan mengganggu kemampuan otak
untuk mengontrol pergerakan dan postur secara adekuat.25,26

Etiologi

17
Etiologi dari cerebral palsy meliputi seluruh penyebab yang dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan otak pada saat prenatal, perinatal dan postnatal pada awal
kehidupan.26
Faktor resiko prenatal meliputi: perdarahan intrakranial, komplikasi plasenta,
toksin diantaranya iodine merkuri; agen teratogenik, malformasi kongenital, infeksi
intrauterin: TORCH, herpes; faktor dari ibu: retardasi mental, kejang, hipertiroid; faktor
sosioekonomi, insufisiensi reproduktif, hipoxic- ischemic injury prenatal: kehamilan
multipel, perdarahan maternal, ibu menggunakan obat, idiopatik ( paling sering ).
Sedangkan perinatal meliputi, pada prematur: gestasi <32 minggu, BBL <2500
gram, pada aterm: plasenta previa, abrupsio plasenta, aspirasi mekonium;
hiperbilirubinemia, persalinan sulit/ traumatik, infeksi, kejang, bradikardi dan hipoksia,
perdarahan intrakranial.
Sedangkan postnatal meliputi; trauma, toksin, sindroma stroke seperti anemia
sickle cell, ruptur AVM, penyakit jantung kongenital; infeksi, penyakit neoplastik,
anoksia, perdarahan intrakranial

Gambaran Klinis dan Penegakan Diagnosa


Diagnosa CP pada usia dibawah 6 bulan sulit karena tidak banyak fase
perkembangan baru. Banks memberikan kriteria diagnostik sebagai berikut:
I. Periode neonatus
a. Depresi atau asimetri dari refleks primitif
b. Reaksi yang berlebihan terhadap stimulus
c. Konvulsi
d. Tanda neurologis lokal
II. Periode infancy
a. Keterlambatan perkembangan motorik
b. Adanya paralise spastik
c. Adanya gerakan-gerakan involunter
d. Menetapnya refleks primitif
e. Tidak timbulnya atau keterlambatan timbulnya:
i. Neck righting reflex sesudah usia 6 bulan
ii. Landau reflex sesudah usia 10 bulan
iii. Parachutte reflex sesudah usia 1 tahun
III. Anak yang lebih tua
18
a. Keterlambatan fase perkembangan (delay developmental milestone)
b. Disfungsi dari tangan
c. Gangguan gait
d. Adanya spastisitas
e. Adanya gerakan-gerakan involunter
f. Retardasi mental
g. Kejang
h. Gangguan pembicaraan, pendengaran atau penglihatan

Kriteria Levine dapat digunakan dalam membuat diagnosa CP:


1. Kelainan pola gerak dan postur
2. Kelainan pola gerak oral
3. Strabismus
4. Kelainan tonus otot
5. Kelainan evolusi reaksi postural dan tahap perkembangan
6. Kelainan refleks tendon, refleks primitif, dan refleks plantar
Diagnosis CP ditegakkan jika minimum terdapat 4 abnormalitas dari 6 kategori di atas.
Bila hanya memenuhi satu kriteria belum dapat dikatakan CP, namun dikatakan
kecurigaan CP.25,26
Disamping itu terdapat kelainan lain yang sering menyertai CP, yaitu:26
1. Retardasi mental, paling banyak pada CP quadriplegi
2. Strabismus, paling banyak pada CP quadriplegi dan diplegi
3. Gangguan pendengaran, umumnya pada CP post kern ikterus
4. Disartria, biasanya pada CP athetoid
5. Pertumbuhan ekstremitas yang tidak sama, pada CP hemiplegik
6. Skoliosis, banyak pada CP athetoid
7. Kejang

Prognosis
Bleck, tahun 1975, mengembangkan skor khusus. Menetapnya 5 refleks
primitive dan tidak adanya reaksi postural / protektif masing-masing memberikan skor
1, sehingga ada 7 skor. Penelitiannya menunjukkan bahwa 46 anak dengan skor

19
kumulatif 0,46 terbukti bisa berjalan dan dari 16 anak dengan skor lebih dari hanya 1
yang bisa berjalan.
Prognosis Kemandirian Berjalan Menurut Bleck (1975) 27
1. Asymetric tonic neck reflex
2. Symetric tonic neck reflex
3. Moro reflex
4. Neck-righting reflex
5. Extensor thrust
6. Foot Placement reactions
7. Parachute reaction
Cat :
1. Pemeriksaan dilakukan saat usia 1 tahun
2. Berikan 1 point untuk masing-masing no. 1-5, jika (+), dan no. 6-7 jika (-)
3. 0=prognosis baik, 1=prognosis meragukan, 2=prognosis buruk

Manajemen Terapi
Pengetahuan pola tumbuh kembang anak sangatlah penting sebagai antisipasi dan
pengelolaan anak dengan disabilitas. Pertanyaan adanya proses neuroplasticity pada usia
muda masih jadi perdebatan. Data dari beberapa literatur menunjukkan adanya pendapat
yang mendukung atau menolak konsep tersebut, tetapi dalam pengelolaan secara klinis
yang telah diterima secara luas, bahwa : pendekatan terapi yang dilakukan lebih awal
dan usia lebih muda, tampaknya memberikan hasil yang lebih baik.28 Berbagai penelitian
membuktikan bahwa regenerasi pada susunan saraf pusat dengan adanya plastisitas otak
memberikan harapan baru dalam bidang rehabilitasi.29
Manajemen terapi pada anak CP melibatkan usaha tim yang terkoordinir dan
multidisipliner yang meliputi orang tua, fisioterapis, terapis okupasi, terapis wicara,
psikolog, guru, pekerja sosial, konsultan vokasional, dokter keluarga, ahli kesehatan
anak, ahli rehabilitasi medik, ahli bedah ortopedi, ahli mata, ahli THT, ahli saraf, dokter
gigi, dsb.25
Selain itu juga bisa diberikan terapi medikamentosa berupa pemberian obat anti
spastisitas (Diazepam, Baclofen, Dantrolene) dan jika kejang bisa diberikan anti
konvulsan.25
Manajemen terapi anak CP baik untuk physiatrist, ahli ortopedi atau ahli tumbuh
kembang anak, menekankan pendekatan tujuan fungsional atau orientasi tujuan. Dua

20
tujuan utama rehabilitasi menurut Molnar, adalah untuk menurunkan komplikasi CP dan
untuk memperbaiki perolehan keterampilan-keterampilan baru. Serta, memasukkan
pendidikan orang tua dan pengasuh, mengurangi deformitas skeletal dan memperbaiki
mobilitas.25,30
Fisioterapi merupakan bagian penting dari program terapi untuk cerebral palsy.
Latihan sangat diperlukan pada anak-anak CP. Intervensi latihan ditujukan untuk
disabilitas dan peningkatan kemampuan fungsi tubuh. Bentuk latihan sangat bervariasi
terdiri dari latihan peregangan untuk spastisitas, latihan lingkup gerak sendi untuk
mencegah kontraktur, hingga latihan untuk motorik kasar, latihan mobilisasi dan latihan
untuk meningkatkan kebugaran kardiovaskular. Latihan aktivitas motorik fungsional
sesuai tahap perkembangan juga dapat diberikan dengan dikombinasi teknik fasilitasi.31
Okupasi terapi umumnya menggunakan permainan untuk melatih anak. Teknik
OT juga individual dan berusaha untuk meningkatkan fungsi, tetapi fokus pada
memaksimalkan kemampuan seorang anak untuk mencapai kegiatan sehari-hari hidup,
pendidikan, dan atau bekerja. OT sangat bermanfaat dalam memaksimalkan fungsi
tangan yang tersedia.31
Terapi wicara juga bermanfaat untuk anak CP. Adapun tujuan utama dari terapi
wicara ialah memberikan kemampuan kepada seseorang agar dapat mengadakan
interaksi dengan lingkungannya secara wajar sehingga tidak menimbulkan gangguan di
dalam aspek psikososialnya. Sedangkan tujuan khususnya adalah adalah melatih anak
cerebral palsy untuk berbahasa pasif dan aktif, sehingga akan terjadi pola perkembangan
bahasa yang normal; mempersiapkan anak cerebral palsy di dalam aspek anatomis,
fisiologis, psikologis dan sosiologis sehingga anak cerebral palsy berada dalam fase siap
untuk belajar berbicara; melatih anak cerebral palsy agar mampu mengucapkan bunyi-
bunyi bahasa dengan benar juga termasuk kemampuan di dalam respirasi fonasi dan
resonansi artikulasi.31

DAFTAR PUSTAKA

1. Kenneson A, Cannon MJ. Review and meta-analysis of the epidemiology of


congenital cytomegalovirus (CMV) infection. Rev Med. Virol. 2007;17:253-76
2. Stagno S. Cytomegalovirus. DalamBehrman RE, et al. Nelson textbook of
pediatrics. Ed 17. Philadelphia: WB Saunders Co. 2004;1066-9.
21
3. Pickering, Larry K. Red Book: 2003 Report of the Committee on infectious disease;
ed 26. American Academy of Pediatrics. 2003; 259-62
4. Pass RF. Cytomegalovirus infection. Pediatrics in Review. 2002;5(23):163-9
5. Kim CS. Congenital and perinatal cytomegalovirus infection. Korean Journal of
Pediatrics. 2010;53(1):14-20
6. Gandhi RS, Fernandez-Alvarez JR, Rabe H. Management of congenital
cytomegalovirus infection: an evidence based approach. Acta Pediatricia;
2010:99:509-15
7. Busenso D, Serranti D, Gargullo M, Ceccarelli M, Rannao O, Valentini P.
Congenital cytomegalovirus infection: current strategies and future prospectives.
Eur Rev Med Pharmacol Sci. 2012; 16:919-35
8. Kadambari S, William EJ, Luck S, Griffiths PD, Sharland M. Evidence based
management guidelines for the detection and treatment of congenital CMV. Early
Hum Dev. 2011;1-16
9. Soaedarmo SSP, Gama H, Hadinegoro SR, Satari HI. CMV. Dalam: Buku ajar
infeksi dan pediatri tropis. Edisi ke-2. Badan penerbit IDAI. Jakarta; 2008:276-91
10. Schleiss MR. Congenital cytomegalovirus infection: update on management
strategies. Current treatment options in Neurology. 2008; 10:186-92
11. Olier SE, Cloud GA, Sanchez PJ, Demmler GJ, Danker W, Shelton M, et al.
Neurodevelopmental outcomes following gangcyclovir therapy in symptomatic
congenital cytomegalovirus infections involving the central nervous system. J Clin
Vir. 2009;46S:S22-6
12. Boppana, Suresh B. Inrauterine transmission of cytomegalovirus to infants of
women with preconceptional immunity. N Eng J Med. 2004;344:1366-71
13. Noyola DE, Demmler DJ, Nelson CT, Griesser C, William WD, Atkins JT, et al.
Early predictors of neurodevelopmental outcome in symptomatic congenital
cytomegalvirus infection. The journal of pediatrics. 2001; 138(3):325-31

14. Moeschler JB, Shevell M. Comprehensive Evaluation of the Child With Intellectual
Disability or Global Developmental Delays. Pediatric med. 2014;134:903-18.
15. Walters AV. Developmental Delay - Causes and Investigation. 2013 Available
from: http://www.acnr.co.uk/may_june_2010/ACNRMJ10_Developmental.pdf.
16. Downey D, Mraz R, Knott J, Knutson C, Holte L, Dyke DV. Diagnosis and
evaluation of children who are not talking. Inf Young Children. 2002;15(2):38-48.
22
17. Mackrides P. Screening for Developmental Delay. Am Fam Physician.
2011;84(5):544-9.
18. Suwarba IGN. Profil klinis dan etiologi pasien keterlambatan perkembangan global
di RSCM, Jakarta. Sari Pediatri. 2008;10(4).
19. Koul R, Alyahmedi M, Alfutaisi A. Evaluation of Children with Global
Developmental Delay: A Prospective Study at Sultan Qaboos University Hospital,
Oman. Oman Medical Journal. 2012;27(4):310-3.
20. Chen IC, Chen CL, Wong MK, Chung CY, Chen CH, Sun CH. Clinical Analysis of
1048 Children with Developmental Delay. Chang Gung Med J. 2002;25:743-50.
21. Meschino WS. The child with developmental delay: an approach to etiology.
Paediatr Child Health. 2003;8(1):16-9.
22. Wilson P, Apkon SD. Examination of the Pediatric Patient. In: Braddom LR, editor.
Physical Medicine & Rehabilitation. 4th ed. Philadelpia: Elsevier Saunders; 2011.
p. 48-9.
23. Molnar GE, Sobus KM. Growth and developmental in pediatris rehabilitation. In:
Molnar GE, Alexander MA, editors. Pediatric Rehabilitation. 3rd ed. Philadelphia:
Hanley & Belfus Inc; 1999. p. 13-27.
24. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. EGC Jakarta. 2002:12-4.
25. Stempien LM, Spira DG. Rehabilitation of children and adults with cerebral palsy.
In : Braddom RL, editor. Physical Medicine & Rehabilitation. 4th ed. Philadelphia;
WB Saunders Company: 2011.p. 1191-1212.
26. Rossi R, Alexander M, Cuccurullo S. Pediatric rehabilitation. In: Cuccurullo S,
editor. Physical medicine and rehabilitation board review. Demos Medical
Publishing, New York. 2010: 645-742.
27. Hurvitz EA. Cerebral palsy. In: O’Young B, Young MA, Stiens SA, eds. PM&R
secrets. Hanley & Belfus Inc., Philadelphia. 2008: 668-75.
28. Diamond M, Armento M. Children with disabilities. In: Delisa J.A et al. Physical
medicine and rehabilitation principles and practice vol 2. 4th edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2010: 1494-1517.
29. Laksmi W. Hubungan neuroplastisitas sentral dan intervensi rehabilitasi medik.
Dalam: Naskah lengkap pertemuan ilmiah tahunan I. Bunga rampai rehabilitasi
medik. Jakarta: PERDOSRI; 2002: 9-12.
30. Matthew DJ, Wilson P. Cerebral palsy. In Molnar GE, Alexander MA, editor.
Pediatric rehabilitation. 3rd ed. Hanley & Belfus Inc., Philadelphia. 1999: 193-209.
23
31. Tulaar A. Panduan Pelayanan Klinis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi. Perdosri,
Jakarta; 2012: 206-8

24

Anda mungkin juga menyukai