Hanya sedikit anak CMV kongenital dapat bertahan hidup dengan intelektual dan
pendengaran normal. Saru atau lebih kecacatan terjadi pada hampir 90% pasien yang
2
hidup. 75% anak dengan CMV kongenital simptomatik mengalami retardasi
psikomotor, biasanya diikuti dengan komplikasi neurologis dan mikrosefal. Adanya
kalsifikasi intrakranial merupakan faktor prediktor retardasi mental sedang atau
berat. IQ yang rendah berhubungan dengan mikrosefal sat lahir, gangguan
perkembangan neurologis pada tahun pertama kehidupan, lesi pada mata dan
mikrosefal yang menetap.13
Temuan hasil CT scan kepala abnormal pada bulan perama kehidupan
merupakan prediktor utaa perburukan neurodevelopmental. Gambaran palingbanyak
adalah kalsifikasi intracranial. 79% anak dengan CT scan abnormal memiliki IQ
<70.13(Level of Evidence 4).
HIPOTIROID KONGENITAL
Etiologi dari hipotiroid kongenital secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi 4
yaitu : primary congenital hypothyroid, secondary congenital hypothyroid, peripheral
3
Tabel 7. Etiologi hipotiroid kongenital
Ectopic gland
Thyroid dyshormogenesis
Sodium-iodine sympoter (trapping) defect
Thyroid peroxidase defect
Hydrogen peroxidase generation or maturation defects
Tg defect
Deiodinase defect
2)
Maternal TRB-Ab
Heterozygous THOX2 or DUOXA2 mutations
Congenital hepatic hemangiomas
4
Diagnosis hipotiroid ditegakkan bila dari anamnesis didapatkan keterlambatan
perkembangan, gagal tumbuh atau perawakan pendek, letargi, kurang aktif, konstipasi,
malas menetek, suara menangis serak, pucat, bayi dilahirkan didaerah dengan prevalens
kretin endemik dan daerah kekurangan yodium, biasanya lahir matur atau postmatur,
riwayat gangguan tiroid dalam keluarga, penyakit ibu saat hamil, obat antitiroid yang
sedang diminum dan terapi sinar. Dari pemeriksaan fisik didapatkan ubun-ubun besar
lebar atau terlambat menutup, dull face, lidah besar, kulit kering, hernia umbilikalis,
mottling, kutis mamorata, penurunan aktivitas, kuning, hipotonia, pucat, sekitar 3-7%
bayi hipotiroid biasanya disertai kelainan bawaan lainnya terutama defek septum atrium
dan ventrikel. Hal ini sesuai dengan penelitian deskriptif yang dilakukan di RSCM pada
tahun1992-2002, bahwa gejala klinis tersering saat diagnosis adalah perkembangan
motorik terlambat (83,3%), konstipasi (73,3%), aktivitas menurun (70%), makroglosia
(70%), pucat (70%). Ditemukan anemia (66,7%), hiperkolesterolemia (14,3%), kadar
gula darah sewaktu rendah (3,3%), maturasi tulang terlambat (95,5%), agenesis tiroid
(11,1%), gangguan pendengaran (22,7%), gangguan sistem neuromuskular (16,7%),
kelainan jantung bawaan (16,7%) dan retardasi mental (62,5%).10
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan fungsi tiroid T4 dan
Tiroid Stimulating Hormone (TSH). Bila ditemukan kadar T4 rendah disertai TSH yang
meningkat maka diagnosis sudah dapat ditegakkan. Pemeriksaan darah perifer juga
diperlukan, bila ibu dicurigai menderita hipotiroid maka bayi perlu diperiksa antibodi
antitiroid. Kadar thyroid binding globulin(TBG) diperiksa bila ada dugaan defisiensi
TBG yaitu bila dengan pengobatan hormon tiroid tidak ada respon. Pemeriksaan
radiologis yang diperlukan adalah bone age, biasanya didapatkan keterlambatan,
skintigrafi kelenjar tiroid/sidik tiroid (menggunakan technetium-99 atau iodine-123)
dapat dilakukan untuk menentukan penyebab hipotiroid dan membantu dalam konseling
genetik. Ultrasonografi dapat dijadikan alternatif sidik tiroid.1
5
Gambar 5. Alogaritma diagnosis hipotiroid kongenital11
Bayi baru lahir yang menderita hipotiroid kongenital umumnya tidak memperlihatkan
gejala. Kalaupun ada gejalanya tidak spesifik, sehingga bila keaadan ini tidak terdeteksi
dan diobati, maka bayi akan mengalami kecacatan yaitu gangguan pertumbuhan fisik
secara keseluruhan dan keterlambatan perkembangan mental. Untuk sangat diperlukan
dilakukan skrining hipotiroid kongenital pada bayi baru lahir sebelum timbulnya gejala
klinis.12 Di Indonesia skrining hipotiroid kongenital saat ini belum menjadi program
nasional. Dari telaah rekam medis di klini endokrin anak RSCM menunjukan bahwa
53,3% penderita didiagnosis pada usia 1-5 tahun. Hanya 2,3% yang bisa dikenali
sebelum usia 3 bulan. 10 Skrining hipotiroid dilakukan dengan memeriksa kadar TSH dan
FT4.
Nilai cut of point yang digunakan adalah 20 μIU/mL (WHO) untuk dugaan (presumptive
berikut :12
Penelitian pada tahun 2002 di California didapatkan bahwa bayi hipotiroid kongenital
yang mendapatkan L tiroksin dosis awal 50 μg/hari(12-17 μg/kgBB/hari ) menaikan
serum T4 dan FT4 mencapai rentang target dalam 3 hari dan normal dalam 2 minggu.14
(level of evidence 2) Penelitian yang dilakukan La Franchi pada tahun 2005, didapatkan
bahwa bayi yang diterapi dengan dosis awal L tiroksin yang lebih tinggi yaitu 50 μg
mempunyai skor IQ 11 point lebih tinggi dibandingkan yang dosis awal dimulai dari 37,5
μg.15 (level of evidence 3)
7
Tabel 8. Dosis L-tiroksin pada hipotiroid kongenital1
Setelah pemberian terapi pengganti hormon diperlukan pemantauan kadar TSH dan FT4
dengan jadwal sebagai berikut :12
8
dikaitkan dengan defisit yang sesuai usia dalam beradaptasi dan kemampuan belajar.(14)
Keterlambatan yang signifikan didefinisikan sebagai adanya 2 standar deviasi atau lebih
di bawah mean usia yang sesuai pada uji standar rujukan.
Istilah developmental delay biasanya digunakan pada anak-anak yang lebih kecil
(<5 tahun), sedang istilah retardasi mental biasanya digunakan pada anak-anak yang
lebih besar setelah menjalani tes IQ. Istilah developmental delay merupakan istilah
deskriptif yang digunakan untuk anak-anak yang memiliki kesulitan dalam masa kanak-
kanak awalnya di mana penyebabnya belum dapat ditegakkan. Istilah ini tidak
mengimplikasikan adanya penyebab organik atau sindrom tertentu, dan istilah ini tidak
ada dalam ICD-10.(15)
Mencari kelebihan dan kelemahan dalam perkembangan anak merupakan
langkah awal dalam mencari penyebab keterlambatan perkembangan, sehingga dapat
diketahui rekomendasi tata laksana yang tepat. (level of evidence 4).(16)
Epidemiologi
Para peneliti Centers for Disease Control and Prevention (CDC) bersama dengan
para peneliti Health Resources and Services Administration (HRSA) mempublikasikan
prevalensi DD pada anak-anak di Amerika Serikat dari tahun 1997-2008. Prevalensi DD
12-16 %. Selain itu data penelitian ini menunjukkan bahwa angka prevalensi pada laki-
laki dua kali lipat lebih besar pada perempuan.(17)
Angka kejadian keterlambatan perkembangan secara umum sekitar 10% anak-
anak di seluruh dunia. Sedangkan angka kejadian GDD diperkirakan 1%-3% anak-anak
berumur <5 tahun.(18)
Etiologi
Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh kondisi musculoskeletal dan
neurologisnya. Kondisi pada saat perinatal juga sangat mempengaruhi perkembangan
anak. Faktor sosial ekonomi keluarga juga berpengaruh dalam tumbuh kembang anak.
Orang tua yang berpendidikan rendah cenderung kurang memberikan stimulasi yang
penting untuk perkembangan anak. Anak yang kurang diberikan stimulasi dapat
mengalami keterlambatan perkembangan.
Tabel 3. Penyebab Global Developmental delay (14, 15, 17)
Kategori Keterangan
9
Genetik atau sindrom - sindrom yang mudah diidentifikasi misalnya sindrom Down
20% di antaranya tanpa - penyebab genetik - fragile X, sindrom velo-cardio-facial (delesi
tanda-tanda neurologis, 22q), Angelman, Soto’s, Rett’s, fenilketouria
gambaran dismorfik, atau maternal,mukopolisakaridosis, Duchenne Muscular Distrophy,
riwayat keluarga. Tuberous sclerosis, neurofibromatosis tipe 1, dan delesi
subtelomerik.
Metabolik - Fenilketouria (PKU), Medium-chain acyl Co-A
1% di antaranya tanpa tanda Dehydrogenase Deficiency (MCAD)
neurologik, gambaran - Gangguan siklus urea
dismorfik, atau riwayat
keluarga
Endokrin Hipotiroidisme
Traumatik Cedera otak yang didapat
Lingkungan Anak-anak membutuhkan kebutuhan dasar untuk makanan,
pakaian, kehangatan, kasih sayang, dan stimulasi untuk dapat
berkembang secara normal. Anak-anak yang tidak mendapat
perhatian, mengalami kekerasan, merasa ketakutan, kurang
stimulasi tidak menunjukkan perkembangan yang normal.
Malformasi serebral Neuronal Migration Disorder
Cerebral palsy dan Menyebabkan kesulitan motorik yang dapat mengganggu
ganggauan kordinasi perkembangan.
(dispraksia)
Infeksi - Prenatal: Rubella, CMV, HIV
- Neonatal meningitis
Toksin -Fetal: alkohol atau obat yang dikonsumsi ibu selama kehamilan
- Masa kanak-kanak: keracunan
10
Klasifikasi
Pembagian DD menurut waktunya : (20)
1. DD transien
Contohnya pada bayi prematur yang mengalami keterlambatan dalam duduk,
merangkak, dan berjalan tetapi lambat laun akan mencapai perkembangan yang normal.
Penyebab lain dapat berhubungan dengan penyakit fisik dan rawat inap dalam jangka
waktu yang lama, imaturitas, stress keluarga, atau kurangnya kesempatan belajar.
2. DD persisten
Bila keterlambatan perkembangan menetap biasanya berhubungan dengan 1 atau
lebih masalah berikut: pengertian dan belajar, pergerakan, komunikasi, pendengaran, dan
penglihatan.
Pembagian tipe DD :
1. Global developmental delay
2. Mixed developmental delay
3. Pervasive developmental disorder
4. Non-specific developmental disorder
Anak-anak dengan gambaran defisit kualitatif dalam keterampilan sosial, komunikasi,
dan pola tingkah laku yang repetitif/ restriktif dimasukkan dalam kelompok DD pervasif,
dan anak-anak dengan disfungsi visual, pendengaran, atau sensori integrasi K(SI)
dimasukkan dalam kelompok DD non-spesifik. Disfungsi SI merupakan hasil dari
gangguan proses integrasi sistem multisensori subkortikal. (20)
Pembagian DD menurut jumlah domain yang mengalami keterlambatan(15) :
1. Global developmental delay: keterlambatan pada dua atau lebih domain (sering terjadi
keterlambatan pada semua domain)
2. Specific developmental delay : keterlambatan pada satu domain, misal motorik atau
bicara dan bahasa
Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
cermat serta pemeriksaan penunjang lainnya.
Anamnesis
11
Evaluasi anak dengan GDD dimulai dengan anamnesis mendetail dan cermat
mengenai(21): riwayat keluarga, dan riwayat pre natal, natal, dan post natal. Ditanyakan
apakah selama kehamilan terdapat perdarahan per vaginam, diabetes gestasional, infeksi,
konsumsi obat-obatan, tembakau, alkohol. Ditanyakan pula tentang waktu lahir
(prematur/ cukup bulan), spontan atau diinduksi, durasi, presentasi dan alat yang dipakai
untuk membantu proses kelahiran, serta penyulit proses kelahiran seperti mekoneum
staining, atau kelainan denyut jantung fetal. Alasan section caesarea merupakan hal yang
penting. Berat lahir, skor Apgar (terutama di atas 5 menit) dan durasi rawat inap post
natal merupakan parameter obyektif yang penting. Kejadian neonatal juga perlu
ditelusuri adakah kejang, ensefalopati, kesulitan pemberian makanan.
Riwayat tumbuh kembang anak: ditanyakan perkembangan anak berdasarkan
milestones motorik kunci dan bahasa.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum, meliputi: antropometri, wajah dismorfik, stigmata
kelainan neurokutaneus seperti macula hipomelanotik café au lait spot. Palpasi abdomen
untuk mendeteksi pembesaran hepar dan lien berkaitan dengan gangguan penyimpanan.
Tulang belakang untuk mendeteksi defek atau abnormalitas overlying kutaneus yang
mengarah pada myelodisplasia.
Pemeriksaan neurologis, meliputi: lingkar kepala oksipitofrontal kemudian
diplotkan pada persentil menurut usia. Dikatakan mikrosefal bila <2 % dan makrosefal
bila > 98%. Bila terdapat mikrosefal maupun makrosefal, lingkar kepala orang tua juga
diukur dan diplot. Nistagmus, paresis facial, drooling berlebihan, disfagia, disartria,
lapangan pandang, reflek pupil, dan funduskopi.
Motorik: asimetri, lateralisasi, kekuatan, tonus, reflek fisiologis, kualitas gerak
ekstremitas (diskinesia: distonia, atetosis, chorea, tremor, dismetria). Gait juga harus
dinilai bila anak sudah berjalan dan dicatat rinci bila abnormal. Bangkit dari posisi
jongkok atau telentang di lantai (Gower’s sign) merupakan tes yang baik untuk menilai
kelemahan proksimal. Berlari menurun jarak jauh, naik turun tangga, berdiri dengan satu
kaki dan meloncat, meniru gerak tubuh sederhana, menangkap, melempar, menendang
bola merupakan penilaian yang baik untuk deksteritas.
Pemeriksaan Penunjang
Tes logam: dilakukan pada anak yang terpapar berlebihan dengan logam
Tes untuk hormon tiroid: bila skrining neonatal belum dilakukan, terdapat gambaran
hipotiroid
12
Skrining metabolik: bila belum pernah skrining newborn atau pemeriksaan fisik
mengarah pada kelainan metabolik. Temuan ini meliputi kosanguitas orang tua,
riwayat keguguran, riwayat dekompensasi episodik, regresi developmental
Karyotyping resolusi tinggi direkomendasikan rutin bila tidak terdapat gambaran
dismorfik, seperti fragile X mental retardation (FMR-1) molecular genotyping.
Fluoresensi ini situ hibridisasi (FISH) diberikan pada keterlambatan yang tidak dapat
dijelaskan atau diagnosa sindrom spesifik dicurigai.
Ensefalogram (EEG) tidak berguna untuk diagnostik dalam hal ini, dan ditawarkan
bila mengarah pada kejang atau sindrom epilepsy
Neuroimaging rutin direkomendasikan: MRI dan CT-scan
Semua anak dengan global developmental delay harus dinilai pendengaran dan
penglihatannya.
c. Terapi wicara
15
Penatalaksanaan pada anak dengan keterlambatan bicara dan bahasa umumnya
difokuskan stimulasi bahasa secara umum sesuai penyebab keterlambatannya.
Contohnya adalah pada anak dengan keterlambatan bahasa ekspresif, tujuan umumnya
adalah agar anak dapat menggunakan bahasa sesuai dengan kebutuhannya
berkomunikasi dan sesuai dengan apa yang ia jumpai sehari-hari. Hal ini dilakukan
dengan meningkatkan perbendaharaan kata ekspresif, meningkatkan ucapan-ucapan,
bertanya dan menjawab pertanyaan, dan meningkatkan pemahaman pembicaraan. (23)
Prosedur Terapi
1. Usia 0-2 tahun
- Tujuan : mengembangkan kemampuan dasar periode perkembangan dini, periode
meningkatkan kemampuan kognitif, sosial dan komunikasi. Intervensi dini adalah
penting sebagai usaha prevensi. Terutama ditekankan keterlibatan keluarga dan edukasi.
- Aktivitas yang dilakukan mencari sumber suara (ouditory-visual association), berbagi
fokus terhadap 1 benda, hubungan antara orang dewasa dan bayi, bermain bersama :
ciluk-ba, membaca buku cerita, vokalisasi, intensi komunikatif, bermain simbolik dan
non simbolik, meningkatkan kosakata
Pada pasien ini, pada pemeriksaan didapatkan keterlambatan di keempat sektor
yaitu sektor motorik kasar, motorik halus, personal sosial, dan bahasa. Keterlambatan
tersebut diperberat oleh kondisi cerebral palsy dan hipotiroid. Saat ini anak telah
menjalani fisioterapi, terapi wicara, dan okupasi terapi. Sudah tampak perkembangan
pada anak walaupun belum didapatkan hasil sesuai dengan usia.
CEREBRAL PALSY
Cerebral palsy (CP) adalah sekumpulan gejala dengan karakteristik kelainan
gerak dan postur yang disebabkan oleh lesi yang tidak progresif pada otak yang belum
matang (imatur).25 Karakteristik yang khas dari sindrom ini adalah adanya perubahan
pada tonus otot dan postur, baik pada saat istirahat maupun dengan aktivitas volunter.
Untuk menentukan penyebab CP harus digali mengenai hal seperti: bentuk CP, riwayat
kesehatan ibu dan anak, dan onset penyakit.25
Cerebral Palsy tidak dapat disembuhkan, terapi yang dilakukan ditujukan untuk
memperbaiki kapabilitas anak dan mengusahakan penderita dapat hidup mendekati
kehidupan normal dengan mengelola masalah neurologis yang ada seoptimal mungkin.26
Definisi
Cerebral Palsy (CP) adalah terminologi untuk mendeskripsikan kelompok
penyakit kronik yang mengenai pusat pengendalian pergerakan dengan manifestasi klinis
yang tampak pada beberapa tahun pertama kehidupan dan secara umum tidak akan
bertambah memburuk pada usia selanjutnya. Istilah cerebral ditujukan pada kedua
belahan otak atau hemisfer, dan palsy mendeskripsikan bermacam penyakit yang
mengenai pusat pengendalian pergerakan tubuh. Jadi, penyakit tersebut tidak disebabkan
oleh masalah pada otot atau jaringan saraf tepi, melainkan terjadi perkembangan yang
salah atau kerusakan pada area motorik otak yang akan mengganggu kemampuan otak
untuk mengontrol pergerakan dan postur secara adekuat.25,26
Etiologi
17
Etiologi dari cerebral palsy meliputi seluruh penyebab yang dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan otak pada saat prenatal, perinatal dan postnatal pada awal
kehidupan.26
Faktor resiko prenatal meliputi: perdarahan intrakranial, komplikasi plasenta,
toksin diantaranya iodine merkuri; agen teratogenik, malformasi kongenital, infeksi
intrauterin: TORCH, herpes; faktor dari ibu: retardasi mental, kejang, hipertiroid; faktor
sosioekonomi, insufisiensi reproduktif, hipoxic- ischemic injury prenatal: kehamilan
multipel, perdarahan maternal, ibu menggunakan obat, idiopatik ( paling sering ).
Sedangkan perinatal meliputi, pada prematur: gestasi <32 minggu, BBL <2500
gram, pada aterm: plasenta previa, abrupsio plasenta, aspirasi mekonium;
hiperbilirubinemia, persalinan sulit/ traumatik, infeksi, kejang, bradikardi dan hipoksia,
perdarahan intrakranial.
Sedangkan postnatal meliputi; trauma, toksin, sindroma stroke seperti anemia
sickle cell, ruptur AVM, penyakit jantung kongenital; infeksi, penyakit neoplastik,
anoksia, perdarahan intrakranial
Prognosis
Bleck, tahun 1975, mengembangkan skor khusus. Menetapnya 5 refleks
primitive dan tidak adanya reaksi postural / protektif masing-masing memberikan skor
1, sehingga ada 7 skor. Penelitiannya menunjukkan bahwa 46 anak dengan skor
19
kumulatif 0,46 terbukti bisa berjalan dan dari 16 anak dengan skor lebih dari hanya 1
yang bisa berjalan.
Prognosis Kemandirian Berjalan Menurut Bleck (1975) 27
1. Asymetric tonic neck reflex
2. Symetric tonic neck reflex
3. Moro reflex
4. Neck-righting reflex
5. Extensor thrust
6. Foot Placement reactions
7. Parachute reaction
Cat :
1. Pemeriksaan dilakukan saat usia 1 tahun
2. Berikan 1 point untuk masing-masing no. 1-5, jika (+), dan no. 6-7 jika (-)
3. 0=prognosis baik, 1=prognosis meragukan, 2=prognosis buruk
Manajemen Terapi
Pengetahuan pola tumbuh kembang anak sangatlah penting sebagai antisipasi dan
pengelolaan anak dengan disabilitas. Pertanyaan adanya proses neuroplasticity pada usia
muda masih jadi perdebatan. Data dari beberapa literatur menunjukkan adanya pendapat
yang mendukung atau menolak konsep tersebut, tetapi dalam pengelolaan secara klinis
yang telah diterima secara luas, bahwa : pendekatan terapi yang dilakukan lebih awal
dan usia lebih muda, tampaknya memberikan hasil yang lebih baik.28 Berbagai penelitian
membuktikan bahwa regenerasi pada susunan saraf pusat dengan adanya plastisitas otak
memberikan harapan baru dalam bidang rehabilitasi.29
Manajemen terapi pada anak CP melibatkan usaha tim yang terkoordinir dan
multidisipliner yang meliputi orang tua, fisioterapis, terapis okupasi, terapis wicara,
psikolog, guru, pekerja sosial, konsultan vokasional, dokter keluarga, ahli kesehatan
anak, ahli rehabilitasi medik, ahli bedah ortopedi, ahli mata, ahli THT, ahli saraf, dokter
gigi, dsb.25
Selain itu juga bisa diberikan terapi medikamentosa berupa pemberian obat anti
spastisitas (Diazepam, Baclofen, Dantrolene) dan jika kejang bisa diberikan anti
konvulsan.25
Manajemen terapi anak CP baik untuk physiatrist, ahli ortopedi atau ahli tumbuh
kembang anak, menekankan pendekatan tujuan fungsional atau orientasi tujuan. Dua
20
tujuan utama rehabilitasi menurut Molnar, adalah untuk menurunkan komplikasi CP dan
untuk memperbaiki perolehan keterampilan-keterampilan baru. Serta, memasukkan
pendidikan orang tua dan pengasuh, mengurangi deformitas skeletal dan memperbaiki
mobilitas.25,30
Fisioterapi merupakan bagian penting dari program terapi untuk cerebral palsy.
Latihan sangat diperlukan pada anak-anak CP. Intervensi latihan ditujukan untuk
disabilitas dan peningkatan kemampuan fungsi tubuh. Bentuk latihan sangat bervariasi
terdiri dari latihan peregangan untuk spastisitas, latihan lingkup gerak sendi untuk
mencegah kontraktur, hingga latihan untuk motorik kasar, latihan mobilisasi dan latihan
untuk meningkatkan kebugaran kardiovaskular. Latihan aktivitas motorik fungsional
sesuai tahap perkembangan juga dapat diberikan dengan dikombinasi teknik fasilitasi.31
Okupasi terapi umumnya menggunakan permainan untuk melatih anak. Teknik
OT juga individual dan berusaha untuk meningkatkan fungsi, tetapi fokus pada
memaksimalkan kemampuan seorang anak untuk mencapai kegiatan sehari-hari hidup,
pendidikan, dan atau bekerja. OT sangat bermanfaat dalam memaksimalkan fungsi
tangan yang tersedia.31
Terapi wicara juga bermanfaat untuk anak CP. Adapun tujuan utama dari terapi
wicara ialah memberikan kemampuan kepada seseorang agar dapat mengadakan
interaksi dengan lingkungannya secara wajar sehingga tidak menimbulkan gangguan di
dalam aspek psikososialnya. Sedangkan tujuan khususnya adalah adalah melatih anak
cerebral palsy untuk berbahasa pasif dan aktif, sehingga akan terjadi pola perkembangan
bahasa yang normal; mempersiapkan anak cerebral palsy di dalam aspek anatomis,
fisiologis, psikologis dan sosiologis sehingga anak cerebral palsy berada dalam fase siap
untuk belajar berbicara; melatih anak cerebral palsy agar mampu mengucapkan bunyi-
bunyi bahasa dengan benar juga termasuk kemampuan di dalam respirasi fonasi dan
resonansi artikulasi.31
DAFTAR PUSTAKA
14. Moeschler JB, Shevell M. Comprehensive Evaluation of the Child With Intellectual
Disability or Global Developmental Delays. Pediatric med. 2014;134:903-18.
15. Walters AV. Developmental Delay - Causes and Investigation. 2013 Available
from: http://www.acnr.co.uk/may_june_2010/ACNRMJ10_Developmental.pdf.
16. Downey D, Mraz R, Knott J, Knutson C, Holte L, Dyke DV. Diagnosis and
evaluation of children who are not talking. Inf Young Children. 2002;15(2):38-48.
22
17. Mackrides P. Screening for Developmental Delay. Am Fam Physician.
2011;84(5):544-9.
18. Suwarba IGN. Profil klinis dan etiologi pasien keterlambatan perkembangan global
di RSCM, Jakarta. Sari Pediatri. 2008;10(4).
19. Koul R, Alyahmedi M, Alfutaisi A. Evaluation of Children with Global
Developmental Delay: A Prospective Study at Sultan Qaboos University Hospital,
Oman. Oman Medical Journal. 2012;27(4):310-3.
20. Chen IC, Chen CL, Wong MK, Chung CY, Chen CH, Sun CH. Clinical Analysis of
1048 Children with Developmental Delay. Chang Gung Med J. 2002;25:743-50.
21. Meschino WS. The child with developmental delay: an approach to etiology.
Paediatr Child Health. 2003;8(1):16-9.
22. Wilson P, Apkon SD. Examination of the Pediatric Patient. In: Braddom LR, editor.
Physical Medicine & Rehabilitation. 4th ed. Philadelpia: Elsevier Saunders; 2011.
p. 48-9.
23. Molnar GE, Sobus KM. Growth and developmental in pediatris rehabilitation. In:
Molnar GE, Alexander MA, editors. Pediatric Rehabilitation. 3rd ed. Philadelphia:
Hanley & Belfus Inc; 1999. p. 13-27.
24. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. EGC Jakarta. 2002:12-4.
25. Stempien LM, Spira DG. Rehabilitation of children and adults with cerebral palsy.
In : Braddom RL, editor. Physical Medicine & Rehabilitation. 4th ed. Philadelphia;
WB Saunders Company: 2011.p. 1191-1212.
26. Rossi R, Alexander M, Cuccurullo S. Pediatric rehabilitation. In: Cuccurullo S,
editor. Physical medicine and rehabilitation board review. Demos Medical
Publishing, New York. 2010: 645-742.
27. Hurvitz EA. Cerebral palsy. In: O’Young B, Young MA, Stiens SA, eds. PM&R
secrets. Hanley & Belfus Inc., Philadelphia. 2008: 668-75.
28. Diamond M, Armento M. Children with disabilities. In: Delisa J.A et al. Physical
medicine and rehabilitation principles and practice vol 2. 4th edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2010: 1494-1517.
29. Laksmi W. Hubungan neuroplastisitas sentral dan intervensi rehabilitasi medik.
Dalam: Naskah lengkap pertemuan ilmiah tahunan I. Bunga rampai rehabilitasi
medik. Jakarta: PERDOSRI; 2002: 9-12.
30. Matthew DJ, Wilson P. Cerebral palsy. In Molnar GE, Alexander MA, editor.
Pediatric rehabilitation. 3rd ed. Hanley & Belfus Inc., Philadelphia. 1999: 193-209.
23
31. Tulaar A. Panduan Pelayanan Klinis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi. Perdosri,
Jakarta; 2012: 206-8
24