Anda di halaman 1dari 29

DIABETES MELITUS

A. Pendahuluan
Hiperglikemia adalah suatu kondisi medik berupa peningkatan kadar glukosa dalam darah
melebihi batas normal. Hiperglikemia merupakan salah satu tanda khas penyakit diabetes
mellitus (DM), meskipun juga mungkin didapatkan pada beberapa keadaan yang lain.(1)
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kompleks dan progresif yang terapinya secara
bertahap perlu ditingkatkan. Jika tidak dikelola dengan baik DM dapat menyebabkan
terjadinya komplikasi menahun, berupa mikroangiopati dan makroangiopati.(2) Menurut
American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus merupakan suatu kelompok
penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.(3) Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi DM(4)

B. Tujuan
Tujuan dari clinical skills lab ini adalah :
1. Mahasiswa mampu melakukan anamnesis diabetes mellitus dengan baik dan benar
2. Mahasiswa mengetahui dan mampu melakukan tatalaksana pada pasien diabetes
mellitus tanpa komplikasi dengan tepat
3. Mahasiswa mengetahui dan mampu melakukan pemberian insuli pada pasien diabetes
mellitus tanpa komplikasi dengan tepat

C. Alat dan Bahan


1. Buku Penuntun CSL
2. Sediaan Insulin

1
D. Dasar Teori
1. Anamnesis
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti:
a. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Pada anamnesis yang perlu di evaluasi medis lengkap pada pasien meliputi :
a. Riwayat Penyakit
 Usia dan karakteristik saat onset diabetes.
 Pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik, dan riwayat perubahan berat
badan.
 Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda.
 Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk
terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan
DM secara mandiri.
 Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan
perencanaan makan dan program latihan jasmani.
 Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hyperosmolar hiperglikemia,
hipoglikemia).
 Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi,dan traktus urogenital.
 Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada ginjal, mata, jantung
dan pembuluh darah, kaki, saluran pencernaan, dll.
 Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.
obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin
lain).
 Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM.
 Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi.
b. Pemeriksaan Fisik
 Pengukuran tinggi dan berat badan.
 Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi
berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik.

2
 Pemeriksaan funduskopi.
 Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.
 Pemeriksaan jantung.
 Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.
 Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi kelainan vaskular,
neuropati, dan adanya deformitas)
 Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka, hiperpigmentasi,
necrobiosis diabeticorum, kulit kering, dan bekas lokasipenyuntikan insulin).
 Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain.(1)
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara.
a. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200
mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
b. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan,
mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan
untuk diagnosis DM.
c. Dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan
spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki
keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam
praktek sangat jarang dilakukan. Langkah diagnostik DM dapat dilihat pada gambar
1.
Gambar 1. Langkah diagnosis DM(4)

3
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok TGT (Toleransi Gula Terganggu) atau GDPT (Gila
Darah Puasa Terganggu) dari hasil yang diperoleh.
a. TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7.8-11.0
mmol/L) dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl.
b. GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma
puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5.6 – 6.9 mmol/L) dan pemeriksaan
TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl.(1,4)

2. Tatalaksana pada pasien diabetes mellitus tanpa komplikasi


Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi
a. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup,
dan mengurangi risiko komplikasi akut.
b. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
c. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.
Terdapat 4 pilar penatalaksanaan DM yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmasi,
dan interfensi farmakologis. Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa
darah belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani.(1,4)
Terdapat 3 jenis interfensi farmakologis yang dapat diberikan :
a. Obat hipoglikemik oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan:
1. Pemicu Sekresi Insulin ( Insulin Secretagogue)
a. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh
sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan
berat badan sehingga merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat
badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan
berat badan lebih. Hati-hati menggunakan sulfonylurea pada pasien dengan

4
risiko tinggi hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal, dan hati,
kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular).
b. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.
2. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
a. Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis
Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Metformin
tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti: GFR<30 mL/menit/1,73
m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK, gagal
jantung [NYHA FC III-IV]). Efek samping yang mungkin berupa gangguan
saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia. Untuk mengurangi keluhan
tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan
b. Tiazolidindion (TZD).
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma) suatu reseptor int yang terdapat antara lain
di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut dijaringan
perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV) karena
dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati,
dan bila diberikan perlu pemantauan fungsi hati secara berkala.
3. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan:
Penghambat Alfa Glukosidase.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan: gangguan fungsi

5
ginjal, gangguan fungsi hati yang berat, irritable bowel syndrome. Efek samping
yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga
sering menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping pada awalnya
diberikan dengan dosis kecil
4. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi
dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan
menekan sekresi glucagon bergantung kadar glukosa darah (glucose
dependent).
5. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis
baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal
dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2.
Tabel 3.

Cara pemberian OHO, terdiri dari:


 OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir
maksimal

6
 Sulfonilurea generasi I & II : 15 –30 menit sebelum makan
 Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan
 Repaglinid, Nateglinid : sesaat/ sebelum makan
 Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
 Penghambat glukosidase α (Acarbose) : bersama makan suapan pertama
 Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.

b. Anti hiperglikemia suntik


Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi
insulin dan agonis GLP-1. Insulin telah digunakan sejak tahun 1922, lama sebelum
obat anti hiperglikemik oral ditemukan. Tujuan terapi insulin adalah menirukan pola
sekresi insulin endogen pada individu normal . Oleh sebab itu setiap dokter harus
memahami farmakokinetik dan farmakodinamik sediaan insulin, agar dalam praktek
sehari-hari dapat menggunakan insulin dengan tepat tanpa efek samping.
Pada individu normal, insulin disekresikan oleh sel beta pada kondisi basal (puasa)
untuk mengendalikan glukosa darah basal. Insulin juga disekresikan pada saat
makan untuk mengendalikan glukosa darah sesudah makan. Pada penyandang
diabetes kekurangan insulin basal menyebabkan hiperglikemi basal, kekurangan
insulin post-prandial menyebabkan hiperglikemia post- prandial. Pada penyandang
diabetes substitusi insulin basal bertujuan untuk mengendalikan kadar glukosa
darah basal, substitusi insulin prandial bertujuan untuk mengendalikan kadar
glukosa darah post prandial. Pemahaman ini disebut sebagai konsep basal dan
prandial . Sediaan insulin yang tersedia mengikuti konsep basal dan prandial.
Penggunaan jenis insulin basal dan atau prandial disesuaikan dengan kondisi klinis
setiap individu, di antaranya respons terhadap insulin, jumlah makanan, jenis
aktivitas sehari-hari, stres (fisik, psikis), dan kemampuan ekskresi.

1. Indikasi Pemakaian Insulin


Indikasi Penggunaan Insulin pada pasien rawat jalan adalah :
 Indikasi Mutlak : DM Tipe I
 Indikasi Relatif :
a. Gagal mencapai target dengan penggunaan kombinasi anti hiperglikemia
oral (AHO) dosis optimal (3-6 bulan)
b. DMT2 rawat jalan dengan:

7
 Kehamilan
 Dekompensasi metabolik, yang ditandai antara lain dengan: gejala klasik
diabetes dan penurunan berat badan, glukosa darah puasa (GDP) > 250
mg/dL, glukosa darah sewaktu > 300 mg/dL, HbA1c > 9%, dan sudah
mendapatkan terapi AHO sebelumnya
 Terapi steroid dosis tinggi yang menyebabkan glukosa darah tidak
terkendali
 Perencanaan operasi yang kadar glukosa darahnya perlu segera
diturunkan (lihat Bab V. Terapi insulin pada perioperatif)
 Beberapa kondisi tertentu yang dapat memerlukan pemakaian insulin,
seperti infeksi (tuberkulosis) , penyakit hati kronik, dan gangguan fungsi
ginjal.

Indikasi Penggunaan Insulin pada pasien rawat inap adalah :


Dilihat dari derajat keparahan penyakit, target glukosa darah, dan pemantauannya,
terapi insulin pada pasien diabetes yang menjalani rawat inap dibagi menjadi 2
bagian besar:
 Pasien DM dengan penyakit kritis. yaitu pasien DM yang mengalami penyakit
berat dan mengancam keselamatan pasien dalam waktu 24 jam yaitu kritis
dengan kegawatdaruratan diabetes (kriris hiperglikemia), dan kritis dengan
kegawatdaruratan non diabetes
 Pasien DM dengan penyakit non kritis yaitu pasien DM yang tidak mengalami
penyakit berat dan dirawat di perawatan non-intensif, tetapi memerlukan
regulasi glukosa darah yang optimal dan cepat, antara lain tidak terkontrol
dengan OHO, pemakaian kortikosteroid, persiapan operasi, diabetes
gestasional, keadaan khusus yang menyebabkan gangguan metabolism insulin.

Efek samping terapi insulin


 Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia
 Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insuli

8
2. Jenis Insulin
Saat ini di Indonesia tersedia berbagai jenis insulin dan dapat dikelompokkan
berdasarkan:
a. Asal : Insulin manusia dan Insulin analog
b. Lama kerja (pemberian subkutan) :
 Insulin kerja cepat (Rapid-acting Insulin)
 Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
 Insulin kerja menengah (Intermediate acting insulin)
 Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
 Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)
 Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerjacepat
dengan menengah (Premixed insulin)
Insulin kerja pendek/cepat (insulin terkait dengan makan): lama kerjanya 4-8 jam,
digunakan untuk mengendalikan glukosa darah sesudah makan, dan diberikan
sesaat sebelum makan. Contoh: insulin manusia regular kerja pendek (diberikan 30-
45 menit sebelum makan dengan lama kerja 6-8 jam), insulin analog kerja cepat
(diberikan 5-15 menit sebelum makan dengan lama kerja 4-6 jam).
Insulin kerja menengah: lama kerja 8-12 jam, diabsorpsi lebih lambat, dan
menirukan pola sekresi insulin endogen (insulin puasa). Digunakan untuk
mengendalikan glukosa darah basal (saat tidak makan/puasa ). Contoh: insulin
manusia NPH.
Insulin kerja panjang: lama kerja 12-24 jam, diabsorpsi lebih lambat,
mengendalikan glukosa darah basal. Digunakan 1 kali (malam hari sebelum tidur)
atau 2 kali (pagi dan malam hari). Contoh: insulin analog kerja panjang.

9
Tabel 3. Jenis insulin berdasarkan waktu kerja

10
3. Cara menghitung dosis insulin
DM Tipe 1

Kebutuhan insulin total perhari = 0,5 x BB


Insulin basal 40% --> diberikan jam 10 malam, sebelum tidur
Insulin prandial 60% --> sebelum pasien makan pagi siang malam (dibagi 3)

Contoh:

Perempuan 60kg

Kebutuhan insulin total = 0,5 x 60 = 30 unit

Pemberian dibagi:

40
- Insulin basal 40% = x 30 = 12 unit
100
60
- Insulin prandial 60% = x 30 = 18 unit
100

Dibagi 3 pagi 6 unit, siang 6 unit, malam 6 unit

11
DM Tipe 2
Memulai terapi insulin dapat diawali dengan insulin kerja menengah (NPH) atau
insulin analog kerja panjang, 1 kali/hari. Umumnya cara penambahan pemberian
insulin malam hari, dengan tetap melanjutkan AHO (bedtime insulin, daytime
hypoglycemic oral), cukup mudah diterima penyandang diabetes. Pemilihan terapi
insulin kerja panjang sebaiknya mempertimbangkan beberapa hal, antara lain risiko
hipoglikemia dan biaya.
Terapi insulin basal dapat dimulai dengan menggunakan insulin manusia (human
insulin/NPH) atau pun insulin analog. Insulin manusia dan insulin analog memiliki
efikasi yang sama dalam hal pencapaian kendali glukosa darah, tetapi insulin
analog memiliki fleksibilitas yang lebih baik. Dibandingkan dengan insulin analog,
dari segi biaya, NPH lebih ekonomis. Insulin NPH memiliki kadar puncak yang lebih
lama dibandingkan dengan insulin analog, sehingga kadang-kadang menyebabkan
hipoglikemia nokturnal. Tetapi jika dimulai dengan dosis rendah dan disertai dengan
kehati-hatian dalam menitrasi dosis, maka pemakaian insulin NPH tergolong aman.
Bila pada titrasi dosis terjadi hipoglikemia (nokturnal), pertimbangkan untuk beralih
ke insulin analog kerja panjang.
Dalam pemakaian insulin hendaknya diperhatikan aspek biaya,
aksestabilitas/ketersediaan obat, dan cara pemberian. Sangat disarankan untuk
tidak mengganti jenis dan nama insulin dalam 1 sekuens perawatan karena dapat
meningkatkan risiko terjadinya kesalahan.
Sebagai regimen awal dapat digunakan insulin basal dengan dosis 0,1-0,2 unit/kg
BB, yang waktu pemberiannya disesuaikan dengan rutinitas pasien dan jenis insulin
yang digunakan. Peningkatan dosis dapat dilakukan sesuai dengan tabel 5.
Tabel 5.Penyesuaian Insulin basal

12
Gambar 3. Strategi urutan terapi insulin pada DM tipe 2

13
4. Cara penyuntikan insulin
Cara pemberian insulin yang umum dilakukan adalah dengan semprit insulin (1
mL dengan skala 100 unit per mL) dan jarum, pen insulin, atau pompa insulin
(continuous subcutaneous insulin infusion/CSII). Beberapa tahun yang lalu yang
paling banyak digunakan adalah semprit dengan jarum, tetapi saat ini banyak
penyandang yang merasa lebih nyaman menggunakan pen insulin. Pen insulin
lebih sederhana dan mudah digunakan, jarumnya juga lebih kecil sehingga lebih
nyaman pada saat diinjeksikan, pengaturan dosisnya lebih akurat, dan dapat
dibawa ke mana-mana dengan mudah. Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan
maupun cara penyimpanan insulin harus dilakukan dengan benar, demikian pula
mengenai rotasi tempat suntik.

c. Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam
penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak dini. Pemberian
obat antihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa
darah. Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun
fixed dose combination, harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme
kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah
belum tercapai dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua
obat antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alas an
klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dapat diberikan
kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral.
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan pemberian
insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang). Insulin kerja
menengah harus diberikan jam 10 malam menjelang tidur, sedangkan insulin kerja
panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur. Pendekatan terapi
tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan
dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi adalah 6-
10 unit. Kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar glukosa darahpuasa
keesokan harinya. Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2unit)
apabila kadar glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada keadaaan dimana

14
kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah
mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan
prandial, sedangkan pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikandenganhati-
hati.

Gambar 4. Algoritma Pengelolaan DM Tipe 2

15
E. Daftar Tilik
1. Anamnesis Diabetes Melitus

No. Prosedur 0 1 2
1. Membina sambung rasa hubungan dokter-pasien
a. Menyapa/memberi salam
b. Melakukan jabat tangan
c. Mempersilahkan duduk
2. Anamnesis umum
Data pribadi: nama, umur, alamat, pekerjaan, status keluarga
3. Anamnesis terpimpin
a. Menanyakan apa yang menyebabkan pasien datang ke dokter
(keluhan utama)
b. Menggali keluhan utama
c. Gejala lain yang menyertai keluhan utama
 Sering kencing : kapan dirasakan, sudah berapa lama, kapan
kondisi ini terutama terjadi,
 disertai nyeri atau tidak
 Cepat lelah : sejak kapan, disertai perasaan cepat mengantuk
 Sering haus : kapan dirasakan, berapa lama
 Keluhan lain yang berhubungan dengan keluhan utama : nafsu
makan bertambah walaupun berat badan makin menurun,
 Keluhan yang berhubungan dengan komplikasi akibat DMt2
seperti : Keram pada telapak kaki maupun tangan, gatal badan
terutama daerah lipatan, mata kabur, impotensi, nyeri dada,
nyeri pada ekstremitas bila pasien beraktivitas
d. Riwayat keluhan yang sama sebelumnya dan penyakit lain yang
pernah diderita (hipertensi, penyakit jantung, kolesterol intggi,
asam urat tinggi, dll). Jika ada tanyakan kapan, di mana
terdiagnosis dan oleh siapa, bagaimana pengobatannya.
e. Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga
f. Riwayat kebiasaan (makan, minum, rokok,dsb) dan frekuensi
kebiasaan
g. Riwayat berobat dan respon pengobatan
4. Melakukan cross-check
5. Memberikan pertanyaan terbuka dan sikap mendengar
6. Membuat ringkasan (resume) hasil anamnesis
7. Menjelaskan diagnosis kerja kepada pasien
8. Memberi arahan dan nasehat kepada pasien sesuai penyakit pasien
9. Memberi kesempatan kepada pasien untuk bertanya atau
mengungkapkan apa yang belum jelas bagi pasien perihal penyakitnya
10. Mengakhiri anamnesis
JUMLAH

JUMLAH TOTAL
OVERALL TL B L

16
F. Daftar Pustaka
1. Soelistijo S.A, Novida H, Rudijanto A. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan
Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia 2015. Jakarta : Pengurus Besar Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia (PB PERKENI);2015.
2. Soelistijo S.A, Novida H, Rudijanto A. Konsensus Penggunaan Insulin. Jakarta :
Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PB PERKENI);2015.
3. Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Jakarta: PB Perhimpunan
Dokter Penyakit Dalam Indonesia; 2006.
4. Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia. Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada
Pasien Diabetes Melitus. Jakarta: PB Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia;
2006.

17
PEMERIKSAAN KELENJAR TIROID :
HIPERTIORID DAN HIPOTIROID
HIPERTIROID
A. Pendahuluan
Penyakit hipertiroid merupakan salah satu bentuk tirodotoksikosis yang disebabkan oleh
karena peningkatan sintesis dan sekresi hormone tiroid oleh kelenjar tiroid. Istilah ini di
bedakan dengan tirodotoksikosis yang merupakan suatu keadaan klinik akibat kelebihan
hormone tiroid dengan berbagai etiologi.

B. Tujuan
Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisik pada pasien hipertiroid

C. Alat dan Bahan


Buku Penuntun CSL Endokrin

D. Dasar Teori
Perlu dibedakan antara pengertian tirotoksikosis dengan hipertiroidisme. Tirotoksikosis
ialah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar dalam sirkulasi,
hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif.
Apapun sebabnya manifestasi klinisnya sama, karena efek ini disebabkan ikatan T3
dengan reseptor T3 intin yang makin penuh. Rangsangan oleh TSH atau TSH – like
substance ( TSI, TSAb ), autoimun instrinsik kelenjar menyebabkan tiroid meningkat,
terlihat dari radioaktive neck-uptake naik. Sebaiknya pada destruksi kelenjar misalnya
karena radang, inflamasi radiasi akan terjadi kerusakan sel hingga hormon yang tersimpan
dalam folikel keluar dalam darah. Dapat pula karena pasien mengkomsumsi hormon tiroid
berlebihan. Dalam hal ini justru radiactive neck upatake turun. Membedakan ini perlu,
sebab umumnya peristiwa ke dua ini, toksikosis tanpa hipertiroidisme, biasanya self limiting
disease. Penyakit Graves paling sering ditemukan sekitar 60% - 90% dari kasus
tirotoksikosis.
Tidak Semua gejala dan keluhan ditemukan di semua pasien. Keluhan dan gejala berbagai
bentuk penyakit hipertiroidtidak berbeda satu dengan yang lain, hanya berbeda dalam berat
dan ringannya penyakit.

18
Pada hipertiroid dapat ditemukan dua kelompok gambaran utama, yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal yang keduanya dapat juga tidak tampak. Tiroidal dapat berupa goiter karena
hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan.
Gejala hipertiroidisme dapat berupa hipermetabolisme dan aktivitas simpatis yang
meningkat. Pada anamnesis riwayat keluarga dan penyakit turunan, pada hipertiroid perlu
juga mengonfirmasi apakah ada riwayat keluarga yang memiliki penyakit yang sama atau
memiliki penyakit yang berhubungan dengan autoimun
Manifestasi ekstratiroidal dapat ditemukan seperti oftalmopati yang ditemukan pada 50-
80% pasien yang ditandai dengan mata melotot, fissura paplebra melebar, kedipan
berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan
kegagalan konvergensi dan infiltrasi kulit lokal yang terbatas pada tungkai bawah biasanya.
Kelainan pada system kardiovaskular sangat menonjol dan penting artinya dalam
mengelola penyakit hipertiroid. Kelainan tersebut berdasarkan kerja hormone tiroid pada
system tersebut seperti perubahan pada cardiac output, kontraktilitas jantung, tekanan
darah, resistensi vaskuler, dan gangguan ritme. Keluhan dan gejala yang ditemukan yaitu
palpitasi, takkardi (khas pada waktu istirahat), tidak mampu melakukan kegiatan fisik
(exercise intolerance), dyspnea d’effort, tekanan nadi melebar, fibrasi atrial, dan gagal
jantung. Palpitasi dan takikardi serta kadang-kadang aritmia merupakan presentasi awal
penyakit hipertiroid.
Penyakit Graves memiliki gejala-gejala patognomonik sebagai ciri khas atau tanda khusus.
Beberapa gejala patognomonik yang menyertai penyakit Graves, yaitu:
a. Eksoftalmus
Eksoftalmus disebabkan karena limfosit sitotoksik dan antibodi sitotoksik yang
bersintesis dengan antigen serupa seperti TSH reseptor yang ditemukan di orbital
fibroblast, otot orbital, dan jaringan tyroid. Sitokin yang berasal dari limfosit yang disintesis
menyebabkan inflamasi di orbital fibroblast dan otot ekstraokular, dan hasilnya adalah
pembengkakan pada otot orbital.
Pada hipertiroidisme imunogenik, eksoftalmus dapat ditambahkan terjadi akibat
peningkatan hormone tiroid, penonjolan mata dengan diplopia, aliran air mata yang
berlebihan, dan peningkatan fotofobia juga terjadi. Penyebabnya terletak pada reaksi imun
terhadap antigen retrobulbar yang tampaknya sama dengan reseptor TSH. Akibatnya
terjadi pembengkakan otot mata, infiltrasi limfosit, akumulasi asam mukopolisakarida, dan
peningkatan jaringan ikat retrobulbar.

19
Pengamatan eksoftalmus dapat dimilai menggunakan suatu metode yang dinamakan
NO SPECS:
0 = No signs or symptom
1 = Only signs (lid retraction or lag)
2 = Soft tissue involvement (periorbital edema)
3 = Proptosis (>22 mm)
4 = Extraocular muscle involvement (diplopia)
5 = Corneal involvement
6 = Sight loss
Namun, metode NO SPECS tidak bisa menilai mata secara keseluruhan, dan kadang-
kadang kronologi gangguan pada mata pasien tidak berurutan seperti yang tertera di daftar
NO SPECS untuk menilai derajat keparahan yang diderita pasien tersebut. Sehingga
ditakutkan hasilnya jadi kurang valid. Untuk menilai proptosis bisa dilakukan dengan cara
visualisasi antara iris bagian bawah dengan palpebra bagian bawah. Untuk Graves Disease
biasanya iris pasien bisa terlihat di bagian bawah palpebra, padahal normalnya tidak. Untuk
menilai proptosis juga bisa menggunakan alat exopthalmometer
b. Tremor
Berbeda dengan tremor yang biasa tejadi pada penyakit Parkinson, tremor pada
penyakit Graves merupakan tremor lembut, bukan tremor kasar. Tremor halus terjadi
dengan frekuensi 10-15 x/detik, dan dianggap sebagai efek dari bertambahnya kepekaan
sinaps saraf pengatur tonus otot di daerah medulla.
Gejala lain yang mengiringi penyakit Graves dan hipertiroid lainnya, diantaranya:
1) Nafsu makan meningkat, tetapi berat badan turun
Tingginya kadar hormon tiroid menyebabkan terjadinya peningkatan metabolisme pada
tubuh. Sehingga, tubuh memerlukan asupan makanan yang lebih banyak untuk
megimbanginya.
2) Berat badan turun
Peningkatan metabolisme yang terjadi karena banyaknya hormon tiroid membuat tbuh
menggunakan senyawa-senyawa glukagonik yang ada di dalam otot untuk membentuk
glukosa melalui proses glukoneogenesis. Karena diambil dari otot, maka pemakaian
senyawa glukogenik secara terus-menerus dapat mengurangi massa otot sehingga berat
badan pun bisa mengalami penurunan.
3) Berdebar-debar

20
Peningkatan kadar triiodotironin (T3) sebagai salah satu hormon tiroid dapat merangsang
saraf simpatis yang berkaitan dengan hormon-hormon yang dibentuk medulla suprarenal,
yaitu epinephrin dan norepinephrin. Kedua hormon tersebut dapat meningkatkan frekuensi
denyut jantung dengan cara menstimulasi α dan β reseptor, terutama β reseptor yang
berada di membran plasma otot jantung.
4) Peningkatan frekuensi buang air besar dengan konsistensi normal
Hormon tiroid berperan dalam meningkatkan kecepatan sekresi getah pencernaan dan
pergerakan saluran cerna, sehingga hipertiroidisme seringkali menyebabkan diare.

Gambar 1. Keluhan dan Gejala Klinik Hipertiroid

21
E. Daftar Tilik
No. Prosedur 0 1 2
1 Membina sambung rasa hubungan dokter-pasien
a. Menyapa/memberi salam
b. Melakukan jabat tangan
c. Mempersilahkan duduk
2 Melakukan Anamnesis terpimpin
3 Menjelaskan kepada pasien tentang tujuan pemeriksaan dan
meyakinkan bahwa privasinya terjaga
Menjelaskan kepada pasien tentang langkah-langkah pemeriksaan dan
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di tanyakan pasien
4 Menminta persetujuan pasien
5 Mempersiapkan alat dan bahan yang di butuhkan pada pemeriksaan
6 Miminta pasien menuju tempat pemeriksaan
7 Mencuci tangan
Menilai keadaan umum pasien (tampak gelisah, banyak bicara,
berkeringat, kurus, dll)
8 Menimbang berat badan dan tinggi badan pasien (menhitung IMT
untuk menentukan status gizi pasien)
9 Melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital (Pemeriksaan tekanan
darah, nadi, pernapasan, dan pengukuran suhu tubuh).
Mencatat hasil pemeriksaan dan memperhatikan apakah terdapat
tanda vital yang tidak normal
10 Melakukan pemeriksaan mata, menilai adanya
 Eksoftalmus, lid lag, globe lag
 Edema palpebral, kemosis, kelemahan otot mata ekstraokuler
 Pemeriksaan visus, skotoma, papil edema, perdarahan retina, dan
edema (funduskopi)
11 Melakukan pemeriksaan leher, menilai adanya :
 Pembesaran kelenjar tiroid, dengan cara melakukan palpasi
kelenjar tiroid
 Pembesaran kelenjar limfatik, dengan cara melakukan palpasi
kelenjar limfe servikal
 Thrill atau bruit tiroid, dengan cara melakukan auskultasi pada tiroid
12 Melakukan pemeriksaan fisik thorax, terutama menilai adanya :
 Retraksi dinding dada, ictus cordis pada inspeksi
 Bunyi jantung abnormal pada auskultasi jantung
13 Melakukan pemeriksaan fisik abdomen
14 Melakukan pemeriksaan ekstremitas, menilai adanya :
 Tremor halus pada kedua tangan,
 Kelemahan otot
 Peningkatan reflex fisiologis
15 Melakukan pemeriksaan kulit, menilai
 Kulit halus, hangat, dan basah
 Hiperpigmentasi
 Mixedema pretibial,
16 Mencatat hasil pemeriksaan
17 Memberitahukan kepada pasien bahwa pemeriksaan telah selesai, dan
mempersilahkan pasien untuk kembali duduk di kursi.
18 Mencuci tangan
19 Menjelaskan hasil pemeriksaan kepada pasien
20 Memberikan edukasi kepada pasien untuk melakukan pemeriksaan
penunjang yang sesuai jika diperukan.

22
JUMLAH TOTAL
OVERALL TL B L

F. Daftar Pustaka
1. Kelompok Studi Tirodologi Indonesia. Pedoman Pengelolaan Penyakit Hipetiroid.
Jakarta : Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PB PERKENI);2017
2. Gardner, David G, Dolores Shoback. Basic and Clinical Endocrinology. Jakarta: Sagung
Seto; 2007.
3. Silbernagl, Stefan, Florian Lang. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta:EGC;2006.
4. Harrison, Tinsley R. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition. United
States of America: McGraw-Hill Companies. 2005.

23
HIPOTIROID
A. Pendahuluan
Hipotiroidisme merupakan suatu sindroma klinis akibat penurunan produksi dan sekresi
hormon tiroid. Hal tersebut akan mengakibatkan penurunan laju metabolisme tubuh dan
penurunan glukosaminoglikan di interstisial terutama dikulit dan otot. Hipotiroidisme
biasanya disebabkan oleh proses primer dimana jumlah produksi hormon tiroid oleh
kelenjar tiroid tidak mencukupi. Dapat juga sekunder oleh karena gangguan sekresi hormon
tiroid yang berhubungan dengan gangguan sekresi Thyroid Stimulating Hormone (TSH)
yang adekuat dari kelenjar hipofisis atau karena gangguan pelepasan Thyrotropin
Releasing Hormone (TRH) dari hipotalamus (hipotiroid sekunder atau tersier). Manifestasi
klinis pada pasien akan bervariasi, mulai dari asimtomatis sampai keadaan koma dengan
kegagalan multiorgan (koma miksedema).

B. Tujuan
Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisik pada pasien hipotiroid

C. Alat dan Bahan


Buku Penuntun CSL Endokrin

D. Dasar Teori
Hipotiroidisme dapat diklasifikasikan menjadi hipotiroidisme primer, sekunder, tersier, serta
resistensi jaringan tubuh terhadap hormon tiroid. Hipotiroidisme primer terjadi akibat
kegagalan tiroid memproduksi hormon tiroid, sedangkan hipotiroidisme sekunder adalah
akibat defisiensi hormon TSH yang dihasilkan oleh hipofisis. Hipotiroidisme tersier
disebabkan oleh defisiensi TRH yang dihasilkan oleh hipotalamus. Penyebab terbanyak
hipotiroidisme adalah akibat kegagalan produksi hormon tiroid oleh tiroid (hipotiroidisme
primer). Penyebab lebih lengkap hipotiroidisme dapat dilihat pada tabel dibawah ini

24
Tabel 1. Etiologi Hipotiroid

Gejala hipotiroidisme dapat dibedakan menjadi 2 kelompok


1. Yang bersifat umum karena kekurangan hormon tiroid di jaringan
2. Spesifik, dibedakan karena penyakit dasarnya
Keluhan utama yaitu kurang energi, manifestasinya sebgai lesu, lamban bicara mudah lupa
obstipasi. Metabolisme rendah menyebabkan bradikardia tak tahan dingin berat badaan
naik dan anoreksia. Psikologis ; depresi, meskipun kadan nervositas dan agitasi dapat
meningkat, semua tanda di atas akan hilang dengan pengobatan. Ada tambahan keluhan
sepesifik, terutama pada tipe sentral. Pada tumor hipofisis mungkin ada gangguan visus,
sakit kepala, muntah. Sedangkan dari gagalnya fungsi hormon tropiknua, misalnya karena
ACTH kurang, dapat terjadi kegagalan faal korteks adrenal dan sebagainya.
Tabel 1. Keluhan dan tanda klinik oada hipotiroidisme dari satu seri kasus

KELUHAN REL% KELUHAN REL%


Rasa capek 99 Obstipasi 58
Intoleransi terhadap dingin 92 Edema ekstermitas 56
Kulit terasa kering 88 Kesemutan 56
Lamban 88 Rambut rontok 49
Muka seperti bengkak 88 Pendengaran kurang 45
Tambut alis mata lateral rontok 81 Anoreksia 43
Rambut rapuh 76 Nervositas 43
Bicara lamban 74 Kuku mudah patah 41
Berat meningkat 68 Nyeri otot 36

25
Mudah lupa 68 Menorrhagia 33
Dispnea 64 Nyeri sendi 29
Suara serak 64 Angina pectoris 21
Otot lembek 61 Dysmenorhhoea 18
depresi 60 Eksoftalmus 11
TANDA KLINIK REL % TANDA KLINIK REL %
Kulit kering 88 Suara serak 64
Gerak lamban 88 Kulit pucat 63
Edema wajah 88 Otot lembek, kurang kuat 61
Kulit dingin 82 Obesitas 59
Alis lateral rontok 81 Edema perifer 56
Rambut rapuh 76 Eksofltalmos 11
Fase relaksasi refleks achilles 76 Bradikardia ?
menurun Suhu rendah ?
Bicara lamban 7
Lidah tebal

Spektrum gambaran klinik hipotiroidisme sangat lebar, mulai dari keluhan cepat lelah
atau mudah lupa sampai gangguan kesadaran berat (koma miksedema). Dewasa ini
sangat jarang ditemukan kasus-kasus dengan koma miksedema. Gejala yang sering
dikeluhkan pada usia dewasa adalah cepat lelah, tidak tahan dingin, berat badan naik,
konstipasi, gangguan siklus haid dan kejang otot. Pengaruh hipotiroidisme pada berbagai
sistem organ dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

26
Tabel 2. Pengaruh hipotiroidisme pada berbagai sistem organ dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.

27
E. Daftar Tilik
No. Prosedur 0 1 2
1 Membina sambung rasa hubungan dokter-pasien
a. Menyapa/memberi salam
b. Melakukan jabat tangan
c. Mempersilahkan duduk
2 Melakukan Anamnesis terpimpin
3 Menjelaskan kepada pasien tentang tujuan pemeriksaan dan
meyakinkan bahwa privasinya terjaga
Menjelaskan kepada pasien tentang langkah-langkah pemeriksaan dan
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di tanyakan pasien
4 Menminta persetujuan pasien
5 Mempersiapkan alat dan bahan yang di butuhkan pada pemeriksaan
6 Miminta pasien menuju tempat pemeriksaan
7 Mencuci tangan
Menilai keadaan umum pasien (gerakan lambat, banyak, gemuk, dll)
8 Menimbang berat badan dan tinggi badan pasien (menhitung IMT
untuk menentukan status gizi pasien)
9 Melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital (Pemeriksaan tekanan
darah, nadi, pernapasan, dan pengukuran suhu tubuh).
Mencatat hasil pemeriksaan dan memperhatikan apakah terdapat
tanda vital yang tidak normal
10 Melakukan pemeriksaan rambut, menilai adanya :
 Rambut rapuh, mudah rontok
11 Melakukan pemeriksaan pada daerah wajah, menilai adanya:
 Edema wajah
 Kerontokan alis lateral
12 Melakukan pemeriksaan mata, menilai adanya
 Eksoftalmus
13 Melakukan pemeriksaan lidah, menilai adanya makroglosi
14 Melakukan pemeriksaan leher, menilai adanya :
 Pembesaran kelenjar tiroid, dengan cara melakukan palpasi
kelenjar tiroid
 Pembesaran kelenjar limfatik, dengan cara melakukan palpasi
kelenjar limfe servikal
15 Melakukan pemeriksaan fisik thorax
16 Melakukan pemeriksaan fisik abdomen
17 Melakukan pemeriksaan ekstremitas, menilai adanya :
 Edema perifer
18 Melakukan pemeriksaan kulit, menilai
 Kulit terasa kering, pucat,
19 Mencatat hasil pemeriksaan
20 Memberitahukan kepada pasien bahwa pemeriksaan telah selesai, dan
mempersilahkan pasien untuk kembali duduk di kursi.
21 Mencuci tangan
22 Menjelaskan hasil pemeriksaan kepada pasien
Memberikan edukasi kepada pasien untuk melakukan pemeriksaan
penunjang yang sesuai jika diperukan.
JUMLAH TOTAL
OVERALL TL B L

28
29

Anda mungkin juga menyukai