I. PENDAHULUAN
Penyakit demam berdarah adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue,
yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, Aedes albopictus, dan Aedes
polynesiensis.
Sejak tahun 1968 penyakit ini ditemukan di Surabaya dan Jakarta, selanjutnya
sering terjadi kejadian luar biasa di wilayah Indonesia. Penyakit ini masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang penting, bersifat endemis dan timbul sepanjang
tahun. Telah dilaporkan oleh lebih dari 100 negara di dunia, bahwa 2 juta orang telah
terinfeksi dan telah terjadi 10.000 kematian setiap tahun. Oleh karena itu, penyakit ini
menjadi masalah kesehatan masyarakat yang awalnya menyerang anak tetapi akhir-
akhir ini menunjukkan pergeseran menyerang dewasa.
Patogenesis penyakit infeksi virus dengue sampai sekarang masih belum jelas.
Beberapa ilmuwan mengemukakan bahwa kegawatan dapat terjadi karena virulensi
virus, peran mediator, dan proses apoptosis. Pada tutor imunologi ini, membahas
tentang respon imun alamiah terhadap virus Dengue.
1
III. SEL DENDRITIK
Pada saat nyamuk Aedes aegypti menggigit manusia, nyamuk tersebut
memasukkan virus dengue ke dalam aliran darah. Virus akan menginfeksi sel kulit
keratinosit, yang paling banyak terdapat di kulit. Virus dengue juga menginfeksi dan
bereplikasi di dalam sel Langerhans, salah satu jenis sel dendritik. Sel Langerhans
mampu mendeteksi patogen dan mengenali antigen pada permukaan patogen. Sel
Langerhans yang terinfeksi menghasilkan interferon yang mampu membatasi
penyebaran infeksi virus. Sel Langerhans yang terinfeksi virus kemudian menuju
kelenjar limfe sehingga terjadi penyebaran virus dalam darah (viremia) dan memicu
respon imun dengan menghasilkan antibodi untuk menetralisir partikel virus dengue
dan mengaktivasi sistem komplemen untuk membantu leukosit dan antibodi melawan
virus dengue. Respon imun juga termasuk sel T sitotoksik yang mampu mengenali
dan ‘membunuh’ sel yang terinfeksi virus.
Pada gambar di bawah ini juga menjelaskan respon imun terhadap virus dengue.
Ketika sel Langerhans terinfeksi oleh virus dengue, sel tersebut mampu mengenali
antigen di permukaan sel, yang akan merangsang respon imun alamiah dengan
memberi sinyal peringatan terhadap 2 (dua) jenis leukosit (monosit dan makrofag)
untuk melawan virus. Secara normal, monosit dan makrofag akan ‘menelan’ dan
menghancurkan patogen, tetapi selain menghancurkan virus dengue, monosit dan
2
makrofag juga menjadi target infeksi virus dengue. Virus dengue mampu menghindari
sistem imun host agar mampu bertahan dan menginfeksi sel lebih banyak. Monosit
dan makrofag yang terinfeksi virus dengue yang beredar di dalam sistem limfe, akan
menyebar ke seluruh tubuh. Virus dengue akan menginfeksi lebih banyak sel,
termasuk kelenjar limfe dan sumsum tulang, makrofag di dalam hati dan lien, serta
monosit di dalam darah selama perjalanannya. Penyebaran dan peningkatan virus
tersebut yang dinamakan dengan viremia, suatu kondisi dimana terjadi peningkatan
virus dengue dalam aliran darah.
(sciencedirect.com, 2013)
Gambar 2. Kontak awal virus dengue dengan host. Virus dengue masuk lewat kulit
melalui gigitan nyamuk, dan sel dendritik merupakan sel imun primer pada
waktu awal infeksi dengue. Sel dendritik terinfeksi yang ada di dermis,
bermigrasi ke kelenjar limfe regional bersamaan dengan proses maturasi.
Sel dendritik memiliki peran penting dalam respon imun alamiah dan adaptif
terhadap organisme infeksius. Sel dendritik terdistribusi di seluruh jaringan tubuh
sebagai sel imun yang sebagian tidak terdiferensiasi, berlokasi di daerah strategis di
tempat masuknya patogen. Sel dendritik imatur mampu mengenali
‘microenvironment’ antigen dan menangkap antigen, tetapi tidak dapat
mempresentasikan antigen terhadap sel T secara efisien. Sel dendritik imatur memiliki
peranan penting dalam pengendalian awal infeksi dengue. Sel dendritik manusia
memiliki 4 (empat) macam tipe sel, yaitu CD14+blood, monocyte-derived Dendritic
3
Cells (moDCs), CD34+ hematopoietic progenitor cell (HPC)-derived dermal atau sel
dendritik interstitial (DDC-IDCs), CD34+ HPC-derived Langerhans cells (LCs), dan
sel dendritik plasmasitoid. CD34+ HPC-derived Langerhans cells (LCs), dan sel
dendritik interstitial mengekspresikan marker sel dendritik tipe typical myeloid dan
LCs mengekspresikan Langerin. Sel dendritik plasmasitoid dan blood-precursor
myeloid Dendritic Cells (pre-moDCs) merupakan alat dalam imunitas alamiah
antivirus dan membentuk respon imun adaptif Th1. Sel dendritik berada di darah tepi
dan jaringan limfoid untuk membentuk interferon tipe I ( IFN-αβ) sebagai respon
terhadap rangsangan mikroba dan teridentifikasi sebagai IFN-α producing cells
(IPCs). Di antara subpopulasi sel dendritik, sel dendritik plasmasitoid yang paling
poten terhadap patogen virus. Pelepasan IFN-α dapat meningkatkan aktivasi sel
dendritik dalam parakrin.
Fungsi normal sel dendritik adalah menangkap antigen dan memproses menjadi
peptida imunogenik, beremigrasi dari jaringan menuju parakorteks kelenjar limfe, dan
mempresentasikan peptida tersebut dalam bentuk molekul MHC (major
histocompatibility complex) kelas I dan II kepada sel T.
Sampai saat ini, sel fagosit mononuklear, monosit atau makrofag
dipertimbangkan sebagai sel target primer untuk infeksi virus dengue. Suatu fakta
bahwa nyamuk menginokulasikan virus dengue ke dalam kulit manusia melalui
gigitan, sel target potensial untuk infeksi dengue seharusnya sel dendritik
interstitial/dermal (contoh : sel Langerhans) yang ada di epitel kulit. Menurut
Taweechaisupapog et al. replikasi virus dengue seharusnya berada dalam kulit.
4
respon imun adaptif melalui Th1. Sel Natural Killer (NK) mengenali dan
‘membunuh’ sel somatik host yang diselubungi oleh antibodi, yang gagal untuk
mengekspresikan protein MHC yang tepat. Sel NK juga merupakan sumber sitokin
inflamasi penting dalam aktivitas antivirus. Sel penting lain dalam respon imun
alamiah adalah sel NKT, dimana sel ini mengenali antigen lipid yang dipresentasikan
oleh molekul CD1 di sel dendritik.
Salah satu interaksi antara respon imun seluler dengan humoral adalah interaksi
yang disebut antibody dependent cell mediated cytotoxocity (ADCC). Istilah ini
diberikan karena sitolisis baru terjadi bila dibantu oleh antibodi. Dalam hal ini
antibodi berfungsi melapisi antigen sasaran (opsonisasi), sehingga sel NK (natural
killer) yang mempunyai reseptor terhadap fragmen Fc antibodi tersebut dapat melekat
pada sel atau antigen sasaran. Pengikatan sel NK melalui reseptornya pada kompleks
antigen-antibodi mengakibatkan sel NK dapat menghancurkan sel sasaran.
Penghancuran sel sasaran itu terjadi melalui pelepasan berbagai enzim, sitolisin,
reactive oxygen intermediates dan sitokin, langsung pada sasaran.
Sel NK manusia merupakan derivat sel limfosit sumsum tulang yang akan
menjadi progenitor sel limfosit T, terdapat sekitar 10-15% dari seluruh limfosit yang
ada di sirkulasi darah. Sel NK merupakan populasi limfoid utama dalam imunitas
alamiah. Sel NK dapat dikerahkan secara cepat pada jaringan dan organ terinfeksi
melalui faktor kemoatraktan yang dihasilkan sel yang terinfeksi virus serta makrofag
yang teraktivasi, yang juga merupakan sumber utama IFNα/β yang dapat menginduksi
proliferasi sel NK, sitolisis sel yang terinfeksi virus oleh sel NK, dan sekresi kemokin.
Sel NK dapat ‘membunuh’ sel yang terinfeksi virus melalui granula sitotoksik
atau dengan mengenali dan menginduksi lisisnya sel target yang terlapisi antibodi
(antibody-dependent cell cytotoxicity-ADCC) melalui reseptor pengikat antibodi
CD16 dan CD56. Menurut Kurane et al. , sel NK dalam darah manusia mengadakan
perlawanan sitotoksik terhadap sel dendritik yang terinfeksi virus dengue pada target
organ melalui sitolisis secara langsung dan ADCC.
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, berbagai sitokin dan kemokin
dilepaskan oleh sel dendritik yang berperan dalam maturasi sel dendritik dan sel lain
termasuk sel endotel, makrofag, neutrofil, fibroblas, dan sel mast.
5
Gambar 4. Sel NK (rkm.com.au, 2013)
Indeks sitotoksisitas :
(ODE+T)-ODE
V. KOMPLEMEN
Sistem komplemen, suatu dasar imunitas alamiah, sudah lama diketahui sebagai
kunci modulator imunitas adaptif, bereaksi secara langsung, memodulasi dan
memodifikasi respon limfosit terhadap rangsangan.
6
Kaskade komplemen yang teraktivasi oleh komplek virus dengue-antibodi atau
teraktivasi oleh sitokin untuk melepaskan C3a dan C5a memiliki efek terhadap
permeabilitas vaskular. Efek sinergis IFN-α dan TNF-α mengaktifkan protein
komplemen yang dapat memicu kebocoran plasma sel endotel pada infeksi dengue
sekunder.
Pada pasien dengue yang parah (severe dengue), sejumlah besar C3a terdeteksi
memiliki peran dalam patogenesis dengue. Temuan ini dapat diantisipasi komplek
imun yang diduga memiliki mekanisme terhadap terjadinya DHF (Dengue
Hemorrhagic Fever) dan DSS (Dengue Shock Syndrome). C3a merupakan salah satu
anafilatoksin yang dihasilkan oleh aktivasi komplemen yang dapat mengganggu
pembuluh darah. C3a berfungsi untuk merekrut monosit, makrofag, dan sel dendritik,
mengatur vaso dilatasi , dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah kecil dan
kontraksi otot polos. Di dalam makrofag, eosinofil dan neutrofil, anafilatoksin dapat
menginduksi ledakan oksidatif, pelepasan histamin oleh sel mast dan basofil, dan C3a
dapat meningkatkan efek sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-6, dan SDF-1.
Meskipun mekanisme reaksi yang dipicu oleh anafilatoksin komplemen belum
sepenuhnya dijelaskan, aktivasi C3aR mempromosikan ekspresi sitokin melalui AKT
phosphorylation serta aktivasi MAP kinase. C3aR diekspresikan pada mediator kunci
dari sistem imun seperti neutrofil, basofil, eosinofil, sel mast, monosit/makrofag, sel
dendritik, microglia, dan sel nonmyeloid seperti astrosit, sel epitel, sel otot polos dan
activated T-cells, tetapi bukan naive T-cells. C5aR juga mengaktifkan sejumlah jalur
sinyal termasuk PI3K-ɤ (Phosphoinosital-3 Kinase), PLC (Phospholipase C), PLD
(Phospholipase D), Raf dan WASP (Wiskott-Aldrich Syndrome Protein).
Selama sekresi TNF dan perekrutan sel imun dalam proses penghancuran, efek
anafilatoksin dapat ditemukan bersamaan. C3a dan C5a mengatur vasodilatasi,
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, dan dapat memicu degranulasi dan
ledakan oksidatif dari neutrofil, eosinofil, dan basofil. C3a dan C5a bekerja pada
reseptor tertentu untuk menghasilkan respon inflamasi lokal dan ketika disekresikan
dalam konsentrasi yang cukup tinggi untuk memicu respon sistemik, \C3a dan C5a
menyebabkan kolapsnya sirkulasi darah (syok) yang mirip dengan respon alergi yang
diperantarai IgE .
7
Protein yang terkandung dalam cairan tubuh manusia bereaksi dengan antibodi
spesifik secara imunokimiawi dalam gel agarose dari komplek imun partigen
plate dan terlihat sebagai garis presipitasi melingkar (imunodifusi radial).
1.2 Hasil
Diameter cincin presipitasi (waktu inkubasi 50-80 jam) berbanding lurus dengan
konsentrasi komplemen dalam serum sampel. Konversi ke konsentrasi
komplemen yang sesuai dilakukan dengan menggunakan tabel nilai referensi.
Nilai rujukan C3 : 50-120 mg/dl, sedangkan C4 : 20-50 mg/dl.
Virus dengue menghasilkan penyakit demam ringan akut, demam dengue (DF)
dan demam berdarah dengue (DBD). Gambaran yang khas/karakteristik DBD adalah
peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan kebocoran plasma luas dalam
10
rongga serosa yang dapat menyebabkan syok. Patogenesis DBD tidak dipahami
sepenuhnya. Gambaran utama adalah generasi awal sitokin yang unik, human
cytotoxic factor (hCF) yang memulai serangkaian peristiwa yang menyebabkan
pergeseran dari respon Th1 pada penyakit ringan sampai respon Th2 yang
mengakibatkan DBD berat. Pergeseran dari Th1 ke Th2 diatur oleh level relatif IFN-
ɤ dan interleukin (IL) -10 dan antara IL-12 dan transforming growth factor-β (TGF-
β) , yang menunjukkan hubungan terbalik pada pasien demam dengue.
IX.1. Sitokin Th1 dan Th2 pada pasien terinfeksi virus dengue
Sitokin sekresi membedakan sel T helper (Th) 1 dan sel Th2, yang merupakan
bagian utama sel Th CD4+ terdiferensiasi penuh. Sel Th1 mensekresi interferon-
gamma (IFN-ɤ), interleukin-2 (IL-2) dan tumor necrosis factor-β (TNF-β) dan
bertanggung jawab untuk cell-mediated inflammatory reactions, hipersensitivitas
tipe lambat, jaringan yang cedera/luka saat infeksi, dan penyakit otoimun. Sel Th2
mensekresi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13 dan berkaitan dengan bantuan untuk
produksi antibodi sel B. Regulasi silang Th1 dan Th2 terutama dimediasi oleh IL-10
dan IFN-ɤ. Infeksi memunculkan respon imun humoral dominan yang menginduksi
ekspresi sitokin terkait Th2 (Th-2 related cytokines) lebih tinggi, sedangkan yang
ditandai dengan respon hipersensitivitas tipe lambat menunjukkan ekspresi sitokin
Th1 yang lebih tinggi. Sejumlah parasit, jamur, infeksi bakteri dan virus seperti
HIV, herpes simpleks dan virus influenza, respon Th1 terkait dengan pemulihan dari
infeksi sedangkan respon Th2 cenderung mengarah ke tingkat keparahan dan
eksaserbasi penyakit.
11
Gambar 7. Kaskade Sitokin yang Terinduksi Virus Dengue (Chaturvedi et al., 2000)
2.1 IL-8
12
pembuluh darah dengan kebocoran plasma pada DHF dengan level IL-8 yang
tinggi dan hal ini merupakan indikator outcome demam dengue yang penting.
2.2 IL-12
IL-12 memiliki efek besar pada upregulation sel Th1 dan sitokin tipe Th1,
sedangkan ketiadaan IL-12 menggeser keseimbangan menuju sitokin tipe Th2.
IL-12 telah dikaitkan dengan clearance of virus, pemulihan host dan
perlindungan dalam sejumlah besar infeksi virus. Peningkatan kadar IL-12
terlihat pada pasien dengan DF ringan dan tidak terdapat pada pasien dengan
DHF grade III dan IV. Jadi IL-12 mungkin berperan dalam pencegahan penyakit
demam berdarah yang parah dengan mempertahankan respon Th1. Jika ini benar,
terapi IL-12 bisa memiliki efek yang sangat menguntungkan untuk
outcome penyakit demam berdarah yang parah.
2.3 IL-18
13
inflamasi tergantung pada konsentrasi. TGF-β menginduksi sekresi IL-1α dan
TNF-α untuk mengontrol infeksi pada fase akut; namun, TGF-β juga menurunkan
produksi radikal bebas, menghambat ekspresi reseptor dan fungsi IFN-ɤ, IL-1α,
IL-2 dan TNF- α, menghambat sitokin tipe Th1 dan meningkatkan produksi
sitokin tipe Th2 seperti IL-10. Pasien yang terinfeksi dengan DV, baik tingkat
keparahan penyakit dan durasi penyakit yang berhubungan dengan tingkat TGF-
β1, misalnya level maksimum TGF-β1 dideteksi pada pasien dengan DHF grade
IV dan pasien yang sakit selama lebih dari 9 hari.
Sitokin yang hanya menunjukkan positivitas tinggi pada pasien dengan
infeksi dengue adalah hCF yang juga terkait dengan keparahan penyakit. Hasil
level serum TGF-β1 dan IL-12, jika dianalisis bersama-sama, menunjukkan
hubungan terbalik pada pasien demam dengue dan pada berbagai grade DHF.
X. DAFTAR PUSTAKA
14