Anda di halaman 1dari 11

LEMBAGA KAJIAN KEILMUAN

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Sekretariat: Ruang Student Center Gedung F Kampus FHUI, Depok 16424
email lk2.fhui@gmail.com, website www.lk2fhui.law.ui.ac.id

Eksistensi Hak atas Kebebasan Berpendapat Sebagai Esensi dari


Demokrasi dan Dinamikanya di Indonesia Ditinjau dari Aspek Yuridis

Oleh Monica Gracia I.P., Thea Mutiara Khalifa, dan Rifqi Thoriq

Staf Bidang Kajian Ilmiah 2018

Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi. Dianutnya
sistem demokrasi di Indonesia didasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang menyatakan
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Selain itu, sila ke-4 dari Pancasila yang juga diatur di dalam bagian Pembukaan UUD NRI
1945 yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawatan/Perwakilan,” juga menjadi dasar dari diterapkannya sistem demokrasi di
Indonesia. Secara etimologis, Demokrasi berasal dari dua kata, yaitu Demos yang berarti
rakyat dan Kratos yang berarti kekuatan, secara langsung demokrasi dapat ditranslasikan
menjadi kekuatan rakyat.1 Demokrasi juga dapat didefinisikan secara sederhana sebagai
‘Pemerintahan yang Dijalankan oleh Rakyat’, definisi yang telah ada sejak zaman Yunani
Kuno.2 Konsep demokrasi itu sendiri pertama kali diperkenalkan dalam sistem pemerintahan
Athena kuno. Pada saat itu, sistem demokrasi yang digunakan adalah demokrasi langsung
yang mana warga Athena dapat berpartisipasi langsung dalam keputusan politik yang
menyangkut urusan negara.3 Cara orang Athena melangsungkan pemerintahan demokrasi
mereka adalah melalui pertemuan ecclesia, sebuah pertemuan antar warga Athena laki-laki
yang sudah berusia 20 tahun keatas dapat menghadiri pertemuan tersebut dan megemukakan
pendapatnya mengenai urusan kenegaraan dan mengambil keputusan politik bersama-sama
dengan warga lainnya yang menghadiri ecclesia.4

1
Online Etymology Dictionary, Democracy, https://www.etymonline.com/word/democracy diakses 24
November 2017
2
Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, (New York: Oxford University Press. 1960),
hlm. 22
3
Ibid, hlm 36
4
John Thorley, Athenian Democracy, (sine loco: Routledge, 2005), hlm 32
1
LEMBAGA KAJIAN KEILMUAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Sekretariat: Ruang Student Center Gedung F Kampus FHUI, Depok 16424
email lk2.fhui@gmail.com, website www.lk2fhui.law.ui.ac.id

Dari konsep orisinal demokrasi yang dirumuskan oleh orang-orang Athena, maka
dapat diketahui bahwa kebebasan untuk berpendapat adalah hal yang esensial dalam doktrin
demokrasi langsung. Pertanyaan yang muncul disini adalah apakah kebebasan berpendapat
masih relevan dengan demokrasi kontemporer yang dianut oleh banyaknya negara-negara di
dunia pada abad ke-21. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui terlebih
dahulu bahwa demokrasi langsung sudahlah lagi tidak relevan untuk diimplementasikan di
abad ke-21 sebab demokrasi langsung membutuhkan perkumpulan dari suara nasional secara
holistik, sehingga tidak menutup kemungkinan over-politisasi dari masyarakat suatu negara
dan begitu banyaknya tabrakan kepentingan.5 Selain itu sistem demokrasi langsung dinilai
kurang efektif di dalam menentukan kebijakan politik yang vital bagi negara dikarenakan
sulit untuk mendapatkan partisipasi dari seluruh warga negara .6 Alasan demokrasi langsung
berhasil dilaksanakan di Athena beserta kebebasan berpendapat untuk menentukan kebijakan
politik di dalamnya adalah Athena kuno adalah negara yang kecil, sehingga demokrasi
langsung mudah diaplikasikan di dalam sendi-sendi pemerintahannya.

Demokrasi yang dianut oleh negara-negara pada abad ke-21 adalah demokrasi
representatif atau perwakilan. Akan tetapi munculnya demokrasi perwakilan ini mendapat
pertentangan dari J.J Rousseau. Ia menilai bahwa di dalam demokrasi perwakilan orang yang
menjadi representasi rakyat hanya akan mensubstitusikan kepentingan rakyat yang diwakili
dengan kepentingan dirinya sendiri.7 Di sinilah kebebasan berpendapat memainkan
perannya. Alexander Meiklejohn, seorang aktivis kebebasan berpendapat menyatakan bahwa
agar sistem demokrasi perwakilan/representatif dapat bekerja dengan baik, seorang pemilih
harus memiliki pengetahuan yang cukup untuk memilih. Cara agar si pemilih dapat memiliki
pengetahuan yang cukup tersebut adalah dengan tidak boleh adanya pembatasan informasi
dan ide. Meiklejohn berpendapat bahwa demokrasi akan kehilangan esensinya apabila
mereka yang memegang kekuasaan dapat memanipulasi informasi, menahan informasi, tidak
menerima kritik dari rakyat. Dengan adanya kebebasan berpendapat, wakil daripada rakyat

5
Liu Junning, Direct Democracy Isn’t Feasible in Modern Society,
https://www.swissinfo.ch/eng/directdemocracy/opinion_-direct-democracy-isn-t-feasible-in-modern-societies-
/41557818 diakses 5 Sepember 2018
6
Ibid
7
B. Mayo, An Introduction to, hlm 95
2
LEMBAGA KAJIAN KEILMUAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Sekretariat: Ruang Student Center Gedung F Kampus FHUI, Depok 16424
email lk2.fhui@gmail.com, website www.lk2fhui.law.ui.ac.id

dalam demokrasi representatif dapat dikritik apabila telah menyimpang dari tujuan awalnya,
yaitu mewakili kepentingan rakyat.

Esensi daripada eksistensi demokrasi adalah kebebasan berpendapat itu sendiri


sebagaimana yang dikemukakan oleh Faust Rossi.8 Layaknya pernyataan Hegel, tesis dan
antitesis akan menghasilkan sebuah sintesis yang lebih baik, sama halnya dengan sebuah
pemerintahan. Pemerintahan yang demokratif dalam merumuskan sebuah kebijakan untuk
kemaslahatan umum pasti diwarnai dengan berbagai pertentangan pendapat. Pertentangan
pendapat tersebut akan menghasilkan sebuah sintesis yang lebih baik daripada tesis dan anti
tesis awal. Pertentangan ide ini tak akan mungkin ada apabila kebebasan berpendapat itu
sendiri tidak ada.

Kebebasan berpendapat masyarakat sipil tetap memegang sebuah peranan yang


penting dalam demokrasi. Pernyataan Abraham Lincoln bahwa demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sangat mengamini bahwa peran
rakyat sangatlah besar dalam pemerintahan yang demokratif. Mungkin yang nampak dari
sistem demokrasi tidak langsung adalah rakyat hanya dibutuhkan pada saat pemilihan umum,
setelah pemilihan umum berlangsung pemerintah akan terbentuk (badan
parlemen/perwakilan) dan seolah-olah peran rakyat dalam ‘memerintah’ hilang karena
kekuasaan rakyat tersebut sudah diserahkan kepada badan perwakilan. Dengan adanya
kebebasan berpendapat, maka intisari demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat untuk
rakyat tetap ada. Rakyat tetap memiliki kekuatan dengan kebebasan berpendapat tersebut
untuk memperjuangkan kepentingan mereka, mengkritik pemerintah, dan lain-lain. Dengan
adanya kebebasan berpendapat, maka rakyat secara tidak langsung masih memiliki
kekuasaan dalam pemerintahan, sesuai dengan dokrtin demokrasi dan Pemerintah dapat lebih
responsif dalam menanggapi aspirasi-aspirasi masyarakat.

Secara historis, konsep kebebasan berpendapat telah disebut dalam instrumen hukum
sejak adanya Bill of Rights di Inggris,9 namun baru didefinisikan dalam Deklarasi Hak Asasi
Manusia dan Warga Negara Tahun 1789 (Déclaration des droits de l'homme et du citoyen de

8
Lauren Gold, “Freedom of Expression is the Essence of Our Democracy,”
http://news.cornell.edu/stories/2011/03/free-speech-central-democracy-rossi-says diakses 5 September 2018
9
David smith dan Luc Torres, “Timeline: A History of Free Speech.”
https://www.theguardian.com/media/2006/feb/05/religion.news, diakses 5 September 2018
3
LEMBAGA KAJIAN KEILMUAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Sekretariat: Ruang Student Center Gedung F Kampus FHUI, Depok 16424
email lk2.fhui@gmail.com, website www.lk2fhui.law.ui.ac.id

1789) di Perancis pasca Revolusi Perancis.10 Pada dokumen tersebut, dijelaskan bahwa hak
untuk menyampaikan ide dan pendapat adalah salah satu hak paling penting yang dimiliki
oleh manusia. Dokumen tersebut juga menegaskan bahwa hak berkomunikasi dan
mengutarakan pendapat meliputi hak setiap warga negara untuk berbicara, menulis, maupun
menyebarkan pendapat setiap warga negara. Namun, Deklarasi Hak Asasi Manusia dan
Warga Negara Tahun 1789 juga menjelaskan, bahwa hak tersebut mempunyai limitasi, tidak
boleh disalahgunakan, dan harus digunakan sesuai dengan hukum yang berlaku.11

Walaupun hak atas kebebasan berpendapat telah diakui secara eksplisit oleh Perancis
sejak tahun 1789, dokumen yang pertama kali menegaskan eksistensi hak kebebasan
perpendapat secara universal merupakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
yang disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948.12 DUHAM
menegaskan kembali hal yang telah disebutkan oleh deklarasi yang telah dibuat Perancis
sebelumnya, namun menambahkan hak untuk mendapat informasi dalam kebebasan
berpendapat.

Setelah DUHAM, kebebasan berpendapat disebutkan dalam International Covenant


on Civil and Political Rights (ICCPR), tepatnya pada Pasal 19 yang terdiri dari tiga paragraf,
dengan isi masing-masing paragraf sebagai berikut:13

1. Ayat pertama menegaskan hak semua manusia untuk beropini tanpa gangguan;

2. Ayat kedua menegaskan bahwa semua orang mempunyai hak atas kebebasan
berekspresi yang meliputi kebebasan untuk mencari dan menerima informasi
atau ide dalam jenis apapun; secara lisan, tulisan, kesenian, atau wadah
lainnya;

3. Ayat ketiga menegaskan bahwa penggunaan hak-hak yang disebutkan pada


ayat kedua harus dibarengi dengan kewajiban dan pembatasan pula yang
sesuai dengan hukum yang berlaku. Kewajiban dan pembatasan ini antara lain

10
Ibid.
11
Jeremy Jennings, The Déclaration des droits de l'homme et du citoyen and Its Critics in France:
Reaction and Idéologie, (Cambridge : Cambridge University Press,1992), hlm. 839
12
United Nations, Universal Declaration of Human Rights,
http://www.un.org/en/udhrbook/pdf/udhr_booklet_en_web.pdf, hlm. 4
13
United Nations, Article 19 of International Covenant on Civil and Political Rights.
4
LEMBAGA KAJIAN KEILMUAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Sekretariat: Ruang Student Center Gedung F Kampus FHUI, Depok 16424
email lk2.fhui@gmail.com, website www.lk2fhui.law.ui.ac.id

adalah menghormati hak dan reputasi orang lain, serta memerhatikan moral
dan kepentingan umum.

Di Indonesia, kebebasan berpendapat disebutkan dalam Pasal 28 Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), dengan bunyi sebagai berikut: 14

“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan


tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”

Hal ini ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 28E Ayat 3 yang berbunyi: 15

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan


pendapat.”

Setelah disebut dalam UUD 1945, kebebasan berpendapat dilindungi pula dalam TAP
MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dimana pada Pasal 14 disebutkan
bahwa setiap orang mempunyai hak untuk menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani.
Pasal 36 dalam TAP MPR tersebut kemudian menyatakan bahwa hak tersebut perlu
dilaksanakan sesuai dengan undang-undang. Selain itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), tepatnya pada Pasal 23, melindungi hak
kebebasan berpendapat dengan syarat dilakukan dengan memperhatikan nilai-nilai agama,
kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.

Selain yang diatur dalam UUD 1945, TAP MPR, dan UU HAM,kebebasan
menyampaikan pendapat di Indonesia juga diatur secara khusus dalam Undang-Undang (UU)
Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Pasal 1 ayat (1) UU tersebut menyatakan bahwa:

“Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara

untuk menyampaikan pikiran dengan lisan. tulisan. dan sebagainya secara

bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan

14
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Ps. 28
15
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Ps. 28 E ayat (3).
5
LEMBAGA KAJIAN KEILMUAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Sekretariat: Ruang Student Center Gedung F Kampus FHUI, Depok 16424
email lk2.fhui@gmail.com, website www.lk2fhui.law.ui.ac.id

perundang-undangan yang berlaku.”16

Berdasarkan pengertian dalam UU tersebut, negara memiliki tanggung jawab untuk


memberikan hak kepada setiap warga negaranya untuk memiliki kemerdekaan
menyampaikan pendapat secara bertanggung jawab. Namun yang menjadi permasalahan
adalah batasan mengenai apa saja hal-hal yang masih dalam koridor diperbolehkan maupun
yang tidak diperbolehkan merupakan sesuatu yang sangat abstrak. Di dalam pasal 6 UU
tersebut juga dijelaskan bagaimana kewajiban dan tanggung jawab warga negara dalam
menyampaikan pendapatnya, yaitu:
“Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum

berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :

a. Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain;

b. Menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum;

c. Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

d. Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan

e. Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.”17

Berbagai instrumen-instrumen hukum yang melindungi kebebasan berpendapat


tersebut masih memberikan definisi kebebasan berpendapat dengan sangat subjektif dan luas.
Di tengah kesubjektifan batasan-batasan menyampaikan pendapat, kerap kali lubang hukum
tersebut dimanfaatkan oleh kaum-kaum tertentu untuk menjerat seseorang dalam kasus
pidana. Salah satu kasus yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan adalah kasus penistaan
agama yang diatur dalam pasal 156a KUHP:

“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun, barangsiapa dengan


sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

16
Indonesia, Undang-Undang Menyampaikan Pendapat di Muka Umum . UU No. 9 Tahun 1998, LN
No. 181 Tahun 1998, Ps. 1 ayat (1).
17
Ibid., Ps. 6.
6
LEMBAGA KAJIAN KEILMUAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Sekretariat: Ruang Student Center Gedung F Kampus FHUI, Depok 16424
email lk2.fhui@gmail.com, website www.lk2fhui.law.ui.ac.id

a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan


terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang
bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”18

Pasal ini membuka berbagai kemungkinan interpretasi yang sangat mungkin untuk
merenggut kemerdekaan seseorang dalam menyampaikan pendapat terutama bagi kaum-
kaum minoritas yang tidak memiliki kekuatan sosial yang besar untuk membantu mereka.
Inilah yang dialami oleh Meiliana, seorang warga Tanjung Balai yang mendapatkan fatwa
MUI (Sumatera Utara) telah melakukan penistaan agama, dan juga telah mendapatkan vonis
18 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Medan.19 Semua berawal dari dialog yang
dilakukannya dengan seorang pemilik warung bernama Kasini. Meiliana mengeluhkan
mengapa volume suara masjid yang berada di wilayah mereka kini semakin besar, namun
yang beredar bukanlah perkataan tersebut namun perkataan seperti inilah yang beredar,“Lu,
Lu ya. Itu masjid bikin telinga awak pekak. Kalau ada pula jemaah minta berdoa, minta
kakilah bujang, bukannya angkat tangan.”20 Perbedaan inilah yang menyebabkan kuasa
hukum Meiliana meminta bukti seperti rekaman untuk menjadi dasar penuntutannya.

Ketua PBNU bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan Robikin Emhas


mengatakan bahwa hal yang dilakukan Meiliana bukanlah tindakan penistaan agama. 21
Menurutnya, jika dikaitkan dengan pasal penistaan agama, apa yang dikatakan oleh Meiliana
adalah mengomentari volume suara azan bukan mengomentari azan itu sendiri sehingga itu
bukanlah suatu penodaan terhadap suatu agama. Bahkan Dewan Masjid Indonesia (DMI) pun
pernah menghimbau agar azan jangan terlalu keras dan jangan terlalu lama, maka dari itu
menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla yang merupakan Ketua DMI jika terdapat masyarakat

18
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht], Diterjemahkan oleh Moeljatno,
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2016), Ps. 156a.
19
Ita Lismawati F Malau,” MUI: Sikapi Kasus Meliana, Mari Saling Mengontrol Diri,”
https://www.idntimes.com/news/indonesia/ita-malau/mui-sikapi-kasus-meliana-mari-saling-mengontrol-diri,
diakses 8 September 2018.
20
Ninis Chairunnisa, “Ini Kronologi Kasus Penistaan Agama Meiliana di Tanjung Balai,”
https://nasional.tempo.co/read/1119663/ini-kronologi-kasus-penistaan-agama-meiliana-di-tanjung-
balai/full&view=ok, diakses 8 September 2018.
21
Syakir NF dan Abdullah Alawi, “Kasus Meiliana, PBNU: Seharusnya Tak Dipidanakan,”
https://www.nu.or.id/post/read/94860/kasus-meiliana-pbnu-seharusnya-tak-dipidanakan, diakses 8 September
2018.
7
LEMBAGA KAJIAN KEILMUAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Sekretariat: Ruang Student Center Gedung F Kampus FHUI, Depok 16424
email lk2.fhui@gmail.com, website www.lk2fhui.law.ui.ac.id

yang meminta suara azan jangan terlalu keras, itu merupakan sesuatu yang sangat wajar dan
tidak seharusnya dipidana.22 Lebih jauh lagi, tidak terbukti ada maksud dalam diri Meiliana
untuk membuat orang lain tidak menganut agama tersebut sehingga unsur-unsur pasal 156a
tidak terpenuhi tetapi tetap saja digunakan sebagai senjata untuk menyerang kelompok-
kelompok tertentu.

Menurut peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), pangkal
permasalahan dari kriminalisasi terhadap kaum minoritas ini berpangkal dari keberadaan
pasal 156a KUHP itu sendiri yang bersifat karet sehingga dengan mudahnya aparat penegak
hukum menjerat si pelaku ketika terdapat tekanan sosial terhadapnya, dan hal inilah yang
semakin mempersempit ruang demokrasi publik. Meskipun begitu ini merupakan salah satu
harga dari demokrasi itu sendiri karena ketika mayoritas memiliki kekuasaan untuk mengatur
sedangkan disisi lain minoritas tidak memiliki perlindungan yang cukup dari hukum, maka
hak-hak minoritas akan dengan sangat mudah untuk direnggut. Oleh karena itulah dalam
suatu negara demokrasi, hukum merupakan perlindungan penting bagi kaum minoritas
sehingga pasal-pasal yang berkaitan dengan hak minoritas seharusnya dibuat secara jelas dan
tidak multitafsir.

Regulasi-regulasi yang melimitasi kebebasan berpendapat tidak berhenti di Kitab


Undang-Undang Hukum Pidana saja. Restriksi kebebasan berpendapat tersebar secara
sektoral ke instrumen-instrumen hukum lainnya. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya akan disingkat menjadi UU ITE)
mengandung Pasal-Pasal yang dapat menjerat kebebasan berpendapat. Salah satu pasal
tersebut termaktub dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang berbunyi:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau


mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.

22
Lalu Rahadian, “JK: Meiliana Tak Seharusnya Dipidana karena Keluhkan Suara Azan,”
https://tirto.id/jk-meiliana-tak-seharusnya-dipidana-karena-keluhkan-suara-azan-cUvt, diakses 13 September
2018.

8
LEMBAGA KAJIAN KEILMUAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Sekretariat: Ruang Student Center Gedung F Kampus FHUI, Depok 16424
email lk2.fhui@gmail.com, website www.lk2fhui.law.ui.ac.id

Pasal 27 ayat (3) UU ITE di atas memiliki rumusan yang tidak jelas, sumir dan
berpotensi disalahgunakan secara sewenang-wenang sehingga hal itu merupakan
pelanggaran atas konsep negara hukum (rule of law).23 Selain itu, Pasal 27 ayat (3) UU ITE
tidak menyebutkan secara tegas, pasti dan limitatif tentang perbuatan apa yang
diklasifikasikan sebagai penghinaan. Sebagai akibatnya, tidak ada kepastian hukum serta
akan menimbulkan dan mengakibatkan tindakan sewenang-wenang dari penguasa, aparat
hukum, individu maupun golongan tertentu untuk menafsirkan perbuatan tertentu sebagai
penghinaan atau tidak.

Tak dapat dipungkiri bahwa dewasa ini Internet adalah instrumen demokratisasi
termutakhir. Hal ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Frank La Rue, Pelapor Khusus PBB
untuk Kebebasan Berpendapat, bahwa Internet menjadi instrumen paling kuat di abad ke-21
untuk meningkatkan transparansi dalam mengawasi pemerintahan, memberi akses pada
informasi, dan juga memfasilitasi warga untuk turut berpartisipasi membangun tatanan
masyarakat yang lebih demokratis.24 Namun, dengan hadirnya Pasal 27 ayat (3) yang sangat
multi interpretatif dan tidak jelas dalam menjelaskan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik dalam dunia maya, utilisasi internet sebagai alat demokratisasi menjadi terbatas,
sekaligus melimitasi kebebasan berpendapat dalam dunia maya.

Selain UU ITE dan KUHP, pada awal 2018 terdapat polemik pengesahan UU No. 2
Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nmor 17 Tahun 2004 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Selanjutnya akan disingkat menjadi UU MD3).
Dewan Perwakilan Negara sebagai lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai
lembaga negara sudah seharusnya menjadi representatif daripada Rakyat Indonesia dan
responsif terhadap aspirasi rakyat. Namun pengaturan dalam UU MD3 seolah-olah
menciptakan jarak antara DPR dan rakyat dengan adanya pengaturan Pasal 73 tentang
Pemanggilan Paksa, Pasal 122 huruf l tentang pemidanaan bagi seseorang yang
merendahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Pasal 245 ayat (1) tentang keterlibatan
Presiden dan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam penyidikan anggota DPR terkait

23
Mahrus Ali, Pencemaran Nama Baik Melalu Sarana Informasi dan Transaksi Elektronik (Kajian
Putusan MK No. 2/PUU-VII/2009), “Jurnal Konstitusi”, Vol. 7, No. 6, 2010, 120-146, hlm. 121.
24
Redaksi Geotimes, UU ITE: Ancara Ancaman dan Kebebasan Berpndapat.
https://geotimes.co.id/fokus/uu-ite-antara-ancaman-dan-kebebasan-berpendapat/ diakses 12 September 2018.
9
LEMBAGA KAJIAN KEILMUAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Sekretariat: Ruang Student Center Gedung F Kampus FHUI, Depok 16424
email lk2.fhui@gmail.com, website www.lk2fhui.law.ui.ac.id

suatu perkara. Regulasi-regulasi ini seolah-olah melimitasi kebebasan rakyat dalam


menyampaikan pendapat terhadap DPR dengan ancaman pidana bagi mereka yang
‘merendahkan’ anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kembali lagi ke permasalahan
subjektifitas dalam kebebasan berpendapat dan batasan yang tidak begitu jelas, dalam hal ini
batasan mengenai frasa ‘merendahkan’ yang sangat subjektif. Pada Juni 2018, MK
mengabulkan permohonan Judicial Review terhadap Pasal 73, 122, dan 245 UU MD3 dan
menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 melalui Putusan Perkara Nomor 16/PUU-
XVI/2018.

Dalam keadaan politik apapun, kebebasan berpendapat memang sangat penting untuk
dilindungi di dalam sebuah negara yang demokratis serta menganut konsep negara hukum,
baik itu rule of law maupun rechtstaat. Namun, kebebasan berpendapat seperti apakah yang
dianut oleh Indonesia? Kita tidak dapat mengalienasikan aspek-aspek sosiologis dan kultural
masyarakat Indonesia apabila kita berbicara mengenai kebebasan berpendapat. Perlu diingat
pula terdapat batas abu-abu antara kebebasan berpendapat, fitnah, serta pencemaran nama
baik. Batasan abu-abu yang subjektif ini perlu dengan jelas diatur oleh instrumen-instrumen
hukum di Indonesia, namun apakah regulasi-regulasi yang ada di Indonesia telah
merefleksikan perlindungan kebebasan berpendapat yang sopan dan bertanggungjawab?
Apakah restriksi kebebasan berpendapat diperlukan untuk menjaga ketertiban atau
masyarakat seharusnya diberi kebebasan sepenuh-penuhnya dalam mengemukakan
pendapat?

10
LEMBAGA KAJIAN KEILMUAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
Sekretariat: Ruang Student Center Gedung F Kampus FHUI, Depok 16424
email lk2.fhui@gmail.com, website www.lk2fhui.law.ui.ac.id

11

Anda mungkin juga menyukai