Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

EPILEPSI PADA ANAK

Disusun oleh :
Khaula Sugira (10542049213)

Pembimbing :
dr. Hushaemah Syam, Sp. A

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
PERIODE AGUSTUS 2018
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Tuhan Allah SWT,
atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
Epilepsi Pada Anak. Penyusunan tugas ini merupakan salah satu tugas yang penulis
laksanakan selama mengikuti kepaniteraan di Ilmu Kesehatan Anak.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Hushaemah Syam, Sp.A selaku
dokter pembimbing dalam penyelesaian tugas referat ini, terima kasih atas bimbingan
dan waktunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga referat ini dapat memberikan manfaat pada
pembaca. Penulis menyadari bahwa penyusunan tugas ini masih jauh dari kesempurnaan.
Dalam kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun
demi kesempurnaan laporan ini.

Makassar, 22 Agustus 2018

Khaula Sugira
BAB I
PENDAHULUAN

Kata epilepsi berasal dari Yunani Epilambanmein yang berarti serangan. Epilepsi
sebetulnya sudah dikenal sekitar tahun 2000 sebelum Masehi. Hippokrates adalah orang
pertama yang mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap bahwa epilepsi
merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak. Epilepsi merupakan
kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap orang di seluruh dunia.1
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi, sekitar
lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih
tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar
50:100,000 sementara di negara berkembang mencapai 100:100,000. Di Indonesia belum
ada data epidemiologis yang pasti tetapi diperkirakan ada 900.000 - 1.800.000 penderita,
sedangkan penanggulangan penyakit ini belum merupakan prioritas dalam Sistem
Kesehatan Nasional., karena cukup banyaknya penderita epilepsi dan luasnya aspek
medik dan psikososial, maka epilepsi tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat
sehingga ketrampilan para dokter dan paramedis lainnya dalam penatalaksanaan penyakit
ini perlu ditingkatkan.2,3
Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan dengan
pasti diagnosis epilepsi oleh karena sebelum pengobatan dimulai diagnosis epilepsi harus
ditegakkan dulu. Diagnosis dan pengobatan epilepsi tidak dapat dipisahkan sebab
pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat dilakukan dengan diagnosis epilepsi yang
tepat pula. Diagnosis epilepsi berdasarkan atas gejala dan tanda klinis yang karakteristik.
Jadi membuat diagnosis tidak hanya berdasarkan dengan beberapa hasil pemeriksaan
penunjang diagnostik saja, justru informasi yang diperoleh sesudah melakukan
wawancara yang lengkap dengan pasien maupun saksi mata yang mengetahui serangan
kejang tersebut terjadi dan kemudian baru dilakukan pemeriksaan fisik dan neurologi.
Begitu diperkirakan diagnosis epilepsi telah dibuat barulah dilanjutkan pemeriksaan
tambahan untuk memastikan diagnosis dan mencari penyebabnya, lesi otak yang
mendasari , jenis serangan kejang dan sindrom epilepsi.4,5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi sekumpulan gejala yang manifestasinya
adalah lewat serangan epileptik yang berulang. Epilepsi merupakan gangguan susunan
saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan (seizure, fit, attack, spell) yang
bersifat spontan (unprovoked) dan berkala Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi
fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-
sel otak, bersifat sinkron dan berirama. Serangan dapat berupa gangguan motorik,
sensorik, kognitif atau psikis. Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang
terjadi hanya sekali saja, serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung dan
occasional provokes seizures misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemia. 21,22,23

Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya bangkitan


epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang terjadi oleh karena
lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara paroksismal akibat berbagai
etiologi.24 Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik)
yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau
tanpa perubahan kesadaran , disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf
diotak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).25
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang terjadi
bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus,
kronisitas.
Epilepsi merupakan suatu gangguan kronik yang tidak hanya ditandai oleh
berulanya kejang, tetapi juga berbagai implikasi medis dan psikososial. 3 Gangguan
fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron saraf
pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan
faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi otak,
dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang. 4

B. EPIDEMIOLOGI

World Health Organization menyebutkan, insidens epilepsi di negara maju


berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan di negara berkembang 100 per 100.000
ribu. Salah satu penyebab tingginya insidens epilepsi dinegara berkembang adalah suatu
kondisi yang dapat menyebabkan kerusakan otak permanen. Kondisi tersebut di
antaranya: infeksi, komplikasi prenatal, perinatal, serta post natal.

Di Indonesia, diperkirakan, jumlah penderita epilepsi sekitar 1 - 4 juta jiwa. Di


Bagian llmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan
sekitar 175 - 200 pasien baru per tahun, dan yang terbanyak pada kelompok usia 5 -12
tahun masing-masing 43,6% dan 48,670.5 Penelitian di RSU dr. Soetomo Surabaya
selama satu bulan mendapatkan 86 kasus epilepsi pada anak. Penderita terbanyak pada
golongan umur 1 - 6 tahun (46,5%), kemudian 6 - 10 tahun (29,1%), 10 - 18 tahun
(16,28%) dan 0 - 1 tahun (8,14%). Studi prevalensi epilepsi pernah dilakukan di
Yogyakarta pada tahun 1984 dengan sampel 1 wilayah. Hasil studi didapatkan prevalensi
epilepsi sebesar 4,87 per 1000 penduduk.

C. ETIOLOGI
1. Idiopatik epilepsi : biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum,
penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi mempunyai
inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya predisposisi
genetik.
2. Kriptogenik epilepsi : Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum diketahui.
Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi yang
mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk disini adalah sindroma
West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis berupa
ensefalopati difus.
3. Simptomatik epilepsi : Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak yang
mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan
saraf pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh
darah diotak, toksik (alcohol, obat), gangguan metabolik dan kelainan neuro
degeneratif.

D. FAKTOR RESIKO
Epilepsi dapat dianggap sebagai suatu gejala gangguan fungsi otak yang
penyebabnya bervariasi terdiri dari berbagai faktor. Epilepsi yang tidak diketahui factor
penyebabnya disebut idiopatik. Umumnya factor genetik lebih berperan pada epilepsi
idiopatik. Sedang epilepsi yang dapat ditentukan faktor penyebabnya disebut epilepsi
simtomatik.
Beberapa factor resiko terjadinya epilepsy antara lain :
1.Faktor Prenatal
a. Usia ibu saat hamil
b.Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi
c. Kehamilan primipara / multipara
d.Pemakaian bahan toksik
2.Faktor Natal
a. Afiksia
b.BBL
c. Kehamilan premature / postmatur
d.Partus lama
e. Persalinan dengan alat ( forsep, vakum, SC )
f. Perdarahan intrakranial
3.Faktor Postnatal
a. Kejang demam
b.Trauma kepala
c. Infeksi SSP
d.Epilepsy akibat toksik
e. Gangguan metabolik
4.Faktor keturunan
5.Kelainan Genetik

E. PATOFISIOLOGI
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari
pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, dan
pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage- gated ion channel openening, dan
menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalm hal inisiasi dan perambatan
aktivitas epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang
ekstraseluler dan intraseluler dan oleh gerakan keluar masuk ion-ion menembus
membrane neuron. 2,3

Lima buah elemen fisiologi dari neuron-neuron tertentu pada korteks serebri
penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon
depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi
konduksi Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanyan umpan balik positif yang menyebarkan dan
membangkitkan aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hipocampus, yang bisa
dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini
menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas
penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk jga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptok di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi
secara tepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian melibatkan
neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak
apabila cetusan listrik dari sejumlah neuron abnormal muncul secara bersama-sama,
membentuk suatu badai aktifitas listrik di dalam otak.2,6 Badai listrik tadi menimbulkan
bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantuk pada
daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat.2,3
Sebagi penyebab terjadinya epilepsi, terdiri dari 3 kategori yaitu :2,7
1. Non Spesifik Predispossing Factor (NPF)
2. Membedakan seorang peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain.
Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsy hanya dengan dosis
rangsangan berbeda-beda. Spesific Epileptogenic Disturbances (SED) Kelainan ini
dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya
epileptiform activyti di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama
SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF)
4. Merupakan faktor pencetus terjadinya bnagkitan epilepsi pada penderita epilepsi yang
kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat membangkitkan
reactive seizure dimana SED tidak ada.
Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal
dasar.Hipotesis secara seluler dan molekular yang banyak dianut sekarang adalah :
membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion klaium dan ion klorida,
tetapi sangat sulit dilalui ion natrium dan kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang
tinggi ion kalium dalam sel (intraseluler), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium
ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion
natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion
kalsium. 2,3

Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang
tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi
ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori
sinkronisasi ini dapat terjadi. 2,3

1. fungsi jaringan neuron penghamabat (neurotransmiter GABA dan Glisin) kurang


optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspirin) berlebih
hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimaal antara lain bila konsentrasi
GABA (gamma aminobutyric acid) tdak normal. Pada otak manusia yang menderita
epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi
potensial presinaptik (IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor
GABA. Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron sekelompok besar atau
seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini
menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2
penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal (GABA) sehingga terjadi
pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron
eksitatorik (Glutamat) berlebihan.
Berbagai penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara
neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan herediter, kongenital, hipoksia, infeksi,
tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya
faktor inhibisi dan atau meninkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul
epilepsi bila ada serangan yang memadai.2,3
Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di
hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan
eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya
menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita
epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu
tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial fokus asalnya berada di lobus
temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan.
Pada bayi dan anak-anak sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek
traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek ini
dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sek glia atau kerusakan pada neuron
atau glia, yang pada gilirannya dapat memebuat neuron glia atau lingkungan neuronal
epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan
sebagainya, semuanya dapat mengembagkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain
demage dapat juga terjadi epilepsi, dalam hal ini faktorgenetik dia diadan nggap
penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne centrotempora epilepsy.
Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepasi idiopatik, melalui
mekanisme yang sama.

F. KLASIFIKASI
KLASIFIKASI ILAE 1981
Untuk tipe serangan kejang/bangkitan epilepsi
Serangan parsial
 Serangan parsial sederhana (kesadaran baik).

- Motorik
- Sensorik
- Otonom
- Psikis
 Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)

- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran.
- Gangguan kesadaran saat awal serangan.
 Serangan umum sekunder

- Parsial sederhana menjadi tonik klonik.
- Parsial kompleks menjadi tonik klonik
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik.
 Serangan umum.

- Absans (lena)
- Mioklonik
- Klonik
- Tonik
- Atonik.
 Tak tergolongkan.
KLASIFIKASI ILAE 1989 untuk sindroma epilepsi

Berkaitan dengan letak fokus


 Idiopatik (primer)

- Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal (Rolandik
benigna)
- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
 Primary reading epilepsy“Simptomatik (sekunder)

- Lobus temporalis
- Lobus frontalis
- Lobus parietalis
- Lobus oksipitalis
- Kronik progesif parsialis kontinua
 Kriptogenik

Umum
 Idiopatik (primer)

- Kejang neonatus familial benigna
- Kejang neonatus benigna
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
- Epilepsi absans pada anak
- Epilepsi absans pada remaja
- Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga.
- Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak.
 Kriptogenik atau simptomatik.

- Sindroma West (Spasmus infantil dan hipsaritmia).
- Sindroma Lennox Gastaut.
- Epilepsi mioklonik astatik
- Epilepsi absans mioklonik
 Simptomatik

- Etiologi non spesifik
- Ensefalopati mioklonik neonatal
- Sindrom Ohtahara
- Etiologi / sindrom spesifik.
- Malformasi serebral.
- Gangguan Metabolisme.

Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum

- Serangan umum dan fokal

- Serangan neonatal

- Epilepsi mioklonik berat pada bayi


- Sindroma Taissinare
- Sindroma Landau Kleffner
 Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

 Epilepsi berkaitan dengan situasi

- Kejang demam
- Berkaitan dengan alkohol
- Berkaitan dengan obat-obatan
- Eklampsi.
- Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)

G. DIAGNOSIS

1. Anamnesis

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat
serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa
hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal
segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudahserangan (meliputi gejala dan
lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci
diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan
kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler
dan obat-obatan tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekwensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut
Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini? Usia
serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang. Serangan kejang
yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan pada masa perinatal,
kelainan metabolik dan malformasi kongenital. Serangan kejang umum cenderung
muncul pada usia anak-anak dan remaja. Pada usia sekitar 70 tahunan muncul serangan
kejang biasanya ada kemungkinan mempunyai kelainan patologis di otak seperti stroke
atau tumor otak dsb.
1. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak pada
waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala peringatan yang
dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul disebut dengan “aura” dimana
suatu “aura” itu bila muncul sebelum serangan kejang parsial sederhana berarti ada
fokus di otak. Sebagian “ aura” dapat membantu dimana letak lokasi serangan
kejang di otak. Pasien dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan adanya “déjà vu”
dan atau ada sensasi yang tidak enak di lambung, gringgingen yang mungkin
merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan gangguan penglihatan sementara mungkin
dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada serangan kejang umum
bisa tidak didahului dengan “aura” hal ini disebabkan terdapat gangguan pada kedua
hemisfer , tetapi jika “aura dilaporkan oleh pasien sebelum serangan kejang umum,
sebaiknya dicari sumber fokus yang patologis.
3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan dengan
serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien tidak dapat
menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara dilakukan dengan saksi mata
yang mengetahui serangan kejang berlangsung. Apakah ada deviasi mata dan kepala
kesatu sisi? Apakah pada awal serangan kejang terdapat gejala aktivitas motorik
yang dimulai dari satu sisi tubuh? Apakah pasien dapat berbicara selama serangan
kejang berlangsung? Apakah mata berkedip berlebihan pada serangan kejang
terjadi? Apakah ada gerakan “automatism” pada satu sisi ? Apakah ada sikap
tertentu pada anggota gerak tubuh? Apakah lidah tergigit? Apakah pasien
mengompol ? Serangan kejang yang berasal dari lobus frontalis mungkin dapat
menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah kontralateral lesi. Serangan kejang
yang berasal dari lobus temporalis sering tampak gerakan mengecapkan bibir dan
atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat
menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan penglihatan.
Lidah tergigit dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang
umum meskipun dapat dijumpai pada serangan kejang parsial kompleks.
4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode
sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah “post ictal
period ” Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien lalu
tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun terhadap sekelilingnya
biasanya sesudah mengalami serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese atau
hemiplegi sesudah serangan kejang disebut “Todd’s Paralysis“ yang
menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia dengan tidak disertai
gangguan kesadaran menggambarkan gangguan berbahasa di hemisfer dominan.
Pada “Absens“ khas tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan kejang.
5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang tonik
klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga dan pagi hari.
Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu, sedangkan serangan
kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu malam hari.
6. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena kurang
tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan minum yang tidak teratur,
konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress emosional, panas, kelelahan
fisik dan mental, suara suara tertentu, “drug abuse”, “ reading & eating epilepsy”.
Dengan mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling dengan pasien maupun
keluarganya dapat membantu dalam mencegah serangan kejang.
7. Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu untuk
mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat obat obat anti
kejang .
8. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan ini
mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti
kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang
digunakan spesifik bermanfaat ?
9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan menanyakan
tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan setiap jenis serangan
kejang secara lengkap.
10. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan kejang?
Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat
serangan kejang ada yang diawali dengan “aura“ tetapi tidak ada cukup waktu untuk
mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang atau
mungkin ada “aura“ , sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan
upaya upaya untuk mengurangi bahaya terjadinya luka.
11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan
mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat dapat
mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang mungkin
disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien, ketidakpatuhan minum obat,
ada perubahan minum obat dan penyakit lain yang menyertai.

Riwayat medik dahulu.


Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan informasi
yang berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan dengan serangan
kejang dan pengetahuan tentang lesi yang mendasari dapat membantu untuk pengobatan
selanjutnya.
1. Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan maupun proses
persalinannya?
2. Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau “respiratory distress”?
3. Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia?
4. Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah serangan
kejang demam sederhana sekitar 2 % dan serangan kejang demam kompleks 13%.
5. Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis? atau
penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang disertai serangan kejang.
Dibeberapa negara ada yang diketahui didapat adanya cysticercosis.
6. Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala, perdarahan intra
serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama?
7. Apakah ada riwayat tumor otak?
8. Apakah ada riwayat stroke?

Riwayat sosial.
1. Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien epilepsi
dan ini penting sebagai bagian dari riwayat penyakit dahulu dan sekaligus untuk
bahan evaluasi (Ahmed, Spencer 2004). Apa latar belakang pendidikan pasien?
Tingkat pendidikan pasien epilepsy mungkin dapat menggambarkan bagaimana
sebaiknya pasien tersebut dikelola dengan baik. Dan juga dapat membantu
mengetahui tingkat dukungan masyarakat terhadap pasien dan bagaimana potensi
pendidikan kepada pasien tentang cara menghadapi penyakit yang dialaminya itu.
2. Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya? Pasien epilepsi yang
seragan kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup secara normal dan
produktif. Kebanyakan pasien dapat bekerja paruh waktu atau penuh waktu.
Tetapi bila serangan kejangnya tidak terkendali dengan baik untuk memperoleh
dan menjalankan pekerjaan adalah merupakan suatu tantangan tersendiri. Pasien
sebaiknya dianjurkan memilih bekerja dikantoran, sebagai kasir atau tugas - tugas
yang tidak begitu berisiko, tetapi bagi pasien yang bekerja di bagian konstruksi,
mekanik dan pekerjaan yang mengandung risiko tinggi diperlukan penyuluhan
yang jelas untuk memodifikasikan pekerjaan itu agar supaya tidak membahayakan
dirinya.
3. Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor? Pasien dengan epilepsi yang
serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada gangguan kesadaran sebaiknya
tidak mengemudikan kendaraan bermotor. Hal ini bisa membahayakan dirinya
maupun masyarakat lainnya. Dibeberapa negara mempunyai peraturan sendiri
tentang pasien epilepsi yang mengemudikan kendaraan bermotor.
4. Apakah pasien menggunakan kontrasepsi oral? Apakah pasien merencanakan
kehamilan pada waktu yang akan datang? Pasien epilepsi wanita sebaiknya diberi
penyuluhan terlebih dahulu tentang efek teratogenik obat-obat anti epilepsi,
demikian juga beberapa obat anti epilepsi dapat menurun efeknya bila pasien juga
menggunakan kontrasepsi oral seperti fenitoin, karbamasepin dan fenobarbital.
Dan bagi pasien yang sedang hamil diperlukan obat tambahan seperti asam folat
untuk mengurangi risiko terjadinya “ neural tube defects“ pada bayinya.
5. Apakah pasien peminum alkohol? Alkohol merupakan faktor risiko terjadinya
serangan kejang umum, sebaiknya tidak dianjurkan minum-minuman alkohol.
Selain berinteraksi dengan obat-obat anti epilepsy tetapi dapat juga menimbulkan
ekstraserbasi serangan kejang khususnya sesudah minum alkohol .
Riwayat keluarga.
Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada
sindrom epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor
genetik dimana manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai contoh “Juvenile
myoclonic epilepsy (JME)“,“ familial neonatal convulsion“,“ benign rolandic epilepsy“
dan sindrom serangan kejang umum tonik klonik disertai kejang demam plus (Ahmed,
Spencer 2004).
Riwayat allergi.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu
dibedakan apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi
hipersensitif. Bila terdapat semacam ”rash“ perlu dibedakan apakah ini terbatas karena
efek fotosensitif yang disebabkan eksposur dari sinar matahari atau karena efek
hipersensitif yang sifatnya lebih luas? (Ahmed, Spencer 2004)
Riwayat pengobatan.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu ditanyakan
bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari dan berapa lama sudah
diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek sampingnya. (Ahmed, Spencer
2004)
Riwayat Pemeriksaan penunjang lain.
Perlu ditanyakan juga kemungkinan apa pasien sudah dilakukan pemeriksaan
penunjang seperti elektroensefalografi atau CT Scan kepala atau MRI.
2.Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dan neurologi.


Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak -
anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal
gangguan pertumbuhan otak unilateral.
Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien yang berusia
lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk mendeteksi adanya
penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali
serangan kejang itu muncul oleh karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan
kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan
kulit juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus seperti “café au lait
spots“ dan “iris hamartoma” pada neurofibromatosis,“Ash leaf spots” , “shahgreen
patches” , “ subungual fibromas” , “ adenoma sebaceum” pada tuberosclerosis, “ port -
wine stain “ (capilarry hemangioma) pada sturge-weber syndrome. Juga perlu dilihat
apakah ada bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang
berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat
serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh
karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada “dupytrens contractures” yang dapat
terlihat oleh karena pemberian fenobarbital jangka lama. (Ahmed, Spencer 2004,
Harsono 2001, Oguni 2004).
Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, saraf kranialis, fungsi
motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti hemiparese
,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin dapat menunjukkan
adanya lateralisasi atau lesi struktur di 21 area otak yang terbatas. Adanya nystagmus ,
diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti
karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu serangan
kejang terjadi.” Dysmorphism “ dan gangguan belajar mungkin ada kelainan kromosom
dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat dapat
diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa menunjukkan
adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa
menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis.(Ahmed, Spencer 2004,
Harsono 2001, Oguni 2004, Sisodiya, Duncan 2000).
2. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan elektroensefalografi.
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan
perekaman pada wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi
fotik dan hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang
penting untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa alasan sebagai berikut
(Duncan, Kirkpatrick, Harsono 2001, Oguni 2004)
1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien
dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil pemeriksaan EEG
akan membantu dalam membuat diagnosis, mebgklarifikasikan jenis serangan
kejang yang benar dan mengenali sindrom epilepsi.
2. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola epileptiform
pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung diagnosis epilepsi.
Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti “3-Hz spike-wave complexes“
adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang spesifik.
3. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat
menjelaskan manifestasi klinis daripada“aura“ maupun jenis serangan kejang.
Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini selalu dilakukan
dengan cermat.

Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan


dalam menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :
1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan kemungkinan
epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang epileptiform, apabila
dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya meningkat menjadi 59-92 %.
Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap memperlihatkan hasil EEG yang normal,
sehingga dalam hal ini hasil wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting
sekali.
2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan adanya
epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil orang-orang normal
oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat digunakan untuk
menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsy. Suatu fokus epileptogenik yang
terlokalisasi pada pemeriksaan EEG mungkin saja dapat berubah menjadi
multifokus atau menyebar secara difus pada pasien epilepsi anak.
3. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan
epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran epileptiform
difus maupun yang fokus kadang-kadang dapat membingungkan untuk
menentukan klasisfikasi serangan kejang kedalam serangan kejang parsial atau
serangan kejang umum.

Pemeriksaan video-EEG
Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis epilepsi
atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada pemeriksaan rutin
EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi, atau juga perlu dikerjakan
bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan terapi pembedahan. Biasanya
pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena
epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-menerus
dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran
serangan kejang epilepsi (Kirpatrick, Sisodiya, Duncan 2000, Stefan, 2003).

Pemeriksaan radiologi
Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural diotak
(Harsono 2003, Oguni 2004) Indikasi CT Scan kepala adalah: (Kustiowati dkk 2003)
- Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan
struktural di otak.
- Perubahan serangan kejang.
- Ada defisit neurologis fokal.
- Serangan kejang parsial.
- Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.
- Untuk persiapan operasi epilepsi.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun
demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan
untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan.
Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis
kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat
mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya
meliputi:T1 dan T2 weighted“ dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan
coronal dan irisan saggital (Duncan, Kirkpatrick, Kustiowati dkk 2003).

Pemeriksaan neuropsikologi
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan
pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya
memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan
pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan
epilepsy.
H. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama secara klinis, yaitu berdasarkan deskripsi
kejang, biasanya dari saksi karena pasien tidak sadar akan gejala-gejalanya. Diagnosis
bandingnya antara lain :
- Sinkop
- Disritmia jantung
- Pseudoseizzure
- Hiperventilasi/serangan panic
- Serangan iskemik transient ( TIA)
- Narkolepsi
- Hipoglikemi
- Gangguan vestibular
Dari diagnosis banding ini yang terpenting adalah sinkop dan pseudoseizzure ( serangan
simulasi baik tidak sadar, serangan histeris, ataupun sadar, pura-pura)

I. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal terendah.
Yang terpenting adalah kadar obat antiepilepsi bebas yang dapat menembus sawar darah
otak dan mencapai reseptor susunan saraf pusat.
Serangan epilepsi dapat dihentikan oleh obat dan dapat pula dicegah agar tidak
kambuh. Obat tersebut disebut sebagai obat antikonvulsi atau obat antiepilepsi. 6
Prinsip pengobatan epilepsi: 6
1. Mendiagnosis secara pasti, menentukan etiologi, jenis serangan dan sindrom
epilepsi
2. Memulai pengobatan dengan satu jenis obat antiepilepsi
3. Penggantian obat antiepilepsi secara bertahap apabila obat antiepilepsi yang
pertama gagal
4. Pemberian obat antiepilepsi sampai 1-2 tahun bebas kejang.
OAE pilihan pertama dan kedua : 6
1. Serangan parsial (sederhana, kompleks dan umum sekunder) OAE I :
Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin OAE II : Benzodiazepin, asam
valproat
2. Serangn tonik klonik
OAE I :Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin, asam valproat OAE II :
Benzodiazepin, asam valproat
3. Serangan absens
OAE I: Etosuksimid, asam valproate
OAE II : Benzodiazepin
4. Serangan mioklonik
OAE I: Benzodiazepin, asam valproate
OAE II : Etosuksimid

5. Serangan tonik, klonik, atonik Semua OAE kecuali etosuksinid


Syarat penghentian obat anti epilepsi: 6
1. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah
minimal 2 tahun bebas bangkitan
2. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap
bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
3. Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE yang
bukan utama
Penderita epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling sedikit 2
tahun. Bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan dan penderita
tidak mengalami kejang lagi, dapat dikatakan bahwa penderita telah mengalami remisi.
30% penderita tidak akan mengalami remisi walau sudah minum obat teratur.
Faktor yang mempengaruhi remisi adalah lamanya kejang, etiologi, tipe kejang,
umur awal terjadi kejang, kejang tonik-klonik, kejang parsial kompleks akan mengalami
remisi pada hampir lebih dari 50% penderita. Makin muda usia awal terjadinya kejang,
remisi lebih sering terjadi Umur onset yang relatif lambat sesudah usia 2 atau 3 tahun,
juga merupakan faktor yang menguntungkan. Resiko kekambuhan setelah penghentian
pengobatan tergantung pada faktor yang sama dengan remisi kejang. 6
Pemilihan OAE pada pasien anak berdasarkan bentuk bangkitan dan sindrom

Mekanisme kerja OAE


J. KOMPLIKASI
Bila serangan epilepsy sering terjadi dan berlangsung lama, maka akan terjadi
kerusakan pada organ otak, dimana tingkat kerusakan biasanya bersifat irreversible dan
jika sering terjadi dengan jangka waktuyang lama sering sekali membuat pasien menjadi
cacat.
K. PROGNOSIS
Pada kasus epilepsi, prognosis penyakit sangat tergantung terhadap intesitas
terjadinya serangan dimana intesitas serangan ini dapat dikuranggi dengan cara
menghindari factor pencetus ataupun pengendalian aktifitas sehari – hari. Penanganan
pada kasus epilepsi saat serangan merupakan factor penting penentuan prognosis.
BAB III
PENUTUP

Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap orang di
seluruh dunia.1Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka
epilepsi lebih tinggi di negara berkembang
Bila serangan epilepsi tidak ditangani dengan baik dan berlangsung lama dapat
mengakibatkan kerusakan pada sistem otak dan syaraf anak tersebut hingga dapat
mengakibatkan kematian.
Pada kasus epilepsi, prognosis penyakit sangat tergantung terhadap intesitas
tejadinya serangan dimana intesitas serangan ini dapat dikuranggi dengan cara
menghindari faktor pencetus ataupun pengendalian aktifitas sehari – hari. Penanganan
pada kasus asma saat serangan merupakan faktor penting penentuan prognosis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tjahjadi Petrus, Dikot Yustiani, Gunawan Dede. Gambaran Umum Mengenai


Epilepsi. Dalam: Harsono, penyunting. Kapita Selekta Neurologi. Edisi-2.
Yogyakarta: Gajahmada University Press; 2007: h.119-133.
2. Syeban Zakiah, Markam S, Harahap Tagor. Epilepsi. Dalam: Markam Soemarmo,
penyunting. Penuntun Neurologi. Edisi-1. Tangerang: Binarupa Akasara; 2009: h.
100-102.
3. Passat Jimmy. Epidemiologi Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo Taslim, Ismael
Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 1999: h.190-
197.
4. Sunaryo utoyo.2007. Diagnosis Epilepsi. Surabaya; Bagian neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma .
5. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008
6. Markam S, Gunawan S, Indrayana, Lazuardi S. Diagnostik Epilepsi. Dalam:
Markam Soemarmo, penyunting. Penuntun Neurologi. Edisi-1. Tangerang: Binarupa
Akasara; 2009: h. 103-113.
7. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Editor Irawati S, edisi 11.
Jakarta: Balai Pnerbit EGC; 2008. Hal 345-6
8. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and Therapy in
Children and Adults.2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd. 2005
9. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit.
Ed: 6. Jakarta: EGC
10. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.
11. Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 2005
12. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008
13. http://www.medscape.com/viewarticle/726809
14. Kliegman. Treatment of Epilepsy.Nelson Textbook of Pediatrics. Philadelphia:
Saundres Elsevier. 2008. 593

Anda mungkin juga menyukai