Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS

SUPERVISOR :

dr. H. Abdul Razak D. Sp.A

Disusun oleh:
Honesti Trijuniarni
H1A 007 022

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU PEDIATRI/SMF ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PRAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2013

1
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Leukemia adalah neoplasma akut atau kronis dari sel-sel pembentuk darah dalam sumsum
tulang dan limfa (Reeves, 2001). Sifat khas leukemia adalah proliferasi tidak teratur atau
akumulasi sel darah putih dalam sumsum tulang, menggantikan elemen sumsum tulang normal.
Proliferasi juga terjadi di hati, limpa, dan nodus limfatikus. Terjadi invasi organ non-
hematologis seperti meninges, traktus gastrointestinal, ginjal, dan kulit 1

Leukemia atau kanker darah adalah sekelompok penyakit neoplastik yang beragam, ditandai
oleh perbanyakan secara tak normal atau transformasi maligna dari sel-sel pembentuk darah di
sumsum tulang dan jaringan limfoid. Sel-sel normal di dalam sumsum tulang digantikan oleh sel
tak normal atau abnormal. Sel abnormal ini keluar dari sumsum dan dapat ditemukan di dalam
darah perifer atau darah tepi. Sel leukemia mempengaruhi hematopoiesis atau proses
pembentukan sel darah normal dan imunitas tubuh penderita 2

Kata leukemia berarti darah putih, karena pada penderita ditemukan banyak sel darah putih
sebelum diberi terapi. Sel darah putih yang tampak banyak merupakan sel yang muda, misalnya
promielosit. Jumlah yang semakin meninggi ini dapat mengganggu fungsi normal dari sel
lainnya.

Klasfikasi

Leukemia dapat diklasifikasikan atas dasar:1,2

Dasar klasifikasi jenis Keterangan

1. Perjalanan alamiah Akut  Leukemia akut ditandai dengan suatu perjalanan

2
penyakit penyakit yang sangat cepat, mematikan, dan
memburuk. Apabila tidak diobati segera, maka
penderita dapat meninggal dalam hitungan
minggu hingga hari.

kronis  Leukemia kronis memiliki perjalanan penyakit


yang tidak begitu cepat sehingga memiliki
harapan hidup yang lebih lama, hingga lebih dari
1 tahun bahkan ada yang mencapai 5 tahun.

2. Tipe sel predominan limfoid Disebut leukemia limfositik


yang terlibat dan
ditemukan pada mieloid Disebut leukemia mieloid
hapusan darah tepi

3. Jumlah leukosit Leukemia  bila jumlah leukosit di dalam darah lebih dari
dalam darah leukemik normal, terdapat sel-sel abnormal

Leukemia  bila jumlah leukosit di dalam darah kurang dari


subleukemik, normal, terdapat sel-sel abnormal

Leukemia  bila jumlah leukosit di dalam darah kurang


aleukemik dari normal, tidak terdapat sel-sel abnormal

3
Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)

Epidemiologi

Leukimia akut pada masa anak-anak merupakan 30-40% dari keganasan. Di negara
berkembang 83% ALL, 17% AML dan lebih tinggi pada anak kulit putih dari pada kulit hitam.
Di Jepang mencapai 4/100.000 anak, dan diperkirakan tiap tahun terjadi 100 kasus baru.
Sedangkan di Jakarta pada tahun 1994 insidennya mencapai 2.76/100.000 anak usia 1-4 tahun.
Pada tahun 1996 didapatkan 5-6 pasien leukemia baru setiap bulan di RSUP dr. Sardgito
Yogyakarta, sementara itu di RSU dr. Soetomo sepanjang tahun 2002. Di jumpai 70 kasus
leukemia baru.3

Leukemia akut pada anak mencapai 97% dari semua leukemia pada anak, dan terdiri dari 2
tipe yaitu LMA 18% dan LLA 82%. Leukemia kronik mencapai 3% dari seluruh leukemia pada
4

4
anak. Di RSU dr. Sardgito LLA 79%, LMA 9% dan sisanya leukemia kronik, sementara itu di
RSU dr. Soetomo pada tahun 2002 LLA 88%, LMA 8% dan 4% leukemia kronik. 3

Rasio laki-laki dan prempuan adalah 1,15 mendekati 1 utuk LMA. Puncak kejadian 2-5
tahun, spesifik untuk anak kulit putih ALL, hal ini disebabkan banyaknya kasus pre B-LLA pada
rentan usia ini. Kejadian ini tidak tampak kulit hitam. Kemungkinan puncak tersebut merpakan
pengaruh factor-faktor lingkungan di Negara industri yang belum diketahui. 3

Etiologi

Penyebab leukemia belum diketahui namun anak-anak dengan cacat genetic (trisomi 21,
sinrom Bloom’s, anemia. fanconi dan ataksia telangiektasia) mempunyai lebih tinggi untuk
menderita leukemia mozigot. 3

Studi faktor lingkungan difokuskan pada inutero dan pascanetal. Mosko melakukan studi
kasus kelola pada 204 pasien dengan paparan paternal atau maternal terhadap pestisida dan
produk minyak bumi. Terdapat peningkatan resiko pada keturunannya. 3

Penggunaan marijuana maternal jika menunjukan hubungan yang signifikan. Radiasi dosis
tinggi merupakan leukemoginik, seperti dilaporkan di Hirosima dan Nagasaki sesudah ledakan
bom atom. Meskipun demikian paparan radiasi dosis tinggi inutero secara signifikan tidak
mengarah pada peningkatan insiden leukemia, demikian juga halnya dengan radiasi dosis rendah.
Namun hal ini masih merupakan perdebatan. Pemeriksaan X-ray abdomen selama trimester 1
kehamilan menunjukkan peningkatan kasus sebanyak 5 kali. 3

Kontroversi tentang paparan elektromagnetik masih tetap ada. Beberapa studi tidak
menemukan tingkatan tapi studi terbaru menunjukan peningkatan 2x diantara anak-anak yang
tingga dijalur listrik tegangan tinggi. Namun tidak signifikan karena jumlah anak yang terpapar
sedikit. Hipotesis yang menarik saat ini mengenai etiologi leukemia pada anak-anak adalah
serangan infeksi virus dan bakteri. 3

5
6

6
Faktor Prognostik

Faktor-faktor prognostik LLA sebagai berikut: 3

1. Jumlah leukosit awal yaitu pada saat diagonis di tegakkan, mungkin merupakan
faktor prognosis yang bermakna tinggi. Ditemukan hubungan linier antara jumlah
leukosit awal dan perjalanan pasien LLA pada anak, yaitu bahwa pasien dengan jumlah
leukosit >50.000 ul mempunyai pronosis yang buruk.
2. Ditemukan pula adanya hubungan antara umur pasien saat diagonis dan hasil
pengobatan. Pasien dengan umur dibawah 18 bulan atau diatas 10 tahun mempunyai
prognosis lebih buruk dibandingkan dengan pasien yang berumur diantara itu. Kasusu
pasien dibawah umur 1 tahun atau bayi terutama dibawah 6 bulan mempunyai prognosis
paling buruk. Hal ini dikatakan karena mereka mempunyai kelainan biomolekuler
tertentu.
3. Fenotip imunologis dari limfoblast saat diagonis juga mempunyai nilai
prognostik. Leukemia sel-B (L3 pada kasus FAB) dengan antibodi “kappa” dan ”lambda“
pada permukaan blast diketahui mempunyai prognosis yang buruk. Dengan adanya
protokol spesifik untuk sel B prognosisnya semakin membaik. Sel-T leukemia juga
mempunyai prognosis yang jelek, dan diperlakukan sebagai resiko tinggi. Dengan terapi
intensif, sel-T leukemia murni tanpa faktor prognostik buruk yang lain, mempunyai
mempunyai prognosis yang sama dengan leukemia sel pre-B. LLA sel-T diatas dengan
protokol resiko tinggi.
4. Anak perempuan mempunyai prognosis yang lebih baik dari anak laki-laki. Hal
ini dikatakan karena timbulnya relaps testis dan kejadian leukemia sel-T yang tinggi di
hiperleukositosis dan organomegali serta massa mediatinum pada anak laki-laki.
Penyebab pastinya belum diketahui, tatapi diketahui pula perbedaan metabolisme
merkaptorin dan metotreksat.
5. Respon terhadap terapi dapat diukur daru jumlah sel blast di darah tepi setelah
satu minggu terapi prednisone dimulai. Adanya sisa sel blast pada sum-sum tulang pada
induksi hari ke-7 atau 14 menunjukan prognosis buruk.
7

7
6. Kelainan jumlah kromosom juga mempengaruhi prognosis. LLA hiperloid
(>50/kromosom) yang bias ditemukan pada 25% kasus mempunyai prognosis yang baik.
LLA haploid (3-5%) memiliki prognosis intermediate seperti t (1;19). Translokasi t (9;22)
pada 5% anak atau t (4;11) pada bayi berhubungan tdengan prognosis buruk.

Patofisiologi

Leukemia akut dimulai dari sel tunggal yang berproliferasi secara klonal sampai mencapai
sejumlah populasi sel yang dapat terdeteksi. Diperkirakan agen penyebab leukimia mempunyai
kemampuan melakukan modifikasi nucleus DNA, dan kemampuan ini meningkat bila terdapat
suatu kondisi (mungkin suatu kelainan) genetik tertentu seperti translokasi, amplifikasi dan
mutasi onkogen seluler. 3

Penelitian yang dilakukan pada leukemia limfoblastik akut menunjukkan bahwa sebagian
besar LLA mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel blas dari setiap pasien. Oleh
karena itu homogenitas itu maka dibuat klasifikasi LLA secara morfologik untuk lebih
memudahkan pemakaian dalam klinik sebagai berikut :

L-1 terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin homogen, anak inti
umumnya tidak nampak dan sitoplasma sempit.

L-2 pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukuran bervariasi, kromatin lebih kasar
dengan satu atau lebih anak inti.

L-3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak, banyak anak
inti serta sitoplasma yang basofilik dan bervakuolisasi.

Akibat terbentuknya populasi sel leukimia yang makin lama makin banyak akan
menimbulkan dampak yang buruk bagi produksi sel normal dan bagi faal tubuh maupun dampak
karena infiltrasi sel leukimia ke dalam organ tubuh. Kegagalan hematopoisis normal merupakan
akibat yang besar pada patofisiologi leukimia akut, walaupun demikian patogenesisnya masih

8
Blokade Maturitas

Proses diferensiasi sel-sel mieloid terhenti pada sel-sel muda (blas)

Sel mieloid Akumulasi sel-sel blas di sumsum tulang Sel limfoid

Gangguan hematopoeisesis
sumsum tulang yang justru hiposeluler.

Sindrom kegagalan sumsum tulang


(bone marrow failure syndrome)
Penurunan produksi eritrosit, trombosit, leukosit

Sel blas keluar dari sumsum tulang

Infiltrasi ke organ dan jaringan


Sitopeni

Anemia Leukopenia Trombositopenia


populasi sel leukemia, terlihat pada keadaan yang sama (pansitopenia) tetapi dengan gambaran
sangat sedikit diketahui. Bahwa tidak selamanya pansitopenia yang terjadi disebabkan desakan

9
9
Imunofenotip

Sel leukemia adalah hasil dari mutasi pada tahap perkembangan awal hemopoitik.
Klasifikasi imuninofenotip sangat berguna dalam mengklasifikasikan leukemia sesuai tahap-
tahap maturasi normal yang dikenal. Kebanyakan kelompok saat ini mengklasifikasikan, LLA
dalam prekursor sel-B atau prekusor sel-T.prekusor sel-B termasuk CD19, CD20, CD21 dan
CD79. 3

Diagnosis Banding

- Anemia aplastik
- Gangguan mieloproleferatif
- ITP
- Keganasan lain
- Penyakit reumatologi
- Penyakit vaskular
- Sindrom hemofagosit familial
- Induksi virus
- Infeksi visrus Ebtein-Barr
- Infeksi mononukleosis
- Reaksi leukemoid
- Sepsis

Pengobatan

Terapi induksi berlangsung 4-6 minggu dengan dasar 3-4 obat yang berbeda (dexametasol
vinkristin, L-asparaginase dan atau antrasiklin). Kemungkinan hasil yang dapat dicapai remisi
komplit, remisi parsial, atau gagal. Intensifikasi merupakan kemoterapi intensif tambahan setelah
remisi komplit dan untuk profilaksi leukimia pada susunan saraf pusat. Hasil yang diharapkan
10

10
adalah tercapainya perpanjangan remisi dan meningkatkan kesembuhan. Pada pasien resiko
sedang dan tinggi induksi diintensifkan guna memperbaiki kualitas remisi. Lebih dari 95%
pasien akan mendapatkan remisi pada pasien ini. Tetapi SSP yaitu secara langsung diberikan
melalui remisi intratekal dengan obat metotreksak sering dikombinasi dengan infus berulang
metotreksat dosis sedang (500mg/m2) atau dosis tinggi pusat pengobatan (3-5 g/m 2). Dibeberapa
pasien resiko tinggi dengan umur >5 tahun mungkin lebih efektif dengan memberikan radiasi
cranial (18-24 Gy) disamping pemakaian kemoterapi sistemik dosis tinggi. 3

Terapi lanjutan lumatan dengan menggunakan obat merkaptopurin tiap hari dan metotresak
setiap minggu, secara oral dengan sitostartika lain selama perawatan tahun pertama. Lamanya
terapi lumatan ini pada kebanyakan studi adalah 2-21/dua tahun dan tidak ada keuntungan jika
perawatan selama tiga tahun. 3

Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas gejala klinis leukimia.
Pada aspirasi sumsum tulang jumlah sel blast <5% dari sel berinti, Hb >12 gr/dl tanpa transfusi,
jumlah leukosit >300/ul dengan hitung jenis leukosit normal, jumlah granulosit >6.000/ul,
jumlah trombosit >100.000/ul, dan pemeriksaan cairan cerebrospinal normal. 3

Transplantasi sumsum tulang mungkin memberikan kesempatan untuk sembuh, khususnya


bagi anak-anak dengan leukimia sel-T yang setelah relaps yang mempunyai prognosis yang
buruk dengan terapi sitostatika konvensional. 3

LEUKIMIA MIELOBLASTIK AKUT

Definisi

Leukimia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan transformasi
neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri myeloid. Bila tidak diobati
penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa minggu sampai
bulan sesudah diagnosis. 3

Insidensi

11

11
 Di negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dari seluruh kasus
leukemia.
 Penyakit ini lebih sering ditemui pada dewasa (85%) daripada anak (15%).
 Insidensi LMA umumnya tidak berbeda dari masa anak-anak hingga masa dewasa
muda. Sesudah usia 30 tahun, insidensi LMA meningkat secara exponensial sejalan
dengan meningkatnya usia.
 Insidensi LMA pada orang yang berusia 30 tahun adalah 0,8%, pada orang yang
berusia 50 tahun adalah 2,7 %, sedangkan pada orang berusia>65 tahun adalah sebesar
13,7%
 Secara umum tidak didapatkan adanya variasi antar etnik tentang insidensi LMA.

3. Etiologi 3

 Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak diketahui


 Kelainan congenital dan penyakit yang didapat berpengaruh pada AML
 Pengaruh factor congenital seperti;
1. Sindrom Down
2. Kembar dengan leukemia
3. Anemia Fanconi’s
4. Sindrom Bloom
5. Neutropenia congenital
6. Klinefelter’s syndrome

 Pengaruh faktor yang didapat seperti;


1. Paparan prenatal pada zat seperti tembaco, alcohol, dan marijuana
2. Pestisida, herbicida, benzene, dan petroleum
3. Anemia aplastik
4. Sindrom myelodisplastik
5. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria

12

12
6. Radiasi
7. Kemotrapi

Patognesis

 Patognesis utama LMA pada setiap tahapan umur secara umum tidak berbeda
yaitu akibat adanya blockade maturitas yang menyebabkan proses diferensiasi sel-sel
seri myeloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di
sumsum tulang. 3
 Akumulasi blast di sumsum tulang akan menyebabkan gangguan hematopoesis
normal dan pada gilirannya akan menyebabkan sindrom kegagalan sumsum tulang yang
ditandai dengan adanya sitopenia (anemia, lekopenia dan trombositopenia). 3
 Selain itu, sel-sel blast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk migrasi
keluar sumsum tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan
lunak dan SSP serta merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya. 3

5. Ciri-ciri/kekhasan klinis dari AML

 Banyak cirri-ciri klinik dari AML yang mirip dengan gambaran pada ALL.
 Ciri-ciri morfologi dari myeloblas dan cirri-ciri cytokimia dari AML dapat dilihat
pada table dibawah ini;

13

13
Diagnosis

 Diagnosis pasti LMA ditegakan berdasarkan pemeriksaan Laboratorium seperti


pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia.

Klasifikasi 3

FAB klasifikasi dari AML

AML FAB classification

AML subtype

AML-M0 Acute myelogenous leukemia without cytologic maturation

AML-M1 Acute myelogenous leukemia with minimal maturation

AML-M2 Acute myelogenous leukemia with significant maturation

AML-M3 Acute promyelocytic leukemia

AML-M4 Acute myelomonocytic leukemia

AML-M4eo AML-M4 with eosinophilia

AML-M5a Acute monocytic leukemia, poorly differentiated

14

14
AML-M5b Acute monocytic leukemia, well-differentiated

AML-M6 Acute erythroleukemia

AML-M7 Acute megakaryoblastic leukemia

Terapi 3

 Tujuan pengobatan pada pasien LMA adalah untuk mengeradikasi sel-sel klonal
leukemik dan untuk memulihkan hematopoesis normal didalam sumsum tulang.
 Survival jangka panjang hanya didapatkan pada pasien yang mencapai remisi komplit
 Dosis kemotrapi tidak perlu diturunkan karma alas an adanya sitopenia, karma dosis yang
diturunkan ini akan tetap menimbulkan efek samping berat berupa supresi sumsum tulang,
tanpa punya efek yang cukup untuk mengeradikasi sel-sel leukemik maupun untuk
mengembalikan fungsi sum-sum tulang.

ANEMIA DEFISIENSI BESI


IA
ANEM
1. DEFINISI
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya besi yang diperlukan
l as t ik didapat
aa p
untuk sintesis hemoglobin.4 Anemi
k
m ia H emoliti
2. KLASIFIKASI Ane
t r i ti o n al
a nu
Anemi lastik l
ain
t h a la semia Ap
im
t p e n y akit enz
si erka i
a de f i s iensi be T ra gik aku
t
An em i e m o
Post h
bi t
n e m i a Sel sa
12 A
n s i Vit. B s
n em i a de f i s i e
e n y ak it kroni
A p
te r lain Dalam
r e d i
itik he
Hemol
e fi s i en si Folat
ad
Anemi Lainny
a
15
d i d ap a t
it ik
Hemol
15
in
nu t ri t ional la
Anemia
3. ETIOLOGI
Secara umum anemia dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3 mekanisme independen5:
a. Berkurangnya produksi sel darah merah
Anemia disebabkan karena kecepatan produksi sel darah merah lebih rendah dari
destruksinya. Penyebab berkurangnya produksi sel darah merah1:
 Kekurangan nutrisi: Fe, B12, atau folat; dapat disebabkan oleh
kekurangan diet, malaborpsi (anemia pernisiosa, sprue) atau kehilangan
darah (defisiensi Fe)
 Kelainan sumsum tulang (anemia aplastik, pure red cell aplasia,
mielodisplasia, infiltrasi tumor)
 Supresi sumsum tulang (obat, kemoterapi, radiasi)
 Rendahnya trophic hormone untuk stimulasi produksi sel darah merah
(eritropoietin pada gagal ginjal, hormon tiroid [hipotiroidisme] dan androgen
[hipogonadisme])
 Anemia penyakit kronis/anemia inflamasi, yaitu anemia dengan
karakteristik berkurangnya Fe yang efektif untuk eritropoiesis karena
berkurangnya absorpsi Fe dari traktus gastrointestinal dan berkurangnya
pelepasan Fe dari makrofag, berkurangnya kadar eritropoietin (relatif) dan
sedikit berkurangnya masa hidup erirosit.
b. Meningkatnya destruksi sel darah merah
Anemia hemolitik merupakan anemia yang disebabkan karena berkurangnya masa
hidup sel darah merah (kurang dari 100 hari). Pada keadaan normal, umur sel darah
merah 110-120 hari.4 Anemia hemolitik terjadi bila sumsum tulang tidak dapat
mengatasi kebutuhan untuk menggganti lebih dari 5% sel darah merah/hari yang
berhubungan dengan masa hidup sel darah merah kira-kira 20 hari.5
Kehilangan darah.

16

16
4. PATOFISIOLOGI.

Terdapat dua cara penyerapan zat besi dalam usus, yaitu: 4

1. Penyerapan dalam bentuk non-heme (sekitar 90% berasal dari makanan), yaitu
besinya harus diubah dulu menjadi bentuk yang diserap
2. Bentuk heme (sekitar 10% berasal dari makanan) besinya dapat langsung diserap
tanpa memperhatikan cadangan besi dalam tubuh, asam lambung ataupun zat makanan
yang dikonsumsi.

Bioavailabilitas besi dipengaruhi oleh komposis zat gizi dalam makanan. Asam askorbat,
daging, ikan dan unggas akan meningkatkan penyerapan besi non heme. Jenis makanan yang
mengandung asam tanat (terdapat dalam teh dan kopi), kalsium, fitrat, beras, kuning telur,
polifenol, oksalat, fostat, dan obat-obatan (antasida, tetrasiklin, dan kolestiramin) akan
mengurangi penyerapan zat besi. 4

Dalam tubuh cadangan besi ada dua bentuk yaitu:6


1. Ferritin; sifatnya mudah larut, tersebar dan makrofag, terbanyak di hati.
2. Hemosiderin; tidak mudah larut, lebih stabil tetapi lebih sedikit dibandingkan
ferritin. Terutama ditemukan dalam sel Kupfer hati dan makrofag di limpa dan sumsum
tulang.

Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi yang berlangsung
lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan menyebabkan cadangan
besi terus berkurang. Tahapan defisiensi besi dibagi menjadi 3 yaitu:4
1. Tahap pertama/ iron depletion atau storage iron deficiency. Ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi
protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorbsi non-heme.
Ferritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya defisiensi
besi masih normal.
2. Tahap kedua/ iron deficient erythropoietin atau iron limited erythropoiesis. Didapatkan
suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoiesis. Dari hasil pemeriksaan

17

17
laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi transferrin menurun
sedangkan TIBC meningkatan dan FEP meningkat.
3. Tahap ketiga/ iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi yang menuju eritroid
sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran
darah tepi didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap ini telah
terjadi perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.

Tabel. Perbandingan ketiga tahapan ADB 4

Tahap 1 Tahap II Tahap 3


normal Sedikit menurun Menurun jelas
(mikrositik/hipokromik)

Cadangan besi (mg) <100 0 0

Fe serum (µg/dL) normal <60 <40

TIBC ((µg/dL) 360-390 >390 >410

Saturasi transferrin 20-30 <15 <10


(%)

Ferritin serum <20 <12 <12


((µg/dL)

Sideroblas (%) 40-60 <10 <10

FEP ((µg/dL SDM) >30 >100 >200

MCV Normal Normal Menurun

5. DIAGNOSIS
a. Manifestasi klinis
Gejala yang umum terjadi adalah pucat. Pada ADB dengan kadar Hb 6-10 g/dL terjadi
mekanisme kompensasi yang efektif sehingga gejala anemi hanya ringan saja. Bila kadar

18

18
Hb turun menjadi <5 g/dL gejala iritabel dan anoreksia akan mulai tampak lebih jelas.
Bila anemia terus berlanjut dapat terjadi takikardi, dilatasi jantung dan murmur sistolik.
Namun kadang-kadang pada kadar Hb <3-4 g/dL pasien tidak mengeluh karena tubuh
sudah mengadakan kompensasi sehingga beratnya gejala ADB sering tidak sesuai dengan
kadar Hb. 4
Gejala lain yang dapat muncul yaitu:
 Intoleransi terhadap latihan: penurunan aktifitas kerja dan daya tahan
tubuh
 Termogenesis yang tidak normal: ketidakmampuan untuk
mempertahankan suhu tubuh normal pada saat udara dingin
 Daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun hal ini terjadi karena fungsi
leukosit yang tidak normal. Pada penderita ADB neutrophil mempunyai
kemampuan untuk fagositosis tetapi kemampuan untuk membunuh E.coli dan
S.aureus menurun.
 Pada ADB dapat dijumpai kondisi yang disebut sebagai pika yaitu
kegemaran memakan makanan yang tidak biasa seperti es batu, kertas, tanah dan
rambut.
Perlu digali informasi mengenai riwayat terinfeksi malaria, infestasi aprasit seperti
ankylostoma dan schistosoma. 5
b. Pemeriksaan fisik 4
 Pucat ditemukan bila kadar Hb <7 g/dL
 Tanpa organomegali
 Dapat ditemukan koilonikia, glositis, stomatitis angularis, takikardi, gagal
jantung, protein-losing enteropathy
 Gangguan pertumbuhan
c. Laboratorium 2,6
1. Pemeriksaan darah rutin
 Jumlah leukosit biasanya normal tetapi pada ADB yang berlangsung lama
dapat terjadi granulositopenia.
 Jumlah trombosit meningkat 2-4 kali normal.
 Nilai indeks eritrosit, MCV, MCH, MCHC menurun sejajar dengan
penurunan kadar Hb
 Eosinophilia dapat ditemukan pada kondisi yang disebabkan oleh infestasi
cacing.
 Nilai RDW tinggi >14,5% pda defisiensi besi, bila RDW normal (<13%)
ditemukan pada talasemia trait
19

19
2. Morfologi darah tepi: didapatkan keadaan hipokromik, mikrositik, anisositosis,
dan poikilositosis (dapat ditemukan sel pensil, sel target, ovalosit, dan sel fragmen).
3. Retikulosit
4. Pemeriksaan status besi
 Fe serum menurun dan TIBC meningkat.
 Saturasi transferrin: jika <16% menunjukkan suplai besi yang tidak
adekuat untuk mendukung eritropoisis, kadar ST 7-16% dapat dipakai untuk
mendiagnosis ADB bila didukung oleh nilai MCV yang rendah atau
pemeriksaan lainnya. Jika ST <7: diagnosis ADB dapat ditegakkan.
 FEP untuk mengetahui kecukupan suplai besi ke eritorid sumsum tulang.
Nilai FEP >100 µg/dL erirrosit menunjukkan ADB. Meningkat FEP disertai
ST yang menurun menandakan ADB yang progresif.
 Serum transferring receptor (STfR), sensitive untuk menentukan defisiensi
besi, memiliki nilai tinggi untuk membedakan ADB dengan anemia akibat
penyakit kronik.
5. Apusan sumsum tulang: gambaran khas ADB adalah hyperplasia sistem
eritropoetik dan berkurangnya hemosiderin. Untuk mengetahui ada tidaknya besi
dapat diketahui dengan pewarnaan Prussian blue.

Kriteria diagnosis ADB menurut WHO: 4

1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia


2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata31% (N:32-35%)
3. Kadar Fe serum <50 µg/dL (N: 80-180 µg/dL)
4. Saturasi transferrin <15% (N:20-50%)
Catatan: kriteria ini harus dipenuhi paling sedikit kriteria nomor 1,3 dan 4. Tes yang paling
efisien untuk mengukur cadangan besi tubuh yaitu ferritin serum.
Kriteria diagnosis ADB menurut Lanzowsky yaitu: 4
1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokromik mikrositik yang dikonfirmasi dengan
kadar MCV, MCH, dan MCHC yang menurun
2. RDW >17%
3. FEP meningkat
4. Ferritin serum menurun
5. Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST<16%
6. Respon terhadap pemberian preparat besi
 Retikulosit mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah pemberian besi

20

20
 Kadar Hb meningkat rata-rata 0,25-0,4 g/dL/hari atau PCV meningkat
1%/hari.
7. Sumsum tulang
 Tertundanya maturasi sitoplasma
 Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi kurang.

6. DIAGNOSIS BANDING
Keadaan yang sering memberi gambaran klinis dan laboratorium yang hampir sama dengan
ADB adalah talasemia minor dan anemia karena penyakit kronis. Keadaan lainnya adalah
keracunan timbal dan anemia sideroblastik. 4

Pemeriksaan Lab ADB Talasemia minor Anemia penyakit


kronis
MCV ↓ ↓ N, ↓
Fe serum ↓ N ↓
TIBC ↑ N ↓
Saturasi transferrin ↓ N ↓
FEP ↑ N N atau ↑
Ferritin serum ↓ N ↓

7. TERAPI
Prinsip penatalaksanaanya ADB yaitu mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya serta
memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. 4
a. Pemberian preparat besi
1) Peroral
Garam ferrous diabsorbsi 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri. Preparat yang
tersedia berupa ferrous glukonat, fumarat dan suksinat. Yang sering dipakai adalah
ferrous sulfat karena harganya lebih murah. Ferrous glukonat, ferrous fumarat dan
ferrous suksinat diabsorbsi sama baiknya.
Untuk mendapat respon pengobatan dosis besi yang dipakai 4-6 mg besi
elemental/KgBB/hari.
Respon terhadap pemberian besi pada ADB 4

Waktu setelah pemberian Respons


besi

21

21
12-24 jam Penggantian enzim besi intraseluler, keluhan subjektif
berkurang, nafsu makan bertambah

36-48 jam Respon awal dari sumsum tulang, hyperplasia eritroid

48-72 jam Retikulositosis, puncaknya pada hari ke 5-7

4-30 hari Kadar Hb meningkat

1-3 bulan Penambahan cadangan besi

2) Parenteral
Pemberian besi secara intramuscular akan menimbulkan rasa sakit dan harganya
mahal. Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan
menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral
Preparat yang dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg
besi/mL. Dosis dihitung berdasarkan:
Dosis besi (mg)= BB (kg) X kadar Hb yang diinginkan (g/dL) x 2,5
b. Transfusi darah
Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan anemia yang sangat berat atau yang
disetai infeksi yang dapat mempengaruhi respon terapi. Koreksi anemia berat dengan
transfusi tidak perlu secepatnya karena akan membahayakan akibat hypervolemia dan
dilatasi jantung. Secara umum, untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb <4
g/dL hanya diberi PRC dengan dosis 2-3 ml/KgBB/per satu kali pemberian disertai
pemberian diuretic seperti furosemide. 4

8. PENCEGAHAN
Upaya pencegahan umum antara lain dengan: 4
 Meningkatkan konsumsi Fe
 Fortifikasi makanan
 Suplementasi

Pencegahan pada masa awal kehidupan adalah dengan: 4


 Meningkatkan penggunaan ASI eksklusif
 Menunda penggunaan susu sapi sampai usia 1 tahun
 Memberikan makanan bayi yang mengandung besi dan kaya asam askorbat
22

22
 Memberikan suplementasi Fe pada bayi kurang bulan
 Pemakaian PASI yang mengandung besi.

9. PROGNOSIS

Prognosis baik bila penyebab anemia hanya karena kekurangan zat besi saja dan diketahui
penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. 4

23

23
BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. Dika Wijaya

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 5 bulan

Agama :Hindu

Alamat : Monjok Griya-Selaparang

MRS : 07 Mei 2013

RM : 081081

II. ANAMNESIS (Heteroanamnesis didapatkan dari ibu & ayah kandung pasien)

Keluhan Utama: demam

Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang ke poli anak RSUP NTB dengan keluhan demam
sejak 4 hari yang lalu. Demam dirasakan naik turun dengan pemberian obat demam. Pasien
dikeluhkan sering mengalami demam berulang yang hilang timbul sejak beberapa minggu ini.
Keluhan batuk (-), pilek (-), sesak (-), kejang (-), diare (-), mimisan (-), gusi berdarah (-), ruam
kulit (-), berak hitam (-). Selain demam pasien juga dikeluhkan tampak pucat terutama pada
tangan dan kaki. Orang tua pasien tidak memperhatikan sejak kapan pasien mulai tampak pucat.
Ibu pasien mengatakan pasien masih kuat menyusu, banyak makan bubur dan tidak tampak
24

24
lemas. Selama 2 bulan terakhir ini berat badan pasien tetap bertambah namun lebih sedikit
dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.

Riwayat Penyakit Dahulu: sebelum ini pasien tidak pernah opname di rumah sakit. Pasien juga
tidak pernah dikeluhkan demam.

Riwayat Penyakit Keluarga: riwayat keluhan pucat yang sama pada keluarga disangkal,
penyakit kanker, malaria, sakit kuning, gangguan pembekuan darah, sering transfusi, asma,
gangguan ginjal, gangguan jantung, seluruhnya disangkal.

Riwayat Pengobatan: pasien sudah dibawa berobat ke praktek dokter swasta, diberikan sirup
dan puyer namun keluhan belum berkurang.

Riwayat Alergi: makanan (-), obat (-).

Riwayat Pribadi & Sosial:

 Riwayat Kehamilan & Persalinan Ibu:


Pasien lahir pada usia kandungan 9 bulan di rumah sakit secara SC, lahir langsung
menangis, BBL 2300 gr. Pasien dirawat selama 1 minggu di NICU. Sejak lahir kulit tidak
pernah biru atau kuning, sakit selama masa bayi (-).
Selama hamil ibu memeriksakan kandungan secara teratur ke bidan dan Posyandu.
Selama hamil tidak pernah mengalami sakit berat atau infeksi dan tidak pernah minum
obat kecuali vitamin yang diberikan bidan.

 Riwayat Nutrisi:
Sampai saat ini pasien masih mendapat ASI. Pasien mulai mendapat makan makanan
pendamping berupa bubur buatan sendiri pada usia 3 bulan. Selama ini pasien masih
kuat menyusu dan nafsu makan pasien dirasa normal

 Riwayat Imunisasi:
Sampai saat ini pasien sudah mendapakan imunisasi DPT, HB dan polio.

 Riwayat Tumbuh-Kembang:
Saat ini pasien sudah bisa telungkup sendiri dan mengangkat kepala. Pasien bisa
mengambil barang yang diarahkan kepadanya. Pasien mengikuti gerakan benda yang
diarahkan padanya. Pasien mampu mengucapkan kosakata yang belum terdengar jelas.
25

25
 Riwayat Sosial & Lingkungan:
Pasien adalah anak ke dua dari 2 bersaudara, jarah umur pasien dengan anak pertama
adalah 4 tahun. Pasien tinggal dengan orang tua dan saudaranya. Ayah dan ibu pasien
bekerja sebagai wiraswasta, penghasilan keluarga perbulan sekitar 2,5 juta rupiah, cukup
untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Rumah pasien berventilasi cukup,
pasien menggunakan air PDAM sebagai sumber air.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum

Keadaan umum : tampak aktif

Keadaan sakit : sakit ringan

Kesadaran/GCS : compos mentis/E4V5M6

Tekanan Darah : tidak dievaluasi

Nadi : 112 kali per menit, reguler, kuat angkat

Pernafasan : 32 kali per menit,thorakoabdominal

Suhu : 36,6o C

Berat Badan : 6,5 kg

Panjang Badan : 66 cm

Status Gizi : Z-score

a. BB/U -1,1

b. PB/U0,04

c. BB/PB -1,3

26

26
Status Lokalis
 Kepala :
- Bentuk dan ukuran : normal
- Ubun-ubun besar datar
- Rambut : normal
- Fascies Cooley (-)
- Udema (-)

 Mata :
- Konjungtiva: anemia (+), hiperemia (-/-), perdarahan (-/-)
- Sclera : ikterik (-), hiperemia (-)
- Pupil : isokor 3 mm/3 mm, bulat, miosis (-), midriasis (-)
- Kornea : normal

 Telinga :
- Bentuk : normal
- Lubang telinga : normal, secret (-)

 Hidung :
- Simetris, deviasi septum (-)
- Napas cuping hidung (-)
- Perdarahan (-), secret (-)

 Mulut :
- Simetris
- Bibir : mukosa anemis (+), sianosis (-), stomatitis angularis (-)
- Gusi : anemis (+), perdarahan (-)
- Lidah : glositis (-), atrofi papil lidah (-)
- Gigi : belum tumbuh
- Faring dan laring : sulit dievaluasi
27

27
 Leher :
- Simetris (-)
- Kaku kuduk (-)
- Pemb.KGB (-)
- Trakea : ditengah

 Thorax
Inspeksi :
-Bentuk: simetris
-Ukuran: normal
-Pergerakan dinding dada : simetris
-Permukaan kulit : petekie (-), purpura (-), ekimosis (-), spider nevi (-), vena
kolateral (-), massa (-), sikatrik (-)
-Iga dan sela antar iga: Pelebaran ICS (-), retraksi (-)
-Penggunaan otot bantu napas: sternocleidomastoideus (-), otot intercostalis
interna dan eksterna (-)
-Fossa supraclavicula, fossa infraclavicula dan fossa jugularis normal
-Tipe pernapasan torakoabdominal, frekuensi napas 32 X/menit
-Iktus cordis tidak tampak
Palpasi :
-Pergerakan dinding dada simetris
-Iktus cordis teraba SIC 5 linea midklavikula sinistra
-Nyeri tekan (-)
-Pembesaran KGB aksiler -/-
Perkusi :
-Sonor +/+
-Batas paru – hepar : ICS IV dextra, ekskursi (-)
-Batas paru – jantung: -
o batas kanan jantung : SIC II linea parasternal dextra
28

28
o batas kiri jantung : SIC V linea midklavikula sinistra
Auskultasi :
-Paru: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-), suara gesek pleura (-/-)
-Jantung: S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)

 Abdomen
Inspeksi :
- Bentuk : distensi (+)
- Umbilicus : mendatar
- Permukaan Kulit : sikatrik (-), pucat (+), sianosis (-), vena kolateral (-), caput
meducae (-), petekie (-), purpura (-), ekimosis (-)
Auskultasi :
- Bising usus (+) normal
- Metallic sound (-)
- Bising aorta (-)
Palpasi :
- Abdomen teraba supel
- Turgor : normal
- Tonus : normal
- Nyeri tekan (-)
- Hepar tidak teraba
- Lien teraba Schuffner 1, Hackett 1
- Ren dextra-sinistra tidak teraba.
Perkusi :
-Timpani pada seluruh lapang abdomen.
- Redup beralih (-)
-Nyeri ketok (-)

 Extremitas :
Ekstremitas atas :
29

29
- Akral hangat : +/+
- Deformitas : -/-
- Sendi : nyeri sendi -/-
- Edema: -/-
- Sianosis : -/-
- Ptekie: -/-
- Clubbing finger: -/-
- Koilonikia -/-
- Infus terpasang +/-
- Kulit palmar: anemis +/+, warna kuning -/-

Ekstremitas bawah:
- Akral hangat : +/+
- Deformitas : -/-
- Sendi : nyeri sendi -/-
- Edema: -/-
- Sianosis : -/-
- Ptekie: -/-
- Clubbing finger: -/-
- Kulit plantar: anemis +/+

 Columna Vertebra :
Tidak ada kelainan, nyeri tekan (-)

 Genitourinaria :
- Tidak ada kelainan pada alat genital.
- Pembesaran KGB inguinal: -/-

IV. RESUME
30

30
Pasien anak laki-laki berusia 5 bulan datang dengan:

 demam sejak 4 hari yang lalu. Demam dirasakan naik turun dengan pemberian
obat demam.

 Selain demam pasien juga dikeluhkan tampak pucat

 Riwayat perdarahan disangkal.

 Keluarga dengan keluhan yang sama atau keluarga dengan keganasan dan
gangguan darah, seluruuhnya disangkal.

 Riwayat kelahiran di rumah sakit secara SC, mendapat makanan pendamping ASI
pada usia 3 bulan.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan:

 Tanda vital stabil & dalam batas normal.

 Kulit dan mukosa seluruh tubuh pucat, tanda-tanda perdarahan (-).

 Ditemukan splenomegali.

V. DIAGNOSIS KERJA

1. Febris H-4

2. Anemia e.c DD:

 Anemia defisiensi besi

 Thalasemia

 Leukemia

31

31
VII. RENCANA AWAL

 Diagnostik

o Laboratorium:

 DL, MDT, Hitung retikulosit

 UL

o Radiologis:

 Ro” thoraks

VIII. PENUNJANG

 DL:

Jenis 6 Mei 2013 7 Mei 2013 8 Mei 2013


Hb (g/dL) 6,3 6,3 9,0

(post transfusi)
RBC (106/microL) 4,38 4,36 5,17
Hct (%) 23,9 24 30,7
MCV (fL) 54,6 55 59,4
MCH (pg) 14,4 14,4 17,4
MCHC (g/dL) 26,4 26,3 29,3
RDW 22,4 22,8 28,9
WBC (103/microL) 17,6 20,46 13,13
Neutrofil 33 15,1 13,5
Limfosit 50,1 71,5 74,1
Monosit 15,,6 10,6 8,8
Eosinofil 1.0 3,1 3,1
Basofil 0,3 0,5 0,5

32

32
platelet 425 266 436

 UL

o BJ: 10,5 o Lekosit: 1-3/lpb

o pH: 5,0 o Eritrosit: 0-2/lpb

o Protein: +1 o Epitel: 2-3/lpb

o Darah: +1 o Kristal: -

o Bakteri: + o Ca ozalat: -

o Jamur: - o Asam urat: -

o Amorf urat: -

o Triple fosfat: -

o Amorf fosfat: -

 DDR: -

 Retikulosit: 2,2

 MDT:

o Eritrosit: mikrositik hipokromik, Sel pensil, sel sigar, sedikit tear drop
cell.

o Leukosit: Jumlah meningkat. Limfositosis absolut, curiga blast <5%

o Trombosit: jumlah cukup, trombosit besar.

33

33
o Kesimpulan: menunjukkan anemia mikrositik hipokromik kemungkinan
anemia defisiensi besi serta kemungkinan keganasan hematologi belum dapat
disingkirkan.

IX. DIAGNOSIS AKHIR

Anemia mikrositik hipokromik e.c susp.ALL

DD: anemia defisiensi besi

X. PLANNING

 Terapi:

o IVFD D51/4 NS650 cc/hari

o ASI on demand

o Paracetamol drop 0,8 cc (K/P)

o Transfusi PRC 60 cc

 Diagnostik:

 Rontgen thoraks

 TIBC, Serum Fe, saturasi Transferin, Hb elektroforesis

 BMP

X. PROGNOSIS
34

34
 Vitam: dubia ad bonam

 Sahationem: dubia ad malam

 Fungsionam: dubia ad bonam

35

35

BAB III

PEMBAHASAN

Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan wajah pucat, telapak tangan dan kaki pucat.
Kondisi tersebut mengarah pada gejala-gejala umum anemia. Gejala dan tanda anemia
bergantung pada derajat dan kecepatan terjadinya anemia, juga kebutuhan oksigen penderita.
Pasokan oksigen dapat dipertahankan pada keadaan istirahat dengan mekanisme kompensasi,
peningkatan volume sekuncup, denyut jantung dan curah jantung pada kadar Hb mencapai 5 g%
(Ht 15%). Gejala timbul bila kadar Hb turun di bawah 5 g%, pada kadar Hb lebih tinggi selama
aktivitas atau ketika terjadi gangguan mekanisme kompensasi jantung karena penyakit jantung
yang mendasarinya.3
Untuk memastikan diagnosis, Terdapat dua pendekatan untuk menentukan penyebab anemia
yaitu pendekatan kinetik dan pendekatan morfologi, pendekatan kinetik dapat dilakukan dengan
pemeriksaan darah lengkap, sementara pendekatan morfologi dengan pemeriksaan hapusan darah
tepi.3
Berdasarkan hasil pemeriksaan DL didapatkan kadar Hb 6,3 g/dL, RBC 4,38, MCV 54,6 fL,
MCH 14,4 pg, MCHC 26,4 g/dL. Data tersebut menunjukkan pasien menderita anemia
mikrositik hipokromik. Penyakit-penyakit yang menyebabkan kondisi tersebut antara lain anemia
defisiensi besi, talasemia, anemia sideroblastik dan anemia penyakit kronis. Dengan
ditambahkan data mengenai RDW 22,4 % dan retikulosit 2,2. Indekx Mentzer (rasio MCV/RBC)
pada kasus ini adalah 12,46, indeks RDW (MCV/RBC X RDW) 279 maka meningkatkan
kecurigaan pada ADB namun pada ADB biasanya tidak dijumpai adanya organomegali. Hasil
DL lainnya didapatkan leukositosis dengan hitung jenis leukosit didapatkan neutropenia,
limfositosis dan jumlah platelet normal. Kelainan pada hitung jenis leukosit memunculkan
kecurigaan adanya suatu keganasan hematologi yaitu leukemia. Kecurigaan pada leukemia
didukung juga oleh usia pasien, temuan organomegali dan pada morologi darah tepi dimana
didapatkan limfositosis absolut, curiga adanya blast <5%. Meskipun
Kelainan hitung jenis leukosit dapat menjelaskan kondisi demam yang mengarah infeksi
pada pasien. Kelainan tersebut menyebabkan gangguan imunitas pada pasien sehingga
selanjutnya akan sering mengalami infeksi.
36

36
Gejala anemia juga dapat ditemukan pada leukemia. Pada anak-anak kasus leukemia yang
terbanyak adalah jenis ALL. Berikut adalah perbandingan manifestai klinis dan laboratorium
setiap jenis leukemia.
Tabel perbandingan AML dan ALL.

Tanda dan Gejala AML ALL


Onset Perlahan-lahan atau biasanya Perlahan-lahan atau
mendadak biasanya mendadak
Fatik, , anorexia, BB turun + +
demam (dengan atau tanpa + (dapat menjadi parah), +
diketahui agen infeksius normositik normokrom, ↘ hitung
penyebab) retikulosit, ↗ destruksi SDM)
Tanda-tanda perdarahan (gusi ++ +
berdarahan, paketekie,
epistaksis, perdarahan GI,
GU, CNS)
Splenomegali, hepatomegaly + +
Limfadenopati + +
Sternal tenderness + bone tenderness
Infiltrasi sel muda leukemik + (saat diagnosa) ++ (memiliki
ke gusi, kulit, jaringan lunak, kecendrungan lebih besar
meninges nyeri di daerah menginfiltrasi jaringan)
infiltrat

Jenis pemeriksaan AML ALL


Hitung darah tepi
- Anemia + +
- Trombositopenia + (50 % pasien : <50.000/μL) +
- Granulositopenia
- Leukosit + +
(normal: 4000- Rata-rata: 15.000/μL Rata-rata: 10.000 –
10.000/μL) 25-40% pasien: <5000/μL 12.000/μL

- Sel blast 20% pasien: >100.000/μL 20-40% pasien: neutropenia


- Rerikulosit Bervariasi
37

37
0,5 – 2 Bervariasi dari 0 – 100%
Morfologi sel kanker - Sitoplasma
mengandung granul primer
(tidak spesifik)
- Kromatin lebih halus - Kromati n bergumpal
- Nukleus tampak (baik), - Nukleulus tampak
tampak ayaman kromatin samar dna lebih sedikit,
dengan >2 nukleulus kadang tidak terlihat.
menandakan sel immature.
- Tampak neutrofil yang - Sel pengiring :
abnormal: lobus abnormal limfosit
dan defisit granulasi (sel
pengiring)
- Auer-rod (+)
- Auer-rod (-)
Aspirasi dan biopsi sumsum Hiperseluler Hiperseluler
tulang
Hiperurisemia + +

Berdasarkan pada penjelasan di atas maka belum dapat ditentukan diagnosis pasti pasien
pada kasus ini apakah menderita leukemia akut atau ADB sehingga diperlukan pemeriksaan lebih
lanjut berupa aspirasi sumsum tulang. Penanganan yang diberikan saat ini adalah untuk
mengatasi kondisi yang ditemukan sekarang berupa anemia. Kadar Hb pada pasien yaitu 6,3
g/dL sehingga dilakukan transfusi berupa pemberian PRC sejumlah 60 cc sehingga kadar Hb
post transfusi menjadi 9 g/dL.

38

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Simon, Sumanto, dr. Sp.PK. 2003. Neoplasma Sistem Hematopoietik: Leukemia.


Jakarta:Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya Jakarta.

2. Behrman, Kliegman, Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. EGC

3. Permono, Bambang & Ugrasena IDG. 2010. ‘Leukemia


Akut’. Dalam: Permono, Bambang dkk.. ‘ Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak’.
Ikatan Dokter Anak Indonesia
4. Ruspati, Harry dkk.,2010. ‘Anemia Defisiensi Besi’.
Dalam: Permono dkk., ‘Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak’. Badan Penerbit IDAI
5. Budi A.F. Pengaruh Pemberian Terapi Besi terhadap
Perubahan Nilai Indeks Mentzer dan Indeks RDW (Red Cell Distribution Width) pada
Anak Sekolah Dasar Usia 9-12 Tahun yang Menderita Anemia Defisiensi Besi. Thesis.
Universitas Sumatera Utara: Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran.
2008; 1-40
6. Lubis, Bidasar, dkk., 2010. ‘Anemia Defisiensi Besi’.
Dalam: Pudjaji, Antonius H., ‘Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.

39

39

Anda mungkin juga menyukai