SUPERVISOR :
Disusun oleh:
Honesti Trijuniarni
H1A 007 022
1
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Leukemia adalah neoplasma akut atau kronis dari sel-sel pembentuk darah dalam sumsum
tulang dan limfa (Reeves, 2001). Sifat khas leukemia adalah proliferasi tidak teratur atau
akumulasi sel darah putih dalam sumsum tulang, menggantikan elemen sumsum tulang normal.
Proliferasi juga terjadi di hati, limpa, dan nodus limfatikus. Terjadi invasi organ non-
hematologis seperti meninges, traktus gastrointestinal, ginjal, dan kulit 1
Leukemia atau kanker darah adalah sekelompok penyakit neoplastik yang beragam, ditandai
oleh perbanyakan secara tak normal atau transformasi maligna dari sel-sel pembentuk darah di
sumsum tulang dan jaringan limfoid. Sel-sel normal di dalam sumsum tulang digantikan oleh sel
tak normal atau abnormal. Sel abnormal ini keluar dari sumsum dan dapat ditemukan di dalam
darah perifer atau darah tepi. Sel leukemia mempengaruhi hematopoiesis atau proses
pembentukan sel darah normal dan imunitas tubuh penderita 2
Kata leukemia berarti darah putih, karena pada penderita ditemukan banyak sel darah putih
sebelum diberi terapi. Sel darah putih yang tampak banyak merupakan sel yang muda, misalnya
promielosit. Jumlah yang semakin meninggi ini dapat mengganggu fungsi normal dari sel
lainnya.
Klasfikasi
2
penyakit penyakit yang sangat cepat, mematikan, dan
memburuk. Apabila tidak diobati segera, maka
penderita dapat meninggal dalam hitungan
minggu hingga hari.
3. Jumlah leukosit Leukemia bila jumlah leukosit di dalam darah lebih dari
dalam darah leukemik normal, terdapat sel-sel abnormal
3
Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)
Epidemiologi
Leukimia akut pada masa anak-anak merupakan 30-40% dari keganasan. Di negara
berkembang 83% ALL, 17% AML dan lebih tinggi pada anak kulit putih dari pada kulit hitam.
Di Jepang mencapai 4/100.000 anak, dan diperkirakan tiap tahun terjadi 100 kasus baru.
Sedangkan di Jakarta pada tahun 1994 insidennya mencapai 2.76/100.000 anak usia 1-4 tahun.
Pada tahun 1996 didapatkan 5-6 pasien leukemia baru setiap bulan di RSUP dr. Sardgito
Yogyakarta, sementara itu di RSU dr. Soetomo sepanjang tahun 2002. Di jumpai 70 kasus
leukemia baru.3
Leukemia akut pada anak mencapai 97% dari semua leukemia pada anak, dan terdiri dari 2
tipe yaitu LMA 18% dan LLA 82%. Leukemia kronik mencapai 3% dari seluruh leukemia pada
4
4
anak. Di RSU dr. Sardgito LLA 79%, LMA 9% dan sisanya leukemia kronik, sementara itu di
RSU dr. Soetomo pada tahun 2002 LLA 88%, LMA 8% dan 4% leukemia kronik. 3
Rasio laki-laki dan prempuan adalah 1,15 mendekati 1 utuk LMA. Puncak kejadian 2-5
tahun, spesifik untuk anak kulit putih ALL, hal ini disebabkan banyaknya kasus pre B-LLA pada
rentan usia ini. Kejadian ini tidak tampak kulit hitam. Kemungkinan puncak tersebut merpakan
pengaruh factor-faktor lingkungan di Negara industri yang belum diketahui. 3
Etiologi
Penyebab leukemia belum diketahui namun anak-anak dengan cacat genetic (trisomi 21,
sinrom Bloom’s, anemia. fanconi dan ataksia telangiektasia) mempunyai lebih tinggi untuk
menderita leukemia mozigot. 3
Studi faktor lingkungan difokuskan pada inutero dan pascanetal. Mosko melakukan studi
kasus kelola pada 204 pasien dengan paparan paternal atau maternal terhadap pestisida dan
produk minyak bumi. Terdapat peningkatan resiko pada keturunannya. 3
Penggunaan marijuana maternal jika menunjukan hubungan yang signifikan. Radiasi dosis
tinggi merupakan leukemoginik, seperti dilaporkan di Hirosima dan Nagasaki sesudah ledakan
bom atom. Meskipun demikian paparan radiasi dosis tinggi inutero secara signifikan tidak
mengarah pada peningkatan insiden leukemia, demikian juga halnya dengan radiasi dosis rendah.
Namun hal ini masih merupakan perdebatan. Pemeriksaan X-ray abdomen selama trimester 1
kehamilan menunjukkan peningkatan kasus sebanyak 5 kali. 3
Kontroversi tentang paparan elektromagnetik masih tetap ada. Beberapa studi tidak
menemukan tingkatan tapi studi terbaru menunjukan peningkatan 2x diantara anak-anak yang
tingga dijalur listrik tegangan tinggi. Namun tidak signifikan karena jumlah anak yang terpapar
sedikit. Hipotesis yang menarik saat ini mengenai etiologi leukemia pada anak-anak adalah
serangan infeksi virus dan bakteri. 3
5
6
6
Faktor Prognostik
1. Jumlah leukosit awal yaitu pada saat diagonis di tegakkan, mungkin merupakan
faktor prognosis yang bermakna tinggi. Ditemukan hubungan linier antara jumlah
leukosit awal dan perjalanan pasien LLA pada anak, yaitu bahwa pasien dengan jumlah
leukosit >50.000 ul mempunyai pronosis yang buruk.
2. Ditemukan pula adanya hubungan antara umur pasien saat diagonis dan hasil
pengobatan. Pasien dengan umur dibawah 18 bulan atau diatas 10 tahun mempunyai
prognosis lebih buruk dibandingkan dengan pasien yang berumur diantara itu. Kasusu
pasien dibawah umur 1 tahun atau bayi terutama dibawah 6 bulan mempunyai prognosis
paling buruk. Hal ini dikatakan karena mereka mempunyai kelainan biomolekuler
tertentu.
3. Fenotip imunologis dari limfoblast saat diagonis juga mempunyai nilai
prognostik. Leukemia sel-B (L3 pada kasus FAB) dengan antibodi “kappa” dan ”lambda“
pada permukaan blast diketahui mempunyai prognosis yang buruk. Dengan adanya
protokol spesifik untuk sel B prognosisnya semakin membaik. Sel-T leukemia juga
mempunyai prognosis yang jelek, dan diperlakukan sebagai resiko tinggi. Dengan terapi
intensif, sel-T leukemia murni tanpa faktor prognostik buruk yang lain, mempunyai
mempunyai prognosis yang sama dengan leukemia sel pre-B. LLA sel-T diatas dengan
protokol resiko tinggi.
4. Anak perempuan mempunyai prognosis yang lebih baik dari anak laki-laki. Hal
ini dikatakan karena timbulnya relaps testis dan kejadian leukemia sel-T yang tinggi di
hiperleukositosis dan organomegali serta massa mediatinum pada anak laki-laki.
Penyebab pastinya belum diketahui, tatapi diketahui pula perbedaan metabolisme
merkaptorin dan metotreksat.
5. Respon terhadap terapi dapat diukur daru jumlah sel blast di darah tepi setelah
satu minggu terapi prednisone dimulai. Adanya sisa sel blast pada sum-sum tulang pada
induksi hari ke-7 atau 14 menunjukan prognosis buruk.
7
7
6. Kelainan jumlah kromosom juga mempengaruhi prognosis. LLA hiperloid
(>50/kromosom) yang bias ditemukan pada 25% kasus mempunyai prognosis yang baik.
LLA haploid (3-5%) memiliki prognosis intermediate seperti t (1;19). Translokasi t (9;22)
pada 5% anak atau t (4;11) pada bayi berhubungan tdengan prognosis buruk.
Patofisiologi
Leukemia akut dimulai dari sel tunggal yang berproliferasi secara klonal sampai mencapai
sejumlah populasi sel yang dapat terdeteksi. Diperkirakan agen penyebab leukimia mempunyai
kemampuan melakukan modifikasi nucleus DNA, dan kemampuan ini meningkat bila terdapat
suatu kondisi (mungkin suatu kelainan) genetik tertentu seperti translokasi, amplifikasi dan
mutasi onkogen seluler. 3
Penelitian yang dilakukan pada leukemia limfoblastik akut menunjukkan bahwa sebagian
besar LLA mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel blas dari setiap pasien. Oleh
karena itu homogenitas itu maka dibuat klasifikasi LLA secara morfologik untuk lebih
memudahkan pemakaian dalam klinik sebagai berikut :
L-1 terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin homogen, anak inti
umumnya tidak nampak dan sitoplasma sempit.
L-2 pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukuran bervariasi, kromatin lebih kasar
dengan satu atau lebih anak inti.
L-3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak, banyak anak
inti serta sitoplasma yang basofilik dan bervakuolisasi.
Akibat terbentuknya populasi sel leukimia yang makin lama makin banyak akan
menimbulkan dampak yang buruk bagi produksi sel normal dan bagi faal tubuh maupun dampak
karena infiltrasi sel leukimia ke dalam organ tubuh. Kegagalan hematopoisis normal merupakan
akibat yang besar pada patofisiologi leukimia akut, walaupun demikian patogenesisnya masih
8
Blokade Maturitas
Gangguan hematopoeisesis
sumsum tulang yang justru hiposeluler.
9
9
Imunofenotip
Sel leukemia adalah hasil dari mutasi pada tahap perkembangan awal hemopoitik.
Klasifikasi imuninofenotip sangat berguna dalam mengklasifikasikan leukemia sesuai tahap-
tahap maturasi normal yang dikenal. Kebanyakan kelompok saat ini mengklasifikasikan, LLA
dalam prekursor sel-B atau prekusor sel-T.prekusor sel-B termasuk CD19, CD20, CD21 dan
CD79. 3
Diagnosis Banding
- Anemia aplastik
- Gangguan mieloproleferatif
- ITP
- Keganasan lain
- Penyakit reumatologi
- Penyakit vaskular
- Sindrom hemofagosit familial
- Induksi virus
- Infeksi visrus Ebtein-Barr
- Infeksi mononukleosis
- Reaksi leukemoid
- Sepsis
Pengobatan
Terapi induksi berlangsung 4-6 minggu dengan dasar 3-4 obat yang berbeda (dexametasol
vinkristin, L-asparaginase dan atau antrasiklin). Kemungkinan hasil yang dapat dicapai remisi
komplit, remisi parsial, atau gagal. Intensifikasi merupakan kemoterapi intensif tambahan setelah
remisi komplit dan untuk profilaksi leukimia pada susunan saraf pusat. Hasil yang diharapkan
10
10
adalah tercapainya perpanjangan remisi dan meningkatkan kesembuhan. Pada pasien resiko
sedang dan tinggi induksi diintensifkan guna memperbaiki kualitas remisi. Lebih dari 95%
pasien akan mendapatkan remisi pada pasien ini. Tetapi SSP yaitu secara langsung diberikan
melalui remisi intratekal dengan obat metotreksak sering dikombinasi dengan infus berulang
metotreksat dosis sedang (500mg/m2) atau dosis tinggi pusat pengobatan (3-5 g/m 2). Dibeberapa
pasien resiko tinggi dengan umur >5 tahun mungkin lebih efektif dengan memberikan radiasi
cranial (18-24 Gy) disamping pemakaian kemoterapi sistemik dosis tinggi. 3
Terapi lanjutan lumatan dengan menggunakan obat merkaptopurin tiap hari dan metotresak
setiap minggu, secara oral dengan sitostartika lain selama perawatan tahun pertama. Lamanya
terapi lumatan ini pada kebanyakan studi adalah 2-21/dua tahun dan tidak ada keuntungan jika
perawatan selama tiga tahun. 3
Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas gejala klinis leukimia.
Pada aspirasi sumsum tulang jumlah sel blast <5% dari sel berinti, Hb >12 gr/dl tanpa transfusi,
jumlah leukosit >300/ul dengan hitung jenis leukosit normal, jumlah granulosit >6.000/ul,
jumlah trombosit >100.000/ul, dan pemeriksaan cairan cerebrospinal normal. 3
Definisi
Leukimia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan transformasi
neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri myeloid. Bila tidak diobati
penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa minggu sampai
bulan sesudah diagnosis. 3
Insidensi
11
11
Di negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dari seluruh kasus
leukemia.
Penyakit ini lebih sering ditemui pada dewasa (85%) daripada anak (15%).
Insidensi LMA umumnya tidak berbeda dari masa anak-anak hingga masa dewasa
muda. Sesudah usia 30 tahun, insidensi LMA meningkat secara exponensial sejalan
dengan meningkatnya usia.
Insidensi LMA pada orang yang berusia 30 tahun adalah 0,8%, pada orang yang
berusia 50 tahun adalah 2,7 %, sedangkan pada orang berusia>65 tahun adalah sebesar
13,7%
Secara umum tidak didapatkan adanya variasi antar etnik tentang insidensi LMA.
3. Etiologi 3
12
12
6. Radiasi
7. Kemotrapi
Patognesis
Patognesis utama LMA pada setiap tahapan umur secara umum tidak berbeda
yaitu akibat adanya blockade maturitas yang menyebabkan proses diferensiasi sel-sel
seri myeloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di
sumsum tulang. 3
Akumulasi blast di sumsum tulang akan menyebabkan gangguan hematopoesis
normal dan pada gilirannya akan menyebabkan sindrom kegagalan sumsum tulang yang
ditandai dengan adanya sitopenia (anemia, lekopenia dan trombositopenia). 3
Selain itu, sel-sel blast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk migrasi
keluar sumsum tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan
lunak dan SSP serta merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya. 3
Banyak cirri-ciri klinik dari AML yang mirip dengan gambaran pada ALL.
Ciri-ciri morfologi dari myeloblas dan cirri-ciri cytokimia dari AML dapat dilihat
pada table dibawah ini;
13
13
Diagnosis
Klasifikasi 3
AML subtype
14
14
AML-M5b Acute monocytic leukemia, well-differentiated
Terapi 3
Tujuan pengobatan pada pasien LMA adalah untuk mengeradikasi sel-sel klonal
leukemik dan untuk memulihkan hematopoesis normal didalam sumsum tulang.
Survival jangka panjang hanya didapatkan pada pasien yang mencapai remisi komplit
Dosis kemotrapi tidak perlu diturunkan karma alas an adanya sitopenia, karma dosis yang
diturunkan ini akan tetap menimbulkan efek samping berat berupa supresi sumsum tulang,
tanpa punya efek yang cukup untuk mengeradikasi sel-sel leukemik maupun untuk
mengembalikan fungsi sum-sum tulang.
16
16
4. PATOFISIOLOGI.
1. Penyerapan dalam bentuk non-heme (sekitar 90% berasal dari makanan), yaitu
besinya harus diubah dulu menjadi bentuk yang diserap
2. Bentuk heme (sekitar 10% berasal dari makanan) besinya dapat langsung diserap
tanpa memperhatikan cadangan besi dalam tubuh, asam lambung ataupun zat makanan
yang dikonsumsi.
Bioavailabilitas besi dipengaruhi oleh komposis zat gizi dalam makanan. Asam askorbat,
daging, ikan dan unggas akan meningkatkan penyerapan besi non heme. Jenis makanan yang
mengandung asam tanat (terdapat dalam teh dan kopi), kalsium, fitrat, beras, kuning telur,
polifenol, oksalat, fostat, dan obat-obatan (antasida, tetrasiklin, dan kolestiramin) akan
mengurangi penyerapan zat besi. 4
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi yang berlangsung
lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan menyebabkan cadangan
besi terus berkurang. Tahapan defisiensi besi dibagi menjadi 3 yaitu:4
1. Tahap pertama/ iron depletion atau storage iron deficiency. Ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi
protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorbsi non-heme.
Ferritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya defisiensi
besi masih normal.
2. Tahap kedua/ iron deficient erythropoietin atau iron limited erythropoiesis. Didapatkan
suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoiesis. Dari hasil pemeriksaan
17
17
laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi transferrin menurun
sedangkan TIBC meningkatan dan FEP meningkat.
3. Tahap ketiga/ iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi yang menuju eritroid
sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran
darah tepi didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap ini telah
terjadi perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.
5. DIAGNOSIS
a. Manifestasi klinis
Gejala yang umum terjadi adalah pucat. Pada ADB dengan kadar Hb 6-10 g/dL terjadi
mekanisme kompensasi yang efektif sehingga gejala anemi hanya ringan saja. Bila kadar
18
18
Hb turun menjadi <5 g/dL gejala iritabel dan anoreksia akan mulai tampak lebih jelas.
Bila anemia terus berlanjut dapat terjadi takikardi, dilatasi jantung dan murmur sistolik.
Namun kadang-kadang pada kadar Hb <3-4 g/dL pasien tidak mengeluh karena tubuh
sudah mengadakan kompensasi sehingga beratnya gejala ADB sering tidak sesuai dengan
kadar Hb. 4
Gejala lain yang dapat muncul yaitu:
Intoleransi terhadap latihan: penurunan aktifitas kerja dan daya tahan
tubuh
Termogenesis yang tidak normal: ketidakmampuan untuk
mempertahankan suhu tubuh normal pada saat udara dingin
Daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun hal ini terjadi karena fungsi
leukosit yang tidak normal. Pada penderita ADB neutrophil mempunyai
kemampuan untuk fagositosis tetapi kemampuan untuk membunuh E.coli dan
S.aureus menurun.
Pada ADB dapat dijumpai kondisi yang disebut sebagai pika yaitu
kegemaran memakan makanan yang tidak biasa seperti es batu, kertas, tanah dan
rambut.
Perlu digali informasi mengenai riwayat terinfeksi malaria, infestasi aprasit seperti
ankylostoma dan schistosoma. 5
b. Pemeriksaan fisik 4
Pucat ditemukan bila kadar Hb <7 g/dL
Tanpa organomegali
Dapat ditemukan koilonikia, glositis, stomatitis angularis, takikardi, gagal
jantung, protein-losing enteropathy
Gangguan pertumbuhan
c. Laboratorium 2,6
1. Pemeriksaan darah rutin
Jumlah leukosit biasanya normal tetapi pada ADB yang berlangsung lama
dapat terjadi granulositopenia.
Jumlah trombosit meningkat 2-4 kali normal.
Nilai indeks eritrosit, MCV, MCH, MCHC menurun sejajar dengan
penurunan kadar Hb
Eosinophilia dapat ditemukan pada kondisi yang disebabkan oleh infestasi
cacing.
Nilai RDW tinggi >14,5% pda defisiensi besi, bila RDW normal (<13%)
ditemukan pada talasemia trait
19
19
2. Morfologi darah tepi: didapatkan keadaan hipokromik, mikrositik, anisositosis,
dan poikilositosis (dapat ditemukan sel pensil, sel target, ovalosit, dan sel fragmen).
3. Retikulosit
4. Pemeriksaan status besi
Fe serum menurun dan TIBC meningkat.
Saturasi transferrin: jika <16% menunjukkan suplai besi yang tidak
adekuat untuk mendukung eritropoisis, kadar ST 7-16% dapat dipakai untuk
mendiagnosis ADB bila didukung oleh nilai MCV yang rendah atau
pemeriksaan lainnya. Jika ST <7: diagnosis ADB dapat ditegakkan.
FEP untuk mengetahui kecukupan suplai besi ke eritorid sumsum tulang.
Nilai FEP >100 µg/dL erirrosit menunjukkan ADB. Meningkat FEP disertai
ST yang menurun menandakan ADB yang progresif.
Serum transferring receptor (STfR), sensitive untuk menentukan defisiensi
besi, memiliki nilai tinggi untuk membedakan ADB dengan anemia akibat
penyakit kronik.
5. Apusan sumsum tulang: gambaran khas ADB adalah hyperplasia sistem
eritropoetik dan berkurangnya hemosiderin. Untuk mengetahui ada tidaknya besi
dapat diketahui dengan pewarnaan Prussian blue.
20
20
Kadar Hb meningkat rata-rata 0,25-0,4 g/dL/hari atau PCV meningkat
1%/hari.
7. Sumsum tulang
Tertundanya maturasi sitoplasma
Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi kurang.
6. DIAGNOSIS BANDING
Keadaan yang sering memberi gambaran klinis dan laboratorium yang hampir sama dengan
ADB adalah talasemia minor dan anemia karena penyakit kronis. Keadaan lainnya adalah
keracunan timbal dan anemia sideroblastik. 4
7. TERAPI
Prinsip penatalaksanaanya ADB yaitu mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya serta
memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. 4
a. Pemberian preparat besi
1) Peroral
Garam ferrous diabsorbsi 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri. Preparat yang
tersedia berupa ferrous glukonat, fumarat dan suksinat. Yang sering dipakai adalah
ferrous sulfat karena harganya lebih murah. Ferrous glukonat, ferrous fumarat dan
ferrous suksinat diabsorbsi sama baiknya.
Untuk mendapat respon pengobatan dosis besi yang dipakai 4-6 mg besi
elemental/KgBB/hari.
Respon terhadap pemberian besi pada ADB 4
21
21
12-24 jam Penggantian enzim besi intraseluler, keluhan subjektif
berkurang, nafsu makan bertambah
2) Parenteral
Pemberian besi secara intramuscular akan menimbulkan rasa sakit dan harganya
mahal. Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan
menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral
Preparat yang dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg
besi/mL. Dosis dihitung berdasarkan:
Dosis besi (mg)= BB (kg) X kadar Hb yang diinginkan (g/dL) x 2,5
b. Transfusi darah
Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan anemia yang sangat berat atau yang
disetai infeksi yang dapat mempengaruhi respon terapi. Koreksi anemia berat dengan
transfusi tidak perlu secepatnya karena akan membahayakan akibat hypervolemia dan
dilatasi jantung. Secara umum, untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb <4
g/dL hanya diberi PRC dengan dosis 2-3 ml/KgBB/per satu kali pemberian disertai
pemberian diuretic seperti furosemide. 4
8. PENCEGAHAN
Upaya pencegahan umum antara lain dengan: 4
Meningkatkan konsumsi Fe
Fortifikasi makanan
Suplementasi
22
Memberikan suplementasi Fe pada bayi kurang bulan
Pemakaian PASI yang mengandung besi.
9. PROGNOSIS
Prognosis baik bila penyebab anemia hanya karena kekurangan zat besi saja dan diketahui
penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. 4
23
23
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Umur : 5 bulan
Agama :Hindu
RM : 081081
II. ANAMNESIS (Heteroanamnesis didapatkan dari ibu & ayah kandung pasien)
Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang ke poli anak RSUP NTB dengan keluhan demam
sejak 4 hari yang lalu. Demam dirasakan naik turun dengan pemberian obat demam. Pasien
dikeluhkan sering mengalami demam berulang yang hilang timbul sejak beberapa minggu ini.
Keluhan batuk (-), pilek (-), sesak (-), kejang (-), diare (-), mimisan (-), gusi berdarah (-), ruam
kulit (-), berak hitam (-). Selain demam pasien juga dikeluhkan tampak pucat terutama pada
tangan dan kaki. Orang tua pasien tidak memperhatikan sejak kapan pasien mulai tampak pucat.
Ibu pasien mengatakan pasien masih kuat menyusu, banyak makan bubur dan tidak tampak
24
24
lemas. Selama 2 bulan terakhir ini berat badan pasien tetap bertambah namun lebih sedikit
dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.
Riwayat Penyakit Dahulu: sebelum ini pasien tidak pernah opname di rumah sakit. Pasien juga
tidak pernah dikeluhkan demam.
Riwayat Penyakit Keluarga: riwayat keluhan pucat yang sama pada keluarga disangkal,
penyakit kanker, malaria, sakit kuning, gangguan pembekuan darah, sering transfusi, asma,
gangguan ginjal, gangguan jantung, seluruhnya disangkal.
Riwayat Pengobatan: pasien sudah dibawa berobat ke praktek dokter swasta, diberikan sirup
dan puyer namun keluhan belum berkurang.
Riwayat Nutrisi:
Sampai saat ini pasien masih mendapat ASI. Pasien mulai mendapat makan makanan
pendamping berupa bubur buatan sendiri pada usia 3 bulan. Selama ini pasien masih
kuat menyusu dan nafsu makan pasien dirasa normal
Riwayat Imunisasi:
Sampai saat ini pasien sudah mendapakan imunisasi DPT, HB dan polio.
Riwayat Tumbuh-Kembang:
Saat ini pasien sudah bisa telungkup sendiri dan mengangkat kepala. Pasien bisa
mengambil barang yang diarahkan kepadanya. Pasien mengikuti gerakan benda yang
diarahkan padanya. Pasien mampu mengucapkan kosakata yang belum terdengar jelas.
25
25
Riwayat Sosial & Lingkungan:
Pasien adalah anak ke dua dari 2 bersaudara, jarah umur pasien dengan anak pertama
adalah 4 tahun. Pasien tinggal dengan orang tua dan saudaranya. Ayah dan ibu pasien
bekerja sebagai wiraswasta, penghasilan keluarga perbulan sekitar 2,5 juta rupiah, cukup
untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Rumah pasien berventilasi cukup,
pasien menggunakan air PDAM sebagai sumber air.
Keadaan Umum
Suhu : 36,6o C
Panjang Badan : 66 cm
a. BB/U -1,1
b. PB/U0,04
c. BB/PB -1,3
26
26
Status Lokalis
Kepala :
- Bentuk dan ukuran : normal
- Ubun-ubun besar datar
- Rambut : normal
- Fascies Cooley (-)
- Udema (-)
Mata :
- Konjungtiva: anemia (+), hiperemia (-/-), perdarahan (-/-)
- Sclera : ikterik (-), hiperemia (-)
- Pupil : isokor 3 mm/3 mm, bulat, miosis (-), midriasis (-)
- Kornea : normal
Telinga :
- Bentuk : normal
- Lubang telinga : normal, secret (-)
Hidung :
- Simetris, deviasi septum (-)
- Napas cuping hidung (-)
- Perdarahan (-), secret (-)
Mulut :
- Simetris
- Bibir : mukosa anemis (+), sianosis (-), stomatitis angularis (-)
- Gusi : anemis (+), perdarahan (-)
- Lidah : glositis (-), atrofi papil lidah (-)
- Gigi : belum tumbuh
- Faring dan laring : sulit dievaluasi
27
27
Leher :
- Simetris (-)
- Kaku kuduk (-)
- Pemb.KGB (-)
- Trakea : ditengah
Thorax
Inspeksi :
-Bentuk: simetris
-Ukuran: normal
-Pergerakan dinding dada : simetris
-Permukaan kulit : petekie (-), purpura (-), ekimosis (-), spider nevi (-), vena
kolateral (-), massa (-), sikatrik (-)
-Iga dan sela antar iga: Pelebaran ICS (-), retraksi (-)
-Penggunaan otot bantu napas: sternocleidomastoideus (-), otot intercostalis
interna dan eksterna (-)
-Fossa supraclavicula, fossa infraclavicula dan fossa jugularis normal
-Tipe pernapasan torakoabdominal, frekuensi napas 32 X/menit
-Iktus cordis tidak tampak
Palpasi :
-Pergerakan dinding dada simetris
-Iktus cordis teraba SIC 5 linea midklavikula sinistra
-Nyeri tekan (-)
-Pembesaran KGB aksiler -/-
Perkusi :
-Sonor +/+
-Batas paru – hepar : ICS IV dextra, ekskursi (-)
-Batas paru – jantung: -
o batas kanan jantung : SIC II linea parasternal dextra
28
28
o batas kiri jantung : SIC V linea midklavikula sinistra
Auskultasi :
-Paru: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-), suara gesek pleura (-/-)
-Jantung: S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi :
- Bentuk : distensi (+)
- Umbilicus : mendatar
- Permukaan Kulit : sikatrik (-), pucat (+), sianosis (-), vena kolateral (-), caput
meducae (-), petekie (-), purpura (-), ekimosis (-)
Auskultasi :
- Bising usus (+) normal
- Metallic sound (-)
- Bising aorta (-)
Palpasi :
- Abdomen teraba supel
- Turgor : normal
- Tonus : normal
- Nyeri tekan (-)
- Hepar tidak teraba
- Lien teraba Schuffner 1, Hackett 1
- Ren dextra-sinistra tidak teraba.
Perkusi :
-Timpani pada seluruh lapang abdomen.
- Redup beralih (-)
-Nyeri ketok (-)
Extremitas :
Ekstremitas atas :
29
29
- Akral hangat : +/+
- Deformitas : -/-
- Sendi : nyeri sendi -/-
- Edema: -/-
- Sianosis : -/-
- Ptekie: -/-
- Clubbing finger: -/-
- Koilonikia -/-
- Infus terpasang +/-
- Kulit palmar: anemis +/+, warna kuning -/-
Ekstremitas bawah:
- Akral hangat : +/+
- Deformitas : -/-
- Sendi : nyeri sendi -/-
- Edema: -/-
- Sianosis : -/-
- Ptekie: -/-
- Clubbing finger: -/-
- Kulit plantar: anemis +/+
Columna Vertebra :
Tidak ada kelainan, nyeri tekan (-)
Genitourinaria :
- Tidak ada kelainan pada alat genital.
- Pembesaran KGB inguinal: -/-
IV. RESUME
30
30
Pasien anak laki-laki berusia 5 bulan datang dengan:
demam sejak 4 hari yang lalu. Demam dirasakan naik turun dengan pemberian
obat demam.
Keluarga dengan keluhan yang sama atau keluarga dengan keganasan dan
gangguan darah, seluruuhnya disangkal.
Riwayat kelahiran di rumah sakit secara SC, mendapat makanan pendamping ASI
pada usia 3 bulan.
Ditemukan splenomegali.
V. DIAGNOSIS KERJA
1. Febris H-4
Thalasemia
Leukemia
31
31
VII. RENCANA AWAL
Diagnostik
o Laboratorium:
UL
o Radiologis:
Ro” thoraks
VIII. PENUNJANG
DL:
(post transfusi)
RBC (106/microL) 4,38 4,36 5,17
Hct (%) 23,9 24 30,7
MCV (fL) 54,6 55 59,4
MCH (pg) 14,4 14,4 17,4
MCHC (g/dL) 26,4 26,3 29,3
RDW 22,4 22,8 28,9
WBC (103/microL) 17,6 20,46 13,13
Neutrofil 33 15,1 13,5
Limfosit 50,1 71,5 74,1
Monosit 15,,6 10,6 8,8
Eosinofil 1.0 3,1 3,1
Basofil 0,3 0,5 0,5
32
32
platelet 425 266 436
UL
o Darah: +1 o Kristal: -
o Bakteri: + o Ca ozalat: -
o Amorf urat: -
o Triple fosfat: -
o Amorf fosfat: -
DDR: -
Retikulosit: 2,2
MDT:
o Eritrosit: mikrositik hipokromik, Sel pensil, sel sigar, sedikit tear drop
cell.
33
33
o Kesimpulan: menunjukkan anemia mikrositik hipokromik kemungkinan
anemia defisiensi besi serta kemungkinan keganasan hematologi belum dapat
disingkirkan.
X. PLANNING
Terapi:
o ASI on demand
o Transfusi PRC 60 cc
Diagnostik:
Rontgen thoraks
BMP
X. PROGNOSIS
34
34
Vitam: dubia ad bonam
35
35
BAB III
PEMBAHASAN
Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan wajah pucat, telapak tangan dan kaki pucat.
Kondisi tersebut mengarah pada gejala-gejala umum anemia. Gejala dan tanda anemia
bergantung pada derajat dan kecepatan terjadinya anemia, juga kebutuhan oksigen penderita.
Pasokan oksigen dapat dipertahankan pada keadaan istirahat dengan mekanisme kompensasi,
peningkatan volume sekuncup, denyut jantung dan curah jantung pada kadar Hb mencapai 5 g%
(Ht 15%). Gejala timbul bila kadar Hb turun di bawah 5 g%, pada kadar Hb lebih tinggi selama
aktivitas atau ketika terjadi gangguan mekanisme kompensasi jantung karena penyakit jantung
yang mendasarinya.3
Untuk memastikan diagnosis, Terdapat dua pendekatan untuk menentukan penyebab anemia
yaitu pendekatan kinetik dan pendekatan morfologi, pendekatan kinetik dapat dilakukan dengan
pemeriksaan darah lengkap, sementara pendekatan morfologi dengan pemeriksaan hapusan darah
tepi.3
Berdasarkan hasil pemeriksaan DL didapatkan kadar Hb 6,3 g/dL, RBC 4,38, MCV 54,6 fL,
MCH 14,4 pg, MCHC 26,4 g/dL. Data tersebut menunjukkan pasien menderita anemia
mikrositik hipokromik. Penyakit-penyakit yang menyebabkan kondisi tersebut antara lain anemia
defisiensi besi, talasemia, anemia sideroblastik dan anemia penyakit kronis. Dengan
ditambahkan data mengenai RDW 22,4 % dan retikulosit 2,2. Indekx Mentzer (rasio MCV/RBC)
pada kasus ini adalah 12,46, indeks RDW (MCV/RBC X RDW) 279 maka meningkatkan
kecurigaan pada ADB namun pada ADB biasanya tidak dijumpai adanya organomegali. Hasil
DL lainnya didapatkan leukositosis dengan hitung jenis leukosit didapatkan neutropenia,
limfositosis dan jumlah platelet normal. Kelainan pada hitung jenis leukosit memunculkan
kecurigaan adanya suatu keganasan hematologi yaitu leukemia. Kecurigaan pada leukemia
didukung juga oleh usia pasien, temuan organomegali dan pada morologi darah tepi dimana
didapatkan limfositosis absolut, curiga adanya blast <5%. Meskipun
Kelainan hitung jenis leukosit dapat menjelaskan kondisi demam yang mengarah infeksi
pada pasien. Kelainan tersebut menyebabkan gangguan imunitas pada pasien sehingga
selanjutnya akan sering mengalami infeksi.
36
36
Gejala anemia juga dapat ditemukan pada leukemia. Pada anak-anak kasus leukemia yang
terbanyak adalah jenis ALL. Berikut adalah perbandingan manifestai klinis dan laboratorium
setiap jenis leukemia.
Tabel perbandingan AML dan ALL.
37
0,5 – 2 Bervariasi dari 0 – 100%
Morfologi sel kanker - Sitoplasma
mengandung granul primer
(tidak spesifik)
- Kromatin lebih halus - Kromati n bergumpal
- Nukleus tampak (baik), - Nukleulus tampak
tampak ayaman kromatin samar dna lebih sedikit,
dengan >2 nukleulus kadang tidak terlihat.
menandakan sel immature.
- Tampak neutrofil yang - Sel pengiring :
abnormal: lobus abnormal limfosit
dan defisit granulasi (sel
pengiring)
- Auer-rod (+)
- Auer-rod (-)
Aspirasi dan biopsi sumsum Hiperseluler Hiperseluler
tulang
Hiperurisemia + +
Berdasarkan pada penjelasan di atas maka belum dapat ditentukan diagnosis pasti pasien
pada kasus ini apakah menderita leukemia akut atau ADB sehingga diperlukan pemeriksaan lebih
lanjut berupa aspirasi sumsum tulang. Penanganan yang diberikan saat ini adalah untuk
mengatasi kondisi yang ditemukan sekarang berupa anemia. Kadar Hb pada pasien yaitu 6,3
g/dL sehingga dilakukan transfusi berupa pemberian PRC sejumlah 60 cc sehingga kadar Hb
post transfusi menjadi 9 g/dL.
38
38
DAFTAR PUSTAKA
39
39