Anda di halaman 1dari 9

PEMBAHASAN ANTIINFLAMASI

Inflamasi adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi
yang merusak. Rangsangan ini menyebabkan pembebasan mediator inflamasi seperti
histamin, serotonin, bradikinin, prostaglandin, dan lain lain yang menimbulkan reaksi
radang berupa: panas, nyeri dan bengkak dan gangguan fungsi.(Syamsul munaf, 1994).
Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau
kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung
(sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu (Dorland, 2002).

Percobaan yang dilakukan pada praktikum kali ini bertujuan untuk mengetahui
aktivitas farmakologi dari Piroksikam dan Deksametason sebagai obat antiinflamasi
pada hewan percobaan tikus yang kemudian diinjeksi dengan menggunakan karagenan,
yang merupakan inisiator untuk terjadinya inflamasi tersebut. Selain itu, hal ini
ditunjukkan untuk membandingkan efektivitas farmakologi Piroksikam dan
Deksametason sebagai obat antiinflamasi pada hewan percobaan tikus.

Prinsip percobaan pada praktikum kali ini adalah dengan penyuntikkan secara
subkutan keregenan pada telapak kaki belakang tikus yang menyebabkan udem yang
dapat diinhibisi oleh obat antiinflamasi yang diberikan sebelumnya. Aktivitas obat
antiinflamasi dinilai / diukur dari persentase proteksi yang diberikan terhadap
pembentukkan udem. Teknik percobaan yang sering dilakukan adalah pembentukkan
udem dengan karagenan, yaitu suatu polisakarida sulfat yang berasal dari suatu
tanaman Chondrus crispus. Pembentukkan yang disebabkan oleh keragenan tidak
menyebabkan kerusakkan jaringan meskipun udem dapat bertahan bertahan selama 6
jam dan berangsur-angsur akan berkurang dan setelah 24 jam hanya akan
meninggalkan bekas.

Inflamasi diidentifikasikan sebagai respon imun suatu organisme terhadap


suatu stimulus yang berbahaya. Mekanisme terjadinya inflamasi adalah diawali dengan
reaksi setempat dari jaringan atau sel terhadap suatu rangsang atau cedera. Setiap ada
cedera, terjadi rangsangan untuk dilepaskannya zat kimia tertentu yang akan
menstimulasi terjadinya perubahan jaringan pada reaksi radang tersebut, diantaranya
adalah histamin, serotonin, bradikinin, leukotrin dan prostaglandin. Histamin
bertanggungjawab pada perubahan yang paling awal yaitu menyebabkan vasodilatasi
pada arteriol yang didahului dengan vasokonstriksi awal dan peningkatan permeabilitas
kapiler. Hal ini menyebabkan perubahan distribusi sel darah merah. Oleh karena aliran
darah yang lambat, sel darah merah akan menggumpal, akibatnya sel darah putih
terdesak ke pinggir. Makin lambat aliran darah maka sel darah putih akan menempel
pada dinding pembuluh darah makin lama makin banyak. Perubahan permeabilitas
yang terjadi menyebabkan cairan keluar dari pembuluh darah dan berkumpul dalam
jaringan. Bradikinin bereaksi lokal menimbulkan rasa sakit, vasodilatasi,
meningkatakan permeabilitas kapiler. Sebagai penyebab radang, prostaglandin
berpotensi kuat setelah bergabung dengan mediator lainnya.

Hewan uji yang digunakan pada praktikum kali ini adalah tikus. Hewan uji tikus
yang digunakan pada percobaan ini menggunakan 3 ekor tikus yang dibedakan menjadi
kelompok kontrol, kelompok antiinflamasi piroksikam dan kelompok antiinflamasi
deksametosan, dimana setiap kelompok dibedakan berdasarkan bahan uji yang
diberikan.
Metode udem dilakukan karena metode ini lebih efektif dan memiliki dosis
yang akurat dibandingkan dengan metode lainnya seperti metode panas tes hot plate
yang menunjukkan respon melompat karena panas ini kurang efektif karena respon
tikus yang kurang dan juga suhu yang mungkin berubah-ubah, dan metode menarik
ujung ekor pada sumber panas dengan melihat respon dalam beberapa detik juga
kurang efektif karna tidak dipastikan semua tikus percobaan memilik respon yang
sama.

Adapun alat dan bahan yang digunakan pada praktikum pengujian efek anti-
inflamasi ini adalah jarum suntik 1 mL. Jarum suntik ini digunakan untuk menyuntikan
bahan uji dengan cara subkutan pada bagian telapak kaki belakang. Kemudian ada
sonde oral yang digunakan untuk memberikan bahan obat uji melalui rute oral.
Kemudian ada plethysmometer yang fungsinya adalah sebagai alat pengukur untuk
mengukur volume udem yang terjadi dan kemudian dibandingkan terhadap udem yang
tidak diberikan obat. Prinsip kerja alat ini adalah berdasarkan Hukum Archimedes,
yaitu penambahan volume air raksa sebanding dengan volume kaki tikus yang
dimasukkan.
Bahan yang digunakan pada percobaan anti-inflamasi ini adalah PGA ( Gom
Arab) dimana fungsi zat gom arab ini adalah sebagai zat bagi kelompok uji. Zat yang
lainnya antara lain adalah piroksikam dan deksametason yang merupakan obat-obat
golongan AINS dan golongan Kortikosteroid yang dapat menghambat berbagai reaksi
biokimiawi, selain itu obat AINS dan Kortikosteroid secara umum tidak menghambat
biosintesis leukotrian, yang diketahui berperan dalam inflamasi tetapi efek terapi
maupun efek samping dari obat-obat antiinflamasi ini tergantung dari penghambatan
biosintesisnya terhadap prostaglandin. Piroksikam merupakan golongan obat
antiinflamasi non-steroid artinya obat AINS golongan ini menghambat enzim
siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin akan
terganggu. Prostaglandin diproduksi oleh enzim yang disebut Cox-1, dan piroksikam
bekerja memblok enzim Cox-1 tersebut, sehingga terjadi gangguan produksi
prostaglandin. Kemudian digunakan pula deksametason yang merupakan golongan
obat Kortikosteroid yang kerjanya menghambat enzim fosfolipase A2 yang mengubah
fosfolipid menjadi asam arakhidonat pada proses sintesis prostaglandin. Asam
arakhidonat tidak terbentuk artinya prostaglandin juga tidak terbentuk. Dan zat yang
terakhir adalah karagenan, yaitu merupakan suatu zat asing (antigen) yang bila masuk
kedalam tubuh akan merangsang pelepasan mediator radang seperti histamin sehingga
menimbulkan radang akibat antibodi tubuh bereaksi terhadap antigen tersebut untuk
melawan dari pengaruhnya.
Prosedur yang dilakukan adalah pertama-tama memilih tikus yang akan di uji
cobakan. Setelah dipilih tikus yang akan digunakan, terlebih dahulu diberi tanda pada
ekor tikus untuk memudahkan praktikan melakukan uji dan agar tidak tertukar antar
tikus satu dengan tikus yang lainnya. Setelah diberi tanda pada setiap tikusnya, tikus
ditimbang dengan menggunakan timbangan. Setelah dilakukan penimbangan kesetiap
tikusnya, dihitung masing-masing dosis zat yang akan diberikan sesuai dengan berat
bobot badan dari tiap tikusnya. Kemudian, pada tahap awal volume kaki tikus diukur
dan menjadi data sebagai volume awal. Pada setiap pengukuran volume dengan
menggunakan alat plethysmometer, cara melihat volume dengan menggunakan alat ini
adalah dengan mencelupkan kaki belakang tikus ke dalam air raksa secara hati-hati
agar air raksa tidak tumpah, dan sangat berbahaya jika terkena kulit manusia, karena
dapat mengakibatkan kanker. Setelah kaki belakang tikus dicelupkan, diperhatikan
tinggi cairan air raksa dan dicatat sebelum dan sesudah pengukuran.
Kemudian masing-masing tikus diberi larutan kontrol secara oral dengan
menggunakan sonde oral. Kemudian setelah 30 menit, telapak kaki tikus diukur volume
pembengkakannya dan didapat nilai data yaitu Vo. Dan kemudian diberi larutan
karagenan 0,1 mL secara subkutan dibagian telapak kaki tikus. Dan kemudian dihitung
volume perubahan edema yang dialami kaki tikus untuk setiap perbedaan waktu, yaitu
pada menit ke-30 menit, 60 menit, 90 menit, dan 120 menit. Maka didapat nilai Vt.
Perlakuan yang diberikan pada tikus I sebagai kontrol, adalah pemberian
suspensi CMC-Na secara peroral, lalu 30 menit kemudian disuntikkan karagenan
secara subkutan, lalu diamati pembengkakan yang terjadi setiap 30 menit selama 120
menit. Suspensi CMC-Na berfungsi sebagai injeksi untuk kontrol. CMC-Na digunakan
untuk memperoleh efek yang sama, atau dengan kata lain, sebagai blangko. Suspensi
CMC-Na diberikan secara peroral untuk memperoleh efek sistemik. Karagenan
berfungsi sebagai inflamator, dan disuntikkan secara subkutan pada telapak kaki
bawah tikus untuk memperoleh efek lokal yang cepat. Pengamatan setiap 30 menit
selama 120 menit dilakukan dengan tujuan mengukur besarnya inflamasi yang terjadi
pada kaki tikus akibat injeksi karagenan. Dari hasil pengamatan secara umum diperoleh
bahwa hasil dari t30 – t60 secara berturut-turut 0,04, 0,06, 0,07, 0,04, 0,05. Hal ini
menunjukkan peningkatan dan penurunan yang tidak stabil, ini menandakan bahwa
injeksi karagenan yang dinjeksi secara subkutan berhasil menimbulkan efek inflamasi
sebagaimana fungsinya yakni untuk membentuk udem. Hasil dari pengamatan tikus
kontrol ini berguna untuk membandingkan antara volume inflamasi pada kaki bawah
tikus yang tidak diberi obat antiinflamasi dengan volume inflamasi pada kaki bawah
tikus yang diberi obat antiinflamasi.
Pada tikus II sebagai tikus uji, mendapat perlakuan yakni pemberian obat
piroksikam melalui oral, lalu 30 menit kemudian disuntikkan karagenan secara
subkutan pada telapak kaki mencit, lalu diamati setiap 30 menit selama 120 menit.
Percobaan ini dilakukan untuk menguji efektivitas piroksikam sebagai obat anti
inflamasi yang bekerja menghambat enzim siklooksigenase sehingga sintesis
prostaglandin terhambat. Setelah penyuntikan karagenan, pengamatan dilakukan
dengan cara yang sama seperti pada tikus I. Yakni tiap 30 menit, kaki tikus dicelupkan
dalam air raksa dan diamati tinggi air raksa yang terjadi untuk mengindikasikan volume
inflamasi yang terbentuk. Dari hasil pengamatan secara umum diperoleh bahwa pada
t30 – t120 secara berturut-turut yaitu 0,04, 0,05, 0,05, 0,04, 0,03. Hal ini menunjukkan
kenaikan dan penurunan yang cukup stabil dan tidak terlalu tinggi dibandingkan
dengan tikus kontrol yang menunjukkan hasil yang tidak stabil, hal ini menunjukkan
bahwa piroksikam yang diberikan kepada tikus uji bereaksi karena udem yang
dihasilkan oleh karagenan dihambat oleh piroksikam tersebut.
Pada tikus III sebagai tikus uji, juga mendapat perlakuan yakni pemberian obat
deksametason melalui oral, lalu 30 menit kemudian disuntikkan karagenan secara
subkutan pada telapak kaki mencit, lalu diamati setiap 30 menit selama 120 menit.
Percobaan ini dilakukan untuk menguji efektivitas Deksametason sebagai obat anti
inflamasi golongan kortikosteroid dalam efektivitas kerjanya menghambat enzim
fosfolipase A2 yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakhidonat pada proses
sintesis prostaglandin . Setelah penyuntikan karagenan, pengamatan dilakukan dengan
cara yang sama seperti pada tikus I dan II. Yakni setiap 30 menit, kaki tikus dicelupkan
dalam air raksa dan diamati tinggi air raksa yang terjadi untuk mengindikasikan volume
inflamasi yang terbentuk. Dari hasil pengamatan secara umum diperoleh bahwa pada
t30 – t120 secara berturut-turut yaitu 0,04, 0,05, 0,05, 0,04, 0,05. Hal ini menunjukkan
kenaikan dan penurunan yang cukup stabil dan tidak terlalu tinggi dibandingkan
dengan tikus kontrol yang menunjukkan hasil yang tidak stabil, hal ini menunjukkan
bahwa Deksametason yang diberikan kepada tikus uji berhasil bekerja menghambat
sintesis prostaglandin, karena udem yang dihasilkan oleh karagenan dihambat oleh
piroksikam tersebut.
Dari hasil percobaan diatas dilihat bahwa piroksikam yang merupakan obat
golongan AINS kerjanya lebih efektif dibandingkan dengan deksametason yang
merupakan golongan kortikosteroid hal ini bisa dilihat dari t120 dimana piroksikam
menunjukkan hasil 0,03 sedangkan deksametason menunjukkan hasil 0,05. Tetapi
setelah dibandingkan dengan literature bahwa obat-obat golongan AINS termasuk
piroksikam memiliki efek antiinflamasi yang lebih rendah dibandingkan dengan obat-
obat golongan kortikosteroid termasuk deksametason karena seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya bahwa obat-obat kortikosteroid menghambat enzim
fosfolipase A2 sehingga tidak akan membentuk asam arakhidonat yang berarti
prostaglandin tidak akan terbentuk, sedangkan obat-obat golongan AINS kerjanya
menghambat enzim siklooksigenase sehingga sintesis prostaglandin terhambat artinya
dilihat dari pemaparan tersebut obat golongan kortikosteroid memiliki tingkatan yang
lebih kuat karena prostaglandin tidak terbentuk sedangkan obat golongan AINS
prostaglandin masih bisa terbentuk hanya pembentukannya terhambat. Jadi
kemungkinan mengapa dari hasil praktikum yang dilakukan piroksikam memberikan
efek yang lebih efektif dari deksametason adalah karena beberapa faktor seperti sistem
imun tikus yang diberi piroksikam memang sedang bagus, sedangkan tikus yang diberi
deksametason dalam keadaan yang tidak baik, kemudian karena sistem pencernaan
tikus yang berbeda dan karena perbedaan umur tikus yang digunakan juga berbeda
sehingga akan mempengaruhi keefektivitasan obat.
Kemudian apabila kedua tikus yang telah diberi obat tersebut dibandingkan
dengan tikus yang diberi kontrol CMC-Na bisa dilihat perbedaan yang sangat
signifikan pada t30 dan t60 dimana pada menit tersebut tikus kontrol mengalami
inflamasi yang cukup tinggi dibandingkan dengan tikus uji yang diberi piroksikam dan
deksametason hal ini menunjukkan bahwa keragenan yang digunakan efektif dalam
fungsinya membentuk inflamasi dan juga obat-obat piroksikam dan deksametason juga
efektif dalam menahan sintesis prostaglandin penyebab terjadinya udem. Tetapi pada
t90 dan t120 bisa dilihat bahwa antara tikus kontrol dengan piroksikam mengalami
penurunan udem tetapi pada kontrol mengalami kenaikan kembali hal itu kemungkinan
karena pembentukkan udem oleh karagenan sebenarnya dapat bertahan selama 6 jam.
Kemudian jika membandingkan kontrol dengan deksametason bisa dilihat bahwa t90
dan t120 menunjukkan hasil yang sama kemungkinan tikus yang diberi deksametason
tersebut mengalami kembali edema hal itu karena tadi pembentukkan udem oleh
karagenan bisa bertahan selama 6 jam.
Adapun perhitungan volume udem (kenaikan volume kaki) dilakukan dengan
membandingkannya terhadap volume dasar sebelum menyuntikkan karagenan dengan
rumus:
𝑉𝑢 = 𝑉𝑡 − 𝑉𝑜
Perhitungan volume inflamasi dilakukan untuk setiap 30 menitnya agar kita
dapat mengetahui seberapa besar proses peradangan pada kaki tikus telah terjadi
setiap 30 menit.
Berdasarkan hasil pengamatan piroksikam, onset atau waktu dari saat obat
diberikan hingga obat terasa kerjanya adalah dimulai dari t0 sampai t90 sedangkan
durasi atau lama obat menghasilkan suatu efek terapi dari obat piroksikam adalah saat
t90 sampai t120 dimana pada t90 sampai t120 terjadi penurunan besarnya inflamasi
dimana saat t60 besarnya inflamasi adalah 0,05 turun menjadi 0,04 dan 0,03 saat t90
dan t120. Sedangkan untuk deksametason, onset obat sama dengan piroksikam yaitu
mulai dari t0 sampai t90 sedangkan durasi deksametason terjadi pada t90 saja karna
pada t120 tikus kembali mengalami penaikan inflamasi dari 0,04 menjadi 0,05.

KESIMPULAN
 Inflamasi diidentifikasikan sebagai respon imun suatu organisme terhadap suatu
stimulus yang berbahaya.
 Hasil dari pengamatan tikus kontrol berguna untuk membandingkan antara volume
inflamasi pada kaki bawah tikus yang tidak diberi obat antiinflamasi dengan
volume inflamasi pada kaki bawah tikus yang diberi obat antiinflamasi.
 Obat-obat golongan AINS seperti piroksikam memiliki efek antiinflamasi yang
lebih rendah dibandingkan dengan obat-obat golongan kortikosteroid seperti
deksametason karena obat-obat kortikosteroid menghambat enzim fosfolipase A2
sehingga tidak akan membentuk asam arakhidonat yang berarti prostaglandin tidak
akan terbentuk, sedangkan obat-obat golongan AINS kerjanya menghambat enzim
siklooksigenase sehingga sintesis prostaglandin terhambat artinya obat golongan
kortikosteroid memiliki tingkatan yang lebih kuat karena prostaglandin tidak
terbentuk sedangkan obat golongan AINS prostaglandin masih bisa terbentuk
hanya pembentukannya terhambat.
DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC.

Munaf ST; Syamsul. (1994). Catatan Kuliah Farmakologi Bagian II. Staf Pengajar
Laboratorium Farmakologi-FK UNSRI. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

Anda mungkin juga menyukai