Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Daerah Aliran Sungai (DAS) dan pesisir merupakan satu kesatuan
ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air
dan vegetasi serta sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaat sumber
daya alam tersebut. DAS dan pesisir di beberapa tempat di Indonesia memikul
beban amat berat sehubungan dengan tingkat kepadatan penduduknya yang
sangat tinggi dan pemanfaatan sumberdaya alamnya yang intensif sehingga
terdapat indikasi belakangan ini bahwa kondisi DAS dan pesisir semakin
menurun dengan indikasi meningkatnya kejadian tanah longsor, erosi dan
sedimentasi, banjir, dan kekeringan. Disisi lain tuntutan terhadap
kemampuannya dalam menunjang system kehidupan, baik masyarakat di
bagian hulu maupun hilir demikian besarnya.
Sebagai suatu kesatuan tata air, DAS dan pesisir dipengaruhi kondisi
bagian hulu khususnya kondisi biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan
air yang di banyak tempat rawan terhadap ancaman gangguan manusia. Hal
ini mencerminkan bahwa kelestarian DAS dan pesisir ditentukan oleh pola
perilaku, keadaan sosial-ekonomi dan tingkat pengelolaan yang sangat erat
kaitannya dengan pengaturan kelembagaan (institutional arrangement).
Tidak optimalnya kondisi DAS dan pesisir antara lain disebabkan
tidak adanya adanya ketidakterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan DAS dan pesisir tersebut.
Dengan kata lain, masing-masing berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan yang
kadangkala bertolak belakang. Sulitnya koordinasi dan sinkronisasi tersebut
lebih terasa dengan adanya otonomi daerah dalam pemerintahan dan
pembangunan dimana daerah berlomba memacu meningkatkan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada.
Pengelolaan DAS dan pesisirterpadu dilakukan secara menyeluruh
mulai keterpaduan kebijakan, penentuan sasaran dan tujuan, rencana kegiatan,
implementasi program yang telah direncanakan serta monitoring dan evaluasi
hasil kegiatan secara terpadu. Pengelolaan DAS dan pesisir terpadu selain
mempertimbangkan faktor biofisik dari hulu sampai hilir juga perlu
mempertimbangkan faktor sosial-ekonomi, kelembagaan, dan hukum. Dengan
kata lain, pengelolaan DAS dan pesisir terpadu diharapkan dapat melakukan
kajian integratif dan menyeluruh terhadap permasalahan yang ada, upaya
pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam skala DAS dan pesisir secara
efektif dan efisien.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa Konsep Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir
2. Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir
3. Ekosistem dan Fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir
4. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir dari aspek ekonomi,
social, budaya
5. Tujuan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir
6. Prinsip – Prinsip Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir

1.3. Tujuan
1. Mengetahui Konsep-konsep Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir
2. Mengetahui definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir
3. Mengetahui ekosistem dan fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) dan
Pesisir
4. Mengetahui pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir dari
aspek ekonomi, social, budaya
5. Mengetahui tujuan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir
6. Mengetahui prinsip – Prinsip Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)
dan Pesisir
BAB 2

PEMBAHASAN

1. Konsep Dasar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir


Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir secara Terpadu
merupakan sebuah pendekatan holistik dalam mengelola sumberdaya alam
yang bertujuan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat dalam mengelola
sumberdaya alam secara berkesinambungan. Di daerah dataran tinggi curah
hujan yang jatuh akan mengalir dan berkumpul pada beberapa parit, anak
sungai, dan kemudian menuju ke sebuah sungai. Keseluruhan daerah yang
menyediakan air bagi anak sungai dan sungai-sungai tersebut merupakan
daerah tangkapan air (Catchment area), dikenal sebagai Daerah Aliran Sungai
(DAS) dan Pesisir.
DAS merupakan unit hydro-geologis yang meliputi daerah dalam
sebuah tempat penyaluran air. Air hujan yang jatuh di daerah ini mengalir
melalui suatu pola aliran permukaan menuju suatu titik yang disebut outlet
aliran air. Untuk tujuan pengelolaan dan perlindungan, DAS dibagi menjadi
tiga bagian, yaitu DAS bagian hulu, DAS bagian tengah dan DAS bagian
hilir. Daerah hulu merupakan daerah yang berada dekat dengan aliran sungai
yang merupakan tempat tertinggi dalam suatu DAS, sedangkan daerah hilir
adalah daerah yang dekat dengan jalan ke luar air bagi setiap DAS dan daerah
tengah adalah daerah yang terletak di antara daerah hulu dan daerah hilir.
DAS memiliki aspek sosial yang kompleks. Sebagian penduduk yang
memiliki tanah di DAS atau yang bergantung pada sumber DAS tidak tinggal
di dalam DAS tersebut. Dengan kata lain ada petani yang tinggal di luar DAS,
yang merupakan pemilik lahan pertanian yang terletak dalam suatu DAS atau
penduduk yang memanfaatkan sumber daya alam ini. Ada petani yang tidak
memiliki lahan garapan, dan ada petani yang memiliki lahan di beberapa
DAS. Aspek sosial ini sangat berperan dalam pembentukan sebuah lembaga
yang mengelola program DAS.

2. Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir


A. Pengertian Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan
satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah
hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat berupa
pemisah topografis (berupa punggung-punggung bukit dan lembah) dan
batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh
aktivitas daratan. [UU no. 7/2004 tentang Sumber Daya Air; SULASDI,
2007
B. Definisi wilayah pesisir
Wilayah peralihan antara lautan dan daratan, ke arah darat mencakup
daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut,
dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua. Kesepakatan
Internasional [Beatley, 1994 dalam SULASDI, 2007]
Pertemuan antara darat dan laut. Ke arah darat wilayah pesisir meliputi
bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi
sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin.
Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih
dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti
sedimentasi, dan aliran air tawar, juga yang disebabkan oleh kegiatan
manusia seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Soegiharto (1976)
[SULASDI, 2007]
Wilayah yang merupakan tanda atau batasan wilayah daratan dan
wilayah perairan yang mana proses kegiatan atau aktivitas bumi dan
penggunaan lahan masih mempengaruhi proses dan fungsi kelautan.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat di tarik suatu kesimpulan
bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik karena merupakan
tempat percampuran antara daratan dan lautan, hal ini berpengaruh
terhadap kondisi fisik dimana pada umumnya daerah yang berada di
sekitar laut memiliki kontur yang relatif datar.

3. Ekosistem dan Fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir


Ekosistem wilayah pesisir dan lautan dipandang dari dimensi ekologis
memiliki 4 fungsi/peran pokok bagi kehidupan umat manusia yaitu
a. Sebagai penyedia sumber daya alam
b. penerima limbah
c. penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan manusia (life support services),
d. penyedia jasa-jasa kenyamanan (amenity services)
Pentingnya asas keterpaduan dalam pengelolaan DAS erat kaitannya
dengan pendekatan yang digunakan dalam pengelolaan DAS, yaitu
pendekatan ekosistem. Ekosistem DAS merupakan sistem yang kompleks
karena melibatkan berbagai komponen biogeofisik dan sosial ekonomi dan
budaya yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Kompleksitas ekosistem
DAS mempersyaratkan suatu pendekatan pengelolaan yang bersifat multi-
sektor, lintas daerah, termasuk kelembagaan dengan kepentingan masing-
masing serta mempertim- bangkan prinsip prinsip saling ketergantungan.
Hal-hal yang penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan DAS :
a. Terdapat keterkaitan antara berbagai kegiatan dalam pengelolaan
sumberdaya alam dan pembinaan aktivitas manusia dalam pemanfaatan
sumberdaya alam.
b. Melibatkan berbagai disiplin ilmu dan mencakup berbagai kegiatan yang
tidak selalu saling mendukung.
c. Meliputi daerah hulu, tengah, dan hilir yang mempunyai keterkaitan
biofisik dalam bentuk daur hidrologi.
4. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Pesisir dari aspek Ekonomi,
Social, Budaya
a. Aspek Ekonomi
Sebagaimana yang diketahui bahwa memajukan kesejahteraan
umum merupakan salah satu tujuan nasional negara Republik
Indonesia. Tujuan untuk memajukan kesejahteraan umum tersebut
diamanatkan pada salah satu alinea dalam pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945. Hanya saja, mewujudkan tujuan tersebut
bukanlah persoalan gampang, karena semua itu terkait persoalan dana.
Untuk itulah kemudian pemerintah menggali berbagai sumber dana
yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat. Salah satu
upaya yang dimaksud antara lain adalah menggali dan memanfaatkan
sumber daya alam yang terdapat di laut.Upaya untuk memanfaatkan
laut sebagai sumber mata pencaharian merupakan upaya yang sangat
postif, karena memang Indonesia merupakan negara maritim serta
dipenuhi dengan berbagai ribuan pulau yang membentang dari Sabang
sampai Merauke. Kesemua itu merupakan langkah pemerintah dalam
mensejahterakan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat yang
berdiam di pesisiran pantai di Indonesia.
Disisi lain juga, kekayaan alam laut Indonesia yang begitu
melimpah dan banyak mengandung sumber daya alam, masih juga
belum dimanfaatkan pemerintah dan masyarakat. Penyebabnya tentu
beragam, bisa dari penguasaan ilmu dan teknologi kita yang masih
rendah dalam memanfaatkan segala potensi laut yang ada. Hingga
ketidakmampuan dalam hal dana guna membiayai segala potensi
tersebut. Dengan menyadari perlunya modal, bagi kelangsungan untuk
usaha mereka tersebut, tak jarang para nelayan harus berurusan dengan
para pemilik modal atau yang biasa disebut dengan Toke.Pada
dasarnya, dapat kita saksikan berbagai macam problem ekonomi
nelayan. Khususnya mereka yang mendiami di pesisiran pantai.
Dimulai dari cuaca yang tidak menentu, sehinga memaksakan
terpaksanya berhentinya melaut untuk sementara waktu. Lalu pada
pendapatannya yang juga tidak menentu, hingga pada modal yang di
dapatinya.Saat ini mari kita berandai-andai bahwa pertumbuhan
ekonomi bukan didasarkan pada angka-angka peningkatan produksi
barang/jasa, investasi, konsumsi dan sebagainya, melainkan pada
keadaan ekonomi, sosial, budaya masyarakat wilayah pesisir.
Mengapa wilayah pesisir? karena wilayah ini dapat dikatakan sebagai
potret bangsa Indonesia.Pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan
kemampuan suatu perekonomian untuk berproduksi (GDP potensial)
sepanjang waktu (Dominic Salvatore dan Eugene A. Diulio. 2004:80).
Pertumbuhan ekonomi juga proses perubahan kondisi perekonomian
suatu negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih
baik selama periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan
juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian
yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Adanya
pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan
ekonomi.Jika melihat kondisi ekonomi, sosial, budaya masyarakat
pesisir saat ini, dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia sebetulnya
tidak mengalami pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahunnya. Atau
lebih tepatnya pertumbuhan ekonomi yang dicapai tidak merata dan
tidak dirasakan masyarakat pesisir. Dari pernyataan di atas juga
terlihat bahwa salah satu karakteristik yang menonjol dari
pertumbuhan ekonomi adalah bertambahnya barang dan jasa. Jika
dilihat dari aspek pertambahan barang dan jasa, terlihat bahwa
masyarakat pesisir tidak menikmati pertambahan tersebut. Barang dan
jasa yang ada di wilayah pesisir tidak diproduksi dalam skala yang
terus bertumbuh. Penangkapan ikan oleh nelayan bersifat subsisten.
Hal tersebut diperparah dengan adanya pengurasan sumberdaya
perikanan dengan adanya pencurian oleh kapal asing. Sumberdaya
yang diproduksi di wilayah pesisir tentunya akan terus bertambah dan
berarti hal tersebut akan menambah tingkat kemiskinan di wilayah
pesisi.
Kondisi masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir di
berbagai kawasan secara umum ditandai oleh adanya beberapa ciri,
seperti kemiskinan, keterbelakangan sosial – budaya, rendahanya
kulaitas sumber daya manusia (SDM) karena sebagian besar penduduk
hanya lulus sekolah dasar atau belum tamat sekolah dasar, dan
lemahnya fungsi dari keberadaan Kelompok Usaha Bersama (KUB),
Lembaga Keuangan Mikro (LKM), atau kapasitas berorganisasi
masyarakat. Hal – hal seperti ini merupakan hambatan potensial bagi
masyarakat nelayan/pesisir untuk mendorong dinamika pembangunan
di wilayahnya. Akibatnya, sering terjadi kelemahan bargaining
position masyarakat pesisir dengan pihak – pihak lain di luar kawasan
pesisir, sehingga mereka kurang memiliki kemampuan
mengembangkan kapasitas dirinya dan organisasi atau kelembagaan
sosial yang dimiliki sebagai sarana aktualisasi dalam membangun
wilayahnya. (Kusnadi dalam Heri Purwanto 2007 : 1 – 2 ).

1. Kehidupan Ekonomi Masyarakat pesisir secara umum


Realita sosial masyarakat pesisir, menunjukkan gambaran tentang
sebuah potret masyarakat yang relatif terbuka dan mudah menerima
serta merespon perubahan yang terjadi. Hal ini dapat dimaklumi
mengingat kawasan pesisir merupakan kawasan yang sangat terbuka
dan memungkinkan bagi berlangsungnya proses interaksi sosial antara
masyarakat setempat dengan masyarakat pendatang.
Wilayah pesisir adalah interaksi antara tujuan – tujuan dan
pemanfaatan – pemanfaatan kelautan dan terestrial, wilayah pesisir
terdiri dari daratan yang berinteraksi dengan lautan dan ruang lautan
yang berinteraksi dengan daratan. Jadi wilayah pesisir adalah :
a. Terdiri dari komponen daratan dan komponen lautan.

b. Memiliki batas – batas daratan dan lautan yang ditentukan oleh


tingkat pengaruh dari daratan terhadap lautan dan lautan terhadap
daratan.

c. Tidak seragam dalam hal kelebaran, kedalaman atau ketinggian.


Salah satu karakteristik masyarakat nelayan adalah
ketergantungan yang kuat terhadap lingkungan pesisir. Baik dan
buruknya lingkungan pesisir akan berdampak secara langsung
terhadap kehidupan mereka. Hal ini terkait dengan sumber daya
perikanan yang ada di laut seperti ikan tuna, lajang, cumi – cumi
dan sebagainya. Hal ini membentuk hubungan atau relasi timbal
balik antara manusia dan alam. Dan sistem kekerabatan
masyarakat Dan itu menjadi salah satu hal utama mengapa
masyarakat selalu hidup rukun dan tidak pernah terjadi bentrok
atau konflik yang berskala besar. Sistem kemasyarakatan yang
terus terpelihara dan berjalan dengan baik hingga saat ini adalah
hidup bergotong-royong dan menyelesaikan masalah atau
persoalan secara bersama-sama, musyawarah dan mufakat.

2. Kehidupan Sosial Ekonomi dan Dampak Perkembangannya Bagi


Masyarakt Pesisir Kehidupan sosial masyarakat pesisir, telah
membawa suatu nuansa perubahan dalam masyarakat menjadi lebih
meningkat baik dari segi sosial, ekonomi dan pendidikan. Inilah yang
menjadi patokan dalam suatu perkembangan atau perubahan yang
terjadi pada masyarakat pesisir.Untuk mengetahui kehidupan sosial
ekonomi masyarakat pesisir, ditinjau dari segi sosial, sifat kerja sama
masih nampak, selain itu dari segi ekonomi pada masyarakat nelayan,
kehidupan ekonominya meningkat dibandingkan tahun sebelumnya .
Dalam segi positifnya, kepadatan penduduk juga dapat menciptakan
hal – hal atau pekerjaan baru. Berbagai perubahan yang terjadi
dilingkungan masyarakat pesisir pantai mengakibatkan masalah
sosial ekonomi yang harus selalu diperhatikan oleh pemerintah.
Seperti alat teknologi yang merupakan salah satu pendukung
perkembangan atau perubahan yang berlangsung dimasyarakat
nelayan saat ini. Oleh karena itu selayaknya pemerintah
memperhatikan kebutuhan masyarakat pesisir pantai khususnya pada
sarana penunjang dalam penagkapan ikan.
b. Aspek Sosial
Karakter masyarakat pesisir merupakan aspek penting dalam
sebuah pandangan sosiologi. Setting sosio-edukasi masyarakat
pesisir di Indonesia, menjadi penanda karakteristik kultur
masyakatnya. Kultur masyarkat pesisir ini akrab dengan
ketidakpastian yang tinggi. hal ini disebabkan karena kehidupan sosial
di wilayah Pesisir tergantung pada sumber daya laut yang ada. Secara
alamiah, sumberdaya laut pesisir (perikanan) bersifat invisible,
sehingga sulit untuk diprediksi. Dalam kondisi seperti ini maka tidak
jarang ditemui karakteristik masyarakat pesisir Indonesia yang keras,
sebagian temparemental, dan boros karena ada persepsi bahwa Secara
sosiologi perlu adanya transformasi pendidikan dan budaya yang dapat
membangun keadaban pesisir – keadaban yang transformatif, tangguh,
dan mandiri, bukan keadaban yang lemah, pasif, dan destruktif.
Karakter sosial masyarakat di pesisir ini terbentuk melalui proses
panjang. Sebagai contoh adalah fakta sosialdi Tanjung Burung,
Banten. . Karakter sosial pesisiran seperti gaya hidup konsumtif terjadi
karena adanya dorongan ”gengsi sosial” yang kini semakin tampak
menggejala dan merupakan ”kompensasi psikologis” dari
kesengsaraan hidup yang cukup lama menimpa. dalam tatanan
sosiologis tersebut, kata lain gaya hidup yang dianggap ”boros” itu
merupakan upaya masyarakat di pesisir untuk menyenangkan diri
sesaat.
Gejala sosial yang terjadi di wilayah pesisir Indonesia ini
dilakukan dalam menikmati kehidupan yang selayaknya.
Streotipe ini sering dianggap menjadi penyebab kemiskian nelayan
Pesisir. Padahal kultur soaial masyarakat pesisir, jika dicermati pada
dasarnya memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi
subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu
senggang untuk memperbaiki jaring, dan seterusnya. Kondisi tersebut
lambat tapi pasti membentuk dan menjadi identitas mereka (Ginkel,
2007). Masyarakat pesisir Secara struktural mereka termarginalisasi
dalam sistem. Menurut Sunarto (2004) marjinalisasi hanyalah satu di
antara banyak masalah sosiologis yang timbul sebagai akibat
ketimpangan (Sunarto, 2004). Di mana ketimpangan ketersediaan
sarana sosial ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sarana infrastruktur
publik. Marjinalisasi mengabaikan hakekat pemberdayaan masyarakat
partisipatif (Ife, 2002), cenderung mengakibatkan keadaan komunitas
pedesaan di pesisir menjadi semakin tidak berdaya dalam beradaptasi
terhadap perubahan sosio-struktural dan ekologis
c. Aspek Budaya
Masyarakat Pesisir meyakini bahwa lautan yang dimiliki oleh
mereka berdasarkan pembagian kawasan laut yang disahkan oleh Raja
Desa itu merupakan suatu sumberdaya alam yang dijadikan untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan lebihnya dijual untuk keuntungannya.
Karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakterisik
masyarakat agraris atau petani. Dari segi penghasilan, petani
mempunyai pendapatan yang dapat dikontrol karena pola panen yang
terkontrol sehingga hasil pangan atau ternak yang mereka miliki dapat
ditentukan untuk mencapai hasil pendapatan yang mereka inginkan.
Berbeda halnya dengan masyarakat pesisir yang mata pencahariannya
didominasi dengan pelayan. Pelayan bergelut dengan laut untuk
mendapatkan penghasilan, maka pendapatan yang mereka inginkan
tidak bisa dikontrol. “Nelayan menghadapi sumberdaya yang bersifat
open acces dan beresiko tinggi. Hal tersebut menyebabkan masyarakat
pesisir sepeti nelayan memiliki karakter yang tegas, keras, dan
terbuka” (Satria, 2002).
Selain itu, karakteristik masyarakat pesisir dapat dilihat dari
beberapa aspek diantaranya, aspek pengetahuan, kepercayaan
(teologis), dan posisi nelayan sosial. Dilihat dari aspek pengetahuan,
masyarakat pesisir mendapat pengetahuan dari warisan nenek
moyangnya misalnya mereka untuk melihat kalender dan penunjuk
arah maka mereka menggunakan rasi bintang. Sementara, dilihat dari
aspek kepercayaan, masyarakat pesisir masih menganggap bahwa laut
memilki kekuatan magic sehingga mereka masih sering melakukan
adat pesta laut atau sedekah laut. Namun, dewasa ini sudah ada dari
sebagian penduduk yang tidak percaya terhadap adat-adat seperti pesta
laut tersebut. Mereka hanya melakukan ritual tersebut hanya untuk
formalitas semata. Begitu juga dengan posisi nelayan sosial, pada
umumnya, nelayan bergolong kasta rendah.
Kehidupan sosial budaya masyarakat pesisir dan pulau-pulau
kecil di Indonesia sangatlah beragam. perkembanagan sosial budaya
ini secara langsung dan tidak langsung dipengaruhi oleh faktor alam.
Perkembangan selanjutnya memberikan karakteristik dalam
aktifitasnya mengelola SDA. Tidaklah jarang ditemukan bahwa
masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil belum tentu memilih laut
sebagai lahan mata pencarian utama. Demikian pula, pada menunjukan
pola dan karakter yang berbeda dari kawasan perairan satu ke kawasan
lain memiliki pola yang berbeda.
Adat istiadat suku yang bermukim di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil sangatlah beragam pula. Di beberapa tempat sering
dijumpai adanya budaya pengaturan lahan laut atau sering disebut Hak
ulayat laut. Aturan-aturan semacam ini merupakan satu kearifan local
yang perlu dihargai sesuai dengan UUD 1945 Pasal 18B ayat 2 yang
disebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan
Undang-Undang.
Kebudayaan masyarakat pesisir dapat diartikan sebagai
keseluruhan pengetahuan atau sistem kognisi yang ada dan
berkembang pada masyarakat pesisir, yang isinya adalah perangkat-
perangkat model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan
untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi
untuk mendorong dan menciptakan kelakuan-kelakuan yang
diperlukan.
Dalam pengertian, kebudayaan adalah suatu model
pengetahuan yang dijadikan pedoman atau pegangan oleh manusia
untuk bersikap atau bertindak dan beradaptasi dalam menghadapi
lingkungannya untuk dapat melangsungkan kehidupannya (lihat
Suparlan 1983:67).
Masyarakat pesisir memerlukan bentuk kegiatan nyata yang
dapat membangun ekonomi mereka tanpa menghilangkan kultur dan
karakteristik dari masyarakat pesisir tersebut. Maka diperlukan bentuk
kegiatan yang berbasis masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang
no.22 tahun 1999 tentang desentralisasi dan otonomi daerah yang
memberikan wewenang kepada daerah untuk mengurus sendiri segala
urusan daerahnya. Begitu juga dengan wilayah pesisir, ketua
masyarakat atau kepala suku dapat bekerjasama dengan penduduk
untuk mengurus pesisir dan lautnya sesuai dengan adat mereka.
Kerajinan tangan, tarian, silat tradisional dan masih banyak
lainnya telah menjadi bukti betapa masyarakat pesisir ini seperti
masyarakat kaledupa memiliki beragam budaya yang tak kalah dengan
daerah lain. Jenis dan penggunaannya pun terasa sangat jelas dan
memiliki nilai yang besar dikalangan masyarakat. Penghargaan dan
penghormatan terhadap nilai-nilai budaya tentu harus menjadi sesuatu
yang mendasar demi tercapainya kelestarian budaya masyarakat
karena betapapun modernnya suatu masyarakat rasanya sangat sulit
untuk mencapai sebuah keharmonisan tanpa adanya nilai-nilai budaya
yang menjadi pedoman hidup disamping Al-Qur’an dan Al-Hadits
serta pertaturan-peraturan yang ditetapkan oleh masyarakat dan
pemerintah.
Penghargaan terhadap nilai budaya di lingkungan kehidupan
masyarakat Kaledupa terlihat dari masih banyaknya padepokan-
padepokan yang mempelajari silat tradisional khas daerah serta taman
belajar tarian yang mempelajari berbagai jenis tarian dan kesenian
tradisional daerah yang bersangkutan. Melestarikan berbagai kesenian
daerah bukan berarti bahwa mereka tidak mau mengikuti
perkembangan zaman yang serba modern ini tetapi hanya ingin agar
budaya warisan dari leluhur mereka tidak punah ditelah waktu dan
keadaan yang serba modern seperti sekarang ini.
Tradisi sedekah laut juga merupakan sebuah bentuk rasa
syukur yang hampir dimiliki banyak masyarakat pesisir di Nusantara.
Tradisi sedekah laut dihelat sebagai wujud syukur kepada Tuhan atas
limpahan kekayaan laut yang dapat menghidupi para nelayan. Di
Karimunjawa tradisi sedekah laut dikenal dengan nama Pesta Lomba
dan dilaksanakan pada hari ketujuh setelah Idul Fitri.
Tradisi masyarakat pesisir didaerah pantai utara jawa yaitu
Indramayu, dan Cirebon juga terdapat upacara nadran yaitu
mempersembahkan sesajen (yang merupakan ritual dalam agama
Hindu untuk menghormati roh leluhurnya) kepada penguasa laut agar
diberi limpahan hasil laut, sekaligus merupakan ritual tolak bala
(keselamatan). Sesajen yang diberikan, disebut ancak, yang berupa
anjungan berbentuk replika perahu yang berisi kepala kerbau,
kembang tujuh rupa, buah-buahan, makanan khas, dan lain
sebagainya. Sebelum dilepaskan ke laut, ancak diarak terlebih dahulu
mengelilingi tempat-tempat yang telah ditentukan sambil diiringi
dengan berbagai suguhan seni tradisional, seperti tarling, genjring,
barongsai, telik sandi, jangkungan, ataupun seni kontemporer
(drumband).
Tradisi masyarakat pesisir sangat kental dengan aktivitas
bahari, jauh sebelum teknologi mesin modern menempel di perahu-
perahu mereka, jauh sebelum itu mereka ber-panggayo dari satu
tempat ke tempat lainnya. Panggayo (Bahasa yang digunakan
masyarakat pesisir Maluku), atau dalam bahasa Indonesia berarti
mendayung yang merupakan salah satu bentuk kearifan lokal dan
adaptasi masyarakat pesisir wilayah yang dikelilingi laut tersebut
dalam menyambung rantai kehidupan mereka.
Bagi masyarakat daerah pesisir, menangkap ikan dengan cara
yang tradisional selain untuk melestarikan budaya pendahulu juga
dianggap sebagai cara yang tepat untuk tetap bisa bersahabat dengan
alam sekitar yang telah menjadi tempat menggantungkan hidup
mereka. Kedekatan mereka dengan alam sekitar telah terbukti dengan
tetap lestarinya fauna dan flora yang tersebar luar disepanjang pantai
dan lautan tempat mereka menghabiskan waktu untuk mencari
penghidupan.

5. Tujuan Pengelolaan DAS


Tujuan pengelolaan DAS terpadu adalah membantu masyarakat
mengembangkan visinya tentang apa yang mereka inginkan terhadap DAS
yang berada di daerah mereka, misalnya dalam 10 tahun ke depan, dan
mencari strategi untuk mencapai visi tersebut. Program ini hanya
menyediakan sumberdaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan strategi yang
secara kritis dipicu oleh faktor pemicu dan mengembangkan kelembagaan
masyarakat yang dibutuhkan untuk memenuhi visi tersebut.
Maksud pengelolaan DAS terpadu adalah suatu pendekatan yang
melibatkan teknologi tepat guna dan strategi sosial untuk memaksimalkan
pengembangan lahan, hutan, air dan sumebrdaya manusia dalam suatu daerah
aliran sungai, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara
berkesinambungan. Dengan kata lain pengelolaan DAS ini bertujuan agar
generasi masa depan dapat menikmati sumberdaya alam yang lebih sehat dan
lebih produktif dari generasi sekarang. Di masa mendatang penduduk jangan
lagi dianggap hanya penerima manfaat, tetapi mereka harus ikut berpartisipasi
aktif mulai dari perencanaan, pembuatan anggaran dan pelaksanaan kegiatan
di lapangan.
Tujuan umum pengelolaan DAS terpadu adalah :
a) Terselenggaranya koordinasi, keterpaduan, keserasian dalam
perencanaan,pelaksanaan, pengendalian, monitoring dan evaluasi DAS.
b) Terkendalinya hubungan timbal balik sumberdaya alam dan lingkungan
DAS dengan kegiatan manusia guna kelestarian fungsi lingkungan dan
kesejahteraan masyarakat.
c) Terciptanya kondisi hidrologis DAS yang optimal.
d) Meningkatnya produktivitas lahan yang diikuti oleh perbaikan
kesejahteraan masyarakat.
e) Tertata dan berkembangnya kelembagaan formal dan informal masyarakat
dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS dan konservasi tanah.
f) Meningkatnya kesadaran dan partisipasi mayarakat dalam
penyelenggaraan pengelolaan DAS secara berkelanjutan.
g) Terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan
dan berkeadilan.
Oleh karena itu, perumusan program dan kegiatan pengelolaan DAS selain
harus mengarah pada pencapaian tujuan dan sasaran perlu pula disesuaikan
dengan permasalahan yang dihadapi dengan mempertimbangkan adanya
pergeseran paradigma dalam pengelolaan DAS, karakteristik biogeofisik dan
sosekbud DAS, peraturan dan perundangan yang berlaku serta prinsip-prinsip
dasar pengelolaan DAS.
6. Prinsip-prinsip Pengelolaan DAS
1. Pengelolaan DAS berupa pemanfaatan, pemberdayaan, pembangunan,
perlindungan dan pengendalian sumberdaya alam DAS.
2. Pengelolaan DAS berlandaskan pada azas keterpaduan, kelestarian,
kemanfaatan, keadilan, kemandirian (kelayakan usaha) serta akuntabilitas.
3. Pengelolaan DAS diselenggarakan secara terpadu, menyeluruh
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
4. Pengelolaan DAS dilakukan melalui pendekatan ekosistem
yang dilaksanakan berdasarkan prinsip satu DAS, satu rencana, satu
sistem pengelolaan dengan memperhatikan sistem pemerintahan yang
desentralisasi sesuai jiwa otonomi yang luas, nyata dan bertanggung
jawab.
BAB 3
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengelolaan DAS terpadu mengandung pengertian bahwa unsur-unsur atau
aspek-aspek yang menyangkut kinerja DAS dapat dikelola dengan optimal
sehingga terjadi sinergi positif yang akan meningkatkan kinerja DAS dalam
menghasilkan output, sementara itu karakteristik yang saling bertentangan
yang dapat melemahkan kinerja DAS dapat ditekan sehingga tidak merugikan
kinerja DAS secara keseluruhan.
B. Saran
Adapun untuk makalah ini sebaiknya dapat menjadi bahan pembelajaran
pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)
DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press.

Johanes, Jangan Tangisi Tradisi, Kanisius, Jogjakarta, 1994 Narwoko, J.Dewi dan
Suyanto, Bagong,

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas Dan Pembangunan, Gramedia Pustaka


Utama, Jakarta, 2004.

Lorens Bagus, Kamus Filsafat,Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Tahun
2005. Mardimin,

Slamet, Bejo. 2007. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu.

Sulviyana, dkk. 2012. Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir. Fakultas


Kedokteran Universitas Haluoleo Kendari.

Anda mungkin juga menyukai