Anda di halaman 1dari 15

Landasan

Yang harus terus menerus didapatkan dan dipasokkan oleh partai yang menyandang kata pelopor
(vanguard) adalah kesimpulan tentang kesadaran sejati massa—yang sesuai dengan hukum
gerak/dinamika/tahap obyektif sejarah masyarakatnya. Pengertian kesadaran sejati massa tersebut adalah
merupakan kesadaran YANG SEHARUSNYA yang akan melandasi tindakan politik massa untuk
menapak ke tahap obyektif sejarahnya, karena memang kesadaran sejati itu lah yang dikehendaki
sejarahnya. Suatu tahap sejarah tak bisa dipenjarakan oleh idealisasi kesadaran palsu, ia akan terus
menerus menuntut amnesti kesadaran sejati untuk pembebasan manusia dan alamnya. Di atas landasan
sejati itu lah partai (pelopor) seharusnya memimpin kemenangan sejati, bukan kemenangan
oportunis/Machiavelis (baca: memanipulasi kesadaran palsu) yang mencelakakan.

Sejarah Menyimpulkan, Gerakan Merevolusionerkannya

Konsep partai pelopor didasari asumsi keberanian—secara psikologis sering dituduh sebagai
kecongkakan—untuk menyimpulkan bahwa terdapat kesenjangan antara kesadaran partai dengan
kesadaran massa, sehingga tugas utama partai adalah menghilangkan kesenjangan tersebut. Tuduhan
congkak segera bisa kita abaikan karena adalah hak absyah suatu partai untuk menyimpulkan adanya
kesenjangan tersebut dan menghilangkannya. (Kesenjangan itu sendiri merupakan hasil historis
penindasan yang menyebabkan adanya strata masyarakat yang berpengetahuan dan yang tak
berpengetahuan.) Tuduhan tersebut sebenarnya hanya lah merupakan kasih sayang yang dibalut idealisme
(celaka!) kesejajaran manusia, sama sekali tak ada gunanya. Memang, konsep tersebut bisa menjadi
landasan bagi pemaksaan yang fasistis; namun, konsep partai pelopor yang kita maksudkan tak akan
menjadi landasan seperti itu bila kenyataan kesenjangan tersebut diterima—sebagai kerendahan hati (bila
psikologis ukurannya)—dan dihilangkan secara sukarela, sekali lagi secara sukarela. (Keanggotaan
partai pelopor itu sendiri harus merupakan keanggotaan sukarela atas dasar penerimaan intelektual
(cerdik) atas program dan metode perjuangan partai.) Upaya menghilangkan kesenjangan kesadaran
tersebut merupakan upaya menolak Blanquisme—karena tak mungkin suatu revolusi akan berhasil tanpa
massa sadar; dan, sebenarnya, tak mungkin pergi ke sorga sendirian. Itu lah mengapa partai pelopor hari-
harinya ditelikung oleh obsesi untuk berjuang bersama massa sadar. Memang, kesadaran sejati
merupakan hasil historis lingkungan material dan sosial. Namun, bila tak ingin jatuh pada materialisme
vulgar, upaya partai (seterbatas apa pun) untuk mentrasfer kesadaran sejati dimungkinkan. Buntutisme
terhadap kesadaran palsu massa memungkinkan dua hal: manipulasi bagi kepentingan kelas penindas;
atau penyerahan kepemimpinan politik kepada kelas di luar dirinya, kelas yang asing, yang akan
mengkhianatinya. Kesadaran sejati yang harus terus menerus disebarluaskan (seluas-luasnya) kepada
rakyat adalah: REVOLUSI DEMOKRATIK SEPENUH-PENUHNYA, YANG HANYA BISA
DILAKSANAKAN OLEH MASSA TERTINDAS YANG SADAR DAN TERORGANISIR.

Upaya meraih dan memassalkan kesadaran sejati menuntut syarat-syarat, menuntut alat-alatnya. Upaya
maksimal partai (kondisi subyektif) untuk memenuhi syarat-syarat tersebut tentu saja tetap tak bisa keluar
dari batas-batas yang memagarinya (kondisi obyektif), bisa berhenti hanya di tepi pagar-pagarnya—dan,
bila tak maksimal, bisa jauh dari tepi pagar-pagarnya, bahkan mungkin memandangnya pun tak sanggup.
Membebankan kesalahan secara berlebihan pada kondisi subyektif, tanpa melihat keniscayaan kondisi
obyektif, akan menimbulkan ketidakpercayaan pada kemampuan partai, ketidakpercayaan pada
kemampuan perjuangan. HABIS SUDAH. Tapi hal tersebut bukanlah apologi untuk memaklumi
(understand) ketidakmampuan subyektif yang tidak sepatutnya—ketidakpatutan tersebut yang harus
disimpulkan dan dicari jalan keluarnya. Pengertian (understanding) terhadap kondisi subyektif tersebut
hanya lah merupakan toleransi bahwa kondisi subyektif itu sendiri merupakan hasil historis. Setiap tahap
sejarah partai harus dilihat sebagai upaya untuk memenuhi syarat-syarat tersebut—dalam makna merebut
alat-alat untuk memassalkan kesadaran sejati yang dibutuhkan suatu tahap sejarah. Semakin kukuh dan
meluas kesadaran sejati di kalangan massa, maka semakin melenyap makna partai; dan hal tersebut akan
sejalan dengan semakin hilangnya penindasan/penghisapan.

Karena itu, pertanyaannya adalah: Saat menjatuhkan Soeharto, mengapa massa tak sanggup mendirikan
Dewan Rakyat atau Komite Rakyat?[1]; atau mengapa massa setuju Pemilu, tidak memboikotnya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab dengan: analisa historis apakah terdapat kondisi
obyektif bagi perluasan kesadaran sejati massa; bila tak ada, maka pertanyaannya: dari mana massa
massa memperoleh kesadaran palsunya; dan bagaimana kondisi subyektif meresponnya.

1965. Bukan saja merupakan tahun terbukanya pintu gerbang bagi akselerasi modal yang lebih tinggi,
bagi perluasan geografi modal, namun juga adalah pintu gerbang bagi penataan formasi modal yang baru
(baca: penghancuran modal lama)—anarkisme terhadap tenaga produktif lama, guna menetapkan karakter
pemilikan modal baru (dengan watak politik yang lebih loyal terhadap kekuasaan baru yang sedang
mengakomodir masuknya modal asing). Takdir akhir bagi modal priyayi-priyayi patron Partai Nasional
Indonesia (PNI), yang masih berkutat dalam modal perdagangan (merchant capital); takdir akhir bagi
industri negara pasokkan negeri-negeri sosialis, yang masih dalam taraf pelatihan untuk ditangani oleh
priyayi-priyayi yang tak memiliki basis historis lahir dari kandungan ibu masyarakat borjuis nasional
(indigeneous); takdir akhir bagi industri kecil swasta, yang kuno—terutama tak massal—dan tak menarik,
tak relevan, seketika dibandingakan dengan pencerahan barang-barang baru, barang-barang Barat.
Semuanya, industri negara—yang sektarian terhadap modal Barat—merchant capital dan industri
kampungan borjuis kelontongan memang pantas dihancurkan dihadapan rasionalisasi rencana trilyunan
dollar modal baru dari Barat—tenaga produktif kelontongan justru memang pantas dilumatkan
(anarkisme) karena tokh tak bisa menjadi basis bagi rencana rasionalisasi trilyunan dollar modal baru dari
Barat tersebut. Tenaga produktif manusia Indonesia (human experience-nya) pun dianggap kelontongan
yang tak relevan di hadapan rencana rasionalisasi trilyunan dollar modal Barat tersebut, apalagi jutaan
borjuis kecil sekolahan sudah dalam atau sedang dalam recana cengkraman hantu komunis. Jadi,
anarkisme (baca: pembantaian) terhadap mereka pun memang bisa masuk ke dalam pembukuan (harian)
Barat. Oleh-oleh pencerahan trilyunan modal Barat, dengan imbalan kado 3 juta bangkai manusia dan
pemenjaraan (sampai mati potensi) ribuan manusia sampah/parasit bagi modal Barat tersebut adalah
pertukaran yang pantas bagi Orde Baru pembangunan—bila ingin membangun harus dengan basis tenaga
produktif dan hubungan sosial yang benar-benar baru, bila tak ingin ada kemungkinan perlawanan dari 3
juta anggota dan 10 juta simpatisan komunis, yang mungkin akan “tak rasional”, MENOLAK oleh-oleh
dari Barat, atau Go to Hell with Your Aid!.[2] Bravo! Pintu gerbang memang sudah didobrak kesatria
borjuis, yang datang dari Barat untuk melumat sisa-sisa priyayi pra-borjuis; disambut sorak-sorai
pertanyaan suku anak dalam mayarakat pra-borjuis: “Cermin ajaib, cermin ajaib, siapakah kami?”
Dijawab oleh sang penabur modal (dari Barat): “Engkau lah yang ramah tamah, masyarakat pra-borjuis;
engkau lah yang akan menjadi tercantik, menjadi masyarakat borjuis, seperti kami, dari Barat.”

Di tahun 1965, di dalam masyarakat pra-borjuis yang kurus kering, siapa sebenarnya yang menyambut
kesatria modal dari Barat itu? Mereka itu adalah gabungan (yang berinteraksi) dari:

TENTARA, yang mau berlagak sebagai kesatria modal dalam negeri. Berumur sekitar 40-50-an. Hasil
dari pendidikan penjajahan Belanda (KNIL), hasil dari pendidikan penjajahan Jepang (PETA), dan hasil
dari euphoria perjuangan bersenjata borjuis kecil dalam revolusi nasional. Mereka yang dominan adalah
hasil dari dua yang belakangan; dan yang pertama, bila pun masuk ke dalam struktur kekuasaan bersama
dua yang belakangan, kehilangan elan gagasan-gagasannya—dengan demikian hilang pula elan
kekuasaannya—terbuang atau adaptatif. Tentara-tentara didikan KNIL—yang sedikit-banyak memboyong
konsep tentara profesional masyarakat borjuis (dengan begitu maklum akan keinginan tata-tertib
masyarakat borjuis)—dalam proses revolusi nasional, terbukti benar-benar tipis keimanan borjuisnya,
hanyut dilibas banjir perasaan unggul perjuangan bersenjata versus perjuangan diplomatik. Dan
konsekwensinya, protes dan tuntutannya, adalah: tentara pun harus berpolitik; tentara bukan alat politisi
(sipil); tentara harus ada di jalan tengah (baca: dwifungsi ABRI); politisi tak bisa mengurus kemenangan
revolusi nasional, kerjanya cuma bertengkar—demokrasi mereka pahami sebagai bertengkar; pertahanan
rakyat semesta memerlukan struktur tentara yang bergandengan dengan struktur administrasi
pemerintahan sipil; dan lain-lain, dan lain-lain, yang intinya: “Kami priyayi (kebanyakan priyayi jadi-
jadian), yang karena itu dididik di sekolah perwira KNIL, harus punya kesempatan menjadi elit
kekuasaan—namun, tak mungkin terpikir oleh kami menjadi borjuis. Itulah juga alasan mengapa kami
mendaftarkan diri untuk dididik di sekolah perwira KNIL, menjadi elit di tengah bangsaku yang melarat,
kuno dan menjijikan, walau hanya menjadi perwira KNIL recehan (baca: kaki tangan kolonial) yang,
sebenarnya (menurut doktrin tentara professional), diajarkan untuk tidak boleh menjarah kehidupan sipil
di luar tangsi, hidupku seharusnya hanya di sekeliling tangsi dan ke luar tangsi bila ada perlawanan
bangsaku yang tak bisa diatasi secara politik. Patut juga kau maklumi mengapa iman borjuisku lemah.
Apa yang kau harapkan dari pendidikan kolonial. Masih kah kau harapkan aku diajarkan menghargai,
takzim akan, tata tertib masyrakat borjuis seperti di Eropa—menghargai hak-hak manusia, sebagai
individu sekalipun, yang menjadi landasan bagi demokrasi. Percaya kah kau tak ada manipulasi
kolonialisme terhadap demokrasi (di bumi jajahan)? Breidel, Schoolverbood, Digul adalah penghianatan
terhadap ibu (demokrasi) Eropa. Dan tak pernah terbayang bawa kami, bangsa yang menjijikan, bisa
melawan kolonial dan memindahkan Eropa ke Indonesia. Tidak, kami tak pernah diajarkan punya
keyakinan seperti itu; Islam-Islam itu, komunis-komunis itu, juga Soekarno, yang punya keyakinan
seperti itu, melawan—walaupun, sebenarnya, mereka tak mengerti apa itu Eropa, dan tak punya
kepercayaan bahwa, sebenarnya, demokrasi Eropa juga merupakan basis bagi populismenya (baca:
kerakyatannya), Eropa juga yang mengajarkannya. Tidak, kami, KNIL, tak pernah diajarkan untuk punya
keimanan seperti itu. Dan, bagi kami, rasionalisasi Hatta tak boleh memasukkan penghapusan dwifungsi
ABRI. Kami setuju pada rasionalisasi Hatta (yang tak menghapuskan dwifungsi ABRI) karena dengannya
kami bisa menyingkirkan tentara-tentara gembel, yang sudah dan bisa condong ke komunis. Kami harus
mendukung Hatta agar kami lah, yang berpendidikan tinggi, yang menjadi pimpinan tentara dan tak
ditangsikan. Kami memang tak ditangsikan, namun kami tak berdaya di hadapan gembel-gembel PETA,
yang jenderalnya jadi Panglima TNI. Namun, lebih baik daripada tak berdaya di hadapan gembel-gembel
tentara komunis. Kami kira adalah baik bekerjasama dengan gembel-gembel PETA.” Yang (sedikit)
lulusan Breda, apalagi, bahkan sudah tak bermakna sejak masa revolusi nasional, punah dilibas
radikalisme/militansi kerakyatan borjuis kecil pra-borjuasi.

Kekalahan Rusia oleh Jepang tahun 1905 dan kemenangan-kemenangan Jepang di Asia dalam Perang
Dunia kedua serta, terakhir, kemenangan Jepang dari Belanda di Indonesia dianggap sebagai kemenagan
Timur (Rakyat) atas Barat (penguasa/elit)—semuanya memang terdengar sampai ke kabupaten-
kabupaten. Sorak-sorai jamuan kedatangan bagi “Sang Pembebas”, sejak dari pantai hingga ke pedesaan.
Kaum miskin kota, pengangguran, gembel-gembel, rame-rame daftar jadi PETA dan Heiho. Yang mereka
dapat di PETA dan Heiho: “Ayo, disiplin baja, disiplin baja—pelanggaran terhadap disiplin adalah aib
yang harus dibayar siksaan fisik—jadi tentara, jadi tentara, karena tentara adalah penguasa negara
sesungguhnya, bahkan penguasa negara Asia Timur Raya. Kita adalah saudara, dan kami, Nipon, sudah
menjadi saudara tua kalian, pengusir penjajah dari tanah air kalian. Marilah menjadi tentara, tentara
bersama Asia Timur Raya. Jangan jadi tentara untuk rakyatmu seperti Supriyadi—Supriyadi menganggap
saudara tuamu penipu. Disiplin, kekerasan, adalah ilmu untuk bangsamu. Masukkan rakyatmu dalam
rumah kaca cacah jiwa, wadah-wadah sektoral perempuan, pemuda dan lain-lainnya, agar bisa
dipekerjakan dengan keras, diawasi dengan disiplin baja dan kekerasan, demi bangsamu—yang akan
kami berikan kemerdekaannya—dan demi kejayaan Asia Timur Raya. Apalagi calon-calon pemimpin
bangsamu yang merdeka merestuinya—ya, pasti mereka merestuinya karena, menurut mereka sendiri,
menerima Jepang bukan lah kolaborasi tapi taktik sambil menyelam minum air, karena Nipon tetap
mengajarkan nasionalisme (baca: anti Barat) dan, dengan taktik tersebut, pimpinan perjuangan kalian
tidak akan dibasmi Jepang. Ya, patuhi lah pimpinan perjuangan kalian, yang akan menerima kemerdekaan
dari kami, yang merakyat (dengan memberi contoh bagaimana Romusha mencangkul), yang tabah
menghadapi kematian ribuan Romusha demi taktik, dan yang rela menyerahkan perempuan-perempuan
bangsanya untuk menghibur kami, “Sang Pembebas”. Disiplin dan kekerasan di tangan tentara-tentara
PETA dan Heiho hanya berlaku di dalam tangsi namun, di luar tangsi, ketika mengangkangi kehidupan
sipil, hanya tinggal kekerasannya—bedakan antara disiplin (industri) borjuis dengan disiplin tentara
PETA—sedangkan disiplinnya lekang oleh kenikmatan gelimang kekuasaan dan uang tanpa keringat, saat
menjadi penguasa dan pemilik alat produksi dadakan, penerima oleh-oleh modal dari Barat dengan
imbalan kado 3 juta kaum kiri yang dijadikan bangkai, dan ribuannya dijadikan buangan atau penghuni
penjara. Gerombolan bandit didikan PETA yang berseragam dan bersenjata inilah yang terus menerus
sukses mengangkangi negara, dan terus menerus juga sukses mewariskan watak banditnya ke generasi
AMN dan AKABRI—serta menempatkannya di (daerah-daerah garongan) rumah-rumah sipilnya
dwifungsi ABRI, yang semakin meluas semakin meluas saja. Buah tak jauh dari pohonnya—gerombolan
bandit ini memang dikepalai oleh tentara didikan PETA yang sudah terbiasa menjadi koruptor,
penyelundup dan rentenir/KKN bagi pengusaha-pengusaha Tionghoa—sudah menjadi kebiasaan tentara
menjadi rentenir atau penjual izin usaha, penjamin kemenangan tender, dan tukang pukul
pedagang/pengusaha Tionghoa. Bisa kah kita berharap mereka berpikiran untuk bertransformasi menjadi
borjuis? Ketika mereka mencoba pun, ternyata hampir seluruh perusahaannya mengalami kebangkrutan.
Bisakah kita berharap pada borjuis tentara dadakan tersebut? Menitip dendeng pada anjing. Sukses
perwira-perwira KNIL mengkonseptualisasikan dan menggelar permadani merah dwifungsi ABRI di
tahun kembalinya kita ke UUD-45, di tahun kediktatoran demokrasi terpimpin, merupakan hadiah terbaik
bagi gerombolan bandit didikan PETA tersebut. Perwira-perwira KNIL, ibu pewaris kediktatoran tersebut,
akhirnya dibunuh oleh Malin Kundang gerombolan bandit didikan PETA, bukan karena mereka lebih pro-
Barat—Barat tidak pernah mewarisi dwifungsi ABRI—namun semata-mata karena perebutan kekuasaan
di tentara demi, justru, rebutan oleh-oleh dari Barat, kemudian rebutan jarahan peristiwa ‘65, lain tidak.
Memang benar, bahwa untuk menghancurkan masyarakat pra-borjuis yang tenggelam dalam
kediktaktoran pabrik retorik nasionalis-populis selumat-lumatnya, setandas-tandasnya, Barat harus
tergantung pada tentara. Namun, untuk membangun masyarakat borjuis maju—dalam muka kasih sosial-
demokrat seperti di Eropa—sejarah Barat tak pernah mengajarkan bahwa hal tersebut bisa dikelola oleh
dwifungsi ABRI. Tak juga bisa dipararelkan dengan sejarah fasisme. Senang atau tak senang, sudah
diakui, oleh Barat sekalipun, bahwa hal tersebut harus dikelola borjuasi Tionghoa—yang diperas oleh
senjata, seragam birokrat, dan sentimen SARA/diskriminasi. Kekalahan demokrasi Tirto Adisuryo (oleh
manipulasi kolonial Belanda, oleh pedagang-pedagang kelontongan muslim, dan oleh politisi-politisi
begundal kolaborator Belanda), kekalahan demokrasi liberal tahun 50-an (oleh Soekarno-Tentara-PKI),
dituntaskan oleh dwifungsi ABRI/Orde Baru dalam kondisi yang berbeda—demokrasi Tirtoadisuryo
cenderung menggapai nasionalisme dan dalam lingkup modal kolonial di sektor agrikultur; demokrasi
liberal tahun 50-an ada dalam lingkup borjuasi kere, kurus kering-kerontang, relatif kosong dari agen-
agen modal asing, terutama setelah nasionalisasi; dan dwifungsi ABRI/Orde Baru mencoba beriringan
dengan modal yang skalanya lebih luas, baik dalam jumlah maupun dalam geografisnya, dan batas-batas
rasionalisasi diversifikasi produknya lebih ke manufaktur, ekstratif, infrastruktur penunjangnya, finansial
dan jasa-jasa lainnya[3], bukan langsung ke agrikultur. Bisakah? Dalam logika historis, agen perluasan
modal Barat seperti itu hanya bisa ditangani oleh borjuasi Tionghoa—Barat sadar itu, tak akan ia
menghancurkannya, tak akan ia terseret oleh arus sentimen SARA. Karena itu wajar bila ada kesimpulan
bahwa rencana kerusuhan SARA Mei, 1998, adalah bargain (baca: pemerasan) Soeharto pada Barat,
yang sudah lama—sejak mengirim Carter—meminta Soeharto turun secara terhormat. Barat sadar,
sesadar-sadarnya, tak mungkin masyarakat borjuasi dalam skala modal yang besar dan jalinannya dengan
sistim kapitalisme global yang luas dapat digardai dwifungsi ABRI. Namun Barat pun sadar-sadarnya
bahwa gradualisme penghapusan dwifungsi ABRI adalah siasat untuk mengatasi ABRI yang akan seperti
anak-anak yang suka melempari rumahnya sendiri bila mainannya (yang membahayakan) dirampas, Barat
sadar akan siasat untuk menekan resiko terhadap modal.
Yang merupakan hasil dari euphoria perjuangan bersenjata borjuis kecil dalam revolusi nasional, terutama
mulai tahun 1949-an, adalah borjuis kecil kota—terutama dari kaum miskin kota—dari lapisan
masyarakat di sekeliling kota-kota pusat propinsi (istilah sekarang), sedikit sekali dari pedesaan (ingat,
istilah “pergi ke front” kongkritnya adalah pergi ke desa), dan biasa disebut laskar-laskar rakyat, baik dari
Islam, komunis, maupun nasionalis. Setelah komandan-komandan Naga Bonar dilikuidasi dan
diintegrasikan kepada TNI, mereka kemudian hanya menjadi komandan-komandan kecil, tentara-tentara
kroco berpangkat prajurit, sersan, paling tinggi rata-rata letnan. Sedangkan pangkat kapten sampai
jenderal (kebanyakan) dikangkangi oleh tentara-tentara didikan PETA dan tentara-tentara didikan KNIL.
Proses integrasi tersebut, juga adalah proses kemenangan kepemimpinan tentara (yang kebanyakan)
didikan PETA dan (sebagian) tentara didikan KNIL. Watak populis (laskar-laskar) menjadi basis bagi
kebencian terhadap perwira-perwira bekas KNIL apalagi, dalam perjalanannya, mereka lebih dekat
kepada politisi sipil—itu artinya perjuangan diplomasi ketimbang (ke lapangan) angkat senjata.
Legitimasi kepemimpinan tentara-tentara didikan PETA sebenarnya hanya berdiri di atas dua basis—
berhasil mengurung dan mengusir tentara Inggris di Ambarawa dan menolak meletakkan sejata, lebih
baik ke gunung (ketika ibukota Yogyakarta diduduki)—plus tambahan serangan umum (lebih tepat
sebagai serangan Jogja) 11 Maret. Sedangkan pertempuran 10 November, 1945, di Surabaya, yang
sebenarnya merupakan perang internasional modern—dilihat dari persejataan sekutu pada saat itu—yang
lebih heroik, yang lebih bermakna “insureksi”, dan berhasil dimenangkan, tidak pernah dijadikan titik
tolak potensi penekan yang dapat membantu perjuangan diplomasi, dan juga tidak dijadikan basis bagi
pengangkatan kepemimpinan tentara yang lebih bersih dari tentara-tentara didikan KNIL dan PETA.
Perjuangan bersenjata dalam kepemimpinan tentara-tentara didikan PETA dan KNIL kemudian hanyalah
jadi kelompok-kelompok penggangu Belanda (tidak efektif) dan parasit-parasit pedesaan—mereka sudah
terbiasa menjadi golongan istimewa yang tidak produktif, tidak ada doktrin produksi untuk memenuhi
kebutuhan sendiri (seperti dalam Tentara Pembebasan Mao). Metode perjuangan bersenjata yang menyatu
dengan pergolakan massa seperti di Surabaya tidak pernah menjadi doktrin dalam apa yang mereka
namakan “TNI-Rakyat.” Tentara-tentara kaum miskin kota kemudian mulai diakomodir dalam apa yang
tidak bedanya dengan dwifungsi ABRI—menjadi tentara pembantu wedana/camat, tentara pembantu
lurah dan sebagainya di landasan pengabsahan untuk membantu sipil menunjukkan bahwa administrasi
Republik masih ada, masih jalan. Dalam euphoria revolusi nasional, tentara-tentara kaum miskin kota ini
makin menjadi-jadi pragmatismenya, sektarianismenya, kekakuannya (hitam-putihnya), dan
kekerasannya. Perselisihan berlatarbelakang ideologis selalu diakhiri dengan culik-culikan, kudeta-
kudetaan, bunuh-bunuhan, dari mulai skala yang kecil sampai pembantaian Madiun, berlanjut terus
sampai tahun ‘60-an dan tahun ’65. Bacaan-bacaannya pun banjir darah, tak ada yang namanya toleransi
demokrasi, terlebih-lebih lagi, setelah integrasi ke TNI, tak ada bacaan TNI yang bisa berbicara tentang
kaitan tentara dan demokrasi—bukan alasan untuk mengatakan tak ada bacaan dalam masa perang, bila
kita lihat menjamurnya bacaan di kalangan pejuang sipil di masa perang. Problemnya adalah tak adanya
integrasi (baca: kepatuhan) tentara ke dalam kehendak-kehendak sipil, mereka sudah terbiasa berkubang
dalam anggapan sipil adalah kompromis, sipil lambat, sipil bertengkar terus, sipil lemah, tentara unggul
dan tegas—sebenarnya sektarian, pragmatis dan keras/berdarah. Hasilnya: dalam perang tersebut, berapa
tentara Belanda yang mati dibanding TNI yang mati? Jauh lebih banyak TNI yang mati; dalam revolusi
nasional tersebut, berapa orang-orang Indonesia yang mati oleh Belanda dibanding yang mati oleh orang-
orang Indonesia sendiri? Lebih banyak yang oleh orang-orang Indonesia sendiri. Dan lebih baik dikatakan
bahwa romusha-romusha ini mati karena ulah pemimpin-pemimpin bangsanya sendiri ketimbang oleh
Jepang, karena hal tersebut tidak terjadi di negeri-negeri lain yang pimpinan-pimpinannya bukan
kolaborator Jepang. Kasus Westerling pun membuktikan bahwa tentara-tentara tersebut kebanyakan
sedang bersembunyi di pedesaan atau pinggiran kota. Kasus Bandung Lautan Api dan hijrah ke Jogja
membuktikan tentara sedang meninggalkan rakyatnya. Kemunculan politisi-politisi didikan Eropa tak
pernah sampai berhasil mapan menanamkan aturan main toleransi demokrasi kepada tentara-tentara
borjuis kecil ini maupun kepada politisi-politisi buatan dalam negeri, selalu dikalahkan, diganggu,
disabot, dikudeta—misalnya, terlepas benar-tidaknya program front perjuangan, mereka tak punya aturan
main toleransi demokrasi, main culik, main tahan. Apalagi mereka yang terlibat di front perjuangan bukan
lah atas komitemen (baca: pengabdian) atas program tapi atas (persisnya) oportunisme borjuis kecil—
menjatuhkan prinsipnya setelah disogok jabatan dan melepas tanggung jawab (baca: memfitnah) agar
tidak disidangkan. Dalam vakum proses peralihan kekuasaan dari penjajahan, mereka inilah yang
merampoki, menjarah, memperkosa, dan membunuhi orang-orang Belanda atau yang mereka tuduh pro-
Belanda. Tentara-tentara borjuis kecil yang berlumuran darah, koruptor dan penjarah tersebut
menghadapkan pertanyaan kepada kita makna kata “revolusi” dalam kalimat revolusi nasional;
kemenangan tentara-tentara borjuis kecil ini (baca: bandit-bandit yang secara legal dipersenjatai), yang
menjarah lorong-lorong kehidupan sipil, menghadapkan kembali pertanyaan kepada kita: sudah tuntas
kah revolusi demokratik? Nasionalisme tentara-tentara borjuis kecil di tanah jajahan, yang dibalut
populisme—“kami bebaskan kalian, rakyat, dari kekejian penjajahan Belanda dan Jepang”—terbukti tak
cukup untuk membuat mereka takzim pada demokrasi.

Barat sadar itu semua akan menggangu modal—tahap awalnya memang masih protes melingkar terhadap
pelanggaran hak-hak azasi manusia (protes terhadap pembantaian, pembuangan, dan pembuian tahun ’65
datang belakangan,)—karena itu generasi AMN dan AKABRI yang berhasil lulus “saringan” (yang sarat
dengan KKN dan kreteria kepatuhan) diikutkan dalam program pelatihan di Amerika, yang diberi isian
kurikulum hak azasi manusia. Disenangkannya Amerika sekadar sebagai basa-basi diplomatik dan
etalase demokrasi, namun bukan atas kesadaran untuk mengamankan pengembangan masyarakat borjuis,
menyelamatkan modal. Karena, menurut tentara-tentara pra-borjuis tersebut, keberhasilan kerja mereka
bukan diukur dari bagaimana mereka membantu mengembangkan masyarakat modal yang modern, tapi
diukur dari kejagoannya menindas lahan-lahan perlawanan yang makin lama makin banyak—perlawanan
kaum intelektual, perlawanan mahasiswa, perlawanan kaum tani, perlawanan kelas buruh, perlawanan
rakyat Maubere, perlawanan rakyat Papua, perlawanan rakyat Aceh [4]; atau, dalam bahasa Marxis, bukan
atas tolak ukur sogokan Bonapartis, bukan dari tolak ukur sogokan sosial-demokrat.

Kaum teknokrat pro-Barat. Di tahun 1965, masih tersisa teknokrat pro-Barat peninggalan masa
revolusi nasional. Pengertian pro-Barat bermakna lebih condong ke sosial-demokrat Eropa. Mereka tak
pernah terpakai lama pada masa revolusi nasional, dilibas populisme anti-Barat. Apa yang diperbuat ibu
Eropanya? Tak ada. Mereka dikhianati ibu Eropanya sendiri—di Indonesia, modal Eropa memang lebih
pengecut. Mereka berpaling pada demokrasi-liberal Amerika, ibu yang lebih mengasihinya. Itulah
mengapa, bagi teknokrat yang lebih berani, mereka rela diuji dalam gerakan separatis, sebagai ujian
dengan imbalan diadopsi oleh Ibunya yang baru, Amerika. Ditinggalkannya rumah akedemiknya di tanah
tercinta untuk menyongsong ibu adopsi barunya, tanpa sedu sedan, apalagi karena ia telah menitipkan
bayi-bayinya—yang ternyata lebih moderat—di rumah akedemiknya, yang masih sayup-sayup (karena
sembunyi-sembunyi) mendengarkan lagu-lagu teknokrasi Amerika. Sebenarnya, tak perlu kita
bersyakwasangka bahwa kehati-hatian mereka itu adalah cermin kepengecutan mereka; mereka sedang
menguji militansinya dalam menumpuk gandum-gandum keyakinan akan kebenaran teknokrasi Amerika.
Di tahun ’65, bapak tentaranya lah yang memberi pekerjaan di perusahaan bangsa. Herankah: dalam
perjalanan perusahaan bangsa, tak bisa lagi ia mengadu pada ibu Amerikanya, tak pernah digubris? Satu-
satunya tempat ia mengadu adalah ibu spiritual akedemiknya: “Ya ibu akedemikku, teganya engkau
melepasku dengan bekal rumus yang tak cukup. Ternyata aku hanya lah kanak-kanak dalam memecahkan
rumus modernisasi liberal plus dwifungsi ABRI.” Keluhan lirih, bila saja mereka memiliki (sedikit saja)
kejujuran intelektual.

Borjuasi Tionghoa. Bukan main. Tak pernah lekang kekagumanku atas isi sejarah hidup mereka:
perjuangan hidup di segala zaman, di tengah-tengah pemeras bersenjata, berseragam birokrat dan
berselubung sentimen SARA. [5] Rasialisme tersebut lah yang menyulitkan mereka ditransformasikan
menjadi aset revolusi. Para pejuang anti-diskriminasi yang hanya berkesimpulan bahwa akar dari
diskrininasi tersebut semata-mata adalah ratusan kebijaksanaan pemerintah yang diskriminatif, tanpa
melihat kesejarahan tentara—berujung dalam dwifungsi ABRI—yang memblokade toleransi demokrasi,
dan tanpa mempertimbangkan sentimen agama yang di-SARA-kan, adalah kurang benar. Jalan keluar
affirmative policy seperti di Malaysia—yang landasannya tetap saja rasis dan anarkis terhadap tenaga
produktif (manusia Tionghoa)—adalah kesalahan lainnya: menghentikan laju para pelomba (orang
Tionghoa) yang sudah menang, menariknya kembali agar bisa melakukan start kembali bersama orang
Melayu. Menarik untuk mendengarkan kekesalan borjuis pribumi—lebih keras disuarakan oleh borjuis
kecilnya—“Tidak akan ada persamaan dengan Cina-Cina [6] itu, tetap saja mereka akan menguasai
ekonomi, karena mereka lah yang sudah dan akan terus menguasai jaringan distribusi (pemasaran) dan
jalur-jalur teknologi. Tak akan rela mereka menyerahkan jaringan dan jalur-jalur dalam negeri atau dari/ke
Singapur, Malaysia, Hong Kong, Taiwannya (kenapa tak ditambahkan Jepang dan Barat) kepada kita,
Mereka malah akan semakin menggila dalam persamaan.” Latar belakang historis Tionghoa tersebut lebih
ke condong ke mereka yang dibawa oleh merkantilisme dan kolonialisme Inggris serta Belanda; Inggris
membawanya ke Sumatera (terutama bagian timur) dan Kalimantan (Borneonya Malaysia dan Brunei),
serta Belanda membawanya ke pesisir Jawa. Selain itu Portugis membawanya ke Timor Timur.
Sedangkan yang di Cirebon dan Demak lebih cepat terintegrasi karena kemudian bernaung pada yang
telah menjadi salah satu penguasa feodal Islam. Ada juga mereka yang langsung dibawa oleh bangsawan-
bangsawan Tionghoa seperti yang di Semarang. Namun, sebagian besar (terutama yang di pesisir, dan
yang kemudian bergerak ke bagian dalam, yakni pedagang keliling dan pelarian) adalah mereka yang bisa
digolongkan budak-budak merkantilis, kuli-kuli perusahaan-perusahaan merkantilis, dan para pedagang
kelontongan perantara merkantilis (atau kemudian penguasa kolonial). Kerajaan-kerajaan Jawa ditaklukan
merkantilisme, dan kolonialisme mendesak raja-rajanya menjadi raja-raja pedalaman, menjadi raja-raja
kampung, yang sudah tidak menguasai laut lagi, menjadi agraris sampai ke sumsum tulang belakang
budayanya. Sedangkan ekonomi pesisir adalah perdagangan besar merkantilis Eropa, perdagangan dan
industri kelontongan orang-orang Tionghoa, orang-orang Arab, dan orang-orang Jawa Islam. Keuletan,
kerajinam, disiplin baja, dan keluwesan mereka—misalnya ketika memperkenalkan barter, kredit, renten
dan ijon saat masuk ke daerah dalam dan pedalaman—yang membuat mereka setahap demi setahap
menguasai ekonomi perdagangan eceran, terutama setelah mereka melakukan persatuan-persatuan modal
di atas basis klan, saudara, kampung asal, dan pertemanan. Kemajuan mencolok, terutama di daerah
pesisir utara Batavia (Jakarta), mengkhawatirkan penguasa Belanda (baca: VOC, perusahaan merkantilis
Belanda). Kekhawatiran tersebut diselesaikan oleh pembantaian massal orang-orang Tionghoa di Batavia
Utara. Musnah kah mereka? Tidak. Pada Akhir abad 19 sampai awal abad ke 20 saja mereka adalah
penulis-penulis novel dalam bahasa lingua franca[7] pertama (lebih dahulu dari “pribumi”), sudah bisa
mendirikan bank sendiri (lebih dahulu dari “pribumi”), sudah bisa mendirikan sekolah sendiri (lebih
dahulu dari “pribumi”), sudah bisa memiliki koran sendiri (lebih dahulu dari “pribumi”), sudah bisa
bersatu dan menggunakan alat boykot (sebelum “pribumi” mengenalnya) terhadap monopoli Belanda—
ternyata Belanda pun memang tergantung pada kaki tangan perantaranya tersebut. Mereka juga
memberikan contoh nasionalisme dan modernisme bagi “pribumi” ketika mereka menyebarkan atmosfir
nasionalisme Boxer Rebellion di kalangan orang-orang Tionghoa konservatif. Mereka juga yang mulai
masuk ke pedalaman memberikan basis bagi masuknya desa dalam jalur distribusi dan pemasaran kota,
dan memberikan basis bagi perkawinan campuran, serta memberikan basis bagi keterlibatan mereka
dalam revolusi nasional—mereka adalah para pemasok, penyelundup-penyelundup logistik dan
persenjataan revolusi nasional melalui tongkang-tongkang dan kapten-kapten Tionghoa yang bekerja di
kapal-kapal dagang Belanda. Perkembangan positif tersebut dihancurkan kembali oleh rasialisme PP 10 [8]
—adakah perlawanan resmi dari kaum demokrat atau PKI terhadap PP 10 tersebut? TIDAK ADA.
Kecuali pribadi Pram, yang membuat ia dijebloskan ke penjara. Setelah PP 10 itulah keluar berbagai
macam kebijaksanaan diskriminatif, yang diteruskan dan diperbanyak oleh Orde Baru. Pedagang-
pedagang “pribumi” dan Arab, yang kalah saingan, mulai saling menghasutkan kecemburuan mereka
yang dibalut sentimen SARA—pembentukan ronda anti-cina pedagang-pedagang batik Jawa-Muslim dan
pembantaian massal (banyak dengan cara penyembelihan) yang dipimpin/dihasut oleh pedagang-
pedagang Jawa Muslim di Kudus. Cara tersebut kemudian menjadi solusi orang-orang “pribumi” dalam
melampias kemarahannya terhadap kekalahan dan kemiskinan, berkali-kali terjadi baik dalam masa
Soekarno maupun pada masa Orde Baru. Bagi penguasa Belanda dan Orde Baru cara tersebut adalah
upaya mencari kambing hitam dalam mengalihkan perhatian orang-orang “pribumi” terhadap problem
riilnya—apalagi bila saat kesadaran massa (dalam memahami penyebab kekalahan dan kemiskinannya)
mulai cenderung mengarah ke penguasa. Sekarang ini, Yahudi bukan lagi pemilik tunggal kreativitas
progrom. Tumpul kah kemampuan ekonomi orang-orang Tionghoa oleh PP 10? Tidak. Pengusiran mereka
ke kota menyebabkan ekonomi Kota seperti mendapat tambahan enerji, tambahan tenaga produktif dalam
mengelola jalur pemasaran dan jalur teknologi. Matikah sentimen SARA? Tidak. Cuma dipindahkan ke
kota-kota. Karena tidak semua orang-orang Tionghoa itu kaya dan pedagang, dan juga karena agitasi-
propaganda PKI, maka mereka mulai terlibat dalam aktivitas politik—diakomodir sebagai anggota PKI
atau dalam ormas yang dipengaruhi PKI, BAPERKI. Bahkan mereka bisa masuk dalam jajaran pimpinan
partai dan kabinet Soekarno. Tahun ’65, adalah penjara dan pembunuhan bagi orang-orang Tionghoa PKI
dan BAPERKI, serta tawaran untuk kembali (secara sukarela) ke RRT (Sekarang RRC). Barat khawatir
pemaksaaan/pengusiran orang-orang Tionghoa; Barat khawatir tidak punya agen-agen bagi modalnya.
Soeharto pun tentu akan khawatir bila kaki tangan pengelola modalnya, Liem dan Bob Hasan, terusir. [9]
Babak baru tahun ’65 adalah takdir historis bagi rezeki nomplok mereka, senang atau tidak senang.
Kepercayaan Barat/Jepang dan pemerintah, bahkan individu-individu tentara dan birokrat, terhadap
orang-orang Tionghoa untuk menjadi agen-agen dan pengelola modalnya tak terelakkan. Apalagi ketika
bisa diintegrasikan dalam jalur-jalur dan jaringan Singapura, Hong Kong, Taiwan dan Jepang, mula-mula
di perdagangan dan jasa, kemudian di industri manufaktur dan perbankan. Sektor ekstratif yang diisi oleh
modal Barat (kemudian Jepang) setahap demi setahap dimasuki melalui jalur sebagai supplier dan sub-
kontraktor, apalagi pada sektor ekstratif yang dikuasai negara, akselerasi masuknya lebih cepat (karena
KKN). Dalam duapuluh tahun kekuasaan Orde Baru, selain oleh orang-orang asing dan (sedikit pribumi)
praktis seluruh sektor industri, jasa, perdagangan, dan keuangan, dari yang ringan sampai yang berat, dari
yang berteknologi rendah sampai yang tinggi, dari yang asli sampai yang palsu, semuanya dikuasai
orang-orang Tionghoa. Bahkan kriminalitas tingkat tinggi dalam perbankan, keuangan dan narkotika pun
dikuasai mereka (bekerjasama dengan kaki tangannya, tentara-tentara, birokrat-birokrat dan preman-
premannya). Solusi terhadap peningkatan, perluasan akselerasi dan volume modal di tengah-tengah
pemeras bersenjata, berseragam birokrat dan berselubung sentimen SARA adalah: kenaikan harga dan
penyelundupan.

Borjuasi “pribumi.” Kenapa harus dibedakan dengan borjuasi Tionghoa, sehingga harus ada penjelasan?
Perbedaannya paling-paling dalam hal bahwa borjuasi kelontongan “pribumi” akan lebih cepat selesai
sekaratnya, lebih cepat matinya, karena mereka bukan lah bagian dari jaringan formal—berdasarkan
persetujuan, bukan melalui mekanisme pasar—yang mendapatkan bantuan dari borjuasi besarnya (baik
dari yang “pribumi” maupun dari yang Tionghoa). Borjuasi kelontongan “pribumi” hidup dalam
belantara hutan survival of the fites: “Kita sih tinggal tunggu mati saja. Semua ujung-ujungnya di Cina,
yang punya modal. Pemerintah juga ng’ga bantu kita.” Sedangkan borjuasi kecil Tionghoa merupakan
jaringan formal borjuasi besarnya, dibantu pengadaan barang dan permodalannya, merupakan kaki tangan
borjuasi besarnya. Sedangkan perbedaan non-ekonomis antara borjuasi “pribumi” dengan borjuasi
Tionghoa adalah: borjuasi “pribumi” sarat dengan sentimen rasialis. Kebencian terhadap kroni lebih
condong pada kebencian karena Soeharto lebih dekat kepada borjuasi Tionghoa. (Dalam perkembangan
formasi borjuasi, ada hal yang penting juga untuk dicatat: meningkatnya para borjuasi muda, terutama
anak-anak keluarga Soeharto, kerabatnya, teman-temannya dan anak-anak pejabat, yang lebih bisa
bekerjasama dengan borjuasi Tionghoa.)
5

Angkatan ’66 dan kelanjutan yang berbeda. Pram tidak mau memberikan komentar mengenai
angkatan ’66, karena tak bernilai, katanya. Patut dimaklumi, (langsung tidak langsung) mereka juga
bertanggung jawab atas pembantaian 3 juta manusia dan pemenjaraan serta pembuangan ribuan anggota
PKI, simpatisannya, bahkan orang-orang yang tak tahu menahu. Namun ada sisi lain yang perlu
dikomentari: bagaimana “calon demokrat” tersebut tak berdaya di hadapan tentara. Mereka adalah
mahasiswa-mahasiswa kanan di bawah naungan bekas Partai Sosialis, PNI-kanan, partai-partai Islam dan
partai kiri (Murba). Dalam demokrasi terpimpin, dengan derajat yang berbeda-beda, mereka mendengar
sayup-sayup, membaca tanggung-tanggung bocoran-bocoran tentang harapan-harapan Barat, modernisasi,
demokrasi liberal dan sosial-demokrasi. Termasuk juga di dalamnya adalah bocoran tentang kediktatoran
Stalinisme, yang mereka persiskan dengan demokrasi terpimpin. Demokrasi sayup-sayup, demokrasi
tanggung-tanggung tersebut adalah: Barat “bebas dan modern,”—dalam pengertian mereka, bukan dalam
pengertian Barat. Sejak awal “demokrasi” (baca: “bebas dan modern”)-nya Orde Baru, mereka sudah
diuji di hadapan bangkai (banyak yang tanpa kepala) 3 juta manusia dan pemenjaraan/pembuangan
manusia (tanpa pengadilan). Apakah benar bahwa bocoran “demokrasi” tersebut berasal dari Barat? Tidak
masuk akal, karena “kebebasan dan kemodernan” mereka menyetujui pelanggaran terhadap kemanusian
—padahal Eropa telah sanggup menyelesaikan Eropa barbar dan Eropa fasis; Amerika telah sangup
menyelesaikan Amerika perbudakan. Atau memang ada teori universal yang mengatakan bahwa
demokrasi Barat akan dimanipulasi begitu sampai di tanah negeri-negeri Dunia Ketiga, manipulasi
kolonialisme atau imperialisme terhadap demokrasi? Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa kesatria
“kebebasan dan kemodernan” yang sedang sekarat, kalah secara politik dan ideologi, baik di dalam
kampus maupun di luar kampus. Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa suci, bersih dari pekerjaan agitasi-
propaganda, bersih dari pengorganisiran massa, bersih dari pekerjaan mobilisasi massa. Suci dan
bersihnya borjuis kecil. Mereka mahasiswa-mahasiswa cengeng ketika menghadapi gempuran dari
ideologi dan politik lain: mencari gantungan kepada unsur kelompok penggempur (baca: penindas) yang
lebih kuat, tentara. Memang, suci, bersih dan cengengnya borjuis kecil. Sebenarnya, sejak sebelum tahun
’65, demokrasi mereka sudah sayup-sayup dan tanggung-tanggung karena, sebagai orang kalah malah
mengadu, membudak pada tentara. Piala “kebebasan dan kemodernan,”—yang seharusnya
dipersembahkan atas jerih payahnya mendalami dan membumikan demokrasi—tak pernah ada dalam
kalkulasi mereka; bagi mereka, makna “kebebasan dan kemodernan” adalah yang dihaturkan tentara:
kemenangan pembasmian brutal komunisme. Kemesraan sejoli (mahasiswa-tentara) yang gembira,
bahagia, dan menggila: sorak-sorai mahasiswa saat membawa tukang pukul tentara yang pandai/keji;
sorak-sorai tentara saat memboyong legitimator mahasiswa yang bodoh/keji. Pada saat itu tentara akan
mendapat kesulitan bila tidak mendapat legitimasi rakyat atas tindakannya, itulah sebabnya, dengan
perlindungannya, ia turunkan budak-budak mahasiswanya untuk memprovokasi rakyat turun ke jalan—
rakyat yang sedang miskin, yang sedang pragmatis. Setelah itu, tentara, bersama mahasiswa dan pemuda
yang paling kanan membantai saudara-saudaranya sendiri, sampai 3 juta bangkai—sekali lagi, banyak
yang tanpa kepala. Selain itu, makna mahasiswa yang paling kanan adalah segera, setelah lulus, mereka
mengemis, mengetuk-ngetuk pintu-pintu kabinet, pintu-pintu birokrasi-birokrasi tinggi, pintu-pintu tender
pemerintah, agar diperbolehkan masuk ke dalamnya. Mereka bodoh dan keji. Ada juga yang naif: itulah
mereka yang sadar akan mudahnya upaya pengembangan demokrasi digagalkan tentara; itulah mereka
eksponen ‘66 yang pada tahun ’74 berada di belakang layar mendukung MALARI—mereka pikir
MALARI akan menang. Mendukung demokrasi karena harapan akan menang (tanpa berkeringat dan
tanpa resiko), atau bukan mendukung demokrasinya itu sendiri, oportunis tulen—sejak itu mereka tak
mendukung lagi demokrasi (walaupun pemaknaan demokrasi sudah semakin maju), karena mereka tak
memiliki harapan menang. Segelintir dari mereka, bersama-sama dengan segelintir pelaku-pelaku
MALARI dan gerakan mahasiswa ’78, masuk dunia akedemik dan LSM, selebihnya menjadi birokrat,
teknokrat dan kapitalis kelontongan.[10] Seperti habis gelap terbit lah terang saat menyaksikan
menjamurnya LSM dan sedikit propagandis-propagandis akedemik—yang baru menggondol gelar ilmu-
ilmu kemanusiaan yang “demokratik dan pro-rakyat”. Digantungkannya harapan kaum muda pada
mereka; berduyun-duyun kaum muda diserap LSM-LSM, berduyun-duyun kaum muda sowan pada
akedemisi-akedemisi tersebut. Namun, ternyata, habis terang redup lah terang; karena “demokrasi”
mereka masih terbatas, masih “demokrasi” tanpa kiri/komunisme, masih “demokrasi” di sisi tentara,
masih “demokrasi” tanpa massa, masih “demokrasi” tanpa perebutan kekuasaan oleh rakyat, masih
“demokrasi” tanpa radikalisme, masih “demokrasi” tanpa militansi, masih “demokrasi” tanpa politik,
redup, hening.[11] Namun, keredupan tersebut patut dimaklumi: keberhasilan menghancurkan gerakan
MALARI ’74 dan gerakan mahasiswa ’78, dianggap oleh rejim Orde Baru sebagai momentum
konsolidasi untuk lebih dalam menindas oposisi, baik dalam bentuk ideologi—pembangunan, P4,
“demokrasi” Pancasila, “demokrasi” Timur, “demokrasi” terbatas, “demokrasi” bertanggungjawab,
“demokrasi” bukan liberal bukan komunis, musyawarah mufakat bukan voting, kekeluargaan,
gradualisme, kesederhanaan, tepo seliro, dan lain-lain dan lain-lain (yang makin mempertajam pencarian
dialektika “Apa yang sebaliknya dari semua itu)—maupun dalam bentuk struktur politik penindasan—
perluasan struktur intelejen, perluasan struktur dwifungsi ABRI, korporatisme terhadap seluruh sektor
masyarakat, cengkraman lebih dalam terhadap birokrasi pegawai negeri dan dunia pendidikan/akedemis,
serta syarat-syarat hidup yang lebih ketat terhadap media massa [12]. Selain itu, juga redup oleh sogokan
beberapa tahun bom minyak. Keredupan tersebut menggelisahkan kaum muda, terutama mahasiswa-
mahasiswa yang tidak terserap oleh LSM dan kasak-kusuk oposisi elit. Kegelisahan tersebut sebenarnya
cerminan dari tertampungnya tetes-tetes bocoran dari Barat juga (baca: alternatif Barat bagi Dunia
Ketiga) dalam bentuk populisme, sosial-demokrasi, dan skenario low intensity conflict-nya LSM.[13] Tetes-
tetes bocoran Barat yang lebih sulit lagi ditampung—dan ini hanya bisa ditampung melalui orang-orang
yang selesai belajar di luar negeri dan/atau oleh anak-anak muda yang mengoreki sisa-sisa literatur lama
yang dijuali pegawai-pegawai kejaksaan ke loakan—adalah bacaan-bacaan progresif/revolusioner.
Bocoran Barat yang patut diperhitungkan sebagai basis radikalisme/militansi adalah liberalisme (baca:
kebebasan) yang—walaupun masih bercampur dengan warisan kekerasan populisme Indonesia—sanggup
menyebabkan borjuis kecil (terutama yang lapisan bawahnya) bertambah muak pada kemunafikan tata-
tertib sisa-sisa feodal kaum birokrat dan tentara. (Itulah liberalisme yang dimaktub dalam entertainment
barat, yang sarat violence, vulgar dan profane. Kaum muda ‘80-an, yang menerima bocoran iman
progresif/revolusioner—di atas warisan populisme dan radikalisme/militansi borjuis kecil (dari ibu
liberalisme entertainment)—setahap demi setahap bisa membuka ruang demokrasi dengan AKSI MASSA
(tentu saja setelah melambaikan salam perpisahan pada metode-metode LSM dan kaum kiri moderat).
AKSI MASSA mulai diterima dan meluas ke segala sektor masyarakat sebagai ALAT perjuangan—
apalagi elit-elit politik dan PDI-Megawati belum turun ke gelanggang politik (ekstra-parlementer) untuk
memanipulasi massa, kebanyakan masih menjadi kaum kolaborator atau gradualis. Dan kaum muda
tersebut memang masih sangat muda untuk sanggup menerima represi rejim Orde Baru (yang
menghalangi kaum muda memiliki alat-alat politiknya sendiri—wadahnya, figurnya, korannya dan
sebagainya). Pembentukan PRD belum bisa dilihat sebagai jalan keluar oleh kaum pragmatis [14] atau oleh
kesadaran palsu massa. Namun demikian, gerakan kaum muda itulah yang sanggup membuka peluang
dijatuhkannya Soeharto, sedangkan elit-elit politik dan partai-partai politik mainstream hanyalah menjadi
benalu, parasit (tak tahu malu) terhadap konsep reformasi, reformis gadungan (yang, setelah berkuasa,
jangankan mengajak kaum muda dalam perspektif pemerintahan mendatang, berterima kasih pun tidak—
dalam kalimat Pram: secangkir teh manis pun tak disuguhkannya). Setelah kejatuhan Soeharto, terbuka
lah ruang yang lebih luas bagi peserta-peserta politik mainstream untuk memanipulasi kesadaran palsu
massa—namun keterbukaan itu sendiri mulai memecah dukungan massa pada manipulator-manipulator
lainnya—misalnya, dukungan suara bukan saja diberikan pada PDI-P tapi juga pada PKB dan PAN—dan,
sebenarnya, bersamaan dengan itu, propaganda kesadaran sejati dari mahasiswa dan kaum kiri
mendapatkan momentum, potensi, bagi perluasannya.

Partai-partai politik. Partai-partai politik sisa-sisa (yang tersaring) pemilu pertama (setelah
kemerdekaan) makin tak bisa belajar demokrasi setelah dekrit kediktatoran demokrasi terpimpin; suatu
pertarungan (wajar) partai-partai politik diselesaikan oleh kediktatoran; serangan nasionalisme dan
populisme[15] dimenangkan dengan bersandar pada tentara dan PKI. Serangan nasionalisme dan populisme
sebenarnya syah-syah saja selama ia bersandar pada aturan main demokrasi, aturan main TANPA
TENTARA—terlebih-lebih, tentara sendiri bukan mendasarkan keterlibatannya guna membantu serangan
nasionalisme dan populisme dengan setulusnya, tapi serangannya bertujuan sekadar untuk menggelar
permadani merah dwifungsi ABRI, lain tidak. (Dan mengapa PKI mendukungnya?) Sepanjang sejarah
revolusi nasional (dengan “perang kemerdekaan”), jalan tengah, dwifungsi ABRI, selalu mengendap-
ngendap di gang-gang gelap terorisme, bukan di boulevard demokrasi—yang tak akan mengizinkannya
hidup. Serangan populisme pra-borjuis dan nasionalisme begitu gencar dan uletnya, sejak awal abad 20
tak pernah padam—segala macam cara yang kontadiktif digunakan (dengan teror dan, rencananya, akan
ditutup dengan demokrasi liberal)—namun dijegal oleh kediktatoran demokrasi terpimpin. [16] Kekalahan
dan kemenangan dalam cengkraman demokrasi terpimpin keduanya tak syah. Serangan-serangan
nasionalis-kiri dan komunis dalam demokrasi terpimpin—yang mendorong partai-partai Islam dan partai
sosial-demokrat ke sudut potensi kekalahan politik dan ideologinya—dihadapkan pada serangan balik
yang absyah: “Kami sedang berhadapan dengan kediktatoran.” Perlawanan ideologi (membocorkan
“Kebebasan dan modernisme”) dan perlawanan politik( provokasi tentara) memperkeras kediktatoran
versus pemberontakan Islam dan gerakan separatis yang, tentu saja, mengundang keterlibatan Barat
dengan legitimasi: melawan kediktatoran. Pra-borjuasi kurus kering yang sekarat ini sedang mencari picu
lonceng kematiannya dan tentara, tentu saja, adalah malaikat pencabut nyawanya. Tentara mengerti itu:
“Harus sekarang juga, sebelum komunis berubah pikiran, sebelum komunis merubah jalan
parlementernya dan mempersenjatai diri—dapat dibayangkan apa jadinya bila 3 juta anggota dan 10 juta
sipatisan berkomitmen pada perjuangan ekstra-parlementer/bersenjata. (Apakah benar mereka bisa
mengambil jalan ekstra parlementer, adakah latihan untuk itu?) Ideologi, politik, ekonomi, dan sekaligus
oknum-oknum pra-borjuis kurus kering ini dilumat habis, demi rasionalisasi akselerasi dan peluasan
modal yang lebih gigantik, karena masa lalu pra-borjuis kurus kering tersebut sama sekali tak berguna.
Benarkah yang demikian itu adalah jalan keluar Barat/kapitalisme terhadap Indonesia? Ada yang luput
dari pelumatan: dwifungsi ABRI yang bergandengan tangan dengan sisa-sisa feudal yang, sebenarnya,
menggerogoti modal. Nampaknya, sebagai toleransi terhadap Dunia Ketiga, modal acuh tak acuh saja
terhadap status liberalisme yang didepak ke luar sistim. “Liberalisme” (yang berada di luar sistim
tersebut), sampai sejauh ini, memang tak bisa menyentuh hati politik kaum “demokrat” sekalipun.
(Namun, tidak demikian bagi hati, tangan dan kaki politik kaum muda—bersamaan dengan over
production, excess supply, hati, tangan dan kaki kaum muda meracik liberalisme dengan polulisme dan
sosialisme sebagai karcis politik untuk: MENGGULINGKAN SOEHARTO.) Itulah mengapa, terutama
setelah fusi partai-partai pada tahun ’73, tak bisa lagi diharapkan ada alternatif yang berlawan. Fusi
partai-partai itu sendiri merupakan upaya rejim Orde Baru untuk meniadakan kemandirian partai-partai
dan menyulitkan kehesivitas politiknya. Maka, di kepala orang-orang partai, makin menjadi-jadilah
anggapan bahwa strategi gradualis adalah jalan terbaik—suatu formulasi strategi politik yang selalu
diganggu variabel-variabel: “Marahkah tentara? Tertutupkah arena politik legal kami jika tentara tak
mengizinkan?” Itulah yang membuat mereka sulit keluar dari kubangan lumpur-hisap moderasi. Karena
itu, pada momentum 27 Juli, pimpinan-pimpinan PDI-Megawati selalu berusaha memukul mundur
tindakan anggotanya yang bisa mengancam arena politik legal mereka, yang bisa menutup arena politik
legal mereka (dan, ternyata, walaupun mereka bertindak moderat, tetap saja Orde Baru menutup arena
politik legal mereka, tak diizinkannya PDI-Megawati ikut pemilu). Namun logika massa bergerak ke arah
lain, menuntut serangan langsung pada kediktatoran, karena kesadaran anti-kediktatorannya benar-benar
tersinggung dan telah merasa sanggup untuk: BERLAWAN. Itulah mengapa hapusnya dwifungsi ABRI
akan membuka perspektif formula politik sesejati-sejatinya, karena hilang sudah variabel tentara dalam
kalkulasi politik politisi. Walaupun “oposisi” (PDI-Megawati) berhasil berkuasa, namun kalkulasi politik
tersebut akan tetap menjadi ayat-ayat suci mereka—apalagi GOLKAR masih No.2 dan dwifungsi ABRI
belum tuntas; dan dilihat dari basis historis watak mereka, serta gradualnya dwifungsi ABRI dihapuskan,
maka kekuasaan yang mereka pegang tetap tak akan memberanikan mereka bersandar pada dekrit formal
penghapusan dwifungsi ABRI—lagipula, bisakah dwifungsi ABRI ditutup oleh dekrit formal. Dan bisa
kah mereka bersandar pada cara lain: KEKUATAN MASSA? Makna kemenangan dalam benak mereka
adalah, pertama, tetap diizinkan bermain dalam arena politik legal—yang, sebenarnya, harus direstui
tentara terlebih dahulu dalam kasak-kusuk di hotel-hotel; kedua, dianugrahi cap sebagai kaum reformis
sehingga memudahkannya memenangkan pemilu—itu artinya (faktanya) adalah semata-mata
membenalui penjatuhan Soeharto (hasil keringat dan darah mahasiswa serta kaum miskin perkotaan).
Pertanyaannya: bisakah rakyat, yang sedang menderita dan berlawan sekarang ini, menyimpulkan mereka
sebagai REFORMIS GADUNGAN? Tentu saja bisa, dan harus dipercepat oleh kaum pelopor, SANG
PANDAI API—yang bermimpi tentang negeri yang baik pada rakyatnya. ***

[1]
Lihat Max Lane, Bangsa yang Belum Selesai, Reform Institute, 2007.

2]
Anarkisme seperti itu akan sulit diulangi setelah Soeharto jatuh karena akan menggangu basis
akumulasi dan jalinan modal dunia yang oleh Barat dianggap sudah “mapan” pada kontruksinya, tinggal
dievolusikan surplus value-nya. Apa yang dilakukan setelah kejatuhan Soeharto semata-mata merupakan
momentum bagi penataan kembali dan penetapan formasi baru tenaga produktif dan pemilikan modal—
yang tentu saja dihendaki dengan bergairah oleh Barat karena memang super profitnya sudah menggangu
kontinuitas sosial, atau akan mengganggu kenyamanan sistim—apakah itu melalui utak-utik
kebijaksanaan moneter/fiskal, atau melalui pukulan politik moderat (pemilu), atau juga melalui ideologi
reformasi (pemerintahan bersih dan supremasi hukum). Tindakan radikal dalam menangani rencana
tersebut akan menggangu produktivitas (baca: penghisapan surplus value) modal-modal lama dan akan
menggangu jalinan sistim modal global, paling tidak Amerika, Jepang, Jerman, Hong Kong, Taiwan, dan
Singapura. Jadi, mereka harus berpikir bagaimana membuat jedah (interval) agar penataan kembali
formasi modal tidak menggangu produksi dan distribusi lama—atau tak boleh dibangkrutkan dan tak
boleh ada diversivikasi produksi terlebih dahulu. Bagi mereka tak ada jalan lain: rekapitalisasi pusat-pusat
modal lama—salah satu yang terpentingnya adalah rekapitalisasi bank-bank lama. Nampaknya tak ada
keberanian untuk mengambilalih saja sisa-sisa kebangkrutan modal keuangan, jaringan tenaga produktif
dan distribusi borjuis lama untuk diserahkan pada borjuis baru (siapa? Adi Sasono—yang terbukti gagal
—Abu Rizal Bakri/Yusuf Kalla atau borjuis kelontongan yang selama ini mengeruk-ngeruk tong-tong
sampah sisa-sisa/ceceran kroni Soeharto?). Namun: rekapitalisasi bukan lah penyuntikan modal dalam
rangka membentuk formasi kepemilikan modal yang baru, terlalu riskan bagi pemerintahan baru (setelah
Soeharto), juga bagi Barat—itulah mengapa negara borjuis (setelah Soeharto) selalu berkonsultasi atau
meminta rekomendasi Bank Dunia; menaikan suku bunga bank untuk mengurangi peredaran dan
perluasan uang agar tak menurunkan harga barang-barang over produksi; yang lainnya, Jaringan
Pengaman Sosial (JPS) dan ekstensifikasi tenaga kerja di sektor-sektor publik yang, pada intinya,
merupakan pamungkas “Roselvelt Deal” guna menghadapi over produksi; yang lainnya lagi, subsidi—
yang kemudian dihentikan Barat karena uang bantuan Barat harus digunakan sedapat mungkin untuk
urusan ekonomi dan uang negara (dari pajak) hanya boleh digunakan untuk biaya manajemen (Negara),
tak boleh menggangu/mendistorsi harga barang-barang over produksi. (Kita akan kembali pada
permasalahan ini nanti.)

[3]
Nanti kita akan bicarakan bagaimana ideologi industri dalam jasa parawisata—terutama hiburan
(entertainment)—jasa pendidikan dan jasa komunikasi akan mendobrak garda-garda ideologi tentara,
terutama bagi kalangan kaum muda.

[4]
Perlu diberi perhatian tak adanya perlawanan dari kelas borjuis, walaupun sebenarnya sudah bisa
dihitung adanya ekonomi biaya tinggi dari cara-cara dwifungsi ABRI tersebut, cara-cara yang membuat
super profit-nya tidak riil karena sarat dengan biaya-biaya yang tidak menambah value added. Sungguh,
persis dengan ketidakberdayaan kelas borjuis dalam revolusi demokratik Jerman melawan monarki
(1848), juga dalam revolusi demokratik Rusia melawan monarki (Februari, 1917).

[5]
Basis hidup sentimen SARA justru diskriminasi—dan argumen diskriminasi adalah pemerasan dan
kecemburuan. Pada masa kuno, argumen rasialis adalah perbudakan dan penaklukan daearah lain;
argumen rasialisme Hitler adalah kecemburuan dan impian (baca: subyektivitas) keunggulan ras;
argument rasialisme Amerika Utara adalah perbudakan legal—yang sebelumnya juga diterapkan pada
kulit putih namun, kemudian, agar tidak ada budak yang kabur (karena warna kulitnya mencolok, hitam)
maka secara legal disyhkanlah Undang-Undang perbudakan hanya bagi kulit hitam. Sangat tidak masuk
akal juga bila argumen ras/diskriminasinya itu didasarkan pada kata”minoritas.” Minoritas dalam kosep
apa? Konsep jumlah populasi? Tidak. Mereka adalah penduduk ketiga terbanyak, setelah suku Jawa dan
suku Sunda. Konsep pribumi dan non-pribumi? Tidak. Mereka adalah bagian dari migrasi orang-orang
Indocina, Asia Tenggara lainnya dan Cina Selatan, yang sudah bercampur baur, atau bagian dari orang-
orang (bersama-sama orang-orang “Keling” dan Melayu) yang dibawa oleh merkantilisme dan
kolonialisme Portugis, Spanyol Inggris dan Belanda. Tidak ada bukti antropologis/arkeologi bahwa
orang-orang Indonesia asli adalah kelanjutan survival apa yang dinamakan “manusia Jawa” homo sapiens
—nampaknya mereka punah (ada juga yang mengatakan mereka beremigrasi ke Nusa Tenggara dan
Australia Utara justru karena didesak/dibantai oleh pendatang-pendatang utara Asia Tenggara dan
Tionghoa Selatan tersebut). Atau atas dasar bahwa klaim terhadap pemilikan republik merdeka tidak
berlaku bagi mereka karena tidak banyak dari mereka yang turut berjuang dalam revolusi nasional?
Padahal sumbangan mereka terhadap kemenangan republik sebenarnya juga dalam taraf krusial (akan
kujelaskan nanti). Nasionalisme menjijikan. Dan mengapa argumen tersebut tidak diberlakukan pada
orang-orang Arab atau orang-orang Papua? Argumen keunggulan ras memang tidak mungkin rasional,
anti-historis, menjijikkan.

[6]
Kata Cina dalam konsep masa Orde Baru adalah rasis.

[7]
Makna historis lingua franca (sebagai bahasa pasar) sarat dengan petualangan, exposure, jalur dan
jaringan perdagangan dengan segala tenaga produktifnya, sarat progesivitas.

[8]
Mengeluarkan orang-orang Tionghoa dari desa. Perlawanan mereka diselesaikan dengan kekerasan
tentara—dipaksa, diseret, dipukuli, dibunuh, dan di-kamp-konsentrasikan di markas-markas tentara.
Takdir sejarahnya pada masa republik menunjukkan kemampuan/survival (leading) orang-orang
Tionghoa dalam kapitalisme kering kerontang.

[9]
Seperti juga setelah kejatuhan Soeharto, Barat khawatir bila konglomerat-konglomerat Tionghoa
dilikuidasi secara radikal, mereka malah dibantu dengan proyek rekapitalisasinya IMF dan Bank Dunia.

10]
Memang terdapat perbedaan yang cukup penting antara gerakan mahasiswa MALARI, 1974, dengan
gerakan mahasiswa tahun 1978; 9 tahun kekuasaan Orde Baru—kekuasaan baru (yang menjanjikan
demokrasi dan pembangunan), yang masih mencari legitimasi atas apa yang diperbuatnya—masih
memberikan ruang/kesempatan pada pers untuk mengungkapkan secara samar-samar problem korupsi,
apalagi didahului sejumput gerakan moral anti-korupsi pada tahun 1972, yang melibatkan angkatan ’66
kategori naif tersebut. Selain korupsi, kolusi, nepotisme, keistimewaan modal asing (terutama Jepang),
bergugurannya borjuis kelontongan dalam negeri, kecenderungan jurang kaya-miskin yang mulai nampak
lebih tegas, pengerukan sumber daya alam tanpa batas dan sebaginya dan sebagainya, sudah menjadi
keresahan yang mulai mau meluap. Itulah mengapa agitasi gerakan tersebut bisa didengar dan bahkan
dihadiri oleh massa yang semakin hari semakin meluas—itulah pula jebakan yang membuat angkatan ‘66
yang naif mulai terdorong untuk mendukungnya secara sembunyi-sembunyi, ada harapan menang di
benak mereka. Oportunis tulen. Perluasan itu pula yang mendorong sebagian kecil (saja) unsur tentara
(yang secara sembunyi-sembunyi juga) mencari kesempatan di air keruh dengan memberikan toleransi
bagi perluasan agitasi gerakan. Keterlibatan unsur tentara tersebut lah yang membangkitkan penyakit
lama angkatan ’66 untuk mendorong gerakan mahasiswa—yang memang lemah iman (pengetahuan)
sejarahnya tentang tentara—bergabung dengan salah satu seksi pimpinan intelejen tentara. Angkatan ’66
sekali lagi membuat dosa sejarah—menganggap sejarah telah banyak merubah watak tentara. Selain itu,
sebab mengapa generasi gerakan tahun ’74 masih bayi buta terhadap watak tentara, adalah karena pers
memang tidak bisa menembus batas blokade toleransi—yang memang diberikannya juga oleh tentara—
yang dapat membongkar isi perut tentara, walaupun berita-berita tentang isi perut tentara masih ada di
tangan para pelaku sejarah yang masih segar bugar. Ribuan massa tumpah, menyeret 1 juta lebih massa
lainnya, mengelilingi luar pagar-pagar kampus mengemis kepemimpinan mahasiswa, namun ditolak
mentah-mentah oleh mahasiswa—bayi buta yang tak nyaman, masih tak biasa, oleh kebisingan massa.
Massa dan mahasiswa bergerak sendiri-sendiri, massa dengan keliarannya, mahasiswa dengan
ketololannya, tidak bisa bersatu besar-besaran di jalan (protokol) Thamrin—juga di jalan-jalan lainnya—
dan gerakan diselesaikan di pasar transaksi jual-beli dengan tentara, massa dijual murah pada tentara.
Bahkan beberapa dari mereka menjadikan gerakan ’74 ini menjadi tiket untuk karir mereka (belajar ke
luar negeri, menjadi pengusaha, atau masuk dalam birokrasi). Adalah mengagumkan juga bahwa,
walaupun gerakan mahasiswa ’78 berada pada situasi yang lebih sulit, ruang demokrasi lebih sempit,
namun agitasi-agitasinya bisa membongkar kejahatan KKN (Soeharto) dan keterlibatan tentara dalam
kehidupan sipil—dan saat itu mahasiswa mulai lebih mengenal kegunaan banyak selebaran dan pamflet.
Itulah mengapa programnya sudah cenderung menjatuhkan kekuasaan Soeharto dan menuntut
penghapusan trilogi pembangunan—tuntuan samar-samar pencabutan dwifungsi ABRI. Itulah pula
sebabnya mengapa gerakan mahasiswa tahun ’78 sangat hati-hati terhadap keterlibatan tentara. Selain itu,
mereka juga sangat hati-hati terhadap keterlibatan angkatan ’66, hanya seksi mahasiswa moderat saja dari
gerakan tersebut yang membuka diri terhadap keterlibatan segelintir angkatan ’66—penangkapan pada
tahun ’74 nampaknya membuat jera banyak angkatan ‘66. Mereka juga mulai menghargai keterlibatan
massa, baik dalam bentuk bantuan makanan dan dana dari penduduk sekeliling kampus, maupun advokasi
terhadap kaum tani (terutama di Jawa Barat). Namun keterlibatan massa tersebut masih dianggap sebagai
penambah kekuatan pukulan saja, bukan dianggap sebagai unsur pemilik sah kekuasaan—nampaknya
sejarah belum menyuapi pemahaman seperti ini pada bayi-bayi yang baru melek. Pengkhianatan waktu
untuk mengabortus gerakan—oleh unsur-unsur yang dipengaruhi penghasut (di balik layar) angkatan ’66
(yang memiliki ikatan dengan para mantan PSI)—menyebabkan gerakan mahasiswa ’78 tak memiliki
resistensi terhadap serangan tentara ke dalam kampus. Setelah selesainya gerakan mahasiswa ’78, sekali
lagi, segelintir mahasiswa yang masih punya sedikit idealisme diserap oleh “gerakan” LSM atau
meneruskan pelajaran ke luar negeri, sedangkan yang lainnya menjadi kaum oportunis seperti pendahulu-
pendahulunya, masuk birokrasi dan jadi borjuis kelontongan yang selalu menadahi tender-tender
pemerintah. Dalam kadar yang berbeda, kedua gerakan tersebut memiliki persamaannya: tuntutan clean
government, modernisme dan “demokrasi” terbatas (masih gamang memahami kata Rakyat—dengan R
besar).

[11]
Di tahun 80-an, hanya ada dian (api kecil) kritik populisme LSM (yang sedang menjamur) dan pijar
protes (yang cepat sekali matinya) dari kaum demokrat-liberal, yang sangat hati-hati sekali.

[12]
Kita tahu, Gerakan Malari ’74 ditutup oleh breidel terhadqap 14 surat kabar.

[13]
Kita juga tahu, dengan jatuhnya Soeharto, terbukti bahwa jalan keluar Barat (neoliberalisme) terpaksa
harus mengadakan tawar-menawar dengan saudara tuanya sendiri, populisme dan sosial-demokrasi.
Dalam rejim dwifungsi ABRI, rejim totaliter, ketiga anak kandung Barat tersebut—neoliberalisme;
populisme; dan sosial-demokrasi—harus saling bertengkar. Bila kehendak populisme dan sosial-
demokrasi yang dituruti, biaya sogokannya tak bisa ditanggung; bila kehendak neoliberalisme yang
dituruti, maka harus ada peredam yang sanggup menghentikan (secara sukarela) rengekan-rengekan
populisme dan sosial-demokrasi tersebut. Bila tidak, untuk kasus Indonesia, penindasan macam apalagi
yang bisa meredam kecenderungan kerusuhan kecemburuan sosial—lazimnya amarah rakyat yang tidak
(boleh) dipimpin oposisi—yang, memang, lebih mahal lagi biayanya.

[14]
Pragmatisme adalah akibat dari kesadaran palsu atau tak adanya kontrol dari kesadaran sejati.
Pragmatisme adalah refleksi kelelahan massa akan penghisapan dan penindasan, yang ingin segera
mencari jalan keluarnya, ingin segera mendapatkan wadah perjuangannya, ingin segera mendapatkan
figurnya, pendeknya ingin segera mendapatkan alat-alat politiknya; kasus manipulasi konsep “arus
bawah”—yang sebenarnya hanyalah tuntutan demokratisasi internal dalam partai PDI—yang di kepala
massa menjadi “suara wong cilik”, adalah pragmatisme massa; pemilihan Megawati—walau semakin
terbukti moderat, anti-demokrasi dan pro-Barat—sebagai simbol/figur perlawanan, adalah pragmatisme
massa; dengan demikian sudah jelas mengapa pragmatisme massa kemudian memilih mensukseskan
Pemilu, dan mencoblos PDIP, PKB dan PAN—dan pragmatisme massa juga yang menyebabkan massa
tak sanggup melawan money politic dan intimidasi GOLKAR sehingga GOLKAR menjadi pemenang
kedua dalam pemilu. Namun perlawanan massa pada 27 Juli, 1996, dan kesanggupan massa dalam wadah
PPP (tak peduli mereka anggota PPP atau PDIP) berperang dengan tentara dalam pemilu 1997, bisakah
disebut sebagai pragmatisme yang tidak menguntungkan pembukaan ruang demokrasi, peningkatan
militansi/radikalisme massa, dan latihan (great rehearsal) bagi perlawanan umum massa? Wadah
alternatif apa yang dapat dibesarkan/dipopularkan oleh momentum tersebut? (Lihat Max Lane, Bangsa
yang Belum Selesai, Reform Institute, 2007.)

[15]
Setelah penyerahan kedaulatan tahun ’49, nasionalisme sebenarnya mulai menurun pamornya sebagai
barang dagangan politik borjuis kecil gradualis, sehingga kaum nasionalis radikal merasa harus
meningkatkan serangannya dengan alat “Merdeka 100%.” Kaum populis membumbuinya menjadi “Demi
Rakyat.”

[16]
Aturan main serangan yang disepakati oleh kaum nasionalis dan kaum populis yang salah kaprah:
mencampakkan demokrasi—karena ada embel-embel “liberal”. (Rejim Orde Baru pun sebenarnya
menggigil ketakutan pada embel-embel “liberal” tersebut). Kaum nasionalis dan kaum populis seperti
kacang lupa kulit: bahwa legitimasi dan kebangkitannya kembali setelah tahun 1948 (layaknya divonis
tak bersalah) sebenarnya tolak ukurnya ditentukan secara syah oleh pemilu demokrasi liberal—demikian
juga kelangsungan partai-partai Islam dan kematian partai sosial-demokrat. Upaya mencari kemenangan
secara Machiavelis dan anarkis—menindas landasan revolusi demokratik—benar-benar bermakna:
menginzinkan tentara keluar dari gang-gang gelap terorismenya untuk mengangkangi kehidupan sipil.

Anda mungkin juga menyukai