PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Upaya peningkatan kualitas dari tenaga kesehatan sangat dibutuhkan
agar tercapainya suatu perkembangan untuk dapat meningkatkan mutu
sumber daya manusia yang dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik
dan tercapainya masyarakat yang sehat pula. Salah satu contoh dari tenaga
kesehatan yang akan membantu masyarakat dalam pengobatan yaitu
Farmasi yang akan melakukan suatu pelayanan kefarmasian di Puskesmas.
Dalam melaksanakan suatu kewajiban tersebut tentunya harus ada
pembelajaran secara langsung dilapangan yang biasa disebut dengan Praktek
Kerja Lapangan, dimana mahasiswa ditempatkan pada institut tertentu untuk
dapat lebih mengetahui suatu hal yang belum diketahui dan memahami ilmu
mengenai obat yang akan dipelajari untuk disampaikan kepada pasien.
Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 bahwa pelayanan kefarmasian saat ini telah
bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan
kefarmasian. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus
pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang
komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dari pasien.
Pelayanan kefarmasian tersebut merupakan suatu tugas dan tanggung
jawab yang akan dilakukan oleh tenaga kefarmasian maupun apoteker
penanggung jawab apotik. Dengan adanya kegiatan ini mahasiswa atau
mahasiswi dapat langsung berinteraksi dengan pasien dengan melakukan
pelayanan kefarmasian berupa pemberian informasi obat dan dapat pula
menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (Medication
Error).
Pada intinya seorang farmasi dituntut untuk dapat mempelajari hal-hal
mengenai Obat dan bagaimana melayani suatu pasien yang akan diobati.
Maka dari itu dilakukan suatu kegiatan Praktek Kerja Lapangan untuk
meningkatkan pengetahuan serta mempersiapkan diri untuk dapat berperan
langsung dalam pelayanan kefarmasian di PKM sesuai fungsi dan
kompetensi masing-masing yang dipelajari.
I.2 Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan di
Puskesmas yaitu :
1. Dapat memahami peran dan fungsi Apoteker di Puskesmas.
2. Dapat memahami, melihat dan ikut serta secara lansung dalam proses
pengelolaan apotek yang dilakukan Apoteker di Puskesmas.
3. Dapat meningkatkan dan memperluas ilmu pengetahuan seorang
mahasiswa Farmasi dengan teknologi baru dari lapangan kerja.
4. Dapat memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk
memasyarakatkan diri pada suasana lingkungan kerja yang sebenarnya.
1.3 Manfaat
Adapun Manfaat pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan di
Puskesmas yaitu :
1. Untuk menambah wawasan pengetahuan, pengalaman serta
keterampilan selama di Apotek Puskesmas Dungingi
2. Membangkitkan sifat enterpreneur serta mampu berkomunikasi dan
memberikan pelayanan edukasi kepada pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tinjauan Umum Puskesmas
1. Definisi Puskesmas
Pusat Kesehatan Masyarakat, disingkat Puskesmas, adalah
organisasi fungsional yang menyelenggarakan upaya kesehatan yang
bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima dan terjangkau oleh
masyarakat, dengan peran serta aktif masyarakat dan menggunakan hasil
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan biaya
yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat. Upaya kesehatan
tersebut diselenggarakan dengan menitik beratkan kepada pelayanan
untuk masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal,
tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan (Sekzers, 2009).
2. Visi Puskesmas
pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas
adalah tercapainya kecamatan sehat menuju terwujudnya Indonesia
Sehat. Kecamatan sehat adalah gambaran masyarakat kecamatan masa
depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan, yakni
masyarakat yang hidup dalam lingkungan perilaku sehat, memiliki
kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu
secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya (Anonim, 1990).
3. Misi Puskesmas
Misi pembangunan kesehatan diselenggarakan untuk mendukung
tercapainya misi pembangunan kesehatan nasional. Misi tersebut yaitu :
a. Menggerakan pembangunan berwawasan kesehatan diwilayah
kerjanya
b. Mendorong kemandirian yang sehat bagi keluarga dan masyarakat
diwilayah kerjanya.
c. Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan
pelayanan kesehatan yang diselengarakan.
d. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan
masyarakat berserta lingkungannya (Anonim, 1990).
4. Tujuan Puskesmas
Tujuan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah
mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional yakni
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas, agar terwujud
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam rangka mewujudkan
Indonesia Sehat 2010 (Anonim, 1990).
5. Pelayanan Kesehatan Menyeluruh
Pelayanan kesehatan meliputi :
a. Kuratif (Pengobatan)
b. Preventif (Pencegahan)
c. Promotif (Peningkatan)
d. Rehabilitatif (Pemulihan) (Anonim, 1984).
6. Kegiatan Pokok Puskesmas
Sesuai dengan kemampuan tenaga maupun fasilitas yang berbeda-
beda,maka kegiatan pokok yang dapat dilaksanakan oleh sebuah
puskesmas akan berbeda pula. Namun demikian kegiatan pokok
puskesmas harus dilaksanakan adalah sebagai berikut :
a. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
b. Keluarga Berencana (KB)
c. Usaha Peningkatan Gizi (UPG)
d. Kesehatan Lingkungan (KL)
e. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular (P3M)
f. Pengobatan Termasuk Pelayanan Darurat karena Kecelakaan
g. Penyuluhan Kesehatan Masyarakat (PKM)
h. Kesehatan Kerja (KK)
i. Kesehatan Sekolah (KS)
j. Kesehatan Olahraga (KO)
k. Perawatan Kesehatan Masyarakat (PKM)
l. Kesehatan Gigi dan Mulut (KGM)
m. Kesehatan Jiwa (KJ)
n. Kesehatan Mata (KM)
o. Laboratorium Sederhana
Pencatatan dan pelaporan dalam rangka sistem informasi kesehatan
pelaksanaan kegiatan pokok puskesmas diarahkan kepada keluarga.
Dalam kata lain kegiatan pokok puskesmas ditujukan untuk kepentingan
kesehatan keluarga (Anonim, 1984).
7. Sejarah Perkembangan Puskesmas
Sejarah dan perkembangan puskesmas di Indonesia mulai dari
didirikannya berbagai institusi kesehatan seperti balai pengobatan, balai
kesejahteraan ibu dan anak, serta diselenggarakannya berbagai upaya
upaya kesehatan seperti usaha hygiene dan sanitasi lingkungan yang
masing-masing berjalan sendiri-sendiri.
Penggunaan istilah puskesmas pertama kali dimuat pada Master
Plan of Operation for Strenghtening National Health Service in
Indonesia tahun1969. Dalam dokumen tersebut disebutkan puskesmas
terdiri dari 3 tipe puskesmas (tipe A, tipe B, tipe C). Kemudian dalam
Rapat Kerja Kesehatan Nasional (RaKerKesNas) ke III tahun 1970
menetapkan hanya ada satu tipe puskesmas dengan 6 kegiatan pokok.
Perkembangan selanjutnya lebih mengarah pada penambahan kegiatan
pokok seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
kemampuan pemerintah serta keinginan program ditingkat pusat,
sehingga kegiatan berkembang menjadi 18 kegiatan pokok, bahkan DKI
Jakarta mengembangkan menjadi 21 kegiatan pokok. Melalui
RaKerKesNas tersebut timbul gagasan untuk menyatukan semua
pelayanan kesehatan tingkat pertama ke dalam suatu organisasi yang
dipercaya dan diberi nama Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas),
dan puskesmas waktu itu dibedakan menjadi 4 macam:
a. Puskesmas Tingkat Desa
b. Puskesmas Tingkat Kecamatan
c. Puskesmas Tingkat Kawedanan
d. Puskesmas Tingkat Kabupaten
Pada RaKerNas ke II 1969 pembagian puskesmas dibagi menjadi 3
kategori:
a. Puskesmas Tipe A dipimpin oleh dokter secara penuh.
b. Puskesmas Tipe B dipimpin oleh dokter secara tidak penuh.
c. Puskesmas Tipe C dipimpin oleh paramedis (Sekzers, 2009).
II.2 Wilayah Kerja Puskesmas
Wilayah kerja puskesmas meliputi satu kecamatan atau sebagian dari
kecamatan.Faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografik dan
keadaan infrastruktur lainnya merupakan bahan pertimbangan dalam
menentukan wilayah kerja puskesmas.
Puskesmas harus bertanggung jawab untuk setiap masalah kesehatan
diwilayah kerjanya walaupun wilayah kerjanya itu mempunyai lokasi yang
berkilo-kilo meter dari puskesmas. Dengan azas inilah puskesmas dituntut
untuk mengutamakan pencegahan penyakit.Dengan demikian puskesmas
dituntut secara aktif terjun kemasyarakat dan bukan puskesmas menunggu
kunjungan masyarakat saja.
Puskesmas merupakan perangkat Pemerintah Daerah Kab/Kota,
sehingga pembagian wilayah kerja puskesmas ditetapkan oleh bupati atau
walikota, dengan saran teknis dari Kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota.
Sasaran penduduk yang dilayani oleh sebuah puskesmas rata-rata 30.000
penduduk.Untuk perluasan jangkauan pelayanan kesehatan maka puskesmas
perlu ditunjang dengan unit pelayanan kesehatan yang lebih sederhana yang
disebut Puskesmas Pembantu (PusBan) dan Puskesmas Keliling (PusLing).
Dalam perkembangannya, seiring dengan diberlakukannya UU
Otonomi daerah yang lebih mengedepankan desentralisasi, setiap daerah
Kab/Kota mempunyai kesempatan untuk mengembangkan puskesmas
sesuai Rencana Strategis (RenStra) Kesehatan Daerah dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) bidang kesehatan sesuai
situasi dan kondisi daerah Kab/Kota. Konsekuensinya adalah perubahan
struktur organisasi kesehatan serta tugas pokok dan fungsi yang
menggambarkan lebih dominannya aroma kepentingan daerah Kab/Kota,
yang memungkinkan terjadinya perbedaan penentuan skala prioritas upaya
peningkatan pelayanan kesehatan di tiap daerah, dengan syarat setiap
kebijakan tetap mengacu kepada RenStra Kesehatan Nasional. Disisi lain
daerah Kab/Kota dituntut melakukan akselerasi disemua sektor penunjang
upaya pelayanan kesehatan (Anonim, 2010).
Bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah kerja puskesmas:
1. Faktor kepadatan penduduk,
2. Luas daerah,
3. Keadaan geografik, dan
4. Keadaan infrastruktur lainnya.
Khusus untuk kota besar, wilayah kerja puskesmas bisa satu kelurahan
sedangkan puskesmas di ibukota kecamatan merupakan puskesmas
rujukanyang berfungsi sebagai pusat rujukan puskesmas kelurahan yang
juga mempunyai fungsi koordinasi.
Puskesmas dalam mencapai cakupan pelayanan yang merata maka ia
ditunjang oleh Puskesmas Keliling, Puskesmas Pembantu, BKIA, Rumah
Bersalin, Poliklinik-Poliklinik, Dokter Praktik Swasta serta kegiatan kader
kesehatan yang secara teknis berada di bawah pengawasan dan pengaturan
Puskesmas (Eli, 2008).
II.3 Pelayanan Kesehatan di Puskesmas
Ada lima nilai dasar dalam aspek pelayanan kesehatan yang sebaiknya
selalu dijunjung tinggi oleh para pegawai dan aparat kesehatan, dalam upaya
memberdayakan masyarakat untuk hidup bersih dan sehat. Lima nilai dasar
tersebut kami coba ulas kembali berdasarkan pemahaman pengalaman kami
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di wilayah
kerja puskesmas (Sudayasa, 2009).
1. Bertindak Cepat dan Tepat:
a. Cepat mengambil keputusan dalam memberikan pelayanan atau
tindakan kesehatan, terhadap kasus atau masalah yang bisa bersifat
mendadak (emergency) maupun mendesak (urgency).
b. Tepat dalam melaksanakan proses pelayanan kesehatan sesuai
Prosedur Tetap (ProTap) atau Standar Operasional Prosedural (SOP)
yang telah ditentukan.
2. Berpihak kepada Masyarakat:
a. Masyarakat sebagai subyek pelayanan, berhak menentukan jenis
pelayanan kesehatan yang terbaik sesuai masalah yang dihadapinya.
b. Masyarakat sebagai obyek pelayanan, wajib diberikan pelayanan
kesehatan yang bermutu agar mencapai derajat kesehatan yang
optimal.
3. Menegakkan Keadilan:
a. Disiplin Kerja: menegakkan semangat kerja dalam memberikan
pelayanan yang terbaik kepada masyarakat atau sasaran pelayanaan.
b. Disiplin Administrasi: melakukan pencatatan dan pelaporan hasil
kegiatan pelayanan secara tertib, teratur, terarah, terbuka dan terukur.
4. Menunjukkan Transparansi:
a. Menunjukkan keterbukaan pelayanan, dengan aturan kerja yang jelas,
ringkas, dan tuntas, sehingga bisa dipahami oleh sasaran pelayanan.
b. Menunjukkan keterbukaan anggaran, sesuai tata hukum, dan peraturan
yang berlaku dalam lingkup pelayanan kesehatan.
5. Mewujudkan Akuntabilitas:
a. Hasil kegiatan pelayanan diarahkan secara bertanggung jawab
terhadap institusi internal didalam lingkup pelayanan kesehatan dan
kepada institusi eksternal diluar lingkungan pelayanan kesehatan.
b. Tanggung jawab terhadap masyarakat, sangat penting sekali karena
menyangkut upaya peningkatan pemberdayaan derajat kesehatan
masyarakat secara holistik.
II.4 Fungsi dan Peranan Puskesmas
1. Fungsi Puskesmas
a. Sebagai Pusat Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama
Sebagai pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama di wilayah
kerjanya, puskesmas merupakan sarana pelayanan kesehatan
pemerintah yang wajib menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara
bermutu, terjangkau, adil dan merata.Pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan adalah pelayanan kesehatan dasar yang sangat
dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat dan sangat strategis.
b. Sebagai Pusat Pengerakan Pembangunan Berwawasan Kesehatan
Sebagai pusat pembangunan berwawasan kesehatan lingkungan
puskesmas harus secara pro-aktif menjalin kemitraan dengan bidang
pembangunan lain di tingkat kecamatan melalui pertemuan-pertemuan
koordinasi yang membahas situasi dalam upaya peningkatan
kesehatan lingkungan dan perilaku hidup sehat masyarakat.
c. Sebagai Pusat Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Dalam
Pembangunan Kesehatan
Sebagai pusat pemberdayaan masyarakat, puskesmas diharapkan
bisa secara pro-aktif menjangkau keluarga, sehingga bisa menjaga
keluarga sehat tetap sehat dan keluarga yang lain bisa sembuh
(Effendy, 1997).
2. Peranan Puskesmas
Sebagai lembaga kesehatan yang menjangkau masyarakat
diwilayah terkecil dalam hal pengorganisasian masyarakat serta peran
aktif masyarakat dalam penyelenggaraan kesehatan secara mandiri
(Anonim, 2011).
II.5 Kedudukan Puskesmas
Kedudukan puskesmas dibedakan menurut keterkaitannya dengan
Sistem Keseha tan Nasional (SKN), Sistem Kesehatan Kabupaten/Kota,
Sistem Pemerintah Daerah dan Antar Sarana Pelayanan Kesehatan
Masyarakat.
Adapun penjelasannya sebagai berikut :
1. Sistem Kesehatan Nasional.
Sebagai sarana pelayanan kesehatan strata pertama yang
bertanggung jawab menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan
upaya kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya.
2. Sistem Kesehatan Kabupaten/Kota.
Sebagai unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang
bertanggung jawab menyelenggarakan sebagian tugas pembangunan
kesehatan kabupaten/kota di wilayah kerjanya.
3. Sistem Pemerintah Daerah.
Sebagai unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang
merupakan unit struktural pemerintah daerah kabupaten/kota bidang
kesehatan ditingkat kecamatan.
4. Antar Sarana Pelayanan Kesehatan Strata Pertama
Wilayah kerja puskesmas terdapat berbagai organisasi pelayanan
kesehatan strata pertama yang dikelola oleh lembaga masyarakat dan
swasta seperti praktek dokter, praktek dokter gigi, praktek bidan,
poliklinik dan balai kesehatan masyarakat. Kedudukan puskesmas
diantara berbagai sarana pelayanan kesehatan strata pertama ini adalah
sebagai mitra (Anonim, 2010).
II.6 Organisasi Puskesmas
Penyusunan struktur organisasi Puskesmas di satu Kabupaten atau
Kota dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sedangkan
penetapannya dilakukan dengan peraturan daerah (Anonim, 2009).
1. Kepala Puskesmas
2. Unit Tata Usaha yang bertanggung jawab membantu kepala puskesmas
dalam pengelolaan:
a. Data dan Informasi
b. Perencanaan dan Penilaian
c. Keuangan
d. Umum dan Kepegawaian
3. Unit Pelaksana Teknis Fungsional Puskesmas:
a. Upaya kesehatan masyarakat termasuk pembinaan terhadap UKBM
(Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat)
b. Upaya Kesehatan Perorangan
c. Jaringan Pelayanan Puskesmas
a. Unit Puskesmas Pembantu
b. Unit Puskesmas Keliling
c. Unit Bidan di Desa atau Komunitas
II.7 Program Pokok Puskesmas
1. Pelayanan resep
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter
hewan kepada Apoteker Pengelola Apotek untuk menyediakan dan
menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku (KepMenKes No. 1332 Tahun 2002).
Permenkes No. 26 Tahun 1981 Pasal 10 menyebutkan “Resep
harus ditulis dengan jelas dan lengkap” selain itu dalam KepMenKes No.
280 Tahun 1981 Pasal 2, resep harus memuat juga:
a. Nama, alamat dan nomor izin praktek dokter, dokter gigi atau dokter
hewan.
b. penulisan resep, nama setiap obat atau komposisi obat.
c. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep.
d. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
e. Jenis hewan dan nama serta alamat pemiliknya untuk resep dokter hewan.
f. Tanda seru dan paraf dokter untuk resep yang mengandung obat yang
jumlahnya melebihi dosis maksimal.
Pada Pasal 3 disebutkan bahwa:
a. Resep dokter hewan hanya ditujukan untuk penggunaan pada hewan.
b. Resep yang mengandung narkotika harus ditulis tersendiri sesuai dengan
ketentuan perturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada Pasal 4 tertulis:
a. Untuk penderita yang melakukan pengobatan segera dokter dapat memberi
tanda “Segera”, ”Cito”, ”Statim”, atau ”Urgent” pada bagian atas kanan
resep.
b. Apoteker harus mendahulukan pelayanan resep dimaksud Ayat 1 pasal ini.
Pasal 5 menyebutkan bahwa: apoteker tidak tidak dibenarkan
mengulangi penyerahan obat atas dasar resep yang sama apabila:
a. Pada resep aslinya diberi tanda “n.i”, ”Ne Iteratur” atau ”Tidak Boleh
Diulang”.
b. Resep aslinya mengandung narkotika atau obat lain yang oleh menteri c.q
Direktur Jendral ditetapkan sebagai obat yang tidak boleh diulang tanpa
resep baru (Hartini, 2007).
Menurut KepMenKes No. 1027 Tahun 2004, Apoteker melakukan
skrining resep yang meliputi:
a. Skrining resep
1) Persyaratan Administrasi:
a) Nama, SIP, dan alamat dokter.
b) Tanggal penulisan resep.
c) Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.
d) Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien.
e) Nama obat, potensi, dosis, jumlah obat yang diminta.
f) Cara pemakaian yang jelas.
g) Informasi lainnya.
2) Kesesuaian Farmasetik
Bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas,
cara dan lama pemberian.
3) Pertimbangan Klinis
Adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis,
durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep
hendaknya dikonsultasikan dengan dokter penulis resep dengan
memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu
menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.
b. Penyiapan
Menurut KepMenKes No. 1027 Tahun 2004, langkah-langkah
penyiapan obat yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
1.) Peracikan
Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur,
mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan
peracikan, obat harus dibuat sesuai prosedur tetap dengan
memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket
yang benar.
2.) Etiket
Etiket harus jelas dan dapat dibaca. Menurut KepMenKes No.
280 Tahun 1981 pasal 11:
a) Obat yang diserahkan atas dasar resep, harus dilengkapi dengan etiket
berwarna putih untuk obat dalam dan warna biru untuk obat luar.
b) Pada etiket, harus dicantumkan:
(1) Nama dan alamat apotek.
(2) Nama dan nomor surat izin pengelolaan apotek apoteker
pengelola apotek`
(3) Nomor dan tanggal pembuatan.
(4) Nama pasien.
(5) Aturan pemakaian.
(6) Tanda lain yang diperlukan, misalnya: “Kocok Dulu”, “Tidak
Boleh Diulang Tanpa Resep Dokter” dan sebagainya
3) Kemasan Obat yang Diberikan
Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang
cocok sehingga terjaga kualitasnya
4) Penyerahan Obat
Sebelum obat diserahkan pada pasien yang harus dilakukan
pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep.
Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi
obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.
5) Informasi Obat
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas, dan
mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini.
Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: Cara
Pemakaian Obat, Cara Penyimpanan Obat, Jangka Waktu Pengobatan,
Aktivitas serta Makanan dan Minuman yang Harus Dihindari Selama
Terapi.
2. Promosi dan Edukasi
Akhir-akhir ini peredaran obat-obat tanpa resep memungkinkan
seorang individu mencoba mengatasi masalah mediknya dengan cepat,
ekonomis, dan nyaman tanpa perlu mengunjungi seorang dokter. Padahal
penggunaan obat-obat tanpa resep informasi dietiket larangan dan
pembatasan tertentu. Meskipun peringatan telah dicantumkan pada etiket
obat-obat tersebut, peng-etiket-an itu sendiri kadang tidak memadai,
sehingga pasien tetap memerlukan bantuan dalam menyeleksi dan
menggunakan obat-obat tanpa resep secara tepat. Penggunaan obat tanpa
resep yang tidak tepat dapat mengakibatkan peningkatan biaya
danpenyakit pasien menjadi lebih serius.
Keberadaan Apoteker di apotek memberikan perbedaan pada
pelayanan obat tanpa resep dibandingkan dengan toko atau swalayan
lainyang juga melayani pembelian obat. Untuk melayani pasien, seorang
Apoteker harus bisa menunjukkan manfaat dari setiap petunjuk yang
diberikan terutama dalam menyeleksi dan memantau pengobatan dengan
obat tanpa resep adalah perlu untuk meningkatkan pemahaman pasien
tentang pentingnya berkonsultasi dengan apoteker, bukan saja ketika
mempertimbangkan suatu obat pertama kali, melainkan juga ketika
membuat pembelian berikutnya.
Edukasi pasien harus dipisahkan dari informasi pasien karena yang
pertama berhubungan dengan suatu tingkat dari modifikasi perilaku dan
yang terakhir denagan sedikit perubahan dalam keputusan atau hasil
terapi.Apoteker yang efektif harus mampu memotifasi pasien untuk belajar
melakukan bagian yang aktif dalam regiman terapinya.Secara historis,
profesional kesehatan terutama melakukan diagnosis guna memastikan
ketaatan pada regimen yang ditulis.
Menurut Kepmenkes No. 1027 Tahun 2004, Apoteker harus
memberikan konseling mengenai kesediaan farmasi, pengobatan dan
perbekalan kesehatan lainnya sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup
pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalah gunaan atau
penggunaan salah sediaan farmasi atau pembekalan kesehatan lainnya.
Untuk penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskuler, diabetes, asma,
dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara
berkelanjutan (Hartini, 2007).
3. Pelayanan Residensial (Home Care)
Menurut KepMenKes No.1027 Tahun 2004, Apoteker
sebagai Care Giverdiharapkan juga dapat melakukan pelayanan
kefarmasian yangbersifat kunjungan rumah, khususnya kelompok lansia
dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktifitas ini
apoteker harusmembantu catatan berupa catatan pengobatan yang
disebut Medication Record (Hartini, 2007).
4. Pelayanan Obat Tanpa Resep
Pelayanan obat tanpa resep merupakan pelayanan kepada pasien
yang ingin melakukan pengobatan sendiri, dikenal dengan Swamedikasi
(Purwanti, 2004).Swamedikasi adalah mengobati segala keluhan pada diri
sendiri dengan obat-obatan yang dibeli bebas di apotek atau toko obat atas
inisiatif sendiri tanpa nasehat dokter (Indriyanti, 2009). Dengan kata lain,
pasien datang dengan keluhan gejala atau meminta suatu produk tanpa
resep dari dokter. Obat-obat yang dapat digunakan untuk
swamedikasi/tanpa resep meliputi Obat Wajib Apotek (OWA), Obat Bebas
Terbatas (OBT), dan Obat Bebas (OB) (Purwanti, 2004).Tahapan
pelayanan obat tanpa resep meliputi Patient Assessment, Penentuan
Rekomendasi, dan Pemberian Informasi Obat Maupun Non-Obat.
a. Patient Assessment
Patient Assessment penting untuk pertimbangan apoteker dalam
penentuan identifikasi pasien sebelum membuat sebuah rekomendasi.Hal-
hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengambilan tindakan oleh
apoteker selama konseling yang dijadikan referensi untuk rekomendasi
adalah sejarah pengobatan, obat untuk siapa, umur pasien, penyebab sakit,
durasi sakit, lokasi sakit, gejala sakit, pengobatan lain yang sedang
digunakan, obat sejenis lainnya yang digunakan, alergi obat, apakah
pernah terjadi sakit seperti sebelumnya, gejala lain, dan apakah sudah ke
dokter (Chua, 2006)
b. Rekomendasi
Apoteker bisa merekomendasikan suatu obat untuk
meringankangejala sakitnya dengan mencoba menentukan penyebab
sakitnya sehingga dapat mencegah terjadinya sakit kembali dan juga bisa
menyarankan pada perubahan pola hidup/non-farmakologi yang penting
dalam mengatasi sakitnya. Apoteker menyarankan pasien pergi ke dokter
jika pasien tersebut kondisinya berat atau parah (Chua, 2006).
c. Informasi Obat dan Non-Obat
1) Informasi Obat
Pemberian informasi adalah untuk mendukung penggunaan obat
yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui
tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya Kesalahan
Pengobatan/Medication Error (Pemerintah RI, 2009). Informasi yang
perlu disampaikan oleh apoteker pada masyarakat dalam penggunaan obat
bebas atau obat bebas terbatas antara lain (Depkes RI, 2006):
a) Khasiat Obat
Apoteker perlu menerangkan dengan jelas apakhasiat obat yang
bersangkutan, sesuai atau tidak denganindikasi atau gangguan kesehatan
yang dialami pasien.
b) Kontra-Indikasi
Pasien juga perlu diberi tahu dengan jelaskontra-indikasi dari obat
yang diberikan, agar tidak menggunakannya jika memiliki kontra-indikasi
dimaksud.
c) Efek Samping dan Cara Mengatasinya
Pasien juga perlu diberi informasi tentang efek samping yang
mungkin muncul, serta apa yang harus dilakukan untuk menghindari atau
mengatasinya.
d) Cara Pemakaian
Cara pemakaian harus disampaikan secara jelas kepada pasien
untuk menghindari salah pemakaian, apakah ditelan, dihirup, dioleskan,
dimasukkan melalui anus, atau cara lain.
e) Dosis
Sesuai dengan kondisi kesehatan pasien, apoteker dapat
menyarankan dosis sesuai dengan yang disarankan olehprodusen
(sebagaimana petunjuk pemakaian yang tertera dietiket) atau dapat
menyarankan dosis lain sesuai denganpengetahuan yang dimilikinya.
f) Waktu Pemakaian
Waktu pemakaian juga harusdiinformasikan dengan jelas kepada
pasien, misalnya sebelumatau sesudah makan atau saat akan tidur.
g) Lama Penggunaan
Lama penggunaan obat juga harus diinformasikan kepada pasien,
agar pasien tidak menggunakan obat secara berkepanjangan karena
penyakitnya belum hilang, padahal sudah memerlukan pertolongan dokter.
h) Hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut,misalnya
pantangan makanan atau tidak boleh minum obat tertentu dalam waktu
bersamaan.
i) Hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat.
j) Cara penyimpanan obat yang baik.
k) Cara memperlakukan obat yang masih tersisa.
l) Cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak.
2) Informasi Non-Obat
Misalnya, informasi non-obat yang perlu disampaikan apoteker
kepada pasien diare antara lain (Depkes, 2006):
a) Minum banyak cairan (air, sari buah, sup bening). Hindari alkohol,
kopi/teh, dan susu.
b) Hindari makanan padat atau makanlah makanan yang tidak berasa (bubur,
roti, pisang) selama 1-2 hari.
c) Minum cairan rehidrasi oral-oralit/larutan gula garam.
d) Cucilah tangan dengan baik setiap habis buang air besar dan sebelum
menyiapkan makanan (diare karena infeksi bakteri/virus bisa menular).
e) Tutuplah makanan untuk mencegah kontaminasi dari lalat,kecoa, dan
tikus.
f) Simpanlah secara terpisah makanan mentah dan yang matang, simpanlah
sisa makanan di dalam kulkas.
g) Gunakan air bersih untuk memasak.
h) Air minum harus direbus terlebih dahulu.
i) Buang air besar pada jamban.
j) Jaga kebersihan lingkungan.
k) Bila diare berlanjut lebih dari dua hari, bila terjadi dehidrasi, kotoran
berdarah, atau terus-menerus kejang perut periksakan ke dokter.
BAB III
KEGIATAN DI PUSKESMAS
Apotek
Etiket
Gudang Obat