Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan berkat dan
rahmat sehingga saya dapat menyelesaikan referat berjudul “Huntington’s Disease” sebagai
sebagian dari Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf.

Ucapan ribuan terima kasih saya ucapkan kepada Dr Fortuna Meita, Sp. S selaku konsulen
Neurologi yang setiap hari membimbing dan membantu kami dalam kepaniteraan di Rumah
Sakit Efarina Etaham. Doctor, you are the best teacher anyone could ever wished for. You are
definitely an idol we look up to!

Referat ini menguraikan tentang Huntington’s Disease, suatu kelainan genetik autosomal
dominan dengan prevalensi yang relatif rendah di masyarakat, namun bersifat progresif dan
fatal. Namun, saya menyadari referat ini masih jauh dari sempurna, justru saran dan masukan
pembaca diperlukan untuk perbaikan referat Huntington’s Disease ini.

Purwakarta, 9 Mei 2013

Heni Ezzawina

1
BAB I: PENDAHULUAN

I.1. Definisi
Huntington’s Disease adalah kelainan autosomal dominant yang progresif dan fatal, ditandai
oleh disfungsi motorik, kognitif, dan perilaku. Huntington’s Disease pertama kali dikenali
secara klinis oleh Waters pada tahun 1842 dan dinamakan dari Dr. George Huntington yang
menggambarkan gejala-gejala secara komprehensif Huntington’s Disease di Long Island,
New York pada 1872.1

I.2. Epidemiologi
HD terjadi di seluruh dunia dan dalam semua kelompok etnis. Beberapa penduduk terpencil
asal Eropa Barat memiliki prevalensi yang sangat tinggi dari HD yang dikatakan akibat dari
“founder effect”, ditambah faktor daerah geografis terisolasi di mana keturunan dari penderita
telah tinggal generasi demi generasi. Ini termasuk kawasan Lake Maracaibo di Venezuela
(700 per 100.000 orang), pulau Mauritius di Afrika Selatan (46 per 100.000 orang), dan
Tasmania (17,4 per 100.000 orang). Prevalensi di sebagian besar negara-negara Eropa
berkisar 1,63-9,95 per 100.000 orang. Prevalensi HD di Finlandia dan Jepang kurang dari 1
per 100.000 orang.2
HD bersifat progresif, menyebabkan kecacatan dan kematian, biasanya dari “intercurrent
diseases”. Usia onset rata-rata berkisar 25 - 45 tahun, tetapi jangkauan mungkin lebih luas.
Onset pada pasien lebih muda dari 10 tahun dan pada pasien yang lebih tua dari 70 tahun
jarang terjadi. Durasi penyakit bervariasi, dengan rata-rata sekitar 19 tahun. Kebanyakan
pasien bertahan hidup selama 10-25 tahun setelah timbulnya penyakit. Namun, jenis kelamin
bukan merupakan predileksi dari HD. Dalam sebuah studi besar, pneumonia dan penyakit
kardiovaskular adalah penyebab utama kematian yang paling umum. 2,3

2
BAB II: PEMBAHASAN

II.1. Etiologi
HD disebabkan oleh peningkatan jumlah polyglutamine (CAG) dengan repetisi > 40 di
coding sequence Huntington gene yang terletak pada lengan pendek kromosom 4. Semakin
besar jumlah repetisi, semakin cepat onset penyakit. Juvenile HD (timbulnya HD pada pasien
lebih muda dari 20 tahun) berkisar sekitar 5-10% dari semua pasien HD. Kebanyakan pasien
dengan juvenile HD mewarisi penyakit itu dari ayah mereka, sedangkan pasien dengan
timbulnya penyakit setelah usia 20 tahun lebih mungkin mewarisi gen dari ibu mereka.
Inheritance dari ayah dapat menyebabkan onset lebih awal pada generasi seterusnya, suatu
fenomena disebut “anticipation”. Hal ini disebabkan oleh ketidakstabilan yang lebih besar
dari alel HD selama spermatogenesis. CAG repeat length berkorelasi terbalik dengan usia
onset.3

Gambar 1: Repetisi CAG pada Huntington Gene


http://hopes.stanford.edu/sites/hopes/files/f_s03repeats.jpg

II.2. Patofisiologi
Huntington gene mengkode “highly conserved” protein Huntingtin yang didistribusi meluas
di neuron dalam CNS, namun fungsi nya tidak diketahui. Biasanya protein Huntingtin terletak
di dalam sitoplasma, dan diasosiasikan dengan permukaan organelles seperti vesicles,
synaptic vesicles, microtubules, dan mitochondria.3,4

3
Gambar 2: Patofisiologi Huntington’s Disease
http://ars.els-cdn.com/content/image/1-s2.0-S1357272510003742-gr1.jpg

HD disebabkan oleh mutasi gen Huntington pada kromosom 4. Terjadinya repetisi CAG
(polyglutamine) yang mengakibatkan transkripsi dan translasi mutant protein strand yang
dinamakan “misfolded mutant Htt”, seterusnya menyebabkan aggregasi di dalam sel.

4
Terdapat beberapa teori atau proposed mechanisms yang menyebabkan neuronal dysfunction
dan cell death dari Huntington’s Disease 4,5:

1) Caspase activation

Translokasi mutant Htt di nucleus meregulasi expresi caspase yaitu suatu tipe cell
death gene yang meregulasi apoptosis sel. Pada penderita HD, caspase diaktivasi di
bagian otak, menyebabkan proteolytic cleavage dari sel target, seterusnya
mengakibatkan disfungsi sel dan kematian sel neuron (gliosis) di basal ganglia
(caudate nuclei, putamen, globus pallidus).

2) Cell excitoxicity

Excitotoxic agents seperti kainic acid (pada animal trials) dan 3-nitroproprionic acid
yang menyebabkan influx calcium ke dalam sel yang menyebabkan kerusakan
mitochondria (impaired energy metabolism), mengakibatkan excitotoxicity oleh
neurotransmitter yaitu glutamate dan NMDA (N-methyl-D-aspartate), seterusnya
mengakibatkan apoptosis sel. Kerusakan mitochondria juga menyebabkan oxidative
stress pada sel-sel neuron.
3) Decreased inhibition
Apoptosis sel-sel neuron di basal ganglia tersebut menyebabkan pengurangan produksi
inhibitory neurotransmitter, GABA (gamma-aminobutyric acid), selanjutnya
mengakibatkan penurunan inhibisi/peningkatan aktivasi dari thalamus. Output
thalamus yang meningkat menyebabkan pergerakan hiperkinetik berlebihan dan tidak
teratur, ataupun nama lainnya chorea.

Secara genetika, Huntington’s Disease adalah suatu trinucelotide repeat disorder.


Trinucleotide repeat ini tidak stabil di dalam gametogenesis, frekuensi repetisi ditransmisi ke
generasi seterusnya, dapat terjadi penurunan atau peningkatan repeats, tetapi biasanya
peningkatan. Pada intermediate alleles, terjadi mutasi spontan yang meningkatkan
kemungkinan mutasi sehingga terjadinya Huntington’s Disease. Ibu yang menderita HD
menurunkan gen mutant ke generasi seterusnya kurang lebih dengan jumlah repetisi yang
sama, namun apabila dari pihak ayah, jumlah repetisi lebih tinggi karena sperm DNA kurag
stabil berbanding DNA sel lain. Offspring yang mendapat gen mutant dari ayah seringkali
menderita juvenile HD (onset HD pada umur < 20 tahun). Lebih tinggi frekuensi repetisi,
lebih awal onset simptom HD dan lebih tinggi kadar degenerasi di basal ganglia.5

5
Pada HD, usia onset adalah sama bagi homozigot dan heterozigot. Namun pada homozigot,
gejala klinis dan progresivitas penyakit lebih cepat, dikatakan karena doubling dari jumlah
protein mutant dan aggregat yang meyebabkan apoptosis sel yang lebih banyak dan cepat.
Kelainan genetik lain dengan expanded trinucleotide repeats CAG adalah Fragile X
Syndrome, Kennedy syndrome (X-linked spinal and bulbar muscular atrophy), myotonic
dystrophy, spinocerebellar atrophies, and dentatorubropallidoluysian atrophy. Patogenesis
sama bagi semua kelainan ini telah disetujui sebagai proposed mechanism, namun masih
belum pasti adakah aggregasi protein di dalam sel neuron adalah faktor toksik atau protektif.
Sepertiga individual penderita HD mempunyai haplotype yang sama, justru menunjukkan
ancestor yang sama. Dua pertiga individual lain kemungkinan besar menderita HD dari mutasi
spontan. Diagnosis HD dapat ditegakkan secara pasti dari DNA/genetic testing, namun diingat
bahwa konseling genetik harus dilakukan pre dan post DNA testing tersebut. Selain itu,
diagnosis prenatal dan preclinical dapat dilakukan sekiranya ada indikasi seperti faktor risiko
dari HD. Hasil dari DNA testing masih tidak dapat dipastikan untuk repetisi CAG borderline
(di antara 30 -35), justru diagnosis dianggap inconclusive.5

II.3. Faktor risiko


Huntington’s Disease adalah kelainan autosomal dominant, maka faktor risiko dari penyakit
ini adalah riwayat penyakit HD dalam keluarga. Adanya riwayat penyakit memberi
kemungkinan 50% untuk menderita HD. 2-5

II.4. Diagnosis
II.4.1. Gambaran klinis
Gejala biasanya muncul antara 35 dan 40 tahun. Kisaran usia saat onset luas, namun terdapat
kasus yang terjadi sejak usia 5 dan hingga akhir usia 70. Tiga manifestasi karakteristik
penyakit adalah gangguan gerakan, gangguan kepribadian, dan deteriorasi mental. Ketiga
mungkin terjadi bersama-sama di awal atau satu mungkin mendahului satu dengan yang lain
dengan pertambahan waktu. Secara umum, timbulnya gejala insidious, dimulai dengan
kecanggungan, menjatuhkan benda, keresahan, lekas marah, kecerobohan, dan mengabaikan
tugas, dan pada perkembangan lanjut ke arah chorea dan dementia. Episode psikotik yang
jelas, depresi, dan perilaku yang tidak bertanggung jawab dapat terjadi. Penurunan berat
badan adalah umum. Penyakit ini cenderung berjalan selama periode 15 tahun, lebih cepat
pada mereka dengan usia yang lebih muda saat onset.5

6
HD ditandai gerakan choreiform yang cepat, nonpatterned/random, dan involunter. Pada tahap
awal chorea cenderung menjadi fokal atau segmental, tetapi berkembang dari waktu ke waktu
untuk melibatkan multiple body regions. Dysarthria, gangguan cara berjalan, dan kelainan
oculomotor adalah gejala umum. Dengan perkembangan penyakit, ada penurunan chorea dan
munculnya distonia, kekakuan, bradykinesia, myoclonus, dan spasticity. Pada pasien yang
lebih muda (sekitar 10% kasus), HD dapat timbul sebagai sindrom rigid-akinetic atau
parkinsonian (Westphall varian). Pasien HD akhirnya mengalami gangguan perilaku dan
kognitif yang dapat menjadi sumber utama kecacatan. depresi dengan kecenderungan bunuh
diri, perilaku agresif, dan psikosis dapat menonjol, dan mayoritas pasien mengalami
demensia.1,6

Pergerakan chorea:
Gejala yang paling mencolok dan ke arah diagnostik penyakit adalah munculnya gerakan
tidak terkendali yang tampak tanpa tujuan dan tiba-tiba, tetapi tidak secepat yang terlihat pada
mioklonus. Otot-otot somatik dipengaruhi secara acak, dan gerakan chorea mempunyai flow
dari satu bagian tubuh ke bagian lain. Otot proksimal, distal, dan aksial yang terlibat. Pada
tahap awal dan dalam bentuk yang kurang severe, ada sedikit ekspresi meringis pada wajah,
gerakan intermiten dari alis dan dahi, mengangkat bahu dari bahu, dan gerakan menyentak
anggota badan. Gerakan pseudopurposeful (parakinesia) terjadi umum dalam upaya untuk
kompensasi gerakan menyentak. Dengan perkembangan penyakit, berjalan dikaitkan dengan
pergerakan lengan dan kaki lebih intens, yang menyebabkan pergerakan seakan-akan menari,
berjingkrak, stuttering gait. kelainan yang sangat karakteristik dengan HD. Motor
impersistence atau inhibitory pauses selama kontraksi volunter mungkin merupakan penyebab
dari “milkmaid grip”, menjatuhkan benda, dan ketidakmampuan untuk menjelirkan lidah.
Gerakan mata menjadi terganggu dengan pengurangan saccades dan hilangnya gerakan mulus
bola mata. Gerakan choreic meningkat dengan rangsangan emosional, hilang selama tidur,
dan menjadi superimposed pada gerakan volunter menjadi sulit. Dengan meningkatnya
keparahan, kegiatan rutin sehari-hari hidup menjadi sulit, seperti berbicara dan menelan. Pada
stadium terminal, gerakan choreic dapat menghilang dan digantikan oleh rigiditas dan
distonia.5

Gejala mental:
Secara karakteristik, ada demensia organik dengan gangguan memori progresif, kehilangan
kapasitas intelektual/fungsi kognitif, apatis, dan tidak memperhatikan kebersihan pribadi.

7
Pada awal penyakit, kelainan profound dapat terdiri dari iritabilitas, perilaku impulsif, dan
depresi atau fits of violence. Pada beberapa pasien, gejala psikotik yang mendominasi adalah
skizofrenia, dan penyebab tidak jelas sampai gerakan choreic berkembang. Gejala psikotik
dan dementia biasanya menyebabkan penderita mebutuhkan bantuan dan terapi lebih lanjut di
rumah sakit jiwa.5

Manifestasi neurologis lain:


Saraf kranial tetap utuh kecuali untuk gerakan mata yang cepat dan selanjutnya dysarthria,
yang terganggu pada sebagian besar pasien. Refleks tendon biasanya normal tetapi mungkin
hiperaktif, respon plantar mungkin abnormal. Tonus otot yang hipotonik pada kebanyakan
pasien kecuali bagi mereka dengan rigid-akinetic (varian Westphal). Dengan onset masa
kanak-kanak (sekitar 10% kasus), rigid-akinetic state yang biasanya terjadi, bukan chorea dan
terjadi kelainan mental dan kejang kejang. Bentuk penyakit ini cepat progresif dengan hasil
yang fatal dalam waktu kurang dari 10 tahun. Pengamatan bahwa 90% dari semua pasien
dengan onset masa kanak-kanak mewarisi penyakit itu dari ayah mereka berasal dari
kemungkinan bahwa peningkatan pengulangan CAG pada sel sperma lebih tinggi. Pada tahap
terminal dari bentuk HD lebih klasik, rigiditas otot dan distonia cenderung menggantikan
chorea, dan kejang juga dapat terjadi.5

Hemiballismus:
Hemiballismus adalah bentu chorea yang lebih violent, dengan gerakan seperti melemparkan,
dengan amplitudo besar pada satu sisi tubuh. Otot ekstremitas proksimal cenderung
didominasi terpengaruh. Gerakan tersebut dapat memberikan efek severe sehingga
menyebabkan kelelahan, dehidrasi, lokal cedera, dan, dalam kasus yang ekstrim, kematian.
Penyebab paling umum adalah lesi parsial (infark atau perdarahan) di STN, tetapi kasus-kasus
juga dapat terlihat dengan lesi di putamen. Untungnya, hemiballismus biasanya self limiting
dan cenderung untuk hilang secara spontan setelah minggu atau bulan. Kondisi ini sulit untuk
diobati secara farmakologis. Obat yang paling konsisten menguntungkan adalah tetrabenazine
(tidak tersedia di Amerika Serikat), haloperidol, propranolol, fenitoin, clonazepam, dan
baclofen. Dalam kasus ekstrim, pallidotomy bisa sangat efektif.6

8
Gambar 3: Grafik perkembangan Huntington’s Disease dengan pertambahan usia dari onset
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1357431098013719

II.4.2. Laboratorium
Pada pemeriksaan rutin darah, urin, dan cairan serebrospinal tidak menunjukkan kelainan.
Pemeriksaan laboratorium lebih digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosa lain
seperti SLE (systemic lupus erythematosus), hyperthyroidism, dan infeksi HIV.4,5

II.4.3 Radiologis
Secara neuropatologis, penyakit ini terutama menyerang striatum. Atrofi nucleus caudatus,
yang membentuk margin lateral ventrikel lateral, bisa divisualisasikan pada studi
neuroimaging pada tahap tengah dan akhir dari penyakit. Atrofi kortikal lebih difus/menyebar
dapat dilihat di akhir penyakit. Radiografi/rontgen dari cranium terlihat normal, namun pada
CT scan dan MRI menunjukkan pembesaran ventrikel dengan karakteristik butterfly
appearance dari venrikel lateralis, hasil dari degenerasi nucleus caudatum. Penderita dengan
akinetic-rigid form menunjukkan striatal hyperintensity pada T2-weighted magnetic
resonance imaging. PET scan menggunakan fluorodeoxyglucose menunjukkan

9
hypometabolism di caudatus dan putamen penderita HD. Abnormalitas pada striatal
metabolism dapat mendahului atrofi nucleus caudate, tetapi positron emission tomography
tidak cukup sensitif untuk mendeteksi kelainan tersebut pada penderita yang pre-simptomatik.

Gambar 3: Pembagian dari neostriatum dan striatum


http://hopes.stanford.edu/sites/hopes/files/f_ah00_hdcascade.gif

Gambar 4: MRI coronal penderita Huntington’s Disease


Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition

10
Kelainan neuropatologis paling dominan pada Huntington’s Disease terjadi pada neostriatum,
di mana atrofi nucleus caudatu, dan putamen disertai dengan selective neuronal loss dan
astrogliosis. Neuronal loss juga dideteksi di korteks serebri. Daerah lain seperti globus
pallidus, thalamus, subthalamic nucleus, substantia nigra, dan cerebellum mempunyai derajat
atrophy yang bervariasi tergantung kepada perkembangan penyakit.5,6

Extent dari gross striatal pathology, neuronal loss, dan gliosis dapat memberikan basis untuk
grading severity Huntington’s Disease (grades 0-4).
Grade Deskripsi

0 No gross striatal atrophy


No detectable histologic neuropathology in the presence of a typical
clinical picture and positive family history suggesting HD

1 No gross striatal atrophy


Neuropathologic changes that can be detected microscopically but
without gross atrophy

2 Striatal atrophy is present, but the caudate nucleus remains convex.

3 Striatal atrophy is more severe, and the caudate nucleus is flat.

4 Striatal atrophy is most severe, and the medial surface of the caudate
nucleus is concave

Tabel 1: Grading Huntington’s Disease.4

II.4.4. Post mortem


Pada pemeriksaan postmortem, otak menyusut dan atrofi, nucleus caudatum adalah struktur
yang paling terkena dampak HD. Korteks serebral menunjukkan hilangnya neuron. Nucleus
caudatum dan putamen adalah struktur dengan kerusakan paling severe, dengan hilangnya
neuron, terutama medium-sized spiny neurons, dan efferents striatal GABA-ergik mereka.
Kerusakan/apoptosis paling awal adalah efferents (mengandung GABA dan enkephalin yang
diproyeksikan ke lateral globus pallidus, yang diduga menyebabkan chorea. Dengan
perkembangan penyakit, efferents striatal yang diproyeksikan ke pallidum medial hilang,
kerusakan ini diperkirakan menyebabkan rigiditas dan distonia pada stadium terminal HD.
Demensia dikaitkan dengan perubahan di kedua korteks serebral dan deep nuclei (yaitu,
demensia subkortikal). Kerusakan yang kurang signifikan terjadi di struktur lain seperti

11
thalamus dan batang otak, namun gliosis tampak pada semua daerah yang terkena.
Intraneuronal inclusions yang mengandungi aggregat ubiquitin dan protein mutant huntingtin
ditemukan dalam nucleus neuron di striatum dan korteks serebral. Namun belum dapat
dipastikan sama ada neuronal inclusions ini merupakan mekanisme protektif atau toksik
dalam sel neuron.4,5

II.5. Diagnosis banding


Sebelum tersedianya tes DNA, HD dapat didiagnosis tanpa kesulitan pada orang dewasa
dengan trias klinis chorea, demensia, dan gangguan kepribadian dan riwayat keluarga
penyakit. Kesulitan muncul ketika sejarah keluarga yang kurang. Pasien mungkin tahu tentang
sejarah keluarga atau mungkin menyangkal sejarah itu. Tes DNA langsung dari gen HD
adalah tes diagnostik yang paling akurat.4

Diagnosis ditegakkan dengan tes genetik dan tes tersebut harus dilakukan oleh seorang
konselor genetik berlisensi. Chorea yang berkembang tanpa riwayat keluarga seharusnya tidak
dikaitkan dengan penyakit Huntington, setidaknya sehingga penyebab lain chorea telah
ditolak secara klinis dan dengan penelitian laboratorium yang sesuai.6

Kondisi-kondisi lain di mana gerakan choreic adalah manifestasi utama sering dapat
dikecualikan atas dasar klinis. Yang paling umum gangguan choreic onset dewasa lainnya
adalah neuroacanthocytosis. Gejala penyakit ini adalah chorea ringan, tics, lidah menggigit,
neuropati perifer, dystonia, peningkatan serum creatine kinase, dan acanthocytes sel darah
merah, dan juga para pasien juga mengalami kejang. Dentatorubralpallidoluysian atrophy juga
dapat menyerupai HD. Selain chorea, gejala penyakit ini adalah mioklonus, ataksia, kejang,
dan dementia. Tiga kelainan genetik, disebut sebagai Huntington disease-like (HDL), telah
diidentifikasi, di mana ada kesamaan klinis dengan HD, tetapi dengan mutasi gen yang
sebelumnya tidak dikenal. Misalnya, HDL2 (MIM 606.438) kelainan pada 16q24.3, repetisi
triplet CTG berkembang dengan cara yang mirip dengan yang HD itu sendiri. Untuk
membedakan semua gangguan fenotip serupa ini, diperlukan tes DNA.4

Sydenham chorea memiliki usia onset lebih dini, adalah self-limiting, dan tidak memiliki
gangguan mental yang khas. Pada pasien yang lebih muda, Sydenham chorea berkembang
setelah infeksi kelompok streptokokus A. Chorea dan mental gangguan terjadi sebagai
manifestasi lupus eritematosus biasanya lebih akut dalam onset, chorea yang lebih lokal dan

12
sering periodik, dan ada karakteristik kelainan serologis dan klinis. Gerakan tak terkendali
terjadi pada pasien kejiwaan pada pengobatan jangka panjang dengan agen neuroleptik (yang
disebut tardive dyskinesia) kadang-kadang menimbulkan masalah diagnostik. Gerakan seperti
itu, bagaimanapun, biasanya berulang (stereotypy), berbeda dengan sifat nonrepetitive dan
acak chorea. Gait biasanya normal pada tardive dyskinesia dan abnormal dalam HD.
Demensia presenile (seperti Alzheimer) serupa dalam gangguan mental, tetapi bahasa lebih
sering terlibat, kelainan aphasic tidak terlihat di awal HD. Mioklonus, daripada chorea,
kadang-kadang terjadi.Kelainan dan gangguan masa kanak-kanak dengan rigiditas, kejang
kejang, dan retardasi mental membutuhkan diferensiasi dari penyakit herediter, seperti
leukodystrophies dan gangliosidosis. Tics, terutama dari Gilles de la Tourette syndrome,
biasanya menimbulkan sedikit masalah dalam gerakan tak terkendali. Chorea nonprogressive
herediter dimulai pada usia anak, tidak memburuk, dan tidak terkait dengan demensia atau
dengan gangguan kepribadian.4

Chorea mungkin berulang di kemudian hari, khususnya berkaitan dengan kehamilan (chorea
gravidarum) atau pengobatan dengan hormon seks. Bentuk paroksismal dari chorea
mempunyai hubungan dengan penyakit vaskuler, hipo-hiperglikemia dan berbagai infeksi dan
gangguan degeneratif. Paroxysmal kinesigenic tardive jarang dan ditandai dengan episode
singkat chorea dipicu oleh gerakan volunter yang tiba-tiba. Terdapat juga report dari kasus
benign senile chorea pada orang tua dan benign inherited chorea of childhood. Namun kondisi
tersebut agak kontroversial, dan penting untuk memastikan bahwa pasien tidak memiliki HD.
Penyebab choreas non-genetik juga dapat dilihat pada pasien dengan hipertiroidisme, berbagai
gangguan autoimun seperti SLE (systemic lupus erythematosus), infeksi termasuk HIV,
perubahan metabolik, polisitemia rubra vera, setelah open heart surgery pada pediatri, dan
dalam hubungannya dengan berbagai obat-obatan (terutama antikonvulsan, kokain, stimulan
SSP, estrogen, dan lithium).1

II.6. Penatalaksanaan
Pengobatan melibatkan pendekatan multidisiplin dengan medis, neuropsikiatri, konseling
sosial, dan genetik untuk pasien dan keluarga mereka. Sampai sekarang, belum ada cara
mengubah proses penyakit atau kejadian fatal. Upaya untuk menggantikan kekurangan dalam
GABA dengan menggunakan agen GABA-mimesis atau inhibitor metabolisme GABA telah
gagal. Pengobatan simtomatik depresi dan psikosis dapat dicapai dengan antidepresan dan
agen antipsikotik atipikal yang khas atau (yaitu, clozapine dan quetiapine). Gerakan choreic

13
dapat dikontrol dengan penggunaan agen neuroleptik termasuk dopamin receptor blocker,
seperti haloperidol dan perphenazine, dan depleters dopamin presynaptic, seperti reserpin dan
tetrabenazine. Penggunaan dopamin receptor blocker kurang diinginkan daripada depleters
karena risiko mengembangkan tardive dyskinesia. Menggunakan obat ini dikombinasikan
dengan pengawasan pasien dalam aktivitas sehari-hari, justru memungkinkan manajemen di
rumah selama tahap awal gangguan ini. Dengan kemajuan penyakit, bagaimanapun, konsul ke
fasilitas psikiatri sering diperlukan.4-6

Tetrabenazine, obat yang mengganggu dengan penyimpanan vesikular amina biogenik, secara
luas digunakan untuk mengobati tardive tersebut. Dosis awal adalah 12,5 mg dua atau tiga
kali sehari secara lisan, meningkat sebesar 12,5 mg setiap 5 hari tergantung pada respon dan
toleransi. Dosis pemeliharaan biasa adalah 25 mg tiga kali sehari. Efek samping termasuk
depresi, hipotensi postural, mengantuk, dan gejala parkinsonian. Tetrabenazine seharusnya
tidak diberikan dalam waktu 14 hari mengambil monoamine oxidase inhibitor dan tidak
diindikasikan untuk pengobatan levodopa-induced dyskinesias. Reserpin dapat mendeplesi
central monoamines tetapi memiliki efek samping lebih buruk, membuat penggunaannya
bermasalah di Penyakit Huntington. Jika digunakan, dosis dibangun secara bertahap antara 2
mg dan 5 mg oral setiap hari, tergantung pada respon. Pengobatan dengan obat memblokir
dopamin reseptor, seperti fenotiazin atau haloperidol, dapat mengontrol dyskinesia dan
gangguan perilaku. Pengobatan haloperidol biasanya dimulai dengan dosis 1 mg sekali atau
dua kali sehari secara oral, yang kemudian meningkat setiap 3 atau 4 hari tergantung pada
respon. Sebagai alternatif, agen antipsikotik atipikal seperti quetiapine (meningkat dari 25 mg
sehari oral sampai 100 mg dua kali sehari secara oral seperti ditoleransi) dapat diberikan.
Amantadine dalam dosis 200 mg sampai 400 mg sehari oral kadang-kadang membantu untuk
chorea. Gangguan perilaku dapat dikurangkan dengan clozapine. Upaya untuk
mengkompensasi kekurangan GABA relatif dengan meningkatkan aktivitas GABA pusat atau
untuk mengkompensasi yang kolinergik underactivity relatif dengan memberikan kolin
klorida belum membantu. Strategi neuprotective masih dalam tahapan penelitian. Offspring
harus ditawarkan konseling genetik. Tes genetik memungkinkan deteksi presymptomatic dan
definitif diagnosis penyakit.1

14
Gambar 5: Target terapeutik berdasarkan proposed mechanism Huntington’s Disease
http://journals.cambridge.org/fulltext_content/ERM/ERM5_20/S1462399403006549sup003.gif

15
Menangani Huntington’s Disease secara suportif merupakan suatu pada penderita, anggota
keluarga dan individu yang terlibat. Dengan perkembangan penyakit, penderita akan lebih
bergantung kepada perawat dan orang di sekitarnya untuk survival dan kualitas hidup yang
baik. Beberapa isu yang dipertimbangkan 4,7:

 Makanan dan gizi:


Orang dengan penyakit Huntington sering mengalami kesulitan mempertahankan berat
badan yang sehat. Kesulitan makan terjadi dan untuk mendapatkan nutrisi yang cukup,
lebih dari tiga kali sehari mungkin diperlukan. Kesulitan mengunyah, menelan dan
keterampilan motorik halus dapat membatasi jumlah makanan yang dimakan dan
meningkatkan risiko tersedak. Masalah dapat diminimalkan dengan menghilangkan
distractions selama makan dan memilih makanan yang mudah untuk makan. Peralatan
dirancang untuk orang dengan keterampilan motorik halus terbatas dan cangkir
ditutupi dengan sedotan atau spouts minum juga dapat membantu. Namun pada
akhirnya, orang dengan penyakit Huntington akan memerlukan bantuan dengan makan
dan minum.
 Mengelola gangguan kognitif dan kejiwaan:
Keluarga dan perawat dapat membantu menciptakan lingkungan yang dapat
membantu seseorang dengan penyakit Huntington menghindari stres dan mengelola
tantangan kognitif dan perilaku.
Strategi ini termasuk: Menggunakan kalender dan jadwal untuk membantu menjaga
kegiatan rutin, mengidentifikasi dan menghindari stres yang bisa memicu ledakan,
lekas marah, depresi atau masalah lain, menciptakan lingkungan yang setenang,
sederhana dan terstruktur mungkin, memulai tugas dengan reminder, memprioritaskan
atau mengorganisir pekerjaan atau kegiatan.
Untuk anak-anak usia sekolah atau remaja, konsultasi dengan staf sekolah untuk
mengembangkan rencana pendidikan individu yang sesuai, dan memberikan
kesempatan bagi seseorang untuk mempertahankan interaksi sosial dan persahabatan
sebanyak mungkin.

16
II. 7. Pencegahan

Jika orang tua yang berisiko sedang mempertimbangkan tes genetik, hal ini sangat membantu
untuk bertemu dengan seorang konselor genetik. Seorang konselor genetik akan membahas
potensi risiko dari hasil tes positif, yang akan menunjukkan orang tua akan mewariskan
penyakit. Juga, pasangan perlu membuat pilihan tambahan tentang apakah akan memiliki
anak atau untuk mempertimbangkan alternatif, seperti tes kehamilan untuk gen atau fertilisasi
in vitro dengan donor sperma atau telur. Pilihan lain untuk pasangan adalah fertilisasi in vitro
dan diagnosis praimplantasi genetik. Dalam proses ini, telur dikeluarkan dari ovari dan
difertilisasi dengan sperma ayah di laboratorium. Embrio diuji untuk kehadiran gen
Huntington, dan hanya hasil tes negatif untuk gen Huntington akan diimplantasi di dalam
uterus ibu. Namun metode ini masih dalam isu kontroversial karena dianggap sebagai aborsi
di sesetengah negara.7

II.8. Prognosis
Prognosis Huntington’s Disease tergantung kepada repats frequency CAG (polyglutamine).
Lebih banyak jumlah repetisi, lebih cepat progresivitas penyakit. Oleh karena Huntington’s
Disease adalah penyakit autosomal dominant yang progresif dan fatal, rata-rata pasien dapat
hidup sekitar 10 hingga 25 tahun. Biasanya penderita meninggal disebabkan intercurrent
diseases seperti penyakit-penyakit infeksi, atau efek Huntington’s Disease sendiri ke atas
badan penderita seperti choking dan pergerakan involunter yang membahayakan pasien yang
dapat mengakibatkan trauma.4,7

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al.
Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition. United States of America:
McGraw-Hill; 2008. p. 2560-3
2. Wexler NS, Lorimer J, Porter J, Gomez F, Moskowitz C, Shackell E, et al. Venezuelan
kindreds reveal that genetic and environmental factors modulate Huntington's disease
age of onset. Proc Natl Acad Sci U S A. Mar 9 2004; 101(10): p. 3498-503.
3. Wexler NS, Young AB, Tanzi RE, Travers H, Starosta-Rubinstein S, Penney JB, et al.
Homozygotes for Huntington's disease. Nature. Mar 12-18 1987; 326 (6109): p. 194-7
4. Revilla FJ, Grutzendler J, Larsh TR. Huntington Disease. Retrieved from
http://emedicine.medscape.com/article/1150165-clinical on 9th May 2013
5. Rowland PL. Merritts’s Neurology 11th Edition. New York: Lippincott Williams and
Wilkins; 2005. p. 803-7
6. Papadakis MA, McPhee SJ. Current Medical Diagnosis and Treatment 52nd Edition.
United States of America: McGraw-Hill Companies; 2013. p. 1001-3
7. Huntington’s Disease. Retrieved from http://www.mayoclinic.com/health/huntingtons-
disease on 11th May 2013

18

Anda mungkin juga menyukai