1
1
Globin adalah suatu protein yang terdiri dari dua pasang rantai
polipeptida, yang terdiri dari 2 pasang rantai dengan jumlah, jenis dan
urutan asam amino tertentu. Masing-masing rantai polipeptida mengikat
satu gugus heme. Gen globin memiliki rantai α mempunyai 141 asam
amino dan rantai β mempunyai 146 asam amino.4
b. Struktur
Hemoglobin terdiri dari 4 molekul zat besi (heme), 2 molekul rantai globin
alpha dan 2 molekul rantai globin beta. Orang dewasa normal membentuk
HB A (Adult = A1). Kadarnya mencapai kurang lebih 95% dari seluruh
hemoglobin. Sisanya terdiri dari Hb A2 yang kadarnya tidak lebih dari 2%
sedangkan HbF (Foetus) setelah lahir senantiasa kadar menurun dan pada
usia 6 bulan ke atas mencapai kadar seperti orang dewasa, yaitu tidak lebih
dari 4% pada keadaan normal.1,2
Tetramer globin Hb A1 terdiri atas rantai polipeptida: 2 rantai alfa dan 2
rantai beta (alfa-alfa/beta-beta), sedangkan polipeptida Hb A2 terdiri dari 2
rantai alfa dan 2 rantai delta (alfa-alfa/ delta-delta). Pada Hb F: tetramer ini
terdiri atas 2 rantai alfa dan 2 rantai gama (alfa-alfa/ gama-gama).1
c. Fungsi
d. Sintesis
Proses sintesis hemoglobin yang normal memerlukan cadangan zat besi
yang mencukupi dan produksi protoporphyrin dan globin yang normal.
Proses sintesis protoporphyrin dimulai di dalam mitokondria dengan
pembentukan delta aminolevulenic acid (δALA) daripada glycine dan
succinyl-CoA yang berasal dari siklus asam sitrat. Seterusnya, proses
dilanjutkan dengan pembentukan porphobilinogen, uroporphyrin dan
coproporphyrin yang terjadi di sitoplasma sel. Dua molekul δALA bergabung
membentuk porphobilinogen yang mengandung satu rantai pyrrole. Melalui
proses deaminasi, empat prophobilinogen digabungkan menjadi
hydroxymethyl bilane, yang kemudiannya dihidrolisis menjadi uroporphyrin.
Uroporphyrin kemudiannya mengalami dekarboksilasi menjadi coporphyrin.
Enzim coporphyrin oxidase mengoksidasi coporphyrin kepada
protpoporphyrinogen. Protoporphyrinogen seterusnya dioksidaksikan
membentuk protoporphyrin. Proses terakhir adalah penggabungan rantai
protoporphyrin dengan ion ferous, Fe2+ lalu membentuk molekul Heme.
Proses ini berlaku di dalam mitokondria (Hillman, Ault dan Rinder, 2005).
Rantai globin pula digabungkan oleh ribosom sitoplasmik yang dikawal
oleh dua kluster gene pada kromosom 11 dan 16. Hasil akhirnya adalah
molekul globin yang tetramer yaitu dua rantai α-globin dan dua rantai non-
α-globin. Penggabungan molekul hemoglobin ini berlaku di sitoplasma sel.
Terdapat sebilangan kecil zat besi, protoporphyrin dan rantai globin bebas
yang tersisa selepas proses sitesis hemoglobin selesai. Zat besi tersebut
disimpan sebagai ferritin dan porphyrin pula diubah kepada zinc (Hillman,
Ault dan Rinder, 2005).
e. Kelainan
c. Epidemiologi
Penyakit thalassemia ini tersebar luas di daerah mediteranian seperti
Italia, Yunani Afrika bagian utara, kawasan Timur Tengah, India Selatan,
SriLangka sampai kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, daerah ini
di kenal sebagai kawasan thalassemia. Frekuensi thalassemia di Asia
Tenggara adalah antara 3-9% (Tjokronegoro, 2001).
Gen untuk thalassemia-β ternyata tersebar luas di dataran Cina tidak
terbatas pada propinsi Guangdong, seperti di duga semula. Seperti
halnya di Muang Thai, thalassemia Hb E tidak jarang terdapat di bagian
Selatan Cina. Frekuensi thalassemia terbesar berpusat di daerah
perbatasan Muang Thai, Laos dan Kamboja dengan frekuensi sebesar 50-
60% dan juga tersebar di daerah lain Asia Tenggara dengan frekuensi
yang makin berkurang di daerah yang lebih jauh (Tjokronegoro, 2001).
Thalassemia di dapat pula pada orang Negro di Amerika Serikat. Pada
daerah-daerah tertentu di Italia dan di negara-negara mediteranian
frekuensi carrier. Thalassemia beta dapat mencapai 15-20%. Di Muang
Thai 20% penduduknya mempunyai satu atau jenis lain talasemia alfa.
Frekuensi gen untuk Indonesia belum jelas. Di duga sekitar 3-5%, sama
seperti Malaysia dan Singapura. Iskandar wahidayat (1979) melaporkan
bahwa di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta di dapat kasus
baru thalassemia beta per tahun. Di Rumah Sakit Dr. Sutomo, Surabaya
lebih sering di jumpai thalassemia beta Hb E. Hb E trait di Rumah Sakit
Dr. Sutomo adalah 6,5% (frekuensi pada suku Batak, relatif rendah).
Selama 15 tahun Untario mencatat seluruhnya 134 kasus thalassemia
beta.
Untuk talasemia alfa di daerah perbatasan Muang Thai dan Laos
frekuensinya berkisar 30-40%, kemudian tersebar dalam frekuensi lebih
rendah di Asia Tenggara termasuk Indonesia (Tjokronegoro, 2001).
Talasemia Beta
Lebih 150 mutasi telah diketahui tentang Talasemia β, sebagian
besar disebabkan perubahan pada satu basa, delesi atau insersi 1-2 basa pada
bagian yang sangat berpengaruh. Hal ini bisa terjadi pada intron, ekson
ataupun diluar gen pengode (Permono, & Ugrasena, 2006).
Satu substitusi disebut mutasi non sense menyebabkan perubahan satu basa
pada ekson yang mengode kodon stop pada mRNA. Hal ini menyebabkan
terminasi sintesis rantai globin menjadi lebih pendek dan tidak tahan lama.
Satu mutasi lain yang disebut frameshift menyebabkan 1-2 basa tidak dibaca
sehingga menghasilkan kodon stop baru. Mutasi pada intron, ekson atau
perbatasannya, mengganggu pelepasan ekson dari prekursor mRNA. Misalnya
satu substitusi pada GT atau AG pada intron- ekson junction mengganggu
pemisahan, beberapa mutasi pada bagian ini menyebabkan penurunan
produksi β globin. Mutasi pada sekuen ekson menjadi menyerupai intron-ekson
junction mengaktivasi terjadinya pemisahan. Misalnya sekuen yang
menyerupai IVS-1 dan kodon 24-27 pada ekson 1 gen globin β, mutasi pada
kodon 19 (A-G), 26 (G-A) dan 27 (G-T) menyebabkan penurunan jumlah mRNA
karena splicing abnormal dan substitusi asam amino pada mRNA normal yang
diterjemahkan menjadi protein. Hemoglobin abnormal yang dihasilkan adalah
hemoglobin Malay, E dan Knossos yang memberikan fenotip Talasemia β minor
(Permono, & Ugrasena, 2006).
Substitusi satu basa juga terjadi pada bagian kosong gen globin β.
Bila mengenai bagian promoter, menurunkan jumlah transkripsi gen
globin β dan menyebabkan Talasemia β minor. Mutasi pada bagian akhir (3’)
mempengaruhi prosesing mRNA dan menyebabkan Talasemia β mayor
(Permono, & Ugrasena, 2006).
Talasemia Alfa
Patologi molekular dan genetik pada Talesemia α lebih komplek dari Talesemia
β, karena adanya 2 gen α globin pada tiap pasang kromosom 16. Genotip
normal α globulin digambarkan αα/αα. Talasemia αo, disebabkan beberapa
delesi pada 2 gen tersebut. Homozigot dan heterozigot digambarkan -/- dan -
/αα. Jarang sekali Talasemia αo disebabkan oleh delesi gen bagian yang mirip
LCR α globin, 40 kb di atas kumpulan gen α globin atau pemutusan lengan
pendek kromosom 16 (Permono, & Ugrasena, 2006).
Pada beberapa kasus terjadi delesi pada 1 bagian dari pasangan gen α globulin,
sedangkan yang lain utuh – α/αα. Lainnya memiliki 2 gen globin tapi salah satu
mengalami mutasi sehingga menyebabkan inaktivasi sebagian atau seluruhnya
αTα/αα (Permono, & Ugrasena, 2006).
Delesi pada Talasemia α+ diklasifikasikan lebih lanjut dengan 2 varian umum
yang menyebabkan hilangnya 3,7 atau 4,2 kb dari DNA, disebut sebagai –α3,7
dan – α4,2. Diketahui kemudian bahwa bentuk tersebut sangat heterogen
tergantung dari kelainan genetik yang mendasari delesi. Delesi ini diduga dari
penggabungan dan crossing over pasangan gen tersebut saat meiosis.
Menghasilkan kromosom dengan satu α dan kromosom lain dengan triple α
(Permono, & Ugrasena, 2006).
d. Klasifikasi
Thalasemia diklasifikasikan berdasarkan molekuler menjadi dua yaitu
thalasemia alfa dan thalasemia beta.
1. Thalasemia Alfa
Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh globin
rantai alfa yang ada. Thalasemia alfa terdiri dari :
c. Hb H Disease
Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi mulai
tidak ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang disertai
dengan perbesaran limpa.
Terjadi delesi 3 gen dari 4 alpha-globin.
Manifestasi klinisnya berupa anemia hemolitik kronis (Hb 70-11
g/L) disertai dengan splenomegaly dan kadang-kadang
hepatomegaly. Perubahan tulang yang berat serta retardasi
pertumbuhan yang tidak biasa.
Sediaan darah tepi menunjukan sel darah merah mikrositik
hipokromatik, disertai poikilositosis, polkromasia dan sel target.
2. Thalasemia Beta
Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua
rantai globin beta yang ada. Thalasemia beta terdiri dari :
b. Thalasemia Intermedia.
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi
sedikit rantai beta globin. Penderita mengalami anemia yang
derajatnya tergantung dari derajat mutasi gen yang terjadi.
c. Thalasemia Mayor.
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat
memproduksi rantai beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika
berumur 3 bulan berupa anemia yang berat. Penderita thalasemia
mayor tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup sehingga
hampir tidak ada oksigen yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh,
yang lama kelamaan akan menyebabkan kekurangan O2, gagal
jantung kongestif, maupun kematian. Penderita thalasemia mayor
memerlukan transfusi darah yang rutin dan perawatan medis demi
kelangsungan hidupnya (Dewi.S 2009 dan Yuki 2008).
Menyebabkan anemia berat (Hb <70g/dl)
Dikenal dengan Cooley’s anemia
Manifestasi klinis meliputi pucat, sering infeksi, kurang nafsu
makan, gagal tumbuh, jaundice (menguningnya kulit dan putih
mata), pembesaran organ.
Penderita beta-thalassemia major memerlukan transfusi darah
rutin
Patogenesis
Talasemia merupakan sindrom kelainan yang disebabkan oleh
gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau dekat gen
globin. Pada Talasemia mutasi gen globin ini dapat menimbulkan
perubahan rantai globin α dan β, berupa perubahan kecepatan sintesis
(rate of synthesis) atau kemampuan produksi rantai globin tertentu,
dengan akibat menurunnya atau tidak diproduksinya rantai globin
tersebut. Perubahan ini diakibatkan oleh adanya mutasi gen globin pada
clusters gen α atau β berupa bentuk delesi atau non delesi. Walaupun
telah lebih dari dua ratus mutasi gen Talasemia yang telah diidentifikasi,
selalunya pada analisis DNA Talasemia dapat ditentukan jenis mutasi
gennya. Hal inilah yang merupakan kendala terapi gen pada Talasemia
(Atmakusuma, & Setyaningsih, 2009).
Cluster gen-α terletak pada kromosom 16. Ia terdiri atas gen-ζ
fungsional dan dua gen-α (α1 dan α2). Exon kedua gen globin-α memiliki
sekuens yang identikal. Produksi mRNA α2 melebihi produksi mRNA α1,
oleh faktor 1,5 ke 3 (Atmakusuma, & Setyaningsih, 2009).
Cluster gen β terletak pada kromosom 11. Ia terdiri atas satu gen ε
fungsional, gen Gã, gen Aã, genδ dan gen β. Flanking regions
mengandung conserved sequences, penting untuk ekspresi gen
(Atmakusuma, & Setyaningsih, 2009).
Cluster gen globin diatur oleh mekanisme kontrol yang kompleks.
Transkrip primer adalah prekursor mRNA yang besar, dengan kedua
sekuens intron dan exon, yang secara ekstensif diproses di dalam nukleus
untuk menghasilkan mRNA akhir (Atmakusuma, & Setyaningsih, 2009).
Globin-β yang diproduksi dalam konsentrasi rendah mulai minggu
ke 8 sampai ke 10 masa fetus dan sangat meningkat pada gestasi 39
minggu. Globin- yang diproduksi dalam konsentrasi pada awalnya,
mulai menurun pada gestasi 36 minggu. Pada saat kelahiran, globin-β
dan globin- diproduksi dsecara seimbang. Pada usia 1 tahun, produksi
globin- kurang dari 1 persen dari produksi globin non-α total.
Mekanisme perubahan tidak jelas, mungkin melibatkan “a time clock”
dalam sel asal (stem cells) hemopoiesis. Sintesis hemoglobin fetal dapat
direaktivasi pada orang dewasa bila terjadi stress hemopoiesis
(Atmakusuma, & Setyaningsih, 2009).
f. Manifestasi Klinis
Pada penderita thalasemia, menurut James dan Ashwill (2007) akan
ditemukan beberapa kelainan diantaranya:
g. Faktor Resiko
Diagnosis Banding
i. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
1) Anamnesis
a. Anemia sejak masa bayi, biasanya tampak setelah umur 6 bulan.
Pertumbuhan kurang, perut buncit, aktifitas fisik kurang.
b. Dari anamaesis keluarga sering terungkap adanya anggota
keluarga dengan gambaran penyakit serupa.
2) Pemeriksaan Fisik
a. Anak tampak anemia (konjungtiva pucat), fragil dengan
ekstrimitas kecil-kecil, perut membuncit.
b. Facies mongoloid, hipertelorismus, rodent like appearance.
c. Splenomegali, mungkin juga hepatomegali.
3) Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
a) Darah tepi
Hb rendah dapat mencapai 2-3 gr %
Gambaran morfologi eritrosit: mikrositik hipokromik, sel
target, anisositosis berat dengan makrovaloositosis,
mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda
Howell-jolly, poikilositosis dan sel target. Gambaran ini
lebih kurang khas.
Normoblas di daerah tepi terutama jenis asidofil
(perhatikan normoblas adalah sel darah merah yang masih
berinti sehingga ikut terhitung pada perhitungan lukosit
dengan bilik hitung adalah AL lebih tinggi dari pada
sebenarnya).
Retikulosit meninggi
b) Susunan Tulang (tidak menentukan diagnosis)
Hiperplasi sistem eritropoesis dengan normoblas terbanyak
dari jenis asidofil.
Granula Fe (dengan pengecatan Prussian Blue) meningkat.
c) Pemeriksaan Khusus
HbF meninggi: 20-90% Hb total (alkali denaturasi).
Elektroforesis Hb untuk menunjukkan hemoglobinopati
yang lain maupun mengukur kadar HbF.
Pemeriksaan pedigree untuk memastikan diagnosis: kedua
orang tua pasien thalassemia mayor merupakan trait
(carier) dengan HbA2 meninggi (> 3,5 dari Hb total).
d) Pemeriksaan Lain
Fragilitas eritrosit terhadap larutan NaCl menurun.
b. Pemeriksaan Molekuler
Terdapat ketidakseimbangan produksi rantai polipeptida globin
(fenotif).
c. Pemeriksaan Röntgen
Foto Rö tulang kepala menunjukkan gambaran hair on end
kortex menipis, diploe melebar dengan traberkula tegak lurus
pada korteks.
Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang menunjukkan
perluasan sumsum tulang ® trabekula tampak jelas.
Riwayat penyakit
(ras, riwayat keluarga, usia awal penyakit, pertumbuhan)
Pemeriksaan fisik
(pucat, ikterus, splenomegali, deformitas skeletal, pigmentasi
Elektrofosresis hemoglobin
(Adanya Hb abnormal, termasuk analisis pada pH 6-7 untuk HbH dan Hb Barts)
j. Penatalaksanaan
Pengobatan untuk menyembuhkan thalasemia belum ditemukan, namun
secara umum penatalaksaan untuk penyakit thalasemia (James &
Ashwill, 2007; Potts & Mandleco, 2007; Hockenberry & Wilson, 2009)
adalah :
Dimulai jika: feritin ≥ 1000 ng/ml atau saturasi transferin ≥ 55% atau
sudah menerima 3-5 liter/10-20x transfusi PRC DFO
Dosis:
- Dewasa & anak ≥ 3 th : 30-50 mg/kgBB/hari, 5x seminggu
subkutan selama 8-12 jam syringe pump (jk syringe pump (-)
larutkan NaCl 0,9% 500 cc melalui infuse 8-12 jam)
- Anak < 3 th : 15-25 mg/kgBB/hari dgn monitoring ketat
- Ggn fungsi jantung : 60-100 mg/kgBB/hari i.v.
- Hamil : hentikan, kecuali ggn fungsi jantung berat, berikan kembali
pada trimester akhir 20-30 mg/kgBB/hari
Jika pasien tidak patuh:
- Deferiprone 75-100 mg/kgBB/hari 3 x sehari sesudah makan atau
- Deferasirox 20-30 mg/kgBB/hari 1 x sehari
Jika feritin > 3000 ng/ml yg bertahan minimal 3 bln, kardiomiopati
akibat kelebihan besi kombinasi DFO dan deferiprone
k. Komplikasi
Komplikasi akibat pemberian darah transfuse secara berulang.
Transfusi darah yang dibutuhkan klien thalasemia berupa PRC (Packed
Red Cell), yang diberikan secara rutin setiap kadar Hb klien turun
dibawah normal (< 10 mg/dl) sebanyak 10-20 cc/kgBB.
1) Hemosiderosis,
yaitu penumpukan Fe dalam organ baik itu dalam hepar (berakibat
hepatomegali), spleen (berakibat splenomegali), jantung, pancreas, atau
kelenjar hypofise (penurunan growth hormone).
2) Hemocromatosis,
yaitu penumpukan Fe di bawah kulit sehingga warna kulit tampak hitam
keabuan.
Penumpukan Fe tersebut dapat dikurangi atau dicegah dengan
pemberian chelating agent yaitu dengan pemasangan desferal, dimana
kelebihan Fe ini akan dapat terbuang melalui urin dan feces.
l. Pencegahan
Tubuh Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan dua tahap strategi
dalam pencegahan thalassemia. Tahap pertama melibatkan
pengembangan kaedah yang sesuai untuk diagnosa pranatal dan
menggunakannya untuk mengenal dengan pasti pasangan yang
mempunyai risiko tinggi misalnya mereka yang telah mempunyai anak
dengan penyakit thalassemia. Tahap kedua melibatkan penyaringan
penduduk untuk mengenal pasti pembawa dan memberi penjelasan
kepada mereka yang mempunyai resiko. Seterusnya menyediakan
diagnosis pranatal sebelum mereka mempunyai anak-anak yang
mengidap thalassemia. Hal ini bisa menurunkan jumlah bayi yang
mengidap thalassemia (Rusepno, 1985).
m. Prognosis
Talasemia beta homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan
jarang mencapai usia dekade ke – 3. Walaupun digunakan antibiotik
untuk mencegah infeksi dan pemberian Chelating agents
untuk mengurangi hemosiderosis. Apabila dikemudian hari transplantasi
sum – sum tulang dapat diterapkan maka prgnosis akan baik karena
diperoleh penyembuhan.
Talasemia mayor pada umumnya prognosa jelek, biasanya orang
dengan talasemia mayor jarang mencapai umur dewasa walaupun ada
yang melaporkan bahwa dengan mempertahankan kadar Hb yang tinggi
dapat memperpanjang umur penderita sampai 20 tahun.
Sumber:
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/03/pemasangan_desferal.pdf
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20280932-T%20Ganis%20Indriati.pdf
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/146/jtptunimus-gdl-ekowidyast-7282-3-
babii.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/718/1/08E00109.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/2063/1/08E00848.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31348/5/Chapter%20I.pdf
https://www.us.elsevierhealth.com/media/us/samplechapters/9780443103629/978
0443103629.pdf