Anda di halaman 1dari 14

EMOSI

A. Pengertian Emosi

Emosi sering diistilahkan juga sebagai perasaan (Atkinson, 1997; Waleito, 2001).
Atas hal ini dikatakan bahwa emosi biasanya disifatkan sebagai suatu keadaan (state)
dari diri seseorang pada suatu waktu. Misalnya saja, seseorang merasa senang, sedih,
terharu, dan sebagainya bila melihat sesuatu, mendengar sesuatu, dan bahkanmencium
sesuatu. Singkat kata, emosi disifatkan sebagai suatu keadaan mental sebagai akibat
adanya peristiwa peristiwa yang pada umumnya datang dari luar; dan peristiwa
peristiwa tersebut pada umumnya menimbulkan kegoncangan-kegoncangan pada diri
orang tersebut.

Atkinson mengungkapkan bahwa emosi merupakan perasaan yang paling mendasar


yang dialami seseorang. Ini digambarkannya dalam bentuk kebahagiaan dan
kemarahan. Emosi dan motif memiliki hubungan yang erat, di mana emosi dapat
mengaktifkan dan mengarahkan perilaku dalam cara yang sama seperti yang
dilakukan motif dasar. Emosi juga dapat menyertai perilaku termotivasi. Misalnya
seks; di mana seks tidak hanya merupakan motif yang kuat, namun juga merupakan
sumber kebahagiaan yang potensial (Atkinson, 1997).

Meskipun berhubungan erat, motif dan emosi merupakan dua hal yang berbeda.
Perbedaan dapat dilihat berdasar sumber aktivitasnya, pengalaman subjektif, dan
efeknya terhadap perilaku. Perbedaan yang pertama antara motif dan emosi adalah
bahwa emosi dipicu dari luar, sementara motif dibangkitkan dari dalam. Ini artinya
bahwa emosi biasanya dibangkitkan oleh peristiwa eksternal dan reaksi emosional
ditujukan kepada peristiwa tersebut. Sebaliknya, motif dibangkitkan oleh peristiwa
internal dan secara alami ditujukan ke arah objek tertentu di lingkungan, seperti
makanan, air, atau pasangan. Perbedaan lainnya dari motif dan emosi adalah bahwa
motif biasanya dibangkitkan oleh kebutuhan spesifik, sedangkan emosi dapat
dibangkitkan oleh berbagai jenis stimuli. Dalam hal ini kita bisa membayangkan
semua hal yang dapat membuat kita marah. Namun demikian perbedaan tersebut
sifatnya tidaklah mutlak. Sumber eksternal kadang-kadang memicu suatu motif.
Misalnya saja saat melihat makanan dapat menimbulkan rasa yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan homeostatik seperti rasa lapar berat, dapat membangkitkan emosi

B. Bagaimana Kondisi Fisiologis Ketika emosi

Bagian ini akan menjelaskan tentang bagian-bagian fisiologis yang dapat berubah
ketika seseorang sedang mengalami emosi kuat. Jika kita mengalami suatu emosi
kuat, seperti rasa takut atau marah, kita tentunya merasakan sejumlah perubahan pada
tubuh. Sebagian besar perubahan fisiologis selama rangsangan emosional terjadi
akibat aktivasi cabang simpatik dari sistem saraf otonomik untuk mempersiapkan
tubuh melakukan tindakan darurat. Dalam hal ini, sistem simpatik bertanggung jawab
untuk terjadinya perubahan- perubahan berikut. Perubahan-perubahan tersebut tentu
tidak harus terjadi sekaligus.

 Tekanan darah dan kecepatan denyut jantung meningkat.

 Pernapasan menjadi lebih cepat.

 Pupil mata mengalami dilatasi.

 Keringat meningkat sementara sekresi saliva dan mucus menurun lebih


banyak.

 Kadar gula darah meningkat untuk memberikan energi


 Darah membeku lebih cepat untuk persiapan kalau-kalau terjadi

 Motilitas saluran gastrointestinal menurun; darah dialihkan dari lambung dan


usus ke otak dan otot rangka

 Rambut di kulit menjadi tegak, menyebabkan 'merinding'

Sistem saraf simpatis mempersiapkan organisme untuk mengeluarkan energi. Saat


emosi menghilang, sistem parasimpatik (sistem penghemat energi) mengambil alih
dan mengembalikan organisme pada keadaan normal.

Di sisi lain aktivitas sistem saraf otonomik dipicu oleh aktivitas di daerah otak
tertentu, termasuk hipotalamus dan sistem limbik. Impuls dari area-area tersebut
ditransmisikan ke nuklei di batang otak yang mengendalikan fungsi sistem saraf
otonomik, sistem saraf otonomik kemudian bekerja langsung pada otot dan organ
internal untuk menimbulkan beberapa perubahan tubuh yang dijelaskan diatas, dan
bekerja secara tidak langsung dengan menstimulasi hormone adrenal untuk
menimbulkan perubahan tubuh lainnya.

Jenis rangsangan fisiologis yang meningkat sebagaimana dijelaskan di atas


merupakan karakteristik untuk keadaan emosional seperti marah dan ketakutan, di
mana organisme harus bersiap-siap melakukan tindakan, misalnya melawan atau
melarikan diri (fighting atau flight). Beberapa respons yang sama juga terjadi selama
pengalaman yang menyenangkan atau rangsangan seksual. Namun selama emosi kuat
seperti kesedihan atau duka cita, sebagian proses tubuh mungkin tertekan atau
menjadi lambat,
C. Komponen Emosi

Ini mungkin akan membuat kita cukup tertarik. Mengapa? Karena ini dapat
membawa kita pada pemahaman pada kondisi seseorang: dan dengan pemahaman
tersebut akan memudahkan kita dalam bertindak. Misalnya, kita ingin meminta
sesuatu kepada orang tua. Untuk hal tersebut ada baiknya kita melihat kondisi orang
tua apakah sedang merasa bahagia, marah, atau bagaimana, Jika kita meminta sesuatu
kepada seseorang dalam keadaan tidak bahagia atau bahkan sedang dalam kondisi
marah, maka jangan berharap kita akan memperoleh apa yang kita inginkan. Untuk itu
kita perlu mengenal kondisi seseorang yang akan kita ajak komunikasi atau akan
diminta sesuatu dengan cara mengetahui komponen emosi kuat yang sedang
dialaminya.

Emosi yang kuat mencakup beberapa komponen umum yaitu reaksi tubuh, kumpulan
pikiran dan keyakinan yang menyertai emosi, ekspresi wajah, dan reaksi terhadap
sebuah pengalaman,

 Reaksi tubuh. Jika marah misalnya, maka tubuh kita kadang kadang gemetar
atau suara kita menjadi meninggi, walaupun kita tidak menginginkannya.

 Kumpulan pikiran dan keyakinan yang menyertai emosi biasanya terjadi


secara otomatis. Mengalami suatu kebahagiaan, seringkali melibatkan
pemikiran tentang alasan kebahagiaan itu; misalnya, "saya berhasil, saya
diterima di perguruan tinggi!"

 Ekspresi wajah. Jika kita merasa muak atau jijik misalnya, kita mungkin
mengerutkan dahi, membuka mulut lebar-lebar, dan kelopak mata sedikit
menutup.
 Reaksi terhadap sebuah pengalaman Ini mencakup reaksi spesifik dan reaksi
yang lebih global. Misalnya, kemarahan mungkin menyebabkan agresi
(spesifik), dan mungkin menggelapkan pandangan kita terhadap realitas sosial
(global).

Meskipun para ahli telah mengidentifikasi komponen- komponen dari emosi,


namun demikian, masih terdapat banyak pertanyaan kritis yang selalu menjadi
perdebatan, misalnya menyangkut sifat detail dari komponen-komponen emosi,
bagaimana hubungan antar komponen tersebut, dan bagaimana pengalaman subjektif
dari suatu emosi. Lebih lanjut lagi, pertanyaan yang seringkali muncul adalah
bagaimana respons otonomik, keyakinan dan kognisi, dan ekspresi wajah berperan
dalam 'intensitas pengalaman emosi? Apakah intensitas kemarahan tergantung pada
pikiran dan ekspresi wajah tertentu yang kita miliki? Komponen (emosi) mana yang
bertanggung jawab untuk membuat emosi yang berbeda terasa berbeda? Komponen
mana yang membedakan emosi? Atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, para ahli
mengatakan bahwa kemungkinan rangsangan otonomik sangat meningkatkan
intensitas emosi kita, namun pola rangsangan itu kira-kira sama untuk beberapa
emosi; dan jika demikian, rangsangan otonomik tidak dapat membedakan emosi.

Hasil Penelitian tentang Intensitas dan Diferensiasi (Membedakan) Emosi

Untuk menunjukkan bahwa rangsangan otonomik meningkatkan intensitas emosi,


para ahli telah mempelajari kehidupan emosional seseorang dengan cedera pada
medula spinalis. Jika medulla spinalis mengalami gangguan (lesi), maka sensasi di
bawah tempat cedera tidak dapat mencapai otak, Karena sebagian sensasi berasal dari
sistem saraf simpatik, maka cedera menurunkan kontribusi rangsangan otonomik
untuk merasakan emosi. Ini artinya bahwa semakin kecil umpan balik/rangsangan
sistem saraf otonomik ke otak, semakin kecil intensitas emosi.
Jika rangsangan otonomik berperan terhadap intensitas pengalaman emosional,
apakah hal tersebut mendiferensiasikan emosi? Apakah ada satu pola aktivitas
(fisiologis) untuk kegembiraan, kemarahan, ketakutan, dan sebagainya?

Pendiferensiasian emosi berawal dari karangan yang ditulis william James (1884)
yang menyatakan bahwa persepsi perubahan tubuh merupakan "pengalaman subjektif
dari suatu emosi". Atas hal itu muncul ungkapan kita takut karena kita lari, 'kita marah
karena kita memukul, Seorang psikolog Denmark, Carl Lange, berpandangan sama
dengan James, namun baginya perubahan tubuh termasuk rangsangan otonomi.
Karena kesamaannya tersebut, maka idenya. dimaknai dan dialami sebagai perbedaan
kualitatif antara emosi. Walaupun rangsangan otonomik membantu membedakan
beberapa emosi, kecil kemungkinannya untuk membedakan semua emosi. Misalnya
saja, perbedaan antara kepuasan hati dan harga diri, kecil kemungkinannya untuk
ditemukan pada reaksi visceral.

Kognisi (Penilaian Kognitif) dan Emosi

Pernyataan tentang 'rangsangan otonomik terlalu terlambat untuk membedakan


pengalaman emosionar dengan induksi buatan rangsangan tidak menghasilkan emosi
yang sesungguhnya' masih tetap berlaku. Karena masih berlakunya tersebut, para
psikolog percaya bahwa ada hal lain selain rangsangan otonomik yang harus terlibat
dalam membedakan emosi. Hal lain tersebut biasanya diduga merupakan penilaian
kognitif seseorang terhadap sebuah situasi. Penilaian kognitif memiliki dua bagian,
yakni proses penilaian dan keyakinan yang dihasilkan.

Penilaian kognitif terhadap situasi menentukan intensitas pengalaman emosional


(Lazarus, dkk., 1980: Lazarus, 1991). Penilaian kognitif mungkin juga sangat
bertanggung jawab untuk membedakan emosi. Tidak seperti rangsangan otonomik,
keyakinan yang terjadi dalam penilaian cukup kaya untuk dibedakan dari banyak jenis
perasaan, dan proses penilaian sendiri mungkin cukup cepat untuk memengaruhi
kecepatan munculnya beberapa emosi. Selain itu, kita sering menekankan keyakinan
emosional saat kita menggambarkan kualitas suatu emosi. Misalnya saat kita
mengatakan: 'saya merasa marah karena ia tidak adil, atau saya merasa takut karena
saya ditelantarkan', Ketidakadilan dan penelantaran jelas merupakan keyakinan yang
terjadi akibat suatu proses kognitif. Ini membuktikan bahwa penilaian kognitif
seringkali memadai untuk menentukan kualitas pengalaman emosional. Selanjutnya,
jika seseorang dapat diinduksi sehingga berada dalam keadaan rangsangan otonomik
yang netral, maka kualitas emosinya, semata-mata dapat ditentukan oleh penilaiannya
terhadap situasi.

Hasil penelitian para psikolog telah membuktikan bagaimana penilaian kognitif


dapat memengaruhi emosi yang dialami. Dalam suatu situasi emosional suatu
peristiwa pembangkit biasanya menyebabkan rangsangan otonomik dan penilaian
kognitif Rangsangan dan penilaian masing-masing menghasilkan rangsangan yang
dihayati dan keyakinan emosional, yang kemudian menentukan emosi yang dialami.
Rangsangan yang dihayati dan keyakinan emosional tidak dialami secara terpisah
namun rangsangan dipertalikan dengan keyakinan. Biasanya, peristiwa pembangkit
yang sama bertanggung jawab untuk rangsangan dan penilaian.

D. Dimensi Emosi

Penilaian seseorang terhadap suatu situasi dapat menentukan emosinya. Namun


demikian, sejauh ini masih sedikit yang dikatakan tentang aspek atau dimensi mana
dari suatu situasi yang menentukan emosi mana yang akan terjadi. Untuk hal tersebut
para psikolog menggunakan pendekatan yang berbeda-beda. Salah satu pendekatan
menganggap bahwa terdapat sekelompok kecil emosi 'primer, dan setiap emosi
tersebut berhubungan dengan situasi hidup yang sangat mendasar. Emosi primer
dapat ditemukan pada setiap kultur manusia dan spesies hewan. Universitalitasnya
(keumumannya) merupakan alasan untuk menyatakan emosi tersebut sebagai emosi
primer dan untuk mendeskripsikan situasi yang tepat untuk spesies yang lebih rendah
(hewan).

Tabel 8. Emosi Primer dan Penyebabnya (Plutchik, 1980)

Emosi Situasi
 Sedih  Kehilangan orang yang dicintai
 Takut  Ancaman
 Marah  Penghalang
 Gembira  Calon pasangan
 Percaya  Anggota kelompok
 Muak  Objek yang menjijikan
 Antisipasi  Kekuasaan baru
 Terkejut  Benda baru yang mendadak

Pendekatan lainnya adalah dengan menggunakan proses kognitif, dan ini mungkin
lebih tepat bagi manusia dibanding bagi spesies lain yang lebih rendah (hewan).
Pendekatan ini tidak memulai dari emosi primer melainkan memulai dengan
sekumpulan dimensi primer dari situasi yang dialami seseorang. Selanjutnya
pendekatan ini mengaitkan berbagai kombinasi dimensi tersebut dengan emosi
spesifik. Contoh pendekatan ini dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9, Aspek situasi Primer dan Konsekuensinya (Roseman 1979, 1984)

Situasi Emosi
 Diharapkan dan terjadi  Gembira
 Diharapkan dan tidak terjadi  Sedih
 Tidak diharapkan dan terjadi  Distres
 Tidak diharapkan dan terjadi  Lega
Satu dimensi dari suatu situasi adalah sifat disenangi (desirability) peristiwa yang
diantisipasi, dan yang lain adalah apakah peristiwa terjadi atau tidak. Saat kita
mengombinasikan kedua dimensi tersebut, maka kita mendapatkan empat
kemungkinan situasi (sebelah kiri tabel 9), yang masing-masing tampaknya
menghasilkan emosi yang berbeda. Jika peristiwa yang disenangi terjadi, kita
mengalami kesenangan; jika peristiwa yang disenangi tidak terjadi, maka kita
mengalami kelegaan.

Kedua pendekatan di atas tidak sepenuhnya "tidak bersesuaian', adakalanya


bersesuaian. Walaupun terdapat situasi kehidupan fundamental yang memicu tiap
emosi (sebagaimana pendekatan pertama), apakah kita berada dalam situasi itu
sendiri, mungkin menjadi masalah interpretasi (sebagaimana dalam pendekatan
kedua) . Coba perhatikan emosi rasa takut, yang kemungkinan dipicu oleh ancaman
(tabel 8). Apa yang dianggap suatu ancaman seringkali berbeda bagi satu orang
dengan yang lainnya, tergantung pada pengalaman yang dimilikinya dan juga
kepribadiannya; serta proses dengan mana seseorang memutuskan suatu situasi
sebagai mengancam mungkin melibatkan banyak dimensi seperti sifat disenangi dan
pengendalian (Lazarus, 1991).

E. Emosi tanpa Penilaian Kognitif (Kognisi)

Terdapat kasus emosi di mana tidak ada penilaian kognitif yang dilibatkan. Jika
wajah kita secara tiba-tiba dipukul, kita tentu mengalami suatu emosi sebelum kita
menginterpretasikan peristiwa tersebut. Peristiwa tersebut diistilahkan sebagai
pengalaman one-shot. Selain itu, terdapat situasi penyerta di mana pengalaman
emosional bisa jadi memangkas sistem kognitif. Dengan demikian, beberapa
pengalaman menakutkan yang kita dapatkan pada masa kanak-kanak dengan
pengondisian klasik bisa jadi tidak melibatkan penilaian kognitif sama sekali. Sebagai
permisalan, kondisi menyakitkan terhadap dokter pasti didahului dengan berada di
ruang tunggu, walaupun kita telah dewasa, pada kondisi ini, pengalaman orang
dewasa bukanlah akibat dari interpretasi situasi berkaitan dengan tujuan saat itu
(zajoric, 1984).

Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa bisa jadi terdapat dua jenis pengalaman
emosional, yaitu yang berdasarkan pada penilaian kognitif dan berdasarkan pada
'yang mendahului kognisi. Pembagian ini didukung oleh penelitian tentang fisiologi
emosi yang mengeksplorasi struktur otak yang terlibat dalam emosi. Salah satu
struktur otak tersebut adalah amigdala, sebuah masa kecil yang berbentuk almond dan
terletak di otak bawah dan yang diketahui me-register (mencatat, mendata) reaksi
emosional. Amigdala diduga menerima semua masukan dari korteks, karena korteks
merupakan tempat kognitif, masukan amigdala diduga selalu melibatkan penilaian
kognitif. Namun riset mutakhir yang dilakukan terhadap tikus telah menemukan
hubungan antara saluran sensorik dan amigdala yang tidak melalui korteks. Hubungan
langsung itu mungkin menjadi dasar biologis untuk emosi prakognitif (emosi yang
tidak didasarkan pada penilaian). Dengan demikian amigdala mampu merespons
terhadap situasi berbahaya sebelum korteks, yang menyatakan bahwa kadang- kadang
kita dapat merasa sebelum kita dapat berpikir. Walaupun riset dilakukan pada tikus,
ada alasan untuk percaya bahwa jalur neural yang bersangkutan juga terdapat pada
manusia (Le Doux, 1989).

Namun demikian, walaupun terdapat pengalaman emosional tanpa melibatkan


penilaian kognitif, pengalaman tersebut terbatas pada perasaan positif atau negatif
yang tidak berdiferensiasi. Namun dalam pengalaman emosional yang lebih kompleks
seperti harga diri, kekecewaan, kecemburuan, perasaan muak, penilaian kognitif harus
dilibatkan atau sangat berperan. Jelaslah bahwa bagi banyak perasaan subjektif
penilaian kognitif merupakan unsur yang diperlukan, namun bagi yang lainnya tidak
(zajonc, dkk., 1989).

F. Ekspresi Emosi

Ekspresi wajah tertentu memiliki makna universal hal ini berlaku tanpa
memandang kultur tempat seseorang dibesarkan Ekspresi universal dari kemarahan
misalnya diperlihatkan dengan wajah memerah, kening berkerut, lubang hidung
membesar, rahang mengatup, dan gigi diperlihatkan. Universalitas ekspresi emosi
tertentu mendukung pernyatan Darwin bahwa hal tersebut adalah respons bawaan
dengan sejarah evolusioner. Menurut Darwin beragam cara di mana kita
mengekspresikan emosi merupakan pola bawaan yang awalnya memiliki manfaat
bagi kelangsungan hidup. Misalnya saja, ekspresi rasa muak atau penolakan
didasarkan pada upaya organisme untuk melindungi dirinya dari sesuatu yang tidak
menyenangkan yang telah tertelan.

Walaupun beberapa ekspresi wajah dan gerak-gerik berkaitan secara bawaan


dengan emosi tertentu, sebagian lainnya lagi dipelajari dari kultur di mana seseorang
di besarkan. Dengan demikian selain terdapat ekspresi dasar emosi yang bersifat
universal, juga terdapat bentuk ekspresi yang nonkonvensional -sejenis bahasa emosi
yang dikenali oleh orang lain dalam suatu kultur.
3. Teori emosi berkaitan dengan motivasi

Teori mengenai emosi dalam kaitannya dengan motivasi dikemukan kan oleh Leeper
(ih, Morgan, dkk., 1984). Garis pemisah antara emosi dengan motivasi adalah sangat
tipis, Misal takut (fear), ini adalah emosi, tetapi ini juga motif pendorong perilaku,
karena bila orang takut maka orang akan terdorong berperilaku kearah tujuan tertentu
(goal directed. Menurut Leeper perilaku kita yang goal directed adalah diwarnai oleh
emosi.

Tomkins (ih. Morgan, dkk., 1984) mengemukakan bahwa emosi itu menimbulkan
enersi untuk motivasi selanjutnya dikemukakan bahwa motif atau dorongan (drive)
hanya memberikan informasi mengenai sementara kebutuhan Misal dorongan
memberitahukan kepada kita bahwa makanan itu dibutuhkan, demikian juga air dan
sebagainya. Berkaitan dengan dorongan (drive) ini adalah emosi, yang menimbulkan
enersi untuk dorongan atau drive. sehingga adanya motivational power.

Di samping itu Tomkins (Carlson, 1987) juga mengemukakan pendapat bahwa adanya
9 macam innate emotions, berdasarkan atas tipe gerak dan ekspresi yang nampak pada
seseorang. Tiga yang bersifat positif, yaitu (i) interest atau excitement (2) enjoyment
atau atau startie Yang enam bersifat negatif, yaitu joy (3) surprise distress atau
anguish: 02) tear atau wernor (3) shame atau humilitation (4) contempt, (5) disgust,
dan (6) anger atau rage. Pendapat tersebut merupakan pendapat Tomkins dalam
mengklasifikasi emosi. Karena itu hal tersebut sebenarnya dapat pula dimasukkan
dalam teori yang mengklasifikasikan emosi.
Berkaitan dengan adanya hubungan antara emosi dengan motivasi, maka ada teori
yang disebut sebagai teori arousal (arousal theory). Teori ini adalah teori hubungan
emosi dengan perilaku. Teori ini sering juga disebut optimal level theory. Pada teori
dorongan asumsinya ialah organisme mencari atau mengurangi ketegangan (tension),
sehingga dengan demikian organisme itu mempertahankan gejolak atau arousaliitu
dalam keadaan yang minimum, relatif rendah. Namun pendapat kemudian,
menyatakan bahwa keadaan ini tidak dapat dipertahankan karena kadang-kadang
organisme mencari untukmenaikan level tensionnya atau aroualnya. yang lain
menurunkan tensionnya. Dengan kata lain organisme itu mencari arousal atau tension
yang ada pada optimal level. Jadi tidak tidak terlalu rendah. secara teoretik antara
level dari arousal dengan tingkatan efisiensi dalam perfomance sesuatu tugas. Apabila
individu dalam tingkatan arousal yang rendah (misal sangat lelah atau habis bangun
ya jelas tidak optimal karena Perhatian pada tugas tidak penuh.

4. Teori kognitif mengenai emosi

Teori ini dikemukakan oleh Richard Lazarus dan teman-teman sekerja (co workers),
yang mengemukakan teori tentang emosi menekankan pada penatsiran atau
pengertian mengenai informasi yang datang dari beberapa sumber, Karena penafsiran
ini mengandung cognition atau memproses informasi dari luar dan dari dalam
(jasmani dan ingatan), maka teori tersebut disebut teori kognitif mengenai emosi.
Teori ini menyatakan bahwa emosi yang dialami itu merupakan hasil penafsiran, atau
evaluasi mengenai informasi yang datang dari situasi lingkungan dan dari dalam
.Hasil dari penafsiran yang kompleks dari informasi tersebut adalah emosi yang
dialami itu. Peran dari penafsiran dalam emosi diteliti dalam banyak eksperimen.
Salah satu dari eksperimen tersebut ialah dengan mengadakan film tentang upacara
adat di kalangan kaum aborigin di Australia, yaitu yang berupa operasi alat genetal
dari anak laki-laki kurang lebih berumur 13-14 tahun. Dalam penyajian film tersebut
disertai dengan memberikan kesan denial (1) bunyi yang traumatis, (2) bunyi yang
memberikan kesan denial track, 3) komentar yang bernada ilmiah, dan (4) ada yang
tidak disertai bunyi atau komentar. Dari hasil eksperimen tersebut dapat dikemukakan
bahwa stress reaction adalah yang dengan bunyi yang traumatis, kemudian yang tanpa
bunyi atau tanpa komentar. sedangkan yang terendah adalah yang bernada ilmiah
(intelectuali zation). Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa bunyi yang
traumatis menyebabkan subjek mengadakan penafsiran yang berbeda terhadap
stimulus yang sama. Konklusi dari eksperimen ini ialah bahwa reaksi emosional yang
tidak sama terhadap stimulus yang sama itu terjadi karena penafsiran subjek yang
tidak sama terhadap stimulus (Morgan, dkk., 1984).

Di samping teori-teori tersebut di atas masih ada teori yang dikemukakan oleh Darwin
mengenai emosi dalam hubungannya dengan ekspresi muka (facial expression).
Darwin (Carlson, 1987) mengajukan suatu teori mengenai ekspresi muka dalam
kaitannya dengan emosi. Seperti telah dipaparkan di depan bahwa ada kaitan antara
emosi dengan gejala kejasmanian. Yang paling menonjol adalah kaitan antara emosi
dan ekspresi muka. Hal ini dapat diamati dengan jelas bagaimana seseorang yang
marah akan terlihat pula bagaimana roman mukanya. orang yang kagum akan
tercermin pula dalam ekspresi mukanya. Darwin mengemukakan pendapatnya bahwa
hal tersebut erat kaitan antara emosi yang dialami oleh seseorang yang dicerminkan
pada roman mukanya.

Menurut Darwin orang-orang dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda


menggunakan pola yang sama dalam pola gerak dari facial muscles untuk menyatakan
keadaan emosional seseorang. Oleh karena itu menurut Darwin pola ekspresi roman
muka adalah bersifat universal, dan oleh karenanya merupakan hal yang inherited atau
bawaan. Teori yang dikemukakan oleh Darwin tersebut oleh Peterson (1991) disebut
sebagai teoti dengan pendekatan evolusi

Anda mungkin juga menyukai