A. Pengertian Emosi
Emosi sering diistilahkan juga sebagai perasaan (Atkinson, 1997; Waleito, 2001).
Atas hal ini dikatakan bahwa emosi biasanya disifatkan sebagai suatu keadaan (state)
dari diri seseorang pada suatu waktu. Misalnya saja, seseorang merasa senang, sedih,
terharu, dan sebagainya bila melihat sesuatu, mendengar sesuatu, dan bahkanmencium
sesuatu. Singkat kata, emosi disifatkan sebagai suatu keadaan mental sebagai akibat
adanya peristiwa peristiwa yang pada umumnya datang dari luar; dan peristiwa
peristiwa tersebut pada umumnya menimbulkan kegoncangan-kegoncangan pada diri
orang tersebut.
Meskipun berhubungan erat, motif dan emosi merupakan dua hal yang berbeda.
Perbedaan dapat dilihat berdasar sumber aktivitasnya, pengalaman subjektif, dan
efeknya terhadap perilaku. Perbedaan yang pertama antara motif dan emosi adalah
bahwa emosi dipicu dari luar, sementara motif dibangkitkan dari dalam. Ini artinya
bahwa emosi biasanya dibangkitkan oleh peristiwa eksternal dan reaksi emosional
ditujukan kepada peristiwa tersebut. Sebaliknya, motif dibangkitkan oleh peristiwa
internal dan secara alami ditujukan ke arah objek tertentu di lingkungan, seperti
makanan, air, atau pasangan. Perbedaan lainnya dari motif dan emosi adalah bahwa
motif biasanya dibangkitkan oleh kebutuhan spesifik, sedangkan emosi dapat
dibangkitkan oleh berbagai jenis stimuli. Dalam hal ini kita bisa membayangkan
semua hal yang dapat membuat kita marah. Namun demikian perbedaan tersebut
sifatnya tidaklah mutlak. Sumber eksternal kadang-kadang memicu suatu motif.
Misalnya saja saat melihat makanan dapat menimbulkan rasa yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan homeostatik seperti rasa lapar berat, dapat membangkitkan emosi
Bagian ini akan menjelaskan tentang bagian-bagian fisiologis yang dapat berubah
ketika seseorang sedang mengalami emosi kuat. Jika kita mengalami suatu emosi
kuat, seperti rasa takut atau marah, kita tentunya merasakan sejumlah perubahan pada
tubuh. Sebagian besar perubahan fisiologis selama rangsangan emosional terjadi
akibat aktivasi cabang simpatik dari sistem saraf otonomik untuk mempersiapkan
tubuh melakukan tindakan darurat. Dalam hal ini, sistem simpatik bertanggung jawab
untuk terjadinya perubahan- perubahan berikut. Perubahan-perubahan tersebut tentu
tidak harus terjadi sekaligus.
Di sisi lain aktivitas sistem saraf otonomik dipicu oleh aktivitas di daerah otak
tertentu, termasuk hipotalamus dan sistem limbik. Impuls dari area-area tersebut
ditransmisikan ke nuklei di batang otak yang mengendalikan fungsi sistem saraf
otonomik, sistem saraf otonomik kemudian bekerja langsung pada otot dan organ
internal untuk menimbulkan beberapa perubahan tubuh yang dijelaskan diatas, dan
bekerja secara tidak langsung dengan menstimulasi hormone adrenal untuk
menimbulkan perubahan tubuh lainnya.
Ini mungkin akan membuat kita cukup tertarik. Mengapa? Karena ini dapat
membawa kita pada pemahaman pada kondisi seseorang: dan dengan pemahaman
tersebut akan memudahkan kita dalam bertindak. Misalnya, kita ingin meminta
sesuatu kepada orang tua. Untuk hal tersebut ada baiknya kita melihat kondisi orang
tua apakah sedang merasa bahagia, marah, atau bagaimana, Jika kita meminta sesuatu
kepada seseorang dalam keadaan tidak bahagia atau bahkan sedang dalam kondisi
marah, maka jangan berharap kita akan memperoleh apa yang kita inginkan. Untuk itu
kita perlu mengenal kondisi seseorang yang akan kita ajak komunikasi atau akan
diminta sesuatu dengan cara mengetahui komponen emosi kuat yang sedang
dialaminya.
Emosi yang kuat mencakup beberapa komponen umum yaitu reaksi tubuh, kumpulan
pikiran dan keyakinan yang menyertai emosi, ekspresi wajah, dan reaksi terhadap
sebuah pengalaman,
Reaksi tubuh. Jika marah misalnya, maka tubuh kita kadang kadang gemetar
atau suara kita menjadi meninggi, walaupun kita tidak menginginkannya.
Ekspresi wajah. Jika kita merasa muak atau jijik misalnya, kita mungkin
mengerutkan dahi, membuka mulut lebar-lebar, dan kelopak mata sedikit
menutup.
Reaksi terhadap sebuah pengalaman Ini mencakup reaksi spesifik dan reaksi
yang lebih global. Misalnya, kemarahan mungkin menyebabkan agresi
(spesifik), dan mungkin menggelapkan pandangan kita terhadap realitas sosial
(global).
Pendiferensiasian emosi berawal dari karangan yang ditulis william James (1884)
yang menyatakan bahwa persepsi perubahan tubuh merupakan "pengalaman subjektif
dari suatu emosi". Atas hal itu muncul ungkapan kita takut karena kita lari, 'kita marah
karena kita memukul, Seorang psikolog Denmark, Carl Lange, berpandangan sama
dengan James, namun baginya perubahan tubuh termasuk rangsangan otonomi.
Karena kesamaannya tersebut, maka idenya. dimaknai dan dialami sebagai perbedaan
kualitatif antara emosi. Walaupun rangsangan otonomik membantu membedakan
beberapa emosi, kecil kemungkinannya untuk membedakan semua emosi. Misalnya
saja, perbedaan antara kepuasan hati dan harga diri, kecil kemungkinannya untuk
ditemukan pada reaksi visceral.
D. Dimensi Emosi
Emosi Situasi
Sedih Kehilangan orang yang dicintai
Takut Ancaman
Marah Penghalang
Gembira Calon pasangan
Percaya Anggota kelompok
Muak Objek yang menjijikan
Antisipasi Kekuasaan baru
Terkejut Benda baru yang mendadak
Pendekatan lainnya adalah dengan menggunakan proses kognitif, dan ini mungkin
lebih tepat bagi manusia dibanding bagi spesies lain yang lebih rendah (hewan).
Pendekatan ini tidak memulai dari emosi primer melainkan memulai dengan
sekumpulan dimensi primer dari situasi yang dialami seseorang. Selanjutnya
pendekatan ini mengaitkan berbagai kombinasi dimensi tersebut dengan emosi
spesifik. Contoh pendekatan ini dapat dilihat pada Tabel 9.
Situasi Emosi
Diharapkan dan terjadi Gembira
Diharapkan dan tidak terjadi Sedih
Tidak diharapkan dan terjadi Distres
Tidak diharapkan dan terjadi Lega
Satu dimensi dari suatu situasi adalah sifat disenangi (desirability) peristiwa yang
diantisipasi, dan yang lain adalah apakah peristiwa terjadi atau tidak. Saat kita
mengombinasikan kedua dimensi tersebut, maka kita mendapatkan empat
kemungkinan situasi (sebelah kiri tabel 9), yang masing-masing tampaknya
menghasilkan emosi yang berbeda. Jika peristiwa yang disenangi terjadi, kita
mengalami kesenangan; jika peristiwa yang disenangi tidak terjadi, maka kita
mengalami kelegaan.
Terdapat kasus emosi di mana tidak ada penilaian kognitif yang dilibatkan. Jika
wajah kita secara tiba-tiba dipukul, kita tentu mengalami suatu emosi sebelum kita
menginterpretasikan peristiwa tersebut. Peristiwa tersebut diistilahkan sebagai
pengalaman one-shot. Selain itu, terdapat situasi penyerta di mana pengalaman
emosional bisa jadi memangkas sistem kognitif. Dengan demikian, beberapa
pengalaman menakutkan yang kita dapatkan pada masa kanak-kanak dengan
pengondisian klasik bisa jadi tidak melibatkan penilaian kognitif sama sekali. Sebagai
permisalan, kondisi menyakitkan terhadap dokter pasti didahului dengan berada di
ruang tunggu, walaupun kita telah dewasa, pada kondisi ini, pengalaman orang
dewasa bukanlah akibat dari interpretasi situasi berkaitan dengan tujuan saat itu
(zajoric, 1984).
Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa bisa jadi terdapat dua jenis pengalaman
emosional, yaitu yang berdasarkan pada penilaian kognitif dan berdasarkan pada
'yang mendahului kognisi. Pembagian ini didukung oleh penelitian tentang fisiologi
emosi yang mengeksplorasi struktur otak yang terlibat dalam emosi. Salah satu
struktur otak tersebut adalah amigdala, sebuah masa kecil yang berbentuk almond dan
terletak di otak bawah dan yang diketahui me-register (mencatat, mendata) reaksi
emosional. Amigdala diduga menerima semua masukan dari korteks, karena korteks
merupakan tempat kognitif, masukan amigdala diduga selalu melibatkan penilaian
kognitif. Namun riset mutakhir yang dilakukan terhadap tikus telah menemukan
hubungan antara saluran sensorik dan amigdala yang tidak melalui korteks. Hubungan
langsung itu mungkin menjadi dasar biologis untuk emosi prakognitif (emosi yang
tidak didasarkan pada penilaian). Dengan demikian amigdala mampu merespons
terhadap situasi berbahaya sebelum korteks, yang menyatakan bahwa kadang- kadang
kita dapat merasa sebelum kita dapat berpikir. Walaupun riset dilakukan pada tikus,
ada alasan untuk percaya bahwa jalur neural yang bersangkutan juga terdapat pada
manusia (Le Doux, 1989).
F. Ekspresi Emosi
Ekspresi wajah tertentu memiliki makna universal hal ini berlaku tanpa
memandang kultur tempat seseorang dibesarkan Ekspresi universal dari kemarahan
misalnya diperlihatkan dengan wajah memerah, kening berkerut, lubang hidung
membesar, rahang mengatup, dan gigi diperlihatkan. Universalitas ekspresi emosi
tertentu mendukung pernyatan Darwin bahwa hal tersebut adalah respons bawaan
dengan sejarah evolusioner. Menurut Darwin beragam cara di mana kita
mengekspresikan emosi merupakan pola bawaan yang awalnya memiliki manfaat
bagi kelangsungan hidup. Misalnya saja, ekspresi rasa muak atau penolakan
didasarkan pada upaya organisme untuk melindungi dirinya dari sesuatu yang tidak
menyenangkan yang telah tertelan.
Teori mengenai emosi dalam kaitannya dengan motivasi dikemukan kan oleh Leeper
(ih, Morgan, dkk., 1984). Garis pemisah antara emosi dengan motivasi adalah sangat
tipis, Misal takut (fear), ini adalah emosi, tetapi ini juga motif pendorong perilaku,
karena bila orang takut maka orang akan terdorong berperilaku kearah tujuan tertentu
(goal directed. Menurut Leeper perilaku kita yang goal directed adalah diwarnai oleh
emosi.
Tomkins (ih. Morgan, dkk., 1984) mengemukakan bahwa emosi itu menimbulkan
enersi untuk motivasi selanjutnya dikemukakan bahwa motif atau dorongan (drive)
hanya memberikan informasi mengenai sementara kebutuhan Misal dorongan
memberitahukan kepada kita bahwa makanan itu dibutuhkan, demikian juga air dan
sebagainya. Berkaitan dengan dorongan (drive) ini adalah emosi, yang menimbulkan
enersi untuk dorongan atau drive. sehingga adanya motivational power.
Di samping itu Tomkins (Carlson, 1987) juga mengemukakan pendapat bahwa adanya
9 macam innate emotions, berdasarkan atas tipe gerak dan ekspresi yang nampak pada
seseorang. Tiga yang bersifat positif, yaitu (i) interest atau excitement (2) enjoyment
atau atau startie Yang enam bersifat negatif, yaitu joy (3) surprise distress atau
anguish: 02) tear atau wernor (3) shame atau humilitation (4) contempt, (5) disgust,
dan (6) anger atau rage. Pendapat tersebut merupakan pendapat Tomkins dalam
mengklasifikasi emosi. Karena itu hal tersebut sebenarnya dapat pula dimasukkan
dalam teori yang mengklasifikasikan emosi.
Berkaitan dengan adanya hubungan antara emosi dengan motivasi, maka ada teori
yang disebut sebagai teori arousal (arousal theory). Teori ini adalah teori hubungan
emosi dengan perilaku. Teori ini sering juga disebut optimal level theory. Pada teori
dorongan asumsinya ialah organisme mencari atau mengurangi ketegangan (tension),
sehingga dengan demikian organisme itu mempertahankan gejolak atau arousaliitu
dalam keadaan yang minimum, relatif rendah. Namun pendapat kemudian,
menyatakan bahwa keadaan ini tidak dapat dipertahankan karena kadang-kadang
organisme mencari untukmenaikan level tensionnya atau aroualnya. yang lain
menurunkan tensionnya. Dengan kata lain organisme itu mencari arousal atau tension
yang ada pada optimal level. Jadi tidak tidak terlalu rendah. secara teoretik antara
level dari arousal dengan tingkatan efisiensi dalam perfomance sesuatu tugas. Apabila
individu dalam tingkatan arousal yang rendah (misal sangat lelah atau habis bangun
ya jelas tidak optimal karena Perhatian pada tugas tidak penuh.
Teori ini dikemukakan oleh Richard Lazarus dan teman-teman sekerja (co workers),
yang mengemukakan teori tentang emosi menekankan pada penatsiran atau
pengertian mengenai informasi yang datang dari beberapa sumber, Karena penafsiran
ini mengandung cognition atau memproses informasi dari luar dan dari dalam
(jasmani dan ingatan), maka teori tersebut disebut teori kognitif mengenai emosi.
Teori ini menyatakan bahwa emosi yang dialami itu merupakan hasil penafsiran, atau
evaluasi mengenai informasi yang datang dari situasi lingkungan dan dari dalam
.Hasil dari penafsiran yang kompleks dari informasi tersebut adalah emosi yang
dialami itu. Peran dari penafsiran dalam emosi diteliti dalam banyak eksperimen.
Salah satu dari eksperimen tersebut ialah dengan mengadakan film tentang upacara
adat di kalangan kaum aborigin di Australia, yaitu yang berupa operasi alat genetal
dari anak laki-laki kurang lebih berumur 13-14 tahun. Dalam penyajian film tersebut
disertai dengan memberikan kesan denial (1) bunyi yang traumatis, (2) bunyi yang
memberikan kesan denial track, 3) komentar yang bernada ilmiah, dan (4) ada yang
tidak disertai bunyi atau komentar. Dari hasil eksperimen tersebut dapat dikemukakan
bahwa stress reaction adalah yang dengan bunyi yang traumatis, kemudian yang tanpa
bunyi atau tanpa komentar. sedangkan yang terendah adalah yang bernada ilmiah
(intelectuali zation). Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa bunyi yang
traumatis menyebabkan subjek mengadakan penafsiran yang berbeda terhadap
stimulus yang sama. Konklusi dari eksperimen ini ialah bahwa reaksi emosional yang
tidak sama terhadap stimulus yang sama itu terjadi karena penafsiran subjek yang
tidak sama terhadap stimulus (Morgan, dkk., 1984).
Di samping teori-teori tersebut di atas masih ada teori yang dikemukakan oleh Darwin
mengenai emosi dalam hubungannya dengan ekspresi muka (facial expression).
Darwin (Carlson, 1987) mengajukan suatu teori mengenai ekspresi muka dalam
kaitannya dengan emosi. Seperti telah dipaparkan di depan bahwa ada kaitan antara
emosi dengan gejala kejasmanian. Yang paling menonjol adalah kaitan antara emosi
dan ekspresi muka. Hal ini dapat diamati dengan jelas bagaimana seseorang yang
marah akan terlihat pula bagaimana roman mukanya. orang yang kagum akan
tercermin pula dalam ekspresi mukanya. Darwin mengemukakan pendapatnya bahwa
hal tersebut erat kaitan antara emosi yang dialami oleh seseorang yang dicerminkan
pada roman mukanya.