Tipus Asma
Tipus Asma
1. Definisi
Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas dimana sel dan elemen
selular yang memainkan peran. Infeksi kronik yang berkaitan dengan peningkatan
kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak
napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk
(cough) terutama pada malam atau dini hari. (GINA, 2015).
2. Epidemiologi
Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat
300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada
anak maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak (GINA,
2015). Dari hasil penelitian Riskesdas, prevalensi penderita asma di Indonesia
adalah sekitar 4%. Menurut Sastrawan, dkk (2008), angka ini konsisten dan
prevalensi asma bronkial sebesar 5–15%.
4. Patogenesis
Sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum diketahui dengan pasti,
namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah
inflamasi dan respons saluran napas yang berlebihan.
a. Asma sebagai penyakit inflamasi
Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran napas. Inflamasi ditandai
dengan adanya kalor (panas karena vasodilatasi) dan rubor (kemerahan karena
vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan edema), dolor (rasa sakit karena
rangsangan sensoris), dan functio laesa (fungsi yang terganggu). Akhir-akhir ini
syarat terjadinya radang harus disertai satu syarat lagi yaitu infiltrasi sel-sel radang.
Ternyata keenam syarat tadi dijumpai pada asma tanpa membedakan penyebabnya
baik yang alergik maupun non-alergik.
Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non-alergik
dijumpai adanya inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Oleh karena itu paling
tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan terebut. Jalur imunologis yang
terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf autonom. Pada jalur IgE, masuknya
alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cell = sel penyaji
antigen), untuk selanjutnya hasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel
Th. Sel Th ini akan memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-
sel plasma membentuk IgE, serta sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel
epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator-
mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin, leukotrien, platelet activating
factor (PAF), bradikinin, tromboksin, dan lain-lain akan mempengaruhi organ
sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskuler, edema
saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus dan fibrosis subepitel sehingga
menimbulkan hipereaktivitas saluran napas (HSN). Jalur non-alergik selain
merangsang sel inflamasi, juga merangsang sistem saraf autonom dengan hasil akhir
berupa inflamasi dan HSN.
Yang membedakan asma dengan orang normal adalah sifat saluran napas pasien asma
yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan (debu), zat kimia
(histamin, metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani). Pada asma alergik, selain peka
terhadap rangsangan tersebut di atas pasien juga sangat peka terhadap alergen yang
spesifik. Sebagian HSN diduga didapat sejak lahir, tetapi sebagian lagi didapat.
Berbagai keadaan dapat meningkatkan hipereaktivitas saluran napas seseorang,
yaitu:
Inflamasi saluran napas. Sel-sel inflamasi serta mediator kimia yang
dikeluarkan terbukti berkaitan erat dengan gejala asma dan HSN. Konsep ini
didukung oleh fakta bahwa intervensi pengobatan dengan anti-inflamasi dapat
menurunkan derajat HSN dan gejala asma.
Kerusakan epitel. Salah satu konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel.
Pada asma kerusakan bervariasi dari yang ringan sampai berat. Perubahan
struktur ini akan meningkatkan penetrasi alergen, mediator inflamasi serta
mengakibatkan iritasi ujung-ujung saraf autonom sering lebih mudah
terangsang. Sel-sel epitel bronkus sendiri sebenarnya mengandung mediator
yang dapat bersifat sebagai bronkodilator. Kerusakan sel-sel epitel bronkus akan
mengakibatkan bronkodilatasi lebih mudah terjadi.
Gangguan Instrinsik. Otot polos saluran napas dan hipertrofi otot polos pada
saluran napas diduga berperan pada HSN.
5. Patofisiologi
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus,
sumbatan mukus, edema, dan iflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat
selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut.
Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa
diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional
(KRF). Dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru
total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan
pertukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-
otot bantu napas.
Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara objektif
dengan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus Puncak
Ekspirasi), sedangkan penurunan KVP (Kapasitas Vital Paksa) menggambarkan derajat
hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang
besar, sedang maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran
napas besar, sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih
dominan dibanding mengi.
Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada
daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga daerah kapiler yang melalui daerah
tersebut mengalami hipoksemia. Penurunan PaO2 mungkin merupakan kelainan pada
asma sub-klinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi
agar kebutuhan oksigen terpenuhi. Tetapi akibatnya pengeluaran CO2 menjadi
berlebihan sehingga PaCO2 menurun yang kemudian menimbulkan alkalosis
respiratorik. Pada serangan asma yang lebih berat lagi banyak saluran napas dan
alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak memungkinkan lagi terjadinya pertukaran
gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernapasan bertambah berat
serta terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2 yang disertai dengan
penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnia) dan terjadi
asidosis respiratorik atau gagal napas. Hipoksemia yang berlangsung lama
menyebabkan asidosis metabolik dan konstriksi pembuluh darah paru yang kemudian
menyebabkan shunting yaitu peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang
baik, yang akibatnya memperburuk hiperkapnia. Dengan demikian penyempitan
saluran napas pada asma akan menimbulkan hal-hal sebagai berikut, yaitu gangguan
ventilasi berupa hipoventilasi, ketidakseimbangan ventilasi perfusi dimana distribusi
ventilasi tidak serta dengan sirkulasi darah paru, dan gangguan difusi gas di tingkat
alveoli.
6. Diagnosis
Seperti pada penyakit lain, diagnosis penyakit asma dapat ditegakkan
dengan anamnesis yang baik. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan faal paru akan lebih
meningkatkan nilai diagnostik.
a. Anamnesis
Anamnesis yang baik meliputi riwayat tentang penyakit/gejala, yaitu:
1. Asma bersifat episodik, sering bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan
2. Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap alergen, gejala
musiman, riwayat alergi/atopi, dan riwayat keluarga pengidap asma
3. Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak napas yang episodik, rasa berat di
dada dan berdahak yang berulang
4. Gejala timbul/memburuk terutama pada malam/dini hari
5. Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik
6. Respon positif terhadap pemberian bronkodilator
b. Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal
(GINA, 2012). Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan pada
auskultasi adalah mengi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal
walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan
napas. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis jika
pada saat pemeriksaan terdapat gejala-gejala obstruksi saluran pernapasan (Chung,
2002).
Sewaktu mengalami serangan, jalan napas akan semakin mengecil oleh karena
kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi mukus. Keadaan ini
dapat menyumbat saluran napas; sebagai kompensasi penderita akan bernapas pada
volume paru yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas yang mengecil (hiperinflasi).
Hal ini akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa batuk, sesak napas, dan mengi
(GINA, 2009).
c. Faal Paru
Pengukuran faal paru sangat berguna untuk meningkatkan nilai diagnostik.
Ini disebabkan karena penderita asma sering tidak mengenal gejala dan kadar
keparahannya, demikian pula diagnosa oleh dokter tidak selalu akurat. Faal paru
menilai derajat keparahan hambatan aliran udara, reversibilitasnya, dan membantu kita
menegakkan diagnosis asma. Akan tetapi, faal paru tidak mempunyai hubungan
kuat dengan gejala, hanya sebagai informasi tambahan akan kadar kontrol terhadap
asma (Pellegrino dkk, 2005). Banyak metode untuk menilai faal paru, tetapi yang
telah dianggap sebagai standard pemeriksaan adalah: (1) pemeriksaan spirometri dan
(2) Arus Puncak Ekspirasi meter (APE).
Pemeriksaan spirometri merupakan pemeriksaan hambatan jalan napas dan
reversibilitas yang direkomendasi oleh GINA 2012. Pengukuran volume ekspirasi
paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver
ekspirasi paksa melalui spirometri. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, diambil
nilai tertinggi dari 3 ekspirasi. Banyak penyakit paru-paru menyebabkan turunnya
angka VEP1.
Maka dari itu, obstruksi jalan napas diketahui dari nilai VEP1 prediksi (%)
dan atau rasio VEP1/KVP (%). Pemeriksaan dengan APE meter walaupun kurang
tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan
sore (tidak lebih dari 20%).
Untuk mendapatkan variabiliti APE yang akurat, diambil nilai terendah
pada pagi hari sebelum mengkonsumsi bronkodilator selama satu minggu (Pada
malam hari gunakan nilai APE tertinggi). Kemudian dicari persentase dari nilai
APE terbaik (PDPI, 2006).
7. Klasifikasi
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan faal paru dapat ditentukan klasifikasi (derajat)
asma.
a. Medikasi
Menurut PDPI (2006), medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara seperti
inhalasi, oral dan parenteral. Dewasa ini yang lazim digunakan adalah melalui inhalasi
agar langsung sampai ke jalan napas dengan efek sistemik yang minimal ataupun tidak ada.
Macam–macam pemberian obat inhalasi dapat melalui inhalasi dosis terukur (IDT),
IDT dengan alat bantu (spacer), Dry powder inhaler (DPI), breath–actuated IDT, dan
nebulizer. Medikasi asma terdiri atas pengontrol (controllers) dan pelega (reliever).
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang, terutama untuk asma persisten,
yang digunakan setiap hari untuk menjaga agar asma tetap terkontrol. Pengontrol, yang
sering disebut sebagai pencegah terdiri dari:
1. Glukokortikosteroid inhalasi dan sistemik
Glukokortikosteroid inhalasi paling efektif sebagai anti inflamasi sebagai pengobatan
asma. Penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan
hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan
dan memperbaiki kualiti hidup.
Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring,
disfonia dan batuk karena iritasi saluran napas atas. Efek samping sistemik dalam
penggunaan obat jangka panjang dengan dosis tinggi meliputi mudah terjadi memar,
supresi adrenal, penurunan densitas mineral tulang.
2. Leukotriene modifiers
Mempunyai efek bronkodilator, menurunkan gejala batuk, meningkatkan fungsi paru,
menurunkan inflamasi jalan napas, dan eksaserbasi asma. Obat alternative untuk pasien
dewasa dengan mild persistent asma, sensitive terhadap aspirin.
3. Agonis β-2 kerja lama (inhalasi dan oral)
Agonis β-2 kerja lama inhalasi termasuk Formoterol dan salmeterol tidak boleh
digunakan sebagai monoterapi asma. Lebih efektif bila dikombinasikan dengan
glukokortikosteroid inhalasi.
Efek samping penggunaan dengan agonis beta dua kerja lama inhalasi menyebabkan
stimulasi jantung, tremor, dan hipokalemi
4. Metilsantin (teofilin)
Merupakan bronkodilator dan bila diberikan dengan dosis rendah menjadi suatu anti
inflamasi yang baik.tersedia dalam formulasi lepas lambat yang cocok untuk digunakan
satu atau dua kali sehari.
Efek samping muncul pada dosis tinggi (10 mg/kgbb/hari atau lebih)
5. Kromolin (Sodium Kromoglikat dan Nedokromil Sodium)
Terbatas pada dewasa. Efek samping batuk selama inhalasi dan tenggorokan kering
Pelega adalah medikasi yang hanya digunakan bila diperlukan untuk cepat mengatasi
bronkokonstriksi dan mengurangi gejala – gejala asma. Prinsip kerja obat ini adalah dengan
mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat
bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, dan
batuk. Akan tetapi golongan obat ini tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau
menurunkan hipersensitivitas jalan napas.
Pelega terdiri dari:
1. Agonis β-2 kerja singkat
2. Kortikosteroid sistemik
3. Antikolinergik (Ipratropium bromide)
4. Metilsantin
Harisson. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Vol 3.ed.13. 2000. EGC: Jakarta.
GINA. Global Strategy For Asthma Management And Prevention 2015
Ismail, Dasnan, Idrus Alwi, Muin Rahman. 2006. Panduan Pelayanan Medik. Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI: Jakarta.
Mubin, Halim. Buku Panduan Praktis : Ilmu Penyakit Dalam Diagnosis dan Terapi Edisi 2.
Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Price Sylvia A, Wilson Lorraine. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. 2006. EGC :
Jakarta
Sudoyo, W. Aru. et. al. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Sudoyo, W. Aru. et. al. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.