Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

METODE PEMAHAMAN AYAT-AYAT PENDIDIKAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Tarbawi


Dosen Pengampu : Mufatihatut Taubah, S.Ag M.Pd.I

Oleh:
Kelompok 2

1. Az Zahra Dinda Aulia W (1710110122)


2. Siti Robbiatul A (1710110138)
3. Rizka Siti W N (1710110150)
4. Mohamad Yahya (1710110152)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KUDUS
TAHUN 2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Metode adalah satu sarana untuk mecapai tujuan yang telah ditetapkan.
dalam konteks pemahaman Al-Quran, metode bermakna: “prosedur yang harus
dilalui untuk mencapai pemahaman yang tepat tentang makna ayat-ayat Al-
Quran.” Dengan kata lain, metode penafsiran al-Quran merupakan: seperangkat
kaidah yang seharusnya dipakai oleh penafsir ketika menafsirkan ayat-ayat Al-
Quran.
Lahirnya metode-metode tafsir disebabkan oleh tuntutan perubahan sosial
yang selalu dinamik. Dinamika perubahan sosial mengisyaratkan kebutuhan
pemahaman yang lebih kompleks. Kompleksitas kebutuhan pemahaman atas Al-
Qur'an itulah yang mengakibatkan para mufassir harus menjelaskan pengertian
ayat-ayat Al-Qur'an yang berbeda.
Dengan demikian, metode tafsir menduduki posisi yang teramat penting di
dalam tatanan ilmu tafsir, karena tidak mungkin sampai kepada tujuan tanpa
menempuh jalan yang menuju ke sana.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian metode penafsiran ayat Al-Qur’an?


2. Bagaimana perkembangan metode tafsir?
3. Apa saja metode-metode penafsiran ayat Al-Qur’an?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Metode Tafsir


Kata Metode berasal dari Bahasa Yunani “Methodos” yang berarti “cara
atau jalan”. Dalam Bahasa inggris kata ini ditulis “method” dan bangsa arab
menerjemahkannya dengan “thariqat” dan “manhaj”. Dalam pemakaian Bahasa
Indonesia dalam kamus Webster kata metode mengandung arti: “cara yang teratur
dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud; cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.1

Metode tafsir yang dimaksud disini ialah suatu perangkat yang digunakan
dalam proses penafsiran Al-Qur-an2. Dengan kata lain ialah ilmu yang membahas
tentang cara yang teratur dan terpikir baik untuk mendapatkan pemahaman yang
benar dari ayat-ayat Al-Qur’an sesuai kemampuan manusia atau ilmu yang
mengajarkan kepada orang yang mempelajarinya untuk menggunakan metode
tersebut dalam memahami ayat-ayat al-Quran.3

B. Sejarah Perkembangan Metode Tafsir


Pada zaman Nabi dan para sahabat, pada umumnya mereka adalah ahli
bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang turun ayat (asbabun
nuzul), serta mengalami secara langsung situasi dan kondisi umat ketika ayat- ayat
Al-Qur’an turun. Dengan demikian, mereka relatif dapat memahami ayat- ayat
Al-Qur’an itu secara benar, tepat, dan akurat. Berdasarkan kenyataan
sejarah yang demikian, maka untuk memahami suatu ayat, mereka tidak
begitu membutuhkan uraian yang rinci, tetapi cukup dengan isyarat dan
1
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset,2002, hlm 54-55.
2
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, (Jakarta, Teraju Cet. I, 2003), hlm. 196
3
Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002), hlm. 171
penjelasan global (ijmal). Itulah yang membuat lahir dan berkembangnya
tafsir dengan metode global dalam penafsiran Al-Qur’an pada abad-abad
pertama.
Sejak Rasulullah dikenal dua cara penafsiran Al-Qur’an. Pertama,
penafsiran berdasarkan petunjuk wahyu. Kedua, penafsiran berdasarkan
ijtihad atau ra’yi. Dimasa sahabat, sumber untuk memahami ayat-ayat
Al- Qur’an di samping ayat Al-Qur’an sendiri, juga riwayat dari Nabi dan ijtihad
mereka. Pada abad-abad selanjutnya, usaha untuk menafsirkan Al-Qur’an
berdasarkan ra’yi atau nalar mulai berkembang sejalan dengan kemajuan taraf
hidup manusia yang di dalamnya sarat dengan persoalan-persoalan yang tidak
selalu tersedia jawabannya secara eksplisit dalam Al-Qur’an.4
Pada periode berikutnya, umat Islam semakin majemuk dengan
berbondong-bondong bangsa non-Arab masuk Islam, terutama setelah
tersebarnya Islam ke daerah-daerah yang jauh di luar tanah Arab. Kondisi ini
membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan pemikiran Islam;
berbagai peradaban dan kebudayaan non Islam masuk ke dalam
khazanah intelektual Islam. Akibatnya, kehidupan umat Islam menjadi
terpengaruh olehnya. Untuk menghadapi kondisi yang demikian para
pakar tafsir ikut mengantisipasinya dengan menyajikan penafsiran-
penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman
dan tuntutan kehidupan umat yang semakin beragam.
Kondisi seperti yang digambarkan itulah yang merupakan salah satu
pendorong lahirnya tafsir dengan metode analitis (tahlili), sebagaimana
tertuang di dalam kitab-kitab tafsir tahlili, seperti Tafsir al-Thabari dan lain-
lain. Metode penafsiran serupa itu terasa lebih cocok di kala itu karena dapat
memberikan pengertian dan penjelasan yang rinci terhadap pemahaman ayat- ayat
Al-Qur’an. Dengan demikian, umat terasa terayomi oleh penjelasan-
penjelasan dan berbagai interpretasi yang diberikan terhadap ayat-ayat
Al-Qur’an di dalam kitab tersebut. Kemudian metode penafsiran serupa itu diikuti
oleh ulama tafsir yang datang kemudian, bahkan berkembang dengan sangat pesat

4
Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir Dan Aplikasi Model Penafsiran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), hlm. 66
dalam dua bentuk penafsiran yaitu: al-ma’tsur dan al-ra’yi dengan
berbagai corak yang dihasilkannya, seperti fiqh, tasawuf, falsafi, ilmi, adabi
ijtima’i dan lain-lain.
Dengan dikarangnya kitab-kitab tafsir dalam dua bentuk penafsiran
tersebut dengan berbagai coraknya, umat ingin mendapatkan informasi lebih jauh
berkenaan dengan kondisi dan kecenderungan serta keahlian para pakar tafsir.
Kecuali itu, umat juga ingin mengetahui pemahaman ayat-ayat Al- Qur’an
yang kelihatannya mirip, padahal ia membawa pengertian yang berbeda.
Demikian ditemukannya hadits-hadits yang secara lahiriyah ada yang tampak
bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, padahal secara teoritis hal itu tak
mungkin terjadi karena keduanya pada hakikatnya berasal dari sumber yang sama,
yakni Allah.
Kenyataan sebagaimana yang digambarkan itu mendorong para ulama
untuk melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang pernah
diberikan oleh para ulama sebelumnya dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an
ataupun hadits-hadits Nabi. Dengan demikian lahirlah tafsir dengan metode
perbandingan (muqarin) seperti yang diterapkan oleh al-Iskafi di dalam
kitabnya Durrat al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil, dan oleh al-Karmani di
dalam kitabnya Al-Burhan fi Taujih Mutasyabah Al-Qur’an, dan lain-lain.
Permasalahan di abad modern berbeda jauh dari apa yang dialami oleh
generasi terdahulu. Perbedaan tersebut terasa sekali di tengah masyarakat
seperti mobilitas yang tinggi, perubahan situasi yang sangat cepat, dan lain- lain.
Realitas kehidupan yang demikian membuat masyarakat, baik secara
individual maupun berkeluarga, bahkan berbangsa dan bernegara, menjadi
terasa seakan-akan tak punya waktu luang untuk membaca kitab-kitab tafsir yang
besar-besar sebagaimana telah disebutkan tadi. Padahal untuk mendapatkan
petunjuk Al-Qur’an umat dituntut membaca kitab-kitab tafsir tersebut.
Untuk menanggulangi permasalahan itu, ulama tafsir pada abad
modern menawarkan tafsir Al-Qur’an dengan metode baru, yang disebut
dengan metode tematik (Maudhu’i).
Dengan lahirnya metode ini, mereka yang menginginkan petunjuk Al-
Qur’an dalam suatu masalah tidak perlu menghabiskan waktunya untuk
membaca kitab-kitab tafsir yang besar itu, tetapi cukup membaca tafsir
tematik tersebut selama permasalahan yang ingin mereka pecahkan
dapat dijumpai dalam kitab tafsir itu.5
C. Metode – Metode penafsiran Alqur’an
Al-Farmawi menggambarkan al-Qur’an sebagai lautan yang luas dan
dalam yang tidak dapat dapat diungkap seluruh misteri yang terdapat di dalamnya.
Untuk mengungkap berbagai misteri tersebut, maka bermunculanlah tafsir-tafsir,
dan berbagai macam metode untuk memahaminya. Metode-metode tersebut
secara umum terbagi menjadi empat bagian:
1. Metode Tahlili (analitis)
Metode tahlili (analitis) yaitu metode yang dialakukan dengan cara
meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, dimulai
dari uraian makna kosakata, makna kalimat, maksut setiap ungkapan,
kaitan antar pemisah (munasabat), sampai sisi-sisi keterkaitan antar
pemisah itu (wajh al-munasabat) bantuan asbab an-nuzul, riwayat-riwayat
yang berasal dari Nabi SAW, sahabat dan tabi’in. Prosedur ini dilakukan
dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat. Dan
juga terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi
Nabi sampai tabi’in dan diisi dengan kebahasaan serta materi-materi
khusus lainnya yang semuanya ditujukan untuk memahami Al-Qur’an
yang mulia.6
Ada juga yang menjelaskan metode tahlili ialah menafsirkan ayat-
ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di
dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna
yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan
mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Serta pendapat-pendapat
yang diungkapkan atau disampaikan Nabi, sahabat tabi’in dan para ahli
tafsir lainnya. Bentuk metode ini mengandung bentuk ma’stur (riwayat),
atau ra’y (pemikiran).7
Keberadaan metode ini telah memberikan sumbangan yang sangat
besar dalam melestarikan dan mengembangakan khazanah intelektual
5
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2005), hlm. 8
6
Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i, (Bandung: CV Pustaka Mulia,
2002), hlm. 23-24
7
Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset, 1998, Hlm: 31
islam, khususnya dalam bidang tafsir Al-Qur’an. Karena metode ini tidak
membatasi mufasir mengemukakan pemikiran-pemikiran yang ada
didalam benak para mufasir dan lebih relatif mempunyai kebebasan dalam
memajukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru dalam penafsiran Al-
Qur’an.
2. Metode Ijmali (global)
Metode ijmali (global) ialah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an
secara ringkas tapi mencakup bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan
enak dibaca. Sistematika penulisannya menuruti susunan ayat-ayat di
dalam mushaf, penyajiannya tidak jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an
sehingga pendengar dan pebacanya seakan-akan masih tetap mendengar
ayat Al-Qur’an bukan tafsirannya. Dan tafsiran ini diuraikan dengan
uraian singkat sehingga daapat dipahami oleh semua orang, mulai dari
orang yang berpengetahuan luas sampai yang berpengetahuan sekedarnya.8
Di dalam metode ini, tidak ada ruangan baginya untuk
mengemukana ide-idenya, atau tidak memberikan penafsiran yang lebih
rinci, tapi ringkas dan umum dan juga luas sehingga pembacanya seakan-
akan membaca Al-Qur’an. Metode ini adalah yang paling tua dan paling
sering digunakan. Menurut Muhammad Baqir ash-Shadr, metode ini, yang
ia sebut sebagai metode tajzi’i adalah metode yang mufasirnya berusaha
menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya dengan
memperhatikan runtutan ayat Alquran sebagaimana tercantum dalam Al-
Qur’an.
Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian
surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Quran.
Dia menjelaskan kosa kata dan lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki,
sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur ‘ijaz dan
balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat
diambil dari ayat yaitu hukum fiqih, dan dalil syar‟i, arti secara bahasa,
norma-norma akhlak dan lain sebagainya. Keunggulan metode ini terletak
pada cakupan yang luas, dapat menampung berbagai gagasan dan
8
Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i, Bandung: CV Pustaka Mulia, 2002,
Hlm: 38
menyediakan informasi mengenai kondisi sosial, linguistik, dan sejarah
teks. Sementara kelemahannya membuat petunjuk Al-Quran bersifat
parsial, melahirkan penafsiran yang subyektif, memuat riwayat israiliyyat,
komentar yang terlalu banyak melelahkan untuk dibaca dan informasinya
tumpang tindih dengan pengetahuan.9
3. Metode Muqaran (perbandingan/komparasi)
Metode tafsir muqaran adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an
dengan mumerujuk pada penjelasan-penjelasan para mufassir. Langkah
yang ditempuh ketika menggunakan metode ini adalah:
a. Mengumpulkan sejumlah ayat Al-Qur’an
b. Mengemukakan penjelasan para mufassir, baik kalangan salaf atau
kalangan khalaf, baik tafsirnya bercorak bi ma’stur atau bi ar-ra’yi
c. Membandingkan kecenderungan tafsir mereka masing-masing
d. Menjelaskan siapa diantara mereka yang penafsirannya
dipengaruhi secara subjektif oleh madzhab tertentu siapa yang
penafsirannya ditujukan untuk melegitimasi golongan atau
madzhab tertentu; siapa yng penfsirannya diwarnai latar belakang
disiplin ilmu yang dimilikinya, seperti bahasa, fiqih, atau yang
lainnya; siapa yang penafsirannya didominasi uraian-uraian yang
sebenarnya tidak perlu seperti kisah-kisah yang tidak rasional dan
tidak didukung oleh argumentasi nakliah; siapa yang penafsirannya
dipengaruhi oleh paham-paham Asy’aiyyah, atau Mu’tazilah, atau
paham-paham tasawuf, atau teori-teori filsafat, atau teori-teori
ilmiah.10
4. Metode Maudhu’i (tematik)
Metode maudhu’i adalah metode penafsiran yang membahas ayat-
ayat Al-Qur’an sesuai degan tema dan judul yang telah ditetapkan. Semua
ayat yang berkaitaan, dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan
tuntas dari berbagai aspek yang berkaitan dengannya, seperti asbab al-
nuzul, kosa kata dan lain sebagainnya. Semua dijelaskan rinci dan tuntas,
serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggung
9
Ali AlJufri, Metode Tafsir Al-Wadhi Al-Muyassar Karya M. Ali Al-Shabuni, Rausyan
Fikr, Vol. 12 No.1Juni 2016: 35 - 55
10
Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i, Bandung: CV Pustaka Mulia, 2002,
Hlm: 39
jawabkan secara ilmiah, baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an, hadist,
maupun pemikiran rasional.11
Seandainya seorang peneliti menggunakan metode ini dengan
penuh keseriusan, tampaklah kepada kita kandungan Al-Qur’an berupa
diantaranya penetapan syari’at yang cocok untuk setiap waktu dan tempat.
Dan dapat digunakan untuk menetapkan undang-undang kehidupan yang
siap berhadapan dengan perubahan dinamika kehidupan, undang-undang
wadhi’yah, dan unsur-unsur eksternal yang dihadapi dalam keberagamaan
sehari-hari.12

BAB III

KESIMPULAN

A. Pengertian Metode Tafsir

Kata Metode berasal dari Bahasa Yunani “Methodos” yang berarti


“cara atau jalan”. Sedangkan metode tafsir yang dimaksud disini ialah
suatu perangkat yang digunakan dalam proses penafsiran Al-Qur’-an.

B. Sejarah Perkembangan Metode Tafsir

Sejak masa Rasulullah dikenal dua cara penafsiran Al-


Qur’an. Pertama, penafsiran berdasarkan petunjuk wahyu. Kedua,
penafsiran berdasarkan ijtihad atau ra’yi. Dimasa sahabat, sumber
untuk memahami ayat-ayat Al- Qur’an di samping ayat Al-Qur’an
sendiri, juga riwayat dari Nabi dan ijtihad mereka. Pada abad-abad

11
Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset, 1998, Hlm: 151
12
Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i, Bandung: CV Pustaka Mulia, 2002,
Hlm: 44
selanjutnya, usaha untuk menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan ra’yi
atau nalar mulai berkembang sejalan dengan kemajuan taraf hidup
manusia yang di dalamnya sarat dengan persoalan-persoalan yang tidak
selalu tersedia jawabannya secara eksplisit dalam Al-Qur’an.

C. Metode – Metode penafsiran Alqur’an


1. Metode Tahlili (analitik)
2. Metode Ijmali (global)
3. Metode Muqaran (perbandingan/komparasi)
4. Metode Maudlu’i (tematik)

DAFTAR PUSTAKA

Nashruddin Baidan, 2002 , Metode Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Offset
Islah Gusmian, 2003, Khazanah Tafsir Indonesia, (Jakarta, Teraju Cet. I)
Amin Suma, 2002, Pengantar Tafsir Ahkam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada)
Rohimin, 2007, Metodologi Ilmu Tafsir Dan Aplikasi Model Penafsiran, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar)
Abdul Hayy Al-Farmawi, 2002, Metode Tafsir Maudhu’i, (Bandung: CV Pustaka Mulia)
Ali AlJufri, Metode Tafsir Al-Wadhi Al-Muyassar Karya M. Ali Al-Shabuni, Rausyan Fikr, Vol. 12
No. 1 Juni 2016

Anda mungkin juga menyukai