Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Apendisitis merupakan kasus gawat bedah abdomen yang tersering dan memerlukan

tindakan bedah segera untuk menghindari komplikasi yang serius. Apendisitis yang terlambat

ditangani akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas penderita. Untuk itu ketepatan

diagnosa sangat dibutuhkan dalam pengambilan keputusan tindakan. Ketepatan diagnosa

tergantung dari kemampuan dokter melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan laboratorium.(1)

Insiden Apendisitis akut di Indonesia dilaporkan menempati urutan tertinggi diantara

kasus-kasus gawat darurat, seperti halnya di negara barat. Walaupun demikian, diagnosa serta

keputusan bedah masih cukup sulit di tegakkan. Pada beberapa keadaan Apendisitis akut

agak sulit didiagnosis, misalnya pada fase awal dari gejala Apendisitis akut dan tandanya

masih sangat samar apalagi bila sudah diberikan terapi antibiotika. Dengan pemeriksaan yang

cermat dan teliti resiko kesalahan diagnosis sekitar 15-20%. Bahkan pada wanita kesalahan

diagnosis ini mencapai 45-50%. Hal ini dapat disadari mengingat wanita sering timbul

gangguan organ lain dengan gejala yang serupa dengan Apendisitis akut.(1)

Mengingat masalah diatas maka perlu diketahui tanda, gejala,

pemeriksaanlaboratoium sederhana mana yang berperan secara bermakna dalan mendiagnosis

Apendisitisakut, serta akurasi dan spesifitas modalitas diagnosa tersebut untuk memudahkan

dokter dalam mendiagnosa dan mengambil keputusan.(1,2)

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Appendiks

2.1.1 Anatomi

Appendiks merupakan organ dengan struktur tubular yang rudimeter dan tanpa

fungsi yang jelas. Appendiks berkembang dari posteromedial caecum dengan panjang

yang bervariasi namun pada orang dewasa sekitar 5-15 cm dan diameter sekitar 0,5-0,8

cm. Appendiks merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum dan

Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan apppendiks terlihat

pada minggu ke-8 kehamilan yaitu bagian ujung dari protuberans caecum. Dalam

proses perkembangannya, awalnya apendiks berada pada apeks caecum, tetapi

kemudian berotasi dan terletak lebih medial ekat Plica ileocaecalis. Lumen apendiks

sempit dibagian proksimal dan melebar di bagian distal. Hampir seluruh permukaan

apendiks dikelilingi oleh peritoneum dan mesoapendiks (mesenter dari appendiks) yang

merupakan lipatan peritoneum yang berjalan kontinyu sepanjang appendiks dan

berakhir di ujung appendiks.(1)

Gambar 1. Anatomi appendiks

2
Pada appendiks terdapat 3 taenia coli yang menyatu di persambungan caecum dan

bisa berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi appendiks. Posisi apendiks

terbanyak adalah retrocaecal 65.28% baik intraperitoneal maupun retroperitoneal

dimana appendiks berputar ke atas di belakng caecum. Selain itu juga terdapat posisi

pelvic (panggul) 31,01% (appendiks menggantung ke arah pelvic minor), subcaecal (

dibawah caecum) 2,26% retroileal (dibelakang usus halus) 0,4%, retrokolika, dan pre-

ileal. (1)

Gambar 3. Variasi Letak Appendiks

Vaskularisasi appendiks berasal dari arteri appendikularis yang berjalan di

sepanjang masoapendiks dan merupakan cabang dari arteri ileocolica dan yang

merupakan cabang trunkus mesenterik superior. Selain dari arteri apendikular yang

memperdarahi hampir seluruh apendiks, juga terdapat kontribusi dari arteri asesorius.

Untuk aliran balik, vena apendiseal cabang dari vena ileocoli berjalan ke vena

mesentrik superior dan masuk ke sirkulasi portal.

3
Persarafan parasimpatis dari apendiks berasal dari cabang nervus vagus yang

mengikuti a. Mesenterica superior dan a. Apendikularis, sedangkan persarafan simpatis

berasal dari n. Thorakalis X.(1)

2.1.2 Fisiologi

Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal

dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir

di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.

Awalnya, apendiks dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini,

appendiks dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan

Imunoglobulin A (IgA). Walaupun appendiks merupakan komponen integral dari

sistem Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT), imunoglobulin ini sangat efektif

sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi

virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun,

pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan

sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.

2.2 Appendisitis

2.2.1 Definisi

Appendisitis adalah peradangan pada organ appendiks vermiformis atau yang di

kenal juga sebagai usus buntu. Diklasifikasikan sebagai suatu kasus medical emergency

dan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui. Obstruksi

lumen merupakan penyebab utama appendisitis. Erosi membran mukosa appendiks

dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan

Enterobius vermikularis.Penelitian Collin (1990) di Amerika Serikat pada 3.400 kasus,

4
50% ditemukan adanya faktor obstruksi. Obstruksi yang disebabkan hiperplasi jaringan

limfoid submukosa 60%, fekalith 35%, benda asing 4%, dan sebab lainnya 1%.

Gambar 5. Inflamasi Appendiks

2.2.2 Epidemiologi

Insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara

berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun bermakna.Hal

ini disebabkan oleh meningkatnyapenggunaan makanan berserat dalam menu sehari-

hari.Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu

tahun jarang dilaporkan.Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu

menurun.Insidens pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur

20-30 tahun, insidens pada lelaki lebih tinggi. Meskipun jarang, pernah dilaporkan

kasus appendiks neonatal dan prenatal. Pasien dengan usia yang lebih dari 60 tahun

dilaporkan sebanyak 50% meninggal akibat apendisitis.

5
2.2.3 Etiologi

Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang appendiks, diantaranya :

a. Faktor sumbatan

Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%)

yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasia

jaringan limfoid submukosa,35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan

sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obstruksi yang

disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut

diantaranya : 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus

apendisitis akut gangrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut

dengan ruptur.

b. Faktor bakteri

Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis akut.

Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan

memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen

apendiks. Pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara

Bacteriodes fragilis dan E.coli, Splanchicus, Lacto-bacilus, Pseudomonas,

Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah

kuman anaerob sebesar 96% dan aerob <10%.

Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa

appendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Ulserasi mukosa merupakan tahap

awal dari kebanyakan penyakit ini. Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi

pada pasien apendisitis yaitu :

6
Bakteri Aerob Fakultatif Bakteri Anaerob

 Escherichia coli  Bacteroides fragilis

 Viridans streptococci  Peptostreptococcus micros

 Pesudomonas aeruginosa  Bilophila species

 Enterococcus  Lactobacillus species

Tabel 1. Spesies bakteri yang dapat diisolasi

c. Faktor konstipasi dan pemakaian laksatif

Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya

sumbatan fungsional apendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman flora kolon

biasa sehingga mempermudah timbulnya apendisitis akut. Penggunaan laksatif

yang terus-menerus dan berlebihan memberikan efek merubah suasan flora usus

dan menyebabkan terjadinya hiperesi usus yang merupakan permulaan dari

proses inflamasi. Pemberian laksatif pada penderita apendisitis akan merangsang

peristaltik dan merupakan predisposisi terjadinya perforasi dan peritonitis.

d. Kecenderungan familiar

Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari

organ, appendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya

yang mudah terjadi appendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan

makanan dalam keluarga terutama denga diet rendah serat dapat memudahkan

terjadinya fekalith dan mengakibatkan obstruksi lumen.

e. Faktor ras dan diet

Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makan sehari-hari. Bangsa

kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi

7
dari negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya

terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan

tinggi serat. Justru negara berkembang, yang dulunya memiliki tinggi serat kini

beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko appendisitis yang lebih

tinggi.

2.2.4 Klasifikasi

Appendisitis akut diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Appendisitis akut sederhana ( Cataral Appendicitis)

Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan

obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi

peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa

appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri

di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, dan demam ringan. Pada

appendisitis cataral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat normal, hiperemia,

edema, dan tidak ada eksudat serosa.

2. Appendisitis akut purulent (Supurative Appendicitis)

Tekanan dalam lumen terus bertambah disertai edema menyebabkan

terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.

Keadaan ini memperberat iskemik dan edema pada apendiks. Mikroorganisme

yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan

infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.

Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, heperemia, dan di dalam

lumen terdapat eksudat fibrinopurulen.

8
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas

di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri

dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda

peritonitis umum.

3. Appendisitis akut gangrenosa

Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu

sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif,

appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna

ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Apada appendisitis akut gangrenosa

terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.

2.2.5 Patofisiologi

Bila appendiks tersumbat, terjadi sekresi mukus yang tertimbun dalam lumen

appendiks, sehingga tekanan intra luminer tinggi. Tekanan ini akan mengganggu aliran

limfe sehingga terjadi edema dan terdapat luka pada mukosa, stadium ini disebut

Appendisitis Akut Ringan. Tekanan yang meninggi, edema dan disertai inflamasi

menyebabkan obstruksi aliran vena sehingga menyebabkan trombosis yang

memperberat iskemi dan edema. Pada lumen appendiks juga terdapat bakteri, sehingga

dalam keadaan tersebut suasana lumen appendiks cocok buat bakteri untuk diapedesis

dan invasi ke dinding dan membelah diri sehingga menimbulkan infeksi dan

menghasilkan pus. Stadium ini disebut Appendisitis Akut Purulenta.

9
2.2.6 Manifestasi Klinis

a. Nyeri abdominal

Karena adanya kontraksi appendix, distensi dari lumen appendix ataupun

karena tarikan dinding appendx yang mengalami peradangan. Mula-mula nyeri

dirasakan samar-samar, tumpul dan hilang timbul yang merupakan nyeri viseraldi

daerah epigastrium atau sekitar umbilicuskarena appendix dan usus halus

mempunyai persarafan yang sama. Setelah beberapa jam (4-6 jam) nyeri

berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc Burney). Apabila

terjadi inflamasi (>6 jam) akan terjadinyeri somatik setempat yang berarti sudah

terjadi rangsangan pada peritoneum parietal dengan sifat nyeri yang lebih tajam,

terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki.

Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat

dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika

meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut :

o Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum

(terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas

dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut

kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan,

bernafas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya

kontraksi m. psoas mayor yang menegang dari dorsal.

o Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul

gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik

10
meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-

ulang (diare).

o Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat

terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangan dindingnya.

b. Mual-muntah biasanya pada fase awal

Disebabkan karena rangsangan visceral akibat aktivasi nervus vagus. Timbul

beberapa jam sesudah rasa nyeri yang timbul saat permulaan.Hampir 75%

penderita disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan

kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali.

c. Nafsu makan menurun (anoreksia)

Timbul beberapa jam sesudahrasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan

anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita appendisitis akut, bila hal in

tidak ada maka diagnosis appendisitis akut perlu dipertanyakan.

d. Obstipasi dan diare pada anak-anak.

Penderita appendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa

nyeri dan beberapa penderita mengalami diare. Hal tersebut timbul biasanya pada

letak appendix pelvikal yang merangsang daerah rektum.

e. Demam

Demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50 – 38,50C tetapi bila

suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.

11
2.2.7 Diagnosa

a. Anamnesis

Untuk menegakkan diagnosis pada apendisitis didasarkan atas anamnesis

ditambah dengan pemeriksaan laboratorium sarta pemeriksaan penunjang lainnya.

Gejala appendisitis ditegakkan dengan anamnesis, ada 4 hal penting yaitu :

o Nyeri mula – mula di epigastrium ( nyeri visceral ) yang beberapa waktu

kemudian menjalar ke perut kanan bawah.

o Muntah oleh karena nyeri visceral

o Demam

o Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita

nampak sakit, menghindarkan pergerakan pada daerah perut.

b. Pemeriksaan fisik

1) Inspeksi

Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan

memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak

ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan

komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa

atau abses appendikuler.

2) Auskultasi

Peristaltik usus sering normal. Peristaltic dapat hilang pada ileus

paralitik karena peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.

12
3) Palpasi

Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda

peritonitis lokal yaitu:

o Nyeri tekan (+) Mc. Burney

Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran bawah atau titik Mc

Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.

o Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum

Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang hebat

(dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat

tekanan secara tiba-tiba dilepaskan, setelah sebelumnya dilakukan

penekanan yang perlahan dan dalam dititik Mc Burney.

o Defens muskuler(+) karena rangsangan M.Rektus Abdominis

Defens muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang

menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal.Pada appendiks letak

retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri

pinggang.

Pemeriksaan Rectal Toucher

Akan didapatkan nyeri pada jam 9-12. Pada apendisitis pelvika akan

didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.

4) Perkusi : nyeri ketuk (+)

13
c. Pemeriksaan khusus/tanda khusus

 Rovsing sign

Penekanan perut kiri bawah terjadi nyeri perut kanan bawah, karena tekanan

merangsang peristaltic dan udara usus, sehingga menggerakkan peritoneum

sekitar appendix yang meradang (somatic pain)

 Blumberg sign

Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kiri bawah atau

kolateral dari yang sakit kemudian dilepaskan tiba-tiba, akan terasa nyeri pada

kuadran kanan bawah karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.

 Psoas sign

Dilakukan dengan rangsangan muskulus psoas. Ada 2 cara memeriksa:

1. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien

memfleksikan articulation coxae kanan, psoas sign (+) bila terasa nyeri

perut kanan bawah.

2. Pasif: Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan pemeriksa,

psoas sign (+) bila terasa nyeri perut kanan bawah.

14
Gambar 7. Cara melakukan Psoas Sign

 Obturator sign

Dilakukan dengan menyuruh pasien tidur telentang, lalu dilakukan gerakan

fleksi dan endorotasi sendi panggul atau articulation coxae. Obturator sign (+)

bila terasa nyeri di perut kanan bawah.

15
Gambar 8. Cara melakukan Obturator Sign

d. Pemeriksaan penunjang

1) Pemeriksaan laboratorium

o Pemeriksaan darah : pada laboratorium darah terdapat leukositosi ringan (

10.000 – 18.000/mm3) yang didominasi >75% oleh sel Polimorfonuklear

(PMN), netrofil (shift to the left) dimana terjadi pada 90% pasien. Hal ini

16
biasanya terdapat pada pasien dengan akut appendisitis dan apendisitis

tanpa komplikasi. Sedangkan leukosit >18.000/mm3meningkatkan

kemungkinan terjadinya perforasi apendiks dengan atau tanpa abses.

o Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit, dan bakteri

dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan

diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang

mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.

o Pemeriksaan laboratorium lain yang mendukung diagnosa appendisitis

adalah C- reaktif protein. CRP merupakan reaktan fase akut terhadap

infeksi bakteria yang dibentuk di hepar. Kadar serum mulai meningkat

pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan. Tetapi pada umumnya,

pemeriksaan ini jarang digunakan karena tidak spesifik. Spesifitasnya

hanya mencapai 50-87% dan hasil dari CRP tidak dapat membedakan tipe

dari infeksi bakteri.

2) Foto polos abdomen

Radiologi polos tidak spesifik, umunya tidak efektif untuk biaya, dan

dapat menyesatkan dalam stuasi tertentu. Dalam <5%, suatu fekalith buram

mungkin tidak terlihat di kuadran kanan bawah. Foto polos abdomen dapat

digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada appendisitis akut

dapat terlihat abnormal “gas pattern” dari usus, tapi hal ini tidak spesifik.

Ditemukan fekalith dapat mendukung diagnosis. Dapat ditemukan pula adanya

local air fluid level, peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran kanan

bawah, perubahan bayangan psoas line, dan free air (jarang) bila terjadi

perforasi. Foto polos umumnya tidak dianjurkan kecuali kondisi tertentu

17
misalnya perforasi, obstruksi usus, saluran kemih kalkulus. Walaupun

demikian, foto polos abdomen bukanlah sesuatu yang rutin atau harus

dikerjakan dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri abdomen yang akut.

3) USG

Merupakan pemeriksaan yang akurat untuk menentukan diagnosis

appendisitis. Tekniknya tidak mahal, dapat dilakukan dengan cepat, tidak

invasif, tidak membutuhkan kontras dan dapat digunakan pada pasien yang

sedang hamil karena tidak mengganggu paparan radiasi. Secara sonografi,

appendiks diidentifikasikan sebagai “blind end”, tanpa peristaltik usus.

Kriteria sonografi untuk mendiagnosis appendisitis akut adalah adanya

noncompressible appendiks sebesar 6 mm atau lebih pada diameter

anteroposterior, adanya appendicolith, interupsi pada kontinuitas lapisan

submukosa, dan cairan atau massa periappendiceal. Temuan perforasi

appendisitis termasuk cairan pericecal loculated, phlegmon (sebuah definisi

penyakit lapisan struktur dinding appendiks) atau abses, lemak pericecal

menonjol, dan kehilangan keliling dari layer submukosa.

False (+) dapat ditemukan pada adanya dilatasi tuba falopii dan pada

pasien yang obese hasilnya bisa tidak akurat, divertikulum Meckel,

divertikulitis cecal, penyakit radang usus, penyakit radang panggul, dan

endometriosis. Sedangkan false (-) didapatkan pada appendiks.

4) Barium enema

Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon

melalui anus. Barium enema merupakan kontra indikasi pada suspek

18
appendisitis akut sebab pada apendisitis akut ada kemungkinan sudah terjadi

mikroperforasi sehingga kontras dapat masuk ke intraabdomen menyebabkan

penyebaran kuman ke intraabdomen. Barium enema indikasi untuk apendisitis

kronik. Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaSO4

serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1 : 3 secara peroral dan

diminum sebelum kurang lebih 8 – 10 jam untuk anak – anak atau 10 – 12 jam

untuk dewasa. Pemeriksaan ini dikatakan positif bila menunjukkan appendiks

yang non-filling dengan indentasi dari caecum menunjukkan adanya

appendisitis kronis. Hal ini menunjukkan adanya inflamasi pericaecal. False

negative (partial filling) didapatkan pada 10% kasus. Barium enema ini sudah

tidak lagi digunakan secara rutin dalam mengevaluasi pasien yang dicurigai

menderita appendisitis akut.

5) CT Scan

Sangat berguna pada pasien yang dicurigai mengalami proses inflamasi

pada abdomen dan adanya gejala tidak khas untuk appendisitis. Appendiks

normal akan terlihat struktur tubular tipis pada kuadran kanan bawah yang

dapat menjadi opak dengan kontras. Appendicolith terlihat sebagai kalsifikasi

homogenus berbentuk cincin (halo sign), dan terlihat pada 25% populasi. (7)

Appendisitis akut dapat didiagnosa berdasarkan CT-Scan apabila

didapatkan appendiks yang abnormal dengan inflamasi pada periappendiceal.

Appendiks dikatakan abnormal apabila terdistensi atau menebal dan membesar

>5-7 mm. Sedangkan yang termasuk inflamasi periappendiceal antara lain

adalah abses, kumpulan cairan, edema, dan phlegmon. Inflamasi

periappendiceal atau edem terlihat sebagai perkapuran dari lemak

19
mesenterium (“dirty fat”), penebalan fascia lokalis, dan peningkatan densitas

jaringan lunak pada kuadran kanan bawah. CT-Scan khususnya digunakan

pada pasien yang mengalami penanganan gejala klinis yang telat (48-72 jam)

sehingga dapat berkembang menjadi phlegmon atau abses. Fekalith dapat

dengan mudah terlihat, tetapi adanya fekalith bukan patognomonik adanya

appendisitis. Temuan penting adalah arrowhead sign yang disebabkan

penebalan dari caecum. (6)

Kekurangan dari CT-Scan termasuk mungkin iodinasi-kontras-media

alergi, ketidaknyamanan pasien dari pemberian media kontras (terutama jika

media kontras rektal digunakan), paparan radiasi pengion, biaya dan tidak

dapat digunakan untuk wanita hamil. (6)

e. Scoring Appendisitis

Skor Alvarado(9)

Semua penderita dengan suspek appendisitis akut dibuat skor alvarado dan

diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu : skor <6 dan skor >6.

20
Manifestasi Skor

Gejala Adanya migrasi nyeri 1

Anoreksia 1

Mual/muntah 1

Tanda Nyeri RLQ 2

Nyeri lepas 1

Febris 1

Laboratorium Leukositosis 2

Shift to the left 1

Total poin 10

Keterangan Alvarado score :

Interpretasi dari Modified Alvarado Score :

1–4 sangat mungkin bukan appendisitis akut

5–7 sangat mungkin appendisitis akut

8 – 10 pasti appendisitis akut

 Penanganan berdasarkan skor Alvarado :

1–4 : observasi

5–7 : antibiotik

8 – 10 : operasi dini

21
Skoring appendisitis pada anak – anak(9)

Yang sering digunakan adalah Samuel Score. Sistem penilaian ini meliputi 9

variabel untuk menilai appendisitis akut :

No Kriteria Skoring

1. Gender

1) Laki-laki 2

2) Perempuan 0

2. Intensitas Nyeri

1) Berat 2

2) Sedang 0

3. Perpindahan nyeri

1) Ya 4

2) Tidak 0

4. Nyeri perut kuadran kanan bawah

1) Ya 4

2) Tidak 0

5. Muntah

1) Ya 2

2) Tidak 0

6. Suhu badan

1) 37,50C 3

2) <37,50C 0

7. Guarding

1) Ya 2

22
2) Tidak 0

8. Bising Usus

1) Absent/meningkat 4

2) Normal 0

9. Rebound tenderness

1) Ya 7

2) Tidak 0

 Appendisitis akut mempunyai nilai 0 sampai nilai maksimal 32. Dan nilai ini

digunakan untuk mendiagnosa ada atu tidaknya appendisitis akut.

 Nilai batas untuk appendisitis akut adalah >21 kemungkinan besar appendisitis

akut.

 Jika nilai <15, kemungkinan untuk appendisitis akut adalah rendah.

2.2.8 Diagnosa Banding

Terdapat banyak penyakit akut abdomen yang mempunyai tanda dan gejala yang

mirip dengan apendisitis akut, yaitu:

a. Gastroenteritis

Pada gastroenteritis mual, muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut

lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltis sering ditemukan. Demam

dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan appendisitis akut.

b. Peradangan pelvis

23
Tuba Fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang kedua

organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau adnesitis.

Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak seksual.

Suhu biasanay lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah

lebih difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus

diayunkan maka akan terasa nyeri.

c. Kehamilan Ektopik

Adanaya riwayat terhambat menstruasi denga keluhan yang tidak menentu.

Jika terjadi ruptur tuba atau abortus diluar rahim dengan perdarahan akan timbul

nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok

hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan

kavum douglas, dan pada kuldosentesis akan di dapatkan darah.

d. Urolitiasis pielium/ureter kanan

Batu ureter atau batu ginjal kanan. Adanya riwayat kolik dari pinggang ke

perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria

serung ditemukan. Foto perut polos atau urografi intravena dapat meyakinkan

penyakit tersebut. Pielonefritis sering disertai dengan demam tinggi, menggigil,

nyeri kostovertebral disebelah kanan, dan piuria.

24
2.2.9 Penatalaksanaan

Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi
dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan appendiktomi sambil
memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi appendiks
normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada appendisitis akut tanpa
komplikasi tidak banyak masalah. Pada apendisitis akut, abses, dan perforasi diperlukan
tindakan operasi apendiktomi cito.

Terapi Non-Operatif
 Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat berguna untuk
appendisitis akut bagi mereka yang sulit mendapatkan intervensi operasi
(misalnya untuk pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang memiliki resiko
tinggi untuk dilakukan operasi.
 Rujuk ke dokter spesialis bedah.
Terapi Operatif
Antibiotika preoperatif (persiapan preoperatif)
 Pemberian antibiotika preoperatif efektif untuk menurunkan terjadinya infeksi
post operasi.
 Diberikan antibiotika spektrum luas dan juga untuk gram negatif dan anaerob.
 Antibiotika preoperatif diberikan oleh ahli bedah.
 Antibiotika profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya
digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau
Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri yang
terlibat, termasuk Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus,
Streptococcus viridans, Klebsiella, dan Bacteroides.
Indikasi Appendiktomi :

 Appendisitis akut
 Appendisitis kronik
 Periapendikular infiltrat dalam stadium tenang
 Apendiks terbawa dalam operasi kandung kemih
 Apendisitis perforata

25
Teknik operasi Apendiktomi :

1) Open Appendectomy

2) Laparoscopy Appendectomy

2.2.10 Prognosis

Mortalitas adalah 0,1% jika appendisitis akut tidak pecah, dan 15% jika pecah
pada orang tua. Kematian biasanya akibat dari sepsis, emboli paru, atau aspirasi.
Prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum perforasi terjadi dan dengan
antibiotik yang adekuat. Morbiditas meningkat seiring dengan perforasi dan usia tua.

26
BAB III

KESIMPULAN

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendiks vermicularis, dan


merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering terjadi pada anak-anak maupun
dewasa. Insiden pada laki-laki dan perempuan umumnya seimbang, kecuali pada umur 20-30
tahun, didapatkan insiden lebih tinggi pada laki-laki. Apendisitis disebabkan karena adanya
obstruksi pada lumen appendiks sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik, nekrosis dan
akibatnya terjadi infeksi.

Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling
penting dalam menegakkan diagnosis appendisitis. Gejala awal yang khas, yang merupakan
gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di
sekitar umbilikus atau periumbilikalis. Dalam pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda
peritonitis lokal pada titik Mcburney, dan rangsangan kontralateral; blumberg dan rovsing
sign . Pemeriksaan lain yang dapt mendukung diagnosa yaitu psoas sign, obturator sign, dan
nyeri tekan pada rectal toucher . Upaya mempertajam diagnosis sudah banyak dilakukan,
antara lain dengan menggunakan sarana diagnosis penunjang: laboratorium (darah, urin,
CRP), foto polos abdomen, pemeriksaan barium-enema, USG dan CT scan abdomen.
Diagnosis jugadapat dibantu dengan skoring alvarado, ohmann, dan skoring apendisitis pada
anak.

Kita juga perlu menyingkirkan diagnosa banding, mencegah komplikasi dan


mengenali appendisitis pada keadaan khusus yaitu pada anak, usia lanjut, wanita hamil,
dan pada pasien dengan infeksi HIV.

Bila diagnosa klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
appendiktomi,dapat dilakukan secara open surgery atau laparascopic appendictomy.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Shrestha, S. Anatomy of appendix and appendicitis. http://medchrome.com/basic-


science/anatomy/anatomy-appendix-appendicitis/. Accesed in Juni,23,2013.
2. Faiz,O, balckburn,S, Moffat,D. Anatomy At A Glance. Edisi Ketiga. England :
Oxford;2011. H 36.
3. urDocter. Anatomy and physiology of Appendix.
Http://healthycase.com/articles/surgery/19-anatomy-and-physiology-of-appendix.
Accessed in Juni,23,2013.
4. Kevin P. Lally, Charles S. Cox JR. Dan Richard J. Andrassy. Appendix on Chapter 47
in Sabiston Textbook of Surgery 17ed ebook. New york: Saunders; 2004.h 1381-1400
5. Addiss,D G. The epidemiology of appendicitis and appendectomy in the United
States. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2239906. Accessed in Juni,23,2013.
6. Brunicardi C, Anderson DK, Billiar T, Duhn DL, Hunter JG, Mathews JB, Pallock
RC. 2010. The Appendix on Chapter 30 in Schwartz’s Principles of Surgery 9ed
ebook. New York: McGraw-Hills.
7. Annonymmous. Appendicits Type.
http://www.appendicitissymptoms.org.uk/appendicitis-types.htm. Accessed in
Juni,23,2013.
8. Old JL. Imaging for Suspected Appendicitis. Available at :
http://www.aafp.org/afp/2005/0101/p71.html#afp20050101p71-b15. Accessed in
Juni,23,2013.
9. Vanjak D. Analysis of Scores in Diagnosis of Acute Appendicitis in women.
Available at : www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10356580. Accessed in Juni,23,2013.
10. Dudley H.A.F. apendisitis akut dalam Hamilton Bailey Ilmu Bedah Gawat Darurat
edisi 11. Gajah Mada Unv Press. 1992. Hal 441-452
11. Craig, Sandy. 2008. Appendicitis, Acut-Follw-Up. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/773895-followup. Accessed in Juni,23,2013.

28

Anda mungkin juga menyukai

  • 5230 Hernia Inguinalis-1
    5230 Hernia Inguinalis-1
    Dokumen23 halaman
    5230 Hernia Inguinalis-1
    Meulia Dwi Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Meulia Dwi Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen6 halaman
    Bab 2
    Meulia Dwi Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Refrat Kulit
    Refrat Kulit
    Dokumen32 halaman
    Refrat Kulit
    Meulia Dwi Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Cover Obgyn
    Cover Obgyn
    Dokumen1 halaman
    Cover Obgyn
    Meulia Dwi Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    Meulia Dwi Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Meulia Dwi Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Refarat Obgyn Solusio Plasenta
    Refarat Obgyn Solusio Plasenta
    Dokumen28 halaman
    Refarat Obgyn Solusio Plasenta
    Meulia Dwi Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Referat Kulit Dermatitis Stasis
    Referat Kulit Dermatitis Stasis
    Dokumen19 halaman
    Referat Kulit Dermatitis Stasis
    Meulia Dwi Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Apendisitis
    Apendisitis
    Dokumen29 halaman
    Apendisitis
    Meulia Dwi Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Appendisitis Akut
    Appendisitis Akut
    Dokumen19 halaman
    Appendisitis Akut
    Meulia Dwi Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • BAB II Pioderma Tropikal
    BAB II Pioderma Tropikal
    Dokumen4 halaman
    BAB II Pioderma Tropikal
    Meulia Dwi Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen3 halaman
    Bab Ii
    Meulia Dwi Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen2 halaman
    Bab Ii
    Meulia Dwi Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Meulia Dwi Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Refrat Kulit
    Refrat Kulit
    Dokumen32 halaman
    Refrat Kulit
    Meulia Dwi Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen1 halaman
    Bab Ii
    Meulia Dwi Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen2 halaman
    Bab Ii
    Meulia Dwi Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • RJPO
    RJPO
    Dokumen64 halaman
    RJPO
    Muhammad Amrie
    Belum ada peringkat
  • Isi Endometriosis
    Isi Endometriosis
    Dokumen18 halaman
    Isi Endometriosis
    Meulia Dwi Pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Prurigo Hebra
    Lapkas Prurigo Hebra
    Dokumen20 halaman
    Lapkas Prurigo Hebra
    Kabir Muhammad
    Belum ada peringkat