Anda di halaman 1dari 35

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi Umum


Setiap tindakan pembedahan, baik pembedahan darurat maupun

pembedahan elektif, memerlukan tindakan anestesi. Anestesi berarti suatu keadaan

dengan tidak ada rasa nyeri. Secara umum merupakan suatu tindakan

menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur

lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Komponen trias anestesi ideal

terdiri dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot.


2.1.1 Definisi Anestesi Umum

Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral

disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.

Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan

menimbulkan sakit yang tak tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis

yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.

2.1.2 Stadium Anestesi

Stadium anestesi dapat dibagi dalam 4 stadium, yaitu:


- Stadium I (analgesia) : dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai
hilagnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti
perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).Rasa takut dapat
meningkatkan frekuensi nafas dan pulse, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi
dan defekasi.
- Stadium II (eksitasi) : dimulai dari hilangnya kesadaran dan refleks bulu
mata sampai pernapasan kembali teratur. Pada stadium ini terlihat adanya
gerakan yang tidak menurut kehendak, pernapasan tidak teratur, kadang-
kadang muntah, batuk, inkontinensia urin, midriasis, hipertensi serta
takikardi.
11

- Stadium III (pembedahan) : dimulai dengan teraturnya pernapasan


sampai pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana,
yaitu:
1. Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang,
terjadi gerak bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil miosis,
refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah
tidak ada dan belum tercapai relaksasi otot rangka yang sempurna
(tonus otot mulai menurun).
2. Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di
tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot
sedang, dan refleks laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.
3. Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai
paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks
laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot rangka hampir
sempurna (tonus otot semakin menurun).
4. Plana 4 : Pernapasan tidat teratur oleh perut karena otot interkostal
paralisis total, pupil sangat midriasis; refleks cahaya hilang, refleks
sfingter ani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot rangka
sempurna (tonus otot sangat menurun).

- Stadium IV (paralisis) : dimulai dengan melemahnya pernapasan perut.


Pada stadium ini tekanan darah tidak dapat diukur, denyut jantung berhenti,
dan akhirnya terjadi kematian.Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini
tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
2.1.3 Penilaian dan Persiapan Anestesi

1. Anamnesis
Anamnesis baik autoanamnesis maupun hetero anamnesis, yakni

meliputi identitas pasien, anamnesis khusus yang berkaitan dengan

penyakit bedah yang mungkin menimbulkan kerusakan fungsi organ, dan

anamnesis umum yang meliputi riwayat penyakit sistemik, riwayat


12

pemakaian obat-obatan, riwayat operasi/anesthesia terdahulu, kebiasaan

buruk, dan riwayat alergi.

Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia

sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang

perlu mendapat perhatian khusus,misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot,

gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang

anestesia berikutnya dengan lebih baik. Beberapa penelitit menganjurkan

obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan

digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu

tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga

jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari

sebelumnya

2. Pemeriksaan fisik

Yakni memeriksa status pasien saat ini yang meliputi kesadaran,

frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan

untuk menilai status gizi/BMI. Disamping itu juga dilakukan pemeriksaan

fisik umum yang meliputi pemeriksaan status psikis, saraf, respirasi,

hemodinamik, penyakit darah, gastrointestinal, hepato-bilier, urogenital dan

saluran kencing, metabolik dan endokrin, otot rangka, integument.

Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak boleh

dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua system

organ tubuh pasien.

Pemeriksan fisik berpatokan pada B6:


1. Breath
13

Keadaan jalan nafas, bentuk pipi dan dagu, mulut dan gigi, lidah dan

tonsil. Apakah jalan nafas mudah tersumbat? Apakah intubasi akan sulit?

Apakah pasien ompong atau menggunakan gigi palsu atau mempunyai

rahang yang kecil yang akan mempersulit laringoskopi? Apakah ada

gangguan membuka mulut atau kekakuan leher? Apakah ada

pembengkakan abnormal pada leher yang mendorong saluran nafas bagian

atas? Tentukan pula frekuensi nafas, tipe napas apakah cuping hidung,

abdominal atau torakal, apakah terdapat nafas dengan bantuan otot

pernapasan (retraksi kosta). Nilai pula keberadaan ronki, wheezing, dan

suara nafas tambahan (stridor).


2. Blood
Tekanan nadi, pengisian nadi, tekanan darah, perfusi perifer. Nilai syok

atau perdarahan dan melakukan pemeriksaan jantung.


3. Brain
GCS. adakah kelumpuhan saraf atau kelainan neurologist dan cari

tanda-tanda peningkatan TIK


4. Bladder
Produksi urin dan pemeriksaan faal ginjal
5. Bowel
Menilai adakah pembesaran hepar , bising usus dan peristaltik usus ,

cairan bebas dalam perut atau massa abdominal.


6. Bone
Mencari adakah patah tulang atau tidak , periksa bentuk leher dan

tubuh serta mencari adakah kelainan tulang belakang atau tidak.

Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar

sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan

laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan

laringoskopi intubasi. Pada anestesi juga diperlukan pemeriksaan skor

Mallampati yang digunakan untuk memprediksi kemudahan intubasi. Hal


14

ini dilakukan dengan melihat anatomi cavum oral, terutama didasari

terlihatnya dasar uvula, arkus di depan dan belakang tonsil, dan palatum

mole. Skoring dilakukan saat pasien duduk dan pandangan ke depan. Skor

Mallampati yang tinggi (III atau IV) berhubungan dengan intubasi yang

lebih sulit sebanding juga dengan insiden yang lebih tinggi untuk terjadi

apneu.

Skoring Mallampati:

o Kelas I : Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara


keseluruhan
o Kelas II : Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas
tonsil dan uvula
o Kelas III : Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula
o Kelas IV : Hanya terlihat palatum durum

Pemeriksaan fisik pasien dalam batas normal, skor Mallampati I,

leher bebas, buka mulut >3jari. Pada pasien tidak didapatkan kelainan yang

bermakna yang dapat mengganggu jalannya operasi dan tindakan anastesi.

Pada pasien pemeriksaan fisik dalam batas normal, tidak didapatkan

kelainan yang bermakna yang dapat mengganggu jalannya operasi dan

tindakan anastesi. Pasien digolongkan dalam kategori Mallampati 1, leher


15

bebas, buka mulut >3jari. Sedangkan pada pemilihan teknik anestesi

regional maka perlu dilakukan pemeriksaan extremitas dan punggung.

3. Pemeriksaan penunjang
Meliputi pemeriksaan rutin yakni pemeriksaan darah dan urin.

Selain itu pada pasien yang akan operasi besar dan pasien yang menderita

penyakit sistemik tertentu diperlukan pemeriksaan khusus sesuai indikasi

yang meliputi pemeriksaan laboratorium lengkap, pemeriksaan radiologi,

evaluasi kardiologi terutama pada pasien berumur diatas 35 tahun,

pemeriksaan spirometri pada pasien PPOM .

Pemeriksaan Laboratorium Dan Radiologi yaitu :

a. Pemeriksaan standar yaitu darah rutin (kadar hemoglobin, leukosit,

bleeding time, clothing time atau APTT & PPT)


b. Pemeriksaan kadar gula darah puasa
c. Liver function test
d. Renal function test
e. Pemeriksaan foto toraks
f. Pemeriksaan pelengkap atas indikasi seperti gula darah 2 jam post

prandial, pemeriksaan EKG untuk pasien > 40 tahun


g. Pada operasi besar dan mungkin bermasalah periksa pula kadar

albumin, globulin, elektrolit darah, CT scan, faal paru, dan faal

hemostasis.

4. Prognosis anestesi

Pada kesimpulan evaluasi pre anestesi setiap pasien ditentukan

klsifikasi status fisik menurut American Society of Anestesiologist (ASA)

sebagai berikut :

Klasifikasi PS ASA Definisi Contoh


ASA I Pasien dengan status Pasien sehat, tidak
kesehatan yang normal merokok, tidak
mengonsumsi alkohol
atau minimal konsumsi
16

alcohol
ASA II Pasien dengan penyakit Perokok aktif, peminum
sistemik ringan sampai alkohol sosial,
sedang kehamilan, obesitas (30
<BMI <40), DM / HTN
yang terkontrol dengan
baik, penyakit paru-paru
ringan

ASA III Pasien dengan penyakit DM yang tidak


sistemik berat terkontrol atau HTN,
COPD, obesitas morbid
(BMI ≥40), hepatitis
aktif, ketergantungan
atau penyalahgunaan
alkohol, alat pacu
implant jantung ,
pengurangan fraksi
ejeksi sedang, ESRD
menjalani dialisis
terjadwal secara teratur,
bayi prematur PCA <60
minggu, riwayat (> 3
bulan) MI, CVA, TIA,
atau CAD / stent.

ASA IV Pasien dengan penyakit (<3 bulan) MI, CVA,


sistemik berat yang TIA, atau CAD / stent,
mengancam iskemik jantung yang
kehidupannya sedang berlangsung atau
disfungsi katup berat,
pengurangan berat fraksi
ejeksi, sepsis, DIC,
ARD atau ESRD tidak
menjalani dialisis
terjadwal secara teratur

ASA V Pasien yang hampir Ruptur aneurisma perut /


mati yang diperkirakan toraks, trauma masif,
tidak akan selamat perdarahan intrakranial
tanpa operasi dengan efek massa,
iskemik usus dalam
menghadapi kelainan
jantung yang bermakna
atau disfungsi organ /
sistem multipel

ASA VI Seorang pasien yang


17

dinyatakan mati otak


yang organ-organnya
diambil untuk tujuan
donor

Penambahan "E" menunjukkan operasi darurat: (Darurat didefinisikan

sebagai ada ketika keterlambatan dalam perawatan pasien akan menyebabkan

peningkatan yang signifikan dalam ancaman terhadap kehidupan atau bagian

tubuh)

5. Masukan oral
Puasa sebelum operasi bertujuan untuk meminimalkan regurgitasi ke

jalan nafas selama operasi akibat pengaruh anestesi. Pada pasien dewasa

umumnya puasa 6-8 jam, anak-anak 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan

tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minum air putih

dan teh manis diperbolehkan 3 jam sebelum anastesi dan untuk keperluan

minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 2 jam sebelum induksi

anestesi.

Tabel Guideline Puasa Sebelum Operasi Elektif

2.1.4 Premedikasi

Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah dilakukan

premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesia diberi dengan tujuan

untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:

1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien


a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:
i. Kunjungan pre anestesi
18

ii. Pengertian masalah yang dihadapi


iii. Keyakinan akan keberhasilan operasi
b. Memberikan ketenangan (sedative)
c. Membuat amnesia
d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
e. Mencegah mual dan muntah
2. Memudahkan atau memperlancar induksi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2

antagonis
6. Mengurangi rasa sakit

Waktu dan cara pemberian premedikasi:

Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam1 jam,

secara intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang

sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-

obat dapat diberikan secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum

induksi. Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan

pemberian premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan.

Semua obat premedikasi bila diberikan secara intravena dapat

menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat

dikurangi dengan pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.

Dosis Rute Onset Durasi Efek


Antianxietas Mengurangi
- Diazepam 10mg po 5mnt 1jam
kecemasan,
- Lorazepam 0,05 mg/Kg po 2jam 24jam
- Midazolam 0,5-2,5mg/Kg iv 1mnt 1jam sedatif,
amnesia
Analgesik opioid Mengurangi
- Morfin 0,05-0,2 mg/Kg im 15mnt 4jam
19

- Petidin 1-1,5 mg/Kg iv 10mnt 90mnt nyeri


- Fentanyl 1-3mcg/Kg iv 30dtk 30mnt

Analgesik non
opioid
0,5-1mg/Kg iv 1mnt 7jam
- Ketorolac
Antiemetik Mencegah
- Ondansetron 0,05-0,1mg/Kg iv 15mnt 4-8jam
mual
muntah
Muscle relaxan Merelaksasi
- Atracurium 0,5-0,6 mg/Kg iv 3mnt 20mnt
otot
Drying agent Mengurangi
- Atropin 0,4-0,6 mg im 2mnt 90mnt
produksi
mukus

2.1.5 Induksi Anestesi

Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,

sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat

dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur

akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia

sampai tindakan pembedahan selesai.

Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:

S : Scope  Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.

Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien.

Lampu harus cukup terang.

T : Tube  Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed)

dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).

A : Airway  Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-

faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak

sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.


20

T : Tape  Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.

I : Introducer  Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang

mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.

C : Connector  Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia

S : Suction  penyedot lender, ludah danlain-lainnya.

1) Induksi Intravena

Paling banyak dikerjakan dan digemari. Indksi intravena dikerjakan dengan

hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan

dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan

pasien, nadi dan tekanan darah harsu diawasi dan selalu diberikan oksigen.

Dikerjakan pada pasien yang kooperatif.


Jenis – Jenis obat – obatan yang digunakan intravena yaitu :
 Tiopental (pentotal, tiopenton)
Kemasan ampul 500 mg atau 1000 mg sebelum digunakan

dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg).

hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg

disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik. Bergantung

dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan pasien

berada dalam keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi napas.

Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan

intracranial dan diguda dapat melindungi otak akibat kekurangan O2 .

Dosis rendah bersifat anti-analgesi.


 Propofol (diprivan, recofol)
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu

bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 1o mg). suntikan

intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik

sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus


21

untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia intravena

total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2

mg/kg. pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak

dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil.


 Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia,

hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat

menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk.

Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum)

atau diazepam (valium) dengan dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk

mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis bolus 1-2

mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas dalam cairan

bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml =

100 mg).
 Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular,

sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelianan

jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg

dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.

2) Induksi Intramuskuler

Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara

intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
i. Induksi Inhalasi
 N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida).

Berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan

beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal

25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga sering


22

digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi

inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu

cairan anastetik lain seperti halotan.


 Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan

anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi

semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring. Kelebihan dosis

menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi,

bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan

inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat.

Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula

darah.
 Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih

iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding

halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap

otot lurik lebih baik disbanding halotan.


 Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian

aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan teknik

anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah

otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga

digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien

dengan gangguan koroner.


 Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat

simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi


23

napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga

tidak digunakan untuk induksi anestesi.


 Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran.

Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga

digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.


3) Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau

midazolam.
4) Induksi mencuri

Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi biasa

hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien, tetapi kita

berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien tertidur baru sungkup muka

kita tempelkan.

2.1.6 Rumatan Anestesi (Maintenance)

Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan

inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu pada

trias anestesi yaitu tidur rinan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup,

diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot

lurik yang cukup. Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi,

fentanil 10-50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan

analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan

intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan

dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total

intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan

inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.


24

Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan

perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran

2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan,

dibantu atau dikendalikan.

2.1.7 Pasca Anestesi


Perawatan dan monitoring biasanya dilakukan :
- Di ruang pulih sadar  pada keadaan tertentu dan khusus, dapat

dilakukan di ruang perawatan


- Dapat dilakukan dengan peralatan sederhana selama pasien di

ruang pulih sadar


- Dapat dilakukan dengan cara manual maupun menggunakan

peralatan elektronik
Tingkat perawatan pasca-anestesi setiap pasien tidak selalu sama,

bergantung pada kondisi fisik pasien, teknik anestesi, dan jenis operasi 

monitoring lebih ketat pada pasien dengan:


1. Risiko tinggi
2. Kelainan organ
3. Syok yang lama
4. Dehidrasi berat
5. Sepsis
6. Trauma multipel
7. Trauma kapitis
8. Gangguan organ penting, mis: otak
25

2.1.8 Komplikasi Anestesi


 Kardiovaskular
1. hipotensi
2. hipertensi
3. aritmia
4. cardiac arrest
5. emboli udara
6. gagal jantung
 Respirasi
1. obstruksi respirasi (spasme otot laring, otot rahang, otot bronkus, karena

lidah jatuh)
2. hipoventilasi
3. apneu
4. batuk
5. takipneu
6. retensi CO2
7. pneumothoraks
 Gastrointestinal
26

1. nausea
2. vomiting
3. hiccups
4. distensi gastric
 Liver
1. hepatitis post anestesi
 Urologi
1. sulit kencing
2. Produksi urin menurun
 Neurologi
1. koma
2. konvulsi
3. trauma saraf perifer
 Oftalmologi
1. abrasi kornea
2. kebutaan
 lain-lain
1. menggigil
2. sadar dalam anestesi
3. malignant hiperpireksia
4. komplikasi intubasi
5. komplikasi obat-obatan anestesi
6. komplikasi transfusi darah
7. komplikasi teknik

2.2 Ileus Obstruksi


Ileus obstruksi merupakan salah satu kasus yang dapat menimbulkan

komplikasi serius sehingga sangat memerlukan penangangan dini dan adekuat.

Ileus obstruksi yang disebabkan karena adanya sumbatan dapat terjadi pada usus

halus maupun usus besar dan terdiri dari 2 tipe yaitu obstruksi yang terjadi secara

mekanik maupun non mekanik. Obstruksi mekanik terjadi karena usus terblok

secara fisik sehingga isi dari usus tersebut tidak bisa melewati tempat obstruksi.

Hal ini bisa disebabkan oleh banyak faktor salah satunya seperti volvulus (usus

terpuntir) yang dapat terjadi karena hernia, pertumbuhan jaringan abnormal, dan

adanya benda asing dalam usus.


2.2.1 Definisi Ileus Obstruksi
Ileus Obstruktif adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang

disebabkan oleh sumbatan mekanik sehingga isi lumen saluran cerna tidak bisa
27

disalurkan ke distal atau anus karena ada sumbatan/hambatan yang disebabkan

kelainan dalam lumen usus, dinding usus atau luar usus yang menekan atau

kelainan vaskularisasi pada suatu segmen usus yang menyebabkan nekrose segmen

usus tersebut,
2.2.2 Epidemiologi

Obstruksi usus halus menempati sekitar 20% dari seluruh pembedahan

darurat, dan mortalitas dan morbiditas sangat bergantung pada pengenalan awal

dan diagnosis yang tepat. Apabila tidak diatasi maka obstruksi usus halus dapat

menyebabkan kematian pada 100% pasien.

Hampir seluruh obstruksi pada usus besar atau kolon memerlukan

intervensi pembedahan. Mortalitas dan morbiditas sangat berhubungan dengan

penyakit yang mendasari dan prosedur pembedahan yang digunakan. Obstruksi

kolon sering terjadi pada usia lanjut karena tingginya insiden neoplasma dan

penyakit lainnya pada populasi ini. Pada neonatus, obstruksi kolon bisa disebabkan

karena adanya kelainan anatomi seperti anus imperforata yang secara sekunder

dapat menyebabkan mekonium ileus.

2.2.3 Etiologi

Obstruksi usus halus dapat disebabkan oleh :

a. Perlekatan usus atau adhesi, dimana pita fibrosis dari jaringan ikat

menjepit usus.
b. Jaringan parut karena ulkus, pembedahan terdahulu atau penyakit

Crohn.
c. Hernia inkarserata, usus terjepit di dalam pintu hernia
d. Neoplasma.
e. Intususepsi.
f. Volvulus.
g. Benda asing, kumpulan cacing askaris
h. Batu empedu yang masuk ke usus melalui fistula kolesisenterik.
i. Penyakit radang usus, striktur, fibrokistik dan hematoma
28

Kira-kira 15% obstruksi usus terjadi di usus besar. Obstruksi dapat

terjadi di setiap bagian kolon tetapi paling sering di sigmoid. Penyebabnya

adalah :
a) Karsinoma.
b) Volvulus.
c) Kelainan divertikular (Divertikulum Meckel), Penyakit

Hirschsprung
d) Inflamasi.
e) Tumor jinak.
f) Impaksi fekal
2.2.4 Anatomi
1. Duodenum

Duodenum atau juga disebut dengan usus 12 jari merupakan usus

yang berbentuk seperti huruf C yang menghubungkan antara gaster

dengan jejunum. Duodenum melengkung di sekitar caput pancreas.

Duodenum merupakan bagian terminal/muara dari system apparatus

biliaris dari hepar maupun dari pancreas. Selain itu duodenum juga

merupakan batas akhir dari saluran cerna atas. Dimana saluran cerna

dipisahkan menjadi saluran cerna atas dan bawah oleh adanya

ligamentum Treitz (m. suspensorium duodeni) yang terletak pada

flexura duodenojejunales yang merupakan batas antara duodenum dan

jejunum. Di dalam lumen duodenum terdapat lekukan-lekukan kecil

yg disebut dengan plica sircularis. Duodenum terletak di cavum

abdomen pada regio epigastrium dan umbilikalis. Duodenum

memiliki penggantung yg disebut dengan mesoduodenum. Duodenum

terdiri atas beberapa bagian yaitu:


a) Duodenum pars Superior
b) Duodenum pars Descendens
c) Duodenum pars Horizontal
d) Duodenum pars Ascendens .
29

2. Jejunum dan Ileum


Jejunum dan ileum juga sering disebut dengan usus halus/usus

penyerapan membentang dari flexura duodenojejunales sampai ke

juncture ileocacaecalis. Jejunum dan ileum ini merupakan organ

intraperitoneal. Jejunum dan ileum memiliki penggantung yang disebut

dengan mesenterium yang memiliki proyeksi ke dinding posterior

abdomen dan disebut dengan radix mesenterii. Pada bagian akhir dari

ileum akan terdapat sebuah katup yang disebut dengan valvulla

ileocaecal (valvulla bauhini) yang merupakan suatu batas yang

memisahkan antara intestinum tenue dengan intestinum crassum. Selain

itu, juga berfungsi untuk mencegah terjadinya refluks fekalit maupun

flora normal dalam intestinum crassum kembali ke intestinum tenue,

dan juga untuk mengatur pengeluara zat sisa penyerapan nutrisi.


30

3. Colon

Usus besar besar lebih panjang dan lebih besar diameternya dari

pada usus halus. Panjang usus besar mencapai 1,5 m dengan diameter

rata-rata 6,5 cm. Semakin mendekati anus diameter semakin mengecil.

Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon dan rektum. Pada sekum

terdapat katup ileocaecaal dan apendiks yang melekat pada ujung

sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus

besar. Katup ileocaecaal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum.

Kolon dibagi lagi menjadi kolon asendens, transversum, desendens,

dan sigmoid. Kolon ascendens berjalan ke atas dari sekum ke

permukaan inferior lobus kanan hati, menduduki regio iliaca dextra.

Setelah mencapai hati, kolon ascendens membelok ke kiri, membentuk

fleksura koli dekstra (fleksura hepatik). Kolon transversum menyilang

abdomen pada regio umbilikalis dari fleksura koli dekstra sampai

fleksura koli sinistra. Kolon transversum, waktu mencapai daerah limpa,

membengkok ke bawah, membentuk fleksura koli sinistra (fleksura


31

lienalis) untuk kemudian menjadi kolon descendens. Kolon sigmoid

mulai pada pintu atas panggul. Kolon sigmoid merupakan lanjutan

kolon descendens. Ia tergantung ke bawah dalam rongga pelvis dalam

bentuk lengkungan. Kolon sigmoid bersatu dengan rektum di depan

sakrum. Rektum menduduki bagian posterior rongga pelvis. Rektum ke

atas dilanjutkan oleh kolon sigmoid dan berjalan turun di depan sekum,

meninggalkan pelvis dengan menembus dasar pelvis. Di sisi rektum

melanjutkan diri sebagai anus dalan perineum.


2.2.5 Patofisiologi

Pada obstruksi mekanik, usus bagian proksimal mengalami distensi akibat

adanya gas/udara dan air yang berasal dari lambung, usus halus, pankreas, dan

sekresi biliary. Cairan yang terperangkap di dalam usus halus ditarik oleh sirkulasi

darah dan sebagian ke interstisial, dan banyak yang dimuntahkan keluar sehingga

akan memperburuk keadaan pasien akibat kehilangan cairan dan kekurangan

elektrolit. Jika terjadi hipovolemia mungkin akan berakibat fatal.

Obstruksi yang berlangsung lama mungkin akan mempengaruhi pembuluh

darah vena, dan segmen usus yang terpengaruh akan menjadi edema, anoksia dan

iskemia pada jaringan yang terlokalisir, nekrosis, perforasi yang akan mengarah ke

peritonitis, dan kematian. Septikemia mungkin dapat terjadi pada pasien sebagai

akibat dari perkembangbiakan kuman anaerob dan aerob di dalam lumen. Usus

yang terletak di bawah obstruksi mungkin akan mengalami kolaps dan kosong .
32

Secara umum, pada obstruksi tingkat tinggi (obstruksi letak tinggi/obstruksi

usus halus), semakin sedikit distensi dan semakin cepat munculnya muntah. Dan

sebaliknya, pada pasien dengan obstruksi letak rendah (obstruksi usus besar),

distensi setinggi pusat abdomen mungkin dapat dijumpai, dan muntah pada

umumnya muncul terakhir sebab diperlukan banyak waktu untuk mengisi semua

lumen usus. Kolik abdomen mungkin merupakan tanda khas dari obstruksi distal.

Hipotensi dan takikardi merupakan tanda dari kekurangan cairan. Dan lemah serta

leukositosis merupakan tanda adanya strangulasi. Pada permulaan, bunyi usus pada

umumnya keras, dan frekuensinya meningkat, sebagai usaha untuk mengalahkan

obstruksi yang terjadi. Jika abdomen menjadi diam, mungkin menandakan suatu

perforasi atau peritonitis dan ini merupakan tanda akhir suatu obstruksi.

2.2.6 Klasifikasi

Klasifikasi obstruksi usus berdasarkan:

1. Kecepatan timbul (speed of onset)

a. Akut
b. Kronik
c. Kronik dengan serangan akut
33

2. Letak sumbatan

a. Obstruksi tinggi, bila mengenai usus halus (dari gaster sampai ileum

terminal)

b. Obstruksi rendah, bila mengenai usus besar (dari ileum terminal

sampai anus)

3. Sifat sumbatan

a. Simple obstruction : sumbatan tanpa disertai gangguan aliran darah

b. Strangulated obstruction : sumbatan disertai gangguan aliran darah

sehingga timbul nekrosis, gangren dan perforasi

4. Etiologi

Kelainan dalam lumen, di dalam dinding dan di luar dinding usus

2.2.7 Gejala Klinis

Gejala utama dari ileus obstruksi antara lain nyeri kolik abdomen, mual,

muntah, perut distensi dan tidak bisa buang air besar (obstipasi). Mual muntah

umumnya terjadi pada obstruksi letak tinggi. Bila lokasi obstruksi di bagian distal

maka gejala yang dominan adalah nyeri abdomen. Distensi abdomen terjadi bila

obstruksi terus berlanjut dan bagian proksimal usus menjadi sangat dilatasi.

Obstruksi pada usus halus menimbulkan gejala seperti nyeri perut sekitar

umbilikus atau bagian epigastrium. Pada pasien dengan suatu obstruksi sederhana

yang tidak melibatkan pembuluh darah, sakit cenderung menjadi kolik yang pada

awalnya ringan, tetapi semakin lama semakin meningkat, baik dalam frekuensi atau

derajat kesakitannya. Sakit mungkin akan berlanjut atau hilang timbul. Pasien

sering berposisi knee-chest, atau berguling-guling. Pasien dengan peritonitis

cenderung kesakitan apabila bergerak.


34

Pasien dengan obstruksi partial bisa mengalami diare. Kadang – kadang

dilatasi dari usus dapat diraba. Obstruksi pada kolon biasanya mempunyai gejala

klinis yang lebih ringan dibanding obstruksi pada usus halus. Umumnya gejala

berupa konstipasi yang berakhir pada obstipasi dan distensi abdomen. Muntah

adalah suatu tanda awal pada obstruksi letak tinggi atau proksimal. Bagaimanapun,

jika obstruksi berada di distal usus halus, muntah mungkin akan tertunda. Pada

awalnya muntah berisi semua yang berasal dari lambung, yang mana segera diikuti

oleh cairan empedu, dan akhirnya muntah akan berisi semua isi usus halus yang

sudah basi. Muntah jarang terjadi. Pada obstruksi bagian proksimal usus halus

biasanya muncul gejala muntah.

Nyeri perut bervariasi dan bersifat intermittent atau kolik dengan pola naik

turun. Jika obstruksi terletak di bagian tengah atau letak tinggi dari usus halus

(jejenum dan ileum bagian proksimal) maka nyeri bersifat konstan/menetap. Pada

pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen tampak distensi, terdapat darm contour

(gambaran usus), dan darm steifung (gambaran gerakan usus), pada auskultasi

terdapat hiperperistaltik berlanjut dengan Borborygmus (bunyi usus mengaum)

menjadi bunyi metalik (klinken) / metallic sound. Pada tahap lanjut dimana

obstruksi terus berlanjut, peristaltik akan melemah dan hilang. Pada palpasi tidak

terdapat nyeri tekan, defans muscular (-), kecuali jika ada peritonitis.

Pada tahap awal, tanda vital normal. Seiring dengan kehilangan cairan dan

elektrolit, maka akan terjadi dehidrasi dengan manifestasi klinis takikardi dan

hipotensi postural. Suhu tubuh biasanya normal tetapi kadang – kadang dapat

meningkat. Hipovolemia dan kekurangan elektrolit dapat terjadi dengan cepat

kecuali jika pasien mendapat cairan pengganti melalui pembuluh darah (intravena).
35

Derajat tingkat dan distribusi distensi abdominal dapat mencerminkan tingkatan

obstruksi. Pada obstruksi letak tinggi, distensi mungkin minimal. Sebaliknya,

distensi pusat abdominal cenderung merupakan tanda untuk obstruksi letak rendah

(Sjamsuhidajat, 2003).

Tidak ada tanda pasti yang membedakan suatu obstruksi dengan strangulasi

dari suatu obstruksi sederhana: bagaimanapun, beberapa keadaan klinis tertentu

dan gambaran laboratorium dapat mengarahkan kepada tanda-tanda strangulasi.

a. Obstruksi sederhana

Obstruksi usus halus merupakan obstruksi saluran cerna tinggi,

artinya disertai dengan pengeluaran banyak cairan dan elektrolit baik di

dalam lumen usus bagian oral dari obstruksi, maupun oleh muntah. Gejala

penyumbatan usus meliputi nyeri kram pada perut, disertai kembung. Pada

obstruksi usus halus proksimal akan timbul gejala muntah yang banyak,

yang jarang menjadi muntah fekal walaupun obstruksi berlangsung lama.

Nyeri bisa berat dan menetap. Nyeri abdomen sering dirasakan sebagai

perasaan tidak enak di perut bagian atas. Semakin distal sumbatan, maka

muntah yang dihasilkan semakin fekulen.

Tanda vital normal pada tahap awal, namun akan berlanjut dengan

dehidrasi akibat kehilangan cairan dan elektrolit. Suhu tubuh bisa normal

sampai demam. Distensi abdomen dapat dapat minimal atau tidak ada pada

obstruksi proksimal dan semakin jelas pada sumbatan di daerah distal.

Bising usus yang meningkat dan “metallic sound” dapat didengar sesuai

dengan timbulnya nyeri pada obstruksi di daerah distal.

b. Obstruksi disertai proses strangulasi


36

Gejalanya seperti obstruksi sederhana tetapi lebih nyata dan disertai

dengan nyeri hebat. Hal yang perlu diperhatikan adalah adanya skar bekas

operasi atau hernia. Bila dijumpai tanda-tanda strangulasi berupa nyeri

iskemik dimana nyeri yang sangat hebat, menetap dan tidak menyurut,

maka dilakukan tindakan operasi segera untuk mencegah terjadinya

nekrosis usus.

Obstruksi mekanis di kolon timbul perlahan-lahan dengan nyeri

akibat sumbatan biasanya terasa di epigastrium. Nyeri yang hebat dan terus

menerus menunjukkan adanya iskemia atau peritonitis. Borborygmus dapat

keras dan timbul sesuai dengan nyeri. Konstipasi atau obstipasi adalah

gambaran umum obstruksi komplit. Muntah lebih sering terjadi pada

penyumbatan usus besar. Muntah timbul kemudian dan tidak terjadi bila

katup ileosekal mampu mencegah refluks. Bila akibat refluks isi kolon

terdorong ke dalam usus halus, akan tampak gangguan pada usus halus.

Muntah fekal akan terjadi kemudian.

Pada keadaan valvula Bauchini yang paten, terjadi distensi hebat

dan sering mengakibatkan perforasi sekum karena tekanannya paling tinggi

dan dindingnya yang lebih tipis. Pada pemeriksaan fisis akan menunjukkan

distensi abdomen dan timpani, gerakan usus akan tampak pada pasien yang

kurus, dan akan terdengar metallic sound pada auskultasi. Nyeri yang

terlokasi, dan terabanya massa menunjukkan adanya strangulasi.

2.2.8 Diagnosis
Pada anamnesis obstruksi tinggi sering dapat ditemukan penyebab misalnya

berupa adhesi dalam perut karena pernah dioperasi atau terdapat hernia. Gejala

umum berupa syok, oliguri dan gangguan elektrolit. Selanjutnya ditemukan


37

meteorismus dan kelebihan cairan di usus, hiperperistaltis berkala berupa kolik

yang disertai mual dan muntah. Kolik tersebut terlihat pada inspeksi perut sebagai

gerakan usus atau kejang usus dan pada auskultasi sewaktu serangan kolik,

hiperperistaltis kedengaran jelas sebagai bunyi nada tinggi. Penderita tampak

gelisah dan menggeliat sewaktu kolik dan setelah satu dua kali defekasi tidak ada

lagi flatus atau defekasi. Pemeriksaan dengan meraba dinding perut bertujuan

untuk mencari adanya nyeri tumpul dan pembengkakan atau massa yang abnormal.
Gejala permulaan pada obstruksi kolon adalah perubahan kebiasaan buang

air besar terutama berupa obstipasi dan kembung yang kadang disertai kolik pada

perut bagian bawah. Pada inspeksi diperhatikan pembesaran perut yang tidak pada

tempatnya misalnya pembesaran setempat karena peristaltis yang hebat sehingga

terlihat gelombang usus ataupun kontur usus pada dinding perut. Biasanya distensi

terjadi pada sekum dan kolon bagian proksimal karena bagian ini mudah

membesar.
Nilai laboratorium pada awalnya normal, kemudian akan terjadi

hemokonsentrasi, leukositosis, dan gangguan elektrolit. Pada pemeriksaan

radiologis, dengan posisi tegak, terlentang dan lateral dekubitus menunjukkan

gambaran anak tangga dari usus kecil yang mengalami dilatasi dengan air fluid

level. Pemberian kontras akan menunjukkan adanya obstruksi mekanis dan

letaknya. Pada ileus obstruktif letak rendah jangan lupa untuk melakukan

pemeriksaan rektosigmoidoskopi dan kolon (dengan colok dubur dan barium in

loop) untuk mencari penyebabnya. Periksa pula kemungkinan terjadi hernia (Khan,

2012).
Diagnosis Banding :
Pada ileus paralitik nyeri yang timbul lebih ringan tetapi konstan dan difus,

dan terjadi distensi abdomen. Ileus paralitik, bising usus tidak terdengar dan tidak
38

terjadi ketegangan dinding perut. Bila ileus disebabkan oleh proses inflamasi akut,

akan ada tanda dan gejala dari penyebab primer tersebut. Gastroenteritis akut,

apendisitis akut, dan pankreatitis akut juga dapat menyerupai obstruksi usus

sederhana (Schrock, 1993).


Tes laboratorium mempunyai keterbatasan nilai dalam menegakkan

diagnosis, tetapi sangat membantu memberikan penilaian berat ringannya dan

membantu dalam resusitasi. Pada tahap awal, ditemukan hasil laboratorium yang

normal. Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi, leukositosis dan nilai

elektrolit yang abnormal. Peningkatan serum amilase sering didapatkan.

Leukositosis menunjukkan adanya iskemik atau strangulasi, tetapi hanya terjadi

pada 38% - 50% obstruksi strangulasi dibandingkan 27% - 44% pada obstruksi non

strangulata. Hematokrit yang meningkat dapat timbul pada dehidrasi. Selain itu

dapat ditemukan adanya gangguan elektrolit. Analisa gas darah mungkin

terganggu, dengan alkalosis metabolik bila muntah berat, dan metabolik asidosis

bila ada tanda – tanda shock, dehidrasi dan ketosis.


Pemeriksaan radiologis posisi supine (terlentang): tampak herring bone

appearance. Posisi setengah duduk atau LLD: tampak step ladder appearance atau

cascade. Adanya dilatasi dari usus disertai gambaran “step ladder” dan “air fluid

level” pada foto polos abdomen dapat disimpulkan bahwa adanya suatu obstruksi.

Foto polos abdomen mempunyai tingkat sensitivitas 66% pada obstruksi usus

halus, sedangkan sensitivitas 84% pada obstruksi kolon.

a) Foto polos abdomen 3 posisi


 Ileus obstruktif letak tinggi
Tampak dilatasi usus di proksimal sumbatan (sumbatan paling distal

di iliocaecal junction) dan kolaps usus di distal sumbatan. Penebalan

dinding usus halus yang mengalami dilatasi memberikan gambaran


39

herring bone appearance, karena dua dinding usus halus yang menebal

dan menempel membentuk gambaran vertebra dan muskulus yang

sirkuler menyerupai kosta. Tampak air fluid level pendek-pendek

berbentuk seperti tangga yang disebut step ladder appearance karena

cairan transudasi berada dalam usus halus yang terdistensi.

 Ileus obstruktif letak rendah

Tampak dilatasi usus halus di proksimal sumbatan (sumbatan di

kolon) dan kolaps usus di distal sumbatan. Penebalan dinding usus halus

yang mengalami dilatasi memberikan gambaran herring bone

appearance, karena dua dinding usus halus yang menebal dan menempel

membentuk gambaran vertebra dan muskulus yang sirkuler menyerupai

kosta. Gambaran penebalan usus besar yang juga distensi tampak di tepi

abdomen. Tampak gambaran air fluid level pendek-pendek berbentuk

seperti tangga yang disebut step ladder appearance karena cairan

transudasi berada dalam usus halus yang terdistensi dan air fluid level

panjang-panjang di kolon (Andari, 1994).


40

b) CT–Scan
CT Scan harus dilakukan dengan memasukkan zat kontras kedalam

pembuluh darah. Pada pemeriksaan ini dapat diketahui derajat dan lokasi

dari obstruksi.
c) USG
Pemeriksaan ini akan mempertunjukkan gambaran dan penyebab dari

obstruksi.
d) MRI
Walaupun pemeriksaan ini dapat digunakan. Tetapi tehnik dan kontras

yang ada sekarang ini belum secara penuh mapan. Tehnik ini digunakan

untuk mengevaluasi iskemia mesenterik kronis.


e) Angiografi
Angiografi mesenterik superior telah digunakan untuk mendiagnosis

adanya herniasi internal, intussuscepsi, volvulus, malrotation, dan adhesi.


2.2.9 Komplikasi

Strangulasi menjadi penyebab dari keabanyakan kasus kematian akibat

obstruksi usus. Isi lumen usus merupakan campuran bakteri yang mematikan, hasil-

hasil produksi bakteri, jaringan nekrotik dan darah. Usus yang mengalami

strangulasi mungkin mengalami perforasi dan menggeluarkan materi tersebut ke


41

dalam rongga peritoneum. Pada obstruksi kolon dapat terjadi dilatasi progresif pada

sekum yang berakhir dengan perforasi sekum sehingga terjadi pencemaran rongga

perut dengan akibat peritonitis umum. Tetapi meskipun usus tidak mengalami

perforasi bakteri dapat melintasi usus yang permeabel tersebut dan masuk ke dalam

sirkulasi tubuh melalui cairan getah bening dan mengakibatkan shock septic.
2.2.10 Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian yang mengalami

obstruksi untuk mencegah perforasi. Tindakan operasi biasanya selalu diperlukan.

Menghilangkan penyebab obstruksi adalah tujuan kedua. Kadang-kadang suatu

penyumbatan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan, terutama jika

disebabkan oleh perlengketan. Penderita penyumbatan usus harus di rawat di

rumah sakit .

Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan elektrolit

dan cairan, menghilangkan peregangan dan muntah dengan dekompresi, mengatasi

peritonitis dan syok bila ada, dan menghilangkan obstruksi untuk memperbaiki

kelangsungan dan fungsi usus kembali normal.

Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda – tanda

vital, dehidrasi dan syok. Pasien yang mengalami ileus obstruksi mengalami

dehidrasi dan gangguan keseimbangan ektrolit sehingga perlu diberikan cairan

intravena seperti ringer laktat. Respon terhadap terapi dapat dilihat dengan

memonitor tanda – tanda vital dan jumlah urin yang keluar. Selain pemberian

cairan intravena, diperlukan juga pemasangan nasogastric tube (NGT). NGT

digunakan untuk mengosongkan lambung, mencegah aspirasi pulmonum bila

muntah dan mengurangi distensi abdomen.


42

Pemberian obat – obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan sebagai

profilaksis. Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah.

Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk mencegah

sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan

teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil eksplorasi selama laparotomi.

a. Persiapan Operasi

Pipa lambung harus dipasang untuk mengurangi muntah,

mencegah aspirasi dan mengurangi distensi abdomen (dekompresi).

Pasien dipuasakan, kemudian dilakukan juga resusitasi cairan dan

elektrolit untuk perbaikan keadaan umum. Setelah keadaan optimum

tercapai barulah dilakukan laparatomi. Pada obstruksi parsial atau

karsinomatosis abdomen dengan pemantauan dan konservatif .

b. Operasi

Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi

nasogastrik untuk mencegah sepsis sekunder. Operasi diawali dengan

laparotomi kemudian disusul dengan teknik bedah yang disesuaikan

dengan hasil eksplorasi selama laparotomi. Operasi dapat dilakukan

bila sudah tercapai rehidrasi dan organ-organ vital berfungsi secara

memuaskan. Tetapi yang paling sering dilakukan adalah pembedahan

sesegera mungkin. Tindakan bedah dilakukan bila terjadi:

1. Strangulasi
2. Obstruksi lengkap
3. Hernia inkarserata
4. Tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif (dengan

pemasangan NGT, infus, oksigen dan kateter)


c. Pasca Operasi
43

Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal

cairan dan elektrolit. Harus dicegah terjadinya gagal ginjal dan harus

memberikan kalori yang cukup. Perlu diingat bahwa pasca bedah,

usus pasien masih dalam keadaan paralitik. Tujuan pengobatan yang

paling utama adalah dekompresi kolon yang mengalami obstruksi

sehingga kolon tidak perforasi, tujuan kedua adalah pemotongan

bagian yang mengalami obstruksi.

Persiapan sebelum operasi sama seperti persiapan pada

obstruksi usus halus, operasi terdiri atas proses sesostomi

dekompresi atau hanya kolostomi transversal pada pasien yang

sudah lanjut usia. Perawatan sesudah operasi ditujukan untuk

mempersiapkan pasien untuk menjalani reseksi elektif kalau lesi

obstruksi pada awalnya memang tidak dibuang.

2.2.11 Prognosis
Mortalitas ileus obstruktif ini dipengaruhi banyak faktor seperti umur,

etiologi, tempat dan lamanya obstruksi. Jika umur penderita sangat muda ataupun

tua maka toleransinya terhadap penyakit maupun tindakan operatif yang dilakukan

sangat rendah sehingga meningkatkan mortalitas. Pada obstruksi kolon

mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan obstruksi usus halus.


Obstruksi usus halus yang tidak mengakibatkan strangulasi mempunyai

angka kematian 5 %. Kebanyakan pasien yang meninggal adalah pasien yang

sudah lanjut usia. Obstruksi usus halus yang mengalami strangulasi mempunyai

angka kematian sekitar 8 % jika operasi dilakukan dalam jangka waktu 36 jam

sesudah timbulnya gejala-gejala, dan 25 % jika operasi diundurkan lebih dari 36

jam. Pada obstruksi usus besar, biasanya angka kematian berkisar antara 15–30 %.
44

Perforasi sekum merupakan penyebab utama kematian yang masih dapat

dihindarkan.

Anda mungkin juga menyukai