Bab
Tanggapan Terhadap
D KAK
D.1 PEMAHAMAN
Oleh karena itu, perencanaan tata bangunan dan lingkungan telah menjadi bagian yang
tidak terpisahkan di dalam sistem manajemen pembangunan perkotaan. Untuk
pemanfaatan ruang kota yang terkendali, rencana tata ruang harus diikuti dengan tata
bangunan karena ruang kota tidak dapat hanya berpedoman pada panduan yang sifatnya
dua dimensional tetapi memerlukan pula panduan wujud bangunan dan lingkungan yang
bersifat tiga dimensional.
Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) akan memberikan arahan arsitektural
pada rencana teknis bangunan yang dibangun pada kawasan tertentu. Dengan arahan
tersebut, konsultan perencana/arsitek akan mempunyai gambaran kebijaksanaan
pembangunan fisik yang menyangkut kepentingan umum sekaligus jatidiri kawasan yang
ingin dicapai, sehingga bangunan dan lingkungan yang dirancang akan dapat memberikan
kontribusi positif terhadap kawasan yang lebih luas.
Konsep kota hijau (kota berkelanjutan) merupakan kota yang dibangun dengan tidak
mengorbankan aset kota, melainkan terus menerus memupuk semua kelompok aset
meliputi manusia, lingkungan terbangun, sumber daya alam, lingkungan dan kualitas
prasarana perkotaan. Kota hijau juga dapat dipahami sebagai kota yang ramah
lingkungan berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip-
prinsip pembangunan berkelanjutan, antara lain dengan memanfaatkan secara efektif dan
efisien sumber daya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi
terpadu, menjamin kesehatan lingkungan, dan mensinergikan lingkungan alami dan
buatan.
RTBL adalah sebuah produk pengaturan yang disusun diharapkan dapat mensinergikan
seluruh perencanaan yang ada di suatu kawasan sehingga dapat mendukung dan
memberikan kontribusi terhadap terwujudnya kota hijau yang berkelanjutan.RTBL adalah
juga merupakan upaya konservasi kawasan berskala lingkungan dalam dokumen yang
disusun sesuai Pedoman RTBL (Permen PU No. 06/PRT/M/2007).
Penyusunan Dokumen RTBL berdasarkan pola penataan bangunan dan lingkungan yang
ditetapkan pada kawasan perencanaan,meliputi:
Disatu sisi, terutama atas pertimbangan makin tingginya harga tanah di perkotaan,
optimalisasi pemanfaatan lahan untuk pembangunan perumahan dan permukiman
menjadi suatu hal yang tak terelakkan. Di sisi lain, potensi masyarakat yang kurang
mampu untuk memliki rumah pribadi cenderung makin menurun. Di perkotaan banyak
diantara masyarakat tinggal di kawasan padat, meskipun berkondisi kumuh dan kurang
sehat. Agar tetap dekat dengan lokasi tempat bekerja (yang umumnya di pusat kota) tak
jarang mereka cukup tinggal di rumah sewa dengan kondisi permukiman seperti tersebut
diatas. Untuk itu diperlukan pengendalian dalam penyediaan cadangan tanah yang dapat
dikelola dalam perkembangan kota sebagai jaminan akan ketersediaan tanah baru diatas
tanah lama dengan tidak melakukan penggusuran. Penyediaan tanah baru diatas tanah
yang ada dapat menjadi sebuah terobosan dalam menyediakan ruang baru yang lebih
sehat dan memiliki ruang interaksi antara sesama penghuni pada kawasan perkotaan
yang notabennya tidak ada.
Suatu kota yang baik harus merupakan satu kesatuan sistem organisasi yang mampu
mengakomodasi kegiatan-kegaitan sosial, ekonomi, budaya, memiliki citra fisik maupun
non fisik yang kuat, keindahan visual serta terencana dan terancang secara terpadu.
Untuk meningkatkan pemanfaatan ruang kota yang terkendali, suatu produk tata ruang
kota harus dilengkapi dengan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungannya. Hal tersebut
sebagai bagian dari pemenuhan terhadap Persyaratan Tata Bangunan seperti tersirat
dalam Undang – Undang No. 28 Tahuan 2002 tentang Bangunan Gedung (pasal 9).
Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) sepadan dengan Panduan Rancang Kota
(urban design guidelines). Rencana tata bangunan dan lingkungan (RTBL) tidak saja
diperlukan bagi kawasan-kawasan yang memiliki tingkat pertumbuhan yang cepat tetapi
dapat juga diterapkan bagi suatu kawasan yang belum terbangun atau yang memerlukan
peremajaan kota, yaitu dengan menghadirkan suatu fungsi baru sehingga dapat menarik
perhatian masyarakat kota yang berkegiatan di kawasan tersebut dan tidak hanya
terkonsentrasi pada satu kawasan saja. Tentu saja kawasan tersebut memerlukan
pengaturan dan pengendalian secara khusus agar tercapai kondisi kota yang lebih baik,
yaitu kota memerlukan satu kesatuan sistem ogranisasi, baik bersifat sosial, visual
maupun fisik yang terancang secara terpadu. Oleh karena itu, kota tidak hanya sekedar
direncanakan tetapi lebih dari itu kota harus dirancang.
Penyusunan RTBL berdasarkan pola penataan bangunan dan lingkungan yang ditetapkan
pada kawasan perencanaan, meliputi:
a. perbaikan kawasan, seperti penataan lingkungan permukiman kumuh/nelayan
(perbaikan kampung), perbaikan desa pusat pertumbuhan, perbaikan kawasan,
serta pelestarian kawasan;
b. pengembangan kembali kawasan, seperti peremajaan kawasan, pengembangan
kawasan terpadu, revitalisasi kawasan, serta rehabilitasi dan rekonstruksi kawasan
pascabencana;
c. pembangunan baru kawasan, seperti pembangunan kawasan permukiman
(Kawasan Siap Bangun/Lingkungan Siap Bangun - Berdiri Sendiri), pembangunan
kawasan terpadu, pembangunan desa agropolitan, pembangunan kawasan terpilih
pusat pertumbuhan desa (KTP2D), pembangunan kawasan perbatasan, dan
pembangunan kawasan pengendalian ketat(high-control zone);
d. pelestarian/pelindungan kawasan, seperti pengendalian kawasan pelestarian,
revitalisasi kawasan, serta pengendalian kawasan rawan bencana.
Gambar D.1
Kedudukan RTBL dalam Pengendalian Bangunan Gedung dan Lingkungan
4. Realistis dan rasional: penetapan visi yang memungkinkan dicapai pada kurun
waktu penataan dan secara rasional memungkinkan untuk dicapai berdasarkan
konteks dan potensi yang ada;
5. Kinerja dan sasaran terukur;
6. Mempertimbangkan berbagai sumber daya dukung lingkungan;
7. Memperhatikan kepentingan masyarakat pengguna/masyarakat lokal.
Seluruh rencana, rancangan, aturan, dan mekanisme dalam penyusunan Dokumen RTBL
harus merujuk pada pranata pembangunan yang lebih tinggi, baik pada lingkup kawasan,
kota, maupun wilayah.
Pada prinsipnya, proses penataan bangunan dan lingkungan harus berazaskan kebenaran
substansial terlebih dahulu, agar dapat menjamin persyaratan Keselamatan, Kesehatan,
Kenyamanan dan Kemudahan. Apabila kebenaran substansial sudah ditetapkan sesuai
kondisi fisik/spasial, kondisi normatif dan kondisi fungsionalnya, baru dapat di susun atau
ditetapkan proses administratif/proseduralnya.
Dengan demikian, perkara penataan substansi penataan bangunan dan lingkungan akan
di dukung atau dipercepat dengan proses administrasi/prosedur birokrasi, dan bukan
sebaliknya yaitu proses administrasi menghambat penataan fisik/spasial yang pada
umumnya bergerak lebih cepat perkembangannya. Peningkatan kualitas kehidupan ruang
public melalui penyediaan lingkungan yang aman, nyaman, sehat dan menarik serta
berwawasan ekologis.
ruang,produk tata ruang dan hirarkinya, serta batasan, skala dan cakupan
penataan ruangpada kawasan perkotaan.
Pasal 6
Pasal 14
Pasal 17
Pasal 41
UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang juga tidak melupakan arti
pentingnya peran serta masyarakat dalam penataan ruang. UU yang
disusun dalam masa reformasi dengan semangat Good Governance ini
mengisyaratkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh
pemerintah dengan melibatkan masyarakat. Peran serta masyarakat
tersebut dapat dilakukan melalui:
Pasal 1
Pasal 3
Pengaturan bangunan gedung bertujuan untuk:
Pasal 9
(2) Persyaratan tata bangunan ditetapkan lebih lanjut dalam rencana tata
bangunan dan lingkungan oleh Pemerintah Daerah.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penyusunan rencana tata bangunan dan
lingkungan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 10
Pasal 11
(2) Bangunan gedung yang dibangun di atas, dan/atau di bawah tanah, air,
dan/atau prasarana dan sarana umum tidak boleh mengganggu
keseimbangan lingkungan, fungsi lindung kawasan, dan/atau fungsi
prasarana dan sarana umum yang bersangkutan.
Pasal 12
(1) Persyaratan kepadatan dan ketinggian bangunan meliputi koefisien dasar
bangunan, koefisien lantai bangunan, dan ketinggian bangunan sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan untuk lokasi yang bersangkutan.
(2) Persyaratan jumlah lantai maksimum bangunan gedung atau bagian
bangunan gedung yang dibangun di bawah permukaan tanah harus
mempertimbangkan keamanan, kesehatan, dan daya dukung lingkungan yang
dipersyaratkan.
(3) Bangunan gedung tidak boleh melebihi ketentuan maksimum kepadatan dan
ketinggian yang ditetapkan pada lokasi yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara perhitungan dan penetapan kepadatan dan
ketinggian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 13
(1) Persyaratan jarak bebas bangunan gedung meliputi:
a. garis sempadan bangunan gedung dengan as jalan, tepi sungai, tepi
pantai, jalan kereta api, dan/atau jaringan tegangan tinggi;
b. jarak antara bangunan gedung dengan batas-batas persil, dan jarak
antara as jalan dan pagar halaman yang diizinkan pada lokasi yang
bersangkutan.
(2) Persyaratan jarak bebas bangunan gedung atau bagian bangunan gedung
yang dibangun di bawah permukaan tanah harus mempertimbangkan batas-
batas lokasi, keamanan, dan tidak mengganggu fungsi utilitas kota, serta
pelaksanaan pembangunannya.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan jarak bebas bangunan gedung
D.2 TANGGAPAN
D.2.1 UMUM
Setelah kami pihak konsultan mempelajari isi yang tercantum dalam Kerangka Acuan
Kerja (KAK)/Term of Reference (TOR) serta penjelasan pekerjaan yang diterima dalam
acara aanwijzing secara umum materi yang tercantum dalam KAK tersebut dapat
dipahami namun demikian kami akan menyampaikan beberapa tanggapan terhadap isi
dari TOR tersebut :
▪ Tanggapan terhadap persyaratan umum .
▪ Tanggapan terhadap persyaratan administrasi.
▪ Tanggapan terhadap persyaratan teknis.
Kegiatan ini memiliki tujuan akhir untuk nanti dapat menjadi acuan seluruh stakeholders
pembangunan dalam melakukan kegiatan dengan memperhatikan perencanaan yang ada
di Kabupaten Mukomuko.