Anda di halaman 1dari 32

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Traumatic Brain Injury (TBI) atau yang biasa dikenal dengan istilah

cedera kepala atau trauma kepala adalah kejadian yang sering terjadi dan

penyebab terbanyak kematian. Cedera kepala merupakan salah satu masalah

kesehatan yang dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental yang

kompleks. Gangguan yang ditimbulkan dapat bersifat sementara maupun

menetap, seperti defisit kognitif, psikis, intelektual, serta gangguan fungsi

fisiologis lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena cedera kepala dapat

mengenai berbagai komponen kepala mulai dari bagian terluar hingga

terdalam, termasuk tengkorak dan otak (Padila, 2012).

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada

pengguna kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan

kurangnya kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan raya. Lebih dari

50% kematian disebabkan oleh cedera kepala dan kecelakaan kendaraan

bermotor. Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang mengalami cedera kepala,

75.000 diantaranya meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang

selamat akan mengalami disabilitas permanen. Menurut WHO, tahun 2020

diperkirakan bahwa kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab penyakit

dan trauma ketiga terbanyak di dunia (Nurfaise, 2012).

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013,

prevalensi cedera secara nasional adalah 8,2 persen, prevalensi tertinggi

ditemukan di Sulawesi Selatan (12,8%) dan terendah di Jambi (4,5%).

Provinsi yang mempunyai prevalensi cedera lebih tinggi dari angka nasional

1
2

sebanyak 15 provinsi. Penyebab cedera terbanyak yaitu jatuh (40,9%) dan

kecelakaan sepeda motor (40,6%), selanjutnya penyebab cedera karena

terkena benda tajam/tumpul (7,3%), transportasi darat lain (7,1%) dan

kejatuhan (2,5%). Sedangkan untuk penyebab yang belum disebutkan

proporsinya sangat kecil. Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi

ditemukan di Bengkulu (56,4 persen) dan terendah di Papua (19,4%). Ditinjau

dari penyebab cederanya, penyebab cedera karena kecelakaan sepeda motor

menempati peringkat kedua menunjukkan proporsi tertinggi yaitu 67,4 persen

pada kelompok umur 15-24 tahun, laki-laki (44,6%), tingkat pendidikan tamat

SMA/MA (63,9%), bekerja sebagai pegawai (65,3%), dan tinggal di perkotaan

(42,8%) (Balitbangkes Kemenkes RI, 2013).

Berdasarkan data pada bulan Januari – Mei 2016 di ruang ICU/ICCU

RS TK. II Pelamonia Makassar, terdapat 8 kasus cedera kepala berat, 4 kasus

cedera kepala sedang, dan 9 kasus cedera kepala ringan dengan total angka

cedera kepala 21 kasus. Selain itu, pasien dengan craniotomy ada 7 kasus dan

cranioplasty ada 5 kasus.

Pasien dengan cedera kepala membutuhkan banyak aspek dalam

perbaikan kualitas hidup hidupnya dan tentu saja dibutuhkan kesabaran dan

perawatan serta kontrol dan evaluasi yang tepat dalam perawatannya. Dalam

Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 45 dan ayat 155, Allah SWT berfirman:

 
  
  
 
3

Terjemahnya: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan

sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali

orang-orang yang khusyu” (Al-Baqarah 2:45).

 
  
  
  
 


Terjemahnya: ”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan

sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-

buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang

yang sabar”(Al-Baqarah 2:155).

Berdasarkan Surah Al-Baqarah ayat 45, dijelaskan bahwa sabar dan

shalat adalah penolong bagi umat yang beriman terutama saat sedang

mengalami musibah seperti keluarga atau pasien yang menderita trauma

kepala yang mengharuskan dirawat di rumah sakit. Sabar dan shalat yang

dilaksanakan dengan khusyu mampu membuat perasaan menjadi lebih tenang

sehingga pasien maupun keluarga dapat tetap bertawakal sembari memperoleh

pengobatan medis dalam mencapai kesembuhan dari penyakit yang

dideritanya. Selain tiu, bagi tenaga kesehatan khususnya pada perawat yang

selalu mendampingi pasien 24 jam, menjadikan sabar dan shalat sebagai

penopang dalam memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya pada pasien.

Dengan demikian, pasien dapat merasa nyaman saat memperoleh perawatan

dan bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Dan pada Surah Al-Baqarah ayat 155,
4

dijelaskan bahwa sungguh Allah SWT akan memberikan cobaan pada umat

manusia dengan ketakutan, kelaparan, kekurangan harta dan jiwa. Dan

sungguh Allah SWT akan memberikan berita gembira pada orang-orang yang

bersabar dalam menghadapi cobaan, termasuk cobaan ketika menderita suatu

penyakit.

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis merasa tertarik untuk

mengangkat kasus Traumatic Brain Injry atau cedera kepala sebagai kasus

kelolaan dalam seminar kasus Departemen Kegawatdaruratan dengan harapan

dapat menambah wawasan mengenai penanganan dan komplikasi yang bisa

timbul bila tidak ditangani dengan baik. Selain itu, juga diharapkan mampu

mengintegrasikan nilai islam dalam perawatan pasien dengan cedera kepala

maupun pasien lain pada umumnya.

B. Tujuan penulisan

1. Tujuan Umum

Mampu melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan kasus

traumatic brain injury/cedera kepala.

2. Tujuan khusus

a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian keperawatan dengan

mengumpulkan data subjektf dan objektif.

b. Mahasiswa mampu menetapkan diagnosa keperawatan dengan

menganalisa data sesuai dengan masalah yang didapatkan.

c. Mahasiswa mampu menyusun intervensi keperawatan berdasarkan

diagnosa yang ditetapkan.

d. Mahasiswa mampu melakukanan implementasi berdasarkan intervensi

yang telah direncanakan.


5

e. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan berdasarkan

respon dari klien.

C. Manfaat Penulisan

1. Bagi Rumah Sakit

Dapat digunakan sebagi bahan masukan dalam upaya memberikan

pelayanan atau asuhan keperawatan pada pasien dengan kasus cedera

kepala sehingga peningkatan mutu pelayanan keperawatan dapat

terlaksana secara komperhensif dan holistik.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Dapat memberikan dan memperkaya ilmu keperawatan

kegawatdaruratan khususnya pada pengkajian keperawatan, penetapan

diagnose keperawatan, dan penetapan intervensi keperawatan.Selain itu,

juga dapat menjadi bahan diskusi bagi mahasiswa profesi Ners pada

khususnya sehingga dapat menambah daya nalar dan analisis terhadap

suatu kasus serta nantinya mampu menyelaraskan antara teori dan

aplikasinya di lahan.

Menjadi masukan dan bahan informasi serta koreksi kepada

mahasiswa dan institusi pendidikan untuk meningkatkan skill dan ilmu

kepada mahasisiwa. Sehingga, mahasiswa keperawatan mampu

mengaktualisasikan ilmu dan keterampilan secara efisien dalam kehidupan

masyarakat.

D. Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini yaitu :

1. Metode kepustakaan

Metode penulisan dengan menggunakan beberapa literatur sebagai

sumber/referensi.
6

2. Metode wawancara

Data diperoleh melalui wawancara langsung kepada pasien dan keluarga.

3. Metode observasi

Data diperoleh melalui observasi langsung kepada pasien.


7

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Anatomi dan Fisiologi

Anatomi

1. Tengkorak

Menurut Pearce (2008), tulang tengkorak merupakan struktur

tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan

tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan :lapisan luar, etmoid

dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat

sedangkan etmoid merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan

dalam membentuk rongga/fosa; fosa anterior didalamnya terdapat lobus

frontalis, fosa tengah berisi lobus temporalis, parientalis, oksipitalis, fosa

posterior berisi otak tengah dan sereblum.

2. Meningen

Menurut Pearce (2008), meningen adalah selaput yang menutupi

otak dan medulla spinalis yang berfungsi sebagai pelindung. Meningen

terdiri dari tiga lapisan, yaitu:

Gambar 2.1. Meningen

6
8

a. Duramater (lapisan sebelah luar)

Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal

dan kuat. Duramater di tempat tertentu mengandung rongga yang

mengalirkan darah vena dari otak.

a. Arakhnoid (lapisan tengah)

Merupakan selaput halus yang memisahkan duramater dengan

piameter membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak

yang meliputi susunan saraf sentral.

b. Piameter (lapisan sebelah dalam)

Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan

jaringan otak. Piameter berhubungan dengan arakhnoid melalui

struktur-struktur jaringan ikat yang disebut trabekel. Piamater melekat

erat pada permukaan korteks serebri.

3. Otak

Gambar 2.2 Otak

Otak terdiri dari tiga bagian bagian utama, yaitu:

a. Cerebrum

Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian,

hemispherium serebri kanan dan kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4

lobus yang terdiri dari lobus frontal, oksipital, temporal dan pariental

yang masing-masing lobus memiliki fungsi yang berbeda, yaitu:


9

1) Lobus frontalis

Kontrol motorik gerakan volunter misalnya menulis,

memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu. Selain itu juga

berperan dalam fungsi bicara, control berbagai emosi, moral,

tingkah laku dan etika. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis

bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik

yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi

otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata,

meskipun kadang menyebabkan kejang.

Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus

frontalis bias menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang

inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan

atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita

mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang,

kasar dan kejam.

2) Lobus parietalis

Lobus parietalis berperan dalam fungsi sensori umum dan

rasa (pengecapan). Lobus parietalis pada korteks serebri

menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan berat badan ke

dalam persepsi umum. Lobus parietalis juga membantu

mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan

posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus

parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan.

Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya

kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan, keadaan ini

disebut ataksia dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan


10

yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam

mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan

bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal

dengan baik misalnya, bentuk kubus atau jam dinding. Penderita

bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian

maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.

3) Lobus temporalis

Berperan dalam pendengaran, keseimbangan, emosi, dan

memori. Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja

terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang.

Lobus temporalis juga memahami suara dan gambaran,

menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta

menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis

sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan

bentuk.

Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan

gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari

dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan

bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang

non dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak

suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif

dan kehilangan gairah seksual.

4) Lobus Oksipital

Fungsinya untuk visual center dan mengenal objek.

Kerusakan pada lobus ini otomatis akan kehilangan fungsi dari

lobus itu sendiri yaitu penglihatan.


11

Gambar 2.3 Cerebrum

b. Cereblum

Terdapat dibagian belakang kranium menepati fosa serebri

posterior dibawah lapisan durameter. Cereblum mempunyai aksi yaitu;

merangsang dan menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang

luas terhadap koordinasi dan gerakan halus. Ditambah mengontrol

gerakan yang benar, keseimbangan posisi dan mengintegrasikan input

sensori.

c. Brainstem

Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula

oblongata. Otak tengah (midbrain/ ensefalon) menghubungkan pons


dan sereblum dengan hemisfer sereblum. Bagian ini berisi jalur

sensorik dan motorik, sebagai pusat reflek pendengaran dan

penglihatan. Pons terletak didepan sereblum antara otak tengah dan

medula, serta merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan juga

antara medulla dengan serebrum. Pons berisi jarak sensorik dan


motorik. Medula oblongata membentuk bagian inferior dari batang

otak, terdapat pusatpusat otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital


12

seperti pernafasan, frekuensi jantung, pusat muntah, tonus vasomotor,

reflek batuk dan bersin.

4. Sraraf-Saraf Otak (Nervus Cranium)

a. Nervus I (Olfaktorius)

Sifatnya sensorik. Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh

dahi, membawa rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke

otak.

b. Nervus II (Optikus)

Sifatnya sensorik. Mensarafi bola mata, membawa rangsangan

penglihatan ke otak.

c. Nervus III (Okulomotorius)

Bersifat motorik, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)

menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot

siliaris dan otot iris.

d. Nervus IV (Trokhlearis)

Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang

pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.

e. Nervus V (Trigeminus)

Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah

cabang. Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan

saraf otak besar, sarafnya yaitu:

1) Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian

depan kelopak mata atas, selaput lendir kelopak mata dan bola

mata

2) Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas,

palatum, batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris.


13

3) Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris)

mensarafi otot-otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya

mensarafi gigi bawah, kulit daerah temporal dan dagu.

f. Nervus VI (Abducens)

Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf

penggoyang sisi mata.

g. Nervus VII (Fasialis)

Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya

mensarafi otot-otot lidah dan selaput lendir ronga mulut. Di dalam

saraf ini terdapat serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk

wajah dan kulit kepala fungsinya sebagai mimik wajah untuk

menghantarkan rasa pengecap.

h. Nervus VIII (Akustikus)

Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari

pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf

pendengar.

i. Nervus IX (Glosofaringeus)

Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan

lidah, saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.

j. Nervus X (Vagus)

Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf

motorik, sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, esofagus,

gaster intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen.

Fungsinya sebagai saraf perasa.


14

k. Nervus XI (Aksesorius)

Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus

trapezium, fungsinya sebagai saraf tambahan.

l. Nervus XII (Hipoglosus)

Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf

ini terdapat di dalam sumsum penyambung.

Fisiologi

Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain :

1. Tekanan Intra Kranial

Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah,

dan cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu

yang menghasilkan suatu tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai

200 mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan

intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat

meningkat sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari

normal.

Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh

sesuai kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak

(1400 g), cairan serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml).

Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur utama ini

mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan

menaikkan tekanan intra cranial

2. Hipotesa Monro-Kellie

Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas

sehingga bila salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua


komponen lainnya harus mengkompensasi dengan mengurangi volumenya
15

(bila TIK masih konstan). Mekanisme kompensasi intra kranial ini

terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural dapat menjadi parah bila

mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran cairan

serebrospinal ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi otak terhadap

peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi

yang berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah

ke otak dan pergeseran otak ke arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin

meningkat. Dua mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi

saraf. Apabila peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme

kompensasi tidak efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan

kematian neuronal.

B. Konsep Medis Traumatic Brain Injury (Cedera Kepala)

1. Pengertian

Traumatic brain injury atau cedera kepala merupakan cedera yang

meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak (Morton, 2012). Menurut

Brain Injury Association of America (2013), cedera kepala adalah suatu

kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,

tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat

mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan

kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Trauma kepala adalah suatu ruda

paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga dapat

menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan

otak (Sastrodiningrat, 2009).

Menurut Nurarif dan Kusuma (2015), cedera kepala adalah suatu

gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai dengan perdarahan

intertisial dalam substansi otak tanpa terputusnya kontinuitas dari otak.


16

Cedera kepala juga merupakan trauma pada otak yang diakibatkan

kekuatan fisik eksternal yang menyebabkan gangguan kesadaran tanpa

terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala,

tengkorak, dan otak. Secara anatomis otak dilindungi dari cedera oleh

rambut, kulit kepala, tulang, dan tentorium yang membungkusnya. Tanpa

perlindungan ini otak akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami

kerusakan.

2. Klasifikasi

Menurut Nurarif dan Kusuma (2015),klasifikasi cedera kepala

adalah sebagai berikut:

a. Berdasarkan patologi

a. Cedera kepala primer

Merupakan akibat cedera awal. Cedera awal menyebabkan

gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel di area tersebut,

yang menyebabkan kematian sel.

b. Cedera kepala sekunder

Cedera ini merupakan cedera yang menyebabkan kerusakan otak

lebih lanjut yang terjadi setelah trauma sehingga meningkatkan

TIK yang tak terkendali, meliputi respon fisiologis cedera otak,

termasuk edema cerebral, perubahan biokimia, dan perubahan

hemodinamik cerebral, iskemia cerebral, hipotensi sistemik, dan

infeksi lokal atau sistemik.

b. Menurut jenis cedera

1) Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur tulang

tengkorak dan laserasi duramater. Trauma ang menembus

tengkorak da jaringan otak.


17

2) Cedera kepala tertutup dapat disamakan pada pasien dengan gegar

otak ringan dengan cedera serebral yang luas.

c. Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glascow Coma Scale)

1) Cedera kepala ringan/minor

GCS 14-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia, tetapi

kurang dari 30 menit, tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada

kontusio cerebral, hematoma.

2) Cedera kepala sedang

GCS 9-13, kehilangan kesadaran dann amnesia lebih dari 30 menit

tetapi kurang dari 24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak,

diikuti contusio cerebral, laserasi dan hematoma intrakranial.

3) Cedera kepala berat

GCS 3-8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari

24 jam, juga meliputi kontusio cerebral, laserasi atau hematoma

intra kranial.

Sedangkan menurut Brain Injury Association of Michigan (2005),

klasifikasi keparahan dari Traumatic Brain Injury yaitu :

Tabel 1. Klasifikasi Keparahan Traumatic Brain Injury

Ringan Kehilangan kesadaran < 20 menit

Amnesia post traumatik < 24 jam

GCS = 13 – 15

Sedang Kehilangan kesadaran ≥ 20 menit dan

≤ 36 jam

Amnesia post traumatik ≥ 24 jam dan

≤ 7 hari

GCS = 9 - 12
18

Berat Kehilangan kesadaran > 36 jam

Amnesia post traumatik > 7 hari

GCS = 3 – 8

3. Etiologi

Menurut Nurarif dan Kusuma (2015), penyebab cedera kepala

adalah sebagai berikut :

a. Cedera askelerasi

Terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak,

misalnya alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang


ditembakkan ke kepala.

b. Cedera deselerasi

Terjadi jika kepala yang bergerak membentur obyek diam, seperti pada

kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan

mobil.

c. Cedera akselerasi-deselerasi

Sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan episode

kekerasan fisik.

d. Cedera coup-countre coup

Terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan otak bergerak dalam

ruang cranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang

berlawanan serta area kepala yang pertama kali terbentur. Sebagai

contoh pasien dipukul dibagian belakang kepala.

e. Cedera rotasional

Terjdi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar dalam rongga

tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron


19

dalam substansia alba serta robeknya pembuluh darah yang

memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak.

4. Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap

yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera

pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat

disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras

maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala (Gennarelli, 1996

dalam Israr dkk, 2009).

Pada cedera kepala, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa

perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil,

tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi

kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang

area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi.

Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio

“countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan

akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat cedera kepala adalah

akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi

rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya

ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio

coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio

intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan

countrecoup (Mardjono dan Sidharta, 2008).

Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti

secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara

tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid)


20

menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya.

Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan

dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan

(countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009).

Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus

pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek

kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari

beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali

jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu

yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel

dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin

secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan

pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya

kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.

Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit

ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan

oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti.

Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk

mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia

pada beberapa daerah tertentu dalam otak.

5. Manifestasi Klinis

Gejala klinis akibat cedera kepala tergantung dari tingkat

keparahannya. Pasien dengan cedera kepala ringan mungkin tetap sadar

atau kehilangan kesadaran selama beberapa detik atau menit. Gejala lain

dari cedera kepala ringan termasuk sakit kepala, kebingungan, pusing,

penglihatan kabur atau mata lelah, telinga berdenging, rasa tidak enak di
21

mulut, lelah, perubahan pola tidur, dan terdapat masalah dengan memori,

konsentrasi, perhatian, atau berpikir. Sedangkan pasien dengan cedera

kepala sedang atau berat dapat menunjukkan gejala-gejala yang sama,

tetapi juga mungkin mengalami sakit kepala yang progresif, mual, muntah,

kejang, pelebaran dari satu atau kedua pupil mata, lemah atau mati rasa

pada kaki, kehilangan koordinasi, dan gelisah. Selain itu, secara umum

manifestasi klinis dari cedera kepala adalah sebagi berikut:

a. Denyut nadi lemah

b. Pernafasan dangkal

c. Kulit dingin dan pucat

d. Defekasi dan berkemih tanpa disadari

e. Fungsi motorik abnormal misalnya gerakan mata

f. Peningkatan TIK

g. Sakit kepala

h. Vertigo

i. Gangguan fungsi mental

j. Kejang

Perdarahan yang sering ditemukan pada cedera kepala adalah:

a. Epidural hematom

Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan

duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri

meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak

dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi

dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu

dilobus temporalis dan parietalis.


22

Tanda dan gejala: penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala,

muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan

cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.

b. Subdural hematoma

Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat

terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah

vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater,

perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2

hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau

beberapa bulan.

Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik

diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil.

c. Intraserebral hematoma

Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah

arteri, kapiler, vena.

Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran,

komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil,

perubahan tanda-tanda vital.

d. Perdarahan subarachnoid

Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya

pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera

kepala yang hebat.

Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran,

hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.


23

6. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Nurarif dan Kusuma (2015), pemeriksaan penunjang pada

pasien dengan traumatic brain injury adalah sebagai berikut:

a. CT Scan

Indikasi CT Scan adalah adanya nyeri kepala atau muntah-muntah,

penurunan GCS lebih 1 point, adanya lateralisasi, bradikardi (nadi <60

x/i), fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidka sesuai, tidak ada

perubahan selama 3 hari perawatan dan luka tembus akibat benda

tajam atau peluru.

b. MRI (tanpa/ dengan menggunakan kontras)

c. Angiografi serebral

Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, spt pergeseran jaringan otak

akibat edema, perdarahan, trauma

d. EEG

Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang

patologis

e. BAER (Brain Auditori Evoked Respons)

Menentukan fungsi korteks dan batang otak

f. PET ( Positron Emission Tomografi )

Menunjukkan perubahan aktifitas metabolisme pada otak

g. Fungsi lumbal,CSS

Mengetahui kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid

h. GDA (Gas Darah Arteri)

Mengetahui masalah ventilasi atau oksigenisasi yang dapat

menyebabkan TIK
24

i. Kimia/ elektrolit darah

Mengetahui keseimbangan yang berperan dalam meningkatkan

TIK/perubahan mental

j. Pemeriksaan toksikologis

Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap

penurunan kesadaran

k. Kadar antikonvulsan darah

Mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.

7. Komplikasi

a. Kejang Pasca Trauma

Kejang yang terjadi setelah masa trauma yang dialami pasien

merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya sebanyak 10%,

terjadi di awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-

42% (setelah 7 hari trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi,

hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur depresi kranium,

kontusio serebri, GCS <10.

b. Demam dan Menggigil

Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolisme dan

memperburuk outcome.Sering terjadi akibat kekurangan cairan,

infeksi, efek sentral.Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro

muskular paralisis. Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma

barbiturat, asetazolamid.

c. Hidrosefalus

Berdasarkan lokasinya, penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan

dan non komunikan.Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada

cedera kepala dengan obstruksi, kondisi ini terjadi akibat penyumbatan


25

di system ventrikel.Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah,

nyeri kepala, papil odema, demensia, ataksia dan gangguan miksi.

d. Spastisitas

Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada

kecepatan gerakan.Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi.

Beberapa penanganan ditujukan pada : pembatasan fungsi gerak, nyeri,

pencegahan kontraktur, dan bantuan dalam memposisikan diri. Terapi

primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi sekunder dengan

splinting, casting, dan terapi farmakologi dengan dantrolen, baklofen,

tizanidin, botulinum dan benzodiazepin.

e. Agitasi

Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal

dalam bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi

labil.Agitasi juga sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat

yang berpotensi sentral.Penanganan farmakologi antara lain dengan

menggunakan antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron,

stimulant, benzodiazepine dan terapi modifikasi lingkungan.

f. Mood, Tingkah Laku dan Kognitif

Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding

gangguan fisik setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian

Pons Ford,menunjukkan 2 tahun setelah cedera kepala masih terdapat

gangguan kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk problem daya

ingat pada 74%, gangguan mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan

kecepatan berpikir 67%. Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan

konsentrasi 62%. Cicerone (2002) meneliti rehabilitasi kognitif

berperan penting untuk perbaikan gangguan kognitif.Methyl phenidate


26

sering digunakan pada pasien dengan problem gangguan perhatian,

inisiasi dan hipoarousal. Dopamine, Amantadinae dilaporkan dapat

memperbaiki fungsi perhatian dan fungsi luhur.Donepezil dapat

memperbaiki daya ingat dan tingkah laku dalam 12 minggu.Depresi

mayor dan minor ditemukan 40-50%.Faktor risiko depresi pasca

cedera kepala adalah wanita, beratnya cedera kepala, pre morbid dan

gangguan tingkah laku dapat membaik dengan antidepresan.

g. Sindroma Post Kontusio

Sindroma Post Kontusio merupakan komplek gejala yang berhubungan

dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan

pertama dan 15% pada tahun pertama: Somatik : nyeri kepala,

gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif terhadap

suara dan cahaya, kognitif: perhatian, konsentrasi, memori, Afektif:

iritabel, cemas, depresi, emosi labil.

8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada cedera kepala memiliki prinsip penanganan

untuk memonitor tekanan intrakranial pasien. Terapi medika mentosa

digunakan untuk menurunkan oedem otak bila terdapat oedem pada

gambaran profil CT Scan pada pasien .Penurunan aktifitas otak juga

dibutuhkan dalam prinsip penatalaksanaan pada cedera kepala agar dapat

menurunkan hantaran oksigen dengan induksi koma.Pasien yang

mengalami kejang diberikan terapi profilaksis.

a. Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi menggunakan cairan intravena ditujukan

untuk mempertahankan status cairan dan menghindari dehidrasi.Bila

ditemukan peningkatan tekanan intracranial yang refrakter tanpa


27

cedera difus, autoregulasibaik dan fungsi kardiovaskular adekuat,

pasien bisa diberikan barbiturat. Mekanisme kerja barbiturat adalah

dengan menekan metabolism serebral, menurunkan aliran darah ke

otak dan volume darah serebral, merubah tonus vaskuler, menahan

radikal bebas dari peroksidasi lipid mengakibatkan supresi burst.

Kureshi dan Suarez menunjukkan penggunaan saline hipertonis efektif

pada neuro trauma dengan hasil pengkerutan otak sehingga

menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan volume

intravaskular volume.Dengan akses vena sentral diberikan NaCl 3% 75

cc/jam dengan Cl 50%, asetat 50% target natrium 145-150 dengan

monitor pemeriksaan natrium setiap 4-6 jam. Setelah target tercapai

dilanjutkan dengan NaCl fisiologis sampai 4-5 hari.

b. Terapi Nutrisi

Dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik,

kehilangan kurang lebih 15% berat badan tubuh per minggu.

Penurunan berat badan melebihi 30% akan meningkatkan mortalitas.

diberikan kebutuhan metabolism istirahat dengan 140% kalori/ hari

dengan formula berisi protein > 15% diberikan selama 7 hari. Pilihan

enteral feeding dapat mencegah kejadian hiperglikemi, infeksi.

c. Terapi Prevensi Kejang

Pada kejang awal dapat mencegah cedera lebih lanjut,

peningkatan TIK, penghantaran dan konsumsi oksigen, pelepasan

neuro transmiter yang dapat mencegah berkembangnya kejang onset

lambat (mencegah efek kindling).Pemberian terapi profilaksis dengan

fenitoin, karbamazepin efektif pada minggu pertama.Faktor-faktor


28

terkait yang harus dievaluasi pada terapi prevensi kejang adalah

kondisi pasien yang hipoglikemi, gangguan elektrolit, dan infeksi.

d. Penanganan Cedera Kepala Ringan

Pasien dengan CT Scan normal dapat keluar dari UGD dengan

peringatan apabila : mengantuk atau sulit bangun (bangunkan setiap 2

jam), mual dan muntah, kejang, perdarahan/keluar cairan dari hidung

atau telinga, nyeri kepala hebat, kelemahan/gangguan sensibilitas pada

ekstrimitas, bingung dan tingkah laku aneh, pupil anisokor,

penglihatan dobel/gangguan visus, nadi yang terlalu cepat/terlalu

pelan, pola nafas yang abnormal.

e. Penanganan Cedera Kepala Sedang

Beberapa ahli melakukan skoring cedera kepala sedang dengan

Glasgow Coma Scale Extended (GCSE) dengan menambahkan skala

Postrauma Amnesia (PTA) dengan sub skala 0-7 dimana skore 0

apabila mengalami amnesia lebih dari 3 bulan,dan skore 7 tidak ada

amnesia. Bachelor (2003) membagi cedera kepala sedang menjadi :

1) Risiko ringan : tidak ada gejala nyeri kepala, muntah dan dizziness

2) Risiko sedang : ada riwayat penurunan kesadaran dan amnesia post

trauma

3) Risiko tinggi : nyeri kepala hebat, mual yang menetap dan muntah.

Penanganan cedera kepala sedang sering kali terlambat

mendapat penanganan Karena gejala yang timbul sering tidak dikenali.

Gejala terbanyak antara lain : mudah lupa, mengantuk, nyeri kepala,

gangguan konsentrasi dan dizziness.


29

Penatalaksanaan utamanya ditujukan pada penatalaksanaan

gejala, strategi kompensasi dan modifikasi lingkungan (terapi wicara

dan okupasi) untuk disfungsi kognitif, dan psiko edukasi.

f. Penanganan Cedera Kepala Berat

Diagnosis dan penanganan yang cepat meliputi:

Primary survey : stabilisasi cardio pulmoner

Secondary survey : penanganan cedera sistemik, pemeriksaan mini

neurologi dan ditentukan perlu penanganan pembedahan atau

perawatan di ICU.

9. Prognosis

Prognosis pada cedera kepala mengacu pada tingkat keparahan

yang dialami.Nilai GCS saat pasien pertama kali datang ke rumah sakit

memiliki nilai prognosis yang besar. Nilai GCS antara 3-4 memiliki

tingkat mortalitas hingga 85%, sedangkan nilai GCS diatas 12 memiliki

nilai mortalitas 5-10%. Gejala-gejala yang muncul pasca trauma juga perlu

diperhatikan seperti mudah letih, sakit kepala berat, tidak mampu

berkonsentrasi dan irritable.

C. Konsep Keperawatan Traumatic Brain Injury

1. Pengkajian

a. Aktivitas/ Istirahat

Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.

Tanda : Perubahan kesehatan, letargi

Hemiparase, quadrepelgia

Ataksia cara berjalan tak tegap

Masalah dalam keseimbangan

Cedera (trauma) ortopedi


30

Kehilangan tonus otot, otot spastik

b. Sirkulasi

Gejala : Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang

diselingi bradikardia disritmia).

c. Integritas Ego

Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau

dramatis)

Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung

depresi dan impulsif.

d. Eliminasi

Gejala : Inkontenensia kandung kemih/ usus atau mengalami

gangguan fungsi.

e. Makanan/ cairan

Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.

Tanda : Muntah (mungkin proyektil), Gangguan menelan (batuk,

air liur keluar, disfagia).

f. Neurosensoris

Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,

vertigo, sinkope, tinitus kehilangan pendengaran, fingking,

baal pada ekstremitas.

g. Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma

Perubahan status mental

Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri)

Wajah tidak simetri

Genggaman lemah, tidak seimbang

Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah


31

Apraksia, hemiparese, Quadreplegia

h. Nyeri/ Kenyamanan

Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda

biasanya koma.

Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangangan nyeri

yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.

i. Pernapasan

Tanda : Perubahan pola nafas (dispnea).

Nafas berbunyi stridor, terdesak

Ronki, mengi positif

j. Keamanan

Gejala : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan

Tanda : Fraktur/ dislokasi

k. Gangguan penglihatan

Gangguan kognitif

Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekutan secara umum

mengalami paralisis

Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh

l. Interaksi Sosial

Tanda : Afasia motorik atau sensorik.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan disfungsi (kompresi

batang otak, perubahan posisi struktur).

b. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan

obstruksi aliran darah cerebral.


32

c. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis kontraktur

(terputusnya jaringa tulang).

d. Hipertermi berhubungan dengan infeksi dan trauma jaringan otak

e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan intake inadekuat.

f. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi/

kognitif, terapi pembatasan/ kewaspadaan keamanan, tirah baring,

immobilisasi.

g. Kerusakan memori berhubungan dengan hipoksia, gangguan

neurologis.

h. Risiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan kadar

elektrolit serum (muntah).

i. Risiko perdarahan berhubungan dengan trauma, riwayat jatuh.

j. Risiko infeksi berhubungan dengan trauma, faktor eksternal.

k. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran,

gelisah, agitasi, gerakan involunter dan kejang.

l. Ketidakefektifan koping keluarga berhubungan dengan krisis

stuasional, perjalan penyakit, kurng pengetahuan.

m. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring.

Anda mungkin juga menyukai