Anda di halaman 1dari 5

Sumber-Sumber Hukum Perusahaan

a. Perundang-undangan
Perundang-undang ini meliputi ketentuan undang-undang peninggalan zaman
hindia Belanda dahulu, yang masih berlaku hingga sekarang ini berdasarkan
aturan peralihan UUD 1945, seperti ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata
(BW) dan KUHD. Berlakunya BW terhadap semua perjanjian dapat diketahui
berdasarkan ketentuan Pasal 1319 BW yang menyatakan semua perjanjian, baik
bernama maupun tidak bernama. Dalam Pasal 1 KUHD dinyatakan bahwa KUH
Perdata berlaku juga bagi perjanjian yang diatur dalam KUHD (berlaku asas lez
specialis derograt lex generalis). Dalam KUHD diatur juga pemberian kuasa secara
khusus mengenai surat berharga.
Selain dari ketentuan yang masih berlaku dalam BW dan KUHD juga sudah
diundangkan banyak sekali undang-undang yang dibuat oleh pembuat Undang-
Undang RI yang mengatur tentang perusahaan, antara lain mengenai : Perseroan
Terbatas, Dokumen Perusahaan, Pasar Modal dan Penanaman Modal, Izin
Perusahaan dan Pendaftaran Perusahaan, Kamar Dagang dan Industri, dsb.
b. Kontrak Perusahaan
Kontrak perusahaan ini merupakan sumber utama kewajiban dan hak serta
tangggung jawab pihak-pihak. Dalam melaksanakan kontrak perusahaan selalu
melibatkan pihak ketiga, baik mengenai cara penyerahan barang maupun cara
pembayaran harga. Dalam penyerahan barang, pihak ketiga yang dapat dilibatkan
adalah perusahaan ekspedisi, pengangkutan, pergudangan, dan asuransi.
Sedangkan dalam pembayaran harga, pihak ketiga yang selalu dilibatkan adalah
bank. Pada perusahaan modern, semua lalu lintas pembayaran selalu dilakukan
melalui bank dengan menggunakan surat berharga yang disertai oleh dokumen-
dokumen penting lainnya. Pada kontrak yang bertaraf nasional tidak ada masalah
mengenai ketentuan undang-undang ini. Pada kontrak yang bertaraf internasional
mungkin timbul masalah , yaitu ketentuan undang-undang pihak mana yang
diberlakukan, disini pihak-pihak berhadapan dengan masalah pilihan hukum
(choice of law).
c. Yurisprudensi
Yurisprudensi merupakan sumber hukum perusahaan yang dapat diikuti oleh
pihak-pihak terutama jika terjadi sengketa mengenai pemenuhan kewajiban dan
hak tertentu. Dalam yurisprudensi kewajiban dan hak yang telah ditetapkan oleh
hakim dipandang sebagai dasar yang adil untuk meyelesaikan sengketa kewajiban
dan hak antara pihak-pihak. Melalui yurisprudensi, hakim dapat melakukan
pendekatan terhadap sistem hukum yang berlainan, misalnya Anglo Saxon.
Dengan demikian kekosongan hukum dapat diatasi, sehingga perlindungan
hukum terhadap kepentingan pihak-pihak terutama yang berusaha di Indonesia
dapat dijamin, misalnya perusahaan penanaman modal asing di Indonesia.
Yurisprudensi yang terjadi di bidang hukum perusahaan, misalnya mengenai
penggunaan merek dagang, jual beli perdagangan, pilihan hukum leasing, seperti
Putusan Mahkamah Agung berikut ini : Perkara merek Nike, nomor
220/PK.Pdt/1986, 16 Desember 1986, Perkara pilihan hukum, Nomor
3253/Pdt/1990, 30 November 1993, dan sebagainya.
d. Kebiasaan
Kebiasaan merupakan sumber hukum yang dapat diikuti oleh para pengusaha.
Jika tidak ada pengaturannya, maka kebiasaan berlaku dan berkembang di
kalangan para pengusaha dalam menjalankan perusahaan diikuti guna mencapai
tujuan yang telah disepakati. Jika kebiasaan bertaraf Internasional, disetujui oleh
negara-negara penanda tangan yang dituangkan dalam bentuk konvensi
internasional, seperti Hague Rules, Incotern 1990 di bidang angkutan laut.

Kasus Antara PT GPU dengan PT KSE

PT.GPU salah satu perusahaan peralatan yang menyediakan peralatan kebutuhan


perkebunan tersandung masalah dengan PT.KSE. Kasus ini muncul saat keduanya
menjalin kerjasama pada bulan maret 2012. Kala itu, PT.KSE memesan peralatan
mesin traktor dan peralatan kebun lainnya dari PT.GPU, kemudian pada bulan mei
tahun 2012 peralatan mesin perkebunan itu datang secara bertahap dan pada bulan
juni 2012 pemesan peralatan mesin perkebunan itu usai atau telah tuntas.

Tak berselang lama dari itu, tepatnya tanggal 23 september 2012 peralatan mesin
perkebunan itu telah rusak setelah dipakai beberapa bulan. PT.KSE menuding
perusahaan PT.GPU ini mengingkari kontrak perbaikan mesin perkebunan mereka
yang menurut perjanjian memiliki garansi perbaikan hingga 1 tahun. Saat itu
PT.KSE meminta mesin tersebut diservis kembali lantaran baru dipakai selama 3
bulan, akan tetapi PT.GPU menolak. Alasannya, kerusakan itu di luar yang
diperjanjikan. Dalam kontrak, garansi diberikan jika kerusakan karena kesalahan
pengerjaan. Ini yang membuat pihak PT.KSE naik pitam. Pada bulan desember
2012 PT.KSE pun menggugat ke PT.GPU dengan ganti rugi sebesar US$ 5 juta
atau sekitar Rp 76 miliar ke Pengadilan Negeri Tangerang. Mediasi memang
sempat dilakukan, tapi menemui jalan buntu.

Dengan dasar itu, pada maret 2013 PT.KSE mengalihkan gugatannya ke


Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tapi ternyata gugatan itu
ditolak oleh pengadilan. Padahal di sisi lain, PT.GPU memiliki hutang perawatan
mesin perkebunan milik PT.KSE sejak Agustus 2011, dan tiba-tiba di tengah
transaksi perjanjian tersebut PT.GPU memutuskan secara sepihak beberapa
kontrak perjanjian perbaikan dan pembelian peralatan perkebunan, padahal
peralatatan perkebunan itu sudah siap untuk diserahkan sehingga kerugian di pihak
PT.KSE mencapai ratusan juta rupiah disebabkan pengingkaran atas perjanjian
secara sepihak tersebut dan atas ini yang kemudian masuk hutangnya, dan sudah
jatuh tempo sejak awal 2012. Tapi tak kunjung dilunasi oleh PT.GPU hingga
pertengahan tahun 2012.

Pada mulanya pihak PT.KSE tidak ingin memperkeruh permasalahan ini


mengingat hubungan antara PT.KSE dan PT.GPU sangat baik, namun setelah
dilakukan melalui cara kekeluargaan oleh pihak PT.KSE dengan cara mendatangi
pihak PT.GPU di kantor PT.KSE, tetap saja tidak ada respon timbal-balik dari
PT.GPU. Padahal jika dilihat dari perlakuan yang dilakukan oleh PT.KSE dengan
membawa perkara peralatan mesin perkebunan itu ke pengadilan bisa berbanding
terbalik dengan perlakuan PT.GPU yang ingin menyelesaikan perkara hutang
PT.KSE dengan cara kekeluargaan tanpa di bawa ke pengadilan. Setelah pihak
PT.KSE bertenggang rasa selama tiga bulan, akhirnya permasalahan ini diserahkan
kepada kuasa hukumnya Sugeng Riyono S.H.

Menurut Sugeng “PT.GPU sebagai salah satu perusahaan yang menyediakan


peralatan perkebunan, telah melakukan transaksi hutang yang semena-mena
dengan didasarkan i’tikad buruk, tidak pernah memikirkan kondisi dan
kepentingan klien yang diajak bekerjasama bahkan tiga somasi yang telah
dilayangkan oleh pihak PT.KSE terhadap PT.GPU pun masih tidak ada konfirmasi
balik kepada pihak PT.KSE”, dengan dasar ini pula Sugeng selaku kuasa hukum
PT.KSE akan menggugat PT.GPU ke pengadilan, begitulah, PT.GPU benar-benar
dalam keadaan siaga satu

Analisis

Perseteruan yang terjadi antara PT.GPU milik perusahaan ternama di bidang


peralatan perkebunan dengan PT.KSE tidak kunjung usai, hal ini disebabkan
karena:

1. Kerjasama yang dilakukan oleh pihak PT.GPU dengan PT.KSE dilakukan dengan
transaksi bisnis berlandaskan i’tikad buruk.
2. Pihak PT.GPU tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, dalam hal ini PT.GPU
sebagai debitur dinyatakan “ingkar janji” (wanprestassi).
3. Pihak PT.GPU telah mengadakan pembatalan pembelian atas pemesanan
peralatan mesin perkebunan, padahal peralatan perkebunan sudah selesai
dikerjakan dan siap untuk diserahkan, hal ini menyebabkan kerugian ratusan
juta (tak terhingga) oleh PT.KSE.
Pada poin pertama di atas disebutkan bahwa, Kerjasama yang dilakukan oleh pihak
PT.GPU dengan PT.KSE dilakukan dengan transaksi bisnis berlandaskan i’tikad
buruk. Pada dasarnya, sebelum mengadakan perjanjian diwajibkan atas pihak-
pihak yang mengadakan perjanjian untuk mengetahui dengan seksama akan
pentingnya asas-asas perjanjian, yang mana hal ini dapat mencegah adanya
permasalahan yang akan terjadi diantara kedua belah pihak. Asas-asas tersebut
antara lain:

1. Asas Kebebasan Berkontrak


2. Asas Pacta Sunt Servanda
3. Asas Konsesualisme

Asas ketiga diatas merupakan sektor utama yang harus ditonjolkan. Karena asas ini
merupakan syarat mutlak bagi hukum perikatan yang modern dan bagi terciptanya
kepastian hukum.

Sebagaimana pernyataan kuasa hukum PT.KSE, Sugeng Riyono S.H, “PT.GPU


sebagai salah satu perusahaan peralatan perkebunan telah melakukan transaksi
hutang yang semena-mena dengan didasarkan i’tikad buruk, tidak pernah
memikirkan kondisi dan kepentingan klien yang diajak bekerjasama, bahkan tiga
somasi yang telah dilayangkan olrh pihak PT.KSE terhadap PT.GPU pun masih
tidak ada konfirmasi balik kepada pihak PT.KSE.” I’tikad baik diwaktu membuat
perjanjian berarti kejujuran, maka i’tikad baik ketika dalam tahap pelaksanaan
perjanjian adalah kepatuhan, yaitu suatu penilaian baik terhadap tindakan suatu
pihak dalam hal melaksanakan apa yang telah diperjanjikan, pernyataan ini sesuai
dengan Pasal 1338 B.W yang berbunyi, “Suatu perjanjian harus dilaksanakan
dengan I’tikad baik. Maka, sesuai dengan isi pasal diatas, diperintahkan supaya
pejanjian dilaksanakan dengan i’tikad baik, bertujuan mencegah kelakuan yang
tidak patut atau sewenang-wenang dalam hal pelaksanaan tersebut.”

Pada poin kedua, PT.GPU tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, dalam hal
ini PT.GPU sebagai debitur dinyatakan “ingkar janji” (wanprestasi). Wanprestasi
yang dilakukan PT.GPU merupakan sesuatu yang disebabkan dengan apa yang
dijanjikan akan tetapi terlambat, sebagaimana menurut Subekti, Wanprestasi
berarti kelalaian seorang debitur, dalam hal:

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan


2. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
3. Melakukan apa yang dijanjikan akan tetapi terlambat
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya

Kelalaian PT.GPU terhadap PT.KSE menjadikan terhambatnya kinerja produksi


lain yang akan dibuat oleh PT.KSE. Oleh sebab itu, tindakan wanprestasi
membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak yang dirugikan untuk menuntut
pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi dan bunga,
sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan
karena wanprestasi tersebut.

Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur maka undang-undang menentukan
bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan dalam keadaan lalai. Jadi
maksudnya adalah peringatan atau pernyataan dari kreditur tentang saat selambat-
lambatnya debitur wajib memenuhi prestasi. Bahwasanya peryataan lalai
diperlukan dalam hal orang meminta ganti rugi atau meminta pemutusan perikatan
dengan membuktikan adanya ingkar janji. Hal ini digunakan untuk mengantisipasi
kemungkinan agar debitur tidak merugikan kreditur.

Disebutkan dalam poin ketiga adalah pihak PT.GPU telah mengadakan pembatalan
sepihak hutang perawatan dan pembelian peralatan perkebunan sehari setelah
peralatan tersebut selesai dibuat, hal ini menyebabkan produksi yang akan dibuat
oleh PT.KSE menjadi terbengkalai. Disebutkan dalam Pasal 1338 (2) B.W bahwa,
“Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakat kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk
itu.” sehingga dengan adanya perjanjian/ikatan kontrak tersebut maka pihak PT
GPU dan PT KSE mempunyai keterikatan untuk memberikan atau berbuat sesuatu
sesuai dengan isi perjanjian. Dalam hal ketentuan di atas maka PT.GPU dikenakan
beberapa pasal, antara lain:

1. Pasal 1243 B.W


2. Pasal 1246 B.W
3. Pasal 1247 B.W
4. Pasal 1249 B.W
5. Pasal 1250 B.W

Dari penjelasan diatas, maka pihak PT KSE bisa menuntut kepada PT GPU yang
tidak memenuhi suatu perikatan dan dia dapat dikenai denda atau ganti rugi karena
ingkar janji (wanprestasi)

Anda mungkin juga menyukai