Anda di halaman 1dari 24

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1. Pengertian Roda Gigi


Roda gigi merupakan komponen yang bertugas untuk mengubah dan
meneruskan putaran, gaya, serta momen puntir dari suatu poros ke poros berikutnya
melalui pertautan gigi-gigi terjadi secara kontinyu. Suatu konstruksi hubungan roda
gigi digunakan pula untuk sistim pengatur putaran. Pasangan roda gigi tidak
memerlukan elemen mesin tambahan seperti pada transmisi sabuk atau rantai.
Bentuk gigi dibuat untuk menghilangkan keadaan slip.

2.2. Prinsip Kerja Roda Gigi


Prinsip kerja roda gigi berdasarkan pasangan gerak. Jika dari dua buah roda
gigi yang saling bersinggungan pada kelilingnya dan salah satu diputar maka yang
lain akan ikut berputar pula. Secara umum transmisi roda gigi terdiri dari komponen
roda gigi, poros penggerak, poros yang digerakan, dan pasak. Gambar dibawah ini
memperlihatkan pasangan roda gigi yang saling bersinggungan.

Gambar 2.1. Pasangan roda gigi.

2.3. Bagian-bagian Roda Gigi


Bentuk dari roda gigi sangat komplek dan memiliki banyak bagian yang
berfungsi untuk meneruskan daya. Gambar dan penjelasan dibawah ini menunjukan
bagian-bagian roda gigi.
Gambar 2.2. Bagian-bagian roda gigi.

1. Jarak bagi
Jarak bagi merupakan busur lingkaran yang dibatasi dua permukaan dinding
gigi yang bersebelahan dan bernama sama, kanan semua atau kiri semua.
2. Diameter jarak bagi
Diameter jarak bagi merupakan lingkaran imajiner, dimana saat lingkaran
tersebut berputar maka akan menunjukan putaran roda gigi secara aktual.
3. Jumlah Gigi
Didefinisikan sebagai keseluruhan jumlah gigi yang terdapat pada keliling
lingkaran jarak bagi dan yang merupakan bilangan bulat. Bagian ini
disimbolkan dengan huruf z.
4. Lebar Gigi
Lebar gigi merupakan jarak antara dua permukaan normal yang tegak lurus
terhadap sumbu dan disimbolkan dalam huruf b.
5. Pitch Point
Merupakan jarak kontak antara dua pitch circle.
6. Adendum
Merupakan jarak radial dari gigi dari lingkaran lapangan ke puncak gigi,
atau sering disebut tinggi kepala.
7. Dedendum
Merupakan jarak radial dari gigi dari lingkaran lapangan ke bagian bawah
gigi, atau sering disebut tinggi kaki.
8. Circular Pitch
Merupakan jarak yang diukur pada keliling lingkaran lapangan dari titik
satu gigi ke titik yang sesuai pada gigi berikutnya. Bagian ini sering disebut
jarak bagi lingkar.
9. Modul
Merupakan besaran yang tergantung pada jarak bagi. Pada modul inilah
semua perhitungan besaran roda gigi ini mengacu. Pasangan roda gigi harus
mempunyai modul yang sama untuk semua giginya dan dilambangkan
dengan huruf m.
10. Clearance
Merupaka jarak radial dari atas gigi ke bagian bawah gigi. Sebuah lingkaran
melewati bagian atas gigi dikenal sebagai lingkaran clearance.
11. Total Depth
Merupakan jarak radial antara addendum dan lingkaran dedendum dari gigi.
Hal ini sama dengan jumlah addendum dan dedendum.
12. Working Depth
Merupakan jarak radial dari lingkaran addendum ke lingkaran clearance. Ini
sama dengan jumlah addendum dari dua roda gigi.
13. Tooth Thickness
Merupakan adalah lebar gigi diukur sepanjang lingkaran lapangan (pitch
circle).
14. Tooth Space
Merupakan lebar ruang antara dua gigi yang berdekatan diukur sepanjang
lingkaran lapangan.

2.4. Jenis-jenis Roda Gigi


Jenis-jenis roda gigi dapat dibedakan pula dari keadaan konstruksi alur bentuk
gigi dan fungsi konstruksinya.
2.4.1. Roda Gigi Lurus
Roda gigi lurus terdiri dari silinder atau piringan dengan gigi-gigi yang
terbentuk secara radial. Ujung dari gigi-gigi tersebut berbentuk lurus dan tersusun
paralel terhadap aksis rotasi. Roda gigi ini hanya dapat dihubungkan secara paralel.
Terdapat beberapa jenis roda gigi lurus, diantaranya adalah roda gigi lurus jenis
internal serta roda gigi lurus rack dan pinion.

Gambar 2.3. Roda gigi lurus.

2.4.1.1. Roda Gigi Dalam


Roda gigi ini gigi-giginya terletak dibagian dalam silinder roda gigi. Berbeda
dengan roda gigi eksternal yang memiliki gigi-gigi di luar sillindernya. Roda gigi
internal tidak akan mengubah arah putarannya. Contoh penerapan roda gigi dalam
adalah terdapat di lift. Roda gigi ini diperlihatkan pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.4. Roda Gigi Dalam.


2.4.1.2. Roda Gigi Rack dan Pinion
Roda gigi yang dipasangkan dengan gigi dalam bentuk satu garis lurus
disebut roda gigi rack dan pinion. Roda gigi ini biasa dimanfaatkan untuk merubah
gerak linier menjadi rotary atau sebaliknya. Roda gigi yang berbentuk garis lurus
disebut sebagai roda gigi rack dan yang lain disebut roda gigi pinion. Bentuk dan
fungsi roda gigi rack dan pinion dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.5. Roda Gigi Rack dan Pinion.

2.4.2. Roda Gigi Miring


Bentuk dasar geometrisnya sama dengan roda gigi lurus, tetapi arah alur profil
giginya mempunyai kemiringan terhadap sumbu putar. Selain untuk posisi sumbu
yang sejajar, roda gigi miring dapat digunakan pula untuk pemasangan sumbu
bersilangan. Perbandingan kontak yang terjadi jauh lebih besar dibanding roda gigi
lurus yang seukuran. Oleh karena itu, pemindahan putaran maupun beban pada gigi-
giginya berlangsung lebih halus. Sifat ini sangat baik untuk penggunaan pada
putaran tinggi dan beban besar.

Gambar 2.6. Roda gigi miring.


2.4.3. Roda Gigi Kerucut
Roda gigi ini berbentuk seperti kerucut terpotong dengan gigi-gigi yang
terbentuk di permukaannya. Ketika dua roda gigi bevel bersinggungan, titik ujung
kerucut yang imajiner akan berada pada satu titik dan aksis poros yang akan saling
berpotongan. Sudut antara kedua roda bisa berapa saja kecuali 0 dan 180 derajat.
Roda gigi bevel bisa berbentuk lurus seperti spur ataupun spiral seperti roda gigi
heliks atau miring.

Gambar 2.7. Roda gigi kerucut.

2.4.4. Roda Gigi Cacing


Roda gigi cacing merupakan jenis roda gigi yang dapat meneruskan daya dan
putaran pada poros yang bersilang tegak dan mentransmisian putaran selalu berupa
reduksi. Pada sepasang roda gigi cacing terdiri dari batang cacing yang selalu
sebagai penggerak dan roda gigi cacing sebagai pengikut.

Gambar 2.8. Roda gigi cacing.


2.5. Bagian-bagian Roda Gigi Cacing
Roda gigi ini terdiri dari poros cacing dan roda cacing. Roda gigi cacing
merupakan jenis roda gigi yang dapat meneruskan daya dan putaran pada poros
yang bersilang, pada umumnya bersilang tegak lurus sudut sumbu Ʃ=90⁰. Arah
putaran dalam pasangan roda gigi ini tidak dapat dibalik. Dalam pasangan roda gigi
cacing, pergerakan hanya mungkin dilakukan oleh poros cacing saja. Pasangan roda
gigi cacing yang melakukan penguncian diri disebut self locking, yang merupakan
sebuah keuntungan dari penggunaan pasangan roda gigi ini, misalnya ketika
diinginkan untuk mengatur posisi suatu mekanisme dengan memutar poros cacing
dan kemudian memiliki mekanisme menahan posisi tersebut. Secara umum, roda
gigi ini berfungsi untuk mengurangi kecepatan. Gambar dibawah ini diperlihatkan
bagian-bagian pada roda gigi cacing.

Gambar 2.9. Bagian-bagian roda gigi cacing.

Penjelasan bagian-bagian roda gigi cacing adalah sebagai berikut.


1. Jarak bagi aksial (𝑝𝑎 )
Jarak bagi aksial diukur secara aksial, yaitu sejajar dengan sumbu dari titik
puncak pada satu titik gigi ke titik yang sesuai pada bagian yang berhubungan
dengan poros roda gigi cacing seperti ditunjukkan pada gambar 2.9 tersebut.
2. Kisar (𝑙)
Besarnya kisar sama dengan jarak gelinding sebuah gigi satu putaran penuh
pada potongan aksial.
3. Sudut Kisar (𝜆)
Sudut kisar merupakan sudut yang terbentuk di lingkaran jarak bagi terhadap
garis tegak lurus vertikal.
4. Diameter Lingkaran Jarak Bagi
Diameter jarak bagi adalah sebuah lingkaran imajiner yang menjadi acuan
pemasangan dan letak roda gigi. Besarnya sama dengan perkalian modul
dengan jumlah gigi roda cacing.
5. Jarak Poros (x)
Jarak poros merupakan jarak antara poros pada cacing dengan poros roda
cacing.

2.6. Prinsip Kerja Roda Gigi Cacing


Roda gigi cacing digunakan untuk meneruskan momen puntir antara
porosporos yang bersilangan dan pada umumnya bersilang tegak lurus. Posisi
sumbu menyudut berpotongan dengan sudut sebesar 90°. Pasangan roda gigi cacing
ini terdiri dari sebuah gigi berupa roda gigi dan sebuah gigi cacing berupa ulir.
Poros cacing memiliki satu atau beberapa buah gigi yang digulung pada sumbu
poros cacing seperti ulir pada baut. Gambar dibawah ini menunjukan gerakan
pasangan roda cacing dengan poros cacing dengan arah gerakan seuai dengan ulir
kanan.

Gambar 2.10. Gerakan pasangan roda gigi cacing.


2.7. Keuntungan dan Kerugian Roda Gigi Cacing
Keuntungan dari perpindahan transmisi menggunakan roda gigi cacing
adalah :
1. Perbandingan transmisi besar (u =100).
2. Dapat meneruskan daya besar.
3. Bekerja hampir tanpa bunyi.
4. Dapat mengunci sendiri.
Kerugian dari perpindahan transmisi menggunakan roda gigi cacing adalah :
1. Effisiensi rendah karena adanya gesekan antara poros cacing dan roda cacing.
2. Tidak dapat merubah arah putaran karena poros cacing akan mengunci bila
dibalik.

2.8. Rumus-rumus Roda Gigi Cacing


Dalam merancang roda gigi cacing terdapat beberapa perhitungan.
Pengelompokan rumus-rumus perhitungan untuk merancang roda gigi cacing
adalah sebagai berikut.

2.8.1. Rumus-rumus Perhitungan Dimensi Cacing


Rumus untuk menghitung rasio putaran adalah sebagai berikut:
𝑁𝑊
𝑉𝑅 = (2.1)
𝑁𝐺

dimana:
VR = rasio putaran
𝑁𝑊 = kecepatan putaran cacing (rpm)
𝑁𝐺 = kecepatan putaran roda cacing (rpm)
Rumus menghitung sudut kisar adalah sebagai berikut:
𝑐𝑜𝑡 3 𝜆 = 𝑉𝑅 (2.2)

𝑙
tan 𝜆 = 𝜋×𝐷 (2.3)
𝑤

dimana:
𝜆 = sudut kisar
VR = rasio putaran
l = kisar (m)
𝐷𝑤 = diameter jarak bagi cacing (mm)
Rumus untuk menghitung kisar normal adalah sebagai berikut:
𝑥 1 1 𝑉𝑅
= 2𝜋 (sin 𝜆 + cos 𝜆) (2.4)
𝑙𝑁

𝑙
𝑙 = cos𝑁 𝜆 (2.5)

dimana:
𝑙𝑁 = jarak kisar normal (mm)
x = jarak antar pusat poros (mm)
l = kisar (m)
Dalam menentukan jumlah ulir (n) yang digunakan pada cacing tergantung
dengan rasio putaran roda gigi. Tabel tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1. penentuan jumlah ulir pada roda gigi cacing.


Velocity
36 and
ratio 12 to 36 8 to 12 6 to 12 4 to 10
above
(V.R.)
Number of
starts or
threads on Single Double Triple Quadruple Sextuple
the worm
(n = 𝑇𝑤 )

Rumus untuk menghitung jarak bagi aksial adalah sebagai berikut:


𝑙
𝑝𝑎 = 𝑛 (2.6)

dimana:
𝑝𝑎 = jarak bagi aksial (mm)
n = jumlah ulir cacing
Rumus untuk menghitung modul adalah sebagai berikut:
𝑝𝑎
𝑚= (2.7)
𝜋
dimana:
𝑚 = modul (mm)
Rumus untuk menghitung jarak pusat poros adalah sebagai berikut:
𝑁𝑙 1 𝑉𝑅
𝑥 = 2𝜋 (sin 𝜆 + cos 𝜆) (2.8)

dimana:
x = jarak antar pusat poros (mm)

Rumus untuk menghitung diameter jarak bagi cacing adalah sebagai berikut:
𝑙
𝐷𝑤 = 𝜋 tan 𝜆 (2.9)

dimana:
𝐷𝑤 = diameter jarak bagi cacing (mm)
Rumus untuk menghitung panjang ulir cacing adalah sebagai berikut:
𝐿𝑊 = 𝑝𝑎 (4,5 + 0,02𝑛) (2.10)

dimana:
𝐿𝑊 = panjang ulir cacing (mm)
Panjang ulir cacing harus ditambahkan 25 sampai 30 mm.
Nilai dari tinggi gigi (h) untuk jenis ulir tunggal dan ganda adalah 0,686𝑝𝑎
sedangkan untuk jenis ulir tiga dan empat adalah 0,623𝑝𝑎 . Nilai dari tinggi kepala
(a) untuk jenis ulir tunggal dan ganda adalah 0,318𝑝𝑎 sedangkan untuk jenis ulir
tiga dan empat adalah 0,286𝑝𝑎 .
Rumus untuk menghitung diameter luar cacing adalah sebagai berikut:
𝐷𝑂𝑊 = 𝐷𝑊 + 2𝑎 (2.11)

dimana:
𝐷𝑂𝑊 = diameter luar cacing (mm)
𝐷𝑊 = diameter jarak bagi cacing (mm)
𝑎 = tinggi kepala (mm)

2.8.2. Rumus-rumus Perhitungan Roda Cacing


Rumus untuk menghitung jumlah gigi roda cacing adalah sebagai berikut:
𝑇𝐺 = 𝑉𝑅 × 𝑛 (2.12)
dimana:
𝑇𝐺 = jumlah gigi roda cacing
VR = rasio putaran
n = jumlah ulir cacing
Rumus untuk menghitung diameter jarak bagi roda cacing adalah sebagai berikut:
𝐷𝐺 = 𝑚 × 𝑇𝐺 (2.13)

dimana:
𝐷𝐺 = diameter jarak bagi roda cacing (mm)
m = modul
𝑇𝐺 = jumlah gigi roda cacing
Rumus untuk menghitung diameter luar roda cacing untuk ulir tunggal dan
ganda adalah sebagai berikut:
𝐷𝑂𝐺 = 𝐷𝐺 + 1,0135𝑝𝑎 (2.14)

dimana:
𝐷𝑂𝐺 = diameter luar roda cacing (mm)
Rumus untuk menghitung diameter luar roda cacing untuk ulir tiga dan empat
adalah sebagai berikut:
𝐷𝑂𝐺 = 𝐷𝐺 + 0,8903𝑝𝑎 (2.15)

Rumus untuk meghitung diameter tenggorok roda cacing untuk ulir tunggal
dan ganda adalah sebagai berikut:
𝐷𝑇 = 𝐷𝐺 + 0,636𝑝𝑎 (2.16)

Rumus untuk meghitung diameter tenggorok roda cacing untuk ulir tiga dan
empat adalah sebagai berikut:
𝐷𝑇 = 𝐷𝐺 + 0,572𝑝𝑎 (2.17)

dimana:
𝐷𝑇 = diameter tenggorok roda cacing (mm)
Rumus untuk meghitung lebar roda cacing untuk ulir tunggal dan ganda
adalah sebagai berikut:
𝑏 = 2,38𝑝𝑎 + 6,5 𝑚𝑚 (2.18)
Rumus untuk meghitung lebar roda cacing untuk ulir tiga dan empat adalah
sebagai berikut:
𝑏 = 2,15𝑝𝑎 + 5 𝑚𝑚 (2.19)

dimana:
b = lebar roda cacing (mm)

2.8.3. Rumus-rumus Perhitungan Beban Yang Terjadi


Beban yang terjadi pada roda gigi cacing harus dihitung agar roda gigi
cacing dapat menahan beban yang terjadi. Berikut adalah rumus-rumus beban
yang terjadi.
1. Rumus Perhitungan Beban Tangensial
Rumus untuk menghitung torsi yang ditransmisikan roda cacing adalah
sebagai berikut:
𝑃×60×𝐶𝑆
𝑇= (2.20)
2𝜋𝑁𝐺

dimana:
T = torsi (Nm)
P = daya (Watt)
𝐶𝑆 = faktor servis
Faktor servis dapat dilihat pada lampiran 4.
Rumus untuk menghitung beban tangensial yang terjadi adalah sebagai
berikut:
2×𝑇
𝑊𝑇 = (2.21)
𝐷𝐺

dimana:
𝑊𝑇 = beban tangensial (N)
𝐷𝐺 = diameter jarak bagi roda cacing (mm)
Rumus untuk menghitung kecepatan linear jarak bagi dari roda cacing
adalah sebagai berikut:
𝜋×𝐷𝐺 ×𝑁𝐺
𝑣= (2.22)
60

dimana:
v = kecepatan linear jarak bagi dari roda cacing (m/s)
Rumus untuk menghitung faktor kecepatan adalah sebagai berikut:
6
𝐶𝑣 = 6+𝑣 (2.23)

dimana:
𝐶𝑣 = faktor kecepatan
v = kecepatan linear jarak bagi dari roda cacing (m/s)
Rumus untuk menghitung faktor lewis dengan sudut gigi involut 20° adalah
sebagai berikut:
0,912
𝑦 = 0,154 − (2.24)
𝑇𝐺

dimana:
𝑦 = faktor lewis
𝑇𝐺 = jumlah gigi roda cacing
Rumus untuk menghitung beban tangensial yang diijinkan adalah sebagai
berikut:
𝑊𝑇 = 𝜎𝑜 × 𝐶𝑣 × 𝑏 × 𝜋 × 𝑚 × 𝑦 (2.25)

dimana:
𝑊𝑇 = beban tangensial yang diijinkan (N)
𝜎𝑜 = tegangan statis yang diijinkan (MPa)
b = lebar roda cacing (mm)
2. Rumus beban dinamis
Rumus untuk menghitung beban dinamis adalah sebagai berikut:
𝑊𝑇
𝑊𝐷 = (2.26)
𝐶𝑣

dimana:
𝑊𝐷 = beban dinamis (N)
3. Rumus kekuatan beban statis
Rumus untuk mengghitung kekuatan beban statis adalah sebagai berikut:
𝑊𝑆 = 𝜎𝐸 × 𝑏 × 𝜋 × 𝑚 × 𝑦 (2.27)

dimana:
𝑊𝑆 = kekuatan beban statis (N)
𝜎𝐸 = batas tegangan lentur bahan (MPa)
4. Rumus beban kelelahan gigi roda cacing maksimum
Rumus menghitung beban kelelahan gigi roda cacing maksimum adalah
sebagai berikut:
𝑊𝑊 = 𝐷𝐺 × 𝑏 × 𝐾 (2.28)

dimana:
𝑊𝑊 = beban kelelahan gigi roda cacing maksimum (N)
𝐷𝐺 = diameter jarak bagi roda cacing (mm)
b = lebar roda cacing (mm)
K = faktor kombinasi material.
Faktor kombinasi material dapat dilihat pada lampiran 1.
2.8.4. Rumus-rumus Perhitungan Disipasi Panas
Rumus untuk menghitung rubbing velocity adalah sebagai berikut:
𝜋×𝐷𝑊 ×𝑁𝑊
𝑣𝑟 = (2.29)
cos 𝜆

dimana:
𝑣𝑟 = rubbing velocity (m/min)
𝐷𝑊 = diameter jarak bagi cacing (m)
𝑁𝑊 = kecepatan putaran cacing (rpm)
𝜆 = sudut kisar
Koefisien gesekan tergantung kedapa rubbing velocity (𝑣𝑟 ). Untuk nilai 𝑣𝑟
dibawah 10 m/min maka koefisien gesekan diambil 0,015. Untuk nilai 𝑣𝑟 diantara
12 sampai 180 m/min maka menggunakan rumus dibawah ini:
0,275
𝜇 = (𝑣 0,25
(2.30)
𝑟)

dimana:
𝜇 = koefisien gesekan
Untuk nilai 𝑣𝑟 lebih dari 180 m/min maka rumus menghitung koefisien gesekan
adalah sebagai berikut:
𝑟 𝑣
𝜇 = 0,025 + 18.000 (2.31)

Rumus untuk menghitung sudut gesekan adalah sebagai berikut:


𝜙1 = 𝑡𝑎𝑛−1 𝜇 (2.32)
dimana:
𝜙1 = sudut gesekan
Rumus untuk menghitung efisiensi roda gigi cacing adalah sebagai berikut:
tan 𝜆
𝜂 = tan(𝜆+𝜙 (2.33)
1)

dimana:
𝜂 = efisiensi roda gigi cacing (%)
Rumus untuk menghitung panas akibat gesekan adalah sebagai berikut:
𝑄𝑔 = 𝑃𝐶𝑆 (1 − 𝜂) (2.34)

dimana:
𝑄𝑔 = panas akibat gesekan (watt)
P = daya yang ditransmisikan (watt)
𝐶𝑆 = faktor servis
Rumus untuk menghitung luas area proyeksi dari cacing adalah sebagai
berikut:
𝜋
𝐴𝑊 = 4 (𝐷𝑊 )2 (2.35)

dimana:
𝐴𝑊 = luas area proyeksi dari cacing (𝑚𝑚2 )
𝐷𝑊 = diameter jarak bagi cacing (mm)
Rumus untuk menghitung luas area yang diproyeksikan dari roda cacing adalah
sebagai berikut:
𝜋
𝐴𝐺 = 4 (𝐷𝐺 )2 (2.36)

dimana:
𝐴𝐺 = luas area yang diproyeksikan dari roda cacing (𝑚𝑚2 )
𝐷𝐺 = diameter jarak bagi roda cacing (mm)
Rumus menghitung luas proyeksi total adalah sebagai berikut:
𝐴 = 𝐴𝑊 + 𝐴𝐺 (2.37)

dimana:
A = luas proyeksi total (𝑚𝑚2 )
Rumus untuk menghitung kapasitas disipasi panas adalah sebagai berikut:
𝑄𝑑 = 𝐴(𝑡2 − 𝑡1 )𝐾 (2.38)

dimana:
𝑄𝑑 = kapasitas disipasi panas (watt)
(𝑡2 − 𝑡1 )= perbedaan temperatur antara area gesekan dan udara bebas (℃)
K = konduktivitas material (𝑊 ⁄𝑚2 ⁄℃)
Nilai K biasanya diambil 378 𝑊 ⁄𝑚2 ⁄℃. Nilai dari perbedaan temperatur antara
area gesekan dan udara bebas (𝑡2 − 𝑡1 ) harus berada antara 27℃ sampai 38℃.

2.8.5. Rumus-rumus Perhitungan Poros Cacing dan Poros Roda Cacing


Rumus untuk menghitung torsi pada roda cacing adalah sebagai berikut:
𝑃×60×𝐶𝑆
𝑇𝑔𝑒𝑎𝑟 = (2.39)
2×𝜋×𝑁𝐺

dimana:
𝑇𝑔𝑒𝑎𝑟 = torsi pada roda cacing (Nm)
P = daya yang ditransmisikan (Watt)
𝑁𝐺 = putaran roda cacing (rpm)
𝐶𝑆 = faktor servis
Rumus untuk menghitung torsi pada cacing adalah sebagai berikut:
𝑇𝑔𝑒𝑎𝑟
𝑇𝑤𝑜𝑟𝑚 = 𝑉𝑅×𝜂 (2.40)

dimana:
𝑇𝑤𝑜𝑟𝑚 = torsi pada cacing (Nm)
𝑉𝑅 = rasio puratan
𝜂 = efisiensi
Rumus untuk menghitung gaya tangensial yang terjadi pada cacing adalah
sebagai berikut:
2×𝑇𝑤𝑜𝑟𝑚
𝑊𝑇 = (2.41)
𝐷𝑊

dimana:
𝑊𝑇 = gaya tangensial (N)
𝐷𝑊 = diameter jarak bagi cacing (mm)
𝑇𝑤𝑜𝑟𝑚 = torsi pada roda cacing (Nmm)
Rumus untuk menghitung gaya aksial yang terjadi pada cacing adalah
sebagai berikut:
2×𝑇𝑔𝑒𝑎𝑟
𝑊𝐴 = (2.42)
𝐷𝐺

dimana:
𝑊𝐴 = gaya aksial (N)
𝐷𝑊 = diameter jarak bagi roda cacing (mm)
𝑇𝑔𝑒𝑎𝑟 = torsi pada roda cacing (Nmm)
Rumus untuk menghitung gaya radial yang terjadi pada cacing adalah
sebagai berikut:
𝑊𝑅 = 𝑊𝐴 × tan 𝜙 (2.43)

dimana:
𝑊𝑅 = gaya radial (N)
𝜙 = sudut involut
Nilai 𝜙 biasanya sebesar 20°
Rumus menghitung bending momen pada bidang vertikal cacing adalah
sebgai berikut:
𝑊𝑅 ×𝑥1 𝑊𝐴 ×𝐷𝑊
𝑀1 = + (2.44)
4 4

dimana:
𝑀1 = momen pada bidang vertikal cacing (Nmm)
𝑥1 = jarak antara bearing poros cacing (mm)
Rumus menghitung bending momen pada bidang vertikal roda cacing
adalah sebgai berikut:
𝑊𝑅 ×𝑥2 𝑊𝑇 ×𝐷𝐺
𝑀3 = + (2.45)
4 4

dimana:
𝑀3 = momen pada bidang vertikal roda cacing (Nmm)
𝑥2 = jarak antara bearing poros roda cacing (mm)
Rumus menghitung bending momen pada bidang horizontal cacing adalah
sebgai berikut:
𝑊𝑇 ×𝐷𝐺
𝑀2 = 4
(2.46)
dimana:
𝑀2 = momen pada bidang horizontal cacing (Nmm)
𝐷𝐺 = diameter jarak bagi roda cacing (mm)
Rumus menghitung bending momen pada bidang horizontal cacing adalah
sebgai berikut:
𝑊𝐴 ×𝑥2
𝑀4 = (2.47)
4

dimana:
𝑀4 = momen pada bidang horizontal roda cacing (Nmm)
Rumus untuk menghitung resultan momen yang terjadi pada cacing adalah
sebagai berikut:
𝑀𝑤𝑜𝑟𝑚 = √(𝑀1 )2 + (𝑀2 )2 (2.48)

dimana:
𝑀𝑤𝑜𝑟𝑚 = resultan momen yang terjadi pada cacing (Nmm)
Rumus untuk menghitung resultan momen yang terjadi pada roda cacing
adalah sebagai berikut:
𝑀𝑔𝑒𝑎𝑟 = √(𝑀3 )2 + (𝑀4 )2 (2.49)

dimana:
𝑀𝑔𝑒𝑎𝑟 = resultan momen yang terjadi pada roda cacing (Nmm)
Rumus untuk menghitung equivalent twisting moment poros cacing adalah
sebagai berikut:
𝑇𝑒𝑤 = √(𝑇𝑤𝑜𝑟𝑚 )2 + (𝑀𝑤𝑜𝑟𝑚 )2 (2.50)

dimana:
𝑇𝑒𝑤 = equivalent twisting moment cacing (Nmm)
Rumus untuk menghitung equivalent twisting moment poros roda cacing
adalah sebagai berikut:
𝑇𝑒𝑔 = √(𝑇𝑔𝑒𝑎𝑟 )2 + (𝑀𝑔𝑒𝑎𝑟 )2 (2.51)

dimana:
𝑇𝑒𝑔 = equivalent twisting moment roda cacing (Nmm)
Rumus untuk menghitung diameter minimal poros cacing adalah sebagai
berikut:
𝜋
𝑇𝑒𝑤 = 16 × 𝜏𝑎𝑙𝑙 × (𝑑𝑤 )3 (2.52)

dimana:
𝑑𝑤 = diameter poros cacing (mm)
𝜏𝑎𝑙𝑙 = tegangan geser ijin (MPa)
Rumus untuk menghitung diameter minimal poros roda cacing adalah
sebagai berikut:
𝜋
𝑇𝑒𝑔 = 16 × 𝜏𝑎𝑙𝑙 × (𝑑𝐺 )3 (2.53)

dimana:
𝑑𝐺 = diameter poros cacing (mm)
2.9. Pasak
Pasak adalah suatu elemen mesin yang dipakai untuk menetapkan bagian-
bagian mesin seperti roda gigi, sprocket, puli, dll. pada poros. Momen diteruskan
dari naf ke poros atau dari poros ke naf. Pasak menahan beban gesek dan beban
sesak.
Menurut letaknya pada poros dapat dibedakan antara pasak pelana, pasak rata,
pasak benam, dan pasak singgung, yang umumnya berpenampang segi empat.
Dalam arah memanjang dapat berbentuk prismatis atau berbentuk tirus. Pasak
benam prismatis ada yang khusus dipakai sebagai pasak luncur. Panjang pasak
disarankan antara antara 0,75-1,5 diameter poros.

Gambar 2.11. Gaya Geser pada Pasak.


Pasak yang dipasang pada poros mengalami gaya tangensial (F) yang berasal
dari torsi yang terjadi. Rumus untuk mengitung gaya tangensial adalah sebagai
berikut:
𝑇
𝐹 = 𝑑⁄ (2.55)
2

dimana:
F : Gaya tangensial (N)
d : Diameter poros (mm)
Gaya tangensial tersebut akan menimbulkan tegangan geser pada pasak. Tegangan
geser pada pasak bekerja pada area lebar pasak (b) dikalikan dengan panjang pasak
(l). Rumus tegangan geser pada pasak adalah sebagai berikut:
𝐹
𝜏𝑎𝑙𝑙 = 𝑏×𝑙 (2.56)

dimana:
𝜏𝑎𝑙𝑙 : Tegangan geser ijin (MPa)
F : Gaya tangensial (N)
b : Lebar pasak (mm)
l : Panjang pasak (mm)
Gaya tangensial juga menimbulkan tegangan tekan pada pasak. Tegangan
tekan pada pasak bekerja pada area kedalaman pasak pada poros (𝑡1 ) dikali dengan
panjang pasak. Rumus tegangan tekan pada pasak adalah sebagai berikut:
𝐹
𝜎𝑎𝑙𝑙 = 𝑡 (2.57)
1 ×𝑙

dimana:
𝜎𝑎𝑙𝑙 : Tegangan tekan ijin (MPa)
𝑡1 : Kedalaman pasak pada poros (mm)
F : Gaya tangensial (N)
l : Panjang pasak (mm)
Ukuran pasak telah memiliki standar yang berlaku. Standar ukuran pasak yang
dapat dilihat pada lampiran.
2.10. Bearing
Bearing adalah elemen mesin yang berfungsi menumpu poros berbeban,
sehingga putarannya dapat berjalan secara halus sehingga tidak melukai porosnya.
Bearing harus cukup kuat untuk memungkinkan poros serta elemen mesin lainnya
bekerja dengan baik.

Gambar 2.12. Thrust Ball Bearing.

Bearing mengalami dua pembebanan berdasarkan arahnya. Pembebanan


tersebut adalah pembebanan radial dan aksial. Pembebanan radial adalah
pembebanan yang tegak lurus dengan bearing sedangkan pembebanan aksial adalah
pembebanan yang searah dengan sumbu poros. Bearing mengalami dua
pembebanan juga berdasarkan waktu pembebanan. Pembebanan tersebut adalah
pembebanan statis dan dinamis. Pembebanan statis adalah pembebanan saat
bearing tidak berputar sedangkan pembebanan dinamis adalah pembebanan saat
bearing berputar.
Bearing dapat menahan defleksi sudut poros tidak lebih dari 0,04°. Namun
jika menggunakan self-alligning rolling element bearing memiliki standar sendiri
dalam sudut defleksi poros.
Berikut merupakan gambar jenis-jenis ball bearing tipe radial:

Gambar 2.13. Types of radial ball bearings.


2.2.5.1. Rumus Perhitungan Beban Statis Bearing
Rumus perhitungan beban statis pada bearing adalah sebagai berikut:
W0R = X0 .WR +Y0 .WA (2.58)

dimana:
W0R = Beban statis bearing
WR = Beban radial
WA = Beban aksial
X0 = Faktor beban radial
Y0 = Faktor beban aksial

2.2.5.2. Rumus Perhitungan Beban Dinamis Bearing


Rumus beban dinamis pada bearing adalah sebagai berikut:
W=X.V.WR +Y.WA (2.59)

dimana:
W = Beban dinamis
X = Faktor beban radial
Y = Faktor beban aksial
V = Faktor rotasi, untuk cincin putar dalam =1
Untuk cincin putar luar = 1,2
2.2.5.3. Rumus Perhitungan Umur Bearing
Rumus perhitungan umur bearing adalah sebagai berikut:
C k
L = (W) ×106 (2.60)

L
LH = (2.61)
60N

dimana:
L = Umur bearing dalam putaran
C = Kekuatan beban dinamis
W = Beban radial
k = 3, untuk ball bearing
= 10/3, untuk roller bearing
LH = Umur bearing dalam jam
N = Kecepatan putaran

Anda mungkin juga menyukai