Anda di halaman 1dari 16

REALITAS MUTU PENDIDIKAN NEGERI DAN SWASTA

1. Latar Belakang Masalah

Pendidikan negeri dan swasta adalah mitra bersama dalam mewujudkan cita-cita nasional

bangsa, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam kenyataan akhir-akhir ini, terjadi polemik

diantara keduanya, bahkan pemerintah dalam kebijakan-kebijakan pendidikan terkesan lebih

berpihak kepada penyelenggaraan pendidikan negeri daripada swasta. Hal ini (ketidak adilan

dalam penerapan kebijakan bidang pendidikan), sangat dirasakan terutama oleh lembaga

pendidikan swasta (private education), misalnya soal distribusi bantuan anggaran biaya

operasional pendidikan, distribusi bantuan tenaga kependidikan (guru) ke sekolah-sekolah,

distribusi bantuan yang berupa pengadaan sarana-prasarana dan fasilitas pendidikan, distribusi

pemberian beasiswa, ketimpangan pendistribusian bagi para guru-guru swasta dalam peluang

dan kesempatan mengakses informasi tentang pendidikan untuk membina dan meningkatkan

karir profesi keguruan. Lembaga-lembaga pendidikan swasta selama ini juga sering menjadi

obyek pungli bagi oknum pejabat dan pengawas pendidikan dan sebagainya.[1]

Di sisi lain, di sekolah-sekolah negeri, pemerintah hampir memberikan seluruh biaya

operasional pendidikan, berbagai jenis bantuan sarana dan fasilitas, tenaga guru, dan bahkan

akses informasi lebih besar dibandingkan dengan sekolah-sekolah swasta. Meski demikian,

masih banyak sekolah negeri yang memungut "uang iuran pendidikan" (atau dengan istilah yang

lain SPP) yang cukup besar, dan bahkan lebih besar dari lembaga pendidikan swasta. Hal ini

semakin menambah beban orang tua, sehingga banyak yang mengeluhkan semakin tingginya

biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh pendidikan pada lembaga pendidikan negeri.
Melihat keprihatinan terhadap realitas persoalan pendidikan yang ada, terutama yang

berkaitan dengan penyelenggaraaan pendidikan swasta, sangatlah penting untuk melihat potret

pendidikan swasta terhadap pendidikan negri saat ini dan posisi keduanya dalam ranah Sistem

Pendidikan Nasional (SisDikNas).[2] Pada kesempatan ini, penulis mencoba memaparkan tentang

posisi pendidikan swasta terhadap pendidikan negeri dalam aturan main SisDikNas berdasarkan

kebijakan undang-undang pendidikan nasional dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah.

2. Pendidikan Swasta antara Harapan dan Realitas

Pendidikan swasta adalah pendidikan sekolah yang diselenggarakan oleh organisasi swasta

atau non-pemerintah. Dasar kehadirannya adalah untuk membantu meringankan beban pemerintah

dalam usahanya mewujudkan kebutuhan hidup masyarakat khususnya dalam bidang pendidikan.

Dengan demikian, pendidikan swasta ikut berperan aktif sebagai mitra pemerintah dalam

mencerdaskan masyarakat dan menyadarkannya akan kebutuhan pengetahuan, sehingga mereka

mampu menciptakan kreativitas, baik dalam bidang ekonomi, politik maupun kebudayan. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan swasta dalam SisDikNas adalah penyelenggaraan

pendidikan diluar pemerintah yang diatur oleh pemerintah melalui seperangkat aturan, yaitu

SisDikNas.

Sejak awal kemerdekaan, secara umum kondisi dan posisi pendidikan swasta dalam

pendidikan nasional tidak jauh berbeda dengan pendidikan yang diselenggarakan oleh

pemerintah atau pendidikan negri.[3] Perhatian pemerintah terhadap pendidikan pada awalnya

cukup besar, terbukti dengan adanya instruksi untuk mendirikan pendidikan swasta sebanyak-

banyaknya dan pemerintah bertanggung jawab dalam hal subsidi dan bantuan lainnya.

Pendidikan swasta diperlakukan secara wajar, bahkan dalam hal-hal tertentu disebutkan tanpa
ada diskriminasi, itu dibuktikan dengan adanya persamaan dalam hal ijazah, di mana ijazah

negeri dan swasta tidak dibedakan, juga murid-murid sekolah swasta diperbolehkan untuk

berpindah atau melanjutkan pelajarannya di sekolah negeri. Banyak masyarakat yang berlomba-

lomba menciptakan lembaga pendidikan untuk bersaing dalam proses pembangunan Indonesia.

Tetapi kemunculan pendidikan swasta ini tidak sepenuhnya hanya demi mendapat subsidi dari

pemerintah, karena banyak lembaga-lembaga pendidikan swasta yang tidak bergantung, bahkan

tidak mau menerima bantuan pemerintah tersebut, mungkin alasannya porsi yang diberikan

terkadang tidak sesuai dengan besarnya kebutuhan pendidikan swasta dalam penyelenggaraan

pendidikan, lalu timbul keengganan dari pihak swasta untuk memanfaatkan subsidi tersebut.

Ketidakadilan Pemerintah terhadap Pendidikan Swasta

Pada perjalanan tahun-tahun berikutnya, kondisi dan posisi pendidikan swasta mengalami

perubahan yang memprihatinkan. Lahirnya Undang Undang No. 2 Tahun 1989 tentang

SisDikNas dengan idealisasi “setiap warga negara memperoleh kesempatan yang sama untuk

belajar dan menyelenggarakan usaha-usaha pendidikan”[4] ternyata secara real tidak terbukti.

Adanya diskriminasi antara lembaga pendidikan swasta dan lembaga pendidikan negeri adalah

salah satu bukti ketidakharmonisan antara idealitas undang-undang dengan realitas yang ada itu.

Terjadi ketidakadilan, bahkan tidak demokratis antara keduanya. Sebagai contoh, masih ada

pengelompokan sekolah-sekolah swasta berdasarkan kualitasnya, yang diperbandingkan dengan

sekolah negeri, di mana sekolah swasta dikelompokkan “status”nya menjadi “Terdaftar, Diakui

dan Disamakan” dengan sekolah negeri. Begitu pula masalah pembiayaan dan masalah tata cara

penerimaan siswa selaku peserta didik, praktek diskriminasi begitu mencolok. Dalam praktek

penerimaan peserta didik, misalnya, hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang bisa
merasakan pendidikan di lembaga pendidikan negeri (terutama melalui SNMPTN, yang dulu

disebut UMPTN).

Fakta di lapangan yang muncul akhir-akhir ini, pemerintah menarik guru-guru berstatus

pegawai negeri yang selama ini diperbantukan di lembaga-lembaga pendidikan swasta, sehingga

kondisi ini membuat lembaga pendidikan swasta terdesak, apalagi lembaga swasta yang

mengalami defisit dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan. Adanya guru pegawai negeri

yang diperbantukan di swasta, tentu akan sangat membantu swasta dalam proses

penyelenggaraan pendidikan, terutama dalam hal memberi gaji kepada guru yang diperbantukan,

karena itu sudah ditanggung oleh negara. Tindakan pemerintah menarik guru-guru yang

diperbantukan di swasta ini, merupakan sebuah bentuk ketidakadilan pemerintah terhadap

lembaga pendidikan swasta. Tindakan pemerintah yang demikian tentu sangat menekan

pendidikan swasta.

Distribusi bantuan tenaga kependidikan (guru), juga menunjukkan ketidak adilan yang

sangat nyata, baik secara kualitatif maupun kuantitatif diberikan kepada sekolah negeri.

Sehingga terkesan pemerintah lebih ingin menunjukkan diri sebagai pemain pendidikan yang

siap berkompetisi secara tidak adil dengan masyarakat (swasta), dari pada sebagai regulator yang

mengatur dan menciptakan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya kompetisi yang sehat

antar masyarakat (lembaga pendidikan) itu sendiri.

Terhadap distribusi bantuan sarana prasarana dan fasilitas seperti pengadaan buku dan

alat pelajaran, terjadi ketimpangan yang luar biasa misalnya di beberapa sekolah negeri terdapat

buku-buku dan alat pelajaran yang kurang efektif karena jumlahnya banyak. Sementara di

sekolah-sekolah swasta tidak ada, kecuali sekolah itu mampu membeli sendiri.
Dalam pendistribusian beasiswa, juga terdapat kebijakan yang kurang memenuhi rasa

keadilan misalnya dari segi jumlah penerima beasiswa di sekolah swasta selalu lebih sedikit dari

sekolah negeri, padahal kenyataan menunjukkan bahwa, orang tua yang relatif mampu secara

ekonomi kecenderungannya memasukkan anaknya ke sekolah negeri. Dan bagi yang tidak

mampu lebih memilih ke sekolah swasta. Alasan utamanya sebagian besar bukan karena

kemampuan dan prestasi intelektual anaknya yang rendah, tetapi lebih dominan karena biaya

pendidikan di sekolah negeri terlalu tinggi.

Distribusi peluang untuk mengakses informasi dan kebijakan pendidikan juga terdapat

ketidakadilan, misalnya untuk sosialisasi kebijakan dan sistem pendidikan, selalu saja yang

menjadi sasaran utama adalah guru-guru pegawai negri dan sekolah negeri, sedangkan sekolah

swasta terasa sangat kurang mendapat perhatian, sehingga pemahaman tentang kurikulum atau

sistem pendidikan dan berbagai kebijakan di bidang pendidikan kurang komprehensip untuk

dapat diimplementasikan dengan baik oleh mereka (tenaga kependidikan) yang berada di

sekolah-sekolah swasta.

Demikianlah pemerintah tidak berupaya menciptakan kondisi yang kondusif bagi

lembaga pendidikan swasta untuk dapat berkompetisi dengan sekolah negeri secara adil. Padahal

kalau kita pahami subyek sekaligus obyek pendidikan (siswa) itu, baik di sekolah swasta maupun

negeri semuanya adalah anak-anak bangsa, warga negara yang memiliki hak yang sama untuk

mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945

termasuk hasil amandemen.

Kenyataan ketidakadilan pemerintah dalam menerapkan kebijakan di bidang pendidikan

telah menunjukkan bahwa pemerintah kurang apresiatif terhadap inisiatif masyarakat untuk

membangun dan mengelola sebuah lembaga pendidikan dalam rangka membantu pemerataan
pendidikan bagi seluruh warga negara. Hal ini juga memberikan kesan bahwa hanya pemerintah

yang mampu berhasil dalam mengelola pendidikan dengan kualitas yang baik. Jika hal ini

(ketidak adilan dalam kebijakan pendidikan) dibiarkan terus, maka akan timbul bahkan sudah

terjadi sikap apatis yang akan mematikan semangat dari lembaga pendidikan swasta untuk mau

dan mampu berkompetisi dengan sekolah negeri secara berkeadilan.

Implikasi yang nyata dari ketidakadilan ini adalah terjadinya disparitas mutu hasil

pendidikan yang sangat tajam. Bagaimana mungkin untuk kurikulum (materi), tujuan , target

penguasaan materi dan dengan alat ukur yang sama kita dapat memperoleh hasil yang sama

apabila sarana-prasarana, fasilitas, finansial, dan tenaga kependidikan yang jauh berbeda secara

kualitas maupun kuantitasnya. Mutu hasil pendidikan sangat ditentukan oleh tingkat kualitas

proses. Sementara kualitas proses sangat dipengaruhi oleh keberadaan fasilitas, sarana, tenaga

guru (SDM), serta finansial.[5] Maka sebenarnya Ujian Nasional itu tidak kontekstual, karena

tolak ukur kemampuan anak didik tidak bisa dievaluasi hanya melalui ujian nasional. Begitulah

nasib pendidikan kita merupakan suatu polemik yang terus bergulir, tanpa ada sebuah kepastian,

mau dibawa kemana manajemen pendidikan bangsa ini.

Senada dengan hal itu, lahirnya UU No. 23 Tahun 2003 tentang Sisdiknas tidak jauh

berbeda dengan kondisi masa undang-undang sebelumnya. Pendidikan swasta secara eksplisit

tidak tercantum dalam undang-undang yang baru ini, sehingga keberadaanya dianggap misterius

atau tidak jelas. Hal ini membawa dampak pada legalitas dan keabsahan izasah pendidikan

swasta akan mengalami masalah administratif, ketika lulusannya masuk dalam dunia kerja.

Syarat dan standar administratif mungkin dinilai “cacat’ sehingga dianggap tidak sah dan tidak

bisa diberlakukan, maka yang menjadi korban adalah out put dari pendidikan swasta, apalagi

kalau pendidikan swasta tersebut daya kemampuannya terbatas dan tidak bisa bersaing dengan
pendidikan swasta lain, yang kemampuan operasionalisasinya kuat dan sangat baik, maupun

terhadap pendidikan negeri. Apalagi sekarang, untuk menjamin mutu pendidikan, pemerintah

menuntut lembaga-lembaga pendidikan harus terakreditasi dari BAN Badan Akreditasi

Nasional). Bagi lembaga pendidikan yang mengalami keterbatasan kemampuan dan anggarannya

defisit (apalagi tidak ada perhatian dan subsidi dari pemerintah), tentu mengalami tekanan berat.

UUD SisDikNas yang sejatinya menjadi payung hukum untuk pemerataan pendidikan

ternyata melegitimasi proses ketimpangan itu. Ini jelas bertabrakan dengan UUD SisDikNas.

Inilah yang menjadi cikal-bakal tetap langgengnya proses pendiskriminasian sekolah swasta. Tak

heran apabila ada gugatan Judicial Review Pasal 55 ayat 4 UU SisDikNas ke Mahkamah

Konstitusi.[6] Dalam pasal tersebut, yang dipersoalkan adalah kata yang berbunyi “dapat”. Apa

artinya? Kata “dapat” dalam pasal tersebut memberi ruang bagi pemerintah untuk sama sekali

tidak acuh terhadap sekolah swasta. “Dapat” berarti tidak ada kewajiban bagi pemerintah untuk

membantu penyelenggaran pendidikan berbasis masyarakat (baca : swasta). Pemerintah bukan

penanggung jawab utama penyelenggaraan pendidikan swasta di negeri ini, tetapi sebagai

penopang, sementara terhadap pendidikan negeri, pemerintah bertanggung-jawab penuh. Padahal

sudah ditegaskan bahwa, baik pendidikan negeri dan swasta sama-sama berperan dalam

mencerdaskan bangsa. Penggugatan terhadap pasal tersebut tidak hanya berangkat dari

kerancuan redaksional, tapi juga berangkat dari realitas sekolah swasta yang selama ini

dianaktirikan dibanding dengan sekolah negeri.[7] Kebijakan yang diskrimantif jelas-jelas

membawa konsekuensi terhadap eksistensi sekolah swasta yang kian tidak menjanjikan bagi

masa depan. Banyak masyarakat berbondong-bondong memasukkan anaknya ke sekolah negeri

dibandingkan dengan sekolah swasta. Perbandingan yang paling mereka utamakan adalah

masalah keuangan, sekolah negeri lebih murah dan bahkan bisa gratis dibanding dengan sekolah
swasta. Ini menjadi wajar mengingat situasi dan kondisi masarakat kita berada dalam taraf

kemiskinan. Tetapi yang kurang wajar adalah masa depan sekolah swasta yang secara pelan-

pelan mulai ditinggalkan masyarakat karena alasan pendanaan dan tidak diperhatikan secara

serius oleh pemerintah, yang bisa berakhir dengan gulung tikar. Realitas ini benar-benar mimpi

buruk bagi masa depan sekolah swasta

Hasil -penelitian ADB (Asian Development Bank) dan UHK (The Univesity of

Hongkong) tentang sistem pendidikan nasional kita, memperparah kondisi dan posisi riil

pendidikan swasta. Penelitian ini membuktikan adanya diskriminasi bantuan dana antara

lembaga pendidikan swasta dan lembaga perididikan negeri, terutama yang berupa dana

penyelenggaraan (recurrent budgets) dan dana pengembangan (development budgets)[8] .

Kondisi pendidikan swasta dalam SisDikNas, terpuruk dalam dua poros; pertama,

eksistensinya yang secara yuridis-formal “tak jelas”, kedua, pendidikan swasta

dinomorduakan dalam memperoleh subsidi maupun bantuan teknis dari pemeri ntah, kendati

tercantum jelas bahwa pendidikan berbasis masyarakat (baca: swasta) dapat memperoleh

bantuan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara adil dan merata.

Memang secara kualitatif belum ada penelitian yang khusus mengungkap tentang

sejauh mana kontribusi lembaga swasta terhadap pendidikan di Indonesia, namun secara

umum dapat digeneralisasikan bahwa sumbangan sekolah swasta terhadap pendidikan adalah

besar sekali walaupun kontribusi ini belum optimal karena sangat bervariasinya kualitas

sekolah swasta. Harus dikatakan bahwa kontribusi lembaga pendidikan swasta untuk

membangun dan memberdayakan sumber daya manusia sudah amat jelas, hingga harus

diakui oleh pemerintah.


Akar dari kebijakan yang diskriminatif terhadap sekolah swasta adalah hilangnya pondasi

kebijakan pendidikan yang tepat bagi masa depan pendidikan kita. Pemerintah telah kehilangan

pijakan untuk menggulirkan kebijakan yang tepat dan benar. Tiap kali ganti kementerian pasti

ada pola perubahan kebijakan yang baru dan itu nyaris tidak berkesinambungan dengan pola

kebijaksanaan sebelumnya.[9] Ini juga terjadi dalam pola penanganan sekolah negeri dan swasta

yang penanganannya tidak pernah jelas. Pemerintah tidak mempunyai kebijakan yang solutif

untuk menyelesaikan persoalan komunikasi dan relasi penyelenggaraan pendidikan negeri dan

swasta dalam visi misi mewujudkan cita-cita bangsa. Bangsa kita memiliki historisitas panjang

yang saling kait mengait dengan sekolah swasta. Sekolah swasta pada dasarnya menjadi cikal-

bakal dalam penyelenggaraan pendidikan di negri ini. Selain itu juga, bangsa kita tak mungkin

sepenuhnya memasrahkan proses pendidikan pada pundak pemerintah, mengingat krisis

kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah cukup tinggi. Hal ihwal yang berkaitan dengan

politisasi pendidikan, layaknya pada masa orde baru, bisa saja terulang[10].

Masyarakat kita masih banyak yang miskin. Kalau pemerintah lepas tangan,

kemungkinan besar proses pendidikan akan mengalami ketimpangan, yang kaya dapat

bersekolah dengan fasilitas cukup karena mampu membayar mahal dan yang miskin terus berada

di jalur sekolah yang pas-pasan. Disinilah ketimpangan kehidupan pendidikan dimulai dari poses

pendidikan. Saatnya bangsa ini mencari bentuk kebijakan yang solutif untuk masa depan sekolah

negeri dan swasta tanpa harus ada yang tersingkirkan. Pendidikan negeri dan swasta sama-sama

bertujuan untuk mencerdaskan bangsa yang mengarah pada peningkatan kualitas kehidupan

dalam dimensi keutuhan manusiawinya.

3. Wajah Pendidikan Bangsa


Revolusi pendidikan manusia mulai dengan revolusi imaginatif, yang mengedepankan

eksplorasi keindahan imaginasi. Manusia digerakkan oleh imaginasi, mimpi. Dalam konsep

negara maju, apa yang terjadi di negara-negara yang disebut Skandinavian, diantaranya

Denmark, Swedia, Finlandia, dan Norwegia, ternyata dunia saat ini banyak menoleh ke

fenomena negara-negara tersebut. Denmark misalnya, beberapa waktu lalu menduduki tempat

teratas untuk kategori “zero corruption” (nol korupsi). Dalam dunia pendidikan dan inovasi riset,

negara-negara ini menjadi rujukan penting dalam memadukan soft skill dan hard skill, yang

seakan-akan memadu secara sinergis[11].

Pergeseran persfektif pendidikan dari siap pakai ke pendidikan imaginatif ini membawa

revolusi kehidupan yang efektif. Sebaliknya, pendidikan yang siap pakai hanya akan membawa

orang pada disposisi siap dipakai, tetapi persoalah runyam yang muncul : siapa yang memakai?

Mungkin kita kerap bangga dengan lomba-lomba kreasi robot, penemuan baru science teknologi,

dan sejenisnya. Tetapi adakah lomba-lomba dan kreasi yang berkaitan dengan imaginasi

penyelamatan lingkungan hidup dari kekeringan, banjir, tanah longsor, pemeliharan bantaran

sungai, sastra humanis, penelitian sejarah dan kebudayaan? Jika hal ini masih jauh dari

perspektif pendidikan kita, baik dalam kategori negeri dan swasta, maka bangsa ini tidak akan

banyak berubah kedepannya.

Bagaimanakah pendidikan manusia yang berhasil? Dalam konsep communio humanis,

pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang menghasilkan manusia-manusia yang tidak

memikirkan dirinya sendiri, karena pada prinsipnya manusia sebagai bagian societas. Manusia

berinteraksi dengan sesamanya dalam usaha memelihara dan mempertahankan hidup. Kita tahu,

biaya pendidikan mahal. Misalnya, untuk biaya pendidikan calon dokter bisa mencapai ratusan

juta rupiah, maka ketika seseorang sudah menjadi dokter, adakah ia bersikap bijaksana dalam
menerapkan tarif biaya pasien yang berobat kepadanya. Adakah unsur pelayanan dan panggilan

kemanusiaan sebagai dokter terhadap pasien itu melekat dalam dirinya, ataukah ia menjadikan

profesi itu semata-mata berdasarkan komersialisasi belaka? Seorang Gayus Tambunan yang

lulusan S-1 perpajakan, ternyata pendidikan yang pernah dienyamnya, menghasilkan tindakan

korupsi yang semata-mata untuk kepentingan diri sendiri atau kelompoknya dan merugikan

banyak orang. Pendidikan dikatakan berhasil, ketika orang itu di lapangan mampu menerapkan

ilmu yang dulu dipelajarinya, menghasilkan karya yang berdayaguna dan efektif lalu tidak

memikirkan dirinya sendiri, melainkan memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap keadaan di

sekitarnya. Prinsip pendidikan yang berhasil adalah menjadikan diri pribadi dan orang lain

berkembang dalam keutamaan hidup.

Konsep pendidikan yang diterapkan pemerintah di negara ini, baik dalam pendidikan

negeri dan swasta, belum menghantar pribadi selaku anak didik menjadi insan-insan yang sadar

bahwa pendidikan adalah usaha memanusiakan manusia seutuhnya. Pendidikan membentuk

pribadi yang berjiwa dan berkarakter dinamis dalam menghadapi setiap persoalan-persoalan,

tangguh dalam menegakkan keadilan dan kebenaran ketika menghadapi ketidakseimbangan

dinamika hidup di masyarakat. Banyak persoalan terjadi dalam kehidupan kita, untuk itulah

pendidikan seharusnya memperdalam wawasan dan cara pandang – pemahaman seseorang dalam

menanggapi setiap problematika situasi.

4. Idealitas Pemerataan dan Kualitas Pendidikan

Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan dirasakan cukup tinggi. Hal ini

terbukti dengan kepedulian banyak pihak untuk memperoleh pelayanan edukatif mulai dari

sekolah dasar sampai perguruan tinggi secara memadai. Idealitas yang dituntut adalah
pendidikan yang murah, merata, sekaligus berkualitas atau bermutu tinggi. Akibatnya kalau ada

institusi dan aktivitas pendidikan yang proses dan produk pendidikannya bagus tetapi biayanya

mahal, dicap sebagai tidak berperikemanusiaan dan anti pemerataan, sebab hanya dimasuki oleh

mereka yang kaya, sementara orang-orang yang miskin menjadi ternista karenanya.

Aspirasi masyarakat untuk memperoleh identitas pelayanan pendidikan seperti itu pada

hakekatnya sudah diantisipasi perwujudannya dalam pasal 31 ayai 1 UUD –RI 1945 yang

menyatakan : “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan, tiap-tiap, artinya semua

orang tanpa kecuali, termasuk orang-orang yang hidup di wilayah terpencil, ataupun secara

ekonomi miskin serta penyandang cacat sekalipun. Berhak artinya memiliki dan mendapatkan

hak dengan mudah, bahkan bisa dimaknai gratis, sebab kalau disertai membayar, maka disitu ada

unsur kewajiban. Konsekuensi logisnya, jika setiap warga negara berhak mendapat pendidikan,

maka harus ada pihak yang berkewajiban memenuhi hak tersebut. Itulah pemerintah atau

penyelenggara negara. Maka upaya yang ditempuh pemerintah adalah memprioritaskan anggaran

pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD guna memenuhi

penyelenggaraan pendidikan nasional sesuai dengan cita-cita negara ini untuk mencerdaskan

kehidupan bangsanya.[12]

Sulitnya mewujudkan pemerataan dan kualitas pendidikan secara tuntas di tengah realitas

dunia pendidikan disebabkan oleh heterogenitas ekonomi, sosial budaya, kondisi geografis

negara, sehingga akses-akses pendidikan menjadi terhambat.[13] Terjadinya praktek-praktek

mafia dalam dunia pendidikan, penyalahgunaan biaya operasionalisasi pendidikan, korupsi –

kolusi pihak-pihak yang berwenang dan berkepentingan, budaya instan pendidikan dengan

memperjualbelikan izasah, merupakan fenomena yang menjadi akar kemerosotan kualitas

pendidikan. Pendidikan menjadi barometer kehidupan. Negara yang menekankan pentingnya


pendidikan bagi bangsanya, akan menjadi negara yang merdeka dari belenggu kebodohan,

ketidaktahuan, kepicikan dalam berpikir – bernalar, dan terbebas dari belenggu sistem-sistem

yang menjajah mereka secara tersamar.

5. Rekomendasi : Tindakan Pemerintah dan Solusi Permasalahan

Menyimak realitas ini, banyak elemen dalam berbagai lembaga pendidikan swasta

mengeluh dan berusaha terus mendesak pemerintah untuk mengubah kebijakan diskriminatif

dalam bidang pendidikan yang lebih mementingkan keberadaan sekolah-sekolah negeri dan

cenderung mengabaikan keberadaan sekolah swasta, apalagi lembaga pendidikan swasta

yang kapasitas kemampuannya “megap-megap. Ketika pemerintah terbatas pendanaannya

dalam bidang pendidikan, sekolah-sekolah swasta berperan untuk ikut ambil bagian dalam

penyelenggaraan pendidikan nasional. Anehnya, saat merasa memiliki dana pendidikan yang

semakin besar, pemerintah dengan gencar mempromosikan sekolah gratis, keberadaan sekolah-

sekolah swasta justru dipinggirkan. Pendidikan swasta tumbuh dan berkembang karena

kebutuhan masyarakat terhadap pentingnya pendidikan dan usaha untuk mencerdaskan bangsa.

Bangsa yang maju adalah bangsa yang berpendidikan. Pendidikan mempengaruhi disposisi

batiniah dan lahiriah seseorang dalam menjalankan hidup sehari-hari.

Pemerintah adalah penanggung jawab utama terhadap penyelenggaraan pendidikan di

negeri ini, maka beberapa kemungkinan yang bisa dilaksanakan oleh pemerintah dalam

melaksanakan kebijakan pendidikan negeri dan swasta adalah :

a. “Pemerintah hendaknya tidak lagi membeda-bedakan antara lembaga pendidikan negeri

dengan swasta, sehingga subsidi bantuan dari pemerintah juga disalurkan pula ke sekolah

swasta. Harus ada keseimbangan perlakuan dari pemerintah terhadap sekolah negeri dan
sekolah swasta. Kebijakan pemerintah yang diskriminatif itu menjadi pemborosan investasi

dalam bidang pendidikan. Anggaran pemerintah dalam pendidikan yang dialokasikan untuk

mensubsidi sekolah-sekolah swasta, berguna untuk mempertahankan mutu, agar tetap eksis

meski jumlah muridnya kecil. Dengan cara demikian sekolah swasta bisa mempertahankan

mutu.

b. Selama ini pemerintah selalu berdalih bahwa keuangan pemerintah untuk memenuhi

kebutuhan sekolah negeri pun tidak cukup. Padahal pemerintah adalah pemerintahan milik

seluruh rakyat, sehingga anggaran pemerintah harus dipakai untuk semua orang. Apalagi

Undang-Undang Pendidikan Nasional tidak lagi membedakan antara sekolah negeri dan

swasta. Karena itu, dari segi tanggung jawab mestinya sama-sama.

c. Untuk mendukung pendidikan swasta, pemerintah seharusnya bisa memulainya dengan

memberikan berbagai kemudahan kepada swasta, misalnya membebaskan swasta dari biaya

Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Pajak Bumi Bangunan (PBB), pungutan-pungutan

administratif dan berbagai pajak pendidikan, dan sebagainya. Namun, pemberian subsidi

terhadap sekolah swasta dihadapkan pada banyak kendala, yang seolah-olah penuh rekayasa.

Tetapi, bila dilihat dalam keadaan nyata, akan disimpulkan bahwa masalahnya tidak

sederhana. Fenomena anggaran yang minim dan diskriminatif, terus berlangsung dalam

pelaksanaan pendidikan. Dengan anggaran pendidikan yang sangat terbatas, sukar bagi

pemerintah untuk menjalankan kewajibannya sendiri, apalagi memberikan subsidi total

kepada pihak lembaga swasta. Itulah yang kini dijumpai di Indonesia. Dari komitmen positif

itu, pendidikan nasional kita diharapkan mampu meningkatkan mutu dan karakter bangsa,

sehingga kemandirian bisa terwujud dan pada akhirnya mampu memberikan kontribusi dalam

persaingan global.[14]
d. Dalam menyikapi keprihatinan dalam ketimpangan proses kebijakan, dipertanyakan : apakah

pemerintah mempunyai kemampuan memberi subsidi kepada pendidikan swasta tanpa

melalaikan kewajiban dan tanggung-jawabnya menjalankan proses pendidikan di negara ini

secara baik? Barangkali lebih tepat bila dalam kondisi demikian pemerintah memperbaiki

keadaan proses dan manajemen pendidikan, agar menghasilkan output pendidikan yang

berkarakter dan berkepribadian yang memiliki kompetensi yang berdayaguna sesuai dengan

tujuan dan cita-cita bangsa dan negara.

e. Sejatinya, pendidikan swasta yang pada dasarnya memang tidak tergantung pada

pemerintah, untuk itu lembaga swasta diharapkan tetap akan menjalankan proses kegiatan

pendidikannya secara mandiri, meskipun persaingan dan keterbatasan kompetensi swasta

terhadap negeri semakin mengemuka. Kondisi pendidikan swasta dalam SisDikNas layak

dicermati dan diupayakan jalan keluarnya[15].

f. Subordinasi pendidikan swasta, baik dalam hal subsidi maupun bantuan sarana dan

prasarana teknis perlu segera diakhiri, karena bagaimanapun juga, pendidikan swasta telah

memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pemerintah harus memiliki komitmen positif bagi kesuksesan pelaksanaan pendidikan

nasional. Karena-pendidikan adalah salah satu wujud utama tercapainya kemajuan suatu

bangsa. Komitmen positif ini bisa diwujudkan dengan kebijakan yang seimbang oleh

pemerintah, antara penyelenggaraan pendidikan swasta dan yang negri.


DAFTAR PUSTAKA

Imam Bawani, Segi-segi Pendidikan Islam, Surabaya, Al-Ikhlas, 2000 .

Undang-Undang Dasar 1945, disertai Amendemen 1, 2, 3 dan 4, Semarang, Dahara Prize, 2009.

Undang_undang Sisdiknas RI Nomor 20 tahun 2003, Jakarta Depdiknas RI, 2003

Masnuh ,Tajududin, Konsfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Yogjakarta, Pustaka Fahima,

2007.

Tholhah Hasan, Moh, Islam & Masalah Sumber Daya Manusia, Jakarta, Lantarabora Press, 2003

http;//portal.muhajirien.org/index.php?option=com-content&view=article&id=169;dinamika-

lembaga-pendidikan-swasta-di-indonesis-bagian-1&catid=59=pendidikan.

http://suaramerdeka.com.

http://www.suarapembaruan.com/tajukrencana/nasib-guru-swasta/1441

Anda mungkin juga menyukai