Pendidikan negeri dan swasta adalah mitra bersama dalam mewujudkan cita-cita nasional
bangsa, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam kenyataan akhir-akhir ini, terjadi polemik
berpihak kepada penyelenggaraan pendidikan negeri daripada swasta. Hal ini (ketidak adilan
dalam penerapan kebijakan bidang pendidikan), sangat dirasakan terutama oleh lembaga
pendidikan swasta (private education), misalnya soal distribusi bantuan anggaran biaya
distribusi bantuan yang berupa pengadaan sarana-prasarana dan fasilitas pendidikan, distribusi
pemberian beasiswa, ketimpangan pendistribusian bagi para guru-guru swasta dalam peluang
dan kesempatan mengakses informasi tentang pendidikan untuk membina dan meningkatkan
karir profesi keguruan. Lembaga-lembaga pendidikan swasta selama ini juga sering menjadi
obyek pungli bagi oknum pejabat dan pengawas pendidikan dan sebagainya.[1]
operasional pendidikan, berbagai jenis bantuan sarana dan fasilitas, tenaga guru, dan bahkan
akses informasi lebih besar dibandingkan dengan sekolah-sekolah swasta. Meski demikian,
masih banyak sekolah negeri yang memungut "uang iuran pendidikan" (atau dengan istilah yang
lain SPP) yang cukup besar, dan bahkan lebih besar dari lembaga pendidikan swasta. Hal ini
semakin menambah beban orang tua, sehingga banyak yang mengeluhkan semakin tingginya
biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh pendidikan pada lembaga pendidikan negeri.
Melihat keprihatinan terhadap realitas persoalan pendidikan yang ada, terutama yang
berkaitan dengan penyelenggaraaan pendidikan swasta, sangatlah penting untuk melihat potret
pendidikan swasta terhadap pendidikan negri saat ini dan posisi keduanya dalam ranah Sistem
Pendidikan Nasional (SisDikNas).[2] Pada kesempatan ini, penulis mencoba memaparkan tentang
posisi pendidikan swasta terhadap pendidikan negeri dalam aturan main SisDikNas berdasarkan
kebijakan undang-undang pendidikan nasional dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pendidikan swasta adalah pendidikan sekolah yang diselenggarakan oleh organisasi swasta
atau non-pemerintah. Dasar kehadirannya adalah untuk membantu meringankan beban pemerintah
dalam usahanya mewujudkan kebutuhan hidup masyarakat khususnya dalam bidang pendidikan.
Dengan demikian, pendidikan swasta ikut berperan aktif sebagai mitra pemerintah dalam
mampu menciptakan kreativitas, baik dalam bidang ekonomi, politik maupun kebudayan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan swasta dalam SisDikNas adalah penyelenggaraan
pendidikan diluar pemerintah yang diatur oleh pemerintah melalui seperangkat aturan, yaitu
SisDikNas.
Sejak awal kemerdekaan, secara umum kondisi dan posisi pendidikan swasta dalam
pendidikan nasional tidak jauh berbeda dengan pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah atau pendidikan negri.[3] Perhatian pemerintah terhadap pendidikan pada awalnya
cukup besar, terbukti dengan adanya instruksi untuk mendirikan pendidikan swasta sebanyak-
banyaknya dan pemerintah bertanggung jawab dalam hal subsidi dan bantuan lainnya.
Pendidikan swasta diperlakukan secara wajar, bahkan dalam hal-hal tertentu disebutkan tanpa
ada diskriminasi, itu dibuktikan dengan adanya persamaan dalam hal ijazah, di mana ijazah
negeri dan swasta tidak dibedakan, juga murid-murid sekolah swasta diperbolehkan untuk
berpindah atau melanjutkan pelajarannya di sekolah negeri. Banyak masyarakat yang berlomba-
lomba menciptakan lembaga pendidikan untuk bersaing dalam proses pembangunan Indonesia.
Tetapi kemunculan pendidikan swasta ini tidak sepenuhnya hanya demi mendapat subsidi dari
pemerintah, karena banyak lembaga-lembaga pendidikan swasta yang tidak bergantung, bahkan
tidak mau menerima bantuan pemerintah tersebut, mungkin alasannya porsi yang diberikan
terkadang tidak sesuai dengan besarnya kebutuhan pendidikan swasta dalam penyelenggaraan
pendidikan, lalu timbul keengganan dari pihak swasta untuk memanfaatkan subsidi tersebut.
Pada perjalanan tahun-tahun berikutnya, kondisi dan posisi pendidikan swasta mengalami
perubahan yang memprihatinkan. Lahirnya Undang Undang No. 2 Tahun 1989 tentang
SisDikNas dengan idealisasi “setiap warga negara memperoleh kesempatan yang sama untuk
belajar dan menyelenggarakan usaha-usaha pendidikan”[4] ternyata secara real tidak terbukti.
Adanya diskriminasi antara lembaga pendidikan swasta dan lembaga pendidikan negeri adalah
salah satu bukti ketidakharmonisan antara idealitas undang-undang dengan realitas yang ada itu.
Terjadi ketidakadilan, bahkan tidak demokratis antara keduanya. Sebagai contoh, masih ada
sekolah negeri, di mana sekolah swasta dikelompokkan “status”nya menjadi “Terdaftar, Diakui
dan Disamakan” dengan sekolah negeri. Begitu pula masalah pembiayaan dan masalah tata cara
penerimaan siswa selaku peserta didik, praktek diskriminasi begitu mencolok. Dalam praktek
penerimaan peserta didik, misalnya, hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang bisa
merasakan pendidikan di lembaga pendidikan negeri (terutama melalui SNMPTN, yang dulu
disebut UMPTN).
Fakta di lapangan yang muncul akhir-akhir ini, pemerintah menarik guru-guru berstatus
pegawai negeri yang selama ini diperbantukan di lembaga-lembaga pendidikan swasta, sehingga
kondisi ini membuat lembaga pendidikan swasta terdesak, apalagi lembaga swasta yang
mengalami defisit dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan. Adanya guru pegawai negeri
yang diperbantukan di swasta, tentu akan sangat membantu swasta dalam proses
penyelenggaraan pendidikan, terutama dalam hal memberi gaji kepada guru yang diperbantukan,
karena itu sudah ditanggung oleh negara. Tindakan pemerintah menarik guru-guru yang
lembaga pendidikan swasta. Tindakan pemerintah yang demikian tentu sangat menekan
pendidikan swasta.
Distribusi bantuan tenaga kependidikan (guru), juga menunjukkan ketidak adilan yang
sangat nyata, baik secara kualitatif maupun kuantitatif diberikan kepada sekolah negeri.
Sehingga terkesan pemerintah lebih ingin menunjukkan diri sebagai pemain pendidikan yang
siap berkompetisi secara tidak adil dengan masyarakat (swasta), dari pada sebagai regulator yang
mengatur dan menciptakan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya kompetisi yang sehat
Terhadap distribusi bantuan sarana prasarana dan fasilitas seperti pengadaan buku dan
alat pelajaran, terjadi ketimpangan yang luar biasa misalnya di beberapa sekolah negeri terdapat
buku-buku dan alat pelajaran yang kurang efektif karena jumlahnya banyak. Sementara di
sekolah-sekolah swasta tidak ada, kecuali sekolah itu mampu membeli sendiri.
Dalam pendistribusian beasiswa, juga terdapat kebijakan yang kurang memenuhi rasa
keadilan misalnya dari segi jumlah penerima beasiswa di sekolah swasta selalu lebih sedikit dari
sekolah negeri, padahal kenyataan menunjukkan bahwa, orang tua yang relatif mampu secara
ekonomi kecenderungannya memasukkan anaknya ke sekolah negeri. Dan bagi yang tidak
mampu lebih memilih ke sekolah swasta. Alasan utamanya sebagian besar bukan karena
kemampuan dan prestasi intelektual anaknya yang rendah, tetapi lebih dominan karena biaya
Distribusi peluang untuk mengakses informasi dan kebijakan pendidikan juga terdapat
ketidakadilan, misalnya untuk sosialisasi kebijakan dan sistem pendidikan, selalu saja yang
menjadi sasaran utama adalah guru-guru pegawai negri dan sekolah negeri, sedangkan sekolah
swasta terasa sangat kurang mendapat perhatian, sehingga pemahaman tentang kurikulum atau
sistem pendidikan dan berbagai kebijakan di bidang pendidikan kurang komprehensip untuk
dapat diimplementasikan dengan baik oleh mereka (tenaga kependidikan) yang berada di
sekolah-sekolah swasta.
lembaga pendidikan swasta untuk dapat berkompetisi dengan sekolah negeri secara adil. Padahal
kalau kita pahami subyek sekaligus obyek pendidikan (siswa) itu, baik di sekolah swasta maupun
negeri semuanya adalah anak-anak bangsa, warga negara yang memiliki hak yang sama untuk
mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945
telah menunjukkan bahwa pemerintah kurang apresiatif terhadap inisiatif masyarakat untuk
membangun dan mengelola sebuah lembaga pendidikan dalam rangka membantu pemerataan
pendidikan bagi seluruh warga negara. Hal ini juga memberikan kesan bahwa hanya pemerintah
yang mampu berhasil dalam mengelola pendidikan dengan kualitas yang baik. Jika hal ini
(ketidak adilan dalam kebijakan pendidikan) dibiarkan terus, maka akan timbul bahkan sudah
terjadi sikap apatis yang akan mematikan semangat dari lembaga pendidikan swasta untuk mau
Implikasi yang nyata dari ketidakadilan ini adalah terjadinya disparitas mutu hasil
pendidikan yang sangat tajam. Bagaimana mungkin untuk kurikulum (materi), tujuan , target
penguasaan materi dan dengan alat ukur yang sama kita dapat memperoleh hasil yang sama
apabila sarana-prasarana, fasilitas, finansial, dan tenaga kependidikan yang jauh berbeda secara
kualitas maupun kuantitasnya. Mutu hasil pendidikan sangat ditentukan oleh tingkat kualitas
proses. Sementara kualitas proses sangat dipengaruhi oleh keberadaan fasilitas, sarana, tenaga
guru (SDM), serta finansial.[5] Maka sebenarnya Ujian Nasional itu tidak kontekstual, karena
tolak ukur kemampuan anak didik tidak bisa dievaluasi hanya melalui ujian nasional. Begitulah
nasib pendidikan kita merupakan suatu polemik yang terus bergulir, tanpa ada sebuah kepastian,
Senada dengan hal itu, lahirnya UU No. 23 Tahun 2003 tentang Sisdiknas tidak jauh
berbeda dengan kondisi masa undang-undang sebelumnya. Pendidikan swasta secara eksplisit
tidak tercantum dalam undang-undang yang baru ini, sehingga keberadaanya dianggap misterius
atau tidak jelas. Hal ini membawa dampak pada legalitas dan keabsahan izasah pendidikan
swasta akan mengalami masalah administratif, ketika lulusannya masuk dalam dunia kerja.
Syarat dan standar administratif mungkin dinilai “cacat’ sehingga dianggap tidak sah dan tidak
bisa diberlakukan, maka yang menjadi korban adalah out put dari pendidikan swasta, apalagi
kalau pendidikan swasta tersebut daya kemampuannya terbatas dan tidak bisa bersaing dengan
pendidikan swasta lain, yang kemampuan operasionalisasinya kuat dan sangat baik, maupun
terhadap pendidikan negeri. Apalagi sekarang, untuk menjamin mutu pendidikan, pemerintah
Nasional). Bagi lembaga pendidikan yang mengalami keterbatasan kemampuan dan anggarannya
defisit (apalagi tidak ada perhatian dan subsidi dari pemerintah), tentu mengalami tekanan berat.
UUD SisDikNas yang sejatinya menjadi payung hukum untuk pemerataan pendidikan
ternyata melegitimasi proses ketimpangan itu. Ini jelas bertabrakan dengan UUD SisDikNas.
Inilah yang menjadi cikal-bakal tetap langgengnya proses pendiskriminasian sekolah swasta. Tak
heran apabila ada gugatan Judicial Review Pasal 55 ayat 4 UU SisDikNas ke Mahkamah
Konstitusi.[6] Dalam pasal tersebut, yang dipersoalkan adalah kata yang berbunyi “dapat”. Apa
artinya? Kata “dapat” dalam pasal tersebut memberi ruang bagi pemerintah untuk sama sekali
tidak acuh terhadap sekolah swasta. “Dapat” berarti tidak ada kewajiban bagi pemerintah untuk
penanggung jawab utama penyelenggaraan pendidikan swasta di negeri ini, tetapi sebagai
sudah ditegaskan bahwa, baik pendidikan negeri dan swasta sama-sama berperan dalam
mencerdaskan bangsa. Penggugatan terhadap pasal tersebut tidak hanya berangkat dari
kerancuan redaksional, tapi juga berangkat dari realitas sekolah swasta yang selama ini
membawa konsekuensi terhadap eksistensi sekolah swasta yang kian tidak menjanjikan bagi
dibandingkan dengan sekolah swasta. Perbandingan yang paling mereka utamakan adalah
masalah keuangan, sekolah negeri lebih murah dan bahkan bisa gratis dibanding dengan sekolah
swasta. Ini menjadi wajar mengingat situasi dan kondisi masarakat kita berada dalam taraf
kemiskinan. Tetapi yang kurang wajar adalah masa depan sekolah swasta yang secara pelan-
pelan mulai ditinggalkan masyarakat karena alasan pendanaan dan tidak diperhatikan secara
serius oleh pemerintah, yang bisa berakhir dengan gulung tikar. Realitas ini benar-benar mimpi
Hasil -penelitian ADB (Asian Development Bank) dan UHK (The Univesity of
Hongkong) tentang sistem pendidikan nasional kita, memperparah kondisi dan posisi riil
pendidikan swasta. Penelitian ini membuktikan adanya diskriminasi bantuan dana antara
lembaga pendidikan swasta dan lembaga perididikan negeri, terutama yang berupa dana
Kondisi pendidikan swasta dalam SisDikNas, terpuruk dalam dua poros; pertama,
dinomorduakan dalam memperoleh subsidi maupun bantuan teknis dari pemeri ntah, kendati
tercantum jelas bahwa pendidikan berbasis masyarakat (baca: swasta) dapat memperoleh
bantuan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara adil dan merata.
Memang secara kualitatif belum ada penelitian yang khusus mengungkap tentang
sejauh mana kontribusi lembaga swasta terhadap pendidikan di Indonesia, namun secara
umum dapat digeneralisasikan bahwa sumbangan sekolah swasta terhadap pendidikan adalah
besar sekali walaupun kontribusi ini belum optimal karena sangat bervariasinya kualitas
sekolah swasta. Harus dikatakan bahwa kontribusi lembaga pendidikan swasta untuk
membangun dan memberdayakan sumber daya manusia sudah amat jelas, hingga harus
kebijakan pendidikan yang tepat bagi masa depan pendidikan kita. Pemerintah telah kehilangan
pijakan untuk menggulirkan kebijakan yang tepat dan benar. Tiap kali ganti kementerian pasti
ada pola perubahan kebijakan yang baru dan itu nyaris tidak berkesinambungan dengan pola
kebijaksanaan sebelumnya.[9] Ini juga terjadi dalam pola penanganan sekolah negeri dan swasta
yang penanganannya tidak pernah jelas. Pemerintah tidak mempunyai kebijakan yang solutif
untuk menyelesaikan persoalan komunikasi dan relasi penyelenggaraan pendidikan negeri dan
swasta dalam visi misi mewujudkan cita-cita bangsa. Bangsa kita memiliki historisitas panjang
yang saling kait mengait dengan sekolah swasta. Sekolah swasta pada dasarnya menjadi cikal-
bakal dalam penyelenggaraan pendidikan di negri ini. Selain itu juga, bangsa kita tak mungkin
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah cukup tinggi. Hal ihwal yang berkaitan dengan
politisasi pendidikan, layaknya pada masa orde baru, bisa saja terulang[10].
Masyarakat kita masih banyak yang miskin. Kalau pemerintah lepas tangan,
kemungkinan besar proses pendidikan akan mengalami ketimpangan, yang kaya dapat
bersekolah dengan fasilitas cukup karena mampu membayar mahal dan yang miskin terus berada
di jalur sekolah yang pas-pasan. Disinilah ketimpangan kehidupan pendidikan dimulai dari poses
pendidikan. Saatnya bangsa ini mencari bentuk kebijakan yang solutif untuk masa depan sekolah
negeri dan swasta tanpa harus ada yang tersingkirkan. Pendidikan negeri dan swasta sama-sama
bertujuan untuk mencerdaskan bangsa yang mengarah pada peningkatan kualitas kehidupan
eksplorasi keindahan imaginasi. Manusia digerakkan oleh imaginasi, mimpi. Dalam konsep
negara maju, apa yang terjadi di negara-negara yang disebut Skandinavian, diantaranya
Denmark, Swedia, Finlandia, dan Norwegia, ternyata dunia saat ini banyak menoleh ke
fenomena negara-negara tersebut. Denmark misalnya, beberapa waktu lalu menduduki tempat
teratas untuk kategori “zero corruption” (nol korupsi). Dalam dunia pendidikan dan inovasi riset,
negara-negara ini menjadi rujukan penting dalam memadukan soft skill dan hard skill, yang
Pergeseran persfektif pendidikan dari siap pakai ke pendidikan imaginatif ini membawa
revolusi kehidupan yang efektif. Sebaliknya, pendidikan yang siap pakai hanya akan membawa
orang pada disposisi siap dipakai, tetapi persoalah runyam yang muncul : siapa yang memakai?
Mungkin kita kerap bangga dengan lomba-lomba kreasi robot, penemuan baru science teknologi,
dan sejenisnya. Tetapi adakah lomba-lomba dan kreasi yang berkaitan dengan imaginasi
penyelamatan lingkungan hidup dari kekeringan, banjir, tanah longsor, pemeliharan bantaran
sungai, sastra humanis, penelitian sejarah dan kebudayaan? Jika hal ini masih jauh dari
perspektif pendidikan kita, baik dalam kategori negeri dan swasta, maka bangsa ini tidak akan
pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang menghasilkan manusia-manusia yang tidak
memikirkan dirinya sendiri, karena pada prinsipnya manusia sebagai bagian societas. Manusia
berinteraksi dengan sesamanya dalam usaha memelihara dan mempertahankan hidup. Kita tahu,
biaya pendidikan mahal. Misalnya, untuk biaya pendidikan calon dokter bisa mencapai ratusan
juta rupiah, maka ketika seseorang sudah menjadi dokter, adakah ia bersikap bijaksana dalam
menerapkan tarif biaya pasien yang berobat kepadanya. Adakah unsur pelayanan dan panggilan
kemanusiaan sebagai dokter terhadap pasien itu melekat dalam dirinya, ataukah ia menjadikan
profesi itu semata-mata berdasarkan komersialisasi belaka? Seorang Gayus Tambunan yang
lulusan S-1 perpajakan, ternyata pendidikan yang pernah dienyamnya, menghasilkan tindakan
korupsi yang semata-mata untuk kepentingan diri sendiri atau kelompoknya dan merugikan
banyak orang. Pendidikan dikatakan berhasil, ketika orang itu di lapangan mampu menerapkan
ilmu yang dulu dipelajarinya, menghasilkan karya yang berdayaguna dan efektif lalu tidak
memikirkan dirinya sendiri, melainkan memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap keadaan di
sekitarnya. Prinsip pendidikan yang berhasil adalah menjadikan diri pribadi dan orang lain
Konsep pendidikan yang diterapkan pemerintah di negara ini, baik dalam pendidikan
negeri dan swasta, belum menghantar pribadi selaku anak didik menjadi insan-insan yang sadar
pribadi yang berjiwa dan berkarakter dinamis dalam menghadapi setiap persoalan-persoalan,
dinamika hidup di masyarakat. Banyak persoalan terjadi dalam kehidupan kita, untuk itulah
pendidikan seharusnya memperdalam wawasan dan cara pandang – pemahaman seseorang dalam
Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan dirasakan cukup tinggi. Hal ini
terbukti dengan kepedulian banyak pihak untuk memperoleh pelayanan edukatif mulai dari
sekolah dasar sampai perguruan tinggi secara memadai. Idealitas yang dituntut adalah
pendidikan yang murah, merata, sekaligus berkualitas atau bermutu tinggi. Akibatnya kalau ada
institusi dan aktivitas pendidikan yang proses dan produk pendidikannya bagus tetapi biayanya
mahal, dicap sebagai tidak berperikemanusiaan dan anti pemerataan, sebab hanya dimasuki oleh
mereka yang kaya, sementara orang-orang yang miskin menjadi ternista karenanya.
Aspirasi masyarakat untuk memperoleh identitas pelayanan pendidikan seperti itu pada
hakekatnya sudah diantisipasi perwujudannya dalam pasal 31 ayai 1 UUD –RI 1945 yang
menyatakan : “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan, tiap-tiap, artinya semua
orang tanpa kecuali, termasuk orang-orang yang hidup di wilayah terpencil, ataupun secara
ekonomi miskin serta penyandang cacat sekalipun. Berhak artinya memiliki dan mendapatkan
hak dengan mudah, bahkan bisa dimaknai gratis, sebab kalau disertai membayar, maka disitu ada
unsur kewajiban. Konsekuensi logisnya, jika setiap warga negara berhak mendapat pendidikan,
maka harus ada pihak yang berkewajiban memenuhi hak tersebut. Itulah pemerintah atau
penyelenggara negara. Maka upaya yang ditempuh pemerintah adalah memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD guna memenuhi
penyelenggaraan pendidikan nasional sesuai dengan cita-cita negara ini untuk mencerdaskan
kehidupan bangsanya.[12]
Sulitnya mewujudkan pemerataan dan kualitas pendidikan secara tuntas di tengah realitas
dunia pendidikan disebabkan oleh heterogenitas ekonomi, sosial budaya, kondisi geografis
kolusi pihak-pihak yang berwenang dan berkepentingan, budaya instan pendidikan dengan
ketidaktahuan, kepicikan dalam berpikir – bernalar, dan terbebas dari belenggu sistem-sistem
Menyimak realitas ini, banyak elemen dalam berbagai lembaga pendidikan swasta
mengeluh dan berusaha terus mendesak pemerintah untuk mengubah kebijakan diskriminatif
dalam bidang pendidikan yang lebih mementingkan keberadaan sekolah-sekolah negeri dan
dalam bidang pendidikan, sekolah-sekolah swasta berperan untuk ikut ambil bagian dalam
penyelenggaraan pendidikan nasional. Anehnya, saat merasa memiliki dana pendidikan yang
semakin besar, pemerintah dengan gencar mempromosikan sekolah gratis, keberadaan sekolah-
sekolah swasta justru dipinggirkan. Pendidikan swasta tumbuh dan berkembang karena
kebutuhan masyarakat terhadap pentingnya pendidikan dan usaha untuk mencerdaskan bangsa.
Bangsa yang maju adalah bangsa yang berpendidikan. Pendidikan mempengaruhi disposisi
negeri ini, maka beberapa kemungkinan yang bisa dilaksanakan oleh pemerintah dalam
dengan swasta, sehingga subsidi bantuan dari pemerintah juga disalurkan pula ke sekolah
swasta. Harus ada keseimbangan perlakuan dari pemerintah terhadap sekolah negeri dan
sekolah swasta. Kebijakan pemerintah yang diskriminatif itu menjadi pemborosan investasi
dalam bidang pendidikan. Anggaran pemerintah dalam pendidikan yang dialokasikan untuk
mensubsidi sekolah-sekolah swasta, berguna untuk mempertahankan mutu, agar tetap eksis
meski jumlah muridnya kecil. Dengan cara demikian sekolah swasta bisa mempertahankan
mutu.
b. Selama ini pemerintah selalu berdalih bahwa keuangan pemerintah untuk memenuhi
kebutuhan sekolah negeri pun tidak cukup. Padahal pemerintah adalah pemerintahan milik
seluruh rakyat, sehingga anggaran pemerintah harus dipakai untuk semua orang. Apalagi
Undang-Undang Pendidikan Nasional tidak lagi membedakan antara sekolah negeri dan
memberikan berbagai kemudahan kepada swasta, misalnya membebaskan swasta dari biaya
administratif dan berbagai pajak pendidikan, dan sebagainya. Namun, pemberian subsidi
terhadap sekolah swasta dihadapkan pada banyak kendala, yang seolah-olah penuh rekayasa.
Tetapi, bila dilihat dalam keadaan nyata, akan disimpulkan bahwa masalahnya tidak
sederhana. Fenomena anggaran yang minim dan diskriminatif, terus berlangsung dalam
pelaksanaan pendidikan. Dengan anggaran pendidikan yang sangat terbatas, sukar bagi
kepada pihak lembaga swasta. Itulah yang kini dijumpai di Indonesia. Dari komitmen positif
itu, pendidikan nasional kita diharapkan mampu meningkatkan mutu dan karakter bangsa,
sehingga kemandirian bisa terwujud dan pada akhirnya mampu memberikan kontribusi dalam
persaingan global.[14]
d. Dalam menyikapi keprihatinan dalam ketimpangan proses kebijakan, dipertanyakan : apakah
secara baik? Barangkali lebih tepat bila dalam kondisi demikian pemerintah memperbaiki
keadaan proses dan manajemen pendidikan, agar menghasilkan output pendidikan yang
berkarakter dan berkepribadian yang memiliki kompetensi yang berdayaguna sesuai dengan
e. Sejatinya, pendidikan swasta yang pada dasarnya memang tidak tergantung pada
pemerintah, untuk itu lembaga swasta diharapkan tetap akan menjalankan proses kegiatan
terhadap negeri semakin mengemuka. Kondisi pendidikan swasta dalam SisDikNas layak
f. Subordinasi pendidikan swasta, baik dalam hal subsidi maupun bantuan sarana dan
prasarana teknis perlu segera diakhiri, karena bagaimanapun juga, pendidikan swasta telah
memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
nasional. Karena-pendidikan adalah salah satu wujud utama tercapainya kemajuan suatu
bangsa. Komitmen positif ini bisa diwujudkan dengan kebijakan yang seimbang oleh
Undang-Undang Dasar 1945, disertai Amendemen 1, 2, 3 dan 4, Semarang, Dahara Prize, 2009.
2007.
Tholhah Hasan, Moh, Islam & Masalah Sumber Daya Manusia, Jakarta, Lantarabora Press, 2003
http;//portal.muhajirien.org/index.php?option=com-content&view=article&id=169;dinamika-
lembaga-pendidikan-swasta-di-indonesis-bagian-1&catid=59=pendidikan.
http://suaramerdeka.com.
http://www.suarapembaruan.com/tajukrencana/nasib-guru-swasta/1441