Anda di halaman 1dari 17

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penulisan makalah

1.2 Tujuan Penulisan

1.3 Analisis Masalah

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Wajib Belajar 9 Tahun Dan Mutu Pendidikan.


2.2 Kapan wajib belajar 6 tahun dilaksanakan dan berakhirnya wajib belajar 6
tahun, kemudian kapan wajib belajar 9 tahun dilaksanakan.
2.3 Apa saja undang-undang wajib belajar 9 tahun
2.4 Permasalahan Dikdas
2.5 Tingkat keberhasilan wajib belajar 9 tahun
2.6 Persfektif belajar dalam agama Islam

BAB III KESIMPULAN

BAB IV PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

1
BAB I

PENDAHULUAN

Pada umumnya, orang yakin bahwa dengan pendidikan umat manusia dapat
memperoleh peningkatan dan kemajuan baik di bidang pegetahuan, kecakapan, maupun
sikap dan moral. Pendidikan dipandang sebagai sarana intervensi kehidupan dan agen
pembaharu.

Anggapan dan keyakinan seperti yang dikemukakan di atas akan semakin


memantapkan dan memperkokoh arti pendidikan dalam upaya menciptakan peningkatan
kualitas peserta didik atau yang lebih dikenal upaya pengembangan sumber daya manusia,
terurama dalam era memasuki abad 21 yaitu abad globalisasi.

Memperhatikan peranan dan misi pendidikan bagi umat manusia ini tidaklah
berlebihan apabila pihak yang bertanggung jawab di bidang pendidikan menggantungkan
harapannya pada sektor pendidikan dalam rangka mengembangkan dan mengoptimalkan
segenap potensi individu supaya dapat berkembang secara maksimal. jadi sudah
selayaknya apabila setiap warga negara mendapat kesempatan yang sama untuk
memperoleh pendidikan menurut kemampuan.

Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun merupakan perwujudan amanat


pembukaan UUD 1945 dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. serta pasal 31
UUD 1945 yang menyatakan (1) Tiap-tia warga negara berhak mendapat pengajaran dan
(2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional
yang diatur dengan undang-ungang.

Adapun agama Islam sangat menganjurkan kepada manusia untuk selalu belajar.
Bahkan Islam mewajibkan kepada setiap orang yang beriman untuk belajar. Dalam Islam
pendidikan tidak hanya dilaksanakan dalam batasan waktu tertentu saja, melainkan
dilakukan sepanjang usia (long life education). Ini sesuai dengan salah satu sabda yang
disampaikan oleh panutan orang Islam, Nabi Muhammad SAW, “Carilah ilmu sejak dalam
buaian hingga ke liang lahat”.

Islam memotivasi pemeluknya untuk selalu meningkatkan kualitas keilmuan dan


pengetahuan. Tua atau muda, pria atau wanita, miskin atau kaya mendapatkan porsi sama
dalam pandangan Islam dalam kewajiban untuk menuntut ilmu (pendidikan). Bukan hanya
pengetahuan yang terkait urusan akhirat saja yang ditekankan oleh Islam, melainkan
pengetahuan yang terkait dengan urusan dunia juga. Karena tidak mungkin manusia
mencapai kebahagiaan hari kelak tanpa melalui jalan kehidupan dunia ini.

Bahkan menurut Imam Syafi’ie, ilmu adalah kunci penting untuk urusan dunia dan akhirat.
Sebagaimana perkataan Imam Syafi’ie, yaitu; “Barangsiapa menginginkan dunia, maka
harus dengan ilmu. Barangsiapa menginginkan akhirat, maka harus dengan ilmu. Dan
barangsiapa menginginkan keduanya, maka harus dengan ilmu”.
2
Islam menghendaki pengetahuan yang benar-benar dapat membantu mencapai
kemakmuran dan kesejahteraan hidup manusia. Yaitu pengetahuan terkait urusan dunia
dan akhirat, yang dapat menjamin kemakmuran dan kesejahteraan hidup manusia di dunia
dan akhirat. Pengetahuan duniawi adalah berbagai pengetahuan yang berhubungan dengan
urusan kehidupan manusia di dunia ini. Baik pengetahuan modern maupun pengetahuan
klasik. Atau lumrahnya disebut dengan pengetahuan umum.

Sedangkan pengetahuan ukhrowi adalah berbagai pengetahuan yang mendukung


terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan hidup manusia kelak di akhirat. Pengetahuan
ini meliputi berbagai pengetahuan tentang perbaikan pola perilaku manusia, yang meliputi
pola interaksi manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan.
Atau biasa disebut dengan pengetahuan agama.

Pengetahuan umum (duniawi) tidak dapat diabaikan begitu saja, karena sulit bagi
manusia untuk mencapai kebahagiaan hari kelak tanpa melalui kehidupan dunia ini yang
mana dalam menjalani kehidupan dunia ini pun harus mengetahui ilmunya. Demikian
halnya dengan pengetahuan agama (ukhrowi), manusia tanpa pengetahuan agama niscaya
kehidupannya akan menjadi hampa tanpa tujuan. Karena kebahagiaan di dunia akan
menjadi sia-sia ketika kelak di akhirat menjadi nista. Islam selalu mengajarkan agar
manusia menjaga keseimbangan, baik keseimbangan dhohir maupun bathin, keseimbangan
dunia dan akhirat. Dalam Qs. Al-Mulk ayat 3 disebutkan:

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat
pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah
berulang-ulang! Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?”.

Lebih jelasnya, akan diuraikan dalam makalah ini tentang belajar dalam pandangan
al-Qur’an dan al-Hadith, unsur-unsur belajar dan konsep belajar menurut para pakar
pendidikan Islam.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dalam tulisan ini dikemukakan
permasalahan mengenai Wajib belajar 9 Tahun dan bagaimana Persfektif agama Islam
terhadap pendidikan.

1.1 Latar Belakang Penulisan Makalah

Wajib belajar sembilan tahun merupakan salah satu program yang dicanangkan
oleh Departemen Pendidikan Nasional atau sekarang disebut Kementerian Pendidikan
Nasional. Program ini dilatar belakangi dari munculnya Program Wajib Belajar Enam
Tahun pada tahun 1984. Kemudian pada tahun 1994 melalui Inpres Nomor 1 tahun 1994
ditingkatkan menjadi Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Hal ini
berarti bahwa setiap anak Indonesia yang berumur 7 sampai 15 tahun diwajibkan untuk
mengikuti Pendidikan Dasar sembilan tahun. Program ini mewajibkan setiap warga negara
3
untuk bersekolah selama sembilan tahun pada jenjang pendidikan dasar yaitu dari tingkat
kelas 1 Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga kelas 9 Sekolah
Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs).

Pelaksanaan dan ketuntasan program wajib belajar juga mampu mengurangi angka
kemiskinan. Melalui pendidikan ini pula, bangsa kita Indonesia dicanangkan mampu
mencapai cita-citanya, yaitu menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Pendidikan dan kekuatan”, maka bangsa Indonesia akan segera terbebas dari kebodohan
dan kemiskinan serta menjadi bangsa yang unggul dalam kompetensi global.

Lebih lanjut lagi, wajib belajar ini merupakan pondasi bagi pengembangan, jenjang
pendidikan lebih lanjut dan kemajuan peradaban bangsa khususnya dalam menghadapi
tantangan dan perkembangan zaman dan kompetensi tingkat global. Pendidikan dasar juga
mampu mewujudkan masyarakat yang cerdas, dan ekonomi yang mapan sehingga negara
menjadi maju.

1.2 Tujuan Penulisan

1) Mengetahui pengertian wajib belajar 9 tahun.


2) Mengetahui wajib belajar 6 tahun dilaksanakan dan berakhirnya wajib belajar 6
tahun, kemudian kapan wajib belajar 9 tahun dilaksanakan.
3) Mengetahui saja undang-undang wajib belajar 9 tahun.
4) Menengetahui hambatan wajib belajar 9 tahun.
5) Menegetahui tingkat keberhasilan wajib belajar 9 tahun.
6) Mengetahui persfektif pandangan Agama Islam terhadap Pendidikan.

4
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian wajib belajar 9 tahun

Wajib Belajar 9 Tahun” yang merupakan salah satu program yang gencar
digalakkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Program ini mewajibkan
setiap warga negara untuk bersekolah selama 9 (sembilan) tahun pada jenjang pendidikan
dasar, yaitu dari tingkat kelas 1 Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga
kelas 9 Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs).

Seperti Kita ketahui bersama, Pendidikan merupakan satu aspek penting bagi
pembangunan bangsa. Karena itu, hampir semua bangsa menempatkan pembangunan
pendidikan sebagai prioritas utama dalam program pembangunan nasional. Sumber daya
manusia yang bermutu, yang merupakan produk pendidikan, merupakan kunci
keberhasilan pembangunan suatu negara.

2.2 Kapan wajib belajar 6 tahun dilaksanakan dan berakhirnya wajib belajar 6
tahun, kemudian kapan wajib belajar 9 tahun dilaksanakan.

Program ini dilatar belakangi dari munculnya Program Wajib Belajar 6 Tahun pada
tahun 1984,dan berahir nya wajib belajar 6 tahun pada tahun 1993. Kemudian pada tahun
1994 melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1994 ditingkatkan menjadi Program Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 9 Tahun. Hal ini berarti bahwa setiap anak Indonesia yang berumur
7sampai 15 tahun diwajibkan untuk mengikuti Pendidikan Dasar 9 Tahun.

Pada awalnya, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) akan menuntaskan


program wajib belajar (wajar) 9 tahun pada pendidikan dasar (SD dan SMP) paling lambat
tahun 2008. Namun ternyata Program Wajib Belajar 9 Tahun yang ditargetkan Departemen
Pendidikan Nasional diraih tahun 2008 terancam gagal. Itu semua terjadi karena masih
banyaknya kendala yang dihadapi dalam penyelenggaraannya, khususnya berkait dengan
akses pendidikan yang masih relatif rendah, serta mutunya pendidikan, dalam hal ini
mencakup tenaga kependidikan, fasilitas, pembiayaan, manajemen, proses dan prestasi
siswa masih rendah.

5
2.3 Apa saja undang-undang wajib belajar 9 tahun

Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib BelajarInstruksi Presiden


No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.

Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 036/U/1995 tentang


Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar.

Renstra Depdiknas 2005-2009, dengan mengacu pada UU Sisdiknas No 20 tahun


2003 pasal 3, menyatakan bahwa visi pendidikan nasional adalah “terwujudnya sistem
pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua
warga negara indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu
dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah”

2.4 Permasalahan Dikdas

A. Anggaran Pendidikan

Dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) secara tegas dinyatakan: "Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan
dan belanja negara serta dari anggaran dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional." Menurut definisi yang berlaku umum, anggaran
pendidikan adalah keseluruhan sumber daya baik dalam bentuk uang maupun barang, yang
menjadi input dan dimanfaatkan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan. Segenap
sumber daya tersebut bisa berupa investasi untuk pembangunan prasarana dan sarana
(gedung sekolah, ruang kelas, kantor, perpustakaan, laboratorium), biaya operasional,
penyediaan buku dan peralatan, serta gaji guru. Setiap komponen sumber daya berkaitan
langsung dengan keberlangsungan pelayanan pendidikan sehingga harus dihitung sebagai
satu kesatuan pembiayaan pendidikan.

Namun kewajiban konstitusi pemerintah untuk mengalokasikan anggaran


pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD belumlah dipenuhi sepenuhnya hingga saat
ini. Buktinya APBN Tahun 2008 yang telah disahkan pada Rapat Paripurna DPR
menetapkan alokasi anggaran pendidikan hanya 12 persen. Dalam RAPBN 2008, alokasi
untuk anggaran pendidikan hanya sebesar 12 %, jauh di bawah ketentuan UUD 1945 Pasal

6
31 ayat (4) dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa
anggaran pendidikan sebesar 20 persen. Formulasi anggaran pendidikan 20% kemudian
dirumuskan oleh Pemerintah dan DPR dalam UU 20/2003 tentang Sisdiknas, bahwa gaji
pendidik dan biaya kedinasan tidak termasuk dalam anggaran 20%, bahwa pemenuhan
amanah konstitusi dengan cara bertahap seperti dalam penjelasan pasal 49 ayat (1) UU
sisdiknas adalah tidak dibenarkan.

Kenyataannya APBN 2007 pun tidak sesuai dengan amanah konstitusi. Anggaran
pendidikan masih berada pada level 11,8%. karenanya MK dalam Putusan No. 026/PUU-
IV/2007 kembali menegaskan bahwa UU No. 18/2006 tentang APBN 2007 menyangkut
anggaran pendidikan adalah bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Pemerintah mengulangi kembali pelanggaran konstitusional
pada APBN 2008 ini. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengeluarkan
keputusan bahwa APBN 2006 dan APBN 2007 melanggar konstitusi. Jadi, dengan tidak
tercapainya anggaran pendidikan 20% berarti pemerintah dan DPR bersama-sama
mengabaikan keputusan MK.

Rupanya keputusan MK itu tidak mampu juga menggetarkan kemauan politik para
penentu kebijakan di negara ini. Pengabaian juga terjadi terhadap keputusan raker yang
telah disepakati antara Komisi X DPR RI dengan tujuh Menteri Kabinet Indonesia Bersatu,
yaitu Menko Kesra, Mendiknas, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan dan
Aparatur Negara (Menpan), Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menteri Agama, dan Menteri
Keuangan pada 4 Juli 2005 lalu telah menyepakati kenaikan anggaran pendidikan adalah
6,6% pada 2004, menjadi 9,3% (2005), menjadi 12% (2006), menjadi 14,7% (2007),
menjadi 17,4 % (2008), dan terakhir 20,1% (2009).

Sementara realisasinya, tahun 2004 anggaran pendidikan masih sekitar 5,5% dari
APBN atau sekitar Rp20,5 triliun. Dan meningkat menjadi Rp 24,6 tiriliun pada 2005.
Pada tahun 2006 pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 9,7
persen dan dalam APBN 2007 anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar 11,8
persen, Dan APBN 2008 hanya mengalokasikan 12%, nilai ini setara dengan Rp61,4 triliun
dari total nilai anggaran Rp 854,6 triliun.

B. Sarpras Pendidikan Kurang Mendukung

Peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia selain tergantung kepada kualitas


guru juga harus ditunjang dengan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai.
7
Tapi sayangnya, hingga sekarang ini, sarana dan prasarana pendidikan yang
dimiliki sebagian besar sekolah di Indonesia masih kurang memadai seperti fasiltas
laboratorium dan sebagainya. Sarana dan prasarana ini padahal sangat vital dalam kegiatan
proses belajar dan mengajar. Sebagian besar alat peraga di sekolah-sekolah masih kurang
terkontrol baik dari segi mutu, harga dan sikap pribadi para pengusaha sarana pendidikan.

C. Keprofesionalan Guru

Guru adalah ujung tombak dalam proses pendidikan. Berhasil atau tidaknya suatu
proses pendidikan serta tinggi rendahnya kualitas suatu pendidikan ditentukan salah
satunya oleh guru. Demikian pentingnya peranan seorang guru tentunya membawa pada
suatu tanggung jawab untuk menjalankan profesi tersebut dengan suatu sikap
profesionalisme yang tinggi. Dan dalam menjalankan profesinya, seorang guru tidak hanya
dituntut untuk mampu memberikan pengetahuan kepada anak didiknya, akan tetapi juga
harus mampu menanamkan suatu nilai – nilai pendidikan dengan guru sebagai modelnya.

Dalam menjalankan profesinya, seorang guru harus melakukan dua fungsi


sekaligus yaitu; fungsinya secara moral yang mana ia diharuskan membimbing anak
didiknya tidak hanya dengan kecerdasannya akan tetapi juga dengan rasa cinta, dan rasa
tanggung jawab yang tinggi. Dan juga menjalankan fungsi kedinasannya yaitu mendidik
dan membimbing para anak didiknya agar menjadi sumber daya manusia yang berkualitas
dan bermanfaat bagi pembangunan bangsa.

D. Kesejahteraan Guru Rendah

Faktor lain yang menjadi masalah dalam perkembangan Pendidikan Dasar adalah
kesejahteraan guru. Hal ini sangat berimplikasi terhadap rendahnya kinerja seorang Guru.
Dalam menyikapi masalah satu ini, banyak yang pro dan kontra terhadap masalah
“kesejahteraan” yang selama ini telah menjadi permasalahan yang belum ketemu ujung
pangkalnya. sebagai pendidik. Hendaknya dilakukan seleksi yang ketat dan profesional,
tidak hanya secara intelektual saja akan tetapi juga harus diberikan tes bakat dan minat
terhadap calon tenaga pendidik tersebut, sehingga kita dapat menciptakan tenaga – tenaga
pendidik yang mantap secara intelektual dan dedikasinya terhadap dunia pendidik. Apalagi
di era pengetahuan seperti sekarang ini, apabila permasalahan – permasalahan dalam dunia
pendidikan seperti sekarang ini belum juga dapat ditanggulangi dengan segera, maka dunia
pendidikan kita akan semakin tertinggal jauh baik secara kuantitas dan kualitasnya.

8
2.5 Tingkat keberhasilan wajib belajar 9 tahun

Pendidikan merupakan syarat utama pembangunan kapabilitas dasar manusia.


Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan modal untuk penggerak
pembangunan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan disamping Sumber
Daya Alam. Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan manusia terdidik yang
bermutu dan handal sesuai dengan kebutuhan jaman. Pendidikan merupakan elemen
penting pembangunan dan perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Bagi perempuan,
pendidikan tinggi akan memberikan dampak positif, yaitu perempuan diharapkan mampu
menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya guna untuk kepentingan
dirinya sendiri dan keluarga, membebaskan perempuan dari belenggu budaya yang
cenderung menguntungkan laki-laki, dan dapat melahirkan generasi yang lebih berkualitas.

2.6 Persfektif belajar dalam agama Islam

1. Belajar dalam pandangan Al-Qur'an dan Al-Hadith

Secara rasional semua ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui belajar. Maka,
belajar adalah ”key term” (istilah kunci) yang paling vital dalam usaha pendidikan.
Sehingga, tanpa belajar sesungguhnya tidak pernah ada pendidikan.1

Kemampuan untuk belajar merupakan sebuah karunia Allah yang mampu


membedakan manusia dangan makhluk yang lain. Allah menghadiahkan akal kepada
manusia untuk mampu belajar dan menjadi pemimpin di dunia ini.

Sebelum membahas lebih jauh tentang apa yang dimaksud dengan teori belajar
dalam perspektif Islam. Maka menarik kiranya, bahkan dianggap perlu sekali untuk
mengetahui akan makna tentang teori belajar terlebih dahulu. Teori adalah seperangkat
konsep, asumsi, dan generalisasi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan dan
menjelaskan perilaku dalam berbagai organisasi.2 Belajar adalah perubahan tingkah laku
yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungannya. 3

Maka teori belajar dapat dipahami sebagai kumpulan prinsip umum yang saling
berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan
dengan peristiwa belajar. Jadi, teori belajar dalam Islam artinya kumpulan penjelasan
tentang prinsip-prinsip yang berkaitan dengan peristiwa belajar yang bersumber dari al-
Qur’an dan al-Hadith serta khazanah pemikiran intelektual Islam.

Pendapat yang mengatakan bahwa belajar sebagai aktifitas yang tidak dapat dipisah
dari kehidupan manusia, ternyata bukan berasal dari hasil renungan manusia semata.
1
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), Cet.3, hlm.59
2
Sugiyono, Metode Penelitian Adminstrasi (Bandung: Alfabeta, 1994), cet. 11, hlm. 55 .
3
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), Cet.3, hlm. 68
9
Ajaran agama sebagai pedoman hidup manusia juga menganjurkan manusia untuk selalu
malakukan kegiatan belajar. Dalam AlQur’an, kata al-ilm dan turunannya berulang
sebanyak 780 kali. Seperti yang termaktub dalam wahyu yang pertama turun kepada
baginda Rasulullah SAW yakni Al-‘Alaq ayat 1-5.

Ayat ini menjadi bukti bahwa al-Qur’an memandang bahwa aktifitas belajar
merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Kegiatan belajar dapat
berupa menyampaikan, menelaah, mencari, dan mengkaji, serta meneliti. Selain al-Qur’an,
al-Hadith juga banyak menerangkan tentang pentingnya menuntut ilmu. Misalnya beberapa
hadist berikut ini, “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim; carilah ilmu sejak dalam
buaian hingga ke liang lahat; para ulama itu pewaris Nabi; pada hari kiamat ditimbanglah
tinta ulama dengan dara syuhada, maka tinta ulama dilebihkan dari ulama”

Belajar memiliki tiga arti penting menurut Al-Qur’an. Pertama, bahwa orang yang
belajar akan mendapatkan ilmu yang dapa digunakan untuk memecahkan segala masalah
yang dihadapinya di kehidupan dunia. Kedua, manusia dapat mengetahui dan memahami
apa yang dilakukannya karena Allah sangat membenci orang yang tidak memiliki
pengetahuan akan apa yang dilakukannya karena setiap apa yang diperbuat akan dimintai
pertanggungjawabannya. Ketiga, dengan ilmu yang dimilikinya, mampu mengangkat
derajatnya di mata Allah.4

Belajar merupakan kebutuhan dan berperan penting dalam kehidupan manusia. Hal
ini disebabkan manusia terlahir tidak mengetahui apa-apa, ia hanya dibekali potensi
jasmaniah dan rohaniah (QS. An-Nahl:78). Maka sangat beralasan jika mengapa dan
bagaimana manusia itu dipengaruhi oleh bagaimana ia belajar.5

2. Unsur-unsur belajar

Sebagaimana penjelasan di dalam surat al-Alaq (1-5), bahwa proses belajar


mengajar itu tidak lepas dari dua komponen penting, yaitu membaca dan menulis. Perintah
pertama kali yang dikemukakan Allah Swt untuk manusia adalah ‘’Iqra’’. Di dalam bahasa
Arab, Iqra berarti perintah membaca ‘’bacalah’’.

Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini bukan sekedar


menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak akan diperoleh kecuali mengulang-
ngulang bacaan atau membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal
kemampuan. Tetapi hal itu mengisyaratkan mengulang-ulang bacaan bismi Robbik akan
menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru.6

Membaca dalam tradisi Arab merupakan pintu pengetahun pertama untuk


mendapatkan ilmu dan informasi. Di dalam al-Qur’an, Allah Swt menjelaskan, (QS. Al-
Isra’ (17:36). Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya. Di sini, Allah Saw mendahulukan ‘’telingga’’ sebagai sarana

4
http://fisikaumm.blogspot.com
5
William Berkson, John Wettersten, Psikologi Belajar dan Filsafat Ilmu Karl Popper. Terjemahan oleh Ali
Noer Zaman (Yogyakarta: Qalam, 2003), hlm.v.
6
http://www.asrori.com/2011/10/belajar-dalam-pandangan-alquran-dan.html
10
untuk mendengar semua informasi. Berarti di dalam proses belajar mengajar, seorang
murid (peserta didik) diharuskan hadir di dalam kelas, memasang telingga lebar-lebar.
Agar supaya semua ilmu dan informasi yang di dengar bisa di simpan di dalam otak
dengan baik dan sempurna. Selanjutnya, menggunakan ‘’mata’’ untuk melihat melihat dan
tangan untuk mencatat setiap apa yang disampaikan oleh guru.7

Pendidikan merupakan sarana atau media yang akan menghantarkan manusia pada
tujuan. Sedangkan, pendidikan sendiri dalam prosesnya memerlukan alat, yaitu proses
pengajaran atau ta’lim.8

Setidaknya ada dua unsur utama dalam proses belajar mengajar atau pendidikan,
yang memainkan peran sebagai organisme yang akan berproses dan pembimbing atau
pengarah. Dua unsur tersebut lebih dikenal dengan sebutan “peserta didik” dan “guru”
(pendidik).9

Namun belajar menurut Robert Gagne, merupakan sebuah sistem yang di dalamnya
terdapat berbagai unsur yang saling terkait sehingga menghasilkan perubahan perilaku.
Beberapa unsur dimaksud adalah sebagai berikut:

a). Pembelajar
Pembelajar dapat berupa peserta didik, pembelajar, warga belajar, dan peserta
latihan.
b). Rangsangan (stimulus)
Peristiwa yang merangsang penginderaan pembelajaran disebut situasi stimulus.
Agar pembelajar mampu belajar optimal, ia harus memfokuskan pada stimulus
tertentu yang diminati.
c). Memori
Memori pembelajar berisi berbagai kemampuan yang berupa pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang dihasilkan dari aktivitas belajar sebelumnya.
d). Respon
Tindakan yang dihasilkan dari aktualisasi memori disebut respon. Pembelajar yang
sedang mengamati stimulus, maka memori yang ada di dalam dirinya kemudian
memberikan respon terhadap stimulus tersebut.10

3. Konsep belajar menurut para pakar pendidikan Islam

7
http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/10/model-ideal-belajar-menurut-al-qur’an.
8
Abidin Ibnu Rusn. 2009. Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm 61
9
Umiarso & Zamroni. Pendidikan Pembesan dalam Perspektif Barat dan Timur (Yogyakarta: AR-RUZZ
MEDIA, 2011) Hlm. 82
10
http://mbegedut.blogspot.com/2011/02/unsur-unsur-belajar-menurut-robert.html
11
Beberapa tokoh yang dipilih dalam makalah ini merupakan beberapa ulama yang
mempunyai andil dan konsep dalam dunia pendidikan. Pada abad klasik seperti Ibn
Maskawaih, Al-Qabisi, Al-Mawardi, Ibn Sina, dan al-Ghazali. Sedangkan tokoh yang
berasal dari abad pertengahan diwakili oleh Burhanuddin az-Zarnuji.

Hal ini memang belum mewakili seluruh tokoh pendidikan Islam secara
keseluruhan, karena pertimbangan kesulitan mengklasifikasikan ulama terdahulu yang
multidisipliner dalam bidang pakar keilmuan. Di samping itu, ulasan tentang konsep dan
pemikiran dalam konteks pendidikan yang diuraikan oleh beberapa tokoh di atas, tidak
begitu detail dalam makalah ini, karena adanya keterbatasan ruang dan waktu.

a. Ibn Maskawaih

Titik tekan pemikiran Ibn Maskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu
yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Tujuan pendidikan akhlak yang
dirumuskan Ibn Maskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong
secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang terpuji, sehingga mencapai
kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan hidup.

Kedua aspek dalam dunia pendidikan (pendidik dan anak didik), hubungan
keduanya menjadi perhatian khusus Ibn Maskawaih. Menurutnya, kecintaan anak didik ke
gurunya harus melebihi kecintaan terhadap orang tuanya sendiri. Kecintaan anak didik
terhadap gurunya disamakan dengan kecintaan terhadap tuhannya. Namun karena
kecintaan terhadap tuhan tidak boleh disamakan dengan yang lain, maka kecintaan murid
terhadap gurunya berada di antara kecintaan terhadap orang tua dan kecintaan terhadap
tuhannya.

Menurut keyakinan Ibn Maskawaih, bahwasanya akhlak seseorang itu tidaklah


merupakan bawaan atau warisan dari kedua orang tuanya. Untuk itu, pendidikan yang
diajarkan oleh seorang guru dapat menjadikan anak berakhlak mulia. Terdapat beberapa
metode yang diajukan oleh Ibn Maskawaih dalam mencapai akhlak yang baik. Pertama,
adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus-menerus dan menahan diri
untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya. Kedua, dengan
menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain yang baik dan luhur sebagai
cermin bagi dirinya. 11

b. Al-Qabisi

Al-Qabisi memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anak.


Menurutnya bahwa mendidik anak-anak merupakan upaya amat strategis dalam rangka
menjaga keberlangsungan bangsa dan negara. Oleh karena itu, pendidikan anak harus
dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan ketekunan yang tinggi. Al-Qabisi juga
menghendaki agar pendidikan dan pengajaran dapat menumbuhkembangkan pribadi anak
sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar.

11
Abuddin Nata. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000) hlm. 6-23
12
Untuk itu, Al-Qabisi membagi kurikulum ke dalam dua bagian. Pertama, kurikulum
ijbari. Kurikulum ini berisi tentang kandungan yang berhubungan dengan al-Qur’an.
Kedua, kurikulum ikhtiyari. Kurikulum ini berisi ilmu hitung dan seluruh ilmu nahwu,
bahasa Arab, sya’ir, kisah-kisah masyarakat Arab, sejarah Islam dan lain sebagainya.

Selain membicarakan kurikulum, Al-Qabisi juga berbicara tentang metode dan


teknik mempelajari mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum itu. Ia misalnya telah
berbicara mengenai teknik dan langkah-langkah menghafal al-Qur’an dan belajar menulis.
Bahkan menurutnya, seorang pelajar itu membutuhkan istirahat siang hari. Hal ini sesuai
dengan konsep pendidikan modern yang memberikan waktu istirahat sebagai waktu yang
amat penting untuk menyegarkan kemampuan berpikir seseorang.12

c. Al-Mawardi

Pemikiran Al-Mawardi dalam bidang pendidikan sebagian besar terkonsentrasi


pada masalah etika hubungan murid dalam proses belajar mengajar. Al-Mawardi
memandang penting seorang guru memiliki sikap tawadlu’ (rendah hati) serta menjauhi
sikap ujub (besar kepala). Menurutnya, sikap tawadlu’ akan menimbulkan simpatik dari
para anak didik, sedangkan sikap ujub akan menyebabkan guru tidak disenangi.

Al-Mawardi melarang seseorang mengajar dan mendidik atas dasar motif ekonomi.
Akan tetapi menurutnya, seorang guru seharusnya selalu memiliki keikhlasan dan
kesadaran akan pentingnya tugas, sehingga dengan kesadaran tersebut, ia akan terdorong
untuk mencapai hasil yang maksimal.13

d. Ibn Sina

Tujuan pendidikan menurut Ibn Sina harus diarahkan kepada pengembangan


seluruh potensi yang dimiliki seseorang kea rah perkembangannya yang sempurna, yaitu
perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Ibn Sina mengatakan bahwa guru yang
baik adalah guru yang berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap
dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main di
hadapan muridnya, tidak bermuka musam, sopan santun, bersih dan suci murni.

Cara mengajar menurut Ibn Sina, yaitu dengan metode talqin. Metode ini biasanya
digunakan untuk mengajarkan membaca al-Qur’an. Cara seperti ini dalam ilmu pendidikan
modern dikenal dengan nama tutor sebaya, sebagaimana dikenal dalam pengajaran dengan
modul.14

e. Al-Ghazali

Dalam pemahaman al-Ghazali, pendekatan belajar dalam mencari ilmu dapat


dilakukan dengan melakukan dua pendekatan, yakni ta’lim insani dan ta’lim rabbani.
Ta’lim insani adalah belajar dengan bimbingan manusia. Pendekatan ini merupakan hal

12
Ibid, hlm 26-34
13
Ibid. hlm 49-53
14
Ibid, hlm 67-77
13
yang lazim dilakukani oleh manusia dan biasanya menggunakan alat indrawi yang diakui
oleh orang yang berakal. Menurut Al-Ghazali, dalam proses belajar mengajar sebenarnya
terjadi eksplorasi pengetahuan sehingga menghasilkan perubahan-perubahan perilaku.15

Titik tekan pendidikan menurut al-Ghazali terletak pada pendidikan agama dan
moral. Untuk itu, syarat menjadi guru menurut al-Ghazali, selain cerdas dan sempurna
akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia
dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang
baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia
dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.16

e. Al-Zarnuji

Menurut al-Zarnuji, belajar bernilai ibadah dan mengantarkan seseorang untuk


memperoleh kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Karenanya, belajar harus diniati untuk
mencari ridha Allah, kebahagiaan akhirat, mengembangkan dan melestarikan Islam,
mensyukuri nikmat akal, dan menghilangkan kebodohan. Dimensi duniawi yang dimaksud
adalah sejalan dengan konsep pemikiran para ahli pendidikan, yakni menekankan bahwa
proses belajar-mengajar hendaknya mampu menghasilkan ilmu yang berupa kemampuan
pada tiga ranah yang menjadi tujuan pendidikan/ pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif,
maupun psikomotorik.

Adapun dimensi ukhrawi, Al-Zarnuji menekankan agar belajar adalah proses untuk
mendapat ilmu, hendaknya diniati untuk beribadah. Artinya, belajar sebagai manifestasi
perwujudan rasa syukur manusia sebagai seorang hamba kepada Allah SWT yang telah
mengaruniakan akal. Lebih dari itu, hasil dari proses belajar-mengajar yang berupa ilmu
(kemampuan dalam tiga ranah tersebut), hendaknya dapat diamalkan dan dimanfaatkan
sebaik mungkin untuk kemaslahatan diri dan manusia. Buah ilmu adalah amal.
Pengamalan serta pemanfaatan ilmu hendaknya dalam koridor keridhaan Allah, yakni
untuk mengembangkan dan melestarikan agama Islam dan menghilangkan kebodohan,
baik pada dirinya maupun orang lain. Inilah buah dari ilmu yang menurut al-Zarnuji akan
dapat menghantarkan kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat kelak.

Dalam konteks ini, para pakar pendidikan Islam termasuk al-Zarnuji mengatakan
bahwa para guru harus memiliki perangai yang terpuji. Guru disyaratkan memiliki sifat
wara’ (meninggalkan hal-hal yang terlarang), memiliki kompetensi (kemampuan)
dibanding muridnya, dan berumur (lebih tua usianya). Di samping itu, al-Zarnuji
menekankan pada “kedewasaan” (baik ilmu maupun umur) seorang guru. Hal ini senada
dengan pernyataan Abu Hanifah ketika bertemu Hammad, seraya berkata: “Aku dapati
Hammad sudah tua, berwibawa, santun, dan penyabar. Maka aku menetap di sampingnya,
dan akupun tumbuh dan berkembang.17

15
http://fisikaumm.blogspot.com
16
Abuddin Nata. Ibid hlm 94-96
17
http://fisikaumm.blogspot.com
14
BAB III KESIMPULAN

1. Wajib belajar 9 tahun yang merupakan salah satu program yang gencar digalakkan
oleh Departemen Pendidikan Nasional.
2. Peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia selain tergantung kepada kualitas
guru juga harus ditunjang dengan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai.
3. Pendidikan merupakan syarat utama pembangunan kapabilitas dasar manusia
4. Penulis dapat mengetahui tentang wajib belajar 9 tahun.
5. Penulis dapat mengetahui undang – undang yang berkaitan denagn pendidikan.
6. Bahwa agama Islam benar-benar memperhatikan betapa pentingnya ilmu
pengetahuan serta urgensi mempelajari ilmu pengetahuan tersebut. Hal ini banyak
dibicarakan di dalam al-Qur’an dan al-Hadith. Bahkan di dalam ajaran agama Islam
diyakini bahwasanya, orang yang belajar akan memiliki ilmu yang nantinya akan
berguna untuk kepentingan hidup di dunia, serta bekal untuk keberhasilan hidup di
akhirat kelak.
7. Dalam dunia belajar-mengajar, tentunya tidak bisa dilepaskan dari dua unsur
penting, yaitu pendidik dan anak didik. Para pakar pendidikan Islam sepakat bahwa
titik tekan pendidikan prioritas yang diberikan kepada anak didik adalah pendidikan
agama dan akhlak. Karena demi suksesi pendidikan akhlak inilah, maka pendidik,
mau tidak mau, harus member contoh akhlak yang baik pula, agar bisa diteladani
oleh anak didiknya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Balitbang Departemen Pendidikan Nasional: Proyeksi Guru Tahun 2003/2004 - 2009/2010.


Jakarta : Batitbang, Depdiknas, 2004

Proyeksi Pendidikan Tahun 2003/2004 - 2009/2010. Jakarta Balitbang, Depdiknas, 2004

Wahjoetomo, Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Gramedia Widiasarana. Jakarta.


1993.

Prof. Dr. Waini Rasyidin. Landasan Filosofis Pendidikan Dasar. www.google.com

Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor : 01 Kep./ Menko /


Kesra / I /1991 tentang Tim Koordinasi Wajib Belajar Pendidikan Dasar.

RPP tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta : Balitbang, Depdiknas, 2005

RPP tentang Pendidikan Dasar Menengah. Jakarta : Balitbang, Depdiknas, 2005

RPP tentang Badan Hukum Pendidikan. Jakarta : Balitbang, Depdiknas, 2005

RPP tentang Wajib Belajar. Jakarta : Balitbang, Depdiknas, 2005

Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), Cet.3, hlm

Sugiyono, Metode Penelitian Adminstrasi (Bandung: Alfabeta, 1994), cet. 11, hlm. 55.

Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), Cet.3, hlm.
68

http://fisikaumm.blogspot.com

William Berkson, John Wettersten, Psikologi Belajar dan Filsafat Ilmu Karl Popper.
Terjemahan oleh Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Qalam, 2003), hlm.v.

http://www.asrori.com/2011/10/belajar-dalam-pandangan-alquran-dan.html

http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/10/model-ideal-belajar-menurut-al-qur’an.

Abidin Ibnu Rusn. 2009. Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Hlm 61

Umiarso & Zamroni. Pendidikan Pembesan dalam Perspektif Barat dan Timur
(Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2011) Hlm. 82

16
http://mbegedut.blogspot.com/2011/02/unsur-unsur-belajar-menurut-robert.html

Abuddin Nata. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000) hlm. 6-23

http://fisikaumm.blogspot.com

Abuddin Nata. Ibid hlm 94-96

http://fisikaumm.blogspot.com

17

Anda mungkin juga menyukai