MANIFAS ZUBAYR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN
MENGENAI DISERTASI, SUMBER INFORMASI
DAN PELIMPAHAN HAK CIPTA
Manifas Zubayr
E161090051
RINGKASAN
MANIFAS ZUBAYR. Implementasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan
untuk Pertambangan: Perspektif Hubungan Principal-Agent. Dibimbing oleh
DUDUNG DARUSMAN, BRAMASTO NUGROHO, dan DODIK RIDHO
NURROCHMAT.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGGUNAAN
KAWASAN HUTAN UNTUK PERTAMBANGAN:
Perspektif Hubungan Principal-Agent
MANIFAS ZUBAYR
Disertasi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor
pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, M.Sc
Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S
Dr. Ir. Iman Santoso, M.Sc
Judul Penelitian : Implementasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan untuk
Pertambangan: Perspektif Hubungan Principal-Agent
Nama : Manifas Zubayr
NRP : E161090051
Mayor : Ilmu Pengelolaan Hutan
Disetujui :
Komisi Pembimbing
Prof Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M.S Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc
Anggota Anggota
Diketahui :
Prof. Dr. Ir. Hardjanto, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Manifas Zubayr
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Kerangka Pemikiran 4
Rumusan Masalah 9
Tujuan Penelitian 10
Manfaat Penelitian 10
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian 10
Kebaruan 12
Metode Umum Penelitian 14
Pendekatan Penelitian 14
Metode Pengumpulan Data 16
Metode Pengambilan Contoh 19
Verifikasi dan Validasi 20
Jenis dan Sumber Data 24
Insturment Penelitian 25
Metode Analisis 63
Analisis Implemetasi Kebijakan 63
Analisis Respon 66
Analisis Kesenjangan Kebijakan (Analsis Asumsi) 68
i
Hasil dan Pembahasan 70
Ketepatan Kebijakan dan Implementasinya 70
1. Ketepatan Kebijakan 70
2. Ketepatan Pelaksanaan 73
3. Ketepatan Target 73
4. Ketepatan Lingkungan 75
5. Ketepatan Proses 77
6. Dukungan Faktor Lain 77
Respon Perusahaan Tambang 80
1. Pemeliharaan dan Pengamanan Batas Kawasan Hutan 82
2. Pengamanan dan Perlindungan Kawasan Hutan 83
3. Pembayaran PNBP 84
4. Reklamasi dan Revegetasi 88
5. Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai 91
6. Penyerahan Laporan Periodik 93
Asumsi Kebijakan 94
Analisis Asumsi (Gap Analysis) 97
Isu-isu dalam Implementasi Kebijakan dan Arah Kebijakan PKH 98
Simpulan 104
LAMPIRAN 185
iii
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
vi
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
pemerintah dan para pemilik modal. Namun, yang menjadi korban dari kebijakan
pengelolaan hutan yang bercorak eksploitatif, sentralistik, represif dan
sektoral adalah masyarakat yang tinggal di sekitar hutan (Reppeto dan Gillis
1988).
Kerusakan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya hutan, bukan hanya
mendatangkan kemunduran kegiatan ekonomi, namun dan bahkan telah
menghilangkan kehidupan suatu komunitas masyarakat, suku dan bangsa tertentu.
Diamond (2005) menelaah kegagalan dan keberhasilan kehidupan suku, bangsa,
perusahaan, dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam di beberapa negara.
Salah satu pelajaran yang dapat ditarik dari telaah Diamond (2005) tersebut adalah
pentingnya mengubah arah kebijakan secara mendasar dari bangsa-bangsa di
dunia untuk menghindari masalah-masalah besar yang dihadapi, khususnya akibat
kerusakan sumberdaya alam.
Sudah banyak masalah yang diungkap sebagai penyebab kerusakan hutan.
Sintesis hasil sejumlah diskusi oleh alumni Fakultas Kehutanan IPB,
menunjukkan beberapa penyebab kerusakan hutan, yaitu; (1) belum sinkronnya
peraturan perundang-undangan, (2) lemahnya kapasitas dan peran instansi
pemerintah (pusat maupun daerah) yang menyebabkan lemahnya kebijakan
maupun implementasinya, serta menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi transaksi
atau hubungan struktural antara pemerintah dengan masyarakat (termasuk dunia
usaha), (3) kedua hal tersebut menyebabkan tidak tertanganinya konflik sosial dan
mudahnya kawasan hutan negara menjadi sumber daya yang memiliki akses
terbuka (open access resources), serta (4) besarnya hambatan untuk melakukan
sinkronisasi kebijakan-meskipun sudah banyak sekali rekomendasi untuk itu-
akibat perbedaan persepsi dan tingginya konflik kepentingan (Kartodihardjo dan
Sudomo 2008).
Kartodihardjo (2006a) menyatakan bahwa perubahan orientasi kebijakan
dapat dilakukan hanya apabila suatu fenomena tertentu yang dihadapi oleh suatu
negara dapat dipahami dari berbagai sudut pandang secara komprehensif.
Disamping itu, perubahan nilai-nilai (values) yang digunakan juga mempunyai
peran penting. Seringkali upaya perubahan kelembagaan – dalam hal ini adalah
aturan main dan instrumennya – tidak diikuti oleh pembaruan landasan filosofi
dan kerangka pikir yang digunakan. Akibatnya peraturan bertambah, lembaga
bertambah, nama lembaga seringkali diubah, tetapi tipe kebijakan yang dijalankan
tidak berubah, sehingga tidak pula mengubah kinerja di lapangan.
Di lain pihak, paradigma pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya
mineral (bahan tambang) yang bercorak sentralistik, berpusat pada negara (state
base resources management) menempatkan pemerintah pada posisi yang sangat
powerfull untuk menggunakannya dengan dalih mengejar target pertumbuhan
ekonomi (economic growth), demi peningkatan pendapatan dan devisa negara
(state revenue). Konsekuensi paradigma semacam itu, dalam tiga dekade terakhir
ini adalah; pertama, daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral justru menjadi
daerah pengurasan (massive backwash effect) oleh pemerintah pusat, sehingga
kekayaan sumberdaya mineral justru telah memiskinkan sebuah wilayah. Kedua,
hampir semua lokasi industri pertambangan di dunia merupakan tempat tinggal
masyarakat adat/komunal/lokal (Malanuang 2002).
Siapapun tidak dapat menafikan bahwa tuntutan ekonomi negara dan
masyarakat semakin kompleks dari industri hilir yang berbahan baku mineral.
3
Demikian pula dengan konsistensi kebijakan pemerintah yang selama ini telah
berjalan di sektor pertambangan. Pemerintah berupaya untuk memenuhi
kebutuhan tersebut dengan konsistensi kebijakan pemerintah yang selama ini telah
berjalan di sektor pertambangan.
Mencermati kehatian-hatian pemerhati lingkungan dan upaya pemerintah
membangun kesejahteraan, maka sudah semestinya semua pihak duduk bersama
untuk memikirkan dan merumuskan kebijakan pengelolaan SDA. Dalam kaitan
ini, perbedaan pandangan justru harus menciptakan ―keterpaduan‖ untuk
mengelola SDA secara bijaksana dan terukur sebagaimana prinsip ekosistem.
Untuk mengakomodir konflik kepentingan terhadap pengelolaan SDA,
khususnya antara kepentingan pengelolaan sumber daya hutan dan pemanfaatan
hasil pertambangan, pemerintah telah menyusun kebijakan penggunaan kawasan
hutan (PKH) yang pada intinya mengizinkan adanya kegiatan pertambangan di
dalam kawasan hutan. Seiring dengan hal tersebut, pemerintah juga merumuskan
kebijakan-kebijakan baru atau mengubah dan/atau menyesuaikan kebijakan lama
untuk mengakomodir berbagai tuntutan dan perkembangan kebijakan lain di
sektor kehutanan.
Kebijakan PKH tersebut dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan, baik undang-undang, peraturan presiden, instruksi presiden, peraturan
pemerintah hingga peraturan menteri sebagai peraturan teknis pelaksanaan. Pada
intinya, peraturan perundang-undangan tersebut mengatur operasionalisasi
kegiatan di luar sektor kehutanan di dalam kawasan hutan dalam mekanisme izin
pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).
Sampai saat ini, Kementerian Kehutanan telah menerbitkan izin
penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan sebanyak 1.262 unit,
dengan luasan 3.392.898,87 hektar dengan rincian sebagaimana tabel berikut ini:
Tabel 1 Perkembangan izin penggunaan kawasan hutan (PKH) untuk kegiatan
pertambangan1
Tahapan Kegiatan Unit Luas (Ha) Jenis Komoditi
Izin kegiatan penyelidikan 586 3.109.550,72 Migas, logam mulia,
umum/survei dan eksplorasi mineral logam lain, batu
mulia, batubara, bahan
Pinjam pakai kawasan hutan untuk 487 432.193,10 galian C, panas bumi,
kegiatan eksploitasi jalan pertambangan
Jumlah 1.073 3.541.743,82
Kebijakan PKH telah berumur 36 tahun2, namun hingga saat ini belum ada
kajian tentang kebijakan tersebut baik perumusan maupun implementasinya.
Penelitian ini dimaksudkan untuk membedah proses perkembangan, perumusan
dan implementasinya dalam perspektif hubungan antara pemerintah sebagai
1
Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan. 2014. Data dan informasi izin pinjam pakai kawasan
hutan Maret 2014. diakses di http://ppkh.dephut.go.id/index.php/pages/post_publikasi/post/24
pada tanggal 23 Juni 2014
2
Peraturan tentang pinjam pakai kawasan hutan pertama kali diterbitkan adalah berdasarkan Surat
Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 64/Kpts/DJ/I/1978 tentang Pedoman Pinjam
Pakai Tanah Kawasan Hutan
4
Kerangka Pemikiran
oleh prinsipal umumnya sangat terbatas. Pada kondisi demikian, maka prinsipal
menghadapi dua risiko yaitu risiko salah memilih agen yang sesuai dengan
keinginan (adverse selection of risk) pada ex ante (sebelum kontrak dibuat) dan
resiko agen ingkar janji (moral hazard) pada ex post (setelah kontrak disepakati).
Semakin tidak sepadan informasi, kekuasaan dan endowment yang dimiliki oleh
para pihak yang mengadakan pertukaran, biaya transaksi ini akan semakin besar.
Sementara itu menurut Ostrom et al (1993), teori dan konsep biaya
transaksi menyatakan bahwa pada prinsipnya situasi biaya transaksi tinggi yang
terjadi akan menyebabkan perilaku moral hazard dari para pihak yang terlibat.
Perilaku moral hazard dalam pengelolaan hutan yaitu bentuk perilaku opurtunistis
atau free riding, antara lain terdiri dari perilaku sub optimal, melalaikan/malas
(shirking) dan pencarian rente (rent seeking) dan korupsi (corruption).
Apabila biaya transaksi dalam pemenuhan kewajiban IPPKH sangat tinggi,
maka moral hazard seperti yang dikhawatirkan Ostrom et al (1993) kemungkinan
besar akan terjadi. Akibatnya adalah tidak dilaksanakannya sebagian atau bahkan
seluruh kewajiban yang dipersyaratkan dalam IPPKH, sehingga tujuan kebijakan
PKH tidak akan tercapai. Oleh karena itu perlu dikaji teks kebijakan PKH dan
implementasinya dengan monitoring dan evaluasi yang benar dan ketat.
8
SITUASI
POTENSI PENGELOLAAN
SUMBER DAYA OPEN ACCESS SUMBERDAYA
TAMBANG HUTAN
EGOSEKTORAL
STRUKTUR
UUD 1945
PASAL 33 AYAT 3
ANALISIS
UU Nomor 41 Kawasan Tumpang Wilayah UU Nomor 4 PERATURAN
Tahun 1999 Hutan Tindih Pertambangan Tahun 2009 PERUNDANG-
UNDANGAN
KEBIJAKAN
PENGGUNAAN
PRINCIPAL AGENT ANALISIS
KAWASAN HUTAN
AB KEAGENAN
KEWAJIBAN- ENT
LEMBAGA KEWAJIBAN ANALISIS PARA
PARA PIHAK
PEMERINTAH PENGGUNAAN PIHAK
KAWASAN HUTAN
REHABILITASI DAS,
PEMULIHAN : PENERIMAAN NEGARA PERLINDUNGAN
PEMBERDAYAAN ANALISIS BIAYA
REKLAMASI, BUKAN PAJAK ATAU DAN PENGAMANAN
MASYARAKAT DI TRANSAKSI
REVEGETASI, LAHAN KOMPENSASI DAN LAIN-LAIN
SEKITAR HUTAN
ANALISIS GAP
(ANALISIS
PERILAKU ASUMSI)
LEMAHNYA
BERPIKIR JANGKA
RENDAHNYA KONTROL DAN
PENDEK, SELF MORAL HAZARD ANALISIS RESPON
KOMITMEN PENEGAKAN
INTEREST
HUKUM
KINERJA
DEGRADASI ANALISIS
BIAYA TRANSAKSI INGKAR SUMBERDAYA
KONTRAK IMPLEMENTASI
TINGGI HUTAN
Rumusan Masalah
3
Di dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 tentang pedoman pinjam pakai
kawasan hutan disebutkan ketentuan kegiatan monitoring dan evaluasi untuk perpanjangan izin
dengan biaya yang dibebankan kepada pemegang izin. Namun dalam peraturan-peraturan
selanjutnya hal itu tidak di atur. Baru pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 43/Menhut-
II/2008 diatur tentang kewajiban monitoring sekurang-kurangnya sekali dalam setahun dan dan
evaluasi sekurang-kurangnya sekali dalam 5 tahun dengan biaya dibebankan kepada pemegang
izin. Pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 keweajiban monitoring
dan evaluasi masih sama namun dengan biaya yang ditanggung oleh pemerintah.
10
Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah memberikan saran dan masukan
dalam perumusan/perbaikan kebijakan PKH. Sedangkan tujuan antaranya adalah:
1. Mengetahui implementasi kebijakan PKH.
2. Mengidentifikasi hambatan-hambatan, aktor dan para pihak serta peranannya
dalam implementasi kebijakan PKH.
3. Memahami hubungan antara pemerintah (prinsipal) dengan pemegang IPPKH
(agen) dan permasalahn-permasalahannya
Manfaat Penelitian
Selain dimanfaatkan hasil hutannya, baik itu hasil hutan kayu, hasil hutan
non kayu maupun jasa lingkungannya, hutan juga banyak sekali digunakan untuk
keperlukan di luar sektor kehutanan untuk kepentingan pembangunan. Dalam
Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999, penggunaan kawasan hutan
mengakomodasi kepentingan-kepentingan berbagai pihak di luar sektor kehutanan
seperti pertambangan, perhubungan, pertahanan dan keamanan, religi,
ketenagalistrikan, pengairan, telekomunikasi. Sedangkan dalam kajian penelitian
11
Kontrol
Kebijakan
Penerimaan
Analisis dan Adopsi Monitoring Evaluasi
Kebijaka Kebijakan Kebijakan Kebijakan
n
PROSES IMPLEMTENTASI
DISKURSUS/ PERUMUSAN TEKS DAN IMPLIKASI EVALUASI
NARASI KEBIJAKAN PKH KEBIJAKAN PKH KEBIJAKAN PKH KEBIJAKAN PKH
Gambar 2 Bagan alir posisi dan ruang lingkup implementasi kebijakan penggunaan
kawasan hutan (PKH) untuk kegiatan pertambangan
Kebaruan
penelitian dalam tataran teknis, baik teknis pertambangan dan pasca tambang,
keruangan, maupun dampak sosial dan ekonomi.
Sedangkan pencarian materi dan fokus penelitian yang sama pada jurnal
internasional berdasarkan review hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan di
Global Policy, Journal of Analysis Policy and Management, Forest Policy and
Economics, Policy Studies Journal, Policy and Society, Environmental Policy and
Governance, Global Environment Change, Land Use Policy, Forest Ecology and
Management, Journal of Forest Economic, Forest Ecosystem, penelusuran online
pada website ScienceDirect4, ProQuest5, Wiley Online Library6 serta perpustakaan
IPB, belum ditemukan riset mengenai analisis kebijakan PKH untuk kegiatan
pertambangan, dengan pendekatan ilmu kelembagaan khususnya teori P-A.
Ketiga, proses penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
ilmiah. Metode deskriptif kualitatif dipilih sesuai dengan tujuan penelitian yaitu
4
Pencarian dilakukan selama penyusunan proposal dan penulisan disertasi penelitian melalui
http://www.sciencedirect.com/ pada tanggal 24 April 2013
5
Pencarian dilakukan selama penyusunan proposal dan penulisan disertasi penelitian melalui
http://search.proquest.com/sessionexpired/ pada tanggal 27 April 2013
6
Pencarian dilakukan selama penyusunan proposal dan penulisan disertasi penelitian melalui
http://onlinelibrary.wiley.com/ pada tanggal 29 April 2013
14
memahami fenomena sosial dengan mengambil studi kasus kebijakan PKH yang
khusus pada kegiatan di sektor pertambangan.
Penelitian ini merupakan kajian dalam ranah ilmu-ilmu sosial dengan teori
kelembagaan (institutional theory) sebagai landasan ilmu utamanya. Dalam
konteks kelimuan tersebut, kebaruan dalam kajian ini adalah menambah variasi
dan melengkapi perspektif hubungan P-A dalam institutional study.
Pendekatan Penelitian
memahami sebuah kasus tertentu. Jenis ini ditempuh bukan karena suatu kasus
mewakili kasus-kasus lain atau karena menggambarkan sifat atau problem
tertentu, namun karena dalam seluruh aspek kekhususan dan kesederhanaannya,
kasus itu sendiri menarik minat. Untuk sementara waktu seorang peneliti dalam
melakukan penelitian jenis ini mengabaikan rasa keingintahuan terhadap hal-hal
lain agar kasusnya dapat memunculkan kisah uniknya sendiri (Stake 2009)
Penelitian studi kasus akan kurang kedalamannya bilamana hanya
dipusatkan pada fase tertentu saja atau salah satu aspek tertentu sebelum
memperoleh gambaran umum tentang kasus tersebut. Sebaliknya studi kasus akan
kehilangan artinya kalau hanya ditujukan sekedar untuk memperoleh gambaran
umum namun tanpa menemukan sesuatu atau beberapa aspek khusus yang perlu
dipelajari secara intensif dan mendalam. Disamping itu, studi kasus yang baik
harus dilakukan secara langsung dalam kehidupan sebenarnya dari kasus yang
diselidiki. Walaupun demikian, data studi kasus dapat diperoleh tidak saja dari
kasus yang diteliti, tetapi juga dapat diperoleh dari semua pihak yang mengetahui
dan mengenal kasus tersebut dengan baik. Dengan kata lain, data dalam studi
kasus dapat diperoleh dari berbagai sumber namun terbatas dalam kasus yang
akan diteliti tersebut
Penelitian ini merupakan eksplorasi dalam ranah telaah kebijakan (policy
analysis) terkait penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan. Salah satu
esensi analisis kebijakan menurut Dunn (2003) adalah menggali dan
mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Sedangkan
untuk memahami isi kebijakan penggunaan kawasan hutan (PKH) untuk
kepentingan kegiatan pertambangan, dilakukan analisis terhadap sejumlah
peraturan-perundangan. Ketepatan isi kebijakan ditentukan oleh masalah
kebijakan yang telah didefinisikan (Dunn 2003).
Kebijakan tidak dapat dipahami hanya dari isi teks peraturan perundang-
undangan semata, melainkan juga dari aksi dan reaksi hubungan antara pembuat
dan pihak-pihak yang melaksanakan kebijakan tersebut. Berdasarkan pandangan
ini, kebijakan yang tertuang dalam isi peraturan perundang-undangan adalah
norma dan kehendak sah dan legal yang harus dilaksanakan. Kebijakan tersebut
dapat atau tidak dapat dijalankan tergantung oleh kesamaan atau perbedaan
interpretasi isi kebijakan tersebut oleh pembuat dan pelaksana kebijakan.
Fokus penelitian ini adalah kajian proses implementasi kebijakan PKH
dalam bentuk peraturan perundang-undangan PKH khusus untuk kegiatan
pertambangan, yaitu;
1. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 19 Tahun
2004 tentang Kehutanan;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 jo Peraturan Pemerintah Nomor
61 Tahun 2012 tentang Penggunaan Kawasan Hutan;
3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman
Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Selanjutnya, dalam penelitian ini juga akan dikaji kebijakan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan yang berhubungan erat dengan implementeasi
kebijakan PKH, yaitu;
1. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan tarif atas jenis
penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan
untuk kepentinganpembangunan di luar kegiatan kehutanan.
16
Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk
dokumentasi. Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat,
catatan harian, cenderamata, laporan, artefak, foto, dan sebagainya. Sifat utama
data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada
peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam. Secara
detail bahan dokumenter terbagi beberapa macam, yaitu otobiografi, surat-surat
pribadi, buku atau catatan harian, memorial, klipping, dokumen pemerintah atau
swasta, data di server dan flashdisk, data tersimpan di website, dan lain-lain.
Menurut Bungin (2009), metode dokumenter adalah salah satu metode
pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial untuk
menelusuri data histories. Sedangkan Sugiyono (2007) menyatakan bahwa
dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu yang berbentuk tulisan,
17
3. Survei Pakar
4. Observasi
apapun, seorang peneliti harus secara aktif menyaksikan semua gejala yang
sedang dikaji. Adapun alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk
menyajikan gambaran realistik perilaku atau kejadian, untuk menjawab
pertanyaan, untuk membantu mengerti perilaku manusia, dan untuk evaluasi yaitu
melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu dan melakukan umpan balik
terhadap pengukuran tersebut.
Observasi tidak hanya berperan sebagai teknik paling awal dan paling
mendasar dalam penelitian, tetapi juga karena teknik ini paling sering dipakai
dalam bidang keilmuan lainnya, seperti observasi partisan, rancangan penelitian
eksperimental dan wawancara (Adler dan Adler 2009). Sedangkan Bungin (2009)
mengemukakan beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam penelitian
kualitatif, yaitu observasi partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan observasi
kelompok tidak terstruktur. Di dalam penelitian ini akan menggunakan metode
bentuk observasi tidak berstruktur (unstructured observation), yaitu observasi
yang dilakukan tanpa menggunakan guide observasi. Pada observasi ini peneliti
harus mampu mengembangkan daya pengamatannya dalam mengamati suatu
obyek serta harus menguasai ilmu tentang obyek penelitian/pengamatan.
Suatu kegiatan pengamatan baru dikategorikan sebagai kegiatan
pengumpulan data dan penelitian apabila memiliki kriteria; (1) pengamatan
dilakukan dalam penelitian dan telah direncanakan secara serius, (2) pengamtan
harus berkaitan dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, (3) pengamatan
dicatat secara sistematik dan dihubungkan dengan proposisi umum dan bukan
dipaparkan sebagai suatu yang hanya menarik perhatian, dan (4) pengamatan
dapat dicek dan dikontrol mengenai keabsahannya (Bungin 2009).
1. Purposive Sampling
2. Snowball Sampling
LATAR BELAKANG
KEBIJAKAN
PENYUSUNAN ? PENGGUNAAN IMPLEMENTASI ?
KAWASAN HUTAN
PERTANYAAN/TUJUAN PENELITIAN
Adakah
Sejauhmana kesenjangan antara
Bagaimana kapasitas lembaga Bagaimana
implementasi
kebijakan PKH Pemerintah dalam implementasi
dengan rencana
disusun melaksanakan kebijakan PKH
kebijakan yang
kebijakan PKH telah disusun
KEGIATAN PENELITIAN
Observasi
(Purposive)
Agent
ANALISIS DESKRIPTIF
KUALITATIF
Tidak Tidak
VERIFIKASI DAN
VALIDASI
Ya
KESIMPULAN
REKOMENDASI
Tabel 4 Landasan teori, metode, jenis data, sumber data dan output yang diharapkan berdasarkan tujuan penelitian
Metode
Metode
Tujuan Penelitian Landasan Teori Metode Analisis Data Pengambilan Sumber Data Output yang Diharapkan
Pengumpulan Data
Contoh
Mengetahui implementasi Teori Kebijakan (Dunn 2003, Analisis implementasi Studi dokumentasi, Purposive Kementerian kehutanan, Substansi Kebijakan, Kapasitas,
kebijakan PKH. Baginski dan Soussan 2002), kebijakan, analisis Observasi, Dinas Kehutanan Provinsi peran dan posisi para pemangku
Teori Stakeholder (Reed et al kapasitas organsasi, wawancara dan Kabupaten, BPKH, kebijakan dalam menjalankan
2009) analisis para pihak mendalam BP2HP, BPDASPS, kebijakan PKH, implementasi
Perusahaan kebijakan PKH
Mengidentifikasi Teori Kebijakan (Nugroho Analisis respon, analisis Studi dokumentasi, Purposive Kementerian kehutanan, Hambatan-hambatan
hambatan-hambatan 2009), Teori Asumsi (Dewar biaya transaksi Observasi, Dinas Kehutanan Provinsi implementasi kebijakan PKH,
dalam implementasi et al 1993 dan Dunn 2003) wawancara dan Kabupaten, BPKH, hubungan kontraktual prinsipal
kebijakan PKH. mendalam BP2HP, BPDASPS, dan agen, respon para pihak,
Perusahaan biaya transaksi yang ditimbulkan
Memahami hubungan Teori Keagenan (Jensen dan Analisis hubungan Studi dokumentasi, Snowball, Kementerian kehutanan, Kondisi riil hubungan
antara pemerintah Meckling, 1976, Eisenhardt, prinsipal-agen Observasi, Purposive Dinas Kehutanan Provinsi kontraktual, transfer of right,
(prinsipal) dengan 1989, wawancara dan Kabupaten, BPKH, permasalahan-permasalahan
pemegang IPPKH (agen) Nielson DL danTierney MJ. mendalam BP2HP, BPDASPS,
dan permasalahn- 2003) Perusahaan
permasalahannya
Memberikan saran dan Teori Kebijakan (Dunn 2003, Analisis kebijakan, Studi dokumentasi, Purposive Kementerian Kehutanan, Kesenjangan antara kebijakan
masukan dalam Nugroho 2009), Teori Asumsi analisis kelembagaan, Observasi, Pakar Kebijakan, PKH dengan implementasinya,
perumusan/perbaikan (Dewar et al 1993 dan Dunn analisis asumsi wawancara rekomendasi kebijakan
kebijakan PKH 2003) mendalam, survey
pakar
24
Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data
primer didapatkan dari hasil wawancara dan observasi, sedangkan data sekunder
didapatkan dari literatur mengenai PKH dan teori-teori yang mendukung dalam
aspek kebijakan. Sumber data utama/primer dalam penelitian ini adalah sumber
data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, sedangkan data
sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data, misalnya melalui dokumen.
Data primer akan digali dari beberapa narasumber (informan) dan para
pihak dari lembaga-lembaga yang terlibat langsung dalam proses perumusan dan
implementasi kebijakan PKH dengan teknik purposive sampling. Narasumber
(informan kunci) dan para pihak yang diperkirakan terlibat dan menjadi sumber
data dan informasi yang akan dikumpulkan adalah :
1. Lembaga Pemerintah; Direktorat PKH (Direktorat Planologi, Kementerian
Kehutanan RI), Dinas Kehutanan Provinsi (Dishutprov) dan Dinas Kehutanan
Kabupaten (Dishutkab), Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi
(DisESDMProv) dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten
(DisESDMKab), Dinas/Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten (BLHD
Kab), Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), Balai Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai (BPDAS), Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi
(BP2HP), Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)
2. Beberapa Perusahaan Pertambagan pemegang IPPKH sebagai unit observasi
implementasi kebijakan dan perusahaan kehutanan pemegang IUPHHK.
Sedangkan data sekunder akan diperoleh dari peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan PKH, dokumen-dokumen dan laporan-laporan
perusahaan maupun instansi pemerintah terkait, buku atau laporan hasil penelitian
maupun sumber pustaka lain yang relevan dan terpercaya.
Tabel 5 menggambarkan jumlah dan sebaran responden/informan terpilih
(purposive sampling) maupun hasil snowball sampling selama kajian hubungan
P-A dalam implementasi kebijakan PKH
Instrumen Penelitian
PERUMUSAN KEBIJAKAN
PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN
Pendahuluan
Tujuan
Metode Analisis
yang terkait dengan dirumuskannya kebijakan PKH, ide dasar (diskursus) yang
diyakini para aktor, dan strategi aktor untuk menggulirkan kebijakan. Data
disajikan dengan teknik deskriptif kualitatif melalui suatu prosedur analisis data
wawancara.
untuk pertama kalinya yang setiap lima tahun dikaji berdasarkan pengalaman dan
persoalan yang timbul dari pelaksanaan di lapangan. Undang-undang ini hanya
berlaku untuk mengatur pengelolaan hutan di pulau Jawa dan Madura.
Simon (2000) melanjutkan, bahwa sejalan dengan perkembangan ilmu
kehutanan, hutan alam jati di Jawa yang rusak akibat praktik penambangan kayu,
khususnya oleh VOC selama dua abad, lalu dibangun dengan model Jerman.
Bentuk pengelolaan hutan model Jerman itu dikenal dengan kebun kayu (timber
management), dan pemerintah Hindia Belanda dengan sukses dapat membangun
hutan tanaman jati monokultur. Pengelolaan kebun kayu jati itulah yang kemudian
dituangkan di dalam Undang-undang Kehutanan Jawa dan Madura tahun 1927
tersebut.
Pengurusan hutan hanya berlangsung efektif di Jawa, sedangkan di luar
Jawa dilaksanakan oleh para sultan atau raja dan masyarakat adat yang
menguasainya. Selama pendudukan tentara Jepang (1942-1945) dan perjuangan
kemerdekaan Indonesia (1945-1950), pengurusan hutan terhambat. Baru setelah
Indonesia bersatu kembali pada tahun 1950 hutan dapat dikelola dengan baik
(Djajapertjunda dan Djamhuri 2013).
Pada tahun 1966, pemerintah rezim Orde Baru mulai melakukan
pembangunan ekonomi nasional. Masalah utama yang dihadapi negara dan bangsa
saat itu adalah rendahnya pendapatan per kapita masyarakat Indonesia, yaitu
hanya US$ 80/tahun, serta ketiadaan modal untuk menjalankan pembangunan.
Sementara itu Indonesia sebenarnya memiliki hutan alam tropika basah di luar
Jawa yang sangat luas dan mempunyai potensi ekonomi tinggi untuk
dimanfaatkan. Oleh karena itu disusun Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967
tanggal 24 Mei 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan untuk
mengatur pengusahaan hutan di luar Jawa. Acuan yang tersedia bagi pengambil
keputusan di bidang kehutanan pada waktu itu tentu saja hanya Undang-undang
Kehutanan untuk Jawa dan Madura Tahun 1927 (Simon 2000). Berlakunya UUPK
produk bangsa Indonesia ini dimaksudkan demi kepentingan nasional, dan
sekaligus pula mengakhiri keberlakuan Boschordonantie 1927 yang telah berlaku
selama 40 tahun lamanya.
Untuk percepatan pertumbuhan ekonomi pada masa orde baru (1965-
1997), pemerintah menerbitkan empat undang-undang yang sangat strategis, yaitu
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 jo Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970
tentang Penanaman Modal Asing, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan dan Undang-undang Nomor 6
Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Terbitnya undang-undang
dalam tiga sektor yang berbeda tersebut dimaksudkan untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi sebagai penopang pembangunan nasional pada masa itu.
Terbitnya Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 tersebut menjadi titik
tolak bagi pembangunan sektor kehutanan di Indonesia dengan mengotpimalkan
sumberdaya manusia kehutanan untuk meningkatkan peranan hutan dan
kehutanan. Semangat tersebut membuahkan hasil hingga pada puncaknya devisa
sektor kehutanan mencapai urutan ke 2 setelah minyak bumi. Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1967, mengamanatkan bahwa pengurusan hutan pada hakekatnya
adalah untuk mendapatkan manfaat hutan yang sebesar-besarnya secara serbaguna
dan lestari baik secara langsung maupun tidak langsung, bagi kemakmuran
32
Tonggak kunci penetapan kebijakan ini merupakan salah satu cara untuk
memahami historis kebijakan PKH, sejauh mana kebijakan penggunaan kawasan
hutan dirumuskan dan ditetapkan Hal ini merupakan akumulasi dari kejadian
kejadian masa lalu yang dianggap penting dalam mendefinisikan/menentukan
proses-proses kebijakan yang ada pada masa lalu (kebijakan lama), peratuarn
perundangan maupun kejadian-kejadian bersifat katalis penting. Dalam tahapan
analisis proses kebijakan ini akan diuraikan beberapa momentum yang sangat
berpengaruh (tonggak kunci) dalam perjalanan perumusan kebijakan penggunaan
kawasan hutan, sebagai berikut:
Luasnya kawasan hutan yang ditunjuk oleh pemerintah saat itu, yaitu
kurang lebih 70% dari total luas daratan Indonesia menjadi keterbatasan bagi
sektor lain untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalamnya, terutama
sektor pertambangan dan energi. Untuk mengatur pertumpangtindihan
pengelolaan sumberdaya alam tersebut, pemerintah (presiden) mengambil
kebijakan dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 tanggal 13
Januari 1976 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas Bidang Keagrariaan dengan
Bidang Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi dan Pekerjaan Umum. Dalam
Inpres tersebut dijelaskan pada angka romawi II nomor 11 huruf ii dan iii:
Atas dasar Inpres Nomor 1 Tahun 1976 tersebut, pada tahun 1978
Kementerian Pertanian menerbitkan Surat Keputusan Direktur Jenderal
Kehutanan Nomor 64/Kpts/DJ/I/1978 tanggal 23 Mei 1978 tentang Pedoman
Pinjam Pakai Tanah Kawasan Hutan. Surat keputusan tersebut bertujuan untuk
membatasi dan menertibkan penggunaan kawasan hutan yang menyimpang dari
fungsi yang ditetapkan. Dalam surat keputusan tersebut pinjam pakai tanah
kawasan hutan didefinisikan sebagai penggunaan sebagian kawasan hutan untuk
keperluan lain yang menyimpang dari fungsi yang telah ditetapkan oleh Menteri
Pertanian karena tidak dapat dirubah status hutannya dan bersifat sementara.
Isi dari surat keputusan Dirjen Kehutanan tersebut masih sangat sederhana,
hanya mengatur prosedur penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan sektor
lain yang kemudian lazim diistilahkan dengan pinjam pakai dengan sistem
perizinan yang dipergunakan saat itu adalah ―perjanjian‖. Namun, dalam
perjalanan sejarah perkembangan kebijakan penggunaan kawasan hutan, Surat
Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan ini menjadi tonggak kunci paling penting
dan mengilhami semua peraturan perundang-undangan tentang kebijakan
penggunaan kawasan hutan.
Terbitnya surat keputusan Direktur Jenderal Kehutanan tersebut juga tidak
terlepas dari kebutuhan penggunaan kawasan hutan untuk keperluan sektor
35
pertambangan yang saat itu dipengaruhi oleh PT. Freeport Indonesia Inc7 yang
telah mendapatkan izin Kontrak Karya dari pemerintah Indonesia pada tahun 1967
yang akan mulai melakukan aktifitasnya. Perusahaan tersebut mulai beroperasi
pada tahun 1973 dan akan beroperasi selama 30 tahun setelah perusahaan tersebut
mulai beroperasi8.
7
Wawancara mendalam dengan Ir. Soetrisno MM, Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan
Tahun 2009-2010. Berdasarkan penelusuran data di Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan
Kementerian Kehutanan, izin pinjam pakai pertama kali diberikan pada tahun 1981 kepada PT.
PLN Wilayah VII dengan Surat Persetujuan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 2421/DJ/I/81
tanggal 25 Juni 1981 untuk kepentingan pembangunan jaringan transmisi seluas 27,66 hektar di
Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan. Kemudian pada tahun 1984 izin pinjam pakai diberikan
kepada TNI-AL di CA Cycloop untuk pembangunan statsiun pemancar radio seluas 3,5 heketar
dengan SK Menhut 083/Menhut-IV/84 tanggal 17 Pebruari 1984. Sementara PT Freeport
Indonesia Inc yang mendapatkan izin pertambangan di Indonesia dengan Kontrak Karya dari
Pemerintah Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presidium Nomor 82/EK/KEP/4/1967
tanggal 7 April 1967 baru mendapatkan izin pinjam pakai pada tahun 1993 melalui Surat
Persetujuan Menteri Kehutanan Nomor 242/Menhut-VI/93 tanggal 13 Pebruari 1993 untuk
keperluan areal pembuangan tailing di TN Lorentz.
8
http://id.wikipedia.org/wiki/Freeport_Indonesia diunggah pada tanggal 8 Januari 2014 pukul
10:53.
36
9
Departemen Kehutanan. 2007. Latar Belakang Lahirnya Departemen Kehutanan.
http://www.dephut.go.id/index.php/news/profil_kemenhut diunggah pada 10 Januari 2014
10
Simon (2000) lebih lanjut menjelaskan, sejak awal telah terjadi perbedaan pandangan yang
cukup tajam, khususnya antara kelompok LSM dan staf perguruan tinggi dengan pejabat
Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Bahkan akhirnya hampir seluruh anggota LSM
menarik diri dari kegiatan pertemuan Komite Reformasi karena merasa perbedaan tersebut sulit
dipertemukan. Anehnya, anggota Komite dari pejabat teras Departemen Kehutanan dan
Perkebunan sendiri jarang datang di dalam rapat. Antiklimaks sikap sebagian besar anggota
Komite terjadi tatkala konsep jiwa undang-undang yang diajukan oleh Departemen Kehutanan
dan Perkebunan ke DPR berbeda jauh dengan konsep Komite Reformasi. Oleh karena itu
proses pembentukan undang-undang kehutanan yang kemudian disyahkan oleh DPR menjadi
Undang-undang Nomor 41 Nomor 1999 sebenarnya tidak demokratis, tidak mencerminkan
amanat reformasi dan tetap berjiwa paradigma pengelolaan hutan yang lama
37
awal tahun 1990-an. Pada masa itu sejumlah rimbawan, LSM, dan akademisi
menimbang untuk perlu merevisi Undang-Undang Pokok Kehutanan Nomor 5
Tahun 1967. Berbagai seri diskusi, seminar maupun lokakarya diadakan
sepanjang tahun 1990-1993. Upaya panjang ini mendapatkan respons positif dari
berbagai pihak. Namun perdebatan terus terjadi selama kurun waktu 1993-1998
hingga pada tanggal 30 September 1999 Undang-Undang Kehutanan Nomor 41
Tahun 1999 secara resmi disahkan menggantikan Undang-Undang Pokok
Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967 yang telah menjadi payung hukum pengelolaan
hutan di Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa.
lebih diarahkan pada komoditas yang mempunyai nilai tambah yang tinggi dari
pada ekspor sumber daya alam yang nilai tambahnya rendah. Seiring dengan
proses industrialisasi ini banyak terjadi kerusakan lingkungan. Aspek lingkungan
mulai mendapat perhatian dan kebijakan energi mulai diarahkan untuk
menggunakan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Pada tahun
sembilan puluh limaan mulai dirasakan keterbatasan sumber daya energi, terutama
minyak bumi. Dengan kondisi ini maka perlu kebijakan yang berlandaskan
paradigma baru.
Sejalan dengan permasalahan tersebut, pemerintah mengeluarkan
kebijakan melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tanggal 25 Januari
2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Kebijakan ini bertujuan untuk
mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri. Kebijakan utama meliputi
penyediaan energi yang optimal, pemanfaatan energi yang efisien, penetapan
harga energi ke arah harga keekonomian dan pelestarian lingkungan. Kebijakan
utama tersebut didukung dengan pengembangan infrastruktur, kemitraan dunia
usaha, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan penelitian. Kebijakan energi
nasional ini juga memuat upaya untuk melakukan diversifikasi dalam
pemanfaatan energi.
Kebijakan energi nasional tersebut mempengaruhi gairah aktifitas
pengusaha di sektor pertambangan untuk segera melakukan operasionalisasinya di
lapangan. Hal itu berimbas pada meningkatnya permohonan izin pinjam pakai
kawasan hutan ke Kementerian Kehutanan. Untuk mengantisipasi hal tersebut
Menteri Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut)
Nomor P.14/Menhut-II/2006 tanggal 10 Maret 2006 tentang Pedoman Pinjam
Kawasan Hutan. Isi dari Permenhut ini tidak jauh berbeda dengan Permenhut
P.12/Menhut-II/2004. Pada Permenhut ini terdapat penyesuaian-penyesuaian isi
mengingat permenhut merupakan aturan main penggunaan kawasan hutan di
kawasan hutan produksi.
12
Izin pinjam pakai kawasan hutan untuk tambang terbuka baru terbit pada tahun 2008 atas nama
PT. Indominco Mandiri di Hutan Lindung Bontang seluas 3.973,40 hektar di Provinsi
Kalimnatan Timur dan PT. Aneka Tambang (Antam) Di Hutan Lindung Pulau Pakal seluas 456
hektar di Provinsi Maluku Utara.
41
13
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global. 2012.
Moratorium Hutan Berbasis Capaian: Refleksi Satu Tahun Inpres Moratorium dan Peluncuran
Usulan Masyarakat Sipil untuk Perbaikan Kebijakan Moratorium Hutan Indonesia. Jakarta
42
14
Penurunan permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan tidak mempengaruhi kinerja
Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan-Direktorat Planologi Kehutanan. Data izin pinjam
pakai kawasan hutan menunjukkan bahwa jumlah dan luas kawasan hutan yang dipinjam pakai
tidak mengalami penurunan, bahkan mengalami peningkatan, hal itu disebabkan izin-izin baru
yang diterbitkan setelah adanya moratorium izin merupakan permohonan lama yang masih
diproses dan dianalisis di internal Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan dan selesai
(penerbitan izin) pada tahun setelah kebijakan moratorium izin dicanangkan. Izin pinjam pakai
kawasan hutan yang dikeluarkan setelah tahun 2011 juga dimungkinkan merupakan
peningkatan izin dari persetujuan prinsip yang telah ditandatangani oleh Menteri Kehutanan
sebelum terbitnya Inpres 10 Tahun 2011. Hal itu sesuai dengan dictum kedua Inpres tersebut.
15
Data izin pinjam pakai kawasan hutan merupakan data izin penggunaan kawasan hutan untuk
tingkat operasi produksi, tidak termasuk izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan
penyelidikan umum/survei/ eksplorasi dan izin persetujuan prinsip Menteri Kehutanan
43
Pada tanggal 13 Mei 2013, moratorium izin di hutan alam primer dan
hutan gambut diperpanjang 2 (dua) tahun ke depan dengan ditandatanganinya
Intruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2013. Dalam Inpres yang ditujukan kepada
Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Kepala Unit Kerja Presiden Bidang
Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Kepala Badan Pertanahan
Nasional (BPN), Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional, Kepala
Badan Informasi Geospasial, Ketua Satgas Persiapan Pembentukan Kelembagaan
Redd+, para Gubernur dan Bupati/Walikota itu, Presiden menegaskan agar
penundaan pemberian izin baru juga dilakukan di area penggunaan lain
sebagaimana tercantum dalam Peta Indikatif Penundaan Izin Baru.
Khusus kepada Menteri Kehutanan, Presiden memerintahkan:
1. Melanjutkan penundaan terhadap penerbitan izin baru hutan alam primer dan
lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi
berdasarkan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru.
2. Melanjutkan penyempurnaan kebijakan tata kelola bagi izin pinjam pakai dan
izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam.
3. Melanjutkan peningkatan efektivitas pengelolaan lahan kritis dengan
memperhatikan kebijakan tata kelola hutan dan lahan gambut yang baik,
antara lain melalui restorasi ekosistem.
4. Melakukan revisi terhadap Peta Indikatif Penundaan Izin Baru pada kawasan
hutan setiap 6 (enam) bulan sekali.
5. Menetapkan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru hutan alam primer dan lahan
gambut pada kawasan hutan yang telah direvisi.
Kebijakan moratorium izin tersebut diharapkan dapat mengurangi
kerusakan hutan oleh maraknya izin pertambangan di dalam kawasan hutan.
Adapun perjalanan (sejarah) peraturan perundang-undangan penggunaan kawasan
hutan dan tonggak kunci kebijakan penggunaan kawasan hutan dalam sebuah
bagan alir sebagai berikut:
44
SKB Menteri Pertambangan dan Energi dan SKB Menteri Pertambangan dan PERPPU Nomor 1 UU No 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Menteri Kehutanan Nomor 0120.K/10/M.PE/ Energi dan Menteri Kehutanan Nomor Tahun 2004 tentang Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
1984; 029/Kpts-II/1984 1101K/702/M.FE/1991; 436/Kpts- Perubahan atas undang- Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
II/1991 tentang Pembentukan Team undang Nomor 41 Tahun Kehutanan menjadi Undang-undang
Koordinasi Tetap Departemen 1999
Pertambagan dan Energi dan
SK Dirjen Kehutanan
Departemen Kehutanan dan Permenhut Nomor
UU No 5 Tahun 1967 No 64/Kpts/DJ/I/1978 KEPPRES Nomor 41
Perubahan Tata Cara Pengajuan Izin UU Nomor 41 P.12/Menhut-II/2004
Ketentuan-ketentuan tentang Pedoman Pinjam Tahun 2004 Tentang
Usah Pertambangan dan Energi dalam Tahun 1999 tentang Tentang Penggunaan
Pokok Kehutanan Pakai Tanah Kawasan Perizinan atau Perjanjian
Kawasan Hutan KEHUTANAN Kawasan Hutan Lindung
Hutan Pertambangan yang
untuk Kegiatan
Berada di Kawasan Hutan
Pertambangan
1967 1976 1978 1984 1989 1991 1994 1996 1997 1998 1999 2004 Bersambung
Gambar 4 Sejarah dan tonggak kunci dalam kebijakan penggunaan kawasan hutan
45
PP No 2 Tahun 2008 Tentang Jenis dan Tarif atas Permenhut P.56/Menhut- INPRES RI No 10 Tahun 2011 Tentang INPRES RI No 6 Tahun 2013
Jenis Penerimaan Negara Bukan pajak yang II/2008 Tentang Tata Cara Penundaan Pemberian Izin Baru dan Tentang Penundaan Pemberian
Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Penentuan Luas Areal Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Izin Baru dan Penyempurnaan
Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan yang Terganggu dan Areal Primer dan Lahan Gambut Tata Kelola Hutan Alam Primer
Berlaku pada Departemen Kehutanan Reklamasi dan Revegetasi dan Lahan Gambut :
untuk Perhitungan memperpanjang penundaan untuk
Penerimaan Negara Bukan PERPRES RI No 28 Tahun 2011 masa waktu 2 tahun ke depan
Pajak Penggunaan Tentang Penggunaan Kawasan
PERPRES No 5 Tahun 2006 Tentang
Kawasan Hutan Hutan Lindung untuk
Kebijakan Energi Nasional
Penambangan Bawah Tanah
Permenhut
Permenhut P.38/Menhut- Permenhut
Permenhut P.64/Menhut- P.18/Menhut- II/2012 P.14/Menhut-
II/2006 Perubahan II/2011 Perubahan II/2013
Peraturan Menteri Pedoman Permenhut Perubahan Kedua
Permenhut Kehutanan Nomor Permenhut PP No 24 Tahun Permenhut
P.14/Menhut-II/2006 Pinjam Pakai P.18/Menhut-
P.14/Menhut-II/2006 P.43/Menhut-II/2008 2010 Tentang Kawasan II/2011 P.18/Menhut-
Pedoman Pinjam tentang Pedoman Pinjam Pedoman Pinjam Penggunaan II/2011 Pedoman
Hutan Pedoman
Pakai Kawasan Hutan Pakai Kawasan Hutan Pakai Kawasan Hutan Kawasan Hutan Pinjam Pakai
Pinjam Pakai
Kawasan Hutan Kawasan Hutan
Lanjutan Gambar 4 Sejarah dan tonggak kunci dalam kebijakan penggunaan kawasan hutan
46
dan hutan lindung (Pasal 38 ayat 1), meskipun terdapat batasan luas dan jangka
waktu serta kelestarian lingkungan (pasal 38 ayat 3), maupun adanya persetujuan
DPR untuk pemberian izin pinjam pakai yang berdampak penting dengan cakupan
luas. Dalam situasi beratnya kerusakan hutan di Indonesia, pasal ini dapat
memicu pertambahan kerusakan hutan di masa mendatang, apabila kepentingan
ekonomi melalui pertambangan tetap dinomor satukan baik oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah.
Untuk mengantisipasi perubahan tersebut, Kementerian Kehutanan
berreaksi cepat dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.12/Menhut-II/2004 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk
Kegiatan Pertambangan yang kemudian disusul dengan diterbitkanya Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan sebagai pedoman pelaksanaan dalam penggunaan kawasan hutan.
Pada awal tahun 2008, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 2008 tanggal 4 Pebruari 2008 tentang jenis dan tarif atas jenis
penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan
untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada
Departemen Kehutanan untuk mengakomodir keinginan semua pihak yang
berkepentingan dalam penggunaan kawasan hutan.
PP Nomor 2 Tahun 2008 ini juga menuai banyak kritik dan perhatian
hampir seluruh pemerhati kehutanan dan lingkungan, mengingat kawasan hutan
hanya dihargai Rp. 120 – 300/m2/tahun. Angka yang terlalu kecil untuk ukuran
sumberdaya alam yang dieksploitasi dan tingginya biaya pemulihan kerusakan
kawasan hutan.
Dewan Kehutanan Nasional (DKN) juga membahasnya dengan seluruh
kamar (chambers) dan menyampaikan pandangannya sebagai berikut (DKN 2008
diacu dalam Kartodihardjo 2008a):
1. Pemerintah perlu melakukan kajian menyeluruh (general review) tentang
kebijakan pertambangan, khususnya yang berada di dalam kawasan hutan. Hal
ini diperlukan untuk memberi kepastian pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam secara keseluruhan dan agar masyarakat mengetahui strategi
usaha tambang dalam jangka pendek maupun strategi pencadangan kekayaan
alam dalam jangka panjang.
2. Perlu dilakukannya penyempurnaan atas PP Nomor 2 Tahun 2008 dengan
memperhatikan perkembangan dan praktik-praktik pertambangan di lapangan,
melakukan kajian akademis, serta melibatkan berbagai pihak yang
berkepentingan sehingga tidak lagi terdapat perbedaan interpretasi dan sejalan
dengan tujuan untuk menyeimbangkan manfaat ekonomi, lingkungan dan
sosial dalam pelaksanaan penggunaan kawasan hutan bagi sektor lain di luar
kehutanan.
Kebijakan kehutanan di bidang penggunaan kawasan hutan pada dasarnya
merupakan kebijakan yang strategis sekaligus dilematis. Di satu sisi keberadaan
sumder daya pertambangan harus diakui keberadaannya, meskipun tidak harus
diberikan ruang untuk merusak kawasan hutan dengan alasan peningkatan sumber
daya ekonomi. Di sisi lain, keberadaan sumber daya hutan dan lahan dapat
dipastikan menjadi korban dari adanya kebijakn tersebut. Sebenarnya
kekhawatiran kerusakan sumber daya hutan akibat digulirkannya kebijakan
tersebut dapat ditekan jika masing-masing pihak mempunyai perilaku yang sesuai
51
dengan harapan para perumus kebijakan. Namun pada kenyataannya, harapan itu
masih jauh panggang dari api. Kebijakan tetap digulirkan dan dilaksanakan,
sumber daya tambang digali dan dieksploitasi, sementara sumber daya hutan
semakin terdegradasi dan terdeplesi.
16
Hasil wawancara tanggal 24 Juli 2013 Pukul 09.05 dengan Ir. Soetrisno, MM Mantan Kepala
Pusat Wilayah Pengelolaan Kawasan Hutan Periode 2006-2009 dan Mantan Direktur Jenderal
Planologi Periode 2009-2010
52
―… dalam hal kawasan hutan yang dimohon berada di dalam wilayah kerja
Perum Perhutani atau telah dibebani Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu (IUPHHK) pada hutan alam atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan tanaman, maka harus mendapat
pertimbangan teknis dari Perum Perhutani atau pernyataan tidak keberatan
dari pemegang izin yang bersangkutan…‖
―… dalam hal kawasan hutan yang dimohon telah dibebani Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam atau Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan tanaman,
maka Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan memberikan
pertimbangan teknis dengan memperhatikan pengurangan produksi kayu
atau bukan kayu setinggi-tingginya 10% dari rencana kelestarian
pengelolaan hutan dan disertai pembebanan kewajiban kepada pemohon
untuk meningkatkan produktifitas hutan pada areal kerja unit pengelolaan
hutan tersebut...‖
17
Wawancara dilakukan pada tanggal 19 Juli 2013 Pukul 15.50
53
― … penggantian nilai investasi pada areal yang terkena beban izin pinjam
pakai kawasan hutan sejatinya adalah hal yang wajar. Karena kami sudah
menanamkan investasi yang tidak sedikit di situ. Pengusaha tambang harus
tahu diri juga, penggantian investasi IUPHHK jangan dianalogikan sebagai
pemalakan atau mengutip dana terhadap pengusaha pertambangan. Tentu
tidak pas jika istilahnya seperti itu …‖
18
Majalah Agroindonesia. 2013 April 2. Tambang harusnya tahu diri. Diakses di
http://agroindonesia.co.id/2013/04/02/tambang-harusnya-tahu-diri/ pada tanggal 12 Januari
2014
19
ibid
54
20
Berdasarkan hasil Diskusi dan Observasi Lapangan tanggal 23-27 Oktober 2013
21
Berdasarkan hasil wawancara, studi literature dan pengalaman penulis selama menjadi
staff/pegawai di Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan, Direktorat Planologi Kehutanan,
Kementerian Kehutanan tahun 2006-2009.
55
Lanjutan Tabel 7.
No Isu22 Tindak Lanjut Produk Kebijakan
4 Kebijakan energi Optimalisasi pemanfaatan PP Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi
nasional sumber-sumber energi dan Nasional
pertambangan Permenhut Nomor P.14/Menhut-II/2006 tentang
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
5 Land trading23 yang Pemerintah mengganti Permenhut P.64/Menhut-II/2006 tentang Perubahan
disebabkan oleh kewajiban adanya izin dari Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-
kewajiban pemohon izin pemegang IUPHHK dengan II/2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan
pinjam pakai kawasan MoU antara kedua belah Hutan
hutan memperoleh izin pihak
dari pemegang IUPHHK
6 Sulitnya mencari lahan Pengganti lahan kompensasi Permenhut P.64/Menhut-II/2006 tentang Perubahan
pengganti kompensasi berupa lahan kompesasi Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-
diganti dengan dana yang II/2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan
dijadikan Penerimaan Negara Hutan
Bukan Pajak (PNBP)
Departemen Kehutanan yang
besarnya 1 % dari nilai harga
per satuan produksi dari
seluruh jumlah produksinya
7 Pengganti lahan Pembahasan penetapan - PP Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tentang Jenis
kompensasi berupa lahan besaran PNBP sebagai dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
kompesasi diganti pengganti lahan kompensasi pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan
dengan dana yang untuk pinjam pakai kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar
dijadikan Penerimaan hutan bersama Kementerian Kegiatan yang Berlaku pada Departemen
Negara Bukan Pajak Perekonomian dan Kehutanan
(PNBP) Departemen Kementerian ESDM
Kehutanan yang - Permenhut Nomor P.56/Menhut-II/2008 tentang
besarnya 1 % dari nilai Tentang Tata Cara Penentuan Luas Areal
harga per satuan Terganggu dan Areal Reklamasi dan Revegetasi
produksi dari seluruh untuk Perhitungan Penerimaan Negara Bukan
jumlah produksinya Pajak Penggunaan Kawasan Hutan
8 Adanya batasan luas Perubahan proporsi luas izin Permenhut P.43/Menhut-II/2006 tentang Pedoman
pada kawasan hutan yang pinjam pakai kawasan hutan Pinjam Pakai Kawasan Hutan
telah memiliki IUPHHK yang diperbolehkan di dalam
sangat membatasi ruang kawasan hutan yang telah
gerak kegiatan memiliki IUPHHK
pertambangan di dalam
kawasan hutan
9 Jangka waktu izin pinjam Disesuaikan dengan masa Permenhut P.43/Menhut-II/2006 tentang Pedoman
pakai kawasan hutan berlaku izin pertambangan Pinjam Pakai Kawasan Hutan
yang terlalu pendek
10 Degradasi kawasan hutan Moratorium izin pinjam pakai - Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tentang
dan REDD+ kawasan hutan Penundaan Pemberian Izin Baru dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer
dan Lahan Gambut
- Inpres Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tentang
Penundaan Pemberian Izin Baru dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer
22
Berdasarkan hasil wawancara, studi literature dan pengalaman penulis selama menjadi
staff/pegawai di Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan, Direktorat Planologi Kehutanan,
Kementerian Kehutanan tahun 2006-2009.
23
Perilaku oknum pemegang IUPHHK yang melakukan pungutan kepada pemegang IPPKH atas
kawasan hutan yang dipinjam pakai
56
maksud dan tujuan untuk menyusun peraturan tentang penggunaan kawasan hutan
sebagai amanat dari peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya,
sehingga para aktor hanya berperan memberikan saran dan pertimbangan baik
dalam aspek teknis maupun non teknis.
Terkait dengan analisis kebijakan, menurut Sutton (1999) a rus utama dalam
pembuatan kebijakan yang berjalan saat ini biasa disebut sebagai model linier,
model rasional, atau common-sense. Dalam pembuatannya mengandalkan hasil
analisis rasional dan dianggap sebagai sesuatu yang rasional, berimbang, objektif
dan analitis. Dalam model ini, keputusan dibuat dalam serangkaian tahap yang
berurut mulai dari merumuskan isu dan masalah dan diakhiri sejumlah kegiatan
untuk memecahkan masalah tersebut. Meskipun proses perumusan kebijakan
penggunaan kawasan hutan didahului dengan pengumpulan data dan informasi,
pemahaman isu dan permasalahan serta dilanjutkan dengan penetapan kebijakan
sebagai sebuah pengambilan keputusan, namun kebijakan ini belum dapat
dikatakan mengikuti model linear sebagaimana yang dikemukanan oleh Sutton
(1999).
Mencermati dari proses perumusan kebijakan penggunaan kawasan hutan
bisa dikatakan bahwa model dari kebijakan ini adalah model inkrementalis atau
model tahap demi tahap (incrementalist model). Kebijakan penggunaan kawasan
hutan telah mengalami delapan kali pergantian dan tujuh kali perubahan (revisi)
terkait dengan isu atau masalah yang mengemuka saat itu. Proses pembuatan
kebijakan ini cenderung mengikuti tindakan serial. Apabila terdapat kesalahan
dikemudian hari akan kembali dilihat masalahnya dan kemudian diperbaiki.
Proses tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Sutton (1999)
bahwa dalam model inkrementalis, kebijakan baru hanya mengubah hal-hal kecil
dari kondisi sebelumnya. Biasanya pembaruan kebijakan ditetapkan berdasarkan
satu hal yang dianggap paling penting. Penetapan kebijakan seperti ini dianggap
tidak optimal. Suatu penetapan kebijakan dianggap optimal apabila disepakati
oleh segenap pihak yang berkepentingan dan bukan sekedar dikatakan oleh pihak
tertentu sebagai kebijakan paling baik untuk dapat menyelesaikan masalah.
Mencermati perjalanan kebijakan penggunaan kawasan hutan yang sering
mengalami perubahan sebagai respon dari adanya isu-isu yang menyertainya
menguatkan sinyalemen seorang peserta pelatihan proses pembuatan kebijakan di
Afrika (IDS 2006) yang dikutip oleh Kartodihardjo (2008a) sebagai berikut :
Periode Penggunaan
Simpulan
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN
Pendahuluan
dihadapkan pada banyak kendala, terutama yang berasal dari lingkungan (konteks)
di mana kebijakan itu akan diimplementasikan.
Grindle (1980) menjelaskan bahwa implementasi kebijakan ditentukan
oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa
setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan.
Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut.
Sementara Dye (1995) menyebutkan bahwa suatu sistem kebijakan (policy
system) mencakup hubungan timbal balik antara tiga unsur/komponen utama yang
dianggap mempengaruhi kinerja implementasi, yaitu (1) kebijakan, (2)
implementor dan kelompok target dan (3) Iingkungan. Oleh karena itu, analisis
proses implementasi kebijakan PKH ini akan difokuskan kepada tiga komponen
utama tersebut.
Sedangkan Nugroho (2009) menyarankan prinsip lima tepat dalam
mengukur efektifitas implementasi sebuah kebijakan. Pertama, apakah
kebijakannya sendiri sudah tepat. Ketepatan kebijakan ini dinilai dari sejauh mana
kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah
yang hendak dipecahkan. Tepat yang kedua adalah tepat pelaksananya. Tepat
yang ketiga adalah tepat target, tepat yang keempat adalah tepat lingkungan dan
tepat yang kelima adalah tepat proses.
Efektifitas implementasi suatu kebijakan dapat terjadi hanya apabila
kebijakan dirumuskan atas dasar masalah yang tepat serta terdapat kemampuan
menjalankan solusinya di lapangan (Dunn, 2003). Terkait dengan perumusan
kebijakan PKH dan mengacu pada pendapat Dunn (2003) tersebut, pertanyaan
utama yang melatarbelakangi kajian kebijakan PKH ini adalah sejauh mana
efektifitas implementasi kebijakan PKH, atau dengan kata lain bagaimana kinerja
kelembagaan yang terbangun dari pelaksanaan kebijakan PKH ini.
Tujuan
Metode Analisis
Analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa
analisis yang akan mendukung proses analisis implementasi kebijakan PKH untuk
pertambangan. Kabijakan PKH merupakan kebijakan yang bersifat top-down
untuk mengatur operasionalisasi pertambangan dan sektor lainnya di dalam
kawasan hutan. Analisis implementasi kebijakan PKH difokuskan pada pendapat
Nugroho (2009) dengan mengkaji 5 indikator ‗tepat‘ yaitu: tepat kebijakan, tepat
pelaksanaan, tepat target, tepat lingkungan dan tepat proses. Dengan demikian,
semua analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan alat (tools)
untuk mengungkap fakta dan membedah permasalahan serta hambatan dalam
64
implementasi PKH dan memenuhi kriteria-kriteria yang ada dalam lima indikator
‗tepat‘ tersebut.
ANALISIS GAP
(ANALISIS ASUMSI)
TEPAT TARGET
TEPAT PROSES
PEMERINTAH
TEKS PERATURAN ANALISIS
DAERAH & UPT
PERUNDANGAN RESPON
HAK DAN
ANALISIS PARA KEWAJIBAN ANALISIS BIAYA
PIHAK TRANSAKSI
TEPAT LINGKUNGAN
1. Ketepatan Kebijakan
Ketepatan kebijakan ini dinilai dari:
- Sejauh mana kabijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang
memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Pertanyaannya adalah how
excellent is the policy.
- Apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai dengan karakter masalah
yang hendak dipecahkan.
- Apakah kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan (misi
kelembagaan) yang sesuai dengan karakter kebijakan.
2. Ketepatan Pelaksanaan
Aktor implementasi kebijakan tidaklah hanya pemerintah. Ada tiga
lembaga yang bisa menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara
65
3. Ketepatan Target
Ketepatan target berkenaan dengan tiga hal, yaitu:
- Apakah target yang dintervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah
tidak ada tumpang tindih dengan intervensi lain, atau tidak bertentangan
dengan intervensi kebijakan lain.
- Apakah targetnya dalam kondisi siap untuk dintervensi atau tidak. Kesiapan
bukan saja dalam arti secara alami, namun juga apakah kondisi target ada
dalam konflik atau harmoni, dan apakah kondisi target ada dalam kondisi
mendukung atau menolak.
- Apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbarui
implementasi kebijakan sebelumnya. Terlalu banyak kebijakan yang
tampaknya baru namun pada prinsipnya mengulang kebijakan yang lama
dengan hasil yang sama tidak efektifnya dengan kebijakan sebelumnya.
4. Ketepatan Lingkungan
Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu:
- Lingkungan Kebijakan, yaitu interaksi antara lembaga perumus kebijakan
dengan pelaksana kebijakan dengan lembaga yang terkait. Donald J. Calista
(tanpa tahun) dalam Nugroho (2009) menyebutnya sebagai variabel endogen,
yaitu authoritative arrangement yang berkenaan dengan kekuatan sumber
otoritas dari kebijakan, network composition yang berkenaan dengan
komposisi jejaring dari berbagai organisasi yang terlibat kebijakan, baik dari
pemerintah maupun masyarakat, implementation setting yang berkenaan
dengan posisi tawar-menawar antara otoritas yang mengeluarkan kebijakan
dan jejaring yang berkenaan dengan implementasi kebijakan.
- Lingkungan Eksternal Kebijakan, yang terdiri dari atas public opinion, yaitu
persepsi publik akan kebijakan dan implementasi kebijakan, interpretive
institutions yang berkenaan dengan interprestasi lembaga-lembaga strategis
dalam masyarakat, seperti media massa, kelompok penekan, dan kelompok
kepentingan, dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi
kebijakan, dan individuals, yakni individu-individu tertentu yang mampu
memainkan peran penting dalam menginterpretasikan kebijakan dan
implementasi kebijakan.
5. Ketepatan Proses
Secara umum, implemetnasi kebijakan publik terdiri dari tiga proses,
yaitu:
- Policy acceptance, yaitu publik memahami kebijakan sebagai sebuah ―aturan
main‖ yang diperlukan untuk masa depan, di sisi lain pemerintah memahami
kebijakan sebagai tugas yang harus dilaksanakan.
- Policy adoption, yaitu publik menerima kebijakan sebagai sebuah ―aturan
main‖ yang diperlukan untuk masa depan, di sisi lain pemerintah menerima
kebijakan sebagai tugas yang harus dilaksanakan
66
- Strategic readiness, yaitu publik siap melaksanakan atau menjadi bagian dari
kebijakan, disisi lain birokrat on the street (atau birokrat pelaksana) siap
menjadi pelaksana kebijakan.
Kelima ―tepat‖ tersebut masih perlu didukung oleh tiga jenis dukungan,
yaitu:
- Dukungan politik;
- Dukungan strategik; dan
- Dukungan teknis.
Analisis Respon
Lanjutan Tabel 8
Gambaran analisis asumsi yang paling penting adalah bahwa secara eksplisit
analisis asumsi diciptakan untuk mengurusi masalah-masalah yang rumit, yaitu
masalah-masalah di mana para analis kebijakan, pembuat kebijakan, dan pelaku
kebijakan lainnya tidak dapat sepakat tentang bagaimana merumuskan masalah.
Kriteria utama untuk mutu suatu rumusan masalah adalah apakah asumsi-asumsi
yang saling bertentangan mengenai suatu situasi masalah telah dimunculkan,
dikupas, dan disintesiskan secara kreatif (Dunn 2003).
Analisis asumsi secara eksplisit memperhatikan gambaran positif maupun
negatif dari konflik dan komitmen. Konflik dibutuhkan untuk menunjukkan
keberadaan kebijakan-kebijakan yang sangat bertentangan untuk menemukan dan
menghadapi asumsi-asumsi dari setiap kebijakan yang dibuat. Pada pihak yang
lain komitmen juga penting agar para pendukung dari setiap kebijakan dapat
menunjukkan bukti yang paling kuat (tidak perlu yang terbaik) untuk mendukung
pokok pandangan mereka (Mitroff dan Emshoff 1979).
Tujuan analisis asumsi dalam penelitian ini adalah : a) mengidentifikasi
peran pelaku kebijakan dalam PKH dari aspek legal formal dan b)
mengidentifikasi realisasi atau implementasi peran tersebut di lokasi studi.
Berdasarkan kedua literatur di atas, tahapan asumsi yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah:
1. Identifikasi pelaku kebijakan yang terkait dengan kegiatan PKH
2. Asumsi penting diidentifikasi dari peraturan perundang-undangan yang
mengatur pembagian peran para pelaku dalam kegiatan PKH
3. Asumsi yang dipertentangkan adalah asumsi yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan yang sifatnya umum dengan asumsi pelaksanaan
peraturan perundang-undangan di lokasi studi. Sumber data yang digunakan
untuk asumsi yang tertulis adalah dokumen peraturan perundang-undangan
PKH yang dapat diacu oleh semua lokasi. Sedangkan sumber data untuk
asumsi pelaksanaan kebijakan PKH berasal dari dokumen peraturan
perundang-undangan tertulis yang dikeluarkan oleh pemerintah dan hasil
pengumpulan data primer (observasi)
4. Kedua asumsi dikelompokkan dan dianalisis sejauhmana kesenjangan (gap)
antara keduanya.
5. Sintesis masalah
Dunn (2003) menjelaskan tahapan analisis asumsi dalam lima tahapan
prosedur, yaitu:
1. Identifikasi pelaku kebijakan. Pada tahap pertama pelaku kebijakan
diidentifikasi, diurutkan, dan diprioritaskan. Identifikasi, pengurutan, dan
penyusunan prioritas pelaku kebijakan didasarkan pada penilaian tentang
seberapa jauh masing-masing mempengaruhi dan dipengaruhi oleh proses
kebijakan. Prosedur ini menghaslkan identifikasi para pelaku kebijakan yang
biasanya dikeluarkan dalam analisis masalah kebijakan.
2. Memunculkan asumsi. Pada tahap kedua para analis bekerja mundur dari
solusi masalah yang direkomendasikan ke seleksi data yang mendukung
rekomendasi dan yang mendasari asumsi-asumsi, sehingga dengan data yang
ada, seseorang dapat menarik kesimpulan deduktif terhadap rekomendasi
sebagai konsekuensi dari data yang ada. Masing-masing solusi yang
direkomendasikan oleh para pelaku kebijakan harus mengandung sebuah
daftar asumsi yang secara eksplisit dan implisit mendasari rekomendasi.
70
1. Ketepatan Kebijakan
2. Ketepatan Pelaksana
3. Ketepatan Target
―…leasehold forests are form part of national forests and are leased out to
communities or to groups of people below the poverty line, or to any
organization that promotes forest development and environmental
protection…‖
Dari definisi konsep pinjam pakai di Nepal tersebut di atas jelas berbeda
dengan konsep yang saat ini diimplementasikan di Indonseia. Konsep yang
hampir mirip dengan pinjam pakai di Indonesia adalah kebijakan diversi kawasan
hutan untuk kegiatan pertambangan di India, namun belum ditemukan literatur
tentang kebijakan mekanismenya di negara tersebut. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa kebijakan PKH di Indonesia sangat spesifik dan tidak menduplikasi
kebijakan lain dalam pengelolaan hutan. Namun, apakah kebijakan ini
bertentangan dengan kebijakan lain atau tidak, rasanya perlu pembahasan yang
lebih mendalam. Merunut kembali sejarah dan perkembangan kebijakan PKH
pada bagian (chapter) sebelumnya, kebijakan ini merupakan kebijakan yang bisa
dikatakan win-win solution. Mengingat hingga saat ini belum ada alternatif
kebijakan lain yang pro-environment sekaligus pro-investment (pro-growth).
Kebijakan PKH merupakan kebijakan yang telah lama digulirkan oleh
pemerintah, terhitung sejak diterbitkannya SK Dirjen Kehutanan Nomor
64/Kpts/DJ/I/1978 tentang Pedoman Pinjam Pakai Tanah Kawasan Hutan. Saat
itu mekanisme yang digunakan adalah perjanjian pinjam pakai antara kementerian
pertanian (kementerian kehutanan) dan kementerian pertambangan dan energi.
Dengan demikian seharusnya tidak ada alasan bagi PKH di luar sektor kehutanan
yang tidak mengetahui kebijakan tersebut. Jika saat itu, pemohon pinjam pakai
kawasan hutan mengajukan permohonan melalui kementerian pertambangan dan
energi, saat ini pemohon bisa langsung mengajukan kepada menteri kehutanan.
Kebijakan PKH telah diketahui oleh semua pihak, terlebih dengan adanya polemik
PKH di dalam hutan lindung menjadikan kebijakan ini semakin dikenal dan
diketahui oleh berbagai pihak.
Meskipun pada prinsipnya para pemohon IPPKH telah mengetahui
kebijakan PKH tersebut, namun tidak semua pemohon mengetahui prosedur
permohonan, pemenuhan kewajiban baik pada saat persetujuan prinsip maupun
ketika IPPKH telah diterbitkan oleh menteri kehutanan. Pemohon IPPKH bisa
dikatakan telah siap untuk mengimplementasikan kebijakan PKH. Kesiapan
tersebut meliputi kondisi finansial dan kesiapan menerima semua konsekuensi
akibat permohonannya seperti, berbelit-belitnya birokrasi pengurusan izin,
curahan waktu tunggu yang cukup panjang, biaya transaksi yang tinggi, kondisi
kawasan hutan yang rawan konflik.
Sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya, kebijakan PKH
merupakah kebijakan inkrementalis. Menurut Nugroho (2009) model
inkrementalis melihat bahwa kebijakan publik merupakan variasi ataupun
kelanjutan kebijakan di masa lalu. Model ini dapat dikatakan sebagai model
pragmatis/praktis. Pendekatan ini diambil ketika pengambil kebijakan berhadapan
dengan keterbatasan waktu, ketersediaan informasi, dan kecukupan anggaran
untuk melakukan evaluasi kebijakan secara komprehensif. Dalam praktiknya
model kebijakan inkrementalis jamak dilakukan pada negara-negara berkembang.
75
4. Ketepatan Lingkungan
Eksperimental Simbolik
Ambiguitas
Rendah
Rendah Tinggi
Konflik
5. Ketepatan Proses
Unutk mendukung kelima tepat tersebut di atas, masih perlu didukung oleh
tiga jenis dukungan (Nugroho 2009), yaitu dukungan politik, dukungan strategi
dan dukungan teknis.
Pada dasarnya kebijakan PKH merupakan kepentingan sektor lain
(pertambangan dan ekonomi). Tidak ada pilihan lain bagi sektor kehutanan untuk
tidak menerimanya. Situasi politik pada awal digulirkannya kebijakan ini
memang sangat mendukung bagi sektor manapun untuk tidak menolak apa yang
diinginkan oleh pemerintah. Kebijakan apapun digulirkan demi pertumbuhan
ekonomi dan lancarnya pembangunan nasional. Meskipun dalam
perkembangannya kebijakan PKH terimbas oleh adanya perbuahan politik, namun
perubahan tersebut tidak cukup kuat untuk mengubah substansi kebijakan PKH.
Bahkan seiring dengan maraknya kegiatan pertambangan di Indonesia, kebijakan
PKH seolah menjadi solusi yang baik untuk ‗sekedar mengatur dan membatasi‘
kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan. Dukungan politik untuk
menjadikan kebijakan ini tetap eksis datang dari para aktor dengan diskursus
developmentalist25 sedangkan aktor-aktor yang berhaluan conservasionist justru
berpandangan bahwa kebijakan akan mengakibatkan kerusakan hutan semakin
luas dan terjadinya penurunan biodiversitas.
Sementara itu, dukungan strategi dalam implementasi kebijakan PKH
belum terlihat dengan jelas. Pemerintah masih mengandalkan peran aktif aktor
utama implementasi yaitu para pemegang IPPKH dan kepercayaan terhadap
perpanjangan tangan pemerintah di daerah serta peran serta pemerintah daerah
dalam mendukung implementasi kebijakan PKH di lapangan.
Dukungan lain yang diperlukan menurut Nugroho (2009) adalah dukungan
teknis. Kebijakan PKH ini kental dengan nuansa teknis kehutanan, antara lain
teknis planologi, rehabilitasi dan tata usaha kayu. Sementara teknis pertambangan
yang seharusnya menjadi pertimbagnan dalam pengambilan keputusan tidak
25
Menurut Wittmer dan Birner (2005), di Indonesia terdapat tiga diskursus yang berkembang,
yaitu conservasionist, eco-populist dan developmentalist.
78
diperhatikan. Teknis tambang hanya terasa pada peraturan yang mengatur tentang
reklamasi pasca tambang dan penambangan bawah tanah.
2. Ketepatan Pelaksanaan
- Kesesuaian aktor Pelaksana (implementor) kunci kebijakan PKH adalah Tepat
implementasi pemerintah (kementerian kehutanan), sedangkan
kebijakan implementor utama dalam pelaksanaan kebijakan PKH ini
adalah perusahaan pertambangan yang telah memegang
IPPKH. Keberhasilan implementasi kebijakan sangat
ditentukan oleh kinerja semua pihak. Sinergi antara
pemerintah dan pemegang IPPKH diharapkan dapat
meningkatkan efektifitas implementasi kebijakan.
3. Ketepatan Target
- Kesesuaian target Target yang dintervensi sesuai dengan yang direncanakan, Tepat
dengan rencana tidak ada tumpang tindih dan intervensi piha lain, tidak
bertentangan dengan kebijakan lain.
- Kesiapan target untuk Pemohon IPPKH telah mengetahui kebijakan PKH tersebut, Tepat
dintervensi. meskipun tidak semua pemohon mengetahui prosedur
permohonan, pemenuhan kewajibannya. Pemohon IPPKH
bisa dikatakan telah siap finansial dan kesiapan menerima
semua konsekuensi akibat permohonannya seperti: berbelit-
belitnya birokrasi pengurusan izin, curahan waktu tunggu
yang cukup panjang, biaya transaksi yang tinggi, kondisi
kawasan hutan.
79
Lanjutan Tabel 11
Kriteria dan Indikator Ketepatan
No Hasil Analisis
Implementasi Implementasi
- Efektifitas Perubahan kebijakan lebih pada penambahan/perbaikan Tidak tepat
implemenasi kebijakan persyaratan dan kewajiban yang dibebankan kepada
terkait dengan pemohon izin. Sehingga, perubahan-perubahan tersebut
perubahan-perubahan
justru menambah beban pemohon izin terutama
yang dilakukan.
meningkatnya biaya transaksi pada saat
mengimplementasikan kebijakan tersebut. Banyaknya
permasalahan yang dihadapi pemohon IPPKH sampai
dengan proses pemenuhan kewajiban dan konflik yang
harus dihadapi di lapangan menunjukkan bahwa perubahan-
perubahan kebijakan tersebut tidak efektif meningkatkan
kinerja implementasi kebijakan tersebut
4. Ketepatan Lingkungan
- Variabel endogen : Terbatasnya peranan para aktor dalam perumusan kebijakan Tidak tepat
Interaksi antara PKH mengakibatkan actor networking tidak terbangun dan
lembaga perumus tidak berkelanjutan. Isu-isu lain terkait dengan teknis
kebijakan dengan
kehutanan cenderung tidak melibatkan aktor-aktor di luar
pelaksana kebijakan
dengan lembaga yang kementerian kehutanan sehingga dominansi Kementerian
terkait. Kehutanan dalam perumusan kebijakan menjadi tidak
terbantahkan. Demikian juga dengan proses
implementasinya, hanya terdapat dua aktor yang dominan
yaitu kementerian kehutanan sebagai aktor kunci dan
perusahaan sebagai aktor utama implementasi di ranah
lapangan.
- Variabel eksogen Hampir semua pihak merasa tidak mempunyai interpretasi Tidak tepat
(lingkungan ekternal) : yang berbeda terhadap isi peraturan tentang PKH. Hal itu
terkait dengan opini menunjukkan bahwa kebijakan PKH mempunyai tingkat
dan persepsi publik
ambiguitas (kemenduaan) yang rendah. Namun, kebijakan
ini syarat dengan konflik. Kebijakan ini justru lahir dari
konflik kepentingan, perbedaan nilai dan motivasi serta
konflik penguasaan lahan di ranah tapak.
5. Ketepatan Proses
- Policy acceptance and Para pihak memahami dan menerima kebijakan PKH sebagai Tepat
adoption sebuah ‗aturan main‘ yang diperlukan dalam pengelolaan
kawasan hutan, serta kepastian usaha dan hukum bagi
perusahaan pertambangan. Di sisi lain pemerintah memahami
dan menerima kebijakan sebagai tugas yang harus
dilaksanakan.
- Strategic readiness, Semua pihak siap melaksanakan atau menjadi bagian dari Tepat
kebijakan, di sisi lain kementerian kehutanan beserta UPT-
nya di daerah on the street telah aktif berperan sebagai
pelaksana kebijakan di lapangan.
6. Dukungan Lainnya
- Dukungan Politik Pada dasarnya kebijakan PKH merupakan kepentingan Cukup kuat
sektor lain (pertambangan dan ekonomi). Situasi politik
pada awal digulirkannya kebijakan ini sangat mendukung,
meskipun dalam perkembangannya kebijakan PKH terimbas
oleh adanya perubahan politik, namun perubahan tersebut
tidak mengubah substansi kebijakan PKH.
80
Lanjutan Tabel 11
Kriteria dan Indikator Ketepatan
No Hasil Analisis
Implementasi Implementasi
- Dukungan Strategi Dukungan strategi dalam implementasi kebijakan PKH belum Lemah
terlihat jelas. Pemerintah masih mengandalkan peran aktif
aktor utama implementasi di lapangan.
- Dukungan Teknis Kebijakan PKH kental dengan nuansa teknis kehutanan. Terbatas
Sementara teknis pertambangan yang seharusnya menjadi
pertimbagnan dalam pengambilan keputusan tidak banyak
diperhatikan. Teknis tambang hanya terasa pada peraturan
yang mengatur tentang reklamasi pasca tambang dan
penambangan bawah tanah.
26
Tentang penataan batas areal kerja izin pemanfaatan hutan, persetujuan prinsip PKH,
persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan dan pengelolaan kawasan hutan dan pengelolaan
kawasan hutan pada kesatuan pengelolaan hutan dan kawasan hutan dengan tujuan khusus.
83
3. Pembayaran PNBP
skor yang sama yaitu 36 yang menunjukkan dalam pemenuhan kewajiban ini
perilakunya sama. Perusahaan tambang banyak yang terlambat dalam pembayaran
dan ketidaksesuaian jumlah yang harus dibayarkan. Hasil observasi dan
wawancara di lapangan menunjukkan kenyataan bahwa saat ini para pemegang
IPPKH sedang dilanda kebingungan terkait dengan kebijakan pembayaran PNBP.
Mereka mengeluhkan adanya kebijakan baru (diskresi) dari Direktur Jenderal
Planologi27 terkait dengan pembatalan pengembalian PNBP yang telah dibayarkan
jika terdapat kelebihan bayar. Mereka telah berusaha keras untuk membayar
PNBP sesuai baseline28 sebelum jatuh tempo agar tidak terkena denda. Namun
saat dilakukan pengukuran oleh tim verifikasi, kelebihan bayar yang telah
disetorkan kepada negara tidak dapat dikembalikan.
Hampir semua perusahaan tambang merasa dirugikan dengan diskresi
tersebut. Alih-alih membayar tepat waktu (sebelum jatuh tempo), diskresi
tersebut justru menurunkan niat baik pemegang IPPKH untuk membayar PNBP
sebelum jatuh tempo. Menurut mereka, sama saja antara membayar sebelum jatuh
tempo dan terlambat membayar, bedanya tidak terlalu signifikan. Bahkan mereka
beranggapan lebih baik membayar terlambat agar mendapatkan kepastian terlebih
dahulu berapa mereka harus membayar ditambah denda yang harus mereka
bayarkan dibandingkan dengan membayar sebelum jatuh tempo sesuai baseline
ternyata kelebihan bayarnya jauh lebih besar dibandingkan dengan denda yang
harus ditanggung perusahaan.
Kondisi tersebut bertolak belakang dengan apa yang dinyatakan oleh Rusli
(2008) yang pada saat itu menjabat sebagai Dirjen Planologi, bahwa PP Nomor 2
Tahun 2008 meletakkan dasar pengakuan sebagai insentif dan disinsentif bagi
pelaku pengguna kawasan hutan dan wujud nyata tanggungjawab terukur dan
dipertanggungjawabkan secara finansial. Diskresi tersebut seakan menjadi
disinsentif bagi pemegang IPPKH yang telah membayar PNBP tepat waktu.
Sumber : Data dan infomasi penggunaan kawasan hutan 2013. Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan, Direktorat
Jenderal Planologi, Kementerian Kehutanan dan (*) Laporan Bulanan Kegiatan Subdirektorat PNBP
Penggunaan Kawasan Hutan Bulan April 2014
27
Surat Direktur Jenderal Planologi Nomor S.209/VII-PKH/2012 tanggal 14 Pebruari 2012)
28
Baseline PKH adalah deskripsi secara kuantitatif dan kualitatif kondisi awal penutupan lahan
areal pinjam pakai pada masing-masing kategori L1, L2 dan L3 yang mengklasifikasikan
kondisi lahan yang dapat direvegetasi atau tidak dapat direvegetasi sebagai dasar penilaian
keberhasilan reklamasi.
86
29
Wajib Bayar adalah pemegang perjanjian/izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri, bagi
izin pada provinsi dengan luas kawasan hutannya lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari luas
daratan provinsi (Permenhut P.56/Menhut-II/2008).
87
Tabel 14 Rata-rata besarnya PNBP per hektar per tahun yang dibayarkan
pemegang IPPKH berdasarkan rencana kerja PKH
Luas (Hektar) Rata2
Perusa- Komoditi Waktu
No Total PNBP (Rp) PNBP
haan Tambang Permohonan Penggunaan (Tahun)
(Rp/ha/th)
1 PT. A Batubara 200.70 45.70 10 1,740,720,000 3,809,015
2 PT. B Batubara 136.67 136.67 9 3,429,576,000 2,788,205
3 PT. C Batubara 725.00 546.87 11 10,623,600,000 1,766,017
4 PT. D Batubara 322.71 88.95 9 2,462,472,000 3,075,975
5 PT. E Batubara 1,810.46 837.96 14 26,692,992,000 2,275,338
6 PT. F Batubara 155.45 98.84 13 2,889,864,000 2,249,061
7 PT. G Nikel 890.00 302.00 19 11,134,560,000 1,940,495
8 PT. H Nikel 1,941.10 1,588.88 24 54,263,712,000 1,423,007
9 PT. I Nikel 3,146.20 2,191.74 24 60,842,424,000 1,156,661
10 PT. J Emas 645.45 463.50 20 30,973,776,000 3,341,292
Jumlah 9,973.74 6,301.11 153 205,053,696,000 23,825,068
Rata-rata 997.37 630.11 15.30 20,505,369,600 2,382,507
Sumber : Hasil olah data sekunder dari rencana kerja PKH masing masing perusahaan
faktor teknis penambangan dan proses penataan lahan dan reklamasi yang
memakan waktu cukup lama. Sehingga tingkat komitmen bisa dikatakan rendah
jika areal yang telah dibuka merupakan areal mined out dan perusahaan tidak lagi
melakukan kegiatan penambangan di areal kerjanya.
31
Anonim. 2012. Insentif reklamasi bagi pengusaha tambang. Majalah Tropis 10 (5): 35-37
90
32
Salah satu materi yang dibicarakan dalam rapat pembahasan yang diselenggarakan di BPKH
Wilayah IV-Samarinda dan para pihak lainnya adalah membahas rencana pengembalian
kawasan hutan kepada pemerintah (cq Menteri Kehutanan)
91
tenaga kerja, biaya, tata waktu, peta situasi minimal skala 1 : 10.000 dan peta
penanaman per blok minimal skala 1 : 5.000.
- Rancangan teknis penanaman pada kawasan hutan lindung dan di luar kawasan
hutan dinilai oleh Kepala BPDAS/Kepala Balai Pengelolaan Hutan Mangrove
dan disahkan oleh Kepala Dinas kabupaten/kota yang menangani kehutanan.
- Rancangan teknis penanaman pada kawasan hutan konservasi dinilai oleh
Kepala BPDAS/Kepala Balai Pengelolaan Hutan Mangrove dan disahkan oleh
Kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumberdaya Alam/Taman Nasional.
- Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan wajib memiliki unit kerja yang
menangani pelaksanaan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS.
- Unit kerja penanaman tersebut mempekerjakan tenaga teknis yang
berkualifikasi sarjana kehutanan/pertanian selama jangka waktu penanaman
dalam rangka rehabilitasi DAS dengan ketentuan luas sampai dengan 600
(enam ratus) hektar minimal 1 (satu) orang dan lebih dari 600 (enam ratus)
hektar minimal 2 (dua) orang.
- Penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS dilaksanakan oleh pemegang izin
pinjam pakai kawasan hutan dapat dilakukan dengan cara swakelola dan/atau
oleh pihak ketiga.
- Pelaksanaan penanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah
dimulai paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak disahkannya
rancangan teknis penanaman.
Permenhut P.63/Menhut-II/2011 merupakan peraturan yang digulirkan
oleh Kementerian Kehutanan sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan rehabilitasi
DAS bagi pemegang IPPKH. Peraturan ini mendukung Permenhut P.18/Menhut-
II/2011 tentang pedoman pinjam pakai kawasan hutan yang terlebih dahulu terbit
(yang kemudian diubah menjadi Permenhut Nomor P.16/Menhut-II/2014)
sebagai peraturan pelaksanaan dari PP Nomor 24 Tahun 2008 jo PP Nomor 61
Tahun 2012 tentang PKH. Namun, kurangnya sosialisasi peraturan tentang
prosedur rehabilitasi DAS kepada para pemegang IPPKH menjadikan respon
pemegang IPPKH sangat rendah. Dari 152 IPPKH yang berada di tiga provinsi
(Kaltim, Kalsel dan Sultra) baru 26 (17,11%) perusahaan yang telah mengajukan
permohonan lokasi rehabilitasi DAS (Tabel 17).
33
L3 adalah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 yaitu area
terganggu karena PKH yang bersifat permanen yang secara teknis tidak dapat dilakukan
reklamasi (ha) yang selanjutnya dikenakan 2 (dua) kali tarif PNBP sampai areal diserahkan
kembali.
94
Asumsi kedua ini merupakan efek lanjutan dari asumsi pertama. Dengan
dukungan financial yang rata-rata sangat kuat, pemegang IPPKH dianggap
mampu untuk memenuhi semua kewajiban yang diberikan oleh pemerintah.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah seberapa besar pemerintah menaruh
kepercayaan (trust) kepada para pemegang IPPKH ? Diperlukan kemauan atau
komitmen dari pemegang IPPKH untuk melaksanakan kebijakan PKH dengan
baik dan benar.
Berdasarkan data respon terhadap enam indikator yang ditetapkan di atas,
terutama pelaksanaan kebiatan reklamasi dan revegetasi serta rehabilitasi DAS,
maka sangat perlu ditingkatkan sistem kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan
PKH di lapangan. Kontrol terutama kepada pemegang IPPKH yang mempunyai
izin tambang IUP dari Bupati yang rata-rata berkinerja buruk. Sementara
pemegang IPPKH dari PKP2B /KK rata-rata berkategori cukup baik. Diharapkan
dengan ketatnya control terhadap para pemegang IPPKH dapat meningkatkan
kemauan atau komitmen mereka terhadap keberhasilan implementasi kebijakan
PKH.
34
Penyusunan rencana kerja merupakan persyaratan yang diwajibkan oleh Kementerian
Kehutanan yang disertai dengan peta lokasi dan citra landsat terbaru resolusi minimal
15mx15m. Rencana kerja tersebut disusun berdasarkan format (outline) baku yang telah
disepakati di internal Direktorat PKH, Direktorat Jenderal Planologi. Dalam praktiknya, format
rencana kerja tersebut bersifat fleksibel, namun secara garis besar berisi materi-materi pokok
yang dikehendaki oleh Kementerian Kehutanan. Rencana kerja ini menjadi acuan bagi
penyusunan baseline untuk pembayaran PNBP
96
Tabel 18 Matriks hasil analisis asumsi (gap analysis) yang digunakan dalam
implementasi kebijakan PKH
35
Untuk memperbaiki pelayanan perizinan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan resmi meluncurkan
pelayanan informasi perizinan satu pintu Kementerian Kehutanan, Rabu, 11 September 2013.
Pelayanan ini, katanya, merupakan bentuk reformasi birokrasi dari kementeriannya. Dengan
pelayanan ini, menurut dia, proses perizinan akan menjadi lebih mudah dan transparan. Dalam
layanan baru itu, proses perizinan dilakukan melalui satu pintu sehingga lebih cepat. "…Selama
ini, orang selalu pikir birokrasi itu berbelit..." kata Zulkifli. Selain itu, pemohon dapat
mengetahui secara jelas waktu yang dibutuhkan untuk proses perizinan. "…Biaya yang
dibutuhkan juga jelas ditampilkan..." Menurut Zulkifli, selama ini memang banyak pihak yang
mengeluhkan lamanya waktu perizinan di kementeriannya. Namun, yang perlu dicatat adalah
ketersediaan kelengkapan yang dimiliki oleh pemohon. (Chairunnisa N. 2013. Kemenhut
luncurkan perizinan satu pintu. [internet] Tempo. Diakses di http://www.tempo.co/
read/news/2013/09/11/090512449/Kemenhut-Luncurkan-Perizinan-Satu-Pintu pada tanggal 29
Januari 2014.
36
Dalam lampiran Inpres Nomor 1 Tahun 2013 disebutkan bahwa kementerian kehutanan
diberikan tanggungjawab untuk melaksanakan pelayanan perizinan tepat waktu secara online
untuk 8 jenis perizinan dengan ukuran keberhasilan terselenggaranya monitoring dan evaluasi
pelayanan perizinan secara online untuk 8 jenis perizinan
99
37
Herdiman FS. 2013. Tarif naik: PNBP Kehutanan bisa capai Rp. 6T. [Internet] Jurnas.com.
Diakses di http://www.jurnas.com/news/82703 pada tanggal 29 Januari 2014
38
Ibid
100
39
Kompas. 2014 Februari 24. Tarip pinjam pakai kawasan untuk tambang dinaikkan: 17 (Kol 1-5)
101
menunjukan grafik yang terus meningkat. Pada penggunaan kawasan hutan seluas
40%, menunjukan grafik yang meningkat hingga tahun 2038 untuk kegiatan hutan
tanaman dan tanaman pokok, sedangkan setelah itu grafik kegiatan hutan tanaman
dan tanaman pokok, menunjukan penurunan.
Selanjutnya Djuwita et al (2013) menyimpulkan bahwa model
pembangunan berkelanjutan pada pengelolaan hutan tanaman dan tambang
batubara adalah layak dilakukan secara bersinergi pada areal penggunaan kawasan
hutan seluas 30% dan membayarkan nilai ganti rugi kepada pengusaha hutan
tanaman sebesar US$ 11,699/hektar, kepada pemerintah sebesar US$
30,493/hektar dan kepada masyarakat sebesar US$ 638/hektar. Namun, dalam
wawancara dengan Soetrisno41, kesimpulan tersebut masih harus dikaji lagi
mengingat penelitian yang dilakukan merupakan kasus spesifik di IUPHHK-HT
dengan metode simulasi. Belum tentu hasilnya akan sama pada kasus yang lain.
Sementara menurut Boen M Purnama42, pembatasan luas pada dasarnya
tidak terlalu penting, jika pemerintah dapat menentukan kawasan-kawasan hutan
yang relatif aman/diperbolehkan atau tidak bagi kegiatan tambang berdasarkan
kajian ekologis. Hal itu lebih memudahkan dalam pengambilan keputusan bagi
kebijakan pertambangan di dalam kawasan hutan sebagaimana diberlakukannya
moratorium izin di dalam kawasan hutan primer dan/atau gambut.
Tabel 19 Matriks isu-isu dalam implementasi kebijakan PKH dan arah kebijakan
yang akan datang
41
Wawancara dengan Ir Soetrisno MM, penggagas besarnya prosentase luas IPPKH di dalam
suatu unit pengelolaan (Perum Perhutani maupun IUHHK-HA/HT).
42
Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Periode 2005-2010
104
Lanjutan Tabel 19
No Isu Kebijakan Hasil Analisis Arah kebijakan
4. Pembatasan luas Semakin sempitnya kawasan hutan yang akan Perubahan Permenhut
IPPKH dalam satu digunakan untuk aktifitas pertambangan, terutama tentang pedoman pinjam
wilayah dalam suatu unit pengelolaan, memicu aksi kolektif pakai, terkait dengan
pengelolaan (collective action) para pengusaha tambang untuk prosentase luas kawasan
kawasan hutan mengajukan uji materi terhadap Permenhut yang hutan yang diizinkan di
maksimal 10 % mengatur tentang pembatasan luas IPPKH. dalam suatu unit
pengelolaan
Simpulan
Pendahuluan
dilakukan dengan analisis para pihak. Tujuan dari analisis para pihak adalah untuk
mengembangkan pandangan strategis dari sudut pandang manusia dan
kelembagaan, dan hubungan antara berbagai pemangku kepentingan dan isu-isu
yang menjadi perhatian mereka.
Sementara Grimble dan Wellard (1997) berpendapat, analisis para pihak
adalah sebuah alat yang sangat baik untuk digunakan dalam menganalisis
kebijakan dan perumusannya serta dapat dipertimbangan dalam perumusan
kebijakan program-program pengelolaan sumberdaya alam. Analisis ini
merupakan sebuah pendekatan untuk memahami sebuah sistem kebijakan dan
perubahan di dalamnya dengan mengidentifikasi aktor-aktor kunci atau para pihak
dan sejauh mana peranan maupun kepentingan-kepentingan mereka di dalamnya.
Tujuan
Metode Analisis
Analisis para pihak adalah suatu metode untuk menilai secara mendalam
tentang karakteristik individu atau kelompok dan hubungannya terhadap
sumberdaya atau suatu proyek. Kegiatan ini menilai para pihak yang berhadapan
dengan sumberdaya dan akibat yang ditimbulkan suatu aktivitas.
Untuk mengetahui karakteristik para pihak yang berkepentingan dalam
proses dan implementasi kebijakan PKH, digunakan analisis para pihak
(stakeholders analysis) untuk menilai pihak-pihak yang berkepentingan dan
terlibat. Analisis para pihak mengacu pada berbagai alat untuk identifikasi dan
deskripsi para pihak, hubungan antarmereka, kepentingan masa depan saat ini dan
(potensial) dan tujuan (Pomeroy dan Fanny 2008), dan meneliti pertanyaan
tentang bagaimana dan sejauh mana mereka mewakili berbagai segmen
masyarakat.
Menurut Reed et al (2009), analisis para pihak dilakukan dengan cara: (1)
melakukan identifikasi para pihak; (2) mengelompokkan dan membedakan antar
pihak; dan (3) menyelidiki hubungan antar pihak. Identifikasi para pihak
merupakan proses yang dilakukan secara berulang, hingga ditetapkan pihak-pihak
yang benar-benar mengetahui permasalahan. Jika pembatasan telah ditetapkan
sejak awal, maka para pihak yang berkepentingan memang dapat lebih mudah
terindetifikasi. Namun hal ini mengandung resiko bahwa beberapa pihak akan
terabaikan, dan tentu saja identifikasi ini tidak relevan lagi.
107
Rendah Tinggi
Pengaruh
Gambar 7 Matriks pengaruh dan kepentingan hasil analisis para pihak (Reed et al.
2009)
109
Tabel 21 Bobot nilai (skor) dan verifier untuk mengetahui hak, tanggungjawab
dan manfaat yang diterima para pihak dalam implementasi kebijakan
PKH.
Tabel 22 Bobot nilai (skor) dan verifier untuk mengetahui hubungan yang
diharapkan/didapatkan oleh para pihak dalam implementasi kebijakan
PKH.
Skor Katagori Hubungan Interaksi Kontinuitas Sinergitas Kekuatan Konflik
5 Sangat Baik Ada Kontinyu Ada Kuat Tidak
4 Baik Ada Kontinyu Ada Cukup Tidak
3 Cukup Baik Ada Kontinyu Tidak Lemah Tidak
2 Kurang Baik Ada Tidak Tidak Lemah Tidak
1 Tidak ada hubungan Tidak Tidak Tidak Lemah Tidak
0 Tidak teridentifikasi - - - - -
-1 Potensial terjadi konflik Ada Tidak Tidak Lemah Ada
-2 Sering terjadi konflik Ada Kontinyu Tidak Cukup Ada
Tabel 23 Nilai rataan skor dan tingkat kepentingan dan pengaruh para pihak dalam
implementasi kebijakan PKH.
Kepentingan Pengaruh
No Para pihak
Skor Tingkat Skor Tingkat
1. BPKH 17.00 Tinggi 24.00 Sangat Tinggi
2. BPDAS 16.33 Tinggi 18.00 Tinggi
3. BP2HP 8.50 Rendah 8.50 Rendah
4. Dishut Provinsi 15.00 Cukup Tinggi 15.67 Tinggi
5. Dishut Kabupaten 15.00 Cukup Tinggi 13.00 Cukup tinggi
6. Dis ESDM Provinsi 5,67 Rendah 5,67 Rendah
7. DisESDM Kabupaten 5.33 Rendah 5.00 Sangat Rendah
8. BLHD Kabupaten 8.00 Rendah 7.50 Rendah
9. Pemegang IPPKH 20.36 Sangat Tinggi 16.82 Tinggi
10. Pemegang IUPHHK 13.00 Cukup tinggi 10.67 Cukup tinggi
Keterangan: Hasil olah data dan interpretasi peneliti berdasarkan wawancara semi terstruktur.
25
Subjects Key Players
PEMEGANG IPPKH
20
Kepentingan
BPKH
BPDAS
15
DISHUT KAB DISHUT PROV
PEMEGANG IUPHHK
10
BP2HP
BLHD KAB
DISESDM PROV
DISESDM KAB Crowd Context Setter
5
5 10 15 20 25
Pengaruh
Key player merupakan para pihak yang aktif karena mereka mempunyai
kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap implementasi kebijakan PKH.
Subjects memiliki kepentingan yang tinggi tetapi pengaruhnya rendah dan
walaupun mereka mendukung kegiatan, kapasistasnya terhadap dampak mungkin
tidak ada. Namun para pihak dalam kategori ini akan mempunyai pengaruh
terhadap implementasi kebijakan jika mempunyai modal dan aksi bersama yang
kuat. Context setter memiliki pengaruh yang tinggi tetapi sedikit kepentingan.
114
Sedangkan crowd merupakan para pihak yang memiliki sedikit kepentingan dan
pengaruh terhadap hasil yang diinginkan dan hal ini menjadi pertimbangan untuk
mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan.
Hasil pemetaan posisi para pihak menunjukkan bahwa para pihak yang
masuk dalam kuadran key players adalah Pemegang IPPKH, BPKH, BPDAS.
Ketiganya mempunyai kepentingan dan pengaruh yang besar terhadap
keberhasilan implementasi kebijakan PKH. Pemegang IPPKH merupakan para
pihak utama dalam implementasi kebijakan PKH, keberhasilan implementasi
sangat ditentukan oleh kinerja pemegang IPPKH. Baik buruknya respon
pemegang IPPKH (sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya)
terhadap kebijakan PKH sangat menentukan keberhasilan implementasi kebijakan
tersebut. Sedangkan BPKH dan BPDAS merupakan pihak-pihak kunci yang
merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat (kementerian kehutanan) di
daerah. Kedua UPT tersebut merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan
kegiatan IPPKH di lapangan, sehingga keduanya mempunyai kepentingan dan
pengaruh yang besar terhadap keberhasilan implementasi kebijakan PKH.
Adapun pada kuadran crowd terdapat pemegang IUPHHK, BP2HP, BLHD
Kabupaten, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi. Pada kuadran ini setiap
pihak dikatagorikan tidak mempunyai kepentingan dan pengaruh yang besar
seperti pada kuadran key players. BP2HP meskipun sebagai UPT pemerintah
pusat, namun kepentingan dan pengaruh tidak terlalu besar. Hal itu terkait dengan
peranan BP2HP yang juga tidak terlalu besar terhadap keberhasilan implementasi
kebijakan PKH. Peranan BP2HP hanya sebagai pendukung dalam pelaksanaan
kebijakan PKH di lapangan. Sementara pemegang IUPHHK, BLHD Kabupaten
dan Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi juga tidak mempunyai kepentingan
dan pengaruh yang besar. Hal itu sesuai dengan hasil identifikasi bahwa ketiga
institusi tersebut merupaka pihak pendukung (secondary stakehoders).
Dinas Kehutanan Provinsi, maupun Dinas Kehutanan Kabupaten
mempunyai tingkat kepentingan yang sama, namun mempunyai tingkat pengaruh
yang berbeda. Dishut Prov mempunyai pengaruh yang lebih besar dibanding
Dishut Kab yang disebabkan oleh peranan Dishut Prov dalam implementasi
kebijakan PKH juga lebih besar. Peranan tersebut terkait dengan pemberian
pertimbangan teknis dalam rangka penerbitan rekomendasi Gubernur untuk calon
pemegang IPPKH dan koordinator tim evaluasi IPPKH dalam rangka persetujuan
prinisp IPPKH, perpanjangan IPPKH (eksplorasi maupun eksploitasi),
pengembalian lahan IPPKH maupun evaluasi IPPKH periodik. Sementara
peranan Dishut Kab adalah pada monitoring IPPKH periodik (sekali dalam satu
tahun).
Pihak-pihak lain yang teridentifikasi yaitu LSM, ormas dan masyarakat di
sekitar kawasan hutan tidak mempunyai kepentingan maupun pengaruh terhadap
tingkat keberhasilan implementasi kebijakan PKH. Namun demikian, dalam
realitanya ketiga pihak tersebut mempengaruhi kinerja pemegang IPPKH.
Masyarakat memanfaatkan keberadaan perusahaan tambang dengan melakukan
klaim atas kawasan hutan dengan harapan mendapatkan ganti rugi atau
kompensasi. Sedangkan LSM dan ormas berharap mendapatkan keuntungan dari
adanya konflik tersebut dengan berperan sebagai mediator. Pada akhirnya LSM
dan ormas juga meminta ‗imbalan jasa‘ atas peranannya sebagai mediator
tersebut.
115
43
Pembahasan tentang konflik yang terjadi sebagai akibat hubungan antar para pihak akan
dibahas tersendiri dalam bab selanjutnya.
116
Peranan para pihak juga dapat dilihat dengan menggunakan analisis 4Rs.
4Rs merupakan alat analisis bagaimana orang berhubungan satu sama lain atas
pemanfaatan sumber daya alam dalam peran pemangku kepentingan yang dibagi
menjadi hak (rights), tanggung jawab (responsibilities) dan manfaat (revenues),
dan kemudian menilai hubungan (relationships) antara peran ini (IIED 2005,
Salam dan Noguchi 2006). Kerangka pendekatan 4Rs ini dapat diterapkan pada
berbagai tingkatan yang berbeda, baik di tingkatan lokal atau proyek, wilayah, dan
nasional. Pendekatan 4Rs dianggap paling efektif sebagai participatory tool untuk
membangun dialog diantara para pihak (IIED 2005).
Sebagai langkah awal, identifikasi akan dilakukan pada 3Rs pertama, yaitu
rights, responsibilities dan revenues. Analisis 3Rs ini dilakukan secara bersamaan
di dalam serta diantara kelompok-kelompok para pihak, karena keseimbangan
(balance) diantara hak, tanggungjawab, dan manfaat merupakan indikasi yang
baik dalam membentuk struktur kekuatan serta insentif atau disinsentif dalam
mencapai pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, misalnya : (a) tanggung-
jawab yang tinggi akan meningkatkan insentif yang diberikan; dan (b) pelaksana
swasta memiliki hak dan pendapatan dari pengelolaan sumberdaya alam tetapi
memiliki beban tanggung-jawab rendah atau tanggung-jawab terhadap publik
yang kurang. Hubungan diantara pihak dianalisis dengan memperhatikan: (a)
kualitas hubungan (misalnya: baik, sedang, atau terjadi konflik); (b) kekuatan
hubungan, berkaitan dengan frekuensi dan intensitas kontak diantara pihak; (c)
formalitas hubungan, berkaitan dengan tipe hubungan yang bersifat formal atau
informal; serta (d) ketergantungan (dependence) antar pihak (IIED, 2005).
Keberhasilan implementasi kebijakan salah satunya ditentukan oleh
berfungsinya institusi yang dibangun. Aturan main dijalankan dengan baik, para
pihak yang berkompeten dapat menjalankan peranannya sesuai dengan hak, tugas,
tanggungjawab serta mendapatkan manfaat yang diharapkan. Dalam proses
perumusan dan implementasi kebijakan PKH, Kementerian Kehutanan berusaha
membagi habis tugas kepada para pihak yang berkompeten baik di institusi pusat
di daerah maupun institusi pemerintah daerah. Namun demikian, masih terdapat
berbagai kendala dalam pelaksanaannya. Keterbatasan sumberdaya manusia
pelaksana, minimnya anggaran dan lemahnya koordinasi menjadi permasalahan
klasik dalam implementasi kebijakan.
Hasil identifikasi terhadap peranan para pihak dalam implementasi
kebijakan PKH disajikan dalam Tabel 24.
117
Tabel 24 Peranan para pihak berdasaskan hak, tanggung jawab dan manfaat yang
diperoleh dalam implementasi PKH
Pendukung :
1. Kementerian Menerbitkan 5 Bimbingan dan Pembinaan pelaksanaan 3 Pendapatn negara 5
ESDM PKP2B/KK kegiatan pertambangan (supproting)
2. Gubernur Menerbitkan 5 Pengawasan (supproting) 3 Pendapatan daerah 5
rekomendasi
3. Bupati Menerbitkan IUP 5 Pengawasan (supproting) 3 Pendapatn daerah 5
4. Dinas Kehutanan Memberikan 4 - Tata batas dan inventarisasi 4 Pemberdayaan, 2
Prov pertimbangan teknis, - Verifikasi calon lokasi rehabilitasi DAS peningkatan kualitas dan
evaluasi IPPKH - Penilaian hasil rehabilitasi DAS kesejahteraan SDM
- Evaluasi dan atau Monitoring IPPKH,
- Verifikasi PNBP
- Pemeriksaan Lapangan Lahan Kompensasi
5. Dinas Kehutanan Monitoring IPPKH 4 - Tata batas dan inventarisasi 4 Pemberdayaan, 2
Kab/Kota - Penilaian hasil revegetasi peningkatan kualitas dan
- Verifikasi calon lokasi rehabilitasi DAS kesejahteraan SDM
- Penilaian hasil rehabilitasi DAS
- Evaluasi dan atau Monitoring IPPKH,
- Verifikasi PNBP
- Pemeriksaan Lapangan Lahan Kompensasi
6. Distamben - 1 - Memberikan pertimbangan teknis dalam 3 1
Provinsi rekomendasi Gubernur
- Penilaian hasil penanaman revegetasi
118
Lanjutan Tabel 24
yang mendapatkan haknya atas akses memasuki dan menggunakan kawasan hutan
untuk kegiatan pertambangan, para pihak lain yang mempunyai skor rights dan
responsibilities maksimal adalah kementerian kehutanan, kementerian ESDM,
Gubernur dan Bupati. Keempat lembaga tersebut mempunyai kewenangan untuk
menerbitkan surat izin, pertimbangan teknis maupun rekomendasi yang
diperlukan dalam permohonan izin IPPKH. Dengan demikian peranan para pihak
terkait dengan rights dan responsibilities para pihak mempunyai korelasi dengan
power yang dimiliki dan besarnya pengaruh yang ditimbulkan sebagai akibat
penggunaan rights tersebut.
Sebaliknya, terdapat lima pihak yang teridentifikasi tidak memiliki rights
dan responsibilities apapun dalam implementasi kebijakan PKH, yaitu Distamben
Provinsi, Distamben Kabupaten, Badan Lingkungan Hiduap Daerah Kabupaten,
LSM, Ormas dan Aparat. Namun keberadaan kelima pihak tersebut mempunyai
pengaruh terhadap implementasi kebijakan PKH, walaupun kecil. Bahkan
masyarakat, LSM, ormas dan aparat mendapatkan manfaat langsung dari
keberadaan pemegang IPPKH. Mereka memanfaatkan situasi untuk mengambil
untung. Masyarakat melakukan klaim atas kawasan hutan yang dipinjam pakai
sebagai lahan garapan mereka yang menyebabkan terjadinya konflik atas kawasan
hutan yang dipinjam pakai. Sementara LSM dan Ormas mengatasnamankan
masyarakat berpura-pura membantu memediasi pemegang IPPKH dengan
masyarakat. Namun, ujung-ujungnya baik LSM maupun ormas hanya ingin
mendapatkan keuntungan dari pemegang IPPKH. Adapun aparat keamanan
bersikap pasif, yaitu menunggu laporan dari pihak-pihak yang berkonflik,
kemudian melihat dan menganalisis konflik. Tindakan yang akan dilakukan oleh
aparat keamanan sangat tergantung pada situasi dan kondisi masyarakat, seberapa
besar konflik yang terjadi, pendekatan pemegang IPPKH, siapa pemilik pemegang
IPPKH dan bagaimana kebijakan pimpinan kesatuan dari aparat tersebut. Pada
akhirnya apapun upaya yang dilakukan oleh aparat, mereka tetap mempunyai
kepentingan untuk bisa mendapatkan manfaat dari konflik yang terjadi..
Keseimbangan pembagian peran dan keterlibatan tersebut di atas tidak
menjadikan pemerintah daerah menerima kewenangan penerbitan IPPKH oleh
pemerintah pusat. Baik pemerintah provinsi maupun kabupaten berpendapat
bahwa pada era desentralisasi seperti sekarang ini, seharusnya kewenangan
IPPKH diberikan kepada daerah, karena daerah lebih mengetahui situasi dan
kondisi daerahnya masing-masing. Mereka menganggap bahwa pemerintah pusat
melakukan tebang pilih kewenangan. Alasan mereka adalah, terdapat kewenangan
pengelolaan kawasan hutan yang memerlukan dana diberikan ke daerah tetapi
pemerintah pusat tidak memberikan anggaran yang mencukupi. Sementara
kewenangan yang menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) diambil oleh
pemerintah pusat. Pemerintah pusat terkesan setengah hati dalam memberikan
kewenangan kepada pemerintah daerah. Demikian pendapat dan persepsi para
pihak terhadap kewenangan pemberian IPPKH.
Dalam Permenhut Nomor P.16/Menhut-II/2014 telah dijelaskan dengan
cukup lengkap peranan para pihak dalam implementasi kebijakan PKH. Para
pihak mendapatkan peranannya sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang
melekat pada institusinya. Dari 17 jenis kegiatan yang teridentifikasi dalam
proses implementasi kebijakan PKH, Dishutkab dan Dishutprov mempunyai
keterlibatan paling tinggi (11 kali) sementara BPKH (10 kali), BPDAS (7 kali),
120
dan BP2HP (7 kali). Kelima pihak tersebut secara bersamaan melakukan kegiatan-
kegiatan; pemeriksanaan lapangan calon lahan kompensasi, verifikasi calon lokasi
rehabilitasi DAS, penetapan lokasi rehabilitasi DAS, penilaian tegakan hasil
revegetasi, penilaian hasil penanaman rehabilitasi DAS, monitoring IPPKH dan
evaluasi IPPKH.
Keterlibatan pemerintah daerah bersama dengan pemerintah pusat (yang
diwakili oleh Unit Pelaksana Teknis Pusat di daerah) menunjukkan adanya sinergi
dan koordinasi yang cukup bagus dalam implementasi kebijakan PKH (Tabel 25).
Pemerintah pusat juga telah memberikan kewenangan yang cukup besar kepada
pemerintah daerah dengan selalu melibatkannya dalam setiap pengambilan
keputusan mulai dari kegiatan pengajuan permohonan IPPKH oleh perusahaan
tambang sampai dengan penilaian pengembalian areal IPPKH-nya. Namun,
Pemerintah daerah masih menuntut kewenangan pemberian IPPKH seharusnya
berada di pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten. Mereka juga
mengeluhkan keterlambatan dan tidak memadainya anggaran (dekonsentrasi)
untuk kegiatan monitoring dan evaluasi.
Tabel 25 Matriks keterlibatan para pihak dalam kegiatan implementasi kebijakan
penggunaan kawasan hutan
Keterlibatan Para pihak
No Jenis Kegiatan
Men ESDM
Ditjen BUK
Dishut Prov
Ditjen Plan
Gubernur
Perhutani
BKSDA
BPDAS
Menhut
BP2HP
BLHD
BPKH
Bupati
BTN
BPN
1 Penerbitan izin tambang √ √ √
2 Penerbitan dokumen lingkungan √ √ √ √ √ √
3 Pertimbangan teknis wilayah √ √ √ √ √ √
pertambangan
4 Penerbitan rekomendasi √ √
Gubernur/Bupati
5 Proses dan analisis perizinan √
PPKH
6 Pertimbangan teknis kawasan √ √
hutan
7 Pemeriksaan lapangan calon lahan √ √ √ √ √ √ √
kompensasi
8 Penerbitan IPPKH √
9 Tata batas kawasan hutan √ √ √
10 Inventarisasi tegakan √ √ √ √
11 Verifikasi calon lokasi rehabilitasi √ √ √ √ √ √ √
DAS
12 Penetapan lokasi rehabilitasi DAS √ √ √ √ √ √
13 Verifikasi PNBP
14 Penilaian tegakan hasil revegetasi √ √ √ √ √ √ √
15 Penilaian hasil penanaman √ √ √ √ √ √ √
rehabilitasi DAS
16 Monitoring IPPKH √ √ √ √ √
17 Evaluasi IPPKH √ √ √ √ √
Jumlah 2 1 2 3 1 1 1 1 1 11 2 11 3 10 7 7 2 2 1 1 2
Keterangan = prosentase keterlibatan pemerintah pusat 37 peran (52,9%), pemerintah daerah 33 peran
(47,1%)
121
DIstamben Kab/kota
Pemegang IUPHHK
Pemegang IPPKH
Dishut Kab/Kota
Distamen Prov
Dishut Prov
Para pihak
Masyarakat
BKSDA
BPDAS
BP2HP
BLHD
BPKH
Aparat
Ormas
LSM
BTN
Dishut Prov 2 3 0 5 5 3 0 0 1 2 0 4 1 0 1
Distamben Prov 0 0 2 2 2 1 1 1 0 0 2 1 0 1
Dishut Kab/Kota 2 4 4 3 0 0 2 0 0 3 1 0 1
Distamben Kab/Kota 1 1 1 1 1 2 0 0 4 1 0 1
BPKH 4 3 2 2 1 0 0 4 1 0 1
BPDAS 3 4 4 1 0 0 4 1 0 1
BP2HP 1 1 1 0 0 2 1 0 1
BKSDA 4 1 0 0 3 1 0 0
BTN 1 0 0 3 1 0 0
BLHD 0 0 3 1 0 0
LSM 4 -1 1 0 4
Ormas -2 1 0 5
Pemegang IPPKH -1 -1 -2
Pemegang IUPHHK 0 0
Aparat 2
Masyarakat
Keterangan : Hasil olah data dan informasi wawancara tidak terstruktur dan studi literatur kemudian diinterpretasikan
peneliti menjadi 8 katagori hubungan antar pihak.
disertai dengan konflik dan skor -2 (negatif dua) yang berarti hubungan sering
disertai dengan konflik.
Hubungan sangat baik ditunjukkan oleh Dinas Kehutanan Provinsi dengan
BPKH dan BPDAS, sementara hubungan BPKH dengan BPDAS berkategori
baik. Hubungan baik juga ditunjukkan oleh pemegang IPPKH dengan BPKH,
BPDAS, Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten
dan antara BPDAS dengan BKSDA dan BTN. Sebaliknya, hubungan konflik44
dengan intensitas sering ditunjukkan oleh pemegang IPPKH dengan masyarakat di
sekitar wilayah IPPKH dan organisasi massa, sedangkan konflik dalam kategori
biasa terjadi ditunjukkan oleh pemegang IPPKH dengan pemegang IUPHHK,
LSM dan kadang-kadang dengan aparat keamanan. Sementara hubungan antar
pihak dengan kategori lainnya terjalin dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan
keterlibatannya dalam implementasi PKH
Hasil observasi di lapangan, wawancara dengan informan kunci dan
informasi lain yang diperoleh selama penelitian menunjukkan bahwa perbedaan
kepentingan dan pengaruh yang dimiliki oleh pemegang IPPKH dan IUPHHK
sering menimbulkan konflik. Konflik tersebut terkait dengan hak dan kewajiban
yang diberikan oleh pemerintah kepada masing-masing pemegang izin terkait
dengan pengelolaan kawasan hutan. Pada umumnya, konflik muncul karena
pemegang IUPHHK tidak menyetujui aktifitas pemegang IPPKH yang dianggap
mengganggu status kelestarian hutan pemegang IUPHHK. Alasan lainnya adalah
tidak disepakatinya nilai ganti rugi tegakan dan sarana prasarana yang telah
dibangun. Sementara pemegang IPPKH merasa telah memiliki izin dari Menteri
Kehutanan yang sah secara hukum untuk dapat melakukan kegiatan di kawasan
hutan yang telah ditetapkan. Selain itu, banyak pemegang IPPKH mengeluhkan
tuntutan nilai ganti rugi tegakan dan sarana prasarana yang tidak rasional dari
pemegang IUPPHK.
Konflik akan semakin tinggi ketika pemegang IUPHHK memanfaatkan
situasi (rent seeking/opportunistic behavior) untuk mencari keuntungan atas
keberadaan perusahaan tambang di dalam areal konsesi IUPHHK-nya. Konflik
tersebut menimbulkan permasalahan tersendiri dalam proses implementasi
kebijakan PKH. Pemerintah perlu peran aktif dalam menyelesaikan konflik-
konflik tersebut yang sebenarnya telah diketahui sejak lama. Sementara ini,
sebagian besar konflik diselesaikan dengan kompromistis, di mana pemegang
IPPKH (dengan kekuatan modal) cenderung mengalah untuk mengikuti
permintaan pemegang IUPHHK. Kompromi juga terjadi dengan melakukan
hubungan ‗business to business‘. Beberapa masalah lanjutan akibat overlapping
izin dalam areal yang sama tersebut adalah ketidakjelasan batas kewenangan
pengelolaan hutan, terbukanya akses ke dalam wilayah IUPHHK tanpa bisa
dikontrol oleh kedua belah pihak.
Sedangkan hubungan konflik yang terjadi antara pemegang IPPKH dengan
masyarakat, ormas LSM maupun aparat keamanan terkait dengan klaim
masyarakat terhadap kawasan hutan. Sebagian besar kawasan hutan yang telah
mendapatkan IPPKH telah diklaim oleh masyarakat di sekitar wilayah tersebut.
Dengan berbagai modus yang dipakai, masyarakat berusaha untuk mendapatkan
kompensasi (ganti rugi) terhadap lahan yang merekea klaim. Kemudian
44
Pembahasan tentang konflik yang terjadi sebagai akibat hubungan antar para pihak akan
dibahas tersendiri dalam bab selanjutnya.
123
masyarakat menanami lahan tersebut dengan berbagai jenis tanaman kayu yang
mempunyai nilai jual. Masyarakat juga berusaha mendapatkan surat keterangan
kepemilikan lahan tersebut dari aparat yang berwenang. Sementara pemegang
IPPKH berusaha untuk membawa permasalahan tersebut ke institusi yang
berwenang namun tidak mendapatkan respon positif, hingga pada akhirnya
melaporkannya kepada aparat keamanan.
Konflik pemegang IPPKH dengan masyarakat tersebut dimanfaatkan oleh
banyak ormas yang bermunculan di dalam masyarakat yang mengatasnamakan
masyarakat asli atau masyarakat adat. LSM juga memanfaatkan kondisi tersebut
untuk mendapatkan keuntungan dari pemegang IPPKH. Sementara aparat
mendapatkan keuntungan dari peranannya dalam memediasi konflik di antara
mereka.
Hubungan konflik ini sangat merugikan pemegang IPPKH. Selain harus
mengeluarkan biaya transaksi tambahan untuk penyelesaian konflik, perusahaan
juga mengalami kerugian finansial atas biaya sewa peralatan dan waktu produksi.
Selama penyelesaian konflik tersebut tidak jarang masyarakat melakukan
pemblokiran terhadap produksi perusahaan. Dalam kurun waktu tersebut
perusahaan harus menerima kerugian dari penyewaan alat-alat berat dan alat-alat
produksi tambang yang lain. Sementara keberadaan aparat keamanan juga
mempunyai kecenderungan yang merugikan bagi perusahaan. Aparat keamanan
cenderung untuk mengulur-ulur waktu penyelesaian konflik bahkan lebih condong
‗melindungi‘ masyarakat untuk mendapatkan kompensasi. Terlebih terdapat
beberapa oknum aparat keamanan yang mempunyai klaim lahan di dalam
kawasan hutan.
Simpulan
Dari hasil identifikasi para pihak dalam implementasi kebijakan PKH ini
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Terdapat lima belas pihak yang terkait dengan implementasi kebijakan PKH
secara langsung. Kementerian Kehutanan menjadi pihak kunci (key
stakeholder) sedangkan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH)
menjadi pihak utama (primary stakeholder) dalam implementasi kebijakan
PKH. Peranan keduanya menjadi tolok ukur keberhasilan implementasi
kebijakan ini.
2. Para pihak menjalankan peranannya dengan baik. Terdapat keseimbangan
yang cukup baik antara rights, responsibility dan revenues untuk masing-
masing pihak.
3. Keseimbangan juga terjadi dalam keterlibatan pemerintah daerah, baik
Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten dalam implementasi
kebijakan IPPKH. Hal ini menunjukkan bahwa Kementerian Kehutanan telah
berusaha membagi habis tugas kepada para pihak yang berkompeten baik di
institusi pusat di daerah maupun institusi pemerintah daerah.
4. Hubungan antar pihak terjalin dalam berbagai tingkat, dari bekerjasama
sampai dengan adanya konflik.
5. Keseimbangan peranan, keterlibatan dan hubungan para pihak yang baik tidak
menjamin keberhasilan implementasi sebuah kebijakan. Keberhasilan
implementasi kebijakan ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya adalah
124
berfungsinya institusi yang dibangun dan aturan main yang dijalankan dengan
baik.
6. Dalam implementasi kebijakan PKH ini masih terdapat berbagai kendala
dalam pelaksanaannya diantaranya adalah: keterbatasan sumberdaya manusia
pelaksana, minimnya anggaran, pengawasan dan penegakkan hukum yang
lemah masih menjadi permasalahan dalam implementasi kebijakan ini.
125
Pendahuluan
Tujuan
perusahaan pertambangan terhadap hutan dan kawasan hutan, hak dan kewajiban
perusahaan dalam IPPKH maupun keberlanjutan/kelestarian lingkungan. Respon
perusahaan merupakan cerminan kepatuhannya terhadap kontrak yang telah
disepakati antara pemerintah dengan perusahaan pertambangan. Respon
perusahaan juga dapat menjadi sarana untuk menggali hambatan-hambatan
maupun permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan dalam
mengimplementasikan kebijakan PKH.
Teori keagenan (Eisenhardt 1989) mendasarkan pada beberapa asumsi.
Pertama, asumsi tentang sifat manusia. Asumsi ini menekankan bahwa manusia
selalu mengutamakan kepentingan dirinya sendiri (selfinterest), selalu berupaya
untuk menghindari risiko (risk-aversion), dan manusia dianggap memiliki
rasionalitas yang terbatas (bounded rasionality). Kedua, asumsi tentang
organisasi, dalam asumsi ini organisasi dianggap selalu terjadi konflik tujuan antar
pihak yang berkepentingan, adanya informasi yang tidak simetris (asymmetric
information) antara prinsipal dan agen, dan efisiensi sebagai criteria efektivitas.
Ketiga, asumsi informasi adalah bahwa informasi sebagai komoditas yang dapat
diperjualbelikan (information as a purchasable commodity).
Hubungan keagenan berimplikasi pada pembahasan konflik kepentingan
antara agen dan prinsipal akibat adanya asymmetries of information (Hart 1989).
Secara garis besar, agency theory ditujukan untuk memecahkan dua permasalahan
yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan. Pertama, masalah keagenan timbul
pada saat: a) keinginan-keinginan atau tujuan-tujuan dari prinsipal dan agen
berlawanan; dan b) merupakan suatu hal yang mahal bagi prinsipal untuk
memverifikasi tentang apa yang benar-benar dilakukan oleh agen. Kedua, adanya
masalah pembagian risiko yang timbul pada saat prinsipal dan agen memiliki
sikap yang berbeda terhadap risiko (Rungtusanatham et al 2007).
Bounded
Rationality
Asymmetric
Information
Asumsi III
Informasi adalah AGENCY Asumsi II Permasalahan
Conflict of Interest
komoditas yang bisa THEORY Organisasi Kebijakan PKH
dipertukarkan
Eficiency
Gambar 9 Asumsi dalam agency theory (teori keagenan) dan permasalahan dalam
kebijakan PKH
130
Cost
Monitoring Incentives
PRINCIPAL
CONTRACT Assymetric
Risk Preferense Information
AGENT
Moral Hazard Adverse Selection
Gambar 10 Isu-isu dalam teori keagenan (Ackere 1993 dalam Murphy 2007)
Seleksi dalam hubungan P-A merupakan tahapan awal yang sangat penting
artinya bagi pelaksanaan dan keberlanjutan kontrak yang akan disepakaati
bersama. Seleksi sangat menentukan keberhasilan P dalam mencapai tujuan atau
kepentingannya. Namun dalam praktiknya, seringkali P melakukan kesalahan
dalam memilih A yang sesuai untuk diberi kewenangan mengelola sumberdaya
(adverse selection). Petrie (2002) dan Murphy (2007) mengartikan salah pilih
sebagai kesalahan P dalam mengidentifikasi keahlian A dan ketidakmampuan P
dalam memverifikasi secara lengkap kemampuan A sebelum mengambil
keputusan untuk memberikan kewenangannya kepada A.
Salah pilih mempunyai dampak yang sangat besar terhadap pelaksanaan
kontrak. Peluang terjadinya ketidaksesuaian pelaksanaan (risiko kegagalan)
dengan kontrak yang disepakati sangat besar. Tanggunjawab P menjadi semakin
besar, demikian juga dengan usaha yang harus dilakukan, terutama untuk
mengeliminir terjadinya akibat selanjutnya dalam bentuk moral hazard yang
dilakukan oleh A dan menekan biaya dalam memantau pelaksanaan kontrak
(monitoring cost).
Dalam implementasi kebijakan PKH, A merupakan perusahaan yang telah
mendapatkan izin pengusahaan tambang dalam bentuk Kontrak Karya (KK) atau
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dari pemerintah
pusat (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral) atau Izin Usaha Pertambangan
(IUP) dari pemerintah daerah (Gubernur atau Bupati). Sehingga, seleksi terhadap
kelayakan atau kemampuan A berada pada sektor lain. P justru tidak mempunyai
pilihan untuk menyeleksi A yang cakap dan sesuai untuk diberi kewenangan
mengelola kawasan hutan dalam bentuk IPPKH. P akan menerima siapa saja A
(dengan kemampuan dan kelayakan yang ada) yang mengajukan IPPKH jika
semua syarat administrasi maupun teknis yang diwajibkan oleh P dapat dipenuhi.
Peryaratan yang diwajibkan dalam proses seleksi berdasarkan Permenhut
P.14/Menhut-II/2011 jo P.38/Menhut-II/2012 Jo P.14/Menhut-II/2013, adalah
sebagai berikut;
132
1. Persyaratan Administratif
a. surat permohonan yang dilampiri dengan peta lokasi kawasan hutan yang
dimohon;
b. Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi (IUP Eksplorasi)/Izin Usaha
Pertambangan Operasi Produksi (IUP Operasi Produksi) atau
perizinan/perjanjian lainnya yang telah diterbitkan oleh pejabat sesuai
kewenangannya, kecuali untuk kegiatan yang tidak wajib memiliki
perizinan/perjanjian;
c. rekomendasi:
- gubernur untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar
bidang kehutanan yang diterbitkan oleh bupati/walikota dan
Pemerintah; atau
- bupati/walikota untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di
luar bidang kehutanan yang diterbitkan oleh gubernur; atau
- bupati/walikota untuk pinjam pakai kawasan hutan yang tidak
memerlukan perizinan sesuai bidangnya; dan
d. pernyataan bermeterai cukup yang memuat:
- kesanggupan untuk memenuhi semua kewajiban dan kesanggupan
menanggung seluruh biaya sehubungan dengan permohonan;
- semua dokumen yang dilampirkan dalam permohonan adalah sah; dan
- belum melakukan kegiatan di lapangan dan tidak akan melakukan
kegiatan sebelum ada izin dari Menteri.
2. Persyaratan Teknis
a. rencana kerja penggunaan kawasan hutan dilampiri dengan peta lokasi
skala 1:50.000 atau skala terbesar pada lokasi tersebut dengan informasi
luas kawasan hutan yang dimohon;
b. citra satelit terbaru dengan resolusi detail 15 (lima belas) meter atau
resolusi lebih detail dari 15 (lima belas) meter dan hasil penafsiran citra
satelit dalam bentuk digital dan hard copy yang ditandatangani oleh
pemohon dengan mencantumkan sumber citra satelit dan pernyataan
bahwa citra satelit dan hasil penafsiran benar;
c. AMDAL yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, kecuali untuk
kegiatan yang tidak wajib menyusun AMDAL, sesuai peraturan
perundang-undangan atau dokumen lingkungan sesuai peraturan
perundang-undangan dan disahkan oleh instansi yang berwenang; dan
d. pertimbangan teknis Direktur Jenderal yang membidangi Mineral Batubara
dan Panas Bumi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
untuk perizinan kegiatan pertambangan yang diterbitkan oleh gubernur
atau bupati/walikota sesuai kewenangannya, memuat informasi antara lain
bahwa areal yang dimohon di dalam atau di luar WUPK yang berasal dari
WPN dan pola pertambangan.
Dari persyaratan yang diwajibkan tersebut di atas, P tidak melakukan
seleksi dengan melakukan penilaian kemampuan atau kelayakan secara teknis
dalam bidang kehutanan. P hanya melakukan seleksi terhadap kelengkapan
persyaratan administratif yang diajukan oleh A, meskipun dalam Permenhut
P.14/Menhut-II/2011 jo P.38/Menhut-II/2012 Jo P.14/Menhut-II/2013 disebutkan
adanya syarat teknis, namun persyaratan tersebut tidak menunjukkan adanya
seleksi terhadap kemampuan teknis yang dimiliki A. Persyaratan teknis tersebut
133
2. Hubungan Kontraktual
demikian juga outcome yang diinginkan tidak seperti yang diinginkan oleh P.
Hasil penilaian terhadap respon A dalam implementasi kontrak IPPKH
menunjukkan bahwa hampir semua kewajiban A tidak dilaksanakan dengan baik
sesuai kontrak IPPKH. Kondisi tersebut tidak seperti yang dikemukakan oleh
Sarwoko (2010), dimana ketika P mempunyai kecukupan untuk memperoleh dan
menganalisis informasi yang digunakan untuk memonitor perilaku agen dengan
biaya yang efisien, maka behavioral based contract menjadi pilihan.
Dalam kenyataan, P tidak mempunyai kemampuan untuk mengawasi
perilaku A, demikian juga hasil akhir yang diinginkan tidak seperti yang
diinginkan oleh P. Hasil penilaian terhadap respon A dalam implementasi kontrak
IPPKH menunjukkan bahwa hampir semua kewajiban A tidak dilaksanakan
dengan baik sesuai kontrak IPPKH maupun peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Selama proses mengkaji kontrak IPPKH, teridentifikasi indikator-
indikator lainnya yang menjadi karakteristik tersendiri dalam kontrak IPPKH
selain indikator yang telah disusun oleh Rungtusanathan et al (2007) tersebut.
Indikator-indikator tersebut adalah; biaya transaksi pelaksanaan kontrak, peluang
A melakukan moral hazard dan kemudahan implementasi kontrak.
Menurut Nielsen dan Tierney (2003), P dapat menyusun kontrak dimana
mereka dapat melakukan taktik atau stategi untuk memodifikasi perilaku A.
Untuk mendisain hubungan P-A yang efisien, kontrak sebaiknya bersifat self-
enforcing. Yaitu, kontrak dapat memaksa atau menekan sifat mementingkan diri
sendiri yang ada pada A untuk mematuhi apa yang diharapkan/diinginkan P. P
harus memiliki setidaknya empat cara untuk merancang/mendesain kontrak yang
efisien dan memiliki self-enforcing untuk membatasi kecurangan yang mungkin
akan dilakukan oleh A. Pertama, P dapat dengan hati-hati menyaring potensi yang
dimiliki A ketika hendak melakukan kesepatakan. Seperti melakukan mekanisme
penyaringan dan seleksi mungkin dapat dilakukan oleh P kepada A yang
mempunyai ketertarikan atau keinginan yang sama seperti apa yang diinginkan
oleh P. Kedua, P dapat memonitor/memantau kegiatan A, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Ketiga, P dapat menyusun kontrak yang di dalamnya
memuat pasal-pasal yang dapat meningkatkan kredibilitas P dan komitmen A,
seperti adanya sanksi dan penghargaan bagi A. Keempat, P dapat
membandingkan kinerja antara dua atau lebih A. Jika rancangan tersebut sesuai,
cara memperbandingkan tersebut dapat mengumpulkan informasi tentang perilaku
A dan juga dapat menghalangi perilaku A yang akan merusak kinerjanya.
Jika mengacu pada saran Nielson dan Tierney (2003) tersebut di atas,
setidaknya dua cara telah dilakukan oleh kementerian kehutanan dalam menyusun
kontrak IPPKH, yaitu kontrak telah berisi aturan main untuk
memonitor/memantau pelaksanaan kegiatan A, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Kontrak juga telah memuat aturan-aturan atau pasal-pasal yang
dapat meningkatkan komitmen A, seperti adanya sanksi. Namun, kontrak belum
dapat dipatuhi oleh A sepenuhnya yang disebabkan oleh lemahnya pengawasan P
terhadap kinerja A, ketiadaan instrument insentif dan lemahnya penegakan
hukum. Sementara untuk menilai kinerja A dan membandingkannya dengan A
lainnya, sampai saat ini belum dilakukan. Penilaian kinerja tersebut juga dapat
menjadi sebuah sarana atau motivasi untuk meningkatkan komitmennya, terlebih
jika ada insentif kinerja untuk A.
137
Tingkat Informasi A
Sedikit Banyak
Tingkat Informasi P
Banyak
C D
Sedikit
A B
4. Insentif
45
Policy Advisor Bidang Kehutanan adalah pejabat atau purna tugas yang berasal dari
Kementerian Kehutanan atau pejabat instansi lain yang berkompetensi di bidang kebijakan
pembangunan kehutanan yang ditempatkan dan diangkat oleh pemegang izin pinjam pakai
kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan operasi produksi (Permenhut P.65/Menhut-
II/2013 tentang Policy Advisor Bidang Kehutanan pada Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
untuk Kegiatan Pertambangan Operasi Produksi)
140
dengan kontrak yang telah disepakati dengan pihak P. Dengan demikian, maka A
seharusnya menerima incentives dari keberhasilannya mengelola kawasan hutan
sebesar atau sebanding dengan tercapainya harapan atau kepentingan P. Dalam
implementasi kebijakan PKH hal itu sulit diterapkan mengingat tidak ada standar
atau parameter pengukuran yang jelas. Namun demikian, incentives merupakan
bentuk penghargaan yang harus diterapkan oleh P untuk merangsang A
menjalankan kontraknya dengan baik, benar dan mencapai tujuan.
Salah satu cara untuk merangsang agar A dapat bertindak seperti yang
diinginkan P adalah dengan memberikan insentif. Insentif, dalam berbagai teori
ekonomi telah banyak dikupas. Secara spesifik, dalam konteks kebijakan PKH ini
insentif merupakan pemberian penghargaan atau kemudahan yang diberikan oleh
pemerintah (kementerian kehutanan) kepada perusahaan pemegang IPPKH atas
kinerjanya dalam melaksanakan kewajibannya sesuai dengan IPPKH yang
dimilikinya. Tujuan pemberian insentif tersebut antara lain: menghargai prestasi
kinerja agen, meningkatkan motivasi dan komitmen agen, menjamin keadilan,
mempertahankan kinerja, mengurangi risiko kegagalan.
Adanya kontradiksi pengenaan PNBP sebagai salah satu mekanisme
pemerintah untuk menggantikan nilai kerusakan kawasan hutan dan pengurangan
jumlah kewajiban PNBP sebagai salah satu bentuk intensif masih harus dikaji
lebih mendalam. Pengenaan PNBP dirasakan oleh para penggiat terlalu kecil
untuk ukuran kerusakan yang tak ternilai, sementara bagi perusahaan pemilik
IPPKH justru sebaliknya, merupakan beban yang sangat berat. Di sisi lain,
menurut beberapa birokrat di kementerian kehutanan (P), pengurangan PNBP
melalui keberhasilan dalam reklamasi dan revegetasi adalah bentuk intensif bagi
A. Sedangkan bagi A pengurangan PNBP tidak berarti banyak dan tidak menarik,
terlebih dengan adanya diskresi Direktur Jenderal Planologi tentang PNBP yang
justru menjadi disinsentif bagi A.
A lebih tertarik dengan kepastian hukum dan keberlanjutan usaha mereka
di dalam kawasan hutan. Adanya peraturan yang dirumuskan oleh P yang
membatasi kuota 10% pada kawasan hutan yang telah memiliki IUPHHK,
merupakan kartu mati bagi A untuk mengajukan perluasan areal IPPKH di dalam
aeal IUPHHK yang sama, walaupun A telah dengan baik melakukan kontrak
IPPKH. Diterimanya kawasan hutan yang telah direklamasi dan revegetasi tidak
menjamin bagi A untuk mendapatkan areal pengganti, karena belum ada peraturan
yang mengatur tentang hal itu.
Terkait dengan hal tersebut di atas, berdasarkan informasi dari salah satu
perusahaan46 yang sedang mengajukan pengembalian kawasan hutan kepada
Menteri Kehutanan sekaligus memohon penggantian areal lain di dalam kawasan
hutan ber-IUPHHK yang telah habis kuotanya, Menteri Kehutanan menyetujui
kedua permohonan tersebut. Kebijakan Menteri Kehutanan sebagai P tersebut
bisa dikatakan sebagai diskresi yang sekaligus menjadi insentif bagi IPPKH yang
mengembalikan kawasan hutan dan dinyatakan lulus untuk kemudian
mendapatkan reward berupa IPPKH baru. Persetujuan P juga merupakan salah
46
Informasi diperoleh dari staf perusahaan yang menjadi salah satu responden dalam penelitian
ini. Penulis mengikuti rapat pembahasan rencana pengajuan pengembalian kawasan hutan yang
difasilitasi oleh BPKH Wilayah IV-Samarinda dan dihadiri oleh berbagai para pihak dari
pemegang IPPKH, pemegang IUPHHK, Dinas Kehutanan Provinsi dan Dinas Kehutanan
Kabupaten
141
satu langkah untuk mengurangi kesalahan dalam memilih A yang baru, mengingat
P dalam konteks teori keagenan PKH ini tidak mempunyai kemampuan untuk
melakukan pemilihan terhadap A.
Insentif juga bisa diberikan oleh P (misalkan) dalam bentuk sertifikat
penghargaan yang menunjukkan pencapaian kinerja A dalam menjalankan
kontraknya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Kementerian ESDM yang
memberikan sertifikat (piagam penghargaan) untuk berbagai katagori dalam
bidang pengelolaan lingkungan dan pengelolaan tambang. Piagam penghargaan
tersebut mempunyai tiga tingkatan yaitu aditama, utama dan pratama. Dalam
rangka pemberian sertifikat atau piagam penghargaan pengelolaan kawasan hutan
kepada A, tentunya P terlebih dahulu melakukan penilaian kepada semua A
dengan batasan, kriteria dan indikator yang telah ditetapkan sebelumnya.
Sertifikat penghargaan tersebut merupakan gambaran prestasi dan partisipasi A
dalam mengelola hutan dengan baik. Sertifikat tersebut dapat menjadi salah satu
syarat tambahan bagi A yang akan mengajukan IPPKH pada areal lain.
Insentif berupa kepastian hukum dan jaminan keberlanjutan usaha maupun
dalam bentuk lainnya sangat diharapkan oleh A, oleh karena itu P perlu membuat
batasan atau aturan tentang instrument insentif dalam IPPKH untuk meningkatkan
motivasi dan komitmen A dalam menjalankan kontraknya dengan baik dan sesuai
dengan keinginan P.
5. Risk Preference
6. Moral Hazard
47
Masa berlakunya kontrak (IPPKH) tergantung dari masa berlakunya izin sektor pertambangan,
baik PKP2B, KK maupun IUP yang dimiliki Agent ditambah dengan waktu untuk melakukan
kegiatan reklamasi dan revegetasi. Izin pertambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat
biasanya mempunyai rentang waktu yang sangat panjang dibandingkan dengan izin
pertambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Izin-izin tersebut dapat diperpanjang
sesuai kebutuhan, demikian juga dengan IPPKH.
143
salah satu pihak (khususnya agen) menguasai informasi yang lebih baik, sehingga
terdapat resiko atau kemungkinan perilaku oportunis salah satu pihak untuk tidak
selalu bertindak guna kepentingan pihak lain. Situasi ini menimbulkan munculnya
insentif (godaan) bagi satu atau lebih pelaku (khususnya agen) untuk berperilaku
menyimpang dalam rangka memaksimumkan kesejahteraan dan utilitasnya sendiri
(Eisenhardt, 1989; Gibbons, 2005).
Perilaku oportunis juga terindikasi dalam implementasi kebijakan PKH.
Sebagaimana disebutkan oleh Eisenhardt (1989) dan Gibbons (2005) di atas, perilaku
oportunis juga dilakukan oleh A untuk mencapai tujuan, mengurangi risiko dan
mengurangi biaya transaksi dalam melaksanakan kontraknya. Sebagaimana telah
disebutkan dalam bagian lain tulisan ini, kurangnya informasi yang dimiliki tentang
kebijakan dan peraturan dalam pengelolaan kawasan hutan, justru menjadi pemicu A
melakukan moral hazard. Perilaku tersebut didukung dengan ketidakmampuan P
dalam menjalankan fungsi pengawasan serta penegakan hukum terhadap perilaku A.
Di sisi lain, A justru menguasai informasi, pengetahuan dan pengalaman teknik untuk
mencapai tujuannya yang sama sekali tidak dimiliki oleh P. Penguasaan informasi
tersebut yang dipergunakan oleh A untuk melakukan aktifitas pembukaan kawasan
hutan, penambangan dan aktifitas pasca tambang tanpa mengindahkan kewajiban-
kewajiban yang telah disepakatai dalam kontrak.
Di sisi lain, menurut Kiewiet dan McCubbins (1991), pihak P dihadapkan
pada tiga hal khusus yang sulit ketika memberikan delegasi. Pertama, A dapat
menyimpan/ menyembunyikan informasi dari P dimana informasi tersebut akan
merugikan A dan menguntungkan P. Kedua, A dapat melakukan sesuatu di
belakang (tanpa sepengetahuan) P, menyembunyikan sesuatu yang apabila P
mengetahuinya akan menjadi bumerang bagi A. Ketiga, prinsipal menghadapi
‗Madison dilemma‘ yang harus mendelegasikan kewenangannya, namun di sisi
lain akan memberikan kekuatan untuk A yang akan mengancam eksistensi P.
Moral hazard tidak saja dilakukan oleh A dalam implementasi kebijakan
PKH, namun juga dilakukan oleh P. Indikasi perilaku moral hazard dilakukan oleh P
yang mendominasi informasi tentang kebijakan dan peraturan pengelolaan hutan.
Sebagaimana telah lazim terjadi di hampir semua aspek kepemerintahan di Indonesia,
praktik korupsi dan kolusi juga terjadi dalam proses implementasi kebijakan PKH.
Ketiadaan informasi yang dimiliki A tentang proses perizinan maupun implementasi
kebijakan PKH dimanfaatkan oleh segelintir oknum yang menjadi penumpang gelap
(free rider) mencari keuntungan dari situasi tersebut.
Illegal Mining
48
Kendari Pos. 2013 Oktober 1. Polisi ulur waktu. Kendari Pos;1 (kol 4-5)
146
Seorang sekretaris kepala dinas kehutanan menerima Rp. 250 juta hanya untuk
membuat konsep surat rekomendasi untuk persetujuan penerbitan sebuah IUP.
49
Sebagian pengusaha berpendapat, dengan adanya kewajiban membayar jaminan reklamasi ke
pemerintah, maka jika perusahaan tidak melakukan kewajiban untuk mereklamasi areal bekas
tambang tidak menjadi masalah, karena sudah diganti dengan jaminan tersebut.
50
Setiap perusahaan yang mengajukan IPPKH diwajibkan menyusun rencana kerja penggunaan
kawasan hutan yang berisi rencana operasi produksi, rencana kegiatan reklamasi dan revegetasi
setiap tahunnya. Massa berlaku IPPKH biasanya akan menyesuaikan dengan masa berlaku izin
pertambangannya ditambah dengan waktu untuk reklamasi dan revegetasi sampai dianggap lulus
dalam penilaian. IPPKH bisa diperpanjang jika diperlukan.
51
AgroIndonesia. 2011 April 18. Waspadai hit and run. Diakses di
http://agroindonesia.co.id/2011/04/18/demi-kepentingan-nasional/ pada tanggal 11 Januari 2014
147
Terkait dengan praktik mine and run tersebut, seorang pejabat Dinas
Kehutanan Kabupaten Konawe Selatan juga menyampaikan pendapatnya
berdasarkan pengamatannya di lapangan. Dalam kesempatan interview, pejabat
tersebut mengatakan:
―…walaupun ada seratusan IUP yang dikeluarkan oleh Bupati tapi kalau
saya untuk ini, selama saya masih belum pensiun, saya hanya bisa
memprogramkan paling tidak 4 yang terjadi izin pinjam pakai karena saya
juga banyak melihat Konawe Utara ya sekarang baru dirasakan, suatu saat
akan terasa, bagaimana nanti. Adakah sekarang yang betul-betul setelah
selesai penambangan adakah yang terjadi sampai bisa betul dia reklamasi
yang sebenarnya? Kan ndak ada! Dimanapun itu pertambangan ndak ada
yang bisa. Selesai menambang kalau sudah selesai ya pulang …‖
52
Disebutkan dalam Majalah Tempo 3 Juli 2011 bahwa biaya pengurusan IPPKH di Kementrian
Kehutanan adalah berkisar antara Rp 3-4 milyar ditambah 10% kepemilikan saham (Septian et
al 2011)
148
53
Konsultan berperan dalam mengurus IPPKH dan memuluskan jalan dengan menghubungkan
perusahaan dengan birokrat yang mempunyai kewenangan dalam proses perizinan tersebut.
Dalam menjalankan peranannya, konsultan bekerjasama dengan oknum di Kementerian
Kehutanan untuk memperlancar proses perizinan. Untuk satu perusahaan pertambangan yang
mengurus IPPKH, konsultan membandrol harga antara Rp 400-500 juta.
149
ekstrim berupa fenomena penumpang gelap atau free rider, yang intinya mencari
kesempatan gratis. Orang berupaya sampai di tempat tujuan tanpa harus membeli
tiket. Mereka menikmati hasil tanpa bekerja keras.
Kontrol Lemah
Principal
Agent Principal Agent Agent Agent Principal
Menerima/
Mengajukan Menyusun Menerima Melaksanakan Moral Menerima
Menolak
Permohonan Kontrak Kontrak Kontrak Hazard Risiko
Permohonan
7. Kontrol
berbasis hasil akhir (outcome based control) lebih menitikberatkan pada outcome
atau hasil akhir dari kinerja A, meskipun tanpa pengawasan dari P.
Pada kenyataannya, kontrol berbasis perilaku tersebut tidak dapat
dilaksanakan dengan baik oleh P. Ketidakmampuan P dalam menjalankan fungsi
kontrol menjadi penyebab tidak tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.
Keterbatasan anggaran dan sumberdaya aparatur menjadi alasan klasik bagi P
dalam menjalankan fungsi kontrolnya terhadap kinerja A. P tidak bisa hanya
mengandalkan komitmen A untuk menjalankan kontraknya dengan baik, terlebih
P tidak dapat menilai kemampuan dan track record A sebelum kontrak IPPKH
diberikan kepada A. Sementara A, dengan keterbatasan informasi dan
pengetahuan dalam pengelolaan hutan seolah dibiarkan untuk menjalankan
kontraknya.
Pelaksanaan kontrol oleh P kepada A juga tidak didukung dengan peranan
pemerintah daerah, terutama dalam monitoring dan evalusi pelaksanaan IPPKH.
Desentralisasi yang telah bergulir belum dapat dilaksanakan dengan baik.
Desentralisasi tidak secara otomatis menghasilkan metode pengelolaan sumber
daya hutan yang lebih baik (Nurrohmat et al 2006, Nurrochmat dan Purwandari
2006).
Area Kontrol
Area Kontrol Perilaku Hasil Akhir
Serah
Kesepakatan Pajak dan Pemulihan Terima Distribusi
AGENT Operasional
PRINCIPAL Kontrak Royalti Kawasan Kawasan
PRINCIPAL
Manfaat
Tambang
(IPPKH) Hutan
Hutan
Gambar 13 Area kontrol prinsipal (behavior based control dan outcome based
control) dalam proses implementasi kebijakan PKH.
Hubungan Prinsipal-Agen
Identifikasi Masalah
Secara umum Kebijakan PKH
Inisiatif Prinsipal Agen
Seleksi Agen Diterapkan Tidak diterapkan
Perumusan (hubungan) Kontrak Bersama (bargaining) Prinsipal (mutlak)
Penguasaan informasi Agen Prinsipal
Moral Hazard Agen Prinsipal dan Agen
Penerapan insentif Diterapkan Tidak diterapkan
Kontrol Kuat Lemah
Pembagian Risiko Prinsipal Prinsipal
menjadi P besar, hal itu sering mempengaruhi pengambilan keputusan seperti aset
penjualan dan pembelian. Meskipun demikian, masalah P-P mempunyai kajian
utama pada konteks ekonomi (Su et al 2008, Jiang dan Peng 2010). Sedangkan
dalam kajian ini, masalah P-P dimaknai sebagai hubungan antara 2 (dua) atau
lebih P yang memberikan pekerjaan/delegasi/kewenangannya kepada satu A untuk
memenuhi kepentingan masing-masing P. Level P dapat setingkat maupun
terdapat perbedaan level dengan P lainnya, baik dalam posisi di pemerintahan,
politik, ekonomi, sosial maupun budaya.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian (chapter) sebelumnya, masalah
mendasar yang timbul antara P-hut dan P-tamb adalah perbedaan tujuan dan
motivasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Perbedaan tersebut yang
menyebabkan terjadinya konflik kepentingan diantara keduanya. Hingga saat ini
belum tersedia kebijakan atau peraturan baru yang dapat menjembatani kedua
kepentingan tersebut. Kondisi tersebut membuat posisi tawar sektor kehutanan
sangat lemah dalam menentukan kebijakan keberadaan pertambangan di dalam
kawasan hutan. Sementara sektor pertambangan masih mengacu pada Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1976 tentang sinkronisasi pelaksanaan tugas bidang
keagrariaan dengna bidang kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan
umun, yang menyebutkan bahwa ―Bila pertindihan penetapan/penggunaan tanah
tidak dapat dicegah maka hak prioritas pertambangan harus diutamakan sesuai
dengan ketentuan UU Nomor 11 Tahun 1967‖.
Hingga saat ini, sektor pertambangan selalu menggunakan Inpres tersebut
sebagai ‗senjata‘ untuk melawan argument-argumen yang dikemukan oleh sektor
kehutanan dalam mengantisipasi dan mengurangi laju kerusakan hutan. Lemahnya
posisi tawar sektor kehutanan tersebut tidak saja pada tataran nasional, tapi juga
pada skala regional dan internasional. Sektor kehutanan nyaris selalu dikalahkan
oleh sektor lain (tidak hanya oleh sektor pertambangan) dengan alasan kepentingan
nasional dan pertumbuhan ekonomi. Terlebih jika ada investor asing yang telah
menanamkan modalnya di Indonesia, terutama di dalam kawasan hutan. Segala
daya upaya dilakukan oleh sektor lain untuk mencapai tujuannya, termasuk
diantaranya adalah mengubah undang-undang, mengubah tata ruang, menyusun
peraturan pemerintah baru, maupun peraturan-peraturan daerah yang berbasis pada
peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dan pertumbuhan perekonomian daerah.
Namun demikian, lemahnya posisi tawar sektor kehutanan yang
mengakibatkan meningkatnya kerusakan hutan akibat operasionalisasi sektor
pertambangan di dalam kawasan hutan, terbantu oleh adanya beberapa kebijakan
pemerintah meskipun kebijakan tersebut tidak dimaksudkan untuk membatasi
kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan. Kebijakan tersebut antara lain:
1. Moratorium izin dalam kawasan hutan berdasarkan Instruksi Presiden RI No 10
Tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata
kelola hutan alam primer dan lahan gambut yang kemudian diperbaharui dengan
Inpres RI No 6 Tahun 2013 yang memperpanjang penundaan untuk masa waktu
2 tahun ke depan. Kebijakan melalui inpres ini setidaknya menjadi penghalang
bagi penerbitan IPPKH di hutan primer dan gambut selama 4 tahun terhitung
sejak berlakunya inpres tersebut, 20 Mei 2011 sampai dengan 13 Mei 2015.
Menurut Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan54, selama periode moratorium
54
Kompas. 2013 Oktober 9. Kampanye mengakhiri deforestasi masih dibutuhkan. Kompas.
Rubrik Lingkungan dan Kesehatan: 12 (kol 1-4).
154
Prinsipal-1 Prinsipal-1
Prinsipal-n Prinsipal-n
Selain adanya konflik antara P-P, dalam implementasi kebijakan PKH juga
terjadi konflik atau masalah antara agent satu dengan agent lainnya, agent-agent
(A-A) conflicts/ problems. Permasalahan muncul sebagai akibat P-hut
memberikan areal IPPKH yang dimiliki oleh perusanaan pertambangan (A-tamb)
overlapping dengan konsesi IUPHHK yang dimiliki oleh perusahaan kehutanan
(A-hut), baik pada hutan alam maupun hutan tanaman. Meskipun, P-hut telah
bertindak antisipatif dalam memberikan IPPKH, namun konflik antara A-tamb
dan A-hut masih terjadi baik di ranah administrasi, koordinasi maupun di
lapangan.
Sebagian permasalahan antara A-hut dan A-tamb diselesaikan dengan
business to business (B to B). Sebagian kasus yang lain terpaksa melaporkan
permasalahan tersebut kepada P. Cara penyelesaian B to B dilakukan jika kedua
belah pihak bersedia untuk melakukan koordinasi dan kooperasi untuk
merumuskan kesepakatan bersama. Hasil dari kesepakatan dapat bermacam-
macam bentuknya, diantaranya;
1. A-hut menerima keberadaan A-tamb tanpa syarat. Kesepakatan seperti ini
biasanya dihasilkan oleh dua A yang masih dalam satu grup perusahaan besar,
atau pemilik (owner) dari kedua A tersebut masih mempunyai hubungan
kekeluarganaan/ kekerabatan
156
Dalam hubungan A-hut dan A-tamb yang tidak menemukan kata sepakat,
teridentifikasi bahwa A-hut berusaha untuk melakukan rent seeking sebagai
bentuk opportunistict behavior dalam situasi konflik tersebut. Akibatnya adalah
naiknya biaya transaksi yang harus ditanggung oleh A-tamb. Hubungan keduanya
adalah saling bebas, tidak diikat dalam sebuah kontrak apapun. Hubungan kedua
agen tersebut berbeda dengan yang diteliti oleh Nugroho (2003).
Dalam penelitiannya, Nugroho (2003) mengungkapkan adanya hubungan
P-A dua tingkat antara pemerintah (P) dengan pemegang IUPHHK (A) dan
adanya kehadiran A lain yaitu UKM-IPH (Usaha Kecil Menengah-Industri
Pemanenan Hutan) sebagai mitra kerja pemegang IUPHHK. Dari sudut pandang
teori hubungan P-A, masuknya UKM-IPH menyebabkan adanya hubungan 2
tingkat. Pertama antara pemerintah dengan pemegang IUPHHK dan kedua antara
pemegang IUPHHK dengan UKM-IPH. Pada hubungan tingkat petama,
pemegang IUPHHK bertindak sebagai pihak yang menjalankan sebagian
kewenangan pemerintah dan pemerintah bertindak sebagai pemilik sumberdaya
hutan. Sementara pada hubungan tingkat kedua, UKM-IPH bertindak sebagai
pihak yang melaksanakan sebagian hak yang dimiliki pemegang IUPHHK untuk
melaksanakan kegiatan pemanenan hutan yang diberikan pemerintah kepadanya
dan pemegang IUPHHK bertindak sebagai pemilik hak pengelolaan hutan
produksi yang dikuasakannya. Kedua-duanya memenuhi syarat hubungan P-A.
Apabila kepemilikan sumberdaya hutan dijadikan acuan untuk mendefinisikan P,
maka di dalam institusi pengelolaan hutan produksi yang melibatkan UKM-IPH
sebagai salah satu pelakunya, pemerintah dapat disebut sebagai prinsipal murni,
pelaku UKM-IPH sebagai agen murni dan pemegang IUPHHK dapat bertindak
agen atau prinsipal tergantung pada hubungan tingkat mana melihatnya (Nugroho
2003).
Hubungan P-A
Tingkat 1
Agen-tamb
Prinsipal Agen (IUPHHK)
Conflict
Prinsipal (IUPHHK) No conflict
Conflict
Prinsipal Agen-hut
Hubungan P-A
Partnership No Conflict
Tingkat ke 2
Pola hubungan P-A dalam institusi pemanenan hutan (Nugroho 2003) Pola hubungan P-A dalam institusi penggunaan kawasan
hutan
KONTRAK
KAWASAN
HUTAN
Kementerian IUPHHK Perusahaan
Kehutanan Kehutanan
IPPKH, IUPHHHK-
IPK HA/HT
Principal-
Agent-agent
principal IPPKH,
IPK problems
problems
Perusahaan
BUPATI IUP
Pertambangan
Indikasi adanya praktik moral hazard yang dilakukan oleh prinsipal (P-
hut) dan agen (A-tamb) dalam implementasi kebijakan PKH pada dasarnya bukan
merupakan praktik yang dilakukan oleh P-hut sebagai sebuah institusi/lembaga
pemerintah, namun lebih pada praktik moral hazard yang dilakukan oleh
aparatnya. Sedangkan aparat Kementerian Kehutanan pada hakekatnya juga
merupakan agen dari Kementerian Kehutanan sebagai sebuah institusi pemerintah
yang diikat dengan kontrak dalam bentuk sumpah jabatan. Sehingga hubungan
antara P (Kementerian Kehutanan) dan A (pemegang IPPKH) dalam proses
implementasi kebijakan PKH adalah hubungan agen-agen yang sama-sama
terindikasi melakukan praktik moral hazard dalam implementasi kebijakan
tersebut.
159
PRINSIPAL
Kementerian
Kehutanan
PRINSIPAL
Kementerian
Kehutanan
Moral Hazard
Kontrak Kontrak
(Sumpah Jabatan) (IPPKH)
Kontrak
(IPPKH)
AGEN 1 Proses Penerbitan AGEN 2
IPPKH
Aparat Kementerian Perusahaan
Kehutanan Kontrol IPPKH Pertambangan
AGEN
Perusahaan
Pertambangan
RISIKO
Degradasi Kawasan Hutan
Kehutanan
Prinsipal Agen (A-hut)
Biaya Transaksi
Nilai tersebut tidak termasuk biaya bagi free rider lainnya seperti
organisasi non pemerintah (LSM dan Ormas), institusi keamanan maupun
pemerintah daerah sekitar areal IPPKH (camat dan kepala desa)
Biaya transaksi ini sebagai akibat dari adanya konflik permit overlaying
antara A (perusahaan tambang) yang memiliki IPPKH (A-tamb) dengan A
(perusahaan kehutanan) yang memiliki IUPHHK (A-hut). Kesepakatan (untuk
tidak menyebutnya sebagai keterpaksaan) menjadi jalan keluar bagi kedua belah
pihak. Biasa A-hut mengajukan persyaratan yang ‗memaksa‘ A-tamb jika ingin
melanjutkan aktifitas tambangnya di dalam areal IUPHHK milik A-hut. Adanya
jaringan kekuasaan (power) yang dimiliki A-hut dan besarnya nilai investasi yang
telah dikeluarkan oleh A-tamb serta keuntungan yang akan diperoleh jika
menjalankan aktifitas tambangnya menjadi pertimbangan A-tamb untuk
menyetujui kesepakatan tersebut.
Biasanya A-hut meminta sejumlah ganti rugi atas nilai untuk tanaman
yang telah di tanam, tegakan hutan alam, sarana prasarana yang telah dibangun
maupun nilai investasi yang telah dikeluarkan lainnya dengan nilai yang terkadang
tidak rasional. Sebagian lainnya meminta bagi hasil (persentase) dari hasil
tambang yang diproduksi dan sebagian lainnya dengan mengenakan kewajiban
share pemeliharaan atas sarana prasarana yang digunakan bersama.
Hasil temuan di Provinsi Kalimantan Selatan, IPPKH milik A-tamb berada
di dalam konsesi sebuah IUPHHK (HT) milik A-hut. A-hut dimiliki oleh orang
yang sangat berpengaruh di provinsi tersebut (hampir semua orang yang memiliki
bisnis kehutanan dan pertambangan mengenalnya, termasuk para
birokrat/pejabat/pegawai yang bekerja di provinsi tersebut). Pemilik perusahaan
tersebut sengaja membelinya dari lama karena mengetahui prospek tambang yang
sangat besar di dalam areal konsesi IUPHHK tersebut. A-hut mewajibkan A-tamb
untuk menyepakati sharing penggunaan bersama jalan angkutan logging yang
telah ada sepanjang lebih kurang 3 km. Nilai yang ditetapkan adalah sebesar US$
1,2/ton produksi mineral yang diangkut. Setiap tahun, A-tamb rata-rata
mengangkut mineral yang ditambang 385.000 ton, sehingga harus mengeluarkan
biaya sharing pemeliharaan jalan sebesar US$ 5.544.000. Dengan kurs US$ 1
senilai Rp 12.000, maka A-tamb akan mengeluarkan biaya transaksi sebesar Rp
66,528 miliar/tahun yang diberikan secara cuma-cuma kepada A-hut, karena
realitanya pemeliharaan jalan tersebut juga tetap dilakukan oleh A-tamb.
Biaya Lainnya
Selain ketiga macam biaya transaksi yang harus dikeluarkan oleh A-tamb
untuk keperluan penyelesaian izin dan kenyamanan dalam melakukan kegiatan
operasi produksi tambangnya di dalam kawasan hutan, A-tamb juga masih harus
menerima kewajiban lainnya. Kewajiban tersebut adalah membayar PNBP dan
menyediakan policy advisor dan tenaga teknis kehutanan, sebagai berikut:
tumbuh dalam wilayah Kabupaten KutaiKartangera yang kemudian dijadikan dasar untuk
memberikan ganti rugi tanam tumbuh di atas lahan klaim masyarakat di dalam areal IPPKH
162
Tabel 33 Besarnya biaya transaksi dan biaya lainnya yang dikeluarkan A-tamb
Dari uraian hubungan antara P dan A tersebut di atas beserta dengan isu-
isu dalam teori keagenan sebagai parameter analisis, dapat disimpulkan bahwa
kebijakan PKH telah gagal diimplementasikan. Terdapat banyak faktor yang
menyebabkan terjadinya kesenjangan antara tujuan yang ingin dicapai oleh P
dengan pelaksanaan kebijakan tersebut yang dilakukan oleh A. Untuk mengatasi
163
Simpulan
yang lain atau penambahan luas izin pinjam pakai kawasan hutan dengan areal
yang sama. Sementara untuk agen yang belum pernah memperoleh izin
pinjam pakai kawasan hutan, seleksi hanya dapat dilakukan dengan
penelusuran dokumen perusahaan, kepemilikan saham, kapital perusahaan
maupun dokumen lainnya. Perusahaan dengan kapital besar cenderung
dan/atau perusahaan dengan izin dari pemerintah pusat (Kontrak
Karya/Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) mempunyai
komitmen dan kinerja yang lebih baik dalam implementasi kebijakan
penggunaan kawasan hutan.
3. Kontrak dalam izin pinjam pakai kawasan hutan tidak lengkap dan kontrol
prinsipal lemah, Dalam kontrak pinjam pakai kawasan hutan tidak secara
implisit menjelaskan tentang sanksi pidana dan denda bagi pelanggaran
terhadap izin pinjam pakai kawasan hutan. Prinsipal juga tidak berani
menyebutkan kewajibannya dalam melakukan kontrol terhadap agen dan
dalam pelaksanaannya tidak optimal. Kontrak dalam izin pinjam pakai
kawasan hutan juga tidak menyebutkan struktur insentif bagi agen yang
berkinerja baik. Izin pinjam pakai kawasan hutan sebaiknya disusun dengan
kejelasan hak dan tanggungjawab, mekanisme kontrol, konsekuensi dan
penegakan hukum dan struktur insentif.
4. Lemahnya kontrol terhadap implementasi kebijakan penggunaan kawasan
hutan meningkatkan perilaku moral hazard. Dalam Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan hutan, fungsi kontrol justru tidak menjadi sebuah kewajiban. Fungsi
kontrol seharusnya ditingkatkan yang disertai dengan penegakkan hukum
meskipun dalam praktiknya akan mempunyai konsekuensi seperti:
meningkatnya anggaran supervisi, monitoring dan evaluasi yang berarti
meningkatkan biaya transaksi bagi prinsipal dan ketersedaiaan sumber daya
manusia pelaksana.
5. Fungsi kontrol dapat ditingkatkan dengan percepatan pembangunan Kesatuan
Pengelolaan Hutan. Kesatuan Pengelolaan Hutan diharapkan dapat
meningkatkan kinferja institusi penggunaan kawasan hutan, yaitu: mengurangi
kesenjangan informasi (asymmetric information), mengeliminir terjadinya
konflik di lapangan yang akan berdampak pada menurunnya biaya transaksi
bagi A.
6. Terdapat kesenjangan dalam pemberian insentif kepada agen. Kesenjangan
tersebut menyebabkan tujuan prinsipal memberikan instenif untuk agen tidak
tercapai bahkan dapat menurunkan kinerja agen dalam implementasi kebijakan
penggunaan kawasan hutan. Kejelasan dan ketepatan insentif bagi agen
sangat diperlukan. Kenyamanan berusaha bagi agen adalah insentif yang
tepat. Kebijakan menaikkan tarif penerimaan negera bukan pajak (PNBP) per
satuan luas izin pinjam pakai kawasan hutan diharapkan akan dapat memacu
agen-agen dengan capital kecil dan komitmen yang rendah untuk dapat
meningkatkan kinerjanya. Sementara insentif berupa kenyamanan berusaha
(kepastian dan keamanan berusaha dan areal usaha, kepastian mendapatkan
penambahan areal usaha baru) akan berdampak pada menurunkannya biaya
transaksi yang diakibatkan oleh penyelesaian konflik dengan A lain maupun
dengan masyarakat.
166
tekanan dari pihak di luar kementerian kehutanan, baik tekanan secara politik,
ekonomi maupun isu-isu yang berkembang pada saat itu. Namun, dalam satu
dekade terakhir, perubahan-perubahan yang terjadi menggambarkan arah positif
yang bertujuan untuk membatasi dan mengendalikan IPPKH serta upaya-upaya
pemulihan lahan.
Kebijakan PKH dapat dikatakan telah memenuhi (tepat) prinsip-prinsip
efektifitas dalam implementasinya. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan
PKH telah memenuhi empat prinsip tepat (dari lima prinsip yang disyaratkan)
yaitu; tepat kebijakan, tepat pelaksanaan, tepat sasaran, tepat proses dan didukung
oleh situasi dan kekuatan politik. Namun, hal itu tidak didukung oleh kemampuan
untuk menjalankannya. Ketepatan prinsip-prinsip efektifitas implementasi
kebijakan PKH tidak menjamin mendapatkan respon yang baik dari pemegang
IPPKH sebagai pemangku kepentingan atau subyek utama dalam menjalankan
kebijakan tersebut.
Respon yang buruk dari pemegang IPPKH terhadap kebijakan PKH
dipengaruhi oleh rendahnya komitmen pemegang IPPKH, minimnya pengetahuan
dan informasi teknis tentang isi kebijakan serta kejelasan dan kemudahan dalam
melaksanakan kebijakan tersebut. Buruknya respon pemegang IPPKH
mencerminkan kegagalan implementasi kebijakan PKH. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa proses panjang perumusan dan implementasi kebijakan PKH
tidak menjadi jaminan efektifitas dan keberhasilan implementasi kebijakan
tersebut.
Kebijakan PKH merupakan sandaran/acuan mekanisme hubungan antara
pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan sebagai prinsipal (P) dan
pemegang IPPKH sebagai agen (A). Seharusnya kebijakan PKH dapat dipahami
dan dilaksanakan oleh kedua belah pihak dengan menggunakan asumsi-asumsi
yang sesuai. Ketiadaan informasi tentang pertambangan dan operasionalnya di
lapangan dapat menjadi penyebab kekeliruan menentukan asumsi.
Dalam kebijakan PKH terdapat beberapa asumsi yang dibangun oleh para
perumus kebijakan. Perumus kebijakan berasumsi bahwa implementor mengerti
persoalan pengelolaan hutan, implementor mau (berkomitmen) dan mampu
mengemban tugas dan tanggungjawabnya dengan baik, kegiatan perencanaan
sektor pertambangan sama dengan sektor kehutanan, dan kebijakan dapat
dijalankan dengan baik oleh para pihak di lapangan. Faktanya, kesenjangan
(assumption gap) terjadi ketika dalam tataran implementasi asumsi tersebut justru
menjadi sumber persoalan bagi pelaksanaan di lapangan. Sehingga hampir semua
asumsi yang dibangun dalam kebijakan PKH tidak dapat dipenuhi.
Dalam proses implementasi kebijakan tidak terlepas dari peranan para
pihak (stakeholder). Hasil identifikasi menunjukkan bahwa terdapat lima belas
pihak yang terkait dengan implementasi kebijakan PKH, meskipun tidak semua
pihak yang teridentifkasi mempunyai kepentingan dan pengaruh dalam
implementasi kebijakan tersebut. Kementerian kehutanan menjadi pemangku
kepentigan utama sedangkan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH)
menjadi pemangku kepentingan kunci dalam implementasi kebijakan PKH.
Peranan keduanya menjadi tolok ukur keberhasilan implementasi kebijakan ini.
Berdasarkan analisis peranan terhadap para pihak, terdapat keseimbangan yang
cukup baik antara hak (rights), tanggungjawab (responsibilities) dan manfaat
(revenues) untuk masing-masing pemangku kepentingan. Sedangkan hubungan
169
kontrol P terhadap A tersebut tidak efektif. Kontrak dalam IPPKH juga tidak
menyebutkan struktur insentif bagi agen yang berkinerja baik. IPPKH sebaiknya
disusun dengan kejelasan hak dan tanggungjawab, mekanisme kontrol,
konsekuensi dan penegakan hukum serta struktur insentif.
Lemahnya kontrol dalam proses implementasi kebijakan PKH
meningkatkan perilaku moral hazard. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan hutan,
fungsi kontrol justru tidak menjadi sebuah kewajiban bagi P. Fungsi kontrol
seharusnya ditingkatkan yang disertai dengan penegakkan hukum meskipun dalam
praktiknya akan mempunyai konsekuensi seperti: meningkatnya anggaran untuk
kegiatan supervisi, monitoring dan evaluasi serta ketersedaiaan sumber daya
manusia pelaksana. Fungsi kontrol dapat ditingkatkan dengan percepatan
pembangunan KPH. KPH diharapkan dapat meningkatkan kinerja institusi PKH,
yaitu: mengurangi kesenjangan informasi (asymmetric information), mengeliminir
terjadinya konflik di lapangan yang akan berdampak pada menurunnya biaya
transaksi bagi A.
Kejelasan dan ketepatan insentif bagi A sangat diperlukan. Dalam
implementasi kebijakan PKH terdapat kesenjangan yang cukup jauh antara
insentif yang diberikan oleh P dengan yang diinginkan oleh A. P sebenarnya
memberikan insentif kepada A berupa pengurangan pembayaran PNBP jika A
dapat melakukan reklamasi dan revetegetasi serta dapat mengembalikan kawasan
hutan sesuai dengan ketentuan. P menganggap bahwa dengan memberlakukan
kewajiban membayar PNBP dapat meningkatkan kinerja A, sedangkan A justru
lebih mementingkan kepastian usaha (meliputi: keamanan investasi dan usaha,
kepastian hukum, kepastian kawasan hutan dan keuntungan usaha serta kepastian
mendapatkan areal baru) di dalam kawasan hutan. Dengan demikian dalam
implementasi kebijakan PKH terjadi kesenjangan pemberian insentif kepada A
tersebut. Kesenjangan tersebut menyebabkan tujuan P memberikan instenif untuk
A tidak tercapai. Sementara A menginginkan adanya jaminan kenyamanan
berusaha selama masa pinjam pakai kawasan hutan tersebut.
Untuk itu perlu diambil kebijakan menaikkan tarif PNBP per satuan luas
IPPKH yang diharapkan dapat memacu A dengan kapital kecil dan komitmen
yang rendah untuk dapat meningkatkan kinerjanya. Sementara insentif berupa
kenyamanan berusaha akan berdampak pada menurunnya biaya transaksi yang
diakibatkan oleh penyelesaian konflik dengan A lain maupun dengan masyarakat.
Dalam proses implementasinya, kebijakan PKH juga menimbulkan
berbagai konflik. Tumpang tindih areal dan pengelolaan kawasan hutan
merupakan sumber konflik antara perusahaan tambang dan perusahaan kehutanan.
Konflik dapat dieliminr dengan merevisi IUPHHK-HA/HT sebagai konsekuensi
dari diterbitkannya IPPKH di dalam areal IUPHHK. Kejelasan status areal dan
pengelolaan kawasan hutan juga merupakan salah satu bentuk kenyamanan dalam
berusaha di dalam kawasan hutan. Permasalahan ganti rugi/biaya kompensasi
investasi kepada pemegang IUPHHK (A-hut) menjadi tanggungjawab pemegang
IPPKH (A-tamb). Namun, jika tidak terjadi kata sepakat diantara keduanya maka
tanggungjawab dilimpahkan kepada P untuk memediasi dan menyelesaikannya
sesuai peraturan yang berlaku. P dapat menggunakan lembaga/jasa penilai
asset/investasi untuk menentukan besaran ganti rugi investasi. Hasil penilaian
harus menjadi kesepakatan dan ditaati bersama.
171
Simpulan
DAFTAR PUSTAKA
Adler PA, Adler P. 2009. Teknik-teknik Obeservasi. Dalam Denzin NK, Lincoln
YS. Handbook of Qualitative Research, Secon Edition. California: Sage
Publication. Dariyanto, Badrus SF, Abi, John R, Penerjemah. Yogyakarta;
Penerbit Pustaka Pelajar. Terjemahan dari: Handbook of Qualitative
Research
Agusta I. 1997. Response komunitas terhadap industrialisasi desa (Studi kasus di
Desa Kedungombo, Kecamatan Kaliwungu,Kabupaten Kudus, Propinsi
Jawa Tengah) [tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana IPB
Agroindonesia. 2014 Februari 11-17. Sebelas Titik Rawan Korupsi Kemenhut.
Agroindonesia. Rubrik Kehutanan Halaman 13, 11(484) Kol 1-4
Agroindonesia. 2012 September 18-24. Kemenhut bebas dari korupsi.
Agroindonesia. Rubrik Kehutanan Halaman 09, 7(416) Kol 1-4
Akerlof GA. 1986. The Market for ‖Lemons‖ : Quality Uncertainty and the
Market Mechanism. Di dalam Barney, JB, Ouchi, WG. editors. 1986.
Organizational Economics. California (USA): Jossey-Bass Inc.
Publication.
Andvig JC, Fjeldstad OH, Amundsen I, Sissener T, Søreide T. 2001. Corruption a
review of contemporary research. Chr. Michelsen Institute Development
Studies and Human Rights Report R 2001: 7
Aspinall C. 2001. Small-scale mining in Indonesia. Mining, Minerals, and
Sustainable Development No. 79 (September).
Awang SA. 2000. Dinamika proses RUU Kehutanan: (Disparitas cita dan fakta) .
Jurnal PSDA 1(1):13-17
Erman, E. 2007. Rethinking Legal and Illegal Economy: a Case Study of Tin
Mining in Bangka Island. http://globetrotter.berkeley.edu/GreenGovernance/
papers/Erman2007.pdf. Diunduh pada 22 Mei 2008.
Erman E. 2005. ―Illegal Coalmining in West Sumatra: Access and Actors in the Post-
Soeharto Era,‖ in The Politics and Economics of Indonesia’s Natural Resources,.
Resosudarmo BP (Editor). Singapore. Institute of Southeast Asian Studies.
FAO. 2002. Land tenure and rural development. Roma
Fontana A, Frey JH. 2009. Wawancara Seni Ilmu Pengetahuan. Dalam Denzin
NK, Lincoln YS. Handbook of Qualitative Research, Secon Edition.
California: Sage Publication. Dariyanto, Badrus SF, Abi, John R,
Penerjemah. Yogyakarta; Penerbit Pustaka Pelajar. Terjemahan dari:
Handbook of Qualitative Research
Fox G. 2007. The Real Coase Theorems. Cato Journal 27 (3), Hlm 373-396.
Freeman RE. 1984. Strategic management: a stakeholders approach. Cambridge:
Ballinger.
Gibbons R. 1998. Incentives in organizations. The Journal of Economic Perspectives
12(4 ):115–132.
Gibbons R. 2005. Incentives between firms (and within). Management Science
51(1):2–17.
Gilardi, F. 2001. P-A models go to Europe: Independent regulatory agencies as
ultimate step of delegation. Paper presented at the ECPR General
Conference, Canterbury (UK), 6-8 September 2001.
Golder B, Gawler M. 2005. Cross-cutting tool stakeholder analysis. Resources for
implementing the WWF standards. World Wide Fund.
Grimble R, Wellard K. 1997. Stakeholder methodologies in natural resource
management: a review of principles, context, experiences and
opportunities. Agricultural System 55(2): 173-193
Grimble R, Chan MK, Aglionby J, Quan J. (Tanpa Tahun). Trees and trade-offs:
A stakeholder approach to natural resource management. International
Institute for Environment and Development (IIED). Gatekeeper Series No
52
Grindle MS. 1980. Politics and policy implementation in third world. New Jersey:
Princeton University Press
Groehendijk, Nico. 1997. A P-A model of corruption. Crime, Law & Social
Change 27: 207-229
Guba EG, Lincoln YS. 2009. Berbagai Paradigma yang Bersaing dalam Penelitian
Kualitatif. Dalam Denzin NK, Lincoln YS. Handbook of Qualitative
Research, Secon Edition. California: Sage Publication. Dariyanto, Badrus
SF, Abi, John R, Penerjemah. Yogyakarta; Penerbit Pustaka Pelajar.
Terjemahan dari: Handbook of Qualitative Research
177
Guston DH. 2003. P-A theory and the structure of science policy, revisited:
science in policy and the US report on Carcinogens. Science and Public
Ploicy 30(5):347-357
Halim A, Abdullah S. 2006. Hubungan dan masalah keagenan di Pemerintah
Daerah. Jurnal Akuntasi Pemerintah 2(1):53-64
Hamzah, H. 2005. Dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan
wilayah: Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur Propinsi
Kalimantan Timur [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Hardin D. 1968. The Tragedy of the commons. Science 162:1243-1248
Hero Y. 2012. Peran Kelembagaan dalam Proses Pembuatan Kebijakan
Pengelolaan Hutan Pendidikan Gunung Walat Berdasarkan Pendekatan
Diskursus dan Sejarah [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Hart O. 1989. An Economist's perspective on the theory of the firm. Columbia
Law Review 89(7):1757-1774
Hasanbasri M. 2012. Maksimasi, free rider dan kegagalan implementasi
kebijakan. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia 1(3):121-124
Hechter M, Kanazawa S. 1997. Sociological Rational Choice Theory. Annual
Review of Sociology 23:191–214.
Heriawan R. 2004. Informal Sector Statistics and Supporting Surveys: Indonesian
Experience. Paper presented at the 7th Meeting of the Expert Group of
Informal Sector Statistics (Delhi Group), February 2–4, 2004, New Delhi,
available at http://mospi.nic.in/rusman_heriawan_a.htm; accessed 22
Pebruari 2014.
Hidayat H. 2008. Politik lingkungan: Pengelolaan hutan masa orde baru dan
reformasi. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Legrain A, Auwers T. 2006. The P-A Model and The Network Theory as
Framework for Administrative Procedures Social Security in Belgium.
EGPA conference ―Public Manager Under Pressure: Between Politics,
Professionalism and Civil Society‖, Milan, September 6-9, 2006 (Study
group VI : Governance of Public Sector Organizations).
Madhok A. 2002. Reassessing the fundamentals and beyond: Ronald Coase, the
transaction cost and resourcebased theories of the firm and the institutional
structure of production. Strategic Management Journal 23:535-50.
Magin G, Marijnissen C, Moniaga S, Meek C. 2001. Forests of fear. The abuse of
human rights in forest conflicts. Smith JW, editor. Fern, Brussels
Malanuang, L. 2002. Analisis Dampak Ekonomi dan Sosial Tambang Emas dan
Tembaga bagi masyarakat komunal dan pembangunan wilayah Provinsi
NTB (Studi kasus proyek batu hijau PT. Newmont Nusa Tenggara di
Kabupaten Sumbawa) [thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Marwa J, Purnomo H, Nurrochmat DR. 2010. Managing the last frontier of
Indonesian forests in Papua. Bogor. AKECOP Korea & IPB.
Maskin ES. 2001. Roy Radner and Incentive Theory. Review of Economic Design
6:311-324.
Matland RE. 1995. Synthesizing the implementation literature: The ambiguity-
conflict model of policy implementation. Journal of Public Administration
Research and Theory 5(2):145-174
Peters GB. 2000. Institutional theory: problems and prospects. Vienna: University
of Pittsburgh.
Peters GB, Piere J, and King D. 2005. The politics of path dependency: political
conflict in historical institutionalism. The Journal of Politics 67 (4), pp.
1275–1300.
Petrie M. 2002. A framework for public sector performance contracting. OECD
Journal on Budgeting 2:117-153
Stake RE. 2009. Studi Kasus. Dalam Denzin NK, Lincoln YS. Handbook of
Qualitative Research, Secon Edition. California: Sage Publication.
183
Waterman RW, Meier KJ. 1998. P-A Models: An Expansion? Journal of Public
Administration Research and Theory 8 (2):173-202.
Wittmer H, Birner R. 2005. Between conservationism, eco-populism and
developmentalism discourses in biodiversity policy in Thailand and
Indonesia. International Food Policy Research Institute. CAPRi Working
Paper 37: 1-27
Wondolleck, J. 1998. Public lands conflict and resolution: managing national
forest disputes. Plenum Press, New York.
Worsham J. 2003. Multiple principals, multiple signals: A signaling model of P-A
relations. Paper Read at Meeting of the National Public Management
Research Conference October 9-11, 2003. Georgetown University.
Wulan YC, Yasmi Y, Purba C, Wollenberg E. 2004a. Konflik kehutanan di
Indonesia sebelum dan sesudah reformasi. Warta kebijakan. Bogor. Center
for International Forestry Research
_________, Yasmi Y, Purba C, Wollenberg E. 2004b. Analisa konflik sektor
kehutanan di Indonesia 1997-2003. Bogor. Center for International
Forestry Research
Yasmi Y, Kelley L, Enters T. 2010. Forest conflict in Asia and the role of
collective action in its management. Presented at Research Workshop on
International workshop on Collective Action, Property Rigths, and
Conflict in Naturl Resources Management on June 28th-July 1st, Siem
Reap-Cambodia. Collective Action and Property Rights. CAPRI Working
Paper No. 102
Yasmi Y, Anshari GZ, Alqadrie S, Budiarto T, Abidin NE, Komarudin H,
McGrath S, Zulkifli, Afifudin. 2005. Kompleksitas pengelolaan
sumberdaya hutan di Era Otonomi Daerah Studi Kasus di Kabupaten
Sintang, Kalimantan Barat. Bogor. Center for International Forestry
Research.
Yusra S, Septian A, Febiana F. 2011 Juli 3. Matahari di atas Manggala. Majalah
Tempo. Laporan Utama: Rezeki hitam politikus PAN. Hal 26-30
Yustika AE. 2006. Ekonomi Kelembagaan; Definisi, Teori dan Strategi.
Bayumedia Publishing. Malang
Zulkarnain I, Erman E, Pudjiastuti TN, Mulyaningsih Y. 2005. Konflik di
Kawasan Pertambangan Timah Bangka Belitung: Persoalan dan
Alternatif Solusi. Jakarta. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
185
Lampiran 1
KUESIONER
PAKAR-BIROKRAT-PERUMUS KEBIJAKAN
Daftar pertanyaan ini hanya merupakan panduan, tidak untuk diberikan kepada
informan/narasumber/responden
PERUMUSAN KEBIJAKAN
Instrumen kebijakan
Sasaran kebijakan
Implementasi kebijakan
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Ketepatan Pelaksanaan
Aktor implementasi kebijakan tidaklah hanya pemerintah. Ada tiga lembaga yang bisa
menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah-masyarakat/swasta,
atau implementasi kebijakan yang diswastakan (privatization atau contracting out).
Pertanyaan berikut diajukan kepada para birokrat maupun stakeholder lainnya untuk
mengetahui sejauh mana keberhasilan implementasi kebijakan PKH
Ketepatan Kebijakan
1. Sejauh mana kabijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan
masalah yang hendak dipecahkan. Pertanyaannya adalah how excellent is the policy.
- Apa masalah yang mendasari?
- Bagaimana proses perumusan kebijakan PKH?
- Apakah kebijakan PKH menjawab atau dapat menyelesaikan permasalahan
pengelolaan hutan?
2. Apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai dengan karakter masalah yang
hendak dipecahkan.
- Apakah permasalahan yang mendasari dipecahkan berdasarkan konsep
perumusan kebijakan yang benar? (teori, teknis, antisipatif)
3. Apakah kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan (misi
kelembagaan) yang sesuai dengan karakter kebijakan
- Siapa aktor dan stakeholder perumus kebijakan?
- Apa dasar penentuan aktor dan stakeholder? (kewenangan, pengaruh,
kepentingan, keterkaitan)
- Apa kontribusi dari para aktor dan stakeholder
Ketepatan Pelaksanaan
Pertanyaan berikut diajukan kepada para birokrat maupun stakeholder lainnya untuk
mengetahui sejauh mana keberhasilan implementasi kebijakan PKH
Ketepatan Target
1. Apakah target yang dintervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak ada
tumpang tindih dengan intervensi lain, atau tidak bertentangan dengan intervensi
kebijakan lain?.
188
2. Apakah targetnya dalam kondisi siap untuk dintervensi atau tidak? (Kesiapan bukan
saja dalam arti secara alami, namun juga apakah kondisi target ada dalam konflik atau
harmoni, dan apakah kondisi target ada dalam kondisi mendukung atau menolak)
3. Apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbarui
implementasi kebijakan sebelumnya? (Terlalu banyak kebijakan yang tampaknya
baru namun pada prinsipnya mengulang kebijakan yang lama dengan hasil yang sama
tidak efektifnya dengan kebijakan sebelumnya)
Ketepatan Lingkungan
Ketepatan Proses
Secara umum, implemetnasi kebijakan publik terdiri dari tiga proses, yaitu:
1. Policy acceptance, yaitu publik memahami kebijakan sebagai sebuah ―aturan main‖
yang diperlukan untuk masa depan, di sisi lain pemerintah memahami kebijakan
sebagai tugas yang harus dilaksanakan.
2. Policy adoption, yaitu publik menerima kebijakan sebagai sebuah ―aturan main‖ yang
diperlukan untuk masa depan, di sisi lain pemerintah menerima kebijakan sebagai
tugas yang harus dilaksanakan
3. Strategic readiness, yaitu publik siap melaksanakan atau menjadi bagian dari
kebijakan, disisi lain birokrat on the street (atau birokrat pelaksana) siap menjadi
pelaksana kebijakan.
Kelima ―tepat‖ di atas tersebut masih perlu didukung oleh tiga jenis dukungan,
yaitu:
- Dukungan politik;
- Dukungan strategik; dan
- Dukungan teknis.
189
KUESIONER
UNTUK STAKEHOLDER (PERUSAHAAN PERTAMBANGAN)
1. IPPKH
No Pertanyaan STS TS R S SS
1 Program PKH sesuai dengan kebutuhan stakeholder akan akses
sumberdaya hutan
2 Sosialisasi program PKH telah dilakukan dengan baik
3 Stakeholder terkait dengan program PKH telah memahami
mekanisme IPPKH
4 Terdapat ketersediaan lahan yang cukup untuk dialokasikan sebagai
lokasi PKH
5 Areal hutan yang dialokasikan untuk PKH merupakan lahan bebas
konflik
6 Perijinan usaha PKH sangat tepat dikeluarkan oleh Menteri
Jika tidak tepat, bagaimana sebaiknya dan apa sebutkan alasannya:
1.
2.
7 Stakeholder sangat berminat untuk mematuhi aturan dalam proses
IPPKH
8 Stakeholder masih perlu pendampingan untuk menjalankan
kebijakan PKH
9 Kewajiban dalam IPPKH telah jelas dan dimengerti/dipahami
dengan baik
10 Persyaratan permohonan IPPKH telah cukup dan sesuai
Jika kurang, terlalu banyak atau tidak sesuai sebutkan:
1.
2.
3
11 Stakeholder tidak mengalami kesulitan dalam pemenuhan kewajiban
persyaratan.
Jika ada kesulitan sebutkan dan mengapa?
1.
2.
3.
12 Kewajiban dalam izin persetujuan prinsip PKH telah cukup dan
sesuai
Jika kurang, terlalu banyak atau tidak sesuai sebutkan:
1.
2.
3
13 Kewajiban-kewajiban IPPKH telah cukup dan sesuai
Jika kurang, terlalu banyak atau tidak sesuai sebutkan:
1.
2.
3
192
No Pertanyaan STS TS R S SS
14 Stakeholder tidak mengalami kesulitan dalam pemenuhan kewajiban
izin persetujuan prinzip PKH.
Jika ada kesulitan sebutkan dan mengapa?
1.
2.
3.
15 Stakeholder tidak mengalami kesulitan dalam pemenuhan kewajiban
IPPKH.
Jika ada kesulitan sebutkan dan mengapa?
1.
2.
3.
16 Selama dalam melaksanakan kebijakan PKH tidak terdapat konflik
Jika ada konflik sebutkan dan apa penyebabnya:
1.
2.
3.
17 Stakeholder telah terbiasa mengurus administrasi perijinan di
Kementerian kehutanan dan pemerindah daerah
18 Kewajiban peserta PKH sama dengan kewajiban-kewajiban
pengusahaan hutan
Pendapat tambahan, sekiranya masih ada yang belum tertampung dalam daftar pertanyaan
ini.
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
193
KUESIONER
UNTUK PARA PIHAK DI DAERAH
No Pernyataan/Pertanyaan STS TS R S SS
1 Aturan penggunaan kawasan hutan ditentukan oleh Pemerintah
Pusat
2 Peran pemerintah daerah di provinsi atau kabupaten merupakan
pelaksana di tingkat lapangan
3 Dalam kebijakan penggunaan kawasan hutan, pemerintah daerah
(provinsi/ kabupaten) telah diberikan peranan yang sesuai
4 Pemerintah daerah berperan serta dalam menentukan arah
kebijakan pengelolaan hutan sesuai dengan kondisi spesifik di
masing-masing wilayahnya, yaitu (sebutkan)
1.
2.
5 Kebijakan penggunaan kawasan hutan merupakan kebijakan yang
baik, lengkap dan sesuai dengan situasi dan kondisi poleksosbud
6 Kebijakan penggunaan kawasan hutan mengandung konflik
dengan pihak/sektor lain. Apa saja itu (sebutkan)?
1.
2.
7 Kebijakan penggunaan kawasan hutan tidak tumpang tindih
dengan kebijakan (peraturan) lain. (Jika tumpang tindih, sebutkan
di bagian apa dan dengan peraturan apa)
1.
2.
8 Kebijakan penggunaan kawasan hutan telah jelas, tidak multitafsir
dan tidak ambigu. (Jika belum jelas, multitafsir atau adanya
ambigu agar dicatat penjelasannya)
9 Kebijakan penggunaan kawasan hutan saat ini telah tepat tujuan
dan sasaran
10 Kebijakan penggunaan kawasan hutan telah memperhatikan
aspirasi seluruh kalangan (stakeholder)? (Jika belum, catat
penjelasan responden)
11 Kebijakan penggunaan kawasan hutan sudah memperhatikan
kepentingan masyarakat di sekitar kawasan hutan/tambang
194
No Pertanyaan SP P CP KP TP
1. Apakah stakeholder mempunyai kewenangan (authority) dalam
pengambilan keputusan/kebijakan baik dalam tahap perencanaan,
pelaksanaan maupun monitoring evaluasi kebijakan?
Sebutkan : ….
2. Apakah stakeholder mempunyai kekuasaan (power) dalam pengambilan
keputusan/kebijakan baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan
maupun monitoring evaluasi kebijakan?
Sebutkan : ….
3. Apakah stakeholder mempunyai tugas (tasks) dalam proses
implementasi kebijakan penggunaan kawasan hutan, dan apakah tugas
tersebut telah dilaksanakan dengan baik. Apa tugas-tugas tersebut?
Sebutkan:
4. Apakah peranan (roles) stakeholder dalam implemetnasi kebijakan
penggunaan kawasan hutan? Apakah peranan tersebut mempengaruhi
pengambilan keputusan/kebijakan dalam implementasi kebijakan
penggunaan kawasan hutan? Sebutkan contohnya: …
5. Apakah dalam implemetnasi kebijakan penggunaan kawasan hutan
stakeholder mempunyai hak dan kewajiban yang tidak tersurat (tertulis
dalam peraturan perundang-undangan)? Apa saja hak dan kewajiban
itu? Sebutkan: …
Sejauh mana hak dan kewajiban itu dilaksanakan?
Sejauh mana mempengaruhi hasil atau pelaksanaan implementasi
kebijakan?
6. Hal-hal lainnya:
KEPENTINGAN
No Pertanyaan SP P CP KP TP
1 Sejauh mana stakeholder terlibat (participation) dalam proses
implementasi kebijakan penggunaan kawasan hutan di wilayah
kerjanya? Terlibat dalam hal apa saja? Sebutkan : …
Apakah selalu terlibat dalam pengambilan keputusan?
2 Apa motivasi (motivation) stakeholder dalam implementasi kebijakan
penggunaan kawasan hutan? Jika bisa disebutkan: ….
3. Apakah stakeholder melakukan hak dan kewajiban atau peranannya
dengan proaktif? Untuk hak, kewajiban, peranan apa saja? Sebutkan: ….
Apakah dalam melakukan hak, kewajiban, peranan tersebut telah
terprogam atau terrencana?
4. Apa keuntungan yang bias stakeholder ambil (benefit) dari adanya
keijakan penggunaan kawasan hutan tersebut? Sebutkan :…
Apakah keuntungan tersebut dapat dirasakan secara langsung?
5. Apakah stakeholder mendapatkan kemudahan setelah melaksanakan
kebijakan penggunaan kawasan hutan? Dalam hal apa? Sebutkan: ..
Apakah kemudahan tersebut dapat dirasakan secara langsung?
6. Hal lainnya?
195
RIWAYAT HIDUP