Anda di halaman 1dari 213

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGGUNAAN

KAWASAN HUTAN UNTUK PERTAMBANGAN:


Perspektif Hubungan Principal-Agent

MANIFAS ZUBAYR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN
MENGENAI DISERTASI, SUMBER INFORMASI
DAN PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul ”Implementasi


Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pertambangan: Perpektif Hubungan
Principal-Agent” adalah benar-benar merupakan hasil karya sendiri dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya ini kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Manifas Zubayr
E161090051
RINGKASAN
MANIFAS ZUBAYR. Implementasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan
untuk Pertambangan: Perspektif Hubungan Principal-Agent. Dibimbing oleh
DUDUNG DARUSMAN, BRAMASTO NUGROHO, dan DODIK RIDHO
NURROCHMAT.

Penggunaan kawasan hutan (PKH) adalah penggunaan atas sebagian


kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa
merubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut. Kebijakan PKH
bertujuan untuk mengatur penggunaan kawasan hutan bagi kegiatan sektor lain
yang diharapkan menjadi upaya pemerintah dalam pengelolaan hutan
berkelanjutan. Digulirkannya kebijakan PKH ini mengakibatkan permohonan izin
penggunaan kawasan hutan melalui mekanisme izin pinjam pakai kawasan hutan
(IPPKH) berkembang sangat pesat sejalan dengan maraknya kegiatan
pertambangan di dalam kawasan hutan di seluruh Indonesia.
Penelitian implementasi kebijakan PKH ini dimaksudkan untuk
menganalisis dan mengungkap realitas pelaksanaan kebijakan PKH. Pendekatan
studi kelembagaan khususnya dalam perspektif hubungan principal-agent (agency
theory) dilakukan untuk mengetahui hubungan pemerintah sebagai prinsipal (P)
dan perusahaan pertambangan pemegang IPPKH sebagai agen (A) yang didukung
oleh analisis-analisis lainnya yang relevan seperti analisis peraturan perundang-
undangan, analisis kesenjangan kebijakan (analisis asumsi), analisis stakeholder,
dan analisis respon.
Penelitian dilakukan di Bogor, Jakarta dan beberapa lokasi observasi yaitu:
Samarinda dan Kutai Kartanegara (Provinsi Kalimantan Timur), Banjarbaru dan
Tanah Bumbu (Provinsi Kalimantan Selatan), Kendari, Konawe Utara dan Kolaka
(Provinsi Sulawesi Tenggara). Data sekunder dan informasi telah dikumpulkan
sebelum penelitian, sedangkan penelitian efektif dilaksanakan pada bulan Juni
sampai dengan Nopember 2013. Metode pendekatan deskriptif kualitatif
dilakukan dalam proses penelitian ini. Pengumpulan data dan informasi dilakukan
dengan pendekatan/teknik: 1) penelusuran dokumen, 2) wawancara dengan informan
kunci dan responden, dan 3) observasi lapangan.
Perumusan kebijakan penggunaan kawasan hutan mengikuti model
inkrementalis atau model tahap demi tahap (incrementalist model). Pemerintah
telah beberapa kali mengganti dan merevisi peraturan-peraturan terkait dengan
kebijakan PKH. Kebijakan PKH ini sebenarnya telah dirumuskan dengan tepat.
Namun, ketepatan perumusan kebijakan PKH tersebut tidak menjamin
mendapatkan respon yang baik dari pemegang IPPKH sebagai subyek utama
implementasi kebijakan tersebut. Respon buruk dari pemegang IPPKH terhadap
kebijakan PKH menunjukkan bahwa kebijakan PKH gagal mencapai tujuan.
Dalam implementasi kebijakan PKH terdapat beberapa asumsi yang
dibangun oleh para perumus kebijakan, yaitu: implementor mengerti persoalan
pengelolaan hutan, implementor mau (berkomitmen) dan mampu mengemban
tugas dan tanggungjawabnya dengan baik, kegiatan perencanaan sektor
pertambangan sama dengan sektor kehutanan, dan kebijakan dapat dijalankan
dengan baik oleh para pihak di lapangan. Namun, dalam tataran implementasi
asumsi-asumsi tersebut justru menjadi sumber persoalan bagi pelaksanaan di
lapangan. Sehingga hampir semua asumsi yang dibangun dalam kebijakan PKH
tidak dapat dipenuhi.
Hasil analisis para pihak menunjukkan bahwa Kementerian Kehutanan
menjadi pihak kunci sedangkan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan
(IPPKH) menjadi pihak utama yang berkepentingan dalam implementasi
kebijakan PKH. Peranan keduanya menjadi tolok ukur keberhasilan implementasi
kebijakan ini. Kemudian dalam analisis peranan terhadap setiap pihak yang
berkepentingan, terdapat keseimbangan yang cukup baik antara hak (rights),
tanggunjawab (responsibilities) dan manfaat (revenues) untuk masing-masing
pihak. Sedangkan hubungan (relationships) antara para pihak terjalin dalam
berbagai tingkat, dari bekerjasama sampai dengan adanya konflik. Namun,
keseimbangan peranan dan hubungan yang dibangun oleh pemerintah tidak cukup
membantu bagi keberhasilan implementasi kebijakan PKH ini.
Dalam hubungan antara pemerintah sebagai P dan perusahaan
pertambangan yang telah memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH)
sebagai A, perbedaan kepentingan dan tujuan antara P dan A menjadi
permasalahan utama dalam mengkaji hubungan P-A. Hubungan P-A dalam
implementasi kebijakan PKH mempunyai kekhasan tersendiri. Kekhasan tersebut
adalah: inisiatif untuk menjalin hubungan tersebut berasal dari A, tidak ada seleksi
terhadap A, penguasaan informasi terhadap kawasan hutan dimiliki oleh P,
perilaku moral hazard dilakukan oleh P dan A, dan belum adanya struktur insentif
dalam kebijakan tersebut.
Hubungan keagenan yang teridentifikasi dalam implementasi kebijakan
PKH bukan hanya antara P dan A saja, tetapi juga antara prinsipal sektor
kehutanan (P-hut) dan prinsipal sektor pertambangan (P-tamb) serta hubungan
agen kehutanan (A-hut) dan agen pertambangan (A-tamb). Hubungan tersebut
bisa dalam bentuk koorperasi maupun konflik. Dalam implementasi kebijakan
PKH terjadi perilaku moral hazard yang dilakukan oleh P-hut akibat penguasaan
informasi dan power yang dimilikinya. Perilaku tersebut dalam bentuk kolusi,
gratifikasi dan praktek percaloan. Sementara perilaku moral hazard dalam bentuk
pemerasan dan land trading dilakukan oleh A-hut ketika berkonflik dengan A-
tamb. A-tamb juga melakukan moral hazard dalam bentuk pengingkaran terhadap
kontrak yang telah disepakati dengan P-hut.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan yang dirumuskan dan
dilaksanakan dalam waktu yang cukup panjang serta mendapat dukungan yang
kuat dari pihak-pihak yang berkepentingan tidak menjamin keberhasilan
pelaksanaannya. Kegagalan implementasi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
perbedaan kepentingan antara P dan A, ketidaksempurnaan kontrak (IPPKH),
rendahnya komitmen A, belum adanya struktur insentif yang sesuai, biaya
transaksi yang relatif tinggi, lemahnya kontrol dan penegakan hukum serta
terjadinya moral hazard yang dilakukan oleh P dan A. Sementara risiko
terdegradasinya hutan harus diterima oleh P. Banyaknya ketidaksesuaian dan
penyimpangan dalam implementasi kebijakan PKH tersebut serta besarnya risiko
yang diterima oleh P, maka dipandang perlu untuk menghentikan sementara
(moratorium) implementasi kebijakan PKH untuk memberikan waktu bagi
perbaikan kebijakan PKH.

Kata kunci : Implementasi kebijakan, principal-agent, moral hazard


SUMMARY
MANIFAS ZUBAYR. Policy Implementation of The Use of Forest Area for
Mining Activity: Principal-Agent Relationship Perspective. Supervised by
DUDUNG DARUSMAN, BRAMASTO NUGROHO, and DODIK RIDHO
NURROCHMAT.

The use of forest area (UFA) is defined as utilization of a portion of forest


land for any development purposes outside forestry without changing its function
and designation. UFA policy is aimed to regulate the use of forest areas for other
sectors of activity which is expected to be the government's efforts in forest
management sustainable. This policy resulted in the commencement of UFA
forest use permit application through the mechanism of Leasehold Forest Area
License (LFAL) is growing very rapidly in line with the rise of mining activities
in forest areas throughout Indonesia.
UFA policy implementation research is intended to analyze and reveal the
reality of UFA implementation. Institutional study approach, especially in the
perspective of principal-agent relationship (agency theory) was conducted to
determine the relationship of government as the principal (P) and the holder of
LFAL mining company as agent (A) which is supported by other relevant
analyzes such as legislation analysis, policy gap analysis (assuming analysis),
stakeholder analysis, and response analysis.
This study was conducted in Bogor, Jakarta and several observation
locations are: Samarinda and Kutai (East Kalimantan), Banjarbaru and Tanah
Bumbu (South Kalimantan), Kendari, North Konawe and Kolaka (Southeast
Sulawesi). Secondary data and information was collected before the study, while
the effective investigation conducted from June to November 2013. Descriptive
qualitative approach method performed in the research process. Data collection
and information was done with approaches / techniques: 1) documents searching,
2) interviews with key informants and respondents, and 3) field observations.
UFA policy formulation follows incrementalist model or step by step
model. The government has several times replaced and revised regulations related
to UFA policy. UFA policy in fact has been formulated accurately. However, the
accuracy of those policy formulation does not guarantee getting a good response
from LFAL holder as the main subject of policy implementation. Bad response
from LFAL holder toward UFA policy shows that its policy failed to achieve the
goal.
In UFA implementation, there are some assumptions built by policy
makers, namely: implementor understand the problems of forest management, the
implementor willing (committed) and able to carry out his duties and
responsibilities properly, the mining sector planning activities together with
forestry sector, and policies can be implemented by stakeholder in the field.
However, the level of implementation of these assumptions it becomes a source of
problems for implementation in the field. So that almost all of the assumptions
built into UFA policy can not be fulfilled.
The results of the stakeholder analysis indicate that the Ministry of
Forestry as a key stakeholder, while LFAL holder becomes the primary
stakeholder in the UFA policy implementation. The role of both become a success
measurement of the policy implementation. Later in the analysis of the role of
each stakeholder, there is a pretty good balance between the rights (rights), the
responsibility of the (responsibilities) and benefits (revenues) for each party.
While relationships (relationships) between the stakeholder exists in varying
degrees, from collaboration to the conflict. However, the balance of roles and
relationships built by the government is not enough help for the successful of
UFA policy implementation.
In the relationship between the government as P and mining companies
that already have Leasehold of Forest Area License (LFAL) as A, differences in
interests and objectives between P and A be a major problem in studying PA
relationship. PA relationship in UFA implementation has its own particulars. They
are: initiative to establish the relationship comes from A, there is no selection
toward A, the control of information to the forest area is owned by P, moral
hazard behavior performed by P and A, and the lack of incentive structures in the
policy.
Agency relationship identified in UFA implementation is not only the
relationship between P and A, but also there is connection between the principal
forestry (P-for) and the principal mining sector (P-mine) and the forestry agency
relationship (A-for) and mining agents (A-mine). Relationship can be in the form
of cooperation or conflict. In UFA implementation occurs moral hazard behavior
performed by the P-for due to the mastery of the information and own power.
Those behavior in the form of collusion, gratification and brokering practices.
While moral hazard behavior in the form of extortion and land trading is done by
A-for when in conflict with the A-mine. A-mine also do the moral hazard more
dangerous for the survival of sustainable forest management is the denial of the
contract agreed with the P-for.
The analysis result of this study indicate that policies which are formulated
and implemented in a long time and received strong support from the stakeholder
concerned does not guarantee the success of implementation. Implementation
failure is caused by several factors, namely: the difference of interest between P
and A, imperfections contract (LFAL), a lack of commitment, lack of appropriate
incentive structures, high transaction costs, lack of control and enforcement as
well as moral hazard is conducted by P and A. While the risk of forest degradation
must be received by P. the number of discrepancies and irregularities in UFA
implementation and the amount of risk accepted by P, it is necessary to pause
(moratorium) UFA policy implementation to allow time for UFA policy repair .

Keywords: Policy implementation, principal-agent, moral hazard


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGGUNAAN
KAWASAN HUTAN UNTUK PERTAMBANGAN:
Perspektif Hubungan Principal-Agent

MANIFAS ZUBAYR

Disertasi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor
pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, M.Sc
Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S
Dr. Ir. Iman Santoso, M.Sc
Judul Penelitian : Implementasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan untuk
Pertambangan: Perspektif Hubungan Principal-Agent
Nama : Manifas Zubayr
NRP : E161090051
Mayor : Ilmu Pengelolaan Hutan

Disetujui :

Komisi Pembimbing

Prof Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A


Ketua

Prof Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M.S Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc
Anggota Anggota

Diketahui :

Ketua Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Ilmu Pengelolaan Hutan,

Prof. Dr. Ir. Hardjanto, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :


PRAKATA

Alhamdulillaahirabbil aalamiin, puji syukur atas segala karunia dan


nikmat yang diberikan Allah SWT hingga tersusun disertasi yang berjudul
‘Implementasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pertambangan:
Perspektif Hubungan Principal-Agent” ini. Penulisan disertasi ini dilandasi oleh
rasa penasaran akan banyaknya keluhan dari para pengusaha pertambangan terkait
dengan kebijakan penggunaan kawasan hutan (PKH) dalam rentang waktu tahun
2006-2009. Melalui proses bimbingan dan arahan dari komisi pembimbing,
akhirnya penulis memutuskan untuk mengkaji permasalahan kebijakan PKH
tersebut khusus untuk pertambangan dengan fokus kajian pada studi ilmu
kelembagaan dalam perspektif teori principal-agent.
Penelitian dilakukan di Bogor, Jakarta dan beberapa lokasi observasi yaitu
di Samarinda dan Kutai Kartanegara (Provinsi Kalimantan Timur), Banjarbaru
dan Tanah Bumbu (Provinsi Kalimantan Selatan), Kendari, Konawe Utara dan
Kolaka (Provinsi Sulawesi Tenggara). Penelitian dilakukan selama 6 bulan,
terhitung mulai bulan Juni 2013 sampai dengan Nopember 2013, meskipun
banyak data-data sekunder dan informasi lainnya telah dikumpulkan sebelumnya.
Adapun biaya penelitian ini diperoleh dari anggaran Pusat Pendidikan dan
Pelatihan Kehutanan-Kementerian Kehutanan.
Melalui disertasi ini penulis berharap dapat menyumbangkan pikiran,
pendapat maupun gambaran tentang kebijakan PKH, memperkaya khasanah ilmu
kelembagaan terutama dalam perspektif hubungan principal-agent, serta
memberikan masukan atau pertimbangan bagi perbaikan kebijakan PKH di masa
yang akan datang.
Atas tersusunnya disertasi ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A, Prof. Dr. Ir Bramasto Nugroho, M.S dan
Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc selaku pembimbing atas ilmu,
bimbingan, nasehat dan teladan yang telah diberikan.
2. Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S dan Dr. Ir. Iman Santoso, M.Sc selaku
penguji luar pada ujian terbuka serta Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, M.Sc, dan
Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc selaku penguji luar dalam ujian tertutup.
3. Prof. Dr. Ir. Hardjanto, M.S selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan
Hutan dan seluruh staf pengajar dan pegawai Program Studi IPH atas bantuan
dan pelayanannya.
4. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf pegawai atas segala pelayanan
yang telah diberikan.
5. Dekan Fakultas Kehutanan IPB beserta staf pegawai atas segala bantuan dan
perhatiannya.
6. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Direktur Penggunaan Kawasan
Hutan beserta staf serta Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan
beserta staf.
7. Dr. Ir. Boen M Purnama, M.Sc, Ir. Soetrisno, M.M, dan semua informan yang
telah memberikan data dan informasi dalam penelitian ini.
8. Istriku Elfita Nurrahma Agustami, SP, anak-anakku: Muhammad Elfaza
Faishal Musyaffa, Zuyyina Elshafna Rifda Nurrahma, Alifia Elnaifa Rizkia
Nurrahma, Ummi Hj. Siti Ruchayah dan kedua mertua Agustami dan Erdaneti
atas doa dan dukungannya.
9. Persembahan khusus kepada Abah H. Alif Fatichin (Alm) yang selalu menjadi
inspirasi dalam hidup penulis, semoga Allah SWT memberikan tempat yang
terbaik.
10. Rekan-rekan seangkatan : Mas Eno Suwarno, Mas Gamin Ganesa, Mas
Samsuri, Mpok Emi Roslinda, Mas Sudarmalik, Kang Dani Kusnandar, Kang
Dian Lazuardi, Mbak Sinok Sukadaryati dan Bu Yelin Adelina serta seluruh
Mahasiswa IPH.
11. Semua pihak yang telah membantu
Teriring doa semoga Allah SWT membalaskan budi baik semuanya.
Disadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu
diharapkan ritik dan saran bagi perbaikan disertasi saya ini.

Bogor, Agustus 2014

Manifas Zubayr
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vii

PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Kerangka Pemikiran 4
Rumusan Masalah 9
Tujuan Penelitian 10
Manfaat Penelitian 10
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian 10
Kebaruan 12
Metode Umum Penelitian 14
Pendekatan Penelitian 14
Metode Pengumpulan Data 16
Metode Pengambilan Contoh 19
Verifikasi dan Validasi 20
Jenis dan Sumber Data 24
Insturment Penelitian 25

PERUMUSAN KEBIJAKAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN 26


Pendahuluan 26
Tujuan 27
Metode Analisis 27
Analisis Sejarah Kebijakan 27
Analisis Perumusan Kebijakan 29
Hasil dan Pembahasan 30
Sejarah Kebijakan Penggunaan Kawasan Huitan 30
Proses Perumusan Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan 33
1. Tonggak Kunci Penetapan Kabijakan 33
2. Konteks Politik dan Pemerintahan 46
3. Isu-isu Kunci Kebijakan 51
4. Proses Pembentukan Kebijakan 56
5. Proses Implementasi Kebijakan 60
6. Arah Kebijakan yang akan Datang 60
Simpulan 60

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN 62


Pendahuluan 62
Tujuan 63

Metode Analisis 63
Analisis Implemetasi Kebijakan 63
Analisis Respon 66
Analisis Kesenjangan Kebijakan (Analsis Asumsi) 68
i
Hasil dan Pembahasan 70
Ketepatan Kebijakan dan Implementasinya 70
1. Ketepatan Kebijakan 70
2. Ketepatan Pelaksanaan 73
3. Ketepatan Target 73
4. Ketepatan Lingkungan 75
5. Ketepatan Proses 77
6. Dukungan Faktor Lain 77
Respon Perusahaan Tambang 80
1. Pemeliharaan dan Pengamanan Batas Kawasan Hutan 82
2. Pengamanan dan Perlindungan Kawasan Hutan 83
3. Pembayaran PNBP 84
4. Reklamasi dan Revegetasi 88
5. Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai 91
6. Penyerahan Laporan Periodik 93
Asumsi Kebijakan 94
Analisis Asumsi (Gap Analysis) 97
Isu-isu dalam Implementasi Kebijakan dan Arah Kebijakan PKH 98
Simpulan 104

PERANAN STAKEHOLDERS DALAM IMPLEMENTASI


KEBIJAKAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN 105
Pendahuluan 105
Tujuan 106
Metode Analisis 106
Identifikasi Para Pihak 107
Peranan Para Pihak 109
Hubungan antar Pihak 111
Hasil dan Pembahasan 111
Identifikasi Para Pihak 111
Peranan Para Pihak 116
Hubungan antar Pihak 121
Simpulan 123

HUBUNGAN PRINCIPAL-AGENT DALAM IMPLEMENTASI


KEBIJAKAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN 125
Pendahuluan 125
Tujuan 127
Hasil dan Pembahasan 127
Tinjauan Agency Theory (Teori Keagenan) dalam Kebijakan PKH 127
Isu-isu hubungan Principal-Agent dalam Implementasi Kebijakan
PKH 130
1. Seleksi Terhadap Agen 131
2. Hubungan Kontraktual 133
3. Asymmetric Information (Ketidaksepadanan Informasi) 137
4. Insentif 139
5. Risk Preference 141
6. Moral Hazard 142
ii
7. Kontrol 149
Masalah Hubungan Prinsipal-Agen dalam Implementasi Kebijakan
PKH 151
1. Masalah Hubungan Prinsipal-Agen 152
2. Masalah Hubungan Prinsipal-Prinsipal 152
3. Masalah Hubungan Agen-Agen 155
4. Perubahan Hubungan Prinsipal-Agen menjadi Agen-Agen 158
Biaya Transaksi 160
Biaya Lainnya 161
Arah Perbaikan Kebijakan PKH 162
Simpulan 164

SINTESIS HASIL PENELITIAN 167


Simpulan 172

DAFTAR PUSTAKA 173

LAMPIRAN 185

RIWAYAT HIDUP 195

iii
DAFTAR TABEL

1. Perkembangan izin penggunaan kawasan hutan (PKH) untuk kegiatan


pertambangan 3
2. Hak-hak yang terikat berdasarkan posisi kelompok masyarakat 5
3. Beberapa penelitian terkait dengan kebijakan dan pengelolaan
pertambangan di dalam kawasan hutan 13
4. Landasan teori, metode, jenis data, sumber data dan output yang
diharapkan berdasarkan tujuan penelitian 23
5. Jumlah dan penyebaran informan/responden 24
6. Data izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan 42
7. Matriks perkembangan isu, tindak lanjut dan produk kebijakan
penggunaan kawasan hutan 54
8. Matriks indikator-indikator respon perilaku perusahaan 67
9. Penentuan tingkat responsifitas perusahaan dalam implementasi
kebijakan PKH 68
10. Matriks perbedaan motivasi dan nilai sektor pertambangan dan
kehutanan 71
11. Hasil analisis ketepatan implementasi kebijakan PKH 78
12. Respon perusahaan pemegang IPPKH dalam memenuhi kewajiban
PKH 81
13. Target dan realisasi penerimaan negara bukan pajak 85
14. Rata-rata besarnya PNBP per hektar per tahun yang dibayarkan
pemegang IPPKH berdasarkan rencana kerja PKH 87
15. Data perkembangan kegiatan reklamasi hutan pemegang IPPKH sd
tahun 2013 89
16. Penilaian Keberhasilan Revegetasi Pemegang IPPKH 90
17. Data perkembangan pemenuhan kewajiban rehabilitasi DAS di tiga
provinsi 92
18. Matriks hasil analisis asumsi (gap analysis) yang digunakan dalam
implementasi kebijakan PKH 97
19. Matriks isu-isu dalam implementasi kebijakan PKH dan arah
kebijakan yang akan datang 103
20. Ukuran kuantitatif terhadap kepentingan dan pengaruh pemangku
kepentingan 108
21. Bobot nilai (skor) dan verifier untuk mengetahui hak, tanggungjawab
dan manfaat yang diterima para pihak dalam implementasi kebijakan
PKH 110
22. Bobot nilai (skor) dan verifier untuk mengetahui hubungan
(relationship) yang diharapkan/didapatkan oleh para pihak dalam
implementasi kebijakan PKH 111
23. Nilai rataan skor dan tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder
dalam implementasi kebijakan PKH. 113
24. Peranan para pihak berdasaskan hak, tanggung jawab dan manfaat
yang diperoleh dalam implementasi PKH 117
25. Matriks keterlibatan para pihak dalam kegiatan implementasi
kebijakan penggunaan kawasan hutan 120
iv
26. Matriks hubungan (relationship) antara pihak dalam implementasi
kebijakan PKH 121
27. Pendapat beberapa peneliti tentang penggunaan hubungan P-A dalam
kebijakan publik 126
28. Aliran/rantai panjang hubungan P-A dalam kebijakan PKH 130
29. Matrik perbandingan karakteristik kontrak berdasarkan perilaku dan
hasil akhir 135
30. Matriks pembagian risiko dan konsekuensi pelaksanaan kontrak
IPPKH. 142
31. Perbandingan permasalahan hubungan P-A pada umumnya dengan
hubungan P-A dalam implementasi kebijakan PKH 152
32. Beberapa kasus konflik kepentingan antara A-hut dan A-tamb 156
33. Besarnya biaya transaksi dan biaya lainnya yang dikeluarkan A-tamb 162
34. Isu-isu dalam teori keagenan dan saran-saran implementasinya dalam
kebijakan PKH 163

v
DAFTAR GAMBAR

1. Perumusan masalah penggunaan kawasan hutan dengan menggunakan


pendekatan Situation-Structure-Behavior-Performance (Kartodihardjo
2006b modifikasi dari Scaffer 1980)) 8
2. Bagan alir posisi dan ruang lingkup implementasi kebijakan
penggunaan kawasan hutan (PKH) untuk kegiatan pertambangan 12
3. Tahapan kajian implementasi kebijakan penggunaan kawasan hutan 22
4. Sejarah dan tonggak kunci dalam kebijakan penggunaan kawasan
hutan 44
5. Kerangka analisis implementasi kebijakan PKH 64
6. Posisi kebijakan PKH dalam matriks ambiguitas-konflik (Matland
1995) 76
7. Matriks pengaruh dan kepentingan hasil analisis para pihak (Reed et
al. 2009) 108
8. Posisi para pihak dalam matriks kepentingan dan pengaruh 113
9. Asumsi dalam agency theory (teori keagenan) dan permasalahan
dalam kebijakan PKH 129
10. Isu-isu dalam teori keagenan (Ackere 1993 dalam Murphy 2007) 131
11. Ketidaksepadanan informasi terkait dengan perbedaan tujuan antara P
dan A (diadopsi dari Waterman dan Meier 1998) 137
12. Tahapan penyusunan kontrak dan interaksi antara prinsipal dan agen 149
13. Area kontrol prinsipal (behavior based control dan outcome based
control) dalam proses implementasi kebijakan PKH. 150
14. Multiple and Collective Principals (Diadaptasi dari Nielson dan
Tierney 2003) 155
15. Perbedaan hubungan P-A pada institusi pemanenan hutan (Nugroho
2003) dan PKH 157
16. Hubungan multi P-A dan jenis-jenis kontrak (perizinan) di dalam
kawasan hutan 158
17. Perubahan hubungan prinsipal-agen menjadi agen-agen dalam
implementasi kebijakan PKH 159
18. Kuadran variasi hubungan P-A dan identifikasi permasalahannya. 159
19. Hubungan beberapa faktor dalam perbaikan kinerja implementasi
kebijakan PKH 164

vi
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengelolaan hutan dan tambang dalam perspektif pengelolaan sumber daya


alam, telah mengalami pergulatan kepentingan akibat begitu kuatnya tuntutan
semua pihak terhadap pemenuhan kebutuhan bahan baku kedua sumberdaya
tersebut. Pemenuhan kebutuhan tersebut berkaitan dengan isu lingkungan dan
ekonomi yang kemudian mengarah kepada perbedaan cara pandang ketika negara
memperbolehkan beberapa izin/konsesi pertambangan beroperasi di dalam
kawasan hutan (Nurrochmat et al. 2012).
Di satu sisi, telah diketahui bersama bahwa pemanfaatan sumber daya
alam hanya akan menguntungkan segelintir orang (pengusaha), sementara
kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat terabaikan (Marwa et al
2010, Nurrochmat 2005). Di sisi lain sumber daya hutan dan mineral di bawahnya
merupakan karunia Tuhan yang diciptakan untuk kemaslahatan bersama.
Perbedaan ini dalam konteks persepsional kemudian menimbulkan konflik antara
masyarakat lokal dan pengusaha-pemerintah.
Masalah kehutanan yang paling nyata adalah deforestasi dan degradasi
akibat kegiatan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), perambahan hutan dan konversi
lahan, sementara pertambangan umumnya berkisar pada isu degradasi lahan dan
lingkungan. Khan et al (2010) menyebutkan bahwa deforestasi dalam berbagai
simulasi model yang dilakukannya menegaskan bahwa pendorong dominan dari
deforestasi adalah kegiatan-kegiatan pembalakan dan pertambangan (skala besar),
dan juga secara potensial berbagai kegiatan ilegal.
Kegiatan pengelolaan pada kedua sektor ini secara kumulatif dapat
berdampak pada lingkungan dan kehidupan sosial, ekonomi, serta budaya
masyarakat lokal jika tidak dikelola dengan hati-hati dan bijaksana. Meskipun
kedua sektor tersebut mempunyai akar persoalan berbeda namun mempunyai
dampak yang relatif sama.
Pengelolaan hutan lestari mengakui nilai-nilai ekonomi, ekologi dan sosial
budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan. Dalam pengelolaan hutan lestari,
pengambil keputusan atau pemangku kepentingan lainnya banyak terlibat. Hal ini
termasuk pemilik atau pengelola hutan, masyarakat lokal, masyarakat yang
mempunyai hubungan dengan pariwisata dan rekreasi, lembaga atau pejabat yang
bersangkutan dengan manajemen sumber daya alam dan konservasi alam, dan
perusahaan kehutanan. Masing-masing dapat memiliki tujuan yang berbeda
tentang penggunaan hutan atau sumber daya alam lainnya. Tujuan sering
bertentangan, tetapi apapun perbedaannya mereka harus bekerjasama untuk
menemukan solusi terbaik. Dalam perencanaan partisipatif atau pengambilan
keputusan kelompok, kelompok kepentingan atau warga negara harus terlibat
dalam proses perencanaan dan pengelolaan hutan secara aktif (Kangas et al.
2006).
Kerusakan sumberdaya alam terutama hutan tropis dan pencemaran
lingkungan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia bukan bersumber dari
perilaku masyarakat adat yang arif dan bijak dengan lingkungannya, tetapi karena
kerakusan dan eksploitasi sumberdaya yang dilakukan oleh birokrat, priyayi,
2

pemerintah dan para pemilik modal. Namun, yang menjadi korban dari kebijakan
pengelolaan hutan yang bercorak eksploitatif, sentralistik, represif dan
sektoral adalah masyarakat yang tinggal di sekitar hutan (Reppeto dan Gillis
1988).
Kerusakan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya hutan, bukan hanya
mendatangkan kemunduran kegiatan ekonomi, namun dan bahkan telah
menghilangkan kehidupan suatu komunitas masyarakat, suku dan bangsa tertentu.
Diamond (2005) menelaah kegagalan dan keberhasilan kehidupan suku, bangsa,
perusahaan, dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam di beberapa negara.
Salah satu pelajaran yang dapat ditarik dari telaah Diamond (2005) tersebut adalah
pentingnya mengubah arah kebijakan secara mendasar dari bangsa-bangsa di
dunia untuk menghindari masalah-masalah besar yang dihadapi, khususnya akibat
kerusakan sumberdaya alam.
Sudah banyak masalah yang diungkap sebagai penyebab kerusakan hutan.
Sintesis hasil sejumlah diskusi oleh alumni Fakultas Kehutanan IPB,
menunjukkan beberapa penyebab kerusakan hutan, yaitu; (1) belum sinkronnya
peraturan perundang-undangan, (2) lemahnya kapasitas dan peran instansi
pemerintah (pusat maupun daerah) yang menyebabkan lemahnya kebijakan
maupun implementasinya, serta menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi transaksi
atau hubungan struktural antara pemerintah dengan masyarakat (termasuk dunia
usaha), (3) kedua hal tersebut menyebabkan tidak tertanganinya konflik sosial dan
mudahnya kawasan hutan negara menjadi sumber daya yang memiliki akses
terbuka (open access resources), serta (4) besarnya hambatan untuk melakukan
sinkronisasi kebijakan-meskipun sudah banyak sekali rekomendasi untuk itu-
akibat perbedaan persepsi dan tingginya konflik kepentingan (Kartodihardjo dan
Sudomo 2008).
Kartodihardjo (2006a) menyatakan bahwa perubahan orientasi kebijakan
dapat dilakukan hanya apabila suatu fenomena tertentu yang dihadapi oleh suatu
negara dapat dipahami dari berbagai sudut pandang secara komprehensif.
Disamping itu, perubahan nilai-nilai (values) yang digunakan juga mempunyai
peran penting. Seringkali upaya perubahan kelembagaan – dalam hal ini adalah
aturan main dan instrumennya – tidak diikuti oleh pembaruan landasan filosofi
dan kerangka pikir yang digunakan. Akibatnya peraturan bertambah, lembaga
bertambah, nama lembaga seringkali diubah, tetapi tipe kebijakan yang dijalankan
tidak berubah, sehingga tidak pula mengubah kinerja di lapangan.
Di lain pihak, paradigma pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya
mineral (bahan tambang) yang bercorak sentralistik, berpusat pada negara (state
base resources management) menempatkan pemerintah pada posisi yang sangat
powerfull untuk menggunakannya dengan dalih mengejar target pertumbuhan
ekonomi (economic growth), demi peningkatan pendapatan dan devisa negara
(state revenue). Konsekuensi paradigma semacam itu, dalam tiga dekade terakhir
ini adalah; pertama, daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral justru menjadi
daerah pengurasan (massive backwash effect) oleh pemerintah pusat, sehingga
kekayaan sumberdaya mineral justru telah memiskinkan sebuah wilayah. Kedua,
hampir semua lokasi industri pertambangan di dunia merupakan tempat tinggal
masyarakat adat/komunal/lokal (Malanuang 2002).
Siapapun tidak dapat menafikan bahwa tuntutan ekonomi negara dan
masyarakat semakin kompleks dari industri hilir yang berbahan baku mineral.
3

Demikian pula dengan konsistensi kebijakan pemerintah yang selama ini telah
berjalan di sektor pertambangan. Pemerintah berupaya untuk memenuhi
kebutuhan tersebut dengan konsistensi kebijakan pemerintah yang selama ini telah
berjalan di sektor pertambangan.
Mencermati kehatian-hatian pemerhati lingkungan dan upaya pemerintah
membangun kesejahteraan, maka sudah semestinya semua pihak duduk bersama
untuk memikirkan dan merumuskan kebijakan pengelolaan SDA. Dalam kaitan
ini, perbedaan pandangan justru harus menciptakan ―keterpaduan‖ untuk
mengelola SDA secara bijaksana dan terukur sebagaimana prinsip ekosistem.
Untuk mengakomodir konflik kepentingan terhadap pengelolaan SDA,
khususnya antara kepentingan pengelolaan sumber daya hutan dan pemanfaatan
hasil pertambangan, pemerintah telah menyusun kebijakan penggunaan kawasan
hutan (PKH) yang pada intinya mengizinkan adanya kegiatan pertambangan di
dalam kawasan hutan. Seiring dengan hal tersebut, pemerintah juga merumuskan
kebijakan-kebijakan baru atau mengubah dan/atau menyesuaikan kebijakan lama
untuk mengakomodir berbagai tuntutan dan perkembangan kebijakan lain di
sektor kehutanan.
Kebijakan PKH tersebut dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan, baik undang-undang, peraturan presiden, instruksi presiden, peraturan
pemerintah hingga peraturan menteri sebagai peraturan teknis pelaksanaan. Pada
intinya, peraturan perundang-undangan tersebut mengatur operasionalisasi
kegiatan di luar sektor kehutanan di dalam kawasan hutan dalam mekanisme izin
pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).
Sampai saat ini, Kementerian Kehutanan telah menerbitkan izin
penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan sebanyak 1.262 unit,
dengan luasan 3.392.898,87 hektar dengan rincian sebagaimana tabel berikut ini:
Tabel 1 Perkembangan izin penggunaan kawasan hutan (PKH) untuk kegiatan
pertambangan1
Tahapan Kegiatan Unit Luas (Ha) Jenis Komoditi
Izin kegiatan penyelidikan 586 3.109.550,72 Migas, logam mulia,
umum/survei dan eksplorasi mineral logam lain, batu
mulia, batubara, bahan
Pinjam pakai kawasan hutan untuk 487 432.193,10 galian C, panas bumi,
kegiatan eksploitasi jalan pertambangan
Jumlah 1.073 3.541.743,82

Kebijakan PKH telah berumur 36 tahun2, namun hingga saat ini belum ada
kajian tentang kebijakan tersebut baik perumusan maupun implementasinya.
Penelitian ini dimaksudkan untuk membedah proses perkembangan, perumusan
dan implementasinya dalam perspektif hubungan antara pemerintah sebagai
1
Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan. 2014. Data dan informasi izin pinjam pakai kawasan
hutan Maret 2014. diakses di http://ppkh.dephut.go.id/index.php/pages/post_publikasi/post/24
pada tanggal 23 Juni 2014
2
Peraturan tentang pinjam pakai kawasan hutan pertama kali diterbitkan adalah berdasarkan Surat
Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 64/Kpts/DJ/I/1978 tentang Pedoman Pinjam
Pakai Tanah Kawasan Hutan
4

pemberi kewenangan pengelolaan hutan dan perusahaan pertambangan sebagai


penerima kewenangan pengelolaan hutan dan permasalahn-permasalahan lainnya.
Penelitian ini sangat penting mengingat saat ini kebijakan PKH merupakan salah
satu kebijakan yang strategis dalam pengelolaan hutan. Keberhasilan
implementasi kebijakan ini akan meningkatkan fungsi hutan, sebaliknya
kegagalan implementasinya akan menyebabkan deforestasi dan degradasi
kawasan hutan. Keluaran dari penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan
sebagai bahan masukan penting bagi pemerintah dalam memperbaiki kinerja
kebijakan PKH di masa yang akan datang.

Kerangka Pemikiran

Praktik pengurusan dan pengelolaan hutan antara lain ditentukan oleh


kebijakan pemerintah maupun pemerintah daerah serta implementasinya di
lapangan. Dengan penurunan kinerja pembangunan kehutanan yang telah terjadi,
implementasi kebijakan tersebut terbukti belum efektif (Kartodihardjo 2008a).
Efektifitas implementasi suatu kebijakan dapat terjadi hanya apabila kebijakan
dirumuskan atas dasar masalah yang tepat serta terdapat kemampuan menjalankan
solusinya di lapangan (Dunn 2003).
Sumberdaya bersama (common pool goods) merupakan sumberdaya alam
atau sumberdaya buatan yang bilamana seseorang menggunakan sumberdaya
bersama akan mengurangi ketersediaannya bagi orang lain, tetapi sulit
memisahkan akses pengguna. Berdasarkan sifat rivalitas (persaingan) common
pool goods (misalnya danau, sungai dll) termasuk barang dan jasa yang apabila
dimanfaatkan seseorang akan mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain.
Selain itu, penggunanya tidak dapat dikalahkan satu dengan yang lainnya
(Kartodihardjo 2006b).
Hardin (1968) menjelaskan bahwa sumberdaya alam bersama yang
aksesnya bebas dan tidak diatur akan berakhir dengan terjadinya tragedi bagi
semua (tragedy of the commons). Lebih lanjut dikemukakan oleh Hardin (1968)
bahwa untuk mencegah sumberdaya berkembang menjadi sumberdaya bersama
(commons) dalam artian bebas akses tanpa aturan, dibutuhkan pengaturan sosial
secara memaksa, yang dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab. Pengertian
memaksa (coercion) yang dimaksudkan adalah mutual coercion, yaitu pengaturan
yang disepakati bersama oleh sebagian besar penduduk yang memanfaatkan
sumberdaya tersebut.
Menurut Ostrom (1990) tesis the tragedy of the commons Hardin kurang
memperhitungkan kemampuan manusia untuk bekerjasama dalam berbagai situasi
sumberdaya bersama (commons). Kemudian solusi pencegahannya dibatasi pada
argumen bagi peran yang lebih besar dari pemerintah dalam menangani masalah-
masalah kependudukan, kemasyarakatan dan lingkungan. Argumen tersebut juga
mengabaikan keberadaan dan potensi tata kelola dan pengelolaan sumberdaya
bersama oleh kelompok atau komunitas lokal pengguna sumberdaya tersebut. Juga
mengabaikan bukti-bukti empirik tentang keberadaan dan peranan institusi sosial
yang ditumbuh-kembangkan oleh komunitas atau kelompok masyarakat dalam
rangka mengatur dan mengawasi penggunaan sumberdaya bersama, termasuk
hubungan sosial yang terkait dengan penggunaan sumberdaya tersebut. Sedangkan
menurut pendapat Regmi (2007), semua tipe sumberdaya common pool tidak
5

dapat dilindungi secara efektif tanpa disain institusi/kelembagaan yang didasarkan


pada masalah yang fundamental.
Institusi atau kelembagaan menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006)
adalah tataran dan pola hubungan antar anggota masyarakat, organisasi dan/atau
antar aktor pembangunan, bisnis dan politik yang saling mengikat yang diwadahi
dalam sebuah organisasi atau jaringan. Institusi adalah inovasi manusia untuk
mengatur dan mengendalikan sumber hubungan saling ketergantungan antar
manusia terhadap sesuatu (Kartodihardjo et al. 2004). Lebih lanjut dikemukakan
oleh Kartodihardjo et al. (2004) dan Kartodihardjo (2008) unsur-unsur institusi
dicirikan oleh batas yurisdiksi atau batas wilayah kewenangan (jurisdictional
boundary), hak pemilikan (property rights) dan aturan representasi/keterwakilan
(rule of representation).
Sumberdaya hutan merupakan sumberdaya bersama yang apabila
dimanfaatkan oleh seseorang akan mengurangi ketersediaannya bagi orang lain,
namun sulit mengecualikan para pengguna sumberdaya hutan tersebut.
Pemanfaatan sumberdaya hutan tanpa didukung oleh institusi yang kuat akan
mengakibatkan open acces terhadap sumberdaya hutan yang akan berakibat pada
kerusakan sumberdaya hutan tersebut, maka untuk menghindari hal tersebut
kewenangan pengelolaan hutan berada di tangan pemerintah, atau berdasarkan
undang-undang dikuasai oleh negara.
Sementara itu, keberadaan sumberdaya tambang dan mineral di dalam
kawasan hutan menjadi permasalahan sendiri mengingat kewenangan pengelolaan
sumberdaya tersebut berada pada sektor yang berbeda dengan pengelolaan
sumberdaya hutan. Oleh karena itu diperlukan pengaturan pengelolaan/
pemanfaatan yang dapat mengakomodir kepentingan semua pihak dalam sebuah
instrumen kelembagaan. Pemerintah telah menggulirkan kebijakan penggunaan
kawasan hutan (PKH) sebagai upaya untuk mengatur pengelolaan sumberdaya
tambang dan energi di dalam kawasan hutan. Kebijakan tersebut mengharuskan
setiap orang/organisasi/badan usaha yang akan menggunakan hutan untuk
kepentingan di luar sektor kehutanan untuk mengajukan permohonan izin pinjam
pakai kawasan hutan (IPPKH) kepada Menteri Kehutanan.
Pemegang IPPKH untuk kegiatan pertambangan mempunyai hak untuk
menggunakan kawasan hutan bagi kepentingan eksplorasi maupun eksploitasi
bahan galian tambang dan mineral yang terkandung di dalam kawasan hutan.
Hubungan antara hak-hak terikat dengan kelompok masyarakat maupun
perusahaan oleh Schlager dan Ostrom (1992) dijelaskan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Hak-hak yang terikat berdasarkan posisi kelompok masyarakat
Pemilik Penyewa Pengguna
Pemilik
Tipe Hak Terikat (Authorized (Autorized
(owner)
(Proprietor) claimant) User)
Akses dan pemanfaatan X X X X
Pengelolaan X X X
Eksklusi X X
Pengalihan X
Sumber: Schlager dan Ostrom (1992).
6

Pemegang IPPKH juga dibebani oleh kewajiban-kewajiban yang diberikan


oleh negara (cq. Kementerian Kehutanan) terkait dengan pengelolaan hutan dan
pengendalian kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, pemegang IPPKH harus
mematuhi kewajiban atas izin pinjam pakai kawasan hutan yang notabene
dikuasai oleh negara (state property). Hal itu sejalan dengan pendapat Arifin
(2001) dalam Sutrisno (2011) bahwa para individu atau badan usaha/perusahaan
mempunyai kewajiban untuk mematuhi aturan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah atau departemen yang mengelola sumberdaya itu, dalam hal ini
sumberdaya hutan. Demikian pula, departemen yang bersangkutan mempunyai
hak untuk memutuskan aturan main penggunaanya.
IPPKH pada prinsipnya adalah bentuk hubungan principal-agent atau
prinsipal-agen (P-A), dimana pemerintah, dalam hal ini bertindak sebagai
prinsipal (P), memberikan kewenangan kepada perusahaan pertambangan yang
telah memperoleh izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang dalam hal ini
bertindak sebagai agen (A), untuk menggunakan dan memanfaatkan (penyelidikan
umum, survey, eksplorasi dan eksploitasi) sumber daya energi, tambang dan
mineral di dalam kawasan hutan.
Menurut Eisenhardt (1980), hubungan P-A atau dikenal dengan teori
keagenan (agency theory) dilandasi oleh tiga buah asumsi, yaitu:
1. Asumsi tentang sifat manusia
Asumsi tentang manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk
mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan untuk
menentukan keputusan yang rasional (bounded rationality) dan tidak menyukai
resiko (risk aversion).
2. Asumsi tentang keorganisasian
Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisien
sebagai kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetric Information antara
prinsipal dan agen.
3. Asumsi tentang informasi
Asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang
komoditi yang diperjual belikan.
Sedangkan menurut Petrie (2002), teori keagenan berfokus pada persoalan
asimetri informasi, dimana agen mempunyai informasi lebih banyak tentang
kinerja aktual, motivasi, dan tujuan, yang berpotensi menciptakan moral hazard
dan adverse selection. Prinsipal sendiri harus mengeluarkan biaya (costs)
untuk memonitor kinerja agen dan menentukan struktur insentif dan monitoring
yang efisien.
Hubungan P-A akan efisien apabila tingkat harapan keuntungan (reward)
kedua belah pihak seimbang dengan korbanan masing-masing serta biaya
transaksi sehubungan dengan pembuatan kontrak-kontrak atau kesepakatan-
kesepakatan dapat diminimalkan (Rodgers 1994 dalam Nugroho 2003)
Selanjutnya Nugroho (2003) menjelaskan hubungan P-A yang efisien
menjadi sesuatu yang kompleks untuk dipecahkan. Besarnya biaya transaksi
sangat dipengaruhi oleh derajat ketidaksepadanan informasi (information
assymetry), kekuasaan, kepemilikan asset (endowment) yang dimiliki oleh pihak
yang terlibat dalam transaksi tersebut. Asssymetric information muncul karena
pada umumnya pihak agen menguasai informasi tentang keragaan (work effort)
yang ada pada dirinya, sedangkan informasi tentang keragaan agen yang dimiliki
7

oleh prinsipal umumnya sangat terbatas. Pada kondisi demikian, maka prinsipal
menghadapi dua risiko yaitu risiko salah memilih agen yang sesuai dengan
keinginan (adverse selection of risk) pada ex ante (sebelum kontrak dibuat) dan
resiko agen ingkar janji (moral hazard) pada ex post (setelah kontrak disepakati).
Semakin tidak sepadan informasi, kekuasaan dan endowment yang dimiliki oleh
para pihak yang mengadakan pertukaran, biaya transaksi ini akan semakin besar.
Sementara itu menurut Ostrom et al (1993), teori dan konsep biaya
transaksi menyatakan bahwa pada prinsipnya situasi biaya transaksi tinggi yang
terjadi akan menyebabkan perilaku moral hazard dari para pihak yang terlibat.
Perilaku moral hazard dalam pengelolaan hutan yaitu bentuk perilaku opurtunistis
atau free riding, antara lain terdiri dari perilaku sub optimal, melalaikan/malas
(shirking) dan pencarian rente (rent seeking) dan korupsi (corruption).
Apabila biaya transaksi dalam pemenuhan kewajiban IPPKH sangat tinggi,
maka moral hazard seperti yang dikhawatirkan Ostrom et al (1993) kemungkinan
besar akan terjadi. Akibatnya adalah tidak dilaksanakannya sebagian atau bahkan
seluruh kewajiban yang dipersyaratkan dalam IPPKH, sehingga tujuan kebijakan
PKH tidak akan tercapai. Oleh karena itu perlu dikaji teks kebijakan PKH dan
implementasinya dengan monitoring dan evaluasi yang benar dan ketat.
8

SITUASI
POTENSI PENGELOLAAN
SUMBER DAYA OPEN ACCESS SUMBERDAYA
TAMBANG HUTAN

EGOSEKTORAL

STRUKTUR
UUD 1945
PASAL 33 AYAT 3

ANALISIS
UU Nomor 41 Kawasan Tumpang Wilayah UU Nomor 4 PERATURAN
Tahun 1999 Hutan Tindih Pertambangan Tahun 2009 PERUNDANG-
UNDANGAN

KEBIJAKAN
PENGGUNAAN
PRINCIPAL AGENT ANALISIS
KAWASAN HUTAN
AB KEAGENAN

KEWAJIBAN- ENT
LEMBAGA KEWAJIBAN ANALISIS PARA
PARA PIHAK
PEMERINTAH PENGGUNAAN PIHAK
KAWASAN HUTAN

REHABILITASI DAS,
PEMULIHAN : PENERIMAAN NEGARA PERLINDUNGAN
PEMBERDAYAAN ANALISIS BIAYA
REKLAMASI, BUKAN PAJAK ATAU DAN PENGAMANAN
MASYARAKAT DI TRANSAKSI
REVEGETASI, LAHAN KOMPENSASI DAN LAIN-LAIN
SEKITAR HUTAN

ANALISIS GAP
(ANALISIS
PERILAKU ASUMSI)

LEMAHNYA
BERPIKIR JANGKA
RENDAHNYA KONTROL DAN
PENDEK, SELF MORAL HAZARD ANALISIS RESPON
KOMITMEN PENEGAKAN
INTEREST
HUKUM

KINERJA
DEGRADASI ANALISIS
BIAYA TRANSAKSI INGKAR SUMBERDAYA
KONTRAK IMPLEMENTASI
TINGGI HUTAN

Gambar 1 Perumusan masalah penggunaan kawasan hutan dengan menggunakan


pendekatan Situation-Structure-Behavior-Performance (Shaffer 1980 dan
Kartodihardjo 2006b)
9

Rumusan Masalah

Qomariah (2003) menyebutkan kerusakan akibat pertambangan dapat


terjadi selama kegiatan pertambangan maupun pasca pertambangan. Dampak
lingkungan sangat terkait dengan teknologi dan teknik pertambangan yang
digunakan. Sementara teknologi dan teknik pertambangan tergantung pada jenis
mineral yang ditambang dan kedalaman bahan tambang, misalnya pada
penambangan batubara yang dilakukan dengan sistem tambang terbuka yakni
sistem dumping.
Kebijakan PKH telah dirumuskan dan dilaksanakan sebagai salah satu
upaya pemerintah dalam pengelolaan hutan terkait dengan keberadaan
pertambangan di dalam kawasan hutan. Sebagai akibat dari pemberlakuan
kebijakan PKH, mengakibatkan permohonan izin penggunaan kawasan hutan
melalui mekanisme izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) berkembang sangat
pesat terutama dari sektor pertambangan sejalan dengan maraknya
operasionalisasi pertambangan di daerah.
Dalam peraturan tersebut termaktub banyak kewajiban yang harus
dipenuhi oleh perusahaan baik dalam proses pengajuan izin, pemenuhan
kewajiban untuk mendapatkan izin pinjam pakai maupun kewajiban selama
melaksanakan izin pinjam pakai tersebut. Disinyalir dari banyaknya kewajiban
tersebut akan mengakibatkan biaya transaksi yang pada akhirnya akan
mempengaruhi pengambilan keputusan dan kinerja perusahaan selama masa
penggunaan kawasan hutan.
Di lain pihak, meningkatnya permohonan izin tersebut tidak disertai
dengan pengawasan dan pengendalian kinerja perusahaan pemegang izin atas
operasionalisasi tambang di dalam kawasan hutan. Minimnya data yang tersedia
menjadi salah satu tanda lemahnya monitoring dan evaluasi pemerintah terhadap
pelaksanaan kebijakan PKH tersebut. Sampai dengan tahun 2011 kegiatan
monitoring dan evaluasi yang telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah
(provinsi dan kabupaten) baru dilakukan di beberapa provinsi dengan biaya yang
ditanggung oleh pihak perusahaan pemegang IPPKH3. Data dan informasi
mengenai perusahaan-perusahaan pemegang IPPKH yang telah mengembalikan
lahan tambangnya yang dipinjam pakai ke pemerintah (cq. Kementerian
Kehutanan) juga sangat minim, demikian juga dengan dokumen-dokumen laporan
perkembangan pelaksanaan kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan.
Kondisi tersebut membersitkan pertanyaan tentang efektifitas pelaksanaan
kebijakan PKH yang telah ada sejak tahun 1978.
Pendekatan analisis implementasi kebijakan yang digunakan dalam
penelitian dimaksudkan untuk menganalisis dan mengungkap situasi dan kondisi
pelaksanaan kebijakan PKH terutama terkait dengan hubungan pemerintah dan

3
Di dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 tentang pedoman pinjam pakai
kawasan hutan disebutkan ketentuan kegiatan monitoring dan evaluasi untuk perpanjangan izin
dengan biaya yang dibebankan kepada pemegang izin. Namun dalam peraturan-peraturan
selanjutnya hal itu tidak di atur. Baru pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 43/Menhut-
II/2008 diatur tentang kewajiban monitoring sekurang-kurangnya sekali dalam setahun dan dan
evaluasi sekurang-kurangnya sekali dalam 5 tahun dengan biaya dibebankan kepada pemegang
izin. Pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 keweajiban monitoring
dan evaluasi masih sama namun dengan biaya yang ditanggung oleh pemerintah.
10

perusahaan pertambangan sebagai hubungan principal-agen melalui analisis-


analisis pendukung seperti analisis peraturan perundang-undangan untuk mengkaji
isi dan substansi peraturan tersebut, analisis para pihak, analisis respon
(perusahaan), analisis kesenjangan kebijakan (analisis asumsi), dan analisis
konflik.
Pertanyaan penelitian yang dapat dirangkum dari kerangka pikir dan
rumusan permasalahan kebijakan PKH dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana kebijakan PKH diimplementasikan?
2. Apa hambatan-hambatan dalam implementasi kebijakan PKH?
3. Adakah kesenjangan antara teks kebijakan dan implementasi kebijakan PKH?
4. Bagaimana hubungan antara pemerintah dan pemegang IPPKH dalam proses
implementasi kebijakan PKH?
Kajian kebijakan ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut di atas serta untuk memahami bagaimana kebijakan PKH
diimplementasikan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
masukan bagi semua pihak terkait dengan kebijakan PKH.

Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah memberikan saran dan masukan
dalam perumusan/perbaikan kebijakan PKH. Sedangkan tujuan antaranya adalah:
1. Mengetahui implementasi kebijakan PKH.
2. Mengidentifikasi hambatan-hambatan, aktor dan para pihak serta peranannya
dalam implementasi kebijakan PKH.
3. Memahami hubungan antara pemerintah (prinsipal) dengan pemegang IPPKH
(agen) dan permasalahn-permasalahannya

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini secara akademis dapat menjadi rujukan dalam


melakukan penelitian kebijakan, khususnya dalam aspek proses implementasi
kebijakan dan penerapan teori P-A dalam studi kelembagaan. Sedangkan manfaat
praktis dari hasil penelitian ini adalah sebagai refleksi praktik penggunaan
kawasan hutan bagi operasionalisasi kegiatan pertambangan sekaligus
memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan baik di tingkat pusat
maupun di daerah dalam pelaksanaan kebijakan PKH.

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Selain dimanfaatkan hasil hutannya, baik itu hasil hutan kayu, hasil hutan
non kayu maupun jasa lingkungannya, hutan juga banyak sekali digunakan untuk
keperlukan di luar sektor kehutanan untuk kepentingan pembangunan. Dalam
Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999, penggunaan kawasan hutan
mengakomodasi kepentingan-kepentingan berbagai pihak di luar sektor kehutanan
seperti pertambangan, perhubungan, pertahanan dan keamanan, religi,
ketenagalistrikan, pengairan, telekomunikasi. Sedangkan dalam kajian penelitian
11

ini, istilah penggunaan kawasan dipersempit hanya mencakup penggunaan


kawasan hutan untuk kepentingan sektor pertambangan saja.
Kebijakan penggunaan kawasan hutan (PKH) yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah pernyataan yang termaktub dalam Undang-undang 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan yang secara tegas mengatur hal tersebut, terutama pada
pasal 38 dan peraturan perundang-undangan di bawahnya.
Pengertian PKH merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24
Tahun 2010 jo PP Nomor 61 Tahun 2012 tentang PKH, yaitu sebagai penggunaan
atas sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan
kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut.
Penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk mengatur penggunaan sebagian
kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan.
Sementara itu dalam Pasal 38 Ayat 1, 2 dan 3 Undang-undang 41 Tahun
1999 disebutkan bahwa:
1. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan
kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan
kawasan hutan lindung.
2. Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
3. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan
melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan
batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
Ruang lingkup kajian dalam riset ini adalah studi kelembagaan dengan
fokus kajian pada implementasi kebijakan PKH sebagaimanabagan alir dalam
Gambar 2.
12

Proses Kebijakan Lengkap (Nugroho 2009)

Kontrol
Kebijakan

Penerimaan
Analisis dan Adopsi Monitoring Evaluasi
Kebijaka Kebijakan Kebijakan Kebijakan
n

Isu-isu Penyusunan Agenda Perumusan Pelaksanaan Kinerja Perubahan/


Kebijakan Agenda Kebijakan Kebijakan Kebijakan Kbijakan perbaikan
Kebijakan

Persiapan Kebijakan: Perbaikan


Penyiapan Strategi Kebijakan

Fokus Kajian PERTAHANKAN,


TINGKATKAN
KINERJA
RESPON PARA
KEPENTINGAN/ PIHAK
POLITIK

PROSES IMPLEMTENTASI
DISKURSUS/ PERUMUSAN TEKS DAN IMPLIKASI EVALUASI
NARASI KEBIJAKAN PKH KEBIJAKAN PKH KEBIJAKAN PKH KEBIJAKAN PKH

PARA AKTOR/ KESENJANGAN


PARA PIHAK KEBIJAKAN PKH
PENGGANTIAN,
PERUBAHAN/
PERBAIKAN

Gambar 2 Bagan alir posisi dan ruang lingkup implementasi kebijakan penggunaan
kawasan hutan (PKH) untuk kegiatan pertambangan

Kebaruan

Ada tiga kriteria suatu penelitian dapat disebut memiliki novelty


(kebaruan) yaitu: fokus (focus), terdepan dibidangnya (advance) dan ilmiah
(scholar). Penelitian ini dibangun berdasarkan ketiga kriteria tersebut. Pertama,
fokus penelitian ini ialah mengenai implementasi kebijakan dengan materi kajian
khusus pada kebijakan PKH untuk kegiatan pertambangan. Implementasi
kebijakan PKH ini akan menggunakan pendekatan konsep hubungan P-A sebagai
basis analisisnya. Konsep tersebut juga merupakan konsep baru dalam ranah
kebijakan kehutanan.
Kedua, sampai saat ini belum ada penelitian tentang kebijakan penggunaan
kawasan hutan untuk pertambangan dalam skala nasional maupun internasional.
Beberapa penelitian (tesis, disertasi maupun jurnal nasional) yang berhubungan
dengan pertambangan dan kehutanan yang berhasil ditelusuri saat ini merupakan
13

penelitian dalam tataran teknis, baik teknis pertambangan dan pasca tambang,
keruangan, maupun dampak sosial dan ekonomi.

Tabel 3 Beberapa penelitian terkait dengan kebijakan dan pengelolaan


pertambangan di dalam kawasan hutan

No Peneliti/Penulis Tahun Judul dan Penerbit/Jurnal


1 Lukman Malanuang 2002 Analisis Dampak Ekonomi dan Sosial Tambang Emas dan
Tembaga bagi masyarakat komunal dan pembangunan
wilayah Provinsi NTB (Studi kasus proyek batu hijau PT.
Newmont Nusa Tenggara di Kabupaten Sumbawa)
[thesis]. Bogor (ID); Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
2 Muhammad Marzuki 2005 Analisis Ekonomi dan Kebijakan Pengembangan Tambang
Tembaga dan Emas di Kawasan Hutan Lindung (Studi
Kasus PT. Newmont Nusa Tenggara di Kabupaten
Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Timur) [tesis]. Bogor
(ID); Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
3 Hasnawati Hamzah 2005 Dampak Kegiatan Pertambangan terhadap Pengembangan
Wilayah: Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai
Timur Provinsi Kalimantan Timur [tesis]. Bogor (ID):
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
4 Abdul Wahab Hasyim 2007 Keberlanjutan Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat,
Tanpa Tambang Nikel. (Studi di Pulau Gebe Provinsi
Maluku Utara) [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
5 Hariadi Kartodihardjo 2008 Diskursus dan aktor dalam pembuatan dan implementasi
kebijakan kehutanan: masalah kerangka pendekatan
rasional. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 14(1); 19-27.
6 Nurita Sinaga 2010 Disain kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan pasca
tambang batubara berkelanjutan (studi kasus Kabupaten
Kutai Kartanegara) [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Sedangkan pencarian materi dan fokus penelitian yang sama pada jurnal
internasional berdasarkan review hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan di
Global Policy, Journal of Analysis Policy and Management, Forest Policy and
Economics, Policy Studies Journal, Policy and Society, Environmental Policy and
Governance, Global Environment Change, Land Use Policy, Forest Ecology and
Management, Journal of Forest Economic, Forest Ecosystem, penelusuran online
pada website ScienceDirect4, ProQuest5, Wiley Online Library6 serta perpustakaan
IPB, belum ditemukan riset mengenai analisis kebijakan PKH untuk kegiatan
pertambangan, dengan pendekatan ilmu kelembagaan khususnya teori P-A.
Ketiga, proses penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
ilmiah. Metode deskriptif kualitatif dipilih sesuai dengan tujuan penelitian yaitu

4
Pencarian dilakukan selama penyusunan proposal dan penulisan disertasi penelitian melalui
http://www.sciencedirect.com/ pada tanggal 24 April 2013
5
Pencarian dilakukan selama penyusunan proposal dan penulisan disertasi penelitian melalui
http://search.proquest.com/sessionexpired/ pada tanggal 27 April 2013
6
Pencarian dilakukan selama penyusunan proposal dan penulisan disertasi penelitian melalui
http://onlinelibrary.wiley.com/ pada tanggal 29 April 2013
14

memahami fenomena sosial dengan mengambil studi kasus kebijakan PKH yang
khusus pada kegiatan di sektor pertambangan.
Penelitian ini merupakan kajian dalam ranah ilmu-ilmu sosial dengan teori
kelembagaan (institutional theory) sebagai landasan ilmu utamanya. Dalam
konteks kelimuan tersebut, kebaruan dalam kajian ini adalah menambah variasi
dan melengkapi perspektif hubungan P-A dalam institutional study.

Metode Umum Penelitian

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif


deskriptif. Penelitian kualitatif adalah proses penelitian atau penyelidikan untuk
memahami masalah-masalah sosial atau masalah manusia berdasarkan pada
penciptaan gambaran holistik lengkap yang dibentuk dengan kata-kata,
melaporkan pandangan informan/responden secara terperinci, dan disusun dalam
sebuah situasi yang alamiah (Creswell 2002). Bogdan dan Taylor diacu dalam
Moleong (2007) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun
lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
Satori dan Komariah (2009) menambahkan penjelasan bahwa penelitian
kualitatif dilakukan karena peneliti ingin mengeksplor fenomena-fenomena yang
tidak dapat dikuantifikasikan yang bersifat deskriptif seperti proses suatu langkah
kerja, formula suatu resep, pengertian-pengertian tentang suatu konsep yang
beragam, karakteristik suatu barang dan jasa, gambar-gambar, gaya-gaya, tata cara
suatu budaya, model fisik suatu artifak dan lain sebagainya. Penelitian kualitatif
dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan atau eksplorasi. Sedangkan
penelitian kualitatif deskriptif merupakan langkah kerja utuk mendiskripsikan
suatu obyek, fenomena, atau setting sosial yang kemudian diwujudkan dalam
suatu tulisan yang bersifat naratif. Artinya, data dan fakta yang dihimpun
berbentuk kata atau gambar daripada angka-angka. mendeskripsikan sesuatu
berarti menggambarkan apa, mengapa dan bagaimana suatu kejadian terjadi.
Salah satu jenis penelitian kualitatif deskriptif adalah berupa penelitian
dengan metode atau pendekatan studi kasus (case Study). Creswell (2002),
menyadur pendapat Merriam (1988) dan Yin (1989), menjelaskan bahwa dalam
penelitian studi kasus peneliti menggali kesatuan atau fenomena tunggal (kasus)
yang dibatasi oleh waktu dan aktifitas (program, kejadian, proses, institusi atau
kelompok sosial) dan mengumpulan informasi rinci dengan menggunakan
berbagai prosedur pengumpulan data selama periode waktu yang lama.
Penelitian case study atau penelitian lapangan (field study) dimaksudkan
untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang masalah, keadaan dan
posisi suatu peristiwa yang sedang berlangsung saat ini, serta interaksi lingkungan
unit sosial tertentu yang bersifat apa adanya (given). Subyek penelitian dapat
berupa individu, kelompok, institusi atau masyarakat.
Penelitian implementasi kebijakan PKH untuk kegiatan bidang
pertambangan: perspektif hubungan prinsipal-agen ini merupakan penelitian studi
kasus intrinsik (intrinsic case study). Penilitian jenis ini dimaksudkan untuk
15

memahami sebuah kasus tertentu. Jenis ini ditempuh bukan karena suatu kasus
mewakili kasus-kasus lain atau karena menggambarkan sifat atau problem
tertentu, namun karena dalam seluruh aspek kekhususan dan kesederhanaannya,
kasus itu sendiri menarik minat. Untuk sementara waktu seorang peneliti dalam
melakukan penelitian jenis ini mengabaikan rasa keingintahuan terhadap hal-hal
lain agar kasusnya dapat memunculkan kisah uniknya sendiri (Stake 2009)
Penelitian studi kasus akan kurang kedalamannya bilamana hanya
dipusatkan pada fase tertentu saja atau salah satu aspek tertentu sebelum
memperoleh gambaran umum tentang kasus tersebut. Sebaliknya studi kasus akan
kehilangan artinya kalau hanya ditujukan sekedar untuk memperoleh gambaran
umum namun tanpa menemukan sesuatu atau beberapa aspek khusus yang perlu
dipelajari secara intensif dan mendalam. Disamping itu, studi kasus yang baik
harus dilakukan secara langsung dalam kehidupan sebenarnya dari kasus yang
diselidiki. Walaupun demikian, data studi kasus dapat diperoleh tidak saja dari
kasus yang diteliti, tetapi juga dapat diperoleh dari semua pihak yang mengetahui
dan mengenal kasus tersebut dengan baik. Dengan kata lain, data dalam studi
kasus dapat diperoleh dari berbagai sumber namun terbatas dalam kasus yang
akan diteliti tersebut
Penelitian ini merupakan eksplorasi dalam ranah telaah kebijakan (policy
analysis) terkait penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan. Salah satu
esensi analisis kebijakan menurut Dunn (2003) adalah menggali dan
mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Sedangkan
untuk memahami isi kebijakan penggunaan kawasan hutan (PKH) untuk
kepentingan kegiatan pertambangan, dilakukan analisis terhadap sejumlah
peraturan-perundangan. Ketepatan isi kebijakan ditentukan oleh masalah
kebijakan yang telah didefinisikan (Dunn 2003).
Kebijakan tidak dapat dipahami hanya dari isi teks peraturan perundang-
undangan semata, melainkan juga dari aksi dan reaksi hubungan antara pembuat
dan pihak-pihak yang melaksanakan kebijakan tersebut. Berdasarkan pandangan
ini, kebijakan yang tertuang dalam isi peraturan perundang-undangan adalah
norma dan kehendak sah dan legal yang harus dilaksanakan. Kebijakan tersebut
dapat atau tidak dapat dijalankan tergantung oleh kesamaan atau perbedaan
interpretasi isi kebijakan tersebut oleh pembuat dan pelaksana kebijakan.
Fokus penelitian ini adalah kajian proses implementasi kebijakan PKH
dalam bentuk peraturan perundang-undangan PKH khusus untuk kegiatan
pertambangan, yaitu;
1. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 19 Tahun
2004 tentang Kehutanan;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 jo Peraturan Pemerintah Nomor
61 Tahun 2012 tentang Penggunaan Kawasan Hutan;
3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman
Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Selanjutnya, dalam penelitian ini juga akan dikaji kebijakan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan yang berhubungan erat dengan implementeasi
kebijakan PKH, yaitu;
1. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan tarif atas jenis
penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan
untuk kepentinganpembangunan di luar kegiatan kehutanan.
16

2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan


Reklamasi Hutan;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan
Pascatambang
4. Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan
Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah.
5. Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2008
tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang;
6. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2008 tentang Tata Cara
Penentuan Luas Areal Terganggu dan Areal Reklamasi dan Revegetasi untuk
Perhitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan.
7. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman
Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan;
8. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.60/Menhut-II/2009 tentang Pedoman
Penilaian Keberhasilan Reklamasi Hutan;
9. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.4/Menhut-II/2011 tentang Pedoman
Reklamasi Hutan;
10. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.59/Menhut-II/2011 tentang Hutan
Tanaman Hasil Rehabilitasi;
11. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.63/Menhut-II/2011 tentang Pedoman
Penanaman Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dalam Rangka
Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai;
12. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara
Pelaksanaan, Kegiatan Pendukung dan Pemberian Insentif Kegiatan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Peneliti menyadari, bahwa agar pembenahan kebijakan PKH lebih mampu
mengarusutama kepada pengelolaan hutan lestari diperlukan upaya yang lebih dari
sekedar sebuah penelitian ini. Namun demikian, diharapkan hasil penelitian ini
dapat menjadi satu upaya dalam menyusun strategi kebijakan yang menyeluruh
dalam upaya memikirkan pengarusutamaan dalam agenda pembaruan kebijakan
pengelolaan kehutanan berikutnya.

Metode Pengumpulan Data

1. Studi Dokumen (Document Review)

Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk
dokumentasi. Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat,
catatan harian, cenderamata, laporan, artefak, foto, dan sebagainya. Sifat utama
data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada
peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam. Secara
detail bahan dokumenter terbagi beberapa macam, yaitu otobiografi, surat-surat
pribadi, buku atau catatan harian, memorial, klipping, dokumen pemerintah atau
swasta, data di server dan flashdisk, data tersimpan di website, dan lain-lain.
Menurut Bungin (2009), metode dokumenter adalah salah satu metode
pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial untuk
menelusuri data histories. Sedangkan Sugiyono (2007) menyatakan bahwa
dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu yang berbentuk tulisan,
17

gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Metode atau studi


dokumen, meski pada mulanya jarang diperhatikan dalam metodologi penelitian
kualitatif, pada masa kini menjadi salah satu bagian yang penting dan tak
terpisahkan dalam metodologi penelitian kualitatif. Hal ini disebabkan oleh
adanya kesadaran dan pemahaman baru yang berkembang di para peneliti, bahwa
banyak sekali data yang tersimpan dalam bentuk dokumen dan artefak. Sehingga
penggalian sumber data lewat studi dokumen menjadi pelengkap bagi proses
penelitian kualitatif.

2. Wawancara Mendalam (In-depth Interview)

Wawancara memiliki bentuk dan kegunaan yang sangat beragam. Tipe


paling umum adalah wawancara perorangan ketika berbincang dan bertatap muka,
namun juga bisa mengambil bentuk lain, seperti wawancara langsung tatap muka
(face to face) dengan kelompok (face group interview), baik melalui
angket/kuesioner (questionnaire) yang dikirim (mailed questionnaire) atau
diberikan sendiri (self administration), dan juga dengan survey telepon. Teknik
wawancara mempunyai tiga bentuk, yaitu; terstruktur (structured), semi
terstruktur (semi-structured) dan tak terstruktur (unstructured). Wawancara bisa
digunakan untuk mencapai berbagai tujuan, menghimpun opini, terapi dan
memproduksi data. Wawancara juga dapat digunakan sebagai alat ukur,
sedangkan hasil wawancara mencerminkan perspektif individu atau kelompok.
Wawancara boleh dilakukan meskipun hanya satu kali, perbincangan singkat
secara langsung atau melalui telepon, berdurasi 5 menit, atau dilakukan dalam
durasi yang lama (Fontana dan Frey 2009).
Wawancara mendalam merupakan salah satu metode pengumpulan data
yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif. Wawancara mendalam secara
umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara
tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau
orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)
wawancara, pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang
relative lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah
keterlibatannya dalam kehidupan informan (Bungin 2009).
Bungin (2009) lebih lanjut menjelaskan bahwa wawancara mendalam
adalah sama seperti metode wawancara lainnya, hanya peran pewawancara
(interviewer), tujuan wawancara, peran informan (interviewee) dan cara
melakukan wawancara yang berbeda dengan wawancara pada umumnya. Sesuatu
yang amat berbeda dengan metode wawancara yang lainnya adalah bahwa
wawancara mendalam dilakukan berkali-kali dan membutuhkan waktu yang lama
bersama informan di lokasi penelitian, hal yang tidak dilakukan pada metode
wawancara yang lain.
Dalam mencari data dan informasi tentang proses implementasi kebijakan
PKH untuk kegiatan pertambangan, peneliti akan melakukan wawancara semi
terstruktur (semi-structured). Wawancara semi terstruktur menggunakan beberapa
inti pertanyaan yang akan diajukan, yaitu pewawancara (peneliti) membuat garis
besar pokok-pokok pembicaraan, namun dalam pelaksanaannya pewawancara
mengajukan pertanyaan secara bebas, pokok-pokok pertanyaan yang dirumuskan
tidak perlu dipertanyakan secara berurutan dan pemilihan kata-katanya juga tidak
18

baku, tetapi dimodifikasi pada saat wawancara berdasarkan situasinya. Tujuan


dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih
terbuka dan mendalam, di mana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat
dan ide-idenya (Satori dan Komariah 2009).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang pewawancara saat
mewawancarai responden adalah intonasi suara, kecepatan berbicara, sensitifitas
pertanyaan, kontak mata, dan kepekaan non verbal. Beberapa tips saat melakukan
wawancara adalah mulai dengan pertanyaan yang mudah, mulai dengan informasi
fakta, hindari pertanyaan multiple, jangan menanyakan pertanyaan pribadi
sebelum building report, ulang kembali jawaban untuk klarifikasi, berikan kesan
positif, dan kontrol emosi negatif.

3. Survei Pakar

Survei pakar dilakukan dengan tujuan untuk memahami pengetahuan yang


dimiliki oleh pakar terhadap aspek-aspek penggunaan kawasan hutan yang
penting dalam rangka mewujudkan pengelolaan yang berkelanjutan. Penetapan
pakar sebagai sumber pengetahuan atau responden didasarkan atas pertimbangan
dan kriteria: 1). keberadaan, kemudahan dan kesediaan untuk diwawancarai, 2).
reputasi, kedudukan, dan memiliki kredibilitas sebagai pakar, 3). pengalaman
pakar yang menunjukkan kemampuan untuk memberikan saran yang benar dan
dapat membantu pemecahan masalah. Karakteristik pakar dalam memecahkan
masalah adalah efektif, efisien dan sadar terhadap keterbatasanya. Akuisisi
pengetahuan dari pakar dapat digunakan metode wawancara secara mendalam.
Alternatif sumber pengetahuan dapat ditemukan melalui pengamatan kinerja
seorang ahli maupun publikasi ilmiah (Eriyatno dan Sofyar 2007).

4. Observasi

Metode observasi merupakan sebuah teknik pengumpulan data yang


mengharuskan peneliti turun ke lapangan, mengamati hal-hal yang berkaitan
dengan ruang, tempat, pelaku, kegiatan, benda-benda, waktu, peristiwa, tujuan,
dan perasaan. Teknik observasi merupakan metode pencarian data tentang
program, proses, atau perilaku pada tangan pertama. Observasi memberi peluang
pada peneliti untuk menggali data perilaku subyek secara luas, mampu
mengungkap berbagai macam interaksi dan secara terbuka mengeksplorasi topik
penelitiannya. Dengan pengamatan langsung, peneliti bisa mengembangkan
perspektif secara menyeluruh mengenai pemahaman satu konteks yang sedang
diteliti (Satori dan Komariah 2009). Sementara Bungin (2009) menyatakan bahwa
sesungguhnya yang dimaksud dengan metode observasi adalah metode
pengumpulan data yang digunakan untk menghimpun data penelitian melalui
pengaman dan penginderaan.
Adler dan Adler (2009) menyatakan bahwa observasi terdiri atas
kumpulan kesan tentang dunia sekitar berdasarkan semua kemampuan daya serap
panca indera manusia. Keniscayaan-keniscayaan ini menuntun langsung dengan
subyek observasi, meskipun observai jarak jauh juga dapat dilakukan dengan
merekam data menggunakan fotografi, perekam suara (audiotape), perekam
gambar (videotape), dan mengkajinya baik sekarang maupun nanti. Dalam kasus
19

apapun, seorang peneliti harus secara aktif menyaksikan semua gejala yang
sedang dikaji. Adapun alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk
menyajikan gambaran realistik perilaku atau kejadian, untuk menjawab
pertanyaan, untuk membantu mengerti perilaku manusia, dan untuk evaluasi yaitu
melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu dan melakukan umpan balik
terhadap pengukuran tersebut.
Observasi tidak hanya berperan sebagai teknik paling awal dan paling
mendasar dalam penelitian, tetapi juga karena teknik ini paling sering dipakai
dalam bidang keilmuan lainnya, seperti observasi partisan, rancangan penelitian
eksperimental dan wawancara (Adler dan Adler 2009). Sedangkan Bungin (2009)
mengemukakan beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam penelitian
kualitatif, yaitu observasi partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan observasi
kelompok tidak terstruktur. Di dalam penelitian ini akan menggunakan metode
bentuk observasi tidak berstruktur (unstructured observation), yaitu observasi
yang dilakukan tanpa menggunakan guide observasi. Pada observasi ini peneliti
harus mampu mengembangkan daya pengamatannya dalam mengamati suatu
obyek serta harus menguasai ilmu tentang obyek penelitian/pengamatan.
Suatu kegiatan pengamatan baru dikategorikan sebagai kegiatan
pengumpulan data dan penelitian apabila memiliki kriteria; (1) pengamatan
dilakukan dalam penelitian dan telah direncanakan secara serius, (2) pengamtan
harus berkaitan dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, (3) pengamatan
dicatat secara sistematik dan dihubungkan dengan proposisi umum dan bukan
dipaparkan sebagai suatu yang hanya menarik perhatian, dan (4) pengamatan
dapat dicek dan dikontrol mengenai keabsahannya (Bungin 2009).

Metode Pengambilan Contoh

1. Purposive Sampling

Dalam pendekatan kualitatif, unit contoh yang digunakan adalah key


informan sebagai sumber informasi dalam penelitian ini. Penentuan informan
kunci dilakukan dengan metode purposive sampling yaitu penentuan key informan
secara sengaja sesuai dengan tujuan penelitian. Informan kunci ditentukan
berdasarkan keahlian, pengetahuan, kapasitas, kewenangan, keterlibatan dan
kebersediaan informan kunci yang berhubungan dengan implementasi kebijakan
PKH dari tingkat pusat sampai dengan pelaksanaan di lapangan.

2. Snowball Sampling

Snowball sampling adalah metode yang digunakan untuk memperoleh data


dan informasi, hasil penelitian dan pengetahuan, dari asosiasi yang diperpanjang,
melalui kenalan sebelumnya. Seorang individu atau kelompok menerima
informasi dari tempat yang berbeda melalui perantara bersama. Hal ini disebut
sebagai sampling bola salju metaforis karena sebagai hubungan yang lebih
dibangun melalui asosiasi bersama, lebih banyak koneksi dapat dilakukan melalui
hubungan-hubungan baru dan sejumlah besar informasi dapat dibagi dan
dikumpulkan, seperti gulungan bola salju dan peningkatan ukuran seperti itu akan
mengumpulkan lebih banyak salju.
20

Snowball sampling adalah alat yang berguna untuk membangun jaringan


dan meningkatkan jumlah peserta. Namun, keberhasilan dari teknik ini sangat
tergantung pada kontak awal dan koneksitas yang dibuat. Oleh karena itu penting
untuk berkorelasi dengan mereka yang populer dan terkenal untuk menciptakan
lebih banyak kesempatan untuk berkembang serta untuk menciptakan reputasi
yang kredibel dan dapat diandalkan.

Verifikasi dan Validasi

Setiap penelitian menentukan adanya standar untuk melihat derajat


kepercayaan dan kebenaran terhadap hasil penelitian tersebut. Menurut Guba dan
Lincoln (2009), Moleong (1988) dan Nasution (1992) dalam Bungin (2009), ada
empat kriteria yang digunakan untuk memeriksa keabsahan data, yaitu: derajat
kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), ketergantungan
(dependability) dan kepastian (confirmability).
Kredibilitas adalah kegiatan untuk memeriksa keabsahan data sampai
seberapa jauh tingkat kepercayaannya melalui :
1. Member check adalah kegiatan informan memeriksa kembali catatan lapangan
yang peneliti berikan, baik berupa hasil observasi maupun wawancara, agar data
tentang proses dan implementasi kebijakan PKH yang diberikan telah sesuai
dengan apa yang dimaksud oleh informan. Jika diperlukan, setelah diperiksa,
diperbaiki, ditambah atau dikurangi, kemudian ditandatangani oleh informan.
2. Triangulasi merupakan proses mencek kebenaran suatu informasi dengan
menggali informasi tersebut dari berbagai pihak dengan beberapa cara, dengan
tujuan untuk melakukan verifikasi atau konfirmasi informasi. Menurut Bungin
(2009) terdapat triangulasi peneliti, triangulasi metode, triangulasi teori dan
triangulasi sumber data. Triangulasi peneliti dilakukan dengan meminta bantuan
peneliti lain melakukan pengecekan langsung, wawancara ulang, serta rekaman
data yang sama di lapangan. Triangulasi metode dalam pengumpulan data
dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan metode
berbeda. Triangulasi teori dalam hal ini dapat dilakukan dengan menguraikan
pola, hubungan dan menyertakan penjelasan yang muncul dari analisis untuk
mencari tema atau penjelasan pembanding. Apabila peneliti gagal menemukan
informasi yang cukup kuat untuk menjelaskan kembali informasi yang telah
diperoleh, justru peneliti telah mendapatkan bukti bahwa derajat kepercayaan
hasil penelitian peneliti sudah tinggi. Triangulasi sumber data adalah berkenaan
dengan upaya untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek
data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber.
3. Perpanjangan pengamatan, berarti peneliti kembali ke lapangan, dengan
melakukan berbagai kegiatan, baik dalam bentuk mengecek kembali kebenaran
data yang telah dikumpulkan, maupun untuk lebih mengakrabkan hubungan
antara peneliti dengan informan, sehingga informasi yang diberikan akan lebih
menjamin kepastian kebenaran data yang diperoleh. Perpanjangan pengamatan
dibuktikan dengan surat keterangan perpanjangan dan dilampirkan dalam laporan
penelitian.
4. Analisis kasus negatif adalah kasus yang tidak sesuai atau berbeda dengan hasil
penelitian hingga pada saat tertentu. Melakukan analisis kasus negatif berarti
peneliti mencari data yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan data yang
telah ditemukan. Bila tidak ada lagi data yang berbeda atau bertentangan dengan
temuan, berarti data yang ditemukan sudah dapat dipercaya.
21

5. Kecukupan referensi adalah dengan memperbanyak referensi yang dapat menguji


dan mengoreksi hasil penelitian yang telah dilakukan, baik referensi yang berasal
dari orang lain meupun referensi yang diperoleh selama penelitian seperti gambar
video di lapangan, rekaman wawancara, maupun catatan-cataatan harian di
lapangan (Bungin 2009).
6. Uraian rinci, yaitu dengan memberikan penjelasan kepada pembaca dengan
menjelaskan hasil penelitian dengan penjelasan yang serinci-rincinya. Suatu
penemuan yang baik akan dapat diterima orang apabila dijelaskan dengan
penjelasan yang terperinci dan gamblang, logis dan rasional. Sebaliknya
penjelsaan yang panjang lebar dan berulang-ulang justru akan menyulitkan orang
dalam memahami hasil penelitian (Bungin 2009).
Keteralihan (transferability) hasil penelitian biasanya berkaitan dengan
pertanyaan sejauh mana penelitian ini dapat dipublikasikan atau digunakan dalam
situasi lain atau suatu temuan penelitian berpeluang untuk dialihkan pada konteks
lain, manakala ada kesamaan karakteristik antara situasi penelitian dengan situasi
penerapan. Implikasinya, peneliti bertanggungjawab untuk menyediakan data
deskriptif tentang situasi penelitian secara utuh, menyeluruh, lengkap, mendalam dan
rinci.
Dependabilitas berhubungan dengan konsistensi. Konsistensi di sini adalah
dilihat dari arti yang lebih luas dengan memperhitungkan faktor-faktor yang mungkin
mengalami perubahan, karena manusia sebagai instrumen dapat menurun perhatian
dan ketajaman pengamatannya serta dapat membuat kekhilafan dan kesalahan.
Sementara konfirmabilitas berkaitan dengan kenetralan atau netralitas.
Netralitas mengandung aspek kuantitatif, yakni bergantung pada jumlah orang yang
membenarkan atau mengkonfirmasikannya. Netralitas berarti bermakna objektivitas-
subjektivitas. Objektivitas merupakan suatu kesesuaian inter-subjektif. Netralitas juga
mengandung aspek kualitatif, karena kebenaran suatu data dapat juga dibenarkan atau
dikonfirmasi oleh orang lain. Jadi dependabilitas dan konfirmabilitas adalah
berhubungan dengan konsistensi dan kenetralan data yang kebenarannya tergantung
pada konfirmasi orang lain.
Selain proses pengujian terhadap keabsahan data, pada penelitian ini juga
dilakukan proses verifikasi dan validasi terhadap model yang disusun. Menurut
Eriyatno dan Sofyar (2007), proses verifikasi model kebijakan dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui berbagai kelemahan dan kekurangan dari model serta
mengidentifikasi berbagai masalah yang perlu diantisipasi terkait dengan
penerapan kebijakan yang dirumuskan. Verifikasi kebijakan dilakukan terhadap
metode yang digunakan dalam pengambilan data. Sedangkan validasi model
kebijakan dilakukan melalui uji pendapat pakar atau dilakukan dengan
membandingkan model kebijakan hasil penelitian terhadap kebijakan yang sedang
berjalan atau sudah dijalankan.
Sebagai gambaran ringkasan tahapan kajian yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah sebagaimana skema pada Gambar 3. Sedangkan landasan
teori, metode yang digunakan, sumber data dan keluaran yang diharapkan adalah
sebagaimana tersaji pada Tabel 4.
22

LATAR BELAKANG

KAWASAN HUTAN TUMPANG TINDIH WILAYAH


AREAL PERTAMBANGAN

KEBIJAKAN
PENYUSUNAN ? PENGGUNAAN IMPLEMENTASI ?
KAWASAN HUTAN

PERTANYAAN/TUJUAN PENELITIAN

Adakah
Sejauhmana kesenjangan antara
Bagaimana kapasitas lembaga Bagaimana
implementasi
kebijakan PKH Pemerintah dalam implementasi
dengan rencana
disusun melaksanakan kebijakan PKH
kebijakan yang
kebijakan PKH telah disusun

KEGIATAN PENELITIAN

PENGUMPULAN DATA ANALISIS DATA

DATA PRIMER DATA SEKUNDER Principal ANALISIS IMPLEMENTASI


KEBIJAKAN
Analisis
Wawancara ANALISIS Sejarah Analisis
STUDI PUSTAKA, PERATURAN
Mendalam Keagenan
DOKUMENTASI, PERUNDANG-
(Snowball) Analisis Para
LAPORAN, PERATURAN, UNDANGAN
Pihak
DLL Analisis
Survei Asumsi
Analisis
Pakar Kebijakan

Observasi
(Purposive)
Agent

ANALISIS DESKRIPTIF
KUALITATIF

Tidak Tidak
VERIFIKASI DAN
VALIDASI

Ya

KESIMPULAN

REKOMENDASI

Gambar 3. Tahapan kajian implementasi kebijakan penggunaan kawasan hutan


23

Tabel 4 Landasan teori, metode, jenis data, sumber data dan output yang diharapkan berdasarkan tujuan penelitian
Metode
Metode
Tujuan Penelitian Landasan Teori Metode Analisis Data Pengambilan Sumber Data Output yang Diharapkan
Pengumpulan Data
Contoh
Mengetahui implementasi Teori Kebijakan (Dunn 2003, Analisis implementasi Studi dokumentasi, Purposive Kementerian kehutanan, Substansi Kebijakan, Kapasitas,
kebijakan PKH. Baginski dan Soussan 2002), kebijakan, analisis Observasi, Dinas Kehutanan Provinsi peran dan posisi para pemangku
Teori Stakeholder (Reed et al kapasitas organsasi, wawancara dan Kabupaten, BPKH, kebijakan dalam menjalankan
2009) analisis para pihak mendalam BP2HP, BPDASPS, kebijakan PKH, implementasi
Perusahaan kebijakan PKH

Mengidentifikasi Teori Kebijakan (Nugroho Analisis respon, analisis Studi dokumentasi, Purposive Kementerian kehutanan, Hambatan-hambatan
hambatan-hambatan 2009), Teori Asumsi (Dewar biaya transaksi Observasi, Dinas Kehutanan Provinsi implementasi kebijakan PKH,
dalam implementasi et al 1993 dan Dunn 2003) wawancara dan Kabupaten, BPKH, hubungan kontraktual prinsipal
kebijakan PKH. mendalam BP2HP, BPDASPS, dan agen, respon para pihak,
Perusahaan biaya transaksi yang ditimbulkan

Memahami hubungan Teori Keagenan (Jensen dan Analisis hubungan Studi dokumentasi, Snowball, Kementerian kehutanan, Kondisi riil hubungan
antara pemerintah Meckling, 1976, Eisenhardt, prinsipal-agen Observasi, Purposive Dinas Kehutanan Provinsi kontraktual, transfer of right,
(prinsipal) dengan 1989, wawancara dan Kabupaten, BPKH, permasalahan-permasalahan
pemegang IPPKH (agen) Nielson DL danTierney MJ. mendalam BP2HP, BPDASPS,
dan permasalahn- 2003) Perusahaan
permasalahannya

Memberikan saran dan Teori Kebijakan (Dunn 2003, Analisis kebijakan, Studi dokumentasi, Purposive Kementerian Kehutanan, Kesenjangan antara kebijakan
masukan dalam Nugroho 2009), Teori Asumsi analisis kelembagaan, Observasi, Pakar Kebijakan, PKH dengan implementasinya,
perumusan/perbaikan (Dewar et al 1993 dan Dunn analisis asumsi wawancara rekomendasi kebijakan
kebijakan PKH 2003) mendalam, survey
pakar
24

Jenis dan Sumber Data

Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data
primer didapatkan dari hasil wawancara dan observasi, sedangkan data sekunder
didapatkan dari literatur mengenai PKH dan teori-teori yang mendukung dalam
aspek kebijakan. Sumber data utama/primer dalam penelitian ini adalah sumber
data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, sedangkan data
sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data, misalnya melalui dokumen.
Data primer akan digali dari beberapa narasumber (informan) dan para
pihak dari lembaga-lembaga yang terlibat langsung dalam proses perumusan dan
implementasi kebijakan PKH dengan teknik purposive sampling. Narasumber
(informan kunci) dan para pihak yang diperkirakan terlibat dan menjadi sumber
data dan informasi yang akan dikumpulkan adalah :
1. Lembaga Pemerintah; Direktorat PKH (Direktorat Planologi, Kementerian
Kehutanan RI), Dinas Kehutanan Provinsi (Dishutprov) dan Dinas Kehutanan
Kabupaten (Dishutkab), Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi
(DisESDMProv) dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten
(DisESDMKab), Dinas/Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten (BLHD
Kab), Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), Balai Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai (BPDAS), Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi
(BP2HP), Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)
2. Beberapa Perusahaan Pertambagan pemegang IPPKH sebagai unit observasi
implementasi kebijakan dan perusahaan kehutanan pemegang IUPHHK.
Sedangkan data sekunder akan diperoleh dari peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan PKH, dokumen-dokumen dan laporan-laporan
perusahaan maupun instansi pemerintah terkait, buku atau laporan hasil penelitian
maupun sumber pustaka lain yang relevan dan terpercaya.
Tabel 5 menggambarkan jumlah dan sebaran responden/informan terpilih
(purposive sampling) maupun hasil snowball sampling selama kajian hubungan
P-A dalam implementasi kebijakan PKH

Tabel 5 Jumlah dan penyebaran informan/responden

No Responden Jakarta Kaltim Kalsel Sultra Total


1 Kemenhut 3 - - - 3
2 Dishut Provinsi - 3 1 2 6
3 Dishut Kabupaten - 1 1 2 4
4 BPKH - 1 3 1 5
5 BPDASPS - 1 1 1 3
6 BP2HP - 1 1 - 2
7 BKSDA - - - 1 1
8 BLHD Kabupaten - 1 - 2 3
9 Distamben Kabupaten - 1 1 1 3
10 Perusahaan IPPKH 8 7 2 6 23
11 Perusahaan IUPHHK 5 2 - - 7
12 Konsultan 2 - - - 2
Jumlah 18 18 10 16 62
25

Sedangkan data sekunder diperoleh dari peraturan perundang-undangan


yang terkait dengan PKH, dokumen-dokumen dan laporan-laporan perusahaan
maupun instansi pemerintah terkait, buku, majalah, koran atau laporan hasil
penelitian maupun sumber pustaka lain yang relevan dan terpercaya.

Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini, instrumen yang dipakai dalam pengumpulan data


lebih banyak bergantung pada diri peneliti itu sendiri sebagai alat pengumpulan
data. Peneliti sebagai suatu instrumen memiliki kemampuan yang dapat menilai
situasi dan kondisi saat penelitian dan memutuskan secara luwes. Oleh karena itu,
peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas agar mampu bertanya,
menganalisis, dan mengkonstruksi obyek yang diteliti dengan jelas. Penelitian ini
lebih menekankan pada makna dan terikat nilai. Penelitian kualitatif digunakan
jika masalah belum jelas, untuk mengetahui makna yang tersembunyi, untuk
memahami interaksi sosial, untuk mengembangkan teori, untuk memastikan
kebenaran data, dan meneliti sejarah perkembangan
Selain peneliti, dalam penelitian ini, instrumen penelitian yang dipakai
untuk mengumpulkan data adalah kuesioner, pedoman wawancara, alat rekam dan
kamera.
.
26

PERUMUSAN KEBIJAKAN
PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN

Pendahuluan

Masuknya sebuah isu kebijakan atau masalah ke dalam proses penyusunan


agenda ditentukan oleh banyak hal. Tidak semua masalah publik akan masuk ke
dalam agenda kebijakan. Masalah-masalah tersebut saling berkompetisi antara
satu dengan lainnya. Hanya masalah-masalah tertentu yang pada akhirnya akan
masuk ke dalam agenda kebijakan (Kusdamayanti 2008)
IDS (2006) menyatakan bahwa proses kebijakan merupakan suatu proses
yang kompleks dengan karakteristik sebagai berikut: 1) bertahap, pembuatan
kebijakan merupakan proses yang berulang, berdasarkan pengalaman, dan belajar
dari kesalahan sebelumnya; 2) selalu diwarnai dengan kepentingan yang overlap
dan berkompetisi; ada pihak yang diakomodir ada juga yang diabaikan; 3) tidak
hanya mempertimbangkan hal teknis, nilai dan fakta sangat berperan penting; 4)
para ahli teknis dan pembuat kebijakan secara bersama-sama terlibat dalam proses
membangun kebijakan.
Apa yang menyebabkan masalah pertambangan di dalam kawasan hutan
menjadi isu kebijakan sejalan dengan pendapat Wahab (1997) dalam
Kusdamayanti (2008), menyatakan bahwa pada intinya isu kebijakan biasanya
muncul karena telah terjadi silang pendapat diantara para aktor mengenai arah
tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan mengenai karakter
masalah itu sendiri. Hal ini dapat dijelaskan karena pada dasarnya proses
penyusunan agenda merupakan persoalan politik dan karena itu kental dengan
muatan politik. Beberapa persoalan tertentu, karena alasan tertentu, tidak pernah
menjadi agenda publik, sementara yang lainnya dengan begitu mudah menyedot
perhatian dan segera ditindak lanjuti.
Menurut PP Nomor 24 Tahun 2010 jo PP Nomor 61 Tahun 2012 tentang
PKH, penggunaan kawasan hutan didefinisikan sebagai penggunaan atas sebagian
kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa
mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut.
Penggunaan kawasan hutan merupakan salah satu kebijakan pemerintah
yang cukup strategis, terutama bagi peningkatan investasi di sektor pertambangan
dan energi, ketenagalistrikan dan telekomunikasi. Sebagai suatu kebijakan,
penggunaan kawasan hutan telah diatur mekansimenya dalam perangkat peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yaitu Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, PP Nomor 24 Tahun 2010 jo. PP Nomor 61 Tahun 2012
tentang PKH dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2014
yang merupakan produk Peraturan Menteri Kehutanan terakhir dari serangkain
perubahan-perubahan yang dilakukan sebelumnya.
Undang-undang RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 38
secara tegas mengatur dan menjelaskan batasan-batasan penggunaan kawasan
hutan, yaitu sebagaimana bunyi ayat-ayatnya: 1). Penggunaan kawasan hutan
untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat
dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung, 2).
Penggunaan kawasan hutan dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok
27

kawasan hutan, 3). Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan


dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan
mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian
lingkungan, 4). Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan
dengan pola pertambangan terbuka, 5). Pemberian izin pinjam pakai yang
berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh
Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam pasal 50 ayat 3 UU Nomr 41 Tahun 1999 disebutkan larangan bagi
orang, kelompok atau badan hukum untuk mengerjakan dan atau menggunakan
dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah serta melakukan kegiatan
penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam
kawasan hutan, tanpa izin Menteri. Terhadap pelanggaran pasal tersebut di atas
dikenakan sangsi berupa kurungan selama-lamanya 10 tahun atau denda sejumlah
5 milyar rupiah (Pasal 78 UU Nomr 41 Tahun 1999).
Seiring dengan perkembangan kebijakan di sektor kehutanan, penggunaan
kawasan hutan juga mengalami peningkatan yang sangat signifikan, terutama
untuk pertambangan. Hal itu disebabkan oleh kondisi ekonomi bangsa yang kian
membaik, permintaan dunia akan sumberdaya energi dan mineral yang meningkat
dan dibukanya kesempatan secara luas untuk mendapatkan izin penggunaan
kawasan hutan dari Menteri Kehutanan.

Tujuan

Tujuan penelitian dalam bab ini adalah mengetahui sejarah dan


perkembangan kebijakan PKH, faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan PKH
serta menganalisis proses perumusan kebijakan PKH. Untuk menjawab
pertanyaan dan tujuan dalam bab ini akan digunakan konsep pendekatan historical
institution (Peters 2000; Peters et al. 2005; Steinmo 2008) dan proses perumusan
kebijakan menurut Baginski dan Soussan (2002).

Metode Analisis

Analisis Sejarah Kebijakan

Peters (2000) menyebutkan ada empat pendekatan kajian institusi, yaitu: 1)


Rational Choice, 2) Normative Institutionalism, 3) Historical Institutionalism, dan
4) Empirical Institutionalism. Selanjutnya Peters et al. (2005) menyebutkan
bahwa argumentasi historical institusionalism atau institusi-sejarah adalah
perilaku kebijakan dan struktur pilihan publik saat ini sangat dipengaruhi oleh
kebijakan yang telah dibuat pada masa lalu. Pendekatan sejarah menyebutkan
bahwa unsur-unsur institusi yang dibangun pada awal akan secara terus menerus
mempengaruhi perilaku hingga saat ini. Inti konsep pendekatan kebijakan yang
digunakan oleh ahli institusi-sejarah adalah path dependency atau keterikatan
jejak antara kebijakan saat ini dengan kebijakan masa lalu, tetapi ahli institusi-
sejarah juga tertarik dengan ide bentuk dan keberlanjutan dari arah kebijakan.
Pendekatan institusi-sejarah sangat baik dalam membahas keterkaitan kebijakan,
tetapi relatif lemah dalam penjelasan perubahan struktur kebijakan.
28

Adapun pengertian sejarah menurut Kartodirdjo (1992) adalah peristiwa


atau kejadian di masa lampau yang mengungkapkan fakta mengenai apa, siapa,
kapan, dimana, dan menerangkan bagaimana sesuatu telah terjadi.
Ada tiga kategori penelitian sejarah, yaitu: 1) Sejarah naratif (deskriptif
naratif), 2) Sejarah analitis (deskriptif analitis), dan 3) Sejarah naratif analitis
(naratif analitis). Sejarah naratif (deskriptif naratif) adalah penelitian sejarah yang
memuat cerita deskripsi tentang masa lampau. Penelitian ini menekankan kepada
rekonstruksi kejadian masa lampau berdasarkan urutan waktu. Sejarah analitis
(deskriptif analitis) adalah penelitian sejarah secara kritis yang berpusat kepada
masalah (problem oriented) sesuai sudut pandang penelitiannya. Sejarah naratif
analitis adalah penelitian tentang sejarah yang dilakukan oleh ahli sejarah
(sejarawan) yang mempelajari sejarah secara kritis (Hero, 2012). Pendekatan
sejarah naratif analitis tersebut digunakan oleh Hero (2012) dalam disertasinya
yang mengkaji tentang peran kelembagaan dalam proses pembuatan kebijakan
pengelolaan Hutan Pendidikan Gunung Walat berdasarkan pendekatan sejarah dan
diskursus. Pendekatan analisis sejarah yang dilakukan yaitu sejarah non-naratif
yang tidak bertujuan menyusun cerita sejarah, melainkan penelitian berpusat
kepada masalah (problem oriented), dalam hal ini masalah praktik sosial berupa
kerangka pikir (frame) yang berhubungan dengan kebijakan.
Selanjutnya Menurut Kartodirdjo (1992), menerangkan sejarah naratif
adalah sejarah yang membuat deskripsi tentang kejadian di masa lampau dengan
merekonstruksi apa yang terjadi serta diuraikan sebagai cerita yang disusun
menurut waktu kejadian. Sementara sejarah non-naratif adalah sejarah yang tidak
menyusun cerita, tetapi berpusat kepada suatu masalah tertentu (problem
oriented).
Steinmo (2008) menyebutkan bahwa institusional historis (historical
institutionalism) bukanlah suatu teori atau metode penelitian, melainkan suatu
pendekatan dalam penelitian kebijakan. Pendekatan historis berbeda dengan
pendekatan penelitian ilmu sosial lainnya dalam penelitian kebijakan. Pendekatan
historis dalam penelitian kebijakan didasarkan pada beberapa hal, yaitu: data
empiris berdasarkan kondisi nyata, stuktur institusi, perilaku dan kinerja yang
dihasilkan.
Lebih lanjut Steinmo (2008) menyebutkan bahwa pendekatan historis
berada diantara dua pilihan, yaitu; pilihan rasional dan pilihan normatif.
Pendekatan historis tidak percaya bahwa manusia dengan mudah membuat
keputusan berdasarkan pilihan rasional maupun pilihan normatif, dimana manusia
dapat membuat keputusan berdasarkan kedua pilihan mengikuti norma sosial dan
mendapatkan manfaat diri sendiri secara bersamaan. Pendekatan historis
mempelajari mengapa pilihan tertentu diambil dalam keputusan dan atau mengapa
kinerja tertentu yang dihasilkan. Kelebihan pendekatan sejarah dalam
kelembagaan, yaitu: 1) Berbagai keputusan dan kebijakan terjadi dalam waktu
sejarah tertentu, 2) Para pelaku dan agen dapat belajar dari pengalaman dalam
waktu sejarah tertentu, dan 3) Keputusan pada masa datang dipengaruhi oleh
keputusan yang dibuat pada masa lalu.
Pengumpulan data untuk mendukung analisis ini dilakukan dengan kajian
kepustakaan dengan mengumpulkan sejumlah bahan-bahan hukum baik yang
bersifat primer dan sekunder, dokumen resmi berupa peraturan perundang-
undangan, serta putusan-putusan lembaga hukum, pendapat para ahli, hasil dari
29

penelitian-penelitian yang telah dilakukan juga berbagai tanggapan, opini dari


berbagai kalangan pemerhati dan lapisan masyarakat yang berkaitan dengan
masalah esensial dari kandungan atau materi undang-undang atau peraturan
penggunaan kawasan hutan.

Analisis Perumusan Kebijakan

Untuk mengetahui perjalanan perumusan peraturan perundang-undangan


PKH akan dilakukan teknik analisis proses perumusan kebijakan seperti yang
dicontohkan oleh Baginski dan Soussan (2002). Aspek yang menjadi fokus
analisis tersebut meliputi :

- Tonggak kunci kebijakan.

Tonggak kunci kebijakan berupa perjalanan sejarah kebijakan PKH. Data


diperoleh dari kajian dokumen dan literatur serta wawancara mendalam kemudian
dianalisis dengan metode pathway dependent. Tonggak peristiwa penetapan
kebijakan PKH digali dari perjalanan sejarah dan perkembangan kebijakan PKH
di Indonesia.
Untuk menentukan tonggak kunci dalam penelitian ini juga akan dilakukan
dengan pendekatan analisis sejarah sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
bentuk non-naratif yang tidak bertujuan menyusun cerita sejarah, melainkan
penelitian berpusat kepada masalah (problem oriented), dalam hal ini masalah
praktik sosial berupa kerangka pikir (frame) yang berhubungan dengan kebijakan.
Dengan memahami sejarah, fakta-fakta dan kekuatan-kekuatan yang
berperan dalam perumusan kebijakan PKH di masa lampau, maka banyak hal dan
fenomena saat ini yang dapat dipahami dan dijelaskan. Selanjutnya, dengan
memahami fenomena tersebut di masa kini, diharapkan dapat diproyeksikan
kebijakan di masa yang akan datang.

- Konteks Politik dan Pemerintahan.

Konteks politik dan pemerintahan dalam proses perumusan kebijakan


berupa kondisi pemerintahan yang mendukung pada saat kebijakan PKH
dirumuskan. Data diperoleh dari hasil wawancara dianalisis dengan teknik
analisis yang sesuai dan disajikan secara deskriptif kualitatif.

- Isu Kunci Kebijakan.

Identifikasi isu kunci kebijakan berupa permasalahan yang menjadi latar


belakang dirumuskannya kebijakan PKH, serta kecenderungan atau arah
kebijakan yang saat ini menjadi fokus perhatian. Data dianalisis dari hasil
wawancara dan disajikan secara deskriptif kualitatif.

- Proses Pembentukan Kebijakan.

Dalam proses pembentukan kebijakan diidentifikasi aktor yang terlibat


dalam perumusan kebijakan, permasalahan terhadap struktur organisasi formal
30

yang terkait dengan dirumuskannya kebijakan PKH, ide dasar (diskursus) yang
diyakini para aktor, dan strategi aktor untuk menggulirkan kebijakan. Data
disajikan dengan teknik deskriptif kualitatif melalui suatu prosedur analisis data
wawancara.

Hasil dan Pembahasan

Sejarah Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan

Istilah kehutanan atau forestry (Inggris), [forstwirtschaft] (Jerman),


bosbouw (Belanda) dalam kehidupan sehari-hari diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan hutan, termasuk kegiatan pengurusan hutan. Menurut Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan,
pengertian kehutanan diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang bersangkut paut
dengan hutan dan pengurusannya. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan, kehutanan diartikan sebagai sistem pengurusan
yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang
diselenggarakan secara terpadu. Istilah ini semula digunakan oleh Daendels pada
tahun 1808 dengan istilah [bosbouw] atau kehutanan. Pada waktu istilah
kehutanan mulai digunakan, kehutanan hanya diartikan sebagai kegiatan yang
menyangkut soal keberadaan hutan, pemanfaatan hasil hutan, penebangan kayu
dan kegiatan-kegiatan lainnya (Djajapertjunda dan Djamhuri 2013).
Selanjutnya Djajapertjunda dan Djamhuri (2013) menyatakan bahwa
secara historis jauh sebelum kerajaan-kerajaan di Indonesia berkuasa, masyarakat
Indonesia sudah dapat memanfaatkan hutan sebagai sumber bahan makanan,
sumber kayu sebagai bahan untuk membuat tempat tinggal dan bahan pakaian.
Pada saat itu, hutan sebagai sumber daya alam dirasakan berbeda dengan sumber
daya alam lainnya karena hutan sudah tersedia secara alamiah. Kerajaan dan
kesultanan yang berkuasa di zamannya telah memanfaatkan hutan untuk
membangun istana kerajaan, perumahan, benteng, bahkan membangun armada
perkapalan yang dapat mengarungi sungai-sungai dan menyeberangi lautan,
sedangkan hasil hutan seperti kayu cendana, kayu hitam dan lain-lain sudah
menjadi komoditi perdagangan antarbangsa. Ketika VOC (Vereenigde Oost
Indische Compaigne) datang ke Indonesia pada pemulaan abad 17 di Jawa, di
Bekasi sudah ada industri rakyat yang menggunakan kayu sebagai bahan bakunya
(Djajapertjunda dan Djamhuri 2013).
Sekalipun pengaturan dalam bentuk peraturan tertulis tentang kehutanan
sudah ada sejak berkuasanya VOC, momentum awal pembentukan hukum tentang
kehutanan di Indonesia, dapat dikatakan dimulai sejak tanggal 10 September
1865, yaitu dengan diundangkannya reglemen tentang Hutan (Boschreglement)
1865. Reglemen ini merupakan awal mula adanya pengaturan secara tertulis upaya
konservasi sumber daya hayati (Salim 2003).
Setelah VOC dibubarkan dan hutan di Jawa diserahkan kepada Pemerintah
Hinda Belanda pengurusan hutan berkembang dengan pesat, antara lain dengan
dibentuknya Jawatan Kehutanan pada tahun 1865. Menurut Simon (2000) pada
tahun 1865 telah disusun rancangan (draft) undang-undang kehutanan untuk
pertama kali. Rancangan undang-undang itu disusun dalam jangka waktu yang
sangat lama hingga pada tahun 1927 disahkan sebagai Undang-undang Kehutanan
31

untuk pertama kalinya yang setiap lima tahun dikaji berdasarkan pengalaman dan
persoalan yang timbul dari pelaksanaan di lapangan. Undang-undang ini hanya
berlaku untuk mengatur pengelolaan hutan di pulau Jawa dan Madura.
Simon (2000) melanjutkan, bahwa sejalan dengan perkembangan ilmu
kehutanan, hutan alam jati di Jawa yang rusak akibat praktik penambangan kayu,
khususnya oleh VOC selama dua abad, lalu dibangun dengan model Jerman.
Bentuk pengelolaan hutan model Jerman itu dikenal dengan kebun kayu (timber
management), dan pemerintah Hindia Belanda dengan sukses dapat membangun
hutan tanaman jati monokultur. Pengelolaan kebun kayu jati itulah yang kemudian
dituangkan di dalam Undang-undang Kehutanan Jawa dan Madura tahun 1927
tersebut.
Pengurusan hutan hanya berlangsung efektif di Jawa, sedangkan di luar
Jawa dilaksanakan oleh para sultan atau raja dan masyarakat adat yang
menguasainya. Selama pendudukan tentara Jepang (1942-1945) dan perjuangan
kemerdekaan Indonesia (1945-1950), pengurusan hutan terhambat. Baru setelah
Indonesia bersatu kembali pada tahun 1950 hutan dapat dikelola dengan baik
(Djajapertjunda dan Djamhuri 2013).
Pada tahun 1966, pemerintah rezim Orde Baru mulai melakukan
pembangunan ekonomi nasional. Masalah utama yang dihadapi negara dan bangsa
saat itu adalah rendahnya pendapatan per kapita masyarakat Indonesia, yaitu
hanya US$ 80/tahun, serta ketiadaan modal untuk menjalankan pembangunan.
Sementara itu Indonesia sebenarnya memiliki hutan alam tropika basah di luar
Jawa yang sangat luas dan mempunyai potensi ekonomi tinggi untuk
dimanfaatkan. Oleh karena itu disusun Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967
tanggal 24 Mei 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan untuk
mengatur pengusahaan hutan di luar Jawa. Acuan yang tersedia bagi pengambil
keputusan di bidang kehutanan pada waktu itu tentu saja hanya Undang-undang
Kehutanan untuk Jawa dan Madura Tahun 1927 (Simon 2000). Berlakunya UUPK
produk bangsa Indonesia ini dimaksudkan demi kepentingan nasional, dan
sekaligus pula mengakhiri keberlakuan Boschordonantie 1927 yang telah berlaku
selama 40 tahun lamanya.
Untuk percepatan pertumbuhan ekonomi pada masa orde baru (1965-
1997), pemerintah menerbitkan empat undang-undang yang sangat strategis, yaitu
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 jo Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970
tentang Penanaman Modal Asing, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan dan Undang-undang Nomor 6
Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Terbitnya undang-undang
dalam tiga sektor yang berbeda tersebut dimaksudkan untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi sebagai penopang pembangunan nasional pada masa itu.
Terbitnya Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 tersebut menjadi titik
tolak bagi pembangunan sektor kehutanan di Indonesia dengan mengotpimalkan
sumberdaya manusia kehutanan untuk meningkatkan peranan hutan dan
kehutanan. Semangat tersebut membuahkan hasil hingga pada puncaknya devisa
sektor kehutanan mencapai urutan ke 2 setelah minyak bumi. Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1967, mengamanatkan bahwa pengurusan hutan pada hakekatnya
adalah untuk mendapatkan manfaat hutan yang sebesar-besarnya secara serbaguna
dan lestari baik secara langsung maupun tidak langsung, bagi kemakmuran
32

masyarakat. Agar usaha-usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan pengurusan


hutan tersebut secara administratif dan teknis dapat terselenggara dengan baik
maka diperlukan adanya wadah atau sarana kelembagaan yang dapat menampung
seluruh aktivitas kegiatan di bidang kehutanan.
Indonesia menjadi produsen kayu log utama, lebih besar dari seluruh
negara Afrika dan Amerika Latin, yang menyumbangkan devisa 2,1 miliar dolar
AS (sekitar 40 persen saham dari pasar log global). Pada tahun 1985, ekspor log
dilarang pemerintah karena pemerintah ingin membuat kebijakan untuk
mengintegrasikan pemanfaatan sumber daya hutan dari hulu hingga hilir dengan
membangun Plywood. Dengan kebijakan ini, pemerintah memperoleh devisa 50
miliar dolar AS selama periode 1983-1997 (Hidayat 2008).
Setelah Indonesia mengalami krisis moneter yang melanda seluruh sendi
perekonomian Negara pada tahun 1997, banyak kegiatan kehutanan terutama yang
dilaksanakan oleh pihak perusahaan swasta menurun drastis. Hampir di seluruh
kawasan hutan di penjuru negara ini mengalami degradasi yang disebabkan oleh
perambahan hutan dan penebangan hutan tanpa izin sehingga banyak kalangan
yang menghawatirkan kelestarian hutan Indonesia (Djajapertjunda dan Djamhuri
2013).
Dalam penelusuran literatur tentang sejarah pengelolaan hutan di
Indonesia, terminologi penggunaan (pinjam pakai) kawasan hutan dalam rentang
periode pra kolonial, masa kolonial sampai masa orde lama tidak ditemukan.
Pengelolaan/pengurusan hutan masih terbatas pada pemanfaatan hasil hutan kayu.
Terminologi tersebut baru muncul pada masa orde baru untuk mengakomodir
pertumbuhan ekonomi pada saat itu. Eksploitasi sumberdaya alam, baik
sumberdaya hutan maupun sumberdaya pertambangan dan energi pada saat itu
menjadi tumpuan utama penerimaan negara, sehingga kedua sektor ini dipacu
pembangunannya.
Luasnya kawasan hutan yang ditunjuk oleh pemerintah saat itu menjadi
keterbatasan bagi sektor lain untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada di
dalamnya, terutama sektor pertambangan dan energi. Untuk mengaturnya,
pemerintah (presiden) menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976.
Inpres ini memprioritaskan sektor pertambangan di atas sektor-sektor lain yang
kemudian diakomodir oleh Departemen Pertanian saat itu dengan menerbitkan SK
Dirjen Kehutanan No 64/Kpts/DJ/I/1978 tentang Pedoman Pinjam Pakai Tanah
Kawasan Hutan. SK Dirjen Kehutanan tersebut merupakan cikal bakal lahirnya
terminologi ―pinjam pakai‘ untuk penggunaan kawasan hutan bagi kepentingan
sektor-sektor lainnya. Pada masa ini sistem yang berlaku adalah ―perjanjian‖
pinjam pakai sampai dengan lahirnya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.14/Menhut-II/2006. Lahirnya Permenhut P.14/Menhut-II/2006 yang kemudian
diperbaiki dengan Permenhut P.64/Menhut-II/2006 ini menandai babak baru
kebijakan penggunaan kawasan hutan dengan adanya perubahan sistem
―perjanjian pinjam pakai kawasan hutan‖ menjadi ―izin pinjam pakai kawasan
hutan‖.
Pada dasarnya kebijakan penggunaan kawasan hutan tersebut tidak
terbatas untuk kepentingan pertambangan saja, namun untuk kepentingan sektor-
sektor lain yang secara strategis membutuhkannya seperti: pertahanan keamanan,
perhubungan, telekomunikasi, pengairan dan sebagainya. Kebijakan penggunaan
kawasan hutan atau saat ini lazim disebut sebagai pinjam pakai kawasan hutan,
33

mengalami perkembangan seiring dengan tuntutan dan perubahan kebijakan


lainnya.

Proses Perumusan Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan

Mengacu pada tahapan proses analisis kebijakan yang dikemukakan oleh


Baginski and Soussan (2002), narasi berikut menjelaskan hasil analisis proses
penyusunan kebijakan penggunaan kawasan hutan:

1. Tonggak Kunci Penetapan Kebijakan

Tonggak kunci penetapan kebijakan ini merupakan salah satu cara untuk
memahami historis kebijakan PKH, sejauh mana kebijakan penggunaan kawasan
hutan dirumuskan dan ditetapkan Hal ini merupakan akumulasi dari kejadian
kejadian masa lalu yang dianggap penting dalam mendefinisikan/menentukan
proses-proses kebijakan yang ada pada masa lalu (kebijakan lama), peratuarn
perundangan maupun kejadian-kejadian bersifat katalis penting. Dalam tahapan
analisis proses kebijakan ini akan diuraikan beberapa momentum yang sangat
berpengaruh (tonggak kunci) dalam perjalanan perumusan kebijakan penggunaan
kawasan hutan, sebagai berikut:

Lahirnya Undang-undang Kehutanan, Pertambangan, Penanaman Modal


Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri

Tonggak kunci kebijakan penggunaan kawasan hutan diawali dengan


lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-kentetuan
Pokok Kehutanan dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-
Pokok Pertambangan yang dilandasi oleh Undang Undang Dasar 1945 pasal 33
―Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat‖. Kedua undang-
undang tersebut didahului dengan terbitnya Undang-undang No 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing yang kemudian direvisi dengan Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1970 yang dirumuskan untuk mendatangkan investasi asing
sebesar-besarnya demi pertumbuhan ekonomi. Pemerintah melengkapinya dengan
menerbitkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri untuk maksud yang sama.
Keempat undang-undang tersebut lahir sesaat setelah rezim orde lama
runtuh dan beralih ke rezim orde baru. Situasi politik saat itu memandang hutan
dan tambang sebagai aset dan dapat dieksploitasi untuk menumbuhkan iklim
investasi. Hal tersebut memungkinkan untuk kegiatan pertambangan di seluruh
fungsi kawasan hutan kecuali di taman nasional, taman wisata, dan hutan dengan
fungsi khusus. Kebijakan tersebut dimungkinkan karena kondisi hutan pada saat
itu masih utuh dan negara memerlukan dana dan investasi yang cukup besar untuk
menjalankan roda pembangunan nasional. Terbitnya empat undang-undang
tersebut dalam waktu yang hampir bersamaan menjadi awal dimulainya praktik
eksploitasi sumberdaya hutan dan pertambangan di Indonesia dengan dukungan
investasi asing dan dalam negeri.
34

Superioritas Sektor Pertambangan

Luasnya kawasan hutan yang ditunjuk oleh pemerintah saat itu, yaitu
kurang lebih 70% dari total luas daratan Indonesia menjadi keterbatasan bagi
sektor lain untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalamnya, terutama
sektor pertambangan dan energi. Untuk mengatur pertumpangtindihan
pengelolaan sumberdaya alam tersebut, pemerintah (presiden) mengambil
kebijakan dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 tanggal 13
Januari 1976 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas Bidang Keagrariaan dengan
Bidang Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi dan Pekerjaan Umum. Dalam
Inpres tersebut dijelaskan pada angka romawi II nomor 11 huruf ii dan iii:

―…Bila pertindihan penetapan/penggunaan tanah tidak dapat dicegah


maka hak prioritas pertambangan harus diutamakan sesuai dengan
ketentuan UU Nomor 11 Tahun 1967, tidak meliputi areal tanah yang telah
ditetapkan sebagai Suaka Alam dan Hutan Wisata (Taman Wisata dan
Taman Buru)…‖

Inpres tersebut menjadi pegangan bagi semua sektor dalam pengelolaan


sumberdaya yang terkait dengan penggunaan lahan/tanah di seluruh Indonesia.
Sektor pertambangan lebih diutamakan (prioritas) pemanfaatannya dibandingkan
dengan sektor-sektor lainnya dalam penggunaan kawasan hutan atau areal
lahan/tanah negara.

Kebijakan Pengaturan Aktifitas Pertambangan di dalam Kawasan Hutan

Atas dasar Inpres Nomor 1 Tahun 1976 tersebut, pada tahun 1978
Kementerian Pertanian menerbitkan Surat Keputusan Direktur Jenderal
Kehutanan Nomor 64/Kpts/DJ/I/1978 tanggal 23 Mei 1978 tentang Pedoman
Pinjam Pakai Tanah Kawasan Hutan. Surat keputusan tersebut bertujuan untuk
membatasi dan menertibkan penggunaan kawasan hutan yang menyimpang dari
fungsi yang ditetapkan. Dalam surat keputusan tersebut pinjam pakai tanah
kawasan hutan didefinisikan sebagai penggunaan sebagian kawasan hutan untuk
keperluan lain yang menyimpang dari fungsi yang telah ditetapkan oleh Menteri
Pertanian karena tidak dapat dirubah status hutannya dan bersifat sementara.
Isi dari surat keputusan Dirjen Kehutanan tersebut masih sangat sederhana,
hanya mengatur prosedur penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan sektor
lain yang kemudian lazim diistilahkan dengan pinjam pakai dengan sistem
perizinan yang dipergunakan saat itu adalah ―perjanjian‖. Namun, dalam
perjalanan sejarah perkembangan kebijakan penggunaan kawasan hutan, Surat
Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan ini menjadi tonggak kunci paling penting
dan mengilhami semua peraturan perundang-undangan tentang kebijakan
penggunaan kawasan hutan.
Terbitnya surat keputusan Direktur Jenderal Kehutanan tersebut juga tidak
terlepas dari kebutuhan penggunaan kawasan hutan untuk keperluan sektor
35

pertambangan yang saat itu dipengaruhi oleh PT. Freeport Indonesia Inc7 yang
telah mendapatkan izin Kontrak Karya dari pemerintah Indonesia pada tahun 1967
yang akan mulai melakukan aktifitasnya. Perusahaan tersebut mulai beroperasi
pada tahun 1973 dan akan beroperasi selama 30 tahun setelah perusahaan tersebut
mulai beroperasi8.

Institusi dan Undang-Undang Baru Kehutanan

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 dianggap belum cukup memberikan


landasan hukum bagi perkembangan pembangunan kehutanan oleh karena itu
perlu diganti sehingga memberikan landasan hukum yang lebih kokoh dan
lengkap bagi pembangunan kehutanan pada saat itu dan saat mendatang. Simon
(2000) menjelaskan, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 mempunyai dua
kelemahan, yaitu hutan yang dihadapi di luar Jawa bukan kebun kayu monokultur
dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berbeda dengan keadaan di Jawa dan
Madura awal abad ke-20 ini. Untuk itu sejak lama para pemerhati dan pengamat
kehutanan Indonesia mulai awal dekade 1990-an telah menyuarakan perlunya
ditinjau kembali UU Nomor 5 Tahun 1967. Himbauan tersebut tidak ditanggapi
secara serius oleh Departemen Kehutanan. Walaupun pada mulanya dibentuk tim
untuk mengkaji kemungkinan perubahan itu, namun pada tahun 1997 diputuskan
bahwa perubahan tersebut dianggap belum mendesak. Tetapi setelah terjadi
perubahan politik nasional karena krisis ekonomi dan kepemimpinan tahun 1998,
maka Departemen Kehutanan dan Perkebunan membentuk tim untuk menyusun
undang-undang kehutanan yang baru. Akhirnya lahirlah undang-undang yang baru
itu, dikenal sebagai Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Seiring dengan percepatan pembangunan di segala bidang yang
dicanangkan pemerintah, Berbagai masalah yang berupa ancaman, gangguan, dan
hambatan dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan, tidak akan dapat
terselesaikan secara tuntas apabila penanganannya tidak bersifat strategis, melalui
penanggulangan secara konsepsional dan paripurna dengan sistem manajemen
yang dapat menampung seluruh aktivitas kegiatan kehutanan yang sudah semakin
meningkat. Dalam kondisi seperti itu maka perlu adanya suatu bentuk administrasi
pemerintahan yang sesuai dan memadai, sebagai sarana yang sangat dibutuhkan
bagi terlaksananya keberhasilan pembangunan kehutanan.

7
Wawancara mendalam dengan Ir. Soetrisno MM, Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan
Tahun 2009-2010. Berdasarkan penelusuran data di Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan
Kementerian Kehutanan, izin pinjam pakai pertama kali diberikan pada tahun 1981 kepada PT.
PLN Wilayah VII dengan Surat Persetujuan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 2421/DJ/I/81
tanggal 25 Juni 1981 untuk kepentingan pembangunan jaringan transmisi seluas 27,66 hektar di
Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan. Kemudian pada tahun 1984 izin pinjam pakai diberikan
kepada TNI-AL di CA Cycloop untuk pembangunan statsiun pemancar radio seluas 3,5 heketar
dengan SK Menhut 083/Menhut-IV/84 tanggal 17 Pebruari 1984. Sementara PT Freeport
Indonesia Inc yang mendapatkan izin pertambangan di Indonesia dengan Kontrak Karya dari
Pemerintah Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presidium Nomor 82/EK/KEP/4/1967
tanggal 7 April 1967 baru mendapatkan izin pinjam pakai pada tahun 1993 melalui Surat
Persetujuan Menteri Kehutanan Nomor 242/Menhut-VI/93 tanggal 13 Pebruari 1993 untuk
keperluan areal pembuangan tailing di TN Lorentz.
8
http://id.wikipedia.org/wiki/Freeport_Indonesia diunggah pada tanggal 8 Januari 2014 pukul
10:53.
36

Instansi kehutanan yang setingkat Direktorat Jenderal dirasakan tidak


mampu mengatasi permasalahan dan perkembangan aktivitas pembangunan
kehutanan yang semakin meningkat. Sehingga pemerintah memandang perlu
untuk membentuk Departemen Kehutanan tersendiri. Pada tanggl 16 Maret 1983,
Presiden dalam pidatonya pada pembentukan Kabinet Pembangunan IV memecah
Departemen Pertanian menjadi Departemen Pertanian dan Departemen
Kehutanan9.
Kelemahan-kelemahan dalam UU Nomor 5 Tahun 1967 membuat
pemerhati dan pengamat kehutanan Indonesia menyuarakan perlunya untuk
ditinjau kembali. Himbauan tersebut tidak ditanggapi secara serius oleh
Departemen Kehutanan. Setelah terjadi perubahan konstelasi politik nasional
karena krisis ekonomi dan kepemimpinan tahun 1998, Departemen Kehutanan dan
Perkebunan membentuk tim untuk menyusun undang-undang kehutanan yang
baru, yang kemudian dikenal sebagai Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
(Simon 2000).
Simon (2000) melanjutkan, dengan adanya pergantian Presiden dari
Soeharto ke BJ Habibie bulan Mei 1998, terbentuklah Kabinet Reformasi. Nama
Departemen Kehutanan dan Perkebunan yang baru mulai muncul pada Kabinet
Pembangunan VII yang berumur 70 hari itu tetap dipertahankan. Sebelumnya
organisasi yang mengurus pengelolaan hutan di Indonesia adalah Depertemen
Kehutanan, yang merupakan peningkatan status dari Direktorat Jenderal sejak
tahun 1882. Walaupun banyak ahli yang mengusulkan agar perkebunan dipisah
kembali dari kehutanan, namun nama Departemen Kehutanan dan Perkebunan
tetap bertahan sampai sekarang.
Setelah reformasi, Menteri Kehutanan dan Perkebunan Kabinet Reformasi
segera membentuk tim penyusun undang-undang untuk mengganti UU Nomor 5
Tahun 1967. Di samping itu, Menteri Kehutanan dan Perkebunan juga membentuk
Komite Reformasi untuk menyusun kebijakan baru dalam rangka memperbaiki
pengelolaan hutan nasional. Anggota Komite Reformasi terdiri atas pejabat teras
Departemen Kehutanan, staf pengajar dari perguruan tinggi dan anggota LSM10.
Pada awalnya Komite Reformasi sangat antusias dalam menyelesaikan tugas-
tugasnya, termasuk menyusun konsep undang-undang kehutanan.
Nurrochmat (2005) menuturkan bahwa sesungguhnya reformasi di sektor
kehutanan dalam arti keinginan untuk merombak status quo, telah dimulai sejak

9
Departemen Kehutanan. 2007. Latar Belakang Lahirnya Departemen Kehutanan.
http://www.dephut.go.id/index.php/news/profil_kemenhut diunggah pada 10 Januari 2014
10
Simon (2000) lebih lanjut menjelaskan, sejak awal telah terjadi perbedaan pandangan yang
cukup tajam, khususnya antara kelompok LSM dan staf perguruan tinggi dengan pejabat
Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Bahkan akhirnya hampir seluruh anggota LSM
menarik diri dari kegiatan pertemuan Komite Reformasi karena merasa perbedaan tersebut sulit
dipertemukan. Anehnya, anggota Komite dari pejabat teras Departemen Kehutanan dan
Perkebunan sendiri jarang datang di dalam rapat. Antiklimaks sikap sebagian besar anggota
Komite terjadi tatkala konsep jiwa undang-undang yang diajukan oleh Departemen Kehutanan
dan Perkebunan ke DPR berbeda jauh dengan konsep Komite Reformasi. Oleh karena itu
proses pembentukan undang-undang kehutanan yang kemudian disyahkan oleh DPR menjadi
Undang-undang Nomor 41 Nomor 1999 sebenarnya tidak demokratis, tidak mencerminkan
amanat reformasi dan tetap berjiwa paradigma pengelolaan hutan yang lama
37

awal tahun 1990-an. Pada masa itu sejumlah rimbawan, LSM, dan akademisi
menimbang untuk perlu merevisi Undang-Undang Pokok Kehutanan Nomor 5
Tahun 1967. Berbagai seri diskusi, seminar maupun lokakarya diadakan
sepanjang tahun 1990-1993. Upaya panjang ini mendapatkan respons positif dari
berbagai pihak. Namun perdebatan terus terjadi selama kurun waktu 1993-1998
hingga pada tanggal 30 September 1999 Undang-Undang Kehutanan Nomor 41
Tahun 1999 secara resmi disahkan menggantikan Undang-Undang Pokok
Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967 yang telah menjadi payung hukum pengelolaan
hutan di Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa.

Revisi Undang-undang Kehutanan

Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 disahkan dengan


maksud mengatur tentang penetapan, pengurusan, pemanfaatan, dan pengelolaan
sumberdaya hutan, untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Mengingat bahwa Undang-Undang adalah produk politik, maka wacana yang ada
di dalam UU tersebut biasanya hanya menggambarkan persoalan-persoalan
kepentingan para pihak, proses penguasaan sumberdaya, pelaku-pelaku kebijakan,
dan mekanisme kontrol. Masalahnya sekarang adalah sampai seberapa jauh negara
(pemerintah) turun tangan dalam pengelolaan sumberdaya alam tersebut kemudian
menjadi sangat relevan dengan kebutuhan hidup masyarakat secara luas, sampai
seberapa jauh nilai-nilai sosial budaya masyarakat justru berkembang setelah
adanya aturan legalistik-formalistik dari pemerintah, dan dapatkah politik
pemerintah (good will) terhadap sumberdaya alam tersebut mampu menjamin
kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat yang bergantung kepada
sumberdaya hutan tersebut (Awang 2000).
Dibandingkan dengan Undang-Undang Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967
yang hanya menekankan pada aspek produksi, Undang-Undang Kehutanan
Nomor 41 Tahun 1999 juga memberi perhatian yang cukup pada aspek konservasi
dan partisipasi masyarakat. Banyak kalangan menilai, secara umum Undang-
Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 lebih baik dibandingkan Undang-
Undang Kehutanan sebelumnya dalam memperhatikan hak-hak masyarakat
khususnya masyarakat hukum adat. Namun demikian, sebagian yang lain menilai
bahwa keberpihakan Undang-Undang Kehutanan yang baru terhadap masyarakat
hukum adat hanyalah reotrika belaka karena beberapa ayat dalam Undang-Undang
tersebut berpotensi menjadi pasal karet yang penafsirannya sangat tergantung
kepentingan penguasa (Nurrochmat 2005).
Terkait dengan kebijakan penggunaan kawasan hutan, apabila kita
mencermati UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terutama ketentuan pada Pasal
38 ayat 4 diatur bahwa pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan
penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Klausul tersebut merupakan
perubahan yang cukup mendasar bagi pengaturan penggunaan kawasan hutan
untuk sektor lain, terutama untuk sektor pertambangan. Klausul dalam pasal
tersebut menimbulkan keresahan di kalangan pengusaha tambang, organisasi
profesi peretambangan maupun birokrat di kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral. Pasalnya, operasional pertambangan tidak lagi diperbolehkan dilakukan
di dalam Hutan Lindung, kecuali dengan sistem tambang tertutup/tambang
dalam/tambang bawah tanah (underground mining/closed mining). Mereka
38

khawatir akan investasi yang telah ditanamkan di Indonesia. Kekhawatiran itu


terkait dengan ketidakpastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan di
kawasan hutan terutama bagi investor yang telah memiliki izin atau perjanjian
sebelum berlakunya Undang-undang tersebut, baik Kontrak Karya (KK),
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), maupun Kuasa
Pertambangan (KP).
Dalam perjalanannya, kontradiksi terhadap klausul tersebut semakin
menguat hingga pada akhirnya aktor-aktor dunia usaha pertambangan mengajukan
keberatan terhadap klausul dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tersebut. Upaya
mereka berhasil, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang
(Perpu) Nomor 1 Tahun 2004 pada tanggal 11 Maret 2004 tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Inti dari Perpu
tersebut adalah menambah ketentuan (pasal 83A) baru yang berbunyi sebagai
berikut:

"…Semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan


hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai
berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud…"

Terbitnya Perpu tersebut menjadi blunder bagi pemerintah karena


menimbulkan reaksi keras dari para aktifis lingkungan dan akademisi.
Sebagaimana yang dituturkan oleh Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) bahwa
sepanjang 2004, perhatian para aktivis lingkungan dan akademisi yang peduli
terhadap pelestarian kawasan hutan tersita oleh Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) No. 1 tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pemerintah mengeluarkan Perpu
tersebut karena UU Kehutanan dianggap tidak memberi kepastian hukum bagi ijin
pertambangan di kawasan hutan lindung yang dikeluarkan sebelum UU No.
41/1999 tersebut diberlakukan.
Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) melanjutkan, Perpu tersebut menuai
kontroversi pro-kontra yang harus diselesaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Pada tahap awal, DPR menyatakan mereka akan menolak Perpu tersebut.
Namun, ada perubahan yang terjadi secara cepat, dan akhirnya DPR menyetujui
Perpu tersebut melalui voting dalam rapat paripurna, dengan mengesahkan UU
No. 19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjadi Undang-undang. Belakangan diketahui -
atas pengakuan anggota DPR sendiri - bahwa agar Perpu tersebut disetujui, ada suap
antara 50 - 100 juta rupiah per orang. Pada awal 2005 sejumlah aktivis lingkungan
mengajukan UU No. 19 tahun 2004 kepada Mahkamah Konstitusi untuk uji formal
dan materia' (judicial review).
Permintaan para pemohon uji materi (judicial review) Undang-Undang
Nornor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomorr 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak dipenuhi oleh Mahkamah
Konstitusi.
39

Kartodihardjo11 (2005) menceritakan, bahwa pada tanggal 15 Juli 2004,


rapat paripurna DPR melalui voting menyetujui perpu itu untuk disahkan menjadi
undang-undang. Keputusan DPR itu dinilai sejumlah koalisi dan lembaga swadaya
masyarakat sebagai lambang kekalahan bangsa Indonesia di bawah tekanan
kepentingan asing.
Seperti dalam kasus-kasus lain sebelumnya, ketentuan seperti itu
dikeluarkan karena unsur ketidakpastian usaha dan adanya ancaman gugatan
arbitrase dari perusahaan-perusahaan asing. Dari 13 perusahaan yang telah diberi
izin penambangan, sebagian besar perusahaan sahamnya dikuasai asing dan
terdaftar di bursa saham New York Arnerika Serikat (Kompas 16 Juli 2004 dalam
Kartodihardjo 2005). Kontroversi lahirnya perpu itu yang diduga terkait politik
uang yang melibatkan anggota DPR masa itu (Kompas 24 Juli 2004 dan 29
September 2004) dan judicial review terhadapnya terjawab sudah. Tanda-tanda
apakah peristiwa demikian ini ? (Kartodihardjo 2005).
Pemerintah (cq Kementerian Kehutanan) segera menyusun ‗aturan main‘
penggunaan kawasan hutan terkait dengan revisinya UU Nomor 41 Tahun 1999
tersebut. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.12/Menhut-II/2004 tanggal 29
September 2004 tentang Tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk
Kegiatan Pertambangan. Permenhut ini menjadi awal dimulainya era baru dengan
sistem ‗perizinan‘ pinjam pakai menggantikan sistem ‗perjanjian‘ pinjam pakai
yang dijalankan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
55/Kpts-II/1994 jo Nomor 614/Kpts-II/1997 jo Nomor 720/Kpts-II/1998.

Kebijakan Energi Nasional

Permasalahan energi melanda hampir semua negara di dunia dalam


beberapa tahun terakhir. Permasalahan tersebut terjadi karena persediaan dan
permintaan energi meningkat dalam kecepatan yang berbeda. Kecepatan
permintaan lebih cepat dibandingkan kecepatan persediaan. Peningkatan
permintaan energi tidak lepas dari pertumbuhan penduduk yang meningkat tiap
tahunnya.
Energi sangat penting peranannya dalam perekonomian Indonesia, baik
sebagai bahan bakar untuk proses industrialisasi, sebagai bahan baku untuk proses
produksi, dan sebagai komoditas ekspor. Sumber energi yang digunakan untuk
keperluan domestik meliputi energi fosil (minyak bumi, gas bumi, dan batubara)
serta energi terbarukan (tenaga air dan tenaga panas bumi). Cadangan energi fosil
akan terus berkurang seiring dengan penggunaannya. Saat ini cadangan batubara
masih cukup melimpah sedangkan gas bumi dan minyak bumi masing-masing
masih tersedia untuk jangka waktu sekitar 30 tahun dan 10 tahun dengan tingkat
produksi seperti saat ini dan bila tidak ditemukan cadangan baru (Sugiyono 2004).
Sugiyono (2004) melanjutkan, bahwa pada tahun tujuh puluhan sumber
daya energi dianggap masih sangat melimpah sehingga ekspor komoditas ini
menjadi penyokong utama penerimaan negara. Mulai tahun delapan puluh limaan
kebijakan energi sudah mulai diterapkan dengan penekanan pada intensifikasi,
diversifikasi, dan konservasi. Ekspor komoditas energi mulai berkurang
peranannya digantikan dengan komoditas industri berbasis manufaktur. Ekspor
11
Kartodihardjo H. 2005 Nasib Tambang di Hutan Lindung. Harian Kompas. 9 Juli 2005.
Jakarta
40

lebih diarahkan pada komoditas yang mempunyai nilai tambah yang tinggi dari
pada ekspor sumber daya alam yang nilai tambahnya rendah. Seiring dengan
proses industrialisasi ini banyak terjadi kerusakan lingkungan. Aspek lingkungan
mulai mendapat perhatian dan kebijakan energi mulai diarahkan untuk
menggunakan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Pada tahun
sembilan puluh limaan mulai dirasakan keterbatasan sumber daya energi, terutama
minyak bumi. Dengan kondisi ini maka perlu kebijakan yang berlandaskan
paradigma baru.
Sejalan dengan permasalahan tersebut, pemerintah mengeluarkan
kebijakan melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tanggal 25 Januari
2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Kebijakan ini bertujuan untuk
mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri. Kebijakan utama meliputi
penyediaan energi yang optimal, pemanfaatan energi yang efisien, penetapan
harga energi ke arah harga keekonomian dan pelestarian lingkungan. Kebijakan
utama tersebut didukung dengan pengembangan infrastruktur, kemitraan dunia
usaha, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan penelitian. Kebijakan energi
nasional ini juga memuat upaya untuk melakukan diversifikasi dalam
pemanfaatan energi.
Kebijakan energi nasional tersebut mempengaruhi gairah aktifitas
pengusaha di sektor pertambangan untuk segera melakukan operasionalisasinya di
lapangan. Hal itu berimbas pada meningkatnya permohonan izin pinjam pakai
kawasan hutan ke Kementerian Kehutanan. Untuk mengantisipasi hal tersebut
Menteri Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut)
Nomor P.14/Menhut-II/2006 tanggal 10 Maret 2006 tentang Pedoman Pinjam
Kawasan Hutan. Isi dari Permenhut ini tidak jauh berbeda dengan Permenhut
P.12/Menhut-II/2004. Pada Permenhut ini terdapat penyesuaian-penyesuaian isi
mengingat permenhut merupakan aturan main penggunaan kawasan hutan di
kawasan hutan produksi.

Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya, bahwa era izin pinjam


pakai dimulai pada saat digulirkannya Permenhut P.12/Menhut-II/2004, namun
pada saat itu Permenhut tersebut belum efektif digunakan. Hal itu disebabkan dari
ke 13 perusahaan tambang yang diizinkan untuk menambang secara terbuka di
kawasan huta lindung (sesuai Keputusan Presiden Nomor Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Perizinan atau Perjanjian Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan)
belum mengajukan permohonan untuk melakukan kegiatannya di wilayah
pertambangannya12. Era izin pinjam pakai justru lebih dulu aktif setelah terbitnya
Permenhut P.14/Menhut-II/2006 seiring dengan meningkatnya permohonan izin
pinjam pakai kawasan hutan oleh para pengusaha tambang. Sehingga Permenhut
P.14/Menhut-II/2006 pada praktiknya merupakan awal dimulainya era sistem izin
pinjam pakai kawasan hutan.

12
Izin pinjam pakai kawasan hutan untuk tambang terbuka baru terbit pada tahun 2008 atas nama
PT. Indominco Mandiri di Hutan Lindung Bontang seluas 3.973,40 hektar di Provinsi
Kalimnatan Timur dan PT. Aneka Tambang (Antam) Di Hutan Lindung Pulau Pakal seluas 456
hektar di Provinsi Maluku Utara.
41

Moratorium Izin Penggunaan Kawasan Hutan

Moratorium13 merupakan sebuah upaya jeda eksploitasi yang dilakukan


dalam suatu periode tertentu untuk menghentikan atau menunda kegiatan tertentu
dan mengisi periode tersebut dengan langkah-langkah untuk mencapai perubahan
yang signifikan. Dalam isu hutan dan lahan gambut, moratorium adalah
penghentian untuk jangka waktu tertentu dari aktivitas penebangan dan konversi
hutan untuk mengambil jarak dari masalah agar didapat jalan keluar yang bersifat
jangka panjang dan permanen. Dalam hal ini, moratorium mengandung makna
korektif, tidak hanya sebuah upaya jeda tetapi terutama upaya memperbaiki
keadaan. Karena itu, moratorium berkaitan dengan target perubahan yang ingin
dicapai. Target tersebut terumuskan dalam ukuran yang jelas sehingga pada
saatnya bisa menjadi ukuran yang menentukan apakah selama periode moratorium
ukuran-ukuran yang telah direncanakan telah tercapai atau belum.
Pada tanggal 20 Mei 2011, presiden mengeluarkan Instruksi Presiden
(Inpres) Nomor 10 Tahun 2011 tentang penundaan penerbitan izin baru dan
penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Inpres ini
merupakan bagian dari kerja sama Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan
Norwegia, berdasarkan Surat Pernyataan Kehendak/Letter of Intent (LoI) yang
ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 26 Mei 2010. Inpres tersebut,
yang mendorong moratorium selama dua tahun atas izin hak pengusahaan hutan
(HPH) baru, menimbulkan wacana publik secara luas dan memiliki implikasi
terhadap sejumlah kebijakan penting (Murdiyarso et al 2011).
Murdiyarso et al (2011) melanjutkan bahwa berdasarkan LoI ini, Indonesia
sepakat untuk melakukan beberapa tindakan, antara lain: 1) menyusun Strategi
Nasional tentang REDD+ (Reduce Emissions from Deforestation and Forest
Degradationn Plus), 2) menetapkan badan khusus untuk menerapkan strategi
REDD+, termasuk sistem pemantauan, pelaporan dan pembuktian atas
pengurangan emisi dan instrumen keuangan untuk penyaluran dana; dan 3)
mengembangkan dan menerapkan instrument kebijakan serta kemampuan untuk
melaksanakannya, termasuk penundaan selama dua tahun bagi pemberian izin
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) baru untuk konversi kawasan lahan gambut dan
hutan alam untuk penggunaan lainnya. Komitmen ini sesuai dengan janji sukarela
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang diumumkan tahun sebelumnya untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca Indonesia sebesar 26% pada tahun 2020 dengan
sumber daya keuangan dalam negeri (atau sebesar 41% dengan bantuan
internasional). Di lain pihak, Pemerintah Norwegia menjanjikan dana hingga
AS$1 miliar untuk mendukung sejumlah tindakan Indonesia.
Inpres merupakan seperangkat perintah presiden kepada kementerian dan
lembaga pemerintahan lain yang terkait. Sebagai dokumen non legislatif, Inpres
tidak memiliki konsekuensi hukum jika tidak dilaksanakan. Inpres Nomor 10
Tahun 2011 memberi perintah kepada tiga menteri (Kehutanan, Dalam Negeri dan
Lingkungan Hidup) dan kepala lima lembaga (Unit Kerja Presiden Bidang
Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Badan Pertanahan Nasional, Badan

13
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global. 2012.
Moratorium Hutan Berbasis Capaian: Refleksi Satu Tahun Inpres Moratorium dan Peluncuran
Usulan Masyarakat Sipil untuk Perbaikan Kebijakan Moratorium Hutan Indonesia. Jakarta
42

Koordinasi Penataan Ruang Nasional, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan


Nasional dan lembaga yang dibentuk untuk mengelola REDD+), serta para
gubernur dan bupati. Inpres ini menjelaskan tugas dan tanggung jawab masing-
masing lembaga selama dua tahun sejak dikeluarkannya Inpres. Dua kementerian
penting yang sangat terkait dengan deforestasi dan emisi berbasis lahan tidak
disebutkan dalam Inpres, yaitu: Kementerian Pertanian dan Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral. Kedua lembaga ini tidak dimasukkan dalam Inpres
mungkin karena terkait dengan peran mereka dalam kebijakan ketahanan pangan
dan energi nasional. Pembatasan penerapan moratorium pada kegiatan di sektor-
sektor ini dapat melemahkan kemampuan pemerintah untuk memenuhi tujuan
Inpres itu sendiri, serta komitmen Presiden untuk menurunkan emisi gas rumah
kaca.
Kebijakan moratorium tersebut berlaku bukan pada izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) saja, melainkan juga pada semua izin
yang terkait dengan hutan alam primer dan gambut di Indonesia, termasuk di
dalamnya adalah penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan tambang dan
pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan. Kebijakan penundaan izin tersebut
menjadi landasan kebijakan bagi Kementeiran Kehutanan untuk menolak
permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan yang wilayahnya berada di dalam
kawasan hutan alam primer maupun hutan gambut. Hal itu yang menjadikan
jumlah permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan mengalami penurunan,
sebagaimana yang disebutkan oleh beberapa orang pegawai Direktorat
Penggunaan Kawasan Hutan-Direktorat Planologi Kehutanan14.
Tabel 6 Data izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan15
No Tahun Unit Luas (Hektar)
1 s/d 2008 89 153,535
2 2009 76 62,634
3 2010 46 55,981
4 2011 69 40,552
5 2012 88 50,434
6 2013 79 44.082
7 s/d Maret 2014 40 24.975
Jumlah 487 432.193
Sumber : Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan (2013, 2014) dan
http://ppkh.dephut.go.id/index.php/pages/post_publikasi/post/24

14
Penurunan permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan tidak mempengaruhi kinerja
Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan-Direktorat Planologi Kehutanan. Data izin pinjam
pakai kawasan hutan menunjukkan bahwa jumlah dan luas kawasan hutan yang dipinjam pakai
tidak mengalami penurunan, bahkan mengalami peningkatan, hal itu disebabkan izin-izin baru
yang diterbitkan setelah adanya moratorium izin merupakan permohonan lama yang masih
diproses dan dianalisis di internal Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan dan selesai
(penerbitan izin) pada tahun setelah kebijakan moratorium izin dicanangkan. Izin pinjam pakai
kawasan hutan yang dikeluarkan setelah tahun 2011 juga dimungkinkan merupakan
peningkatan izin dari persetujuan prinsip yang telah ditandatangani oleh Menteri Kehutanan
sebelum terbitnya Inpres 10 Tahun 2011. Hal itu sesuai dengan dictum kedua Inpres tersebut.
15
Data izin pinjam pakai kawasan hutan merupakan data izin penggunaan kawasan hutan untuk
tingkat operasi produksi, tidak termasuk izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan
penyelidikan umum/survei/ eksplorasi dan izin persetujuan prinsip Menteri Kehutanan
43

Pada tanggal 13 Mei 2013, moratorium izin di hutan alam primer dan
hutan gambut diperpanjang 2 (dua) tahun ke depan dengan ditandatanganinya
Intruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2013. Dalam Inpres yang ditujukan kepada
Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Kepala Unit Kerja Presiden Bidang
Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Kepala Badan Pertanahan
Nasional (BPN), Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional, Kepala
Badan Informasi Geospasial, Ketua Satgas Persiapan Pembentukan Kelembagaan
Redd+, para Gubernur dan Bupati/Walikota itu, Presiden menegaskan agar
penundaan pemberian izin baru juga dilakukan di area penggunaan lain
sebagaimana tercantum dalam Peta Indikatif Penundaan Izin Baru.
Khusus kepada Menteri Kehutanan, Presiden memerintahkan:
1. Melanjutkan penundaan terhadap penerbitan izin baru hutan alam primer dan
lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi
berdasarkan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru.
2. Melanjutkan penyempurnaan kebijakan tata kelola bagi izin pinjam pakai dan
izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam.
3. Melanjutkan peningkatan efektivitas pengelolaan lahan kritis dengan
memperhatikan kebijakan tata kelola hutan dan lahan gambut yang baik,
antara lain melalui restorasi ekosistem.
4. Melakukan revisi terhadap Peta Indikatif Penundaan Izin Baru pada kawasan
hutan setiap 6 (enam) bulan sekali.
5. Menetapkan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru hutan alam primer dan lahan
gambut pada kawasan hutan yang telah direvisi.
Kebijakan moratorium izin tersebut diharapkan dapat mengurangi
kerusakan hutan oleh maraknya izin pertambangan di dalam kawasan hutan.
Adapun perjalanan (sejarah) peraturan perundang-undangan penggunaan kawasan
hutan dan tonggak kunci kebijakan penggunaan kawasan hutan dalam sebuah
bagan alir sebagai berikut:
44

SKB Menteri Pertambangan dan Energi dan SKB Menteri Pertambangan dan PERPPU Nomor 1 UU No 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Menteri Kehutanan Nomor 0120.K/10/M.PE/ Energi dan Menteri Kehutanan Nomor Tahun 2004 tentang Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
1984; 029/Kpts-II/1984 1101K/702/M.FE/1991; 436/Kpts- Perubahan atas undang- Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
II/1991 tentang Pembentukan Team undang Nomor 41 Tahun Kehutanan menjadi Undang-undang
Koordinasi Tetap Departemen 1999
Pertambagan dan Energi dan
SK Dirjen Kehutanan
Departemen Kehutanan dan Permenhut Nomor
UU No 5 Tahun 1967 No 64/Kpts/DJ/I/1978 KEPPRES Nomor 41
Perubahan Tata Cara Pengajuan Izin UU Nomor 41 P.12/Menhut-II/2004
Ketentuan-ketentuan tentang Pedoman Pinjam Tahun 2004 Tentang
Usah Pertambangan dan Energi dalam Tahun 1999 tentang Tentang Penggunaan
Pokok Kehutanan Pakai Tanah Kawasan Perizinan atau Perjanjian
Kawasan Hutan KEHUTANAN Kawasan Hutan Lindung
Hutan Pertambangan yang
untuk Kegiatan
Berada di Kawasan Hutan
Pertambangan

1967 1976 1978 1984 1989 1991 1994 1996 1997 1998 1999 2004 Bersambung

SKB Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri


UU No 11 Tahun 1967 Kehutanan Nomor 969.K/05/M.PE/1989; 429/Kpts- SK Menteri
Ketentuan-ketentuan II/198 tentang Pedoman Pengaturan Pelaksanaan Usaha Kehutanan Nomor SK Menteri SK Menteri Kehutanan
Pokok Pertambangan Pertambangan dan Energi dalam Kawasan Hutan 55/Kpts-II/1994 Kehutanan Nomor Nomor 720/Kpts-II/1998
tentang Pedoman 614/Kpts-II/1997 tentang Perubahan Pasal 18
Pinjam Pakai tentang Perubahan SK Menteri Kehutanan
Kawasan Hutan Pasal 8 dan 18 Nomor 614/Kpts-II/1997
INPRES NO 1 Tahun 1976
―Bila pertindihan penetapan/penggunaan tanah tidak Keputusan Menteri tentang Perubahan Pasal 8
dapat dicegah maka hak prioritas pertambangan harus Kehutanan Nomor dan 18 SK Menteri
diutamakan sesuai dengan ketentuan UU Nomor 11 SK Menteri Kehutanan 55/Kpts-II/1994 Kehutanan Nomor 55/Kpts-
Tahun 1967, tidak meliputi areal tanah yang telah Nomor 41/Kpts-II/1996 tentang Perubahan Pasal 16 tentang Pedoman II/1994 tentang Pedoman
ditetapkan sebagai Suaka Alam dan hutan Wisata Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 Pinjam Pakai Pinjam Pakai Kawasan
tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan Kawasan Hutan Hutan
(Taman Wisata dan Taman Buru)‖

Gambar 4 Sejarah dan tonggak kunci dalam kebijakan penggunaan kawasan hutan
45

PP No 2 Tahun 2008 Tentang Jenis dan Tarif atas Permenhut P.56/Menhut- INPRES RI No 10 Tahun 2011 Tentang INPRES RI No 6 Tahun 2013
Jenis Penerimaan Negara Bukan pajak yang II/2008 Tentang Tata Cara Penundaan Pemberian Izin Baru dan Tentang Penundaan Pemberian
Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Penentuan Luas Areal Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Izin Baru dan Penyempurnaan
Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan yang Terganggu dan Areal Primer dan Lahan Gambut Tata Kelola Hutan Alam Primer
Berlaku pada Departemen Kehutanan Reklamasi dan Revegetasi dan Lahan Gambut :
untuk Perhitungan memperpanjang penundaan untuk
Penerimaan Negara Bukan PERPRES RI No 28 Tahun 2011 masa waktu 2 tahun ke depan
Pajak Penggunaan Tentang Penggunaan Kawasan
PERPRES No 5 Tahun 2006 Tentang
Kawasan Hutan Hutan Lindung untuk
Kebijakan Energi Nasional
Penambangan Bawah Tanah

2006 2008 2010 2011 2012 2013 2014 ?

Permenhut
Permenhut P.38/Menhut- Permenhut
Permenhut P.64/Menhut- P.18/Menhut- II/2012 P.14/Menhut-
II/2006 Perubahan II/2011 Perubahan II/2013
Peraturan Menteri Pedoman Permenhut Perubahan Kedua
Permenhut Kehutanan Nomor Permenhut PP No 24 Tahun Permenhut
P.14/Menhut-II/2006 Pinjam Pakai P.18/Menhut-
P.14/Menhut-II/2006 P.43/Menhut-II/2008 2010 Tentang Kawasan II/2011 P.18/Menhut-
Pedoman Pinjam tentang Pedoman Pinjam Pedoman Pinjam Penggunaan II/2011 Pedoman
Hutan Pedoman
Pakai Kawasan Hutan Pakai Kawasan Hutan Pakai Kawasan Hutan Kawasan Hutan Pinjam Pakai
Pinjam Pakai
Kawasan Hutan Kawasan Hutan

Keterangan Permenhut P.16/Menhut-


PP No 61 Tahun 2012 Tentang Perubahan PP No 24
Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan II/2014 Pedoman Pinjam
: Tonggak Kunci Kebijakan
Pakai Kawasan Hutan
: Perubahan/penyempurnaan/tindaklanjut

Lanjutan Gambar 4 Sejarah dan tonggak kunci dalam kebijakan penggunaan kawasan hutan
46

2. Konteks Politik dan Pemerintahan

Soeharto menjadi pejabat presiden pada tanggal 12 Maret 1966, setelah


memperoleh Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) untuk memulihkan stabilitas
politik dan keamanan di Indonesia. Seperti pendahulunya, rezim Soeharto
otoriter, sentralistik di dalam kekuasaan dan diwarnai oleh seorang pemimpin
dengan visi personal yang kuat. Soeharto sebenarnya tidak kharismatik,
bagaimanapun juga visinya j auh dari revolusioner (Liddle 1998 dalam Hidayat
2008).
Sejak penunjukan sebagai pejabat presiden tahun 1966, Soeharto telah
membangun institusi yang mendorong lahirnya proses pemerintahan yang
modern. Dalam perspektif politik, pemerintahan Soeharto telah menyederhanakan
partai politik menjadi tiga partai. Soeharto menganut paradigma pertumbuhan
ekonomi, maka ia memacu berbagai sektor seperti minyak bumi, kehutanan,
pertambangan, perkebunan, pertanian sebagai prioritas program pembangunan
rezim orde baru.
Pada situasi dan kondisi politik dan pemerintahan yang otoriter tersebut,
perumusan kebijakan penggunaan kawasan hutan dapat dilakukan tanpa hambatan
berarti, terlebih kebijakan tersebut merupakan amanat dari Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1976 yang pada intinya memprioritaskan usaha pertambangan
yang berada di atas lahan untuk keperluan sektor apapun. Sehingga kebijakan
penggunaan kawasan hutan tersebut dirumuskan dengan tujuan untuk membuka
peluang sektor lain (terutama pertambangan) melakukan kegiatannya di dalam
kawasan hutan dengan aman dan nyaman. Perumusan kebijakan penggunaan
kawasan hutan diarahkan dengan maksud dan tujuan untuk memuluskan jalan bagi
penyelenggaraan pembangunan yang pada akhirnya dapat mencapai pertumbuhan
ekonomi yang diharapkan.
Perkembangan kebijakan penggunaan kawasan hutan pada rezim orde baru
terjadi beberapa kali perubahan (perbaikan). Perubahan-perubahan peraturan
tersebut tidak pada hal-hal yang substansial dan tidak mengubah tujuan utama dari
kebijakan penggunaan kawasan hutan itu sendiri. Perubahan tersebut hanya pada
tata cara pengajuan, kelengkapan persyaratan permohonan izin, kewajiban
pemohon/pemegang izin, mekanisme monitoring dan evaluasi serta jangka waktu
izin pinjam pakai. Sedangkan bentuk izin tetap memberlakukan kompensasi lahan
bagi pemegang izin dengan mekanisme perjanjian pinjam pakai antara Menteri
Kehutanan dengan pemegang izin.
Pada tahun 1998 terjadi krisis ekonomi yang melanda hampir di sebagian
besar negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Nilai rupiah menjadi sangat
rendah terhadap dollar Amerika Serikat, perekonomian bangsa Indonesia terpuruk,
stabilitas politik terguncang dan situasi keamanan menjadi sangat kacau. Rakyat
Indonesia yang dimotori oleh mahasiswa menuntut Soeharto turun sebagai
presiden karena dianggap bertanggungjawab atas situasi negara yang chaos saat
itu.
Praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) menjadi alasan kuat rakyat
Indonesia pada saat itu untuk menggulingkan rezim Soeharto yang telah berkuasa
selama 32 tahun dan dianggap telah mengakibatkan kesengsaraan rakyat. Istilah
KKN menjadi populer dan menjadi agenda utama kaum reformis untuk segera
diberantas. Praktik korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara telah
47

menguras sumberdaya alam dan sumderdaya ekonomi negara sehingga anggaran


negara yang seharusnya digunakan untuk peningkatan kemakmuran rakyat tidak
mencapai sasaran. Sikap kolutif yang dilakukan penguasa dengan para pengusaha
hanya menguntungkan kedua belah pihak dan perilaku nepotis penguasa yang
lebih mementingkan anggota keluarga, kerabat dekat atau golongan tertentu untuk
memperoleh jabatan, prioritas utama, kemudahan-kemudahan serta kesempatan-
kesempatan dalam dunia usaha hanya memperparah penderitaan rakyat. Semangat
tersebut pada akhirnya berhasil meruntuhkan pemerintahan Soeharto pada tanggal
21 Mei 1998 yang disertai dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi disegala
bidang telah mengubah situasi politik dan pemerintahan saat itu.
Agenda reformasi yang diperkenalkan oleh BJ Habibie sebagai pengganti
Soeharto pada pertengahan tahun 1998, dikonsentrasikan pada demokratisasi, tata
kelola pemernintahan yang baik, akuntabilitas, desentralisasi, dan penghormatan
atas hak-hak asasi. Demokrasi memerlukan hubungan yang kuat antara
masyarakat sipil, keadaan politik dan kepercayanaan antara masyarakat, para
aktivis, politisi, pejabat pemerintah, membangun tata pemerintahan yang baik dan
akar rumput politik sampai tingkatan nasional. Sementara itu, desentralisasi
bertujuan mendorong pemerintahan lokal untuk menentukan dirinya sendiri
rencana berbagai aspek pembangunan, meningkatkan keterampilan dan
kemampuan aparatur pemerintahan untuk memberikan pelayanan kepada publik.
Ilmuwan politik menyetujui bahwa implementasi desentralisasi dapat
mempercepat pembangunan di banyak sektor, seperti ekonomi, pemberdayaan
masyarakat lokal, kesehatan, pendidikan dan infrastruktur. Jika dihubungkan
dengan pengelolaan sektor kehutanan, esensi desentralisasi adalah untuk
mendemokratisasi aparatur Kementerian Kehutanan melalui berbagai tingkatan
baik pusat maupun daerah, untuk menerapkan prinsip-prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik, yaitu transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas publik
(Hidayat 2008).
Semangat reformasi tersebut berimbas pada kebijakan-kebijakan di sektor
kehutanan, termasuk kebijakan penggunaan kawasan hutan. Perubahan kebijakan
yang utama adalah diterbitkannya Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan sebagai pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan yang telah berumur 32 tahun. Undang-
undang 41 Tahun 1999 bukan hanya memperbaharui kebijakan-kebijakan yang
mendasar dalam pengelolaan hutan di Indonesia, namun juga menimbulkan
permasalahan baru terkait dengan kebijakan penggunaan kawasan hutan. Masalah
tersebut berawal dari adanya ketentuan (pasal 38 ayat 4) bahwa penggunaan
kawasan hutan untuk sektor pertambangan di dalam kawasan hutan lindung (HL)
dilarang dengan sistem penambangan terbuka (open pit mining/surface mining).
Hal itu memaksa berbagai kalangan/aktor di dunia pertambangan komplain
dan mengajukan usulan untuk dilakukan review terhadap UU kehutanan tersebut,
mengingat berbagai alasan yang merugikan sektor pertambangan, tertutupnya
akses usaha pertambangan di kawasan hutan lindung diantaranya menurunnya
target produksi energi dan mineral, menurunnya investasi dan lain-lain.
Puncaknya, pada tahun 2004 terjadi salah satu momentum penting untuk
dunia kehutanan di Indonesia, yaitu ketika pemerintah yang pada akhirnya
melakukan amandemen terhadap UU Nomor 41 Tahun 1999 dengan
diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1
48

Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999


tentang Kehutanan yang selanjutnya disahkan sebagai UU melalui Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 tahun 2004
tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
menjadi undang-undang. Perubahan tersebut didasarkan pada diterimanya uji
materi (judicial review) terhadap UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
yaitu berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 033/PUU-III/2005
Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) menjelaskan bahwa sepanjang tahun
2004, perhatian banyak pihak tertuju pada Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) No. 1 tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang
No 41/1999 tentang Kehutanan. Pemerintah mengeluarkan Perpu tersebut karena
UU Kehutanan dianggap tidak memberi kepastian hukum bagi ijin pertambangan
di kawasan hutan lindung yang dikeluarkan sebelum UU No. 41/1999 tersebut
diberlakukan.
Perpu tersebut menuai kontroversi pro-kontra yang harus diselesaikan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada tahap awal, DPR menyatakan
mereka akan menolak Perpu tersebut. Namun, ada perubahan yang terjadi
secara cepat, dan akhirnya DPR menyetujui Perpu tersebut melalui voting
dalam rapat paripurna, dengan mengesahkan UU No. 19 tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Pada awal 2005 sejumlah aktivis
lingkungan mengajukan UU No. 19 tahun 2004 kepada Mahkamah Konstitusi
untuk uji formal dan material (judicial review).
Namun, permohonan uji materi tersebut di tolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Dengan tidak dipenuhinya permintaan para pemohon uji materi tersebut maka 13
perusahaan pertambangan yang telah mendapat izin menambang di hutan lindung
terus beroperasi dan disahkan melalui Keputusan Presiden No 41/2004. PP No
2/2008 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan-perundangan
sebelumnya, terutama yang berkaitan dengan penggunaan kawasan hutan.
Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004
tentang perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan yang berada di kawasan
hutan, disetujui 13 konsesi tambang yang berada di dalam kawasan hutan lindung
untuk melakukan kegiatan pertambangan dengan sistem pertambangan terbuka
dengan alasan bahwa ke-13 konsesi tersebut telah dikeluarkan izinnya oleh
pemerintah sebelum diterbitkannya UU 41 Tahun 1999.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan atas undang-
undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terbit melalui perjalanan pro-
kontra terhadap adanya opsi untuk memberikan ruang bagi kegiatan pertambangan
di dalam kawasan hutan lindung. Proses penyusunan Perpu ini juga melalui jalan
yang panjang dengan berbagai reaksi dari berbagai pihak.
Dalam kronologi pengesahan Perpu tersebut, Kartodihardjo dan Jhamtani
(2006) yang mengumpulkan informasi dari Advokasi Penyelamat Hutan Lindung
dan beberapa artikel dalam harian Kompas mengungkap adanya praktik politik
uang (suap). Sebanyak 29 mantan anggota DPR mengadakan konferensi pers dan
menyampaikan permohonan maaf atas keputusan Perpu Nomor 1 Tahun 2004
menjadi UU, karena prosesnya sarat dengan politik uang. Bambang Setyo dari
Fraksi-Partai Bulan Bintang, mantan anggota Pansus Perpu Hutan Lindung, dan
49

28 anggota DPR lain mengadakan konferensi pers untuk menyampaikan


permohonan maaf atas keputusan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 menjadi UU,
karena prosesnya sarat dengan politik uang. la menyampaikan permohonan maaf
yang sebesar-besarnya kepada rakyat Indonesia, khususnya masyarakat yang akan
terkena dampak akibat penambangan di hutan lindung. "Kami sudah berusaha
maksimal, tetapi ada kekuatan rakksasa yang menekan sehingga Perpu itu
lolos,"katanya. Salah seorang diantaranya mengaku pernah ditawari sejumlah
uang oleh anggota DPR dari fraksi lain, narnun ia menoiak. ―Waktu itu tiga hari
menjelang sidang paripurna, say ditawari 50 juta rupiah; Semakin dekat jumlah
tawaran makin meningkat” Mantan anggota Pansus Perpu Hutan Lindung dari
Fraksi Partai Golkar mengungkapkan hal senada. Saat pandangan mini fraksi di
Pansus, semua fraksi menolak kecuali Fraksi Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan. Tetapi ketika sidang paripurna, sebagian fraksi berubah sikap,
termasuk Fraksi Partai Golkar.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi Sumberdaya dan Mineral,
Kementerian Perekonomian dan Kementerian Keuangan berada pada satu kubu
untuk memperjuangkan izin pertambangan di dalam kawasan hutan lindung
dengan dalih pertumbuhan ekonomi dan kelangsungan pembangunan. Sementara
itu, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup berada di kubu
yang berseberangan untuk tetap mematuhi amanat Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 38 Ayat (4) bahwa pada kawasan hutan
lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
Sehingga dengan mengizinkan praktik pertambangan di dalam kawasan hutan
lindung secara terbuka, maka kebijakan tersebut telah melanggar Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999.
Pola penambangan terbuka di hutan lindung diperbolehkan sebagai bentuk
penyimpangan dari Pasal 38 ayat (4) Undang-Undang Kehutanan bagi 13
perusahaan tambang yang telah masuk dalam tahap eskplorasi, dan bagi
perusahaan yang masih dalam tahap studi kelayakan dan tahap eksplorasi,
diharuskan tunduk pada ketentuan Pasal 38 ayat (4) Undang-undang Kehutanan.
Pemerintah seakan terpaksa mengizinkan 13 perusahaan tambang beroperasi di
dalam kawasan hutan lindung secara terbuka. Hal itu tidak terlepas dari tekanan
pihak asing dalam hal ini para investor yang sebagian besar adalah investor asing.
Perusahaan-perusahaan asing yang telah menanamkan investasinya dalam jumlah
yang sangat besar dalam bentuk Kontrak Karya pertambangan maupun Perjanjian
Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang ditandatangani
sebelum Undang-undang 41 Tahun 1999 mempunyai kepentingan ekonomi dan
politik terhadap keberadaannya di wilayah Republik Indonesia. Sedangkan bagi
pemerintah sendiri hal itu menjadi buah simalakama, karena jika bersikukuh
melaksanakan amanat Undang-undang 41 Tahun 1999, maka akan kehilangan
investasi yang sangat besar dan berpeluang mendapatkan tuntutan dari Negara-
negara yang telah menanamkan modalnya di Indonesia untuk pertambangan
(arbitrase). Sedangkan jika mengizinkan praktik pertambangan di dalam kawasan
hutan lindung, maka hal itu sama saja dengan menjilat ludah sendiri karena
dengan terang-terangan melanggar Undang-undang 41 Tahun 1999.
Dalam telaahannya terhadap UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, Kartodihardjo (2008b) menjelaskan bahwa pemerintah masih
mentolerir diadakannya eksplorasi pertambangan dalam kawaan hutan produksi
50

dan hutan lindung (Pasal 38 ayat 1), meskipun terdapat batasan luas dan jangka
waktu serta kelestarian lingkungan (pasal 38 ayat 3), maupun adanya persetujuan
DPR untuk pemberian izin pinjam pakai yang berdampak penting dengan cakupan
luas. Dalam situasi beratnya kerusakan hutan di Indonesia, pasal ini dapat
memicu pertambahan kerusakan hutan di masa mendatang, apabila kepentingan
ekonomi melalui pertambangan tetap dinomor satukan baik oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah.
Untuk mengantisipasi perubahan tersebut, Kementerian Kehutanan
berreaksi cepat dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.12/Menhut-II/2004 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk
Kegiatan Pertambangan yang kemudian disusul dengan diterbitkanya Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan sebagai pedoman pelaksanaan dalam penggunaan kawasan hutan.
Pada awal tahun 2008, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 2008 tanggal 4 Pebruari 2008 tentang jenis dan tarif atas jenis
penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan
untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada
Departemen Kehutanan untuk mengakomodir keinginan semua pihak yang
berkepentingan dalam penggunaan kawasan hutan.
PP Nomor 2 Tahun 2008 ini juga menuai banyak kritik dan perhatian
hampir seluruh pemerhati kehutanan dan lingkungan, mengingat kawasan hutan
hanya dihargai Rp. 120 – 300/m2/tahun. Angka yang terlalu kecil untuk ukuran
sumberdaya alam yang dieksploitasi dan tingginya biaya pemulihan kerusakan
kawasan hutan.
Dewan Kehutanan Nasional (DKN) juga membahasnya dengan seluruh
kamar (chambers) dan menyampaikan pandangannya sebagai berikut (DKN 2008
diacu dalam Kartodihardjo 2008a):
1. Pemerintah perlu melakukan kajian menyeluruh (general review) tentang
kebijakan pertambangan, khususnya yang berada di dalam kawasan hutan. Hal
ini diperlukan untuk memberi kepastian pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam secara keseluruhan dan agar masyarakat mengetahui strategi
usaha tambang dalam jangka pendek maupun strategi pencadangan kekayaan
alam dalam jangka panjang.
2. Perlu dilakukannya penyempurnaan atas PP Nomor 2 Tahun 2008 dengan
memperhatikan perkembangan dan praktik-praktik pertambangan di lapangan,
melakukan kajian akademis, serta melibatkan berbagai pihak yang
berkepentingan sehingga tidak lagi terdapat perbedaan interpretasi dan sejalan
dengan tujuan untuk menyeimbangkan manfaat ekonomi, lingkungan dan
sosial dalam pelaksanaan penggunaan kawasan hutan bagi sektor lain di luar
kehutanan.
Kebijakan kehutanan di bidang penggunaan kawasan hutan pada dasarnya
merupakan kebijakan yang strategis sekaligus dilematis. Di satu sisi keberadaan
sumder daya pertambangan harus diakui keberadaannya, meskipun tidak harus
diberikan ruang untuk merusak kawasan hutan dengan alasan peningkatan sumber
daya ekonomi. Di sisi lain, keberadaan sumber daya hutan dan lahan dapat
dipastikan menjadi korban dari adanya kebijakn tersebut. Sebenarnya
kekhawatiran kerusakan sumber daya hutan akibat digulirkannya kebijakan
tersebut dapat ditekan jika masing-masing pihak mempunyai perilaku yang sesuai
51

dengan harapan para perumus kebijakan. Namun pada kenyataannya, harapan itu
masih jauh panggang dari api. Kebijakan tetap digulirkan dan dilaksanakan,
sumber daya tambang digali dan dieksploitasi, sementara sumber daya hutan
semakin terdegradasi dan terdeplesi.

3. Isu-isu Kunci Kebijakan

Diterbitkannya 3 (tiga ) Undang-undang tentang Penanaman Modal Asing,


Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan Undang-
undang Pokok Pertambangan pada waktu yang hampir bersamaam (tahun 1967)
merupakan salah satu upaya pemerintah untuk sesegera mungkin melaksanakan
pembangunan di segala bidang. Isu yang santer saat itu adalah kebijakan yang
diambil oleh pemerintah saat itu yaitu pertumbuhan ekonomi. Hampir semua
pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi. Sehingga kekayaan negara dalam bentuk sumberdaya alam diekploitasi
untuk menghasilkan pendapatan negara baik dari minyak dan gas bumi maupun
sektor-sektor lainnya.
Adanya momentum perubahan UU Nomor 5 Tahun 1967 menjadi UU
Nomor 41 Tahun 1999 menyebabkan adanya konflik kepentingan antara sektor
kehutanan dan pertambangan terkait dengan kegiatan pertambangan di dalam
hutan. Isu-isu yang mengemuka pada saat digulirkannya kebijakan penggunaan
kawasan hutan diantaranya adalah lahan kompensasi dan PNBP sebagai
penggantinya dan kewajiban pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan kepada
pemegang IUPHHK-HA/HT.
Setelah lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 yang
kemudian disusul dengan perangkat perundangan di bawahnya yaitu Permenhut
Nomor P.56/Menhut-II/2008 yang mengatur tata cara pembayaran PNBP untuk
izin pinjam pakai kawasan hutan. Sejatinya PNBP merupakan pajak atas
kerusakan yang diakibatkan oleh operasionalisasi pertambangan di dalam kawasan
hutan, bukan pajak atas luasan lahan yang dipinjam pakai oleh perusahanaan
pertambangan16. Kewajiban pembayaran PNBP merupakan hasil akhir dari upaya
pemerintah (cq Kementerian Kehutanan) untuk mendapatkan dana pengganti bagi
pemulihan kawasan hutan. Diawali dari ide pengenaan PNBP bagi pemegang izin
yang tidak dapat menyediakan lahan pengganti, sebagaimana yang termaktub
dalam Permenhut P.14/Menhut-II/2006 pasal 17 ayat (3) yang berbunyi :

―… Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun pemohon pinjam pakai


kawasan hutan tidak dapat menyerahkan lahan kompensasi, maka khusus
untuk pinjam pakai kawasan hutan yang bersifat komersial lahan
kompesasi diganti dengan dana yang dijadikan Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) Departemen Kehutanan yang besarnya 1% dari nilai harga
per satuan produksi dari seluruh jumlah produksinya…‖

Klausul tersebut menuai protes dari kalangan pengusaha tambang maupun


organisasi profesi yang bergerak di sektor pertambangan. Para pengusaha

16
Hasil wawancara tanggal 24 Juli 2013 Pukul 09.05 dengan Ir. Soetrisno, MM Mantan Kepala
Pusat Wilayah Pengelolaan Kawasan Hutan Periode 2006-2009 dan Mantan Direktur Jenderal
Planologi Periode 2009-2010
52

berpendapat bahwa pemenuhan kewajiban untuk menyediakan lahan kompensasi


sangat sulit untuk dipenuhi dan akan memakan waktu yang sangat lama,
sementara operasi produksi tambang mereka harus segera dilakukan mengingat
investasi yang telah ditanamkan sangat besar. Pendapat tersebut dipertegas oleh
Soetrisno17 sebagai berikut:

―…bottle necking di kehutanan sangat dianggap sangat serius pada jaman


Pak Yusuf Kalla, biaya transaksi untuk mengurus luar biasa besarnya
karena harus pakai lahan kompensasi, itu luar biasa karena ganti rugi tanah
tidak mudah, harus melewati dari ketua RT sampai dengan preman-
preman, akhirnya kita hilangkan, itu motong moral hazard yang luar biasa.
Kemudian dalam perjalananya setelah tidak ada lahan pengganti betul-
betul meningkat tambang itu luar biasa, signifikan…!‖

Pengusaha pertambangan juga merasa keberatan dengan klausul kewajiban


untuk memperoleh izin dari pemegang IUPHHK-HA/HT pada wilayah
pertambangan yang arealnya terdapat di dalam kawasan hutan yang telah memiliki
izin usaha pemanfaatan hasil hutan. Kewajiban ini menimbulkan praktik land
trading, yaitu adanya praktik dari oknum pemegang IUPHHK-HA/HT yang
mencari keuntungan dengan meminta sejumlah persyaratan diantaranya adalah
bagi hasil per satuan produksi terhadap hasil tambang dalam kawasan hutan,
mengganti rugi kawasan hutan per satuan luas, mengganti hasil hutan dengan nilai
yang tidak wajar, atau mengganti sewa prasarana jalan yang sudah dibangun oleh
pemegang IUPHHK-HA/HTIsu tersebut segera dieliminir oleh pemerintah dengan
menghilangkan persyaratan yang terdapat dalam pasal 7 butir a Permenhut
P.14/Menhut-II/2006 yang berbunyi :

―… dalam hal kawasan hutan yang dimohon berada di dalam wilayah kerja
Perum Perhutani atau telah dibebani Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu (IUPHHK) pada hutan alam atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan tanaman, maka harus mendapat
pertimbangan teknis dari Perum Perhutani atau pernyataan tidak keberatan
dari pemegang izin yang bersangkutan…‖

Klausul tersebut kemudian diubah dalam Permenhut P.64/Menhut-II/2006


yang bunyinya menjadi :

―… dalam hal kawasan hutan yang dimohon telah dibebani Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam atau Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan tanaman,
maka Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan memberikan
pertimbangan teknis dengan memperhatikan pengurangan produksi kayu
atau bukan kayu setinggi-tingginya 10% dari rencana kelestarian
pengelolaan hutan dan disertai pembebanan kewajiban kepada pemohon
untuk meningkatkan produktifitas hutan pada areal kerja unit pengelolaan
hutan tersebut...‖

17
Wawancara dilakukan pada tanggal 19 Juli 2013 Pukul 15.50
53

Namun permasalahan yang dikeluhkan oleh para pengusaha pertambangan


tidak sampai pada persoalan perlu tidaknya izin dari pemegang IUPHHK, namun
lebih jauh lagi pada nilai ganti rugi nilai tegakan dan biaya investasi yang harus
dibayarkan kepada pemegang IUPHHK.
Pada kubu yang berseberangan, pengusaha pemegang izin konsesi
pengusahaan hutan membantah keras tudingan para pelaku usaha pertambangan
bahwa mereka bersikap seperti dituduhkan pengusaha-pengusaha pertambangan.
Justru para pelaku usaha pertambangan harusnya rela mengeluarkan dana karena
itu demi kepentingan bersama. Tudingan soal adanya ‗pemalakan‘ oleh pemegang
izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) kepada pengusaha
pertambangan sejatinya adalah isu lama. Namun, kisah tersebut rupanya masih
berlanjut hingga kini. Tidak heran jika Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Mineral
Indonesia (Apemindo) Poltak Sitanggang masih mengeluhkan situasi tersebut18.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI),
Purwadi Soeprihanto19:

― … penggantian nilai investasi pada areal yang terkena beban izin pinjam
pakai kawasan hutan sejatinya adalah hal yang wajar. Karena kami sudah
menanamkan investasi yang tidak sedikit di situ. Pengusaha tambang harus
tahu diri juga, penggantian investasi IUPHHK jangan dianalogikan sebagai
pemalakan atau mengutip dana terhadap pengusaha pertambangan. Tentu
tidak pas jika istilahnya seperti itu …‖

Purwadi Soeprihanto menjelaskan bahwa pemegang IUPHHK dengan


tangan terbuka bisa menerima adanya kegiatan pertambangan di areal
pengelolaannya. Meski kegiatan pertambangan tersebut harus diakui memberi
pengaruh besar terhadap perencanaan kelestarian pengelolaan hutan. Oleh sebab
itu, para pelaku usaha pertambangan diminta untuk bisa memahami kegiatan
operasi kegiatan pengusahaan hutan, khususnya terkait kelestarian hutan. Akan
lebih baik kalau pengusaha pertambangan bisa bersama dengan kami saling
mendukung pengelolaan hutan lestari demi kemakmuran bangsa.
Saling dukung juga diminta APHI terkait penggunaan jalan logging untuk
kegiatan pertambangan. Purwadi meminta agar pengusaha pertambangan mau
berbagi beban biaya pemeliharaan jika jalan logging yang dibangun tersebut
dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan. Semakin banyak yang menggunakan
tentu semakin membutuhkan biaya pemeliharaan.
Pada kenyataannya, teridentifikasi adanya praktik ‗pemaksaan‘ terhadap
sebuah perusahaan pertambangan di Provinsi Kalimantan Selatan yang telah
memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan dimana wilayah tambangnya berada di
sebuah IUPHHK-HT oleh pemilik IUPHHK-HT. Pemegang IUPHHK-HT
tersebut membuat MoU dengan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan
terkait dengan penggunaan jalan logging yang berada di areal kerjanya sepanjang
kurang lebih 2 km dengan kewajiban menyisihkan US$ 1.2 setiap ton produksi

18
Majalah Agroindonesia. 2013 April 2. Tambang harusnya tahu diri. Diakses di
http://agroindonesia.co.id/2013/04/02/tambang-harusnya-tahu-diri/ pada tanggal 12 Januari
2014
19
ibid
54

bahan tambang yang dikapalkan. Menurut pengakuan staf perusahaan tambang


tersebut, rata-rata produksi yang bisa dikapalkan adalah 385.000 ton, sehingga
dengan perhitungan sederhana setiap tahunnya perusahaan tambang tersebut harus
menyetorkan ‗biaya pemeliharaan‘ kepada pemegang IUPHHK-HT tersebut
sebesar kurang lebih 66,528 milyar rupiah dengan asumsi nilai US$ 1 adalah Rp.
12.000,-. Perusahaan tambang juga mengeluhkan kenyataan di lapangan bahwa
perusahaan pemegang IUPHHK-HT tersebut tidak melakukan kegiatan
pemeliharaan jalan sebagaimana perjanjian diantara mereka, sehingga perusahaan
tambang tersebut terpaksa harus melakukan pemeliharaan logging tersebut demi
kelancaran dan kelangsungan produksinya20.
Menyikapi pendapat para pengusaha yang diwakili oleh Direktur Eksekutif
Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto dan
ditemukannya fakta di lapangan yang bertolak belakang, rasanya perlu dicarikan
jalan keluarnya, mengingat di satu sisi pemegang IUPHHK-HA/HT perlu
diperhatikan keberadaannya di sisi lain terdapat praktik-praktik kotor yang jamak
dilakukan oleh oknum-oknum pemegang IUPHHK-HA/HT. Pemerintah tidak
dapat mengontrol semua hal yang terkait dengan implementasi kebijakan
penggunaan kawasan hutan di lapangan, namun pemerintah bisa mengantisipasi
atau meminimasi dampak negatif dari kebijakan yang telah digulirkan.
Untuk mencermati isu-isu lain yang berkembang, tindak lanjut pemerintah
dalam menanggapi isu dan produk kebijakan yang kemudian dikeluarkan
pemerintah secara lengkap dapat dilihat dalam matriks pada Tabel 7.

Tabel 7 Matriks perkembangan isu, tindak lanjut dan produk kebijakan


penggunaan kawasan hutan

No Isu21 Tindak Lanjut Produk Kebijakan


1 Pertumbuhan ekonomi Eksploitasi sumberdaya alam - UU Nomor 1 Tahun 1967 jo UU 11 Tahun 1970
untuk percepatan tentang Penanaman Modal Asing,
pembangunan di segala - UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
bidang ketentuan Pokok Kehutanan
- UU Nomor 11 Tahun 1967 Pokok Pertambangan
dan Undang-undang
- UU Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman
Modal Dalam Negeri
2 Sebagian besar wilayah Pengaturan penggunaan - Inpres Nomor 1 Tahun 1976
pertambangan berada di kawasan hutan untuk sektor - SK Dirjen Kehutanan Nomor 64/Kpts/DJ/I/78
dalam kawasan hutan lain untuk optimalisasi Tanggal 23 Mei 1978
pemanfaatan sumberdaya
alam
3 Pertambangan di dalam Di izinkan hanya dengan pola - Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan
kawasan hutan lindung penambangan tertutup/ atas undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tambang bawah tanah
(underground mining) - Permenhut Nomor P.12/Menhut-II/2004 tentang
tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung
untuk Kegiatan Pertambangan
- Perpres RI Nomor 28 Tahun 2011 Tentang
Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk

20
Berdasarkan hasil Diskusi dan Observasi Lapangan tanggal 23-27 Oktober 2013
21
Berdasarkan hasil wawancara, studi literature dan pengalaman penulis selama menjadi
staff/pegawai di Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan, Direktorat Planologi Kehutanan,
Kementerian Kehutanan tahun 2006-2009.
55

Penambangan Bawah Tanah

Lanjutan Tabel 7.
No Isu22 Tindak Lanjut Produk Kebijakan
4 Kebijakan energi Optimalisasi pemanfaatan PP Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi
nasional sumber-sumber energi dan Nasional
pertambangan Permenhut Nomor P.14/Menhut-II/2006 tentang
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
5 Land trading23 yang Pemerintah mengganti Permenhut P.64/Menhut-II/2006 tentang Perubahan
disebabkan oleh kewajiban adanya izin dari Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-
kewajiban pemohon izin pemegang IUPHHK dengan II/2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan
pinjam pakai kawasan MoU antara kedua belah Hutan
hutan memperoleh izin pihak
dari pemegang IUPHHK
6 Sulitnya mencari lahan Pengganti lahan kompensasi Permenhut P.64/Menhut-II/2006 tentang Perubahan
pengganti kompensasi berupa lahan kompesasi Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-
diganti dengan dana yang II/2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan
dijadikan Penerimaan Negara Hutan
Bukan Pajak (PNBP)
Departemen Kehutanan yang
besarnya 1 % dari nilai harga
per satuan produksi dari
seluruh jumlah produksinya
7 Pengganti lahan Pembahasan penetapan - PP Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tentang Jenis
kompensasi berupa lahan besaran PNBP sebagai dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
kompesasi diganti pengganti lahan kompensasi pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan
dengan dana yang untuk pinjam pakai kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar
dijadikan Penerimaan hutan bersama Kementerian Kegiatan yang Berlaku pada Departemen
Negara Bukan Pajak Perekonomian dan Kehutanan
(PNBP) Departemen Kementerian ESDM
Kehutanan yang - Permenhut Nomor P.56/Menhut-II/2008 tentang
besarnya 1 % dari nilai Tentang Tata Cara Penentuan Luas Areal
harga per satuan Terganggu dan Areal Reklamasi dan Revegetasi
produksi dari seluruh untuk Perhitungan Penerimaan Negara Bukan
jumlah produksinya Pajak Penggunaan Kawasan Hutan

8 Adanya batasan luas Perubahan proporsi luas izin Permenhut P.43/Menhut-II/2006 tentang Pedoman
pada kawasan hutan yang pinjam pakai kawasan hutan Pinjam Pakai Kawasan Hutan
telah memiliki IUPHHK yang diperbolehkan di dalam
sangat membatasi ruang kawasan hutan yang telah
gerak kegiatan memiliki IUPHHK
pertambangan di dalam
kawasan hutan
9 Jangka waktu izin pinjam Disesuaikan dengan masa Permenhut P.43/Menhut-II/2006 tentang Pedoman
pakai kawasan hutan berlaku izin pertambangan Pinjam Pakai Kawasan Hutan
yang terlalu pendek
10 Degradasi kawasan hutan Moratorium izin pinjam pakai - Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tentang
dan REDD+ kawasan hutan Penundaan Pemberian Izin Baru dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer
dan Lahan Gambut
- Inpres Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tentang
Penundaan Pemberian Izin Baru dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer

22
Berdasarkan hasil wawancara, studi literature dan pengalaman penulis selama menjadi
staff/pegawai di Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan, Direktorat Planologi Kehutanan,
Kementerian Kehutanan tahun 2006-2009.
23
Perilaku oknum pemegang IUPHHK yang melakukan pungutan kepada pemegang IPPKH atas
kawasan hutan yang dipinjam pakai
56

dan Lahan Gambut : memperpanjang penundaan


untuk masa waktu 2 tahun ke depan
Dalam perkembangannya, muncul isu-isu lainnya terkait dengan
implementasi kebijakan penggunaan kawasan hutan di lapangan, yaitu :
- Kelestarian pada areal kawasan hutan yang telah memiliki IUPHHK
- Kenaikan tarif PNBP penggunaan kawasan hutan
- Kewajiban rehabilitasi DAS dan sulitnya mencari areal rehabilitasi DAS.
- Uji Materi Permenhut terkait dengan pembatasan luas IPPKH dalam satu
wilayah pengelolaan kawasan hutan maksimal 10% (Kasus Kalsel)

4. Proses Pembentukan Kebijakan

Adanya konflik pertambangan di dalam kawasan hutan, menimbulkan


situasi politik yang tidak nyaman. Banyak aktor dan kepentingan yang muncul ke
permukaan untuk memuluskan jalan bagi diizinkannya praktik penambangan di
dalam kawasan hutan dan dirumuskan sekaligus ditetapkannya kebijakan
penggunaan kawaan hutan.
Kebijakan penggunaan kawasan hutan pertama kali terbit pada tahun 1978
dalam bentuk SK Dirjen Kehutanan Nomor No 64/Kpts/DJ/I/1978 tentang
Pedoman Pinjam Pakai Tanah Kawasan Hutan. Tidak ada informasi apapun yang
dapat diperoleh tentang proses perumusan kebijakan tersebut. Namun, jika melihat
konteks politik dan pemerintahan saat itu maka diprediksi bahwa kebijakan
tersebut dirumuskan oleh internal Direktorat Jenderal Kehutanan-Departemen
Pertanian saat itu. Sementara aktor-aktor yang terkait dengan kebijakan tersebut
didominasi oleh eksekutif dengan tujuan utama pertumbuhan ekonomi dan
tercapainya pembangunan nasional .
Sementara perumusan kebijakan penggunaan kawasan hutan pasca rezim
orde baru dilakukan oleh internal Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan (Ditjen
Planologi). Dalam prosesnya, perumusan kebijakan tersebut didahului oleh
pengumpulan data dan informasi dari berbagai pihak terkait dengan penggunaan
kawasan hutan. Saat itu, menurut Soetrisno24, Ditjen Planologi aktif
mengumpulkan data dan informasi serta isu-isu yang berkembang saat itu, baik di
daerah-daerah maupun di kesempatan-kesempatan forum seminar, workshop,
diskusi dan lain-lain. Hal itu dilakukan untuk melihat realitas permasalahan dan
isu yang berkembang di tengah-tengah para pihak.
Ditjen planologi dalam beberapa kesempatan melibatkan beberapa pihak
(aktor) yang berkompeten terkait dengan permasalahan dan isu yang berkembang,
seperti Kementerian ESDM, Kementerian Perekonomian, Ditjen Bina Usaha
Kehutanan (BUK), Ditjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan
Sosial (BPDASPS), dan beberapa perusahaan pertambangan untuk memberikan
saran dan masukan terutama dalam aspek teknis. Sementara aktor-aktor lainnya
seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Himpunan Profesi Kehutanan
maupun Pertambangan jarang dilibatkan.
Meskipun terdapat beberapa aktor/pihak, dalam proses perumusan
kebijakan penggunaan kawasan hutan nyaris tidak ada perdebatan yang berarti
terkait dengan adanya perbedaan kepentingan maupun diskursu/narasi yang
diusung oleh masing-masing aktor. Hal itu disebabkan oleh adanya kesamaan
24
Wawancara pada tanggal 24 Juli 2013 Pukul 09.05
57

maksud dan tujuan untuk menyusun peraturan tentang penggunaan kawasan hutan
sebagai amanat dari peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya,
sehingga para aktor hanya berperan memberikan saran dan pertimbangan baik
dalam aspek teknis maupun non teknis.
Terkait dengan analisis kebijakan, menurut Sutton (1999) a rus utama dalam
pembuatan kebijakan yang berjalan saat ini biasa disebut sebagai model linier,
model rasional, atau common-sense. Dalam pembuatannya mengandalkan hasil
analisis rasional dan dianggap sebagai sesuatu yang rasional, berimbang, objektif
dan analitis. Dalam model ini, keputusan dibuat dalam serangkaian tahap yang
berurut mulai dari merumuskan isu dan masalah dan diakhiri sejumlah kegiatan
untuk memecahkan masalah tersebut. Meskipun proses perumusan kebijakan
penggunaan kawasan hutan didahului dengan pengumpulan data dan informasi,
pemahaman isu dan permasalahan serta dilanjutkan dengan penetapan kebijakan
sebagai sebuah pengambilan keputusan, namun kebijakan ini belum dapat
dikatakan mengikuti model linear sebagaimana yang dikemukanan oleh Sutton
(1999).
Mencermati dari proses perumusan kebijakan penggunaan kawasan hutan
bisa dikatakan bahwa model dari kebijakan ini adalah model inkrementalis atau
model tahap demi tahap (incrementalist model). Kebijakan penggunaan kawasan
hutan telah mengalami delapan kali pergantian dan tujuh kali perubahan (revisi)
terkait dengan isu atau masalah yang mengemuka saat itu. Proses pembuatan
kebijakan ini cenderung mengikuti tindakan serial. Apabila terdapat kesalahan
dikemudian hari akan kembali dilihat masalahnya dan kemudian diperbaiki.
Proses tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Sutton (1999)
bahwa dalam model inkrementalis, kebijakan baru hanya mengubah hal-hal kecil
dari kondisi sebelumnya. Biasanya pembaruan kebijakan ditetapkan berdasarkan
satu hal yang dianggap paling penting. Penetapan kebijakan seperti ini dianggap
tidak optimal. Suatu penetapan kebijakan dianggap optimal apabila disepakati
oleh segenap pihak yang berkepentingan dan bukan sekedar dikatakan oleh pihak
tertentu sebagai kebijakan paling baik untuk dapat menyelesaikan masalah.
Mencermati perjalanan kebijakan penggunaan kawasan hutan yang sering
mengalami perubahan sebagai respon dari adanya isu-isu yang menyertainya
menguatkan sinyalemen seorang peserta pelatihan proses pembuatan kebijakan di
Afrika (IDS 2006) yang dikutip oleh Kartodihardjo (2008a) sebagai berikut :

―…Proses pembuatan kebijakan sangat dinamis dan apa yang diketahui


saat ini dapat berbeda dengan apa yang telah terjadi pada waktu
sebelumnya. Kebijakan itu hidup dan perlu ruang untuk beradaptasi
terhadap situasi baru...‖

Kartodihardjo (2008) menjelaskan bahwa dalam menetapkan kebijakan


kehutanan yang semestinya menjadi perhatian adalah masalah kelembagaan.
Termasuk di dalamnya mencakup analisis aktor yang berkepentingan dalam
pembuatan kebijakan, pengertian dan pengetahuan yang digunakan, informasi
yang tersedia, maupun proses pembuatan kebijakan itu sendiri. Dengan demikian
masalah kebijakan mempunyai lingkup lebih luas dan tidak sekedar pengetahuan
teknis mengenai obyek yang diatur. Kebijakan juga tidak dapat diartikan sebatas
peraturan-perundangan, melainkan solusi atas masalah yang terjadi di lapangan.
58

Hasil pencermatan terhadap peraturan perundang-undangan terkait konteks


politik dan pemerintahan dan hubungannya dengan terbitnya kebijakan
penggunaan kawasan hutan, dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) periode sebagai
berikut:

Periode Penggunaan

Meskipun Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-


kentetuan Pokok Kehutanan lahir pada tahun 1967, namun pada saat itu belum ada
kebijakan pengaturan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan sektor lain
secara jelas, terlebih dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Instruksi
presiden Nomor 1 tahun 1976 yang memprioritaskan sektor pertambangan di atas
sektor-sektor lain menjadi sumber acuan kebijakan pemerintah saat itu terkait
dengan penggunaan lahan/tanah di Indonesia. Kebijakan tersebut kemudian di
akomodir oleh Departemen Pertanian saat itu dengan menerbitkan SK Dirjen
Kehutanan No 64/Kpts/DJ/I/1978 tentang Pedoman Pinjam Pakai Tanah Kawasan
Hutan. SK Dirjen Kehutanan tersebut merupakan cikal bakal lahirnya terminologi
―pinjam pakai‘ untuk penggunaan kawasan hutan bagi kepentingan sektor-sektor
lainnya.
Pada masa ini sistem yang berlaku adalah ―perjanjian‖ pinjam pakai yang
berlandaskan pada beberapa Surat Keputusan sebagai berikut :
1. Surat Keputusan Bersama Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri
Kehutanan Nomor 0120.K/10/M.PE//1984, 029/Kpts-II/1984 tentang Pedoman
Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi dalam Kawasan
Hutan
2. Surat Keputusan Bersama Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri
Kehutanan Nomor 969.K/05/M.PE/1989, 429/Kpts-II/1989 tentang Pedoman
Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi dalam Kawasan
Hutan
3. SKB Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor
1101K/702/M.FE/1991; 436/Kpts-II/1991 tentang Pembentukan Team
Koordinasi Tetap Departemen Pertambagan dan Energi dan Departemen
Kehutanan dan Perubahan Tata Cara Pengajuan Izin Usah Pertambangan dan
Energi dalam Kawasan Hutan
4. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 jo. Nomor
614/Kpts-II/1997 jo Nomor 720/Kpts-II/1998 tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan
Konten dalam peraturan-peraturan tersebut diatas hanya fokus pada
pengaturan permohonan penggunaan kawasan hutan dan mekanisme perjanjian
pinjam pakai kawasan hutan. Meskipun tersurat beberapa aturan lainnya seperti
kewajiban menyediakan lahan pengganti (kompensasi), reboisasi, reklamasi dan
revegetasi sebagai upaya pemerintah untukmengendalikan dan memulihkan
kawasan hutan , namun klausul itu tidak diimplementasikan dengan baik pada saati
itu. Sehingga pada periode ini kebijakan terfokus pada pengaturan penggunaan
kawasan hutannya saja.
59

Periode Pengendalian dan Pemulihan

Pada periode ini pemerintah mulai membatasi sekaligus mengendalikan


penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan sektor lain. Polemik penggunaan
kawasan hutan di dalam kawasan hutan lindung sampai pada perubahan Undang-
undang Nomor 41 Tahun 1999. Terbitnya UU No 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU 41 tahun 1999
menjadi UU merupakan tonggak sejarah penting dalam perkembangan kebijakan
penggunaan kawasan hutan, terutama untuk kegiatan pertambangan. Pada periode
ini pula Kementerian Kehutanan menerbitkan Permenhut Nomor P.12/Menhut-
II/2004 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Kegiatan
Pertambangan dan Permenhut P.14/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Pinjam
Pakai Kawasan Hutan yang secara garis besar berisi prosedur dan mengatur izin
pinjam pakai kawasan hutan.
Pada periode ini penggunaan kawasan hutan telah diatur sedemikian rupa
dengan tujuan untuk membatasi dan mengatur (pengendalian) penggunaan
kawasan hutan. Pengendalian penggunaan kawasan hutan dilakukan dengan
menambah kewajiban pemohon untuk melengkapi berbagai syarat administratif
dan teknis serta pemenuhan kewajiban-kewajiban dalam tahap persetujuan prinsip
maupun izin pinjam pakai. Dalam P.14/Menhut-II/2006 jo P.64/Menhut-II/2006
telah dibatasi penggunaan kawasan hutan terutama pada kawasan hutan yang telah
mempunyai izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) antara 3 -10%
(tergantung pada luas IUPHHK-nya) yang kemudian dirubah menjadi 10% pada
P43/Menhut-II/2008 untuk semua luas IUPHHK serta kewajiban untuk
mendapatkan surat tidak keberatan dari pemegang IUPPHK. Pemohon juga tetap
diwajibkan menyediakan lahan kompensaswi yang telah direboisasi dan apabila
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun hutan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut
(untuk pinjam pakai kawasan hutan yang bersifat komersial) kewajiban tersebut
diganti dengan dana yang dijadikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
Kementerian Kehutanan yang besarnya 1% dari harga per satuan produksi dari
seluruh jumlah produksinya. Klausul tersebut menjadi cikal bakal diwajibkannya
membayar PNBP bagi pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan.
Pemerintah telah mewajibkan para pemegang IPPKH untuk mereklamasi
dan merehabilitasi kawasan hutan yang dipinjam pakai sejak diterbitkannya
kebijakan penggunaan kawaan hutan. Namun demikian pemerintah melalui PP
Nomor 24 Tahun 2010 jo. PP Nomor 61 Tahun 2012 tentang PKH menambah
kewajiban kepada pemegang IPPKH untuk merehabilitasi daerah aliran sungai
sesuai dengan rasio luas minimal 1:1 terhadap luas areal yang dipinjam pakai,
baik bagi kepentingan komersial maupun non komersial, kecuali untuk
kepentingan pertahanan negara, sarana keselamatan lalu lintas laut dan udara, cek
dam, embung, sabo dan sarana metereologi, klimatologi dan geofisika. Pemerintah
juga berusaha untuk meningkatkan kontrol pelaksanaan kegiatan pemegang
IPPKH di lapangan dengan menerbitkan Surat Keputusan Direktur Jenderal
Planologi Nomor 15/VII-PKH/2012 tentang petunjuk teknis pelaksanaan
monitoring dan evaluasi penggunaan kawasan hutan. Upaya tersebut bertujuan
untuk memulihkan kawasan hutan yang terdegradasi baik oleh aktivitas
pertambangan, penebangan liar, perambahan, kebakaran hutan di dalam DAS
dimana areal pemegang IPPKH berada.
60

5. Proses Implementasi Kebijakan

Proses implementasi kebijakan penggunaan kawasan hutan dianalisis


dengan mengidentifikasi aksi-aksi implementasi kebijakan terkait untuk output,
outcome, dan dampak atas capaian penggunaan kawasan hutan. Juga respon para
pihak terhadap kebijakan penggunaan kawasan hutan. Langkah ini juga akan
digunakan sebagai bahan dalam menganalisis kesenjangan (gap) kebijakan.
Selengkapnya, proses dan hasil kajian implementasi kebijakan penggunaan
kawasan hutan akan diuraikan pada bagian/bab selanjutnya.

6. Arah Kebijakan yang Akan Datang

Dari perjalanan sejarah dan perubahan-perubahan peraturan perundang-


undangan PKH yang terjadi dapat ditarik benang merah bahwa kebijakan PKH
dirumuskan atas dasar tekanan dari pihak di luar kementerian kehutanan, baik
tekanan secara politik maupun ekonomi. Perubahan yang terjadi dari waktu ke
waktu tidak mengubah tujuan dan inti dari kebijakan PKH tersebut. Namun,
dalam satu dekade terakhir, perubahan-perubahan yang terjadi menggambarkan
arah positif yang bertujuan untuk membatasi dan mengendalikan IPPKH.
Arah kebijakan yang akan datang masih berkisar pada penyempurnaan
peraturan perundang-undangan, peningkatan pendapatan negara bukan pajak,
pengaturan pengawasan dan pengendalian, dan pengaturan yang berhubungan
dengan proses pemulihan.

Simpulan

Kebijakan penggunaan kawasan hutan (PKH) merupakan kebijakan yang


dikeluarkan oleh kementerian kehutanan untuk mengakomodir adanya
kepentingan sektor lain di dalam kawasan hutan. Pengaturan dan pelaksanaan
kebijakan ini mulai dirumuskan pada tahun 1978 dengan diterbitkannya SK
Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 64/Kpts/DJ/I/1978 tentang pedoman pinjam
pakai tanah kehutanan. SK Dirjen Kehutanan tersebut merupakan respon terhadap
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976. Inpres tersebut merupakan landasan
hukum yang sangat kuat bagi sektor pertambangan. Dengan inpres tersebut sektor
pertambangan menjadi superior terhadap sektor lainnya. Posisi sektor kehutanan
sangat lemah dalam berbagai kesempatan pengambilan kebijakan terkait dengan
aktifitas sektor pertambangan di dalam kawasan hutan.
Sejarah panjang perkembangan kebijakan PKH mengalami dua
periodisasi/fase, yaitu periode penggunaan (1978-2004) dan periode pengendalian
dan pemulihan (2004-sekarang). Pada periode penggunaan, kebijakan lebih
menitikberatkan pada pengaturan penggunaan kawasan hutan. Sedangkan pada
disusul periode pengendalian dan pemulihan kebijakan mulai mengatur
pembatasan-pembatasan luas yang bertujuan untuk mengendalikan aktifitas
pertambangan dan pengaturan upaya-upaya pemulihan kawasan hutan.
Mencermati dari proses perumusan kebijakan penggunaan kawasan hutan
bisa dikatakan bahwa model dari kebijakan ini adalah model inkrementalis atau
model tahap demi tahap (incrementalist model). Pemerintah telah beberapa kali
61

melakukan penggantian dan/atau merevisi peraturan-peraturan terkait dengan


kebijakan PKH. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan
dengan situasi politik, pemerintahan, kebijakan-kebijakan maupun isu-isu yang
berkembang.
Berbagai tonggak kunci yang menyertai perumusan dan perkembangan
kebijakan PKH antara lain; lahirnya undang-undang kehutanan, undang-undang
pertambangan, undangan-undang penanaman modal asing dan dalam negeri,
Inpres Nomor 1 Tahun 1976, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 dan
revisinya, kebijakan energi nasional dan moratorium izin penggunaan kawasan
hutan. Tonggak kunci tersebut tidak lepas dari sistem politik dan pemerintahan
yang berkuasa pada saat itu.
Perumusan kebijakan PKH menjadi tugas kehutanan, sehingga dalam
prosesnya kurang melibatkan pihak lain di luar kehutanan. Meskipun demikian,
dalam beberapa kesempatan kementerian kehutanan mengundang pihak lain
namun sebatas sebagai narasumber atau information sharing saja. Para pihak
tidak mempunyai kekuatan (power) yang berarti sebagai bagian pengambil
keputusan dalam perumusan kebijakan PKH.
62

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN

Pendahuluan

Kebijakan kehutanan di bidang PKH pada dasarnya merupakan kebijakan


yang strategis sekaligus dilematis. Di satu sisi keberadaan sumder daya
pertambangan harus diakui keberadaannya, meskipun tidak harus diberikan ruang
untuk merusak kawasan hutan dengan alasan peningkatan sumber daya ekonomi.
Di sisi lain, keberadaan sumber daya hutan dan lahan dapat dipastikan menjadi
korban dari adanya kebijakan tersebut. Kekhawatiran kerusakan sumber daya
hutan akibat digulirkannya kebijakan tersebut dapat ditekan jika masing-masing
pihak mempunyai perilaku yang sesuai dengan harapan para perumus kebijakan.
Namun pada kenyataannya, kebijakan tidak selalu dapat diterapkan dengan baik
sesuai rencana dan target yang telah ditetapkan. Kebijakan tetap digulirkan dan
dijalankan, sumber daya tambang digali dan dieksploitasi, sementara sumber daya
hutan semakin terdegradasi.
Pada umumnya antara penelitian kebijakan dan analisis kebijakan tidak
dibedakan dengan jelas, bahkan penggunaan kedua istilah ini sering dipertukarkan
karena menunjuk pada makna yang sama. Muhadjir (2004) dalam Nugroho (2009)
menyatakan bahwa penelitian kebijakan sama dengan kegiatan analisis kebijakan.
Desain penelitian kebijakan merentang dari policy research dan action research,
evaluation research yang mencakup policy evaluation dan research of program
planning. Teknik analisis kebijakan meliputi beragam teknis pengamanan sampai
ragam analisis kepentingan publik.
Isi kebijakan menurut Grindle (1980), mencakup kepentingan yang
terpengaruh oleh kebijakan, jenis manfaat yang akan dihasilkan, derajat perubahan
yang diinginkan, kedudukan pembuat kebijakan, pelaksana program, dan sumber
daya yang dikerahkan. Sementara itu, konteks implementasinya antara lain (1)
kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga
dan penguasa dan (3) kepatuhan dan daya tanggap.
Sutton (1999) menjelaskan bahwa salah satu sebab hambatan perubahan
kebijakan adalah terdapatnya narasi kebijakan dan diskursus, sebagai penyebab
terwujudnya kondisi sulit bagi tumbuhnya inovasi baru dalam pembuatan
kebijakan. Kondisi tersebut akibat dari akumulasi pengaruh dalam pembuatan
kebijakan, misalnya pengetahuan dan bahkan keyakinan yang sudah usang,
adanya kepentingan kelompok tertentu, kurang informasi yang diperlukan untuk
mengungkap suatu fenomena, pemimpin yang tidak mengambil peran yang
seharusnya, perorangan yang dapat mengubah hasil-hasil kesepakatan dalam
pembuatan kebijakan (street level bureaucracy) maupun keterlanjuran yang tidak
mungkin diubah saat itu (sunk cost effect). Hal-hal tersebut dijumpai dalam
pembuatan kebijakan dari telaah ketiga kasus diatas, dan bahkan terjadi di negara-
negara yang mengalami degradasi sumberdaya alam (Sutton, 1999).
Sementara itu, banyak pakar menilai bahwa implementasi kebijakan
merupakan tahapan yang paling sulit dari keseluruhan siklus kebijakan. Grindle
(1980) meramalkan bahwa dalam setiap implementasi kebijakan, pemerintah pasti
63

dihadapkan pada banyak kendala, terutama yang berasal dari lingkungan (konteks)
di mana kebijakan itu akan diimplementasikan.
Grindle (1980) menjelaskan bahwa implementasi kebijakan ditentukan
oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa
setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan.
Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut.
Sementara Dye (1995) menyebutkan bahwa suatu sistem kebijakan (policy
system) mencakup hubungan timbal balik antara tiga unsur/komponen utama yang
dianggap mempengaruhi kinerja implementasi, yaitu (1) kebijakan, (2)
implementor dan kelompok target dan (3) Iingkungan. Oleh karena itu, analisis
proses implementasi kebijakan PKH ini akan difokuskan kepada tiga komponen
utama tersebut.
Sedangkan Nugroho (2009) menyarankan prinsip lima tepat dalam
mengukur efektifitas implementasi sebuah kebijakan. Pertama, apakah
kebijakannya sendiri sudah tepat. Ketepatan kebijakan ini dinilai dari sejauh mana
kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah
yang hendak dipecahkan. Tepat yang kedua adalah tepat pelaksananya. Tepat
yang ketiga adalah tepat target, tepat yang keempat adalah tepat lingkungan dan
tepat yang kelima adalah tepat proses.
Efektifitas implementasi suatu kebijakan dapat terjadi hanya apabila
kebijakan dirumuskan atas dasar masalah yang tepat serta terdapat kemampuan
menjalankan solusinya di lapangan (Dunn, 2003). Terkait dengan perumusan
kebijakan PKH dan mengacu pada pendapat Dunn (2003) tersebut, pertanyaan
utama yang melatarbelakangi kajian kebijakan PKH ini adalah sejauh mana
efektifitas implementasi kebijakan PKH, atau dengan kata lain bagaimana kinerja
kelembagaan yang terbangun dari pelaksanaan kebijakan PKH ini.

Tujuan

Dari pertanyaan utama penelitian tersebut di atas dirumuskan beberapa


tujuan penelitian dalam bab ini yaitu:
1. Menganalisis implementasi kebijakan PKH
2. Mengetahui respon perusahaan tambang terhadap kebijakan PKH, dan
3. Mengetahui kinerja kebijakan PKH

Metode Analisis

Analisis Implementasi Kebijakan

Analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa
analisis yang akan mendukung proses analisis implementasi kebijakan PKH untuk
pertambangan. Kabijakan PKH merupakan kebijakan yang bersifat top-down
untuk mengatur operasionalisasi pertambangan dan sektor lainnya di dalam
kawasan hutan. Analisis implementasi kebijakan PKH difokuskan pada pendapat
Nugroho (2009) dengan mengkaji 5 indikator ‗tepat‘ yaitu: tepat kebijakan, tepat
pelaksanaan, tepat target, tepat lingkungan dan tepat proses. Dengan demikian,
semua analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan alat (tools)
untuk mengungkap fakta dan membedah permasalahan serta hambatan dalam
64

implementasi PKH dan memenuhi kriteria-kriteria yang ada dalam lima indikator
‗tepat‘ tersebut.

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PKH


TEPAT KEBIJAKAN TEPAT PELAKSANAAN

ANALISIS GAP
(ANALISIS ASUMSI)

PRINCIPAL KEBIJAKAN AGENT

TEPAT TARGET
TEPAT PROSES

PEMERINTAH
TEKS PERATURAN ANALISIS
DAERAH & UPT
PERUNDANGAN RESPON

PEMERINTAH KONTRAK PERUSAHAAN

HAK DAN
ANALISIS PARA KEWAJIBAN ANALISIS BIAYA
PIHAK TRANSAKSI

TEPAT LINGKUNGAN

Gambar 5 Kerangka analisis implementasi kebijakan PKH

Berdasarkan pendapat Dunn (2003) menyebutkan bahwa suatu sistem


kebijakan (policy system) mencakup hubungan timbal balik antara tiga
unsur/komponen utama yang dianggap mempengaruhi kinerja implementasi, yaitu
(1) kebijakan, (2) implementor dan kelompok target dan (3) Iingkungan.
Sedangkan Nugroho (2009), mengemukakan pada prinsipnya dalam proses
implementasi kebijakan memiliki ―lima tepat‖ yang perlu dipenuhi dalam hal
keefektifan implemenatasi kebijakan, yaitu:

1. Ketepatan Kebijakan
Ketepatan kebijakan ini dinilai dari:
- Sejauh mana kabijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang
memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Pertanyaannya adalah how
excellent is the policy.
- Apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai dengan karakter masalah
yang hendak dipecahkan.
- Apakah kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan (misi
kelembagaan) yang sesuai dengan karakter kebijakan.

2. Ketepatan Pelaksanaan
Aktor implementasi kebijakan tidaklah hanya pemerintah. Ada tiga
lembaga yang bisa menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara
65

pemerintah-masyarakat/swasta, atau implementasi kebijakan yang diswastakan


(privatization atau contracting out).

3. Ketepatan Target
Ketepatan target berkenaan dengan tiga hal, yaitu:
- Apakah target yang dintervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah
tidak ada tumpang tindih dengan intervensi lain, atau tidak bertentangan
dengan intervensi kebijakan lain.
- Apakah targetnya dalam kondisi siap untuk dintervensi atau tidak. Kesiapan
bukan saja dalam arti secara alami, namun juga apakah kondisi target ada
dalam konflik atau harmoni, dan apakah kondisi target ada dalam kondisi
mendukung atau menolak.
- Apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbarui
implementasi kebijakan sebelumnya. Terlalu banyak kebijakan yang
tampaknya baru namun pada prinsipnya mengulang kebijakan yang lama
dengan hasil yang sama tidak efektifnya dengan kebijakan sebelumnya.

4. Ketepatan Lingkungan
Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu:
- Lingkungan Kebijakan, yaitu interaksi antara lembaga perumus kebijakan
dengan pelaksana kebijakan dengan lembaga yang terkait. Donald J. Calista
(tanpa tahun) dalam Nugroho (2009) menyebutnya sebagai variabel endogen,
yaitu authoritative arrangement yang berkenaan dengan kekuatan sumber
otoritas dari kebijakan, network composition yang berkenaan dengan
komposisi jejaring dari berbagai organisasi yang terlibat kebijakan, baik dari
pemerintah maupun masyarakat, implementation setting yang berkenaan
dengan posisi tawar-menawar antara otoritas yang mengeluarkan kebijakan
dan jejaring yang berkenaan dengan implementasi kebijakan.
- Lingkungan Eksternal Kebijakan, yang terdiri dari atas public opinion, yaitu
persepsi publik akan kebijakan dan implementasi kebijakan, interpretive
institutions yang berkenaan dengan interprestasi lembaga-lembaga strategis
dalam masyarakat, seperti media massa, kelompok penekan, dan kelompok
kepentingan, dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi
kebijakan, dan individuals, yakni individu-individu tertentu yang mampu
memainkan peran penting dalam menginterpretasikan kebijakan dan
implementasi kebijakan.

5. Ketepatan Proses
Secara umum, implemetnasi kebijakan publik terdiri dari tiga proses,
yaitu:
- Policy acceptance, yaitu publik memahami kebijakan sebagai sebuah ―aturan
main‖ yang diperlukan untuk masa depan, di sisi lain pemerintah memahami
kebijakan sebagai tugas yang harus dilaksanakan.
- Policy adoption, yaitu publik menerima kebijakan sebagai sebuah ―aturan
main‖ yang diperlukan untuk masa depan, di sisi lain pemerintah menerima
kebijakan sebagai tugas yang harus dilaksanakan
66

- Strategic readiness, yaitu publik siap melaksanakan atau menjadi bagian dari
kebijakan, disisi lain birokrat on the street (atau birokrat pelaksana) siap
menjadi pelaksana kebijakan.
Kelima ―tepat‖ tersebut masih perlu didukung oleh tiga jenis dukungan,
yaitu:
- Dukungan politik;
- Dukungan strategik; dan
- Dukungan teknis.

Analisis Respon

Keberhasilan implementasi kebijakan pemerintah sangat tergantung pada


respon para pihak terhadap kebijakan tersebut. Jika para pihak memberikan respon
yang cukup baik maka terdapat peluang untuk tercapainya tujuan digulirkannya
kebijakan tersebut. Akan tetapi jika kebijakan tersebut mendapatkan respon yang
negatif dari berbagai pihak, maka implementasi kebijakan bisa dikatakan gagal.
Respon perusahaan dalam proses implementasi kebijakan PKH dilakukan
melalui wawancara mendalam, observasi lapangan dan kajian dokumen berupa
laporan kegiatan. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui pencapaian
pelaksanaan kebijakan PKH. Analisis ini disebut juga sebagai analisis situasional.
Data yang diperoleh dianalisis dengan melihat tingkat pencapaian tahap
implementasi kebijakan PKH, dimulai dari kegiatan permohonan izin PKH sampai
dengan tahapan penutupan areal tambang (pasca tambang) dan pengembalian
areal kepada Kementerian Kehutanan.
Selanjutnya dianalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
pencapaian implementasi kebijakan PKH tersebut. Tujuannya untuk menggali
faktor-faktor yang menjadi pendorong dan penghambat terhadap pelaksanaan
implementasi. Analisis data hasil observasi terkait implementasi kebijakan PKH
disajikan dengan teknik analisis deskriptif.
Respon perusahaan pertambangan terhadap peraturan dan kebijakan
diketahui dari data hasil penilaian kinerja perusahaan pertambangan yang telah
memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan. Respon perusahaan adalah berupa
informasi tindakan-tindakan perusahaan yang dicerminkan dalam pengukuran
indikator-indikator respon yang terdiri atas beberapa verifier. Verifier adalah
ukuran atau informasi yang membandingkan antara ketentuan, standar atau aturan
dengan kondisi pelaksanaannya di lapangan. Dengan demikian data ini
merupakan informasi kondisi riil lapangan terkini.
Data ini meliputi kinerja perusahaan memenuhi persyaratan izin pinjam
pakai kawasan hutan yang dimiliki (necessary conditions), data tentang
pelaksanaan produksi, data tentang pengelolaan aspek ekologi dan pengelolaan
aspek sosial. Indikator, tolok ukur dan verifier yang diamati dalam peneltian ini
terdiri dari sejumlah bukti lapangan (field evidence) yang menunjukkan respon
perilaku perusahaan (Tabel 8).
67

Tabel 8 Matriks indiktator-indikator respon perilaku perusahaan


No Indikator Tolok Ukur Verifier Skor
1 Pemeliharaan Pemeliharaan dan - Pemeliharaan dilakukan, pal batas 5
dan pengamanan pengamanan tata banyak ditemukan
batas areal batas areal IPPKH - Pemeliharaan dilakukan, pal batas 4
IPPKH dilaksanakan cukup banyak ditemukan atau
dengan kontinyu Pemeliharaan tidak dilakukan tetapi Pal
(terprogram) batas banyak ditemukan
- Pemeliharaan tidak dilakukan, pal batas 3
banyak ditemukan
- Pemeliharaan tidak dilakukan, pal batas 2
hanya beberapa ditemukan
- Pemeliharaan tidak dilakukan, pal batas 1
tidak ditemukan
2 Perlindungan dan Kegiatan - Pengamanan dan perlindungan 5
pengamanan perlindungan dan dilakukan, tidak terjadi perladangan,
kawasan hutan pengamanan illegal logging, perburuan dll
kawasan hutan - Pengamanan dan perlindungan 4
dilaksanakan dilakukan, ada perladangan atau illegal
dengan kontinyu logging atau perburuan
(terprogam) - Pengamanan dilakukan, perlindungan 3
tidak dilakukan, ada perladangan atau
illegal logging atau perburuan
- Pengamanan dilakukan, perlindungan 2
tidak dilakukan, ada perladangan dan
atau illegal logging dan atau perburuan
dan atau kegiatan lainnya
- Pengamanan dan perlindungan tidak 1
dilakukan, ada perladangan dan atau
illegal logging dan atau perburuan dan
atau kegiatan lainnya
3 Pembayaran Pembayaran PNBP - PNBP dibayarkan tepat waktu, tidak 5
PNBP dilakukan tepat tepat jumlah, disertai dengan citra
waktu dan jumlah satelit resolusi sangat tinggi
sesuai dengan luas - PNBP dibayarkan tidak tepat waktu, 4
bukaan tambang tidak tepat jumlah, disertai dengan citra
satelit resolusi sangat tinggi
- PNBP dibayarkan tepat waktu, tidak 3
tepat jumlah, tidak disertai dengan citra
satelit resoulsi sangat tinggi
- PNBP dibayarkan tidak tepat waktu, 2
tidak tepat jumlah dan tidak disertai
dengan citra satelit resoulsi sangat
tinggi
- Belum dibayarkan 1
4 Reklamasi dan Kegiatan reklamasi - Reklamasi dan Revegetasi dilakukan 5
revegetasi dan revegetasi dengan baik (lulus penilaian)
lahan tambang - Reklamasi dan revegetasi dilakukan 4
dilaksanakan namun belum lulus penilaian maupun
dengan baik (tepat belum dilakukan penilaian
teknis dan waktu) - Reklamasi dilakukan, revegetasi belum 3
dilakukan
- Belum ada kegiatan penambangan 2
- Belum melakukan reklamasi dan 1
revegetasi
68

Lanjutan Tabel 8

No Indikator Tolok Ukur Verifier Skor


5 Rehabilitasi DAS Kegiatan - Sudah melakukan kegiatan rehabilitasi 5
rehabilitasi DAS DAS
dilakukan dengan - Sudah ada SK Menhut, sedang 4
baik (tepat teknis, menyusun rancangan teknis, rencana
areal dan waktu) tahunan dan rancangan kerja
rehabilitasi DAS
- Sedang dalam proses penetapan areal 3
rehabilitasi DAS (telah diverifikasi dan
Supervisi)
- Sedang dalam proses pengusulan areal 2
rehabilitasi DAS (Sedang dalam proses
verifikasi dan supervisi)
- Belum melakukan kegiatan apapun 1
6 Laporan periodik Penyerahan laporan - Laporan diserahkan tepat waktu 5
tepat waktu dan - Laporan diserahkan kadang tidak tepat 4
sesuai ketentuan waktu
yang telah - Laporan diserahkan tidak tepat waktu 3
ditetapkan - Belum menyerahkan laporan terakhir 2
- Tidak menyerahkan laporan dalam 1
kurun waktu 1 tahun terakhir

Respon perusahaan terhadap kebijakan PKH dalam pemenuhan kewajiban


IPPKH (necessary conditions) ditentukan berdasarkan skala intensitas indikator dari
masing-masing verifier. Karena setiap indikator memiliki bobot yang sama, maka
nilai total kinerja diperoleh melalui total penjumlahan dari seluruh indikator yang
digunakan (Tabel 9).
Tabel 9 Penentuan tingkat responsifitas perusahaan dalam implementasi kebijakan
PKH
Kategori Skor Jenis Izin Skor Total IPPKH
1 Baik = 53 - 65 105 -130
2 Cukup baik = 40 - 52 79 - 104
3 Buruk = 27 - 39 53 - 78
4 Sangat buruk = 13 - 26 26 - 52

Analisis Kesenjangan Kebijakan (Analisis Asumsi)

Menurut Dewar et al (1993) dan Dewar (2002), asumsi adalah sebuah


pernyataan yang tegas tentang beberapa karakteristik masa depan berdasarkan
pelaksanaan atau perencanaan organisasi saat ini. Pernyataan tersebut dapat
berupa fakta atau penilaian. Sedangkan analisis asumsi (Assumptional Analysis)
merupakan sebuah teknik yang bertujuan mensintesiskan secara kreatif asumsi-
asumsi yang saling bertentangan mengenai masalah-masalah kebijakan (Mitroff
dan Emshoff 1979). Dalam beberapa hal analisis asumsi adalah yang paling
komprehensif dari semua metode perumusan masalah, karena analisis asumsi
mencakup prosedur yang digunakan dalam hubungannya dengan teknik-teknik
lain dan dapat difokuskan pada kelompok-kelompok, individu, atau keduanya.
69

Gambaran analisis asumsi yang paling penting adalah bahwa secara eksplisit
analisis asumsi diciptakan untuk mengurusi masalah-masalah yang rumit, yaitu
masalah-masalah di mana para analis kebijakan, pembuat kebijakan, dan pelaku
kebijakan lainnya tidak dapat sepakat tentang bagaimana merumuskan masalah.
Kriteria utama untuk mutu suatu rumusan masalah adalah apakah asumsi-asumsi
yang saling bertentangan mengenai suatu situasi masalah telah dimunculkan,
dikupas, dan disintesiskan secara kreatif (Dunn 2003).
Analisis asumsi secara eksplisit memperhatikan gambaran positif maupun
negatif dari konflik dan komitmen. Konflik dibutuhkan untuk menunjukkan
keberadaan kebijakan-kebijakan yang sangat bertentangan untuk menemukan dan
menghadapi asumsi-asumsi dari setiap kebijakan yang dibuat. Pada pihak yang
lain komitmen juga penting agar para pendukung dari setiap kebijakan dapat
menunjukkan bukti yang paling kuat (tidak perlu yang terbaik) untuk mendukung
pokok pandangan mereka (Mitroff dan Emshoff 1979).
Tujuan analisis asumsi dalam penelitian ini adalah : a) mengidentifikasi
peran pelaku kebijakan dalam PKH dari aspek legal formal dan b)
mengidentifikasi realisasi atau implementasi peran tersebut di lokasi studi.
Berdasarkan kedua literatur di atas, tahapan asumsi yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah:
1. Identifikasi pelaku kebijakan yang terkait dengan kegiatan PKH
2. Asumsi penting diidentifikasi dari peraturan perundang-undangan yang
mengatur pembagian peran para pelaku dalam kegiatan PKH
3. Asumsi yang dipertentangkan adalah asumsi yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan yang sifatnya umum dengan asumsi pelaksanaan
peraturan perundang-undangan di lokasi studi. Sumber data yang digunakan
untuk asumsi yang tertulis adalah dokumen peraturan perundang-undangan
PKH yang dapat diacu oleh semua lokasi. Sedangkan sumber data untuk
asumsi pelaksanaan kebijakan PKH berasal dari dokumen peraturan
perundang-undangan tertulis yang dikeluarkan oleh pemerintah dan hasil
pengumpulan data primer (observasi)
4. Kedua asumsi dikelompokkan dan dianalisis sejauhmana kesenjangan (gap)
antara keduanya.
5. Sintesis masalah
Dunn (2003) menjelaskan tahapan analisis asumsi dalam lima tahapan
prosedur, yaitu:
1. Identifikasi pelaku kebijakan. Pada tahap pertama pelaku kebijakan
diidentifikasi, diurutkan, dan diprioritaskan. Identifikasi, pengurutan, dan
penyusunan prioritas pelaku kebijakan didasarkan pada penilaian tentang
seberapa jauh masing-masing mempengaruhi dan dipengaruhi oleh proses
kebijakan. Prosedur ini menghaslkan identifikasi para pelaku kebijakan yang
biasanya dikeluarkan dalam analisis masalah kebijakan.
2. Memunculkan asumsi. Pada tahap kedua para analis bekerja mundur dari
solusi masalah yang direkomendasikan ke seleksi data yang mendukung
rekomendasi dan yang mendasari asumsi-asumsi, sehingga dengan data yang
ada, seseorang dapat menarik kesimpulan deduktif terhadap rekomendasi
sebagai konsekuensi dari data yang ada. Masing-masing solusi yang
direkomendasikan oleh para pelaku kebijakan harus mengandung sebuah
daftar asumsi yang secara eksplisit dan implisit mendasari rekomendasi.
70

Dengan mendaftar semua asumsi —misalnya bahwa kemiskinan merupakan


konsekuensi dari ketidaksengajaan sejarah, dominasi elit, pengangguran,
depriasi kultural, dan sebagainya— terdapat spesifikasi masalah secara
eksplisit yang dituju oleh masing-masing rekomendasi.
3. Mempertentangkan asumsi. Pada tahap ketiga para analis membandingkan dan
mengevaluasi serangkaian rekomendasi dan asumsi-asumsi yang
mendasarinya. Hal ini dikerjakan dengan membandingkan asumsi-asumsi
yang ada dengan asumsi-asumsi tandingan yang berlawanan. Jika asumsi
tandingan tidak masuk akal, maka tidak perlu pertimbangan lebih lanjut, jika
asumsi tandingan masuk akal, asumsi tersebut diuji untuk menentukan
kemungkinan untuk dipakai sebagai landasan bagi konseptualisasi baru
terhadap masalah dan solusinya secara menyeluruh.
4. Mengelompokkan asumsi. Ketika tahap mengumpulkan asumsi telah selesai,
sejumlah usulan solusi yang berbeda-beda yang dihasilkan dalam fase
sebelutnnya dikelompokkan. Di sini asumsi-asumsi (lebih dari rekomendasi)
dinegosiasikan dengan memprioritaskan asumsi-asumsi dari segi kepastian
dan kepentingannya bagi para pelaku kebijakan yang berbeda. Hanya asumsi-
asumsi yang paling penting dan tidak pasti yang dikelompokkan. Tujuan yang
paling akhir adalah untuk menciptakan dasar asumsi yang diterima oleh
sebanyak mungkin pelaku kebijakan.
5. Sintesis asumsi. Fase terakhir adalah penciptaan solusi gabungan atau sintesis
terhadap masalah. Suatu satuan gabungan asumsi yang diterima dapat menjadi
basis untuk menciptakan konseptualisasi baru dari masalah. Ketika isu-isu
seputar konseptualisasi masalah dan potensi pemecahannya telah mencapai
titik ini, aktivitas-aktivitas dari para pembuat kebijakan dapat menjadi
kooperatif dan secara kumulatif produktif.
Analisis asumsi dengan menggabungkan tahapan yang dilakukan oleh
Dewar et al (1993) dan Dunn (2003) pernah dilakukan oleh Pratiwi (2008) dalam
penelitiannya tentang model pengembangan institusi ekowisata untuk
penyelesaian konflik di Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Ekawati
(2012) dalam penelitiannya yang menganalisis proses pembuatan dan
implementasi kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan lindung yang mengambil
studi kasus di tiga kabupaten dalam DAS Batanghari. Sedangkan dalam
penelitian hanya akan dilakukan analisis kesenjangan kebijakan dengan tahapan
metode yang dijelaskan oleh Dunn (2003) tersebut di atas.

Hasil dan Pembahasan

Ketepatan Kebijakan dan Implementasinya

1. Ketepatan Kebijakan

Izin kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan merupakan kebijakan


pemerintah pada saat rezim orde baru berkuasa untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Saat itu perkembangan politik, dukungan ilmu pengetahuan, pemikiran-
pemikiran baru dan gejolak sosial tidak seperti sekarang ini, sehingga suatu
kebijakan dapat diputuskan dan dirumuskan dengan relatif mudah.
71

Pada dasarnya, kebijakan PKH merupakan produk dari pertentangan antara


dua sektor/aktor utama dalam pengelolaan sumber daya alam, yaitu sektor
(kementerian) kehutanan dan pertambangan. Argumen penolakan pertambangan
di dalam kawasan didasarkan pada diskursus dan narasi para aktor yang berada
satu kubu dengan kementerian kehutanan, yang memegang erat asumsi bahwa
penambangan dalam kawasan hutan berpotensi merusak lingkungan dan menguras
sumberdaya alam. Sementara di kubu yang berseberangan menganggap bahwa
pertumbuhan ekonomi tetap menjadi tujuan utama bagi pembangunan.

Tabel 10 Matriks Perbedaan Motivasi dan Nilai Sektor Pertambangan dan


Kehutanan

Sektor Motivasi Nilai

Kehutanan - Pengelolaan hutan - Sumberdaya hutan harus dikelola secara arif


lestari (keseimbangan dan bijaksana dengan pemanfaatan,
ekologi, ekonomi dan perlindungan, pengawetan dan pemantapan
sosial) kawasan hutan.
- Sumberdaya hutan merupakan SDA
terbarukan sehingga menganut azas
sustainable yield
Pertambangan - Optimalisasi - Sumberdaya alam dalam bentuk energi dan
pemanfaatan mineral merupakan asset yang harus
sumberdaya energi dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya
dan mineral sebesar- kepentingan dan kemakmuran rakyat.
besarnya bagi - Sumberdaya energi dan mineral merupakan
pertumbuhan ekonomi SDA non renewable sehingga tidak menganut
azas pemanfaatan berkelanjutan

Hingga saat ini, kebijakan PKH dapat dikatakan memecahkan masalah


perbedaan kepentingan tersebut yang tentunya harus diikuti dengan kontrol yang
sangat ketat dan pembentukan institusi yang kokoh agar dapat mencapai tujuan
yang ditetapkan. Ketiadaan alternatif penyelesaian masalah hingga saat ini,
membuat kebijakan ini seolah m,enjadi obat paling cocok bagi masalah yang
sedang dihadapi.
Perumusan masalah merupakan langkah awal dalam pembuatan suatu
kebijakan publik. Menurut Dunn (2003) suatu perumusan masalah dapat
memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan
asumsi-asumsi yang mendasari definisi masalah dan memasuki proses pembuatan
kebijakan melalui penyusunan agenda (agenda setting). Selanjutnya dijelaskan
bahwa perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang
tersembunyi, mendiagnosis penyebab penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan
yang memungkinkan memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan,
dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru (Dunn 2003).
Merumuskan masalah dalam proses perumusan kebijakan tidaklah mudah
mengingat sifat dankarakter dari masalah publik sangat kompleks. Oleh sebab
itu lebih baik dalam merumuskan masalah mengetahui lebih dulu karakteristik
permasalahannya. Suatu masalah tidak dapat berdiri sendiri, selalu ada keterkaitan
antara masalah yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu dalam analisis
72

kebijakan mengharuskan kita untuk menggunakan pendekatan yang holistik


dalam memecahkan masalah agar dapat mengetahui akar dari permasalahan
tersebut. Masalah kebijakan seringkali bersifat subyektif, dimana suatu
masalah merupakan hasil dari pemikiran dalam lingkungan tertentu.
Kemudian, suatu masalah kebijakan mempunyai solusi yang tidak selalu sama.
Kebijakan yang sama untuk masalah yang sama tidak selalu mempunyai solusi
yang sama, karena dimungkinkan adanya perbedaan situasi dan kondisi
lingkungan, kesiapan institusi maupun waktu pelaksanaan kebijakan.
UU Nomor 5 Tahun 1967 tidak menyebutkan larangan kegiatan
pertambangan di dalam kawasan hutan, termasuk di dalam kawasan hutan
lindung. Namun demikian, tidak berarti bahwa kegiatan pertambangan di dalam
hutan lindung serta merta diperbolehkan oleh UU tersebut. Dukungan politik
terhadap pertumbuhan ekonomi saat itu mengarusutamakan persetujuan
(legalisasi) praktik penambangan di dalam kawasan hutan. Kegiatan
pertambangan di dalam kawasan hutan itu dilakukan dengan alas hak pinjam
pakai kawasan hutan untuk kegiatan di luar kehutanan. Sejak saat itu berduyun-
duyunlah kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan bermunculan. Situasi
tersebut melahirkan kenyataan bahwa pola fragmentasi yang menginginkan setiap
sektor-sektor pengelolaan sumberdaya alam memiliki otonomi kawasan tidak
dapat terwujud karena sumberdaya alam memiliki karakteristik yang tidak bisa
disektoralisasi baik secara administratif, ekonomi, dan ekologis.
Perubahan konfigurasi politik pada tahun 1998 membawa banyak
perubahan di berbagai sektor. UU Nomor 41 Tahun 1999 berupaya melakukan
perubahan-perubahan tetapi masih menyisakan bagian yang rusak dari UU
Kehutanan yang lama serta praktik pengelolaan hutan yang sudah terlanjur dalam
situasi permasalahan yang sangat kompleks. Perbedaan cara pandang antara sektor
kehutanan dan pertambangan terhadap sumber daya alam melahirkan motivasi
yang bertolak belakang diantara keduanya. Dilematis dihadapi oleh bagi sektor
kehutanan ketika harus memilih ‗mempertahankan pengelolaan kawasan hutan
atau memberikan kewenangan pengelolaannya kepada sektor lain‘. Maka
lahirlah kebijakan PKH sebagai langkah yang dianggap sebagai win-win solution.
Kebijakan tersebut juga disertai dengan serangkain perbaikan-perbaikan yang
dimaksudkan untuk membatasi, mengendalikan dan upaya pemulihan kawasan
hutan akibat kegiatan perambangan di dalam kawasan hutan.
Terkait dengan karakteristik permasalahan yang melatarbelakangi
perumusan kebijakan PKH, Dewan Kehutanan Nasional (DKN) menyampaikan
pandangannya yaitu bahwa pemerintah perlu melakukan kajian menyeluruh
(general review) tentang kebijakan pertambangan, khususnya yang berada di
dalam kawasan hutan. Hal ini diperlukan untuk memberi kepastian pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya alam secara keseluruhan dan agar masyarakat
mengetahui strategi usaha tambang dalam jangka pendek maupun strategi
pencadangan kekayaan alam dalam jangka panjang (DKN 2008 dalam
Kartodihardjo 2008a)
Kebijakan PKH sejak pertama kali digulirkan (1978) merupakan
kewenangan yang mengurusi kehutanan pada saat itu (Direktorat Jenderal
Kehutanan). Hingga saat ini kebijakan tersebut menjadi kewenangan
Kementerian Kehutanan sepenuhnya, tepatnya menjadi tugas pokok dan fungsi
dari Direktorat Jenderal Planologi. Meningkatnya permohonan IPPKH sejak
73

tahun 2004 hingga saat ini mendorong Kementerian Kehutanan membentuk


lembaga khusus setingkat eselon II di Ditjen Planologi yang mengurusi pinjam
pakai kawasan hutan, yaitu Direktorat PKH pada tahun 2010. Selanjutnya,
direktorat ini yang akhirnya mengakomodir dan memfasilitasi perumusan
(perubahan/perbaikan) kebijakan PKH.
Selama ini proses perumusan kebijakan PKH terkesan dilakukan oleh
kementerian kehutanan sendiri tanpa melibatkan aktor/pihak lainnya. Hal tersebut
yang mengakibatkan kurang efektifnya kebijakan tersebut dalam
pengimplementasiannya. Perbedaan latar belakang teknis antara perumus
kebijakan dan pelaksana utama (di lapangan) menimbulkan gap dalam
pelaksanaan di lapangan. Perumus kebijakan menganggap bahwa pemegang
IPPKH telah mengerti teknik pengelolaan hutan dan mampu melaksanakannya di
lapangan. Sementara perusahaan pemegang IPPKH lebih fokus pada teknis
pertambangannya. Kebijakan PKH masih perlu penyempurnaan dengan
memperhatikan teknik dan praktik-praktik pertambangan di lapangan, melakukan
kajian akademis, serta melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan sehingga
tidak lagi terdapat perbedaan interpretasi dan sejalan dengan tujuan untuk
menyeimbangkan manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial.

2. Ketepatan Pelaksana

Pelaksana (implementor) dalam kebijakan PKH didominasi oleh


pemerintah pusat dalam proses analisis permohonan sampai dengan diterbitkannya
IPPKH. Pemerintah pusat juga melakukan kontrol yang dilakukan oleh unit
pelaksana teknis (UPT) yang berada di daerah seperti BPKH, BPDAS dan BP2HP
yang semuanya berperan aktif sebagai implementor pendukung. Sementara untuk
kegiatan evaluasi dan monitoring kewenangan pemerintah pusat di delegasikan
kepada pemerintah provinsi (evaluasi) dan pemerintah kabupaten (monitoring).
Implementor utama dalam pelaksanaan kebijakan PKH ini adalah
perusahaan pertambangan yang telah memiliki IPPKH. Keberhasilan
implementasi kebijakan sangat ditentukan oleh kinerja semua pihak. Sinergi
antara pemerintah dan pemegang IPPKH diharapkan dapat meningkatkan
efektifitas implementasi kebijakan.

3. Ketepatan Target

Bisa dikatakan bahwa kebijakan PKH merupakan kebijakan yang sangat


spesifik. Bahkan dalam proses penelusuran literatur belum ditemukan terminologi
dan kebijakan PKH di negara lain. Di Nepal, terminologi pinjam pakai kawasan
hutan atau pinjam pakai kawasan hutan (leasehold forestland) digunakan untuk
sebuah program atau proyek kehutanan yang pro-poor. Program ini bertujuan
untuk meningkatkan kehidupan masyarakat di sekitarnya melalui mekansime
pinjam pakai kawasan hutan kepada kelompok-kelompok kecil, terutama untuk
masyarakat miskin (Thorms et al 2006). Di Nepal, leasehold forests merupakan
salah satu klas tersendiri dari lima kelas yang disusun oleh pemerintah. Kelas
hutan tersebut adalah : National Forests, Community Forests, Leasehold Forests,
Private Forests and Protected or Religious Forests (Wagley dan Ojha 2002).
Menurut Wagley dan Ojha (2002):
74

―…leasehold forests are form part of national forests and are leased out to
communities or to groups of people below the poverty line, or to any
organization that promotes forest development and environmental
protection…‖

Dari definisi konsep pinjam pakai di Nepal tersebut di atas jelas berbeda
dengan konsep yang saat ini diimplementasikan di Indonseia. Konsep yang
hampir mirip dengan pinjam pakai di Indonesia adalah kebijakan diversi kawasan
hutan untuk kegiatan pertambangan di India, namun belum ditemukan literatur
tentang kebijakan mekanismenya di negara tersebut. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa kebijakan PKH di Indonesia sangat spesifik dan tidak menduplikasi
kebijakan lain dalam pengelolaan hutan. Namun, apakah kebijakan ini
bertentangan dengan kebijakan lain atau tidak, rasanya perlu pembahasan yang
lebih mendalam. Merunut kembali sejarah dan perkembangan kebijakan PKH
pada bagian (chapter) sebelumnya, kebijakan ini merupakan kebijakan yang bisa
dikatakan win-win solution. Mengingat hingga saat ini belum ada alternatif
kebijakan lain yang pro-environment sekaligus pro-investment (pro-growth).
Kebijakan PKH merupakan kebijakan yang telah lama digulirkan oleh
pemerintah, terhitung sejak diterbitkannya SK Dirjen Kehutanan Nomor
64/Kpts/DJ/I/1978 tentang Pedoman Pinjam Pakai Tanah Kawasan Hutan. Saat
itu mekanisme yang digunakan adalah perjanjian pinjam pakai antara kementerian
pertanian (kementerian kehutanan) dan kementerian pertambangan dan energi.
Dengan demikian seharusnya tidak ada alasan bagi PKH di luar sektor kehutanan
yang tidak mengetahui kebijakan tersebut. Jika saat itu, pemohon pinjam pakai
kawasan hutan mengajukan permohonan melalui kementerian pertambangan dan
energi, saat ini pemohon bisa langsung mengajukan kepada menteri kehutanan.
Kebijakan PKH telah diketahui oleh semua pihak, terlebih dengan adanya polemik
PKH di dalam hutan lindung menjadikan kebijakan ini semakin dikenal dan
diketahui oleh berbagai pihak.
Meskipun pada prinsipnya para pemohon IPPKH telah mengetahui
kebijakan PKH tersebut, namun tidak semua pemohon mengetahui prosedur
permohonan, pemenuhan kewajiban baik pada saat persetujuan prinsip maupun
ketika IPPKH telah diterbitkan oleh menteri kehutanan. Pemohon IPPKH bisa
dikatakan telah siap untuk mengimplementasikan kebijakan PKH. Kesiapan
tersebut meliputi kondisi finansial dan kesiapan menerima semua konsekuensi
akibat permohonannya seperti, berbelit-belitnya birokrasi pengurusan izin,
curahan waktu tunggu yang cukup panjang, biaya transaksi yang tinggi, kondisi
kawasan hutan yang rawan konflik.
Sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya, kebijakan PKH
merupakah kebijakan inkrementalis. Menurut Nugroho (2009) model
inkrementalis melihat bahwa kebijakan publik merupakan variasi ataupun
kelanjutan kebijakan di masa lalu. Model ini dapat dikatakan sebagai model
pragmatis/praktis. Pendekatan ini diambil ketika pengambil kebijakan berhadapan
dengan keterbatasan waktu, ketersediaan informasi, dan kecukupan anggaran
untuk melakukan evaluasi kebijakan secara komprehensif. Dalam praktiknya
model kebijakan inkrementalis jamak dilakukan pada negara-negara berkembang.
75

Dalam perjalannya, kebijakan ini sering sekali mengalami perubahan


seiring dengan isu/masalah yang menyertai kebijakan tersebut. Berdasarkan
analisis terhadap isi peraturan perundang-undangan PKH, perubahan-perubahan
tersebut pada prinsipnya tidak terlalu mengubah maksud, tujuan dan target
kebijakan tersebut. Perubahan kebijakan lebih pada penambahan/perbaikan
persyaratan dan kewajiban yang dibebankan kepada pemohon izin. Tak pelak,
perubahan-perubahan tersebut justru menambah beban pemohon izin terutama
meningkatnya biaya transaksi pada saat mengimplementasikan kebijakan tersebut.
Banyaknya permasalahan yang dihadapi pemohon IPPKH sampai dengan proses
pemenuhan kewajiban dan konflik yang harus dihadapi di lapangan menunjukkan
bahwa perubahan-perubahan kebijakan tersebut tidak efektif meningkatkan
kinerja implementasi kebijakan tersebut.

4. Ketepatan Lingkungan

Kebijakan PKH bisa dikatakan murni diinisiasi dan dirumuskan sendiri


oleh Kementerian Kehutanan sejak digulirkannya pertama kali pada tahun 1978.
Kementerian kehutanan menjadi aktor kunci dalam perumusan kebijakan tersebut.
Namun, beberapa kebijakan terkait dengan PKH seperti kebijakan PKH di dalam
hutan lindung dan pengenaan PNBP melibatkan aktor-aktor lain, seperti DPR,
Pemerintah (Presiden dan wakil Presiden), Kementerian ESDM, Kementerian
Perekonomian, para akademisi dan beberapa perusahaan pertambangan. Kedua
kebijakan tersebut hanya mengatur tata cara penambangan di hutan lindung dan
kewajihan pembayaran PNBP, tidak mengatur substansi dari kebijakan PKH
tersebut.
Terbatasnya peranan para aktor dalam perumusan kebijakan PKH
mengakibatkan actor networking tidak terbangun dan tidak berkelanjutan, hanya
terbatas pada masalah-masalah khusus saja. Adapun isu-isu lain terkait dengan
teknis kehutanan cenderung tidak melibatkan aktor-aktor di luar kementerian
kehutanan. Dengan demikian, meskipun ‗sempat‘ melibatkan beberapa aktor lain,
namun dalam proses perubahan/perbaikan peraturan perundang-undangan tentang
PKH seolah menjadi domain Kementerian Kehutanan, sehingga dominansi
Kementerian Kehutanan dalam perumusan kebijakan menjadi tidak terbantahkan.
Dominasi tersebut juga terdeteksi dalam proses implementasinya. Unit
Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan di daerah seperti Balai
Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(BPDAS) dam Balai Pemantauan dan Pemanfaatan Hutan Produksi (BP2HP)
menjadi aktor kunci dalam implementasi kebijakan tersebut. Hampir dalam setiap
kegiatan yang terkait dengan kebijakan tersebut ketiga UPT tersebut menjadi
bagian dalam pelaksanaannya. Sementara unsur-unsur dari daerah (Dinas
Kehutanan dan Dinas Pertambangan dan Energi baik tingkat provinsi,
kabupaten/Kota lebih banyak menjadi anggota tim pelaksanaan kegiatan, kecuali
pada kegiatan monitoring dimana Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota mendapat
kewenangan dari Menhut untuk menjadi penanggungjawab dan kegiatan evaluasi,
dimana Dinas Kehutanan Provinsi yang menjadi penanggungjawabnya.
Dari sisi lain, hasil wawancara dengan beberapa pihak dan pengamatan di
lapangan mendapatkan respon yang cukup baik, terutama dari instansi-instansi
pusat di daerah. Sedangkan respon dari instansi daerah masih mendapatkan
76

kekurangpuasan terkait dengan peranan mereka dalam proses perumusan


kebijakan sampai dengan implementasinya. Aroma desentralisasi masih sangat
terasa, terkait dengan pemberian kewenangan pengelolaan kawasan hutan kepada
daerah yang dianggap masih setengah hati. Bahkan masih ada yang berpendapat
bahwa pemberian IPPKH seharusnya menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Sementara pendapat dari aktor-aktor lain di luar instansi pemerintah pusat maupun
daerah, hanya terkait dengan isu penambangan di kawasan hutan lindung dan
kewajiban pembayaran PNBP.
Sementara perusahaan pemegang IPPKH hanya mengeluhkan pada
ketidakjelasan status kawasan hutan yang tidak bebas konflik. Hampir semua
responden perusahaan pemegang IPPKH mengalami permasalahan yang sama,
konflik kawasan hutan dengan masyarakat di sekitar kawasan hutan yang dipinjam
pakai sehingga mereka harus mengeluarkan biaya transaksi yang lebih tinggi
untuk membebaskan kawasan hutan tersebut.
Hampir semua pihak merasa tidak mempunyai interpretasi yang berbeda
terhadap isi peraturan tentang PKH. Hal itu menunjukkan bahwa kebijakan PKH
mempunyai tingkat ambiguitas (kemenduaan) yang rendah. Namun, rendahnya
ambiguitas tersebut tidak menjadikan kebijakan ini rendah/minim konflik.
Kebijakan ini justru lahir dari konflik para aktor akibat perbedaan kepentingan,
perbedaan nilai dan motivasi serta konflik penguasaan lahan di ranah tapak.
Matland (1995) mengembangkan sebuah model yang disebut dengan
‗model matriks ambiguitas-konflik‘ yang menjelaskan bahwa implementasi secara
admiministratif adalah implementasi yang dilakukan dalam keseharian operasi
birokrasi pemerintahan. Kebijakan di sini memiliki ambiguitas atau kemenduaan
yang rendah dan konflik yang rendah. Implementasi secara politik adalah
implementasi yang perlu dipaksakan secara politik, karena, walaupun
ambiguitasnya rendah, tingkat konfliknya tinggi. Implementasi secara eksperimen
dilakukan pada kebijakan yang mendua, namun tingkat konfliknya rendah.
Implementasi secara simbolik dilakukan pada kebijakan yang mempunyai
ambiguitas tinggi dan konflik yang tinggi. Nugroho (2009) menganjurkan untuk
melakukan model implementasi sesuai dengan isu kebijakannya.
Tinggi

Eksperimental Simbolik
Ambiguitas
Rendah

Administratif Politik IPPKH

Rendah Tinggi
Konflik

Gambar 6 Posisi kebijakan PKH dalam matriks ambiguitas-konflik (Matland


1995)
77

5. Ketepatan Proses

Secara umum, implemetnasi kebijakan PKH telah memeuhi tiga proses,


yaitu:
- Policy acceptance dan adoption, yaitu para pihak telah memahami dan
menerima kebijakan PKH sebagai sebuah ―aturan main‖ yang diperlukan
untuk keberlanjutan pengelolaan kawasan hutan dan keberlanjutan investasi
dan hukum bagi perusahaan pertambangan, di sisi lain pemerintah memahami
dan menerima kebijakan sebagai tugas yang harus dilaksanakan.
- Strategic readiness, yaitu semua pihak telah siap melaksanakan atau menjadi
bagian dari kebijakan, disisi lain kementerian kehutanan beserta UPT-nya di
daerah on the street telah aktif berperan sebagai pelaksana kebijakan di
lapangan.

6. Dukungan Faktor Lain

Unutk mendukung kelima tepat tersebut di atas, masih perlu didukung oleh
tiga jenis dukungan (Nugroho 2009), yaitu dukungan politik, dukungan strategi
dan dukungan teknis.
Pada dasarnya kebijakan PKH merupakan kepentingan sektor lain
(pertambangan dan ekonomi). Tidak ada pilihan lain bagi sektor kehutanan untuk
tidak menerimanya. Situasi politik pada awal digulirkannya kebijakan ini
memang sangat mendukung bagi sektor manapun untuk tidak menolak apa yang
diinginkan oleh pemerintah. Kebijakan apapun digulirkan demi pertumbuhan
ekonomi dan lancarnya pembangunan nasional. Meskipun dalam
perkembangannya kebijakan PKH terimbas oleh adanya perbuahan politik, namun
perubahan tersebut tidak cukup kuat untuk mengubah substansi kebijakan PKH.
Bahkan seiring dengan maraknya kegiatan pertambangan di Indonesia, kebijakan
PKH seolah menjadi solusi yang baik untuk ‗sekedar mengatur dan membatasi‘
kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan. Dukungan politik untuk
menjadikan kebijakan ini tetap eksis datang dari para aktor dengan diskursus
developmentalist25 sedangkan aktor-aktor yang berhaluan conservasionist justru
berpandangan bahwa kebijakan akan mengakibatkan kerusakan hutan semakin
luas dan terjadinya penurunan biodiversitas.
Sementara itu, dukungan strategi dalam implementasi kebijakan PKH
belum terlihat dengan jelas. Pemerintah masih mengandalkan peran aktif aktor
utama implementasi yaitu para pemegang IPPKH dan kepercayaan terhadap
perpanjangan tangan pemerintah di daerah serta peran serta pemerintah daerah
dalam mendukung implementasi kebijakan PKH di lapangan.
Dukungan lain yang diperlukan menurut Nugroho (2009) adalah dukungan
teknis. Kebijakan PKH ini kental dengan nuansa teknis kehutanan, antara lain
teknis planologi, rehabilitasi dan tata usaha kayu. Sementara teknis pertambangan
yang seharusnya menjadi pertimbagnan dalam pengambilan keputusan tidak

25
Menurut Wittmer dan Birner (2005), di Indonesia terdapat tiga diskursus yang berkembang,
yaitu conservasionist, eco-populist dan developmentalist.
78

diperhatikan. Teknis tambang hanya terasa pada peraturan yang mengatur tentang
reklamasi pasca tambang dan penambangan bawah tanah.

Tabel 11 Hasil analisis ketepatan implementasi kebijakan PKH

Kriteria dan Indikator Ketepatan


No Hasil Analisis
Implementasi Implementasi
1. Ketepatan Kebijakan
- Kemampuan Kebijakan PKH dapat dikatakan memecahkan masalah Tepat
memecahkan masalah perbedaan dua kepentingan yang didasari pada argumen-
(how excellent is the argumen yang berseberangan. Ketiadaan alternatif (wacana)
policy).
lain dalam penyelesaian masalah membuat kebijakan ini
seolah menjadi solusi tepat bagi masalah yang sedang
dihadapi
- Kesesuaian dengan Karakteristik sumber daya alam di Indonesia yang tidak Tepat
karakter masalah yang memungkinkan untuk difragmentasi pengelolaannya ke
hendak dipecahkan. dalam sektor-sektor yang berbeda menjadi permasalahan
pelik. Pemerintah mengambil keputusan dilematis untuk
memberikan pengelolaan sebagian kawasan hutan kepada
sektor pertambangan (dan sektor lainnya) dengan pengaturan
yang yang cukup ketat sebagai langkah untuk membatasi dan
mengendalikan dampak yang ditimbulkan.
- Lembaga perumus Kebijakan PKH sejak pertama kali digulirkan (1978) sampai Tepat
kebijakan mempunyai dengan saat ini secara konsisten menjadi kewenangan
kewenangan (misi Kementerian Kehutanan. Meningkatnya permohonan IPPKH
kelembagaan) yang
sejak tahun 2004 hingga saat ini mendorong Kementerian
sesuai dengan karakter
kebijakan. Kehutanan Direktorat PKH pada tahun 2010. Selanjutnya,
direktorat ini yang akhirnya mengakomodir dan memfasilitasi
perumusan (perubahan/perbaikan) kebijakan PKH.

2. Ketepatan Pelaksanaan
- Kesesuaian aktor Pelaksana (implementor) kunci kebijakan PKH adalah Tepat
implementasi pemerintah (kementerian kehutanan), sedangkan
kebijakan implementor utama dalam pelaksanaan kebijakan PKH ini
adalah perusahaan pertambangan yang telah memegang
IPPKH. Keberhasilan implementasi kebijakan sangat
ditentukan oleh kinerja semua pihak. Sinergi antara
pemerintah dan pemegang IPPKH diharapkan dapat
meningkatkan efektifitas implementasi kebijakan.
3. Ketepatan Target
- Kesesuaian target Target yang dintervensi sesuai dengan yang direncanakan, Tepat
dengan rencana tidak ada tumpang tindih dan intervensi piha lain, tidak
bertentangan dengan kebijakan lain.

- Kesiapan target untuk Pemohon IPPKH telah mengetahui kebijakan PKH tersebut, Tepat
dintervensi. meskipun tidak semua pemohon mengetahui prosedur
permohonan, pemenuhan kewajibannya. Pemohon IPPKH
bisa dikatakan telah siap finansial dan kesiapan menerima
semua konsekuensi akibat permohonannya seperti: berbelit-
belitnya birokrasi pengurusan izin, curahan waktu tunggu
yang cukup panjang, biaya transaksi yang tinggi, kondisi
kawasan hutan.
79

Lanjutan Tabel 11
Kriteria dan Indikator Ketepatan
No Hasil Analisis
Implementasi Implementasi
- Efektifitas Perubahan kebijakan lebih pada penambahan/perbaikan Tidak tepat
implemenasi kebijakan persyaratan dan kewajiban yang dibebankan kepada
terkait dengan pemohon izin. Sehingga, perubahan-perubahan tersebut
perubahan-perubahan
justru menambah beban pemohon izin terutama
yang dilakukan.
meningkatnya biaya transaksi pada saat
mengimplementasikan kebijakan tersebut. Banyaknya
permasalahan yang dihadapi pemohon IPPKH sampai
dengan proses pemenuhan kewajiban dan konflik yang
harus dihadapi di lapangan menunjukkan bahwa perubahan-
perubahan kebijakan tersebut tidak efektif meningkatkan
kinerja implementasi kebijakan tersebut
4. Ketepatan Lingkungan
- Variabel endogen : Terbatasnya peranan para aktor dalam perumusan kebijakan Tidak tepat
Interaksi antara PKH mengakibatkan actor networking tidak terbangun dan
lembaga perumus tidak berkelanjutan. Isu-isu lain terkait dengan teknis
kebijakan dengan
kehutanan cenderung tidak melibatkan aktor-aktor di luar
pelaksana kebijakan
dengan lembaga yang kementerian kehutanan sehingga dominansi Kementerian
terkait. Kehutanan dalam perumusan kebijakan menjadi tidak
terbantahkan. Demikian juga dengan proses
implementasinya, hanya terdapat dua aktor yang dominan
yaitu kementerian kehutanan sebagai aktor kunci dan
perusahaan sebagai aktor utama implementasi di ranah
lapangan.

- Variabel eksogen Hampir semua pihak merasa tidak mempunyai interpretasi Tidak tepat
(lingkungan ekternal) : yang berbeda terhadap isi peraturan tentang PKH. Hal itu
terkait dengan opini menunjukkan bahwa kebijakan PKH mempunyai tingkat
dan persepsi publik
ambiguitas (kemenduaan) yang rendah. Namun, kebijakan
ini syarat dengan konflik. Kebijakan ini justru lahir dari
konflik kepentingan, perbedaan nilai dan motivasi serta
konflik penguasaan lahan di ranah tapak.
5. Ketepatan Proses
- Policy acceptance and Para pihak memahami dan menerima kebijakan PKH sebagai Tepat
adoption sebuah ‗aturan main‘ yang diperlukan dalam pengelolaan
kawasan hutan, serta kepastian usaha dan hukum bagi
perusahaan pertambangan. Di sisi lain pemerintah memahami
dan menerima kebijakan sebagai tugas yang harus
dilaksanakan.
- Strategic readiness, Semua pihak siap melaksanakan atau menjadi bagian dari Tepat
kebijakan, di sisi lain kementerian kehutanan beserta UPT-
nya di daerah on the street telah aktif berperan sebagai
pelaksana kebijakan di lapangan.
6. Dukungan Lainnya
- Dukungan Politik Pada dasarnya kebijakan PKH merupakan kepentingan Cukup kuat
sektor lain (pertambangan dan ekonomi). Situasi politik
pada awal digulirkannya kebijakan ini sangat mendukung,
meskipun dalam perkembangannya kebijakan PKH terimbas
oleh adanya perubahan politik, namun perubahan tersebut
tidak mengubah substansi kebijakan PKH.
80

Lanjutan Tabel 11
Kriteria dan Indikator Ketepatan
No Hasil Analisis
Implementasi Implementasi
- Dukungan Strategi Dukungan strategi dalam implementasi kebijakan PKH belum Lemah
terlihat jelas. Pemerintah masih mengandalkan peran aktif
aktor utama implementasi di lapangan.

- Dukungan Teknis Kebijakan PKH kental dengan nuansa teknis kehutanan. Terbatas
Sementara teknis pertambangan yang seharusnya menjadi
pertimbagnan dalam pengambilan keputusan tidak banyak
diperhatikan. Teknis tambang hanya terasa pada peraturan
yang mengatur tentang reklamasi pasca tambang dan
penambangan bawah tanah.

Respon Perusahaan Tambang

Respon dalam arti umum mengandung pengertian jawaban atau reaksi


terhadap sesuatu (Hornby 1985 dalam Agusta 1997). Respon yang ditunjukkan oleh
masyarakat terhadap penerimaan suatu proyek/kegiatan berbeda-beda. Perbedaan
respon yang ditunjukkan masyarakat terhadap kegiatan atau kebijakan dapat dilihat
dari tahapan yang disebut proses adopsi. Menurut Rogers (1983) proses-proses adopsi
tersebut terdiri dari 5 tahap, yaitu :
1. Awareness stage (Tahap sadar) : Individu belajar dari keberadaan ide baru tetapi
kekurangan informasi tentang ide baru tersebut.
2. Interest stage (Tahap minat) : Individu mengembangkan minat dalam inovasi dan
mencari informasi tambahan tentang inovasi tersebut.
3. Evaluation stage (Tahap evaluasi) : Individu mengaplikasikan ide baru di dalam
kehidupannya dan mengantisipasi situasi yang akan datang dan memutuskan
apakah mencobanya atau tidak.
4. Trial stage (Tahap percobaan) : Individu menerapkan ide baru tersebut dalam
skala kecil untuk menentukan kegunaannya dalam situasi sendiri.
5. Adoption stage (Tahap adopsi) : Individu menggunakan ide baru secara terus
menerus (kontinu) pada skala yang penuh.

Data hasil respon perusahaan terhadap implementasi kebijakan PKH dalam


Tabel 12 berikut ini merupakan kombinasi antara data primer dan sekunder. Data
primer diambil melalui observasi langsung di lapangan pada 8 perusahaan dan
hasil wawancara. Sedangkan data lainnya merupakan data sekunder yang
diperoleh dari laporan monitoring, laporan evaluasi dan laporan verifikasi PNBP.
Adanya ketidaklengkapan informasi dalam laporan-laporan tersebut, penulis
melengkapi data respon tersebut dengan pencarian di beberapa laman perusahaan
di internet dan informasi dari hasil-hasil penelitian yang terkait.
81

Tabel 12 Respon perusahaan pemegang IPPKH dalam memenuhi kewajiban PKH

SKOR (Pemenuhan Kewajiban)


Nomor
Jenis Pemeliharaan, Perlindungan, Reklamasi Rehabili- Penyerahan
Peru-
Izin Pengamanan Pengamanan PNBP Revegetasi tasi Laporan Jumlah Rataan
sahaan
Tata Batas Kaw Hutan Areal IPPKH DAS Periodik
1 PKP2B 2 4 5 4 5 2 22 3.67
2 PKP2B 5 4 4 5 4 5 27 4.50
3 PKP2B 5 5 3 4 4 4 25 4.17
4 PKP2B 2 1 5 4 1 2 15 2.50
5 PKP2B 3 4 2 4 5 2 20 3.33
6 PKP2B 2 3 2 4 2 2 15 2.50
7 PKP2B 2 3 2 4 4 2 17 3.40
8 PKP2B 2 3 2 4 1 2 14 2.80
9 PKP2B 4 3 3 4 4 2 20 4.00
10 PKP2B 3 3 2 4 4 2 18 3.60
11 PKP2B 2 3 2 4 4 2 17 2.83
12 PKP2B 4 4 2 4 2 2 18 4.50
13 PKP2B 3 3 2 1 2 5 16 2.67
Jumlah skor PKP2B 39 43 36 50 42 34 244 40.67
14 IUP 4 3 2 4 4 5 22 3.67
15 IUP 2 2 2 4 2 2 14 2.33
16 IUP 4 3 4 3 4 2 20 3.33
17 IUP 2 2 2 3 2 2 13 2.17
18 IUP 2 4 4 4 3 2 19 3.17
19 IUP 3 3 4 4 2 2 18 3.00
20 IUP 1 1 2 1 3 2 10 1.67
21 IUP 3 1 4 4 5 2 19 3.17
22 IUP 3 3 2 4 1 5 18 3.00
23 IUP 4 4 2 1 1 2 14 2.80
24 IUP 2 2 2 1 1 2 10 1.67
25 IUP 2 2 2 1 1 2 10 1.67
26 IUP 3 4 4 3 1 3 18 3.00
Jumlah skor IUP 35 34 36 37 30 33 205 34,6
Total (PKP2B+IUP) 74 77 72 87 72 67 449 79,1
Sumber : Data primer hasil observasi lapangan, data sekunder dalam bentuk laporan monitoring IPPKH, monitoring dan
evaluasi IPPKH, laporan verifikasi PNBP dan pencarian data dan informasi di media lainnya.

Memperhatikan Tabel 12, secara umum (total skor) perusahaan masih


berkategori buruk dalam memenuhi kewajiban IPPKH. Skor nilai untuk lima
indikator dari enam indikator penilaian terhadap pemenuhan kewajiban perusahaan
masih di bawah 79. Mereka belum dapat memenuhi kewajiban pengamanan dan
pemeliharaan batas kawasan hutan (skor 74), perlindungan dan pengamanan kawasan
hutan (skor 77), rehabilitasi DAS (skor 72), pembayaran PNBP (skor 72) dan
penyerahan laporan periodik (skor 67). Rendahnya kinerja perusahaan terhadap
pemenuhan kewajiban IPPKH tersebut lebih banyak disebabkan oleh kelalaian
perusahaan. Sedangkan satu-satunya yang berkategori cukup baik adalah kewajiban
melakukan kegiatan reklamasi dan revegetasi (skor 87). Jika diperhatikan, skor nilai
pemenuhan kewajiban reklamasi dan revegetasi didominasi oleh perusahaan dengan
jenis izin pertambangan PKP2B (50) sementara IUP hanya menyumbang 37.
Hal itu menunjukkan bahwa perusahaan tambang belum dapat
mengimplementasikan kebijakan PKH dengan baik. Kurangnya sosialisasi dan tata
82

cara pemenuhan kewajiban menjadi alasan dominan mereka. Indikator-indikator


tersebut sangat terkait dengan peraturan perundang-undangan sektor kehutanan yang
notabene bukan core business perusahaan tambang. Sementara institusi kehutanan
baik di pusat maupun daerah tidak melakukan sosialisasi tentang tata cara dan standar
pemenuhan kewajiban tersebut.

1. Pemeliharaan dan Pengamanan Batas Kawasan Hutan

Pemeliharaan batas adalah kegiatan yang dilaksanakan secara berkala


untuk menjaga agar keadaan batas secara teknis tetap baik. Sedangkan
pengamanan batas didefinisikan sebagai kegiatan yang dilaksanakan secara terus
menerus untuk menjaga agar tanda batas kawasan hutan terhindar dari kerusakan
dan hilangnya tanda batas (berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan). Dijelaskan dalam
pasal 49 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-
II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan, pemeliharaan dan pengamanan
batas kawasan hutan meliputi; a) pemeliharaan dan pengamanan rintis batas; b)
pemeliharaan dan pengamanan pal batas; dan c) pemeliharaan dan pengamanan
tanda batas lainnya. Pemeliharaan dan pengamanan pal batas dimaksudkan agar
pal batas dapat berfungsi sebagai acuan penentuan posisi batas kawasan hutan di
lapangan.
Peraturan lainnya perihal pemeliharaan dan pengamanan batas kawasan
hutan untuk pemegang IPPKH tersurat dalam pasal 49 ayat (1) dan (2) Permenhut
P.43/Menhut-II/201326, bahwa pemegang izin pemanfaatan hutan, pemegang izin
pinjam pakai kawasan hutan atau pengelola kesatuan pengelolaan hutan (KPH)
dan kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) wajib melaksanakan
pemeliharaan dan pengamanan batas areal kerja. Pemeliharaan dan pengamanan
batas tersebut bertujuan agar rintis batas dan pal batas dapat berfungsi sebagai
acuan letak batas areal kerja.
Aturan-aturan tersebut di atas belum sepenuhnya dipahami oleh pemegang
IPPKH. Observasi lapangan menunjukkan hanya ada dua perusahaan yang melakukan
pemeliharaan dan pengamanan batas kawasan hutan. Namun demikian, pemeliharaan
dan pengamanan batas areal IPPKH tidak menjamin terhindarnya pemegang IPPKH
dari konflik atau permasalahan. Konflik terjadi bukan hanya banyaknya klaim
masyarakat terhadap kawasan hutan, pencurian hasil hutan maupun perburuan satwa,
namun juga konflik tata ruang dengan pemegang izin lainnya, baik izin pemanfaatan
hasil hutan maupun izin perkebunan.
Meskipun semua pemegang IPPKH mengetahui kewajiban tersebut, namun
rata-rata dari mereka tidak mempedulikannya. Nilai total rataan respon untuk
pemenuhan kewajiban untuk 26 perusahaan yang diamati berkategori buruk dengan
skor 74. Untuk pemegang IPPKH dengan status izin PKP2B berkategori buruk
dengan skor 39, sedangkan untuk pemegang IPPKH dengan IUP juga berkategori
buruk dengan skor 35.

26
Tentang penataan batas areal kerja izin pemanfaatan hutan, persetujuan prinsip PKH,
persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan dan pengelolaan kawasan hutan dan pengelolaan
kawasan hutan pada kesatuan pengelolaan hutan dan kawasan hutan dengan tujuan khusus.
83

2. Pengamanan dan Perlindungan Kawasan Hutan

Pemerintah Indonesia telah membuat seperangkat peraturan sebagai dasar


hukum, prosedur dan penyelenggaran perlindungan hutan di Indonesia. Adapun
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kegiatan perlindungan hutan di Indonesia
adalah UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistemnya dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta Peraturan
Pemerintah RI Nomor 45 Tahun 2004 jo Nomor 60 Tahun 2009.
Definisi perlindungan hutan secara tegas terdapat dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Pasal 1 yang merupakan penjabaran dari Undang-
undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 47, perlindungan hutan didefinisikan sebagai
usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil
hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam,
hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat
dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang
berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Perlindungan hutan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004
tentang Perlindungan Hutan pasal 5 bertujuan untuk menjaga hutan, hasil hutan,
kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan
fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari. Sedangkan pada pasal 6
dinyatakan bahwa prinsip-prinsip perlindungan hutan meliputi: a) mencegah dan
membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh
perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit, dan
b) mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan
atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang
berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Kewajiban pemegang IPPKH dalam penyelenggaraan perlindungan hutan
termaktub dalam pasal 8 ayat (2) PP tersebut yaitu bahwa perlindungan hutan atas
kawasan hutan yang telah menjadi areal kerja pemegang izin pemanfaatan
kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil
hutan, izin pemungutan hasil hutan, dan pemegang izin pinjam pakai kawasan
hutan dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab pemegang izin yang
bersangkutan. Dengan demikian, setiap pemegang IPPKH berkewajiban
menjalankan penyelenggaraan perlindungan hutan. Selanjutnya dijelaskan dalam
PP tersebut bahwa perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada pasal 8 ayat
(2) tersebut meliputi :
a. mengamankan areal kerjanya yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan
hasil hutan termasuk tumbuhan dan satwa;
b. mencegah kerusakan hutan dari perbuatan manusia dan ternak, kebakaran
hutan, hama dan penyakit serta daya-daya alam;
c. mengambil tindakan pertama yang diperlukan terhadap adanya gangguan
keamanan hutan di areal kerjanya;
d. melaporkan setiap adanya kejadian pelanggaran hukum di areal kerjanya
kepada instansi kehutanan ya ng terdekat;
e. menyediakan sarana dan prasarana, serta tenaga pengamanan hutan yang
sesuai dengan kebutuhan.
84

Terkait dengan hutan hak, pada pasal 10 disebutkan:

‗…Perlindungan hutan pada hutan hak, dilaksanakan dan menjadi


tanggungjawab pemegang hak meliputi kegiatan antara lain; a. pencegahan
gangguan dari pihak lain yang tidak berhak; b. pencegahan, pemadaman
dan penanganan dampak kebakaran; c. penyediaan personil dan sarana
prasarana perlindungan hutan; d. mempertahankan dan memelihara sumber
air; e. melakukan kerjasama dengan sesama pemilik hutan hak, pengelola
kawasan hutan, pemegang izin pemanfaatan hutan, pemegang izin
pemungutan, dan masyarakat...‘

Namun demikian, sebagian besar pemegang IPPKH tidak memahami


secara detail teknis dan mekanisme menjalankan kewajiban pengamanan dan
perlindungan hutan. Respon mereka hanya terbatas pada Standard Operation
Procedure (SOP) yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan dalam melakukan
pengamanan. Pengamanan dan perlindungan yang dilakukan rata-rata masih
sebatas penyediaan tenaga pengaman (security), baik dari satuan pengaman
(Satpam), personel Kepolisian Sektor (Polsek), personel Kepolisian Resort
(Polres) sampai dengan personel Brigadir Mobil (Brimob). Tenaga pengamanan
tersebut hanya bertugas untuk menjaga keamanan wilayah PKP2B/IUP/IPPKH
selama perusahaan beroperasi. Sedangkan kegiatan pengamanan dan
perlindungan sesuai peraturan perundang-undangan kehutanan yang berlaku
dengan mengerahkan tenaga pengaman tersebut tidak teridentifikasi.
Sebagian pemegang IPPKH terutama yanag berizin PKP2B, melaksanakan
kegiatan perlindungan hutan dengan memasang rambu-rambu larangan/
peringatan/himbauan di tempat-tempat yang strategis agar dapat diketahui oleh
masyarakat. Papan-papan larangan yang dibuat antara lain; larangan memasuiki
kawasan hutan tanpa izin, berburu, mengambil hasil hutan dan membakar lahan.
Namun demikian, pemegang IPPKH belum sepenuhnya dapat membuat steril
kawasan hutan dari masyarakat di sekitarnya dan praktik illegal logging. Hal itu
menjadi sebuah dilemma tersendiri bagi pemegang IPPKH mengingat akses jalan
yang mereka bangun biasanya juga menjadi akses masyarakat dalam menjalankan
kehidupannya sehari-hari.
Pada indikator ini respon pemegang IPPKH berkategori buruk dengan skor
adalah 77. Namun, jika dibandingkan respon antara pemegang IPPKH dengan
status izin PKP2B dan IUP, terdapat perbedaan kategori, yaitu cukup baik untuk
PKP2B dengan skor 43 dan kategori buruk untuk pemegang IPPKH dengan IUP
dengan skor 34. Berdasarkan pengamatan di lapangan selama observasi, memang
terlihat jelas perbedaan kinerjanya dalam menjalankan kewajiban IPPKH antara
pemegang IPPKH dari PKP2B dengan IUP. Pemegang IPPKH dari PKP2B
terlihat lebih serius dan mempunyai komitmen yang lebih baik dibandingkan
pemegan IPPKH dari IUP. Perbedaan respon tersebut juga sebagai bukti tingkat
kepedulian pemegang IPPKH terhadap kawasan hutan.

3. Pembayaran PNBP

Untuk indikator pembayaran PNBP juga berkategori buruk dengan skor


72. Baik pemegang IPPKH dengan izin PKP2B maupun IUP mempunyai nilai
85

skor yang sama yaitu 36 yang menunjukkan dalam pemenuhan kewajiban ini
perilakunya sama. Perusahaan tambang banyak yang terlambat dalam pembayaran
dan ketidaksesuaian jumlah yang harus dibayarkan. Hasil observasi dan
wawancara di lapangan menunjukkan kenyataan bahwa saat ini para pemegang
IPPKH sedang dilanda kebingungan terkait dengan kebijakan pembayaran PNBP.
Mereka mengeluhkan adanya kebijakan baru (diskresi) dari Direktur Jenderal
Planologi27 terkait dengan pembatalan pengembalian PNBP yang telah dibayarkan
jika terdapat kelebihan bayar. Mereka telah berusaha keras untuk membayar
PNBP sesuai baseline28 sebelum jatuh tempo agar tidak terkena denda. Namun
saat dilakukan pengukuran oleh tim verifikasi, kelebihan bayar yang telah
disetorkan kepada negara tidak dapat dikembalikan.
Hampir semua perusahaan tambang merasa dirugikan dengan diskresi
tersebut. Alih-alih membayar tepat waktu (sebelum jatuh tempo), diskresi
tersebut justru menurunkan niat baik pemegang IPPKH untuk membayar PNBP
sebelum jatuh tempo. Menurut mereka, sama saja antara membayar sebelum jatuh
tempo dan terlambat membayar, bedanya tidak terlalu signifikan. Bahkan mereka
beranggapan lebih baik membayar terlambat agar mendapatkan kepastian terlebih
dahulu berapa mereka harus membayar ditambah denda yang harus mereka
bayarkan dibandingkan dengan membayar sebelum jatuh tempo sesuai baseline
ternyata kelebihan bayarnya jauh lebih besar dibandingkan dengan denda yang
harus ditanggung perusahaan.
Kondisi tersebut bertolak belakang dengan apa yang dinyatakan oleh Rusli
(2008) yang pada saat itu menjabat sebagai Dirjen Planologi, bahwa PP Nomor 2
Tahun 2008 meletakkan dasar pengakuan sebagai insentif dan disinsentif bagi
pelaku pengguna kawasan hutan dan wujud nyata tanggungjawab terukur dan
dipertanggungjawabkan secara finansial. Diskresi tersebut seakan menjadi
disinsentif bagi pemegang IPPKH yang telah membayar PNBP tepat waktu.

Tabel 13 Target dan realisasi penerimaan negara bukan pajak

Jumlah Nilai (Rupiah) Persentase Rata-rata (Rp)


No Tahun Wajib Bayar Capaian Per wajib
Target Realisasi
bayar
1 2009 130 198,013,110,000 169,797,334,864 85.75 1,306,133,345
2 2010 182 100,000,000,000 175,859,249,949 175.86 966,259,615
3 2011 251 175,000,000,000 432,550,625,157 247.17 1,723,309,264
4 2012 338 227,293,588,500 472,956,976,846 208.08 1,399,280,997
5 2013 412 495,168,491,322 587,909,692,243* 118.73 1,426,965,272
Rataan 1.313 1,195,475,189,822 1,839,073,879,059 153.84 1,400,665,559

Sumber : Data dan infomasi penggunaan kawasan hutan 2013. Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan, Direktorat
Jenderal Planologi, Kementerian Kehutanan dan (*) Laporan Bulanan Kegiatan Subdirektorat PNBP
Penggunaan Kawasan Hutan Bulan April 2014

27
Surat Direktur Jenderal Planologi Nomor S.209/VII-PKH/2012 tanggal 14 Pebruari 2012)
28
Baseline PKH adalah deskripsi secara kuantitatif dan kualitatif kondisi awal penutupan lahan
areal pinjam pakai pada masing-masing kategori L1, L2 dan L3 yang mengklasifikasikan
kondisi lahan yang dapat direvegetasi atau tidak dapat direvegetasi sebagai dasar penilaian
keberhasilan reklamasi.
86

Tabel 13 di atas menggambarkan penerimaan negara bukan pajak PKH


selama 5 tahun terakhir (2009-2013). Selama rentang waktu tersebut terjadi lonjakan
realisasi pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk PKH (PNBP-PKH)
oleh wajib bayar29. Lonjakan realisasi tersebut berkisar antara 118.73% -247,17%
kemungkinan besar disebabkan oleh kelebihan bayar yang dilakukan oleh wajib
bayar. Dalam konsep awal PNBP dirumuskan, pembayaran PNBP dilakukan oleh
wajib bayar berdasarkan hasil realisasi pengukuran kawasan hutan yang
digunakan untuk kegiatan pertambangan. Pengukuran dilakukan oleh wajib bayar
sendiri (self assessment) yang kemudian akan dilakukan verifikasi oleh
Kementerian Kehutanan untuk melihat kebenaran pengukuran dan pembayaran
PNBP-PKH tersebut. Namun, konsep tersebut tidak diakomodir dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 maupun Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.56/Menhut-II/2008 maupun peraturan-peraturan pelaksanaan di bawahnya.
Dalam Permenhut tersebut hanya disebutkan bahwa besarnya nilai PNBP-
PKH didasarkan pada baseline yang disusun oleh pemegang IPPKH dengan
mengacu pada; a) desain tambang (mine design) atau rencana kerja di bidangnya
dan atau; b) peta lampiran izin pinjam pakai kawasan hutan dan atau; c) rencana
kerja anggaran biaya (RKAB) dan atau; d) rencana kerja tahunan teknis dan
lingkungan (RKTTL) dan atau; e) AMDAL atau UKL-UPL dan atau; f) survei
lapangan. Oleh karena itu pemegang IPPKH membayar PNBP-PKH sesuai
dengan baseline yang telah disusun, namun pada kenyataannya bisa dikatakan
bahwa tidak satupun pemegang IPPKH yang bisa menjalankan rencana kerja
tambangnya sesuai dengan apa yang mereka usulkan yang disebabkan oleh
banyak faktor, baik faktor teknis maupun non teknis.
Terkait dengan diskresi tersebut, Colombatto (2001) menyatakan bahwa
adanya discretionary power (akibat pendelegasian wewenang) akan menimbulkan
pelanggaran atas kontrak keagenan, dan karenanya dapat diprediksi bahwa semakin
besar discretionary power yang dimiliki suau pihak semakin besar pula
kecenderungan mereka mengutamakan kepentingan pribadinya.
Berdasarkan Tabel 13, setiap A rata-rata wajib membayar PNBP sebesar
Rp 1.400.665.559/tahun. Jika asumsi penyusunan target PNBP Kementerian
Kehutanan berdasarkan baseline oleh setiap perusahaan yang telah mendapatkan
IPPKH, maka A seharusnya membayar PNBP sebesar Rp 910.491.386/tahun
untuk setiap perusahaan. Selisih realisasi pembayaran PNBP dengan target yang
ditetapkan Kementerian Kehutanan selama 4 tahun (2010-2013) adalah Rp
490.174.173/tahun setiap perusahaan pemegang IPPKH (wajib pajak) akibat
adanya diskresi Direktur Jenderal Planologi dan denda akibat keterlambatan
membayar PNBP (pembayaran setelah jatuh tempo)

29
Wajib Bayar adalah pemegang perjanjian/izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri, bagi
izin pada provinsi dengan luas kawasan hutannya lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari luas
daratan provinsi (Permenhut P.56/Menhut-II/2008).
87

Tabel 14 Rata-rata besarnya PNBP per hektar per tahun yang dibayarkan
pemegang IPPKH berdasarkan rencana kerja PKH
Luas (Hektar) Rata2
Perusa- Komoditi Waktu
No Total PNBP (Rp) PNBP
haan Tambang Permohonan Penggunaan (Tahun)
(Rp/ha/th)
1 PT. A Batubara 200.70 45.70 10 1,740,720,000 3,809,015
2 PT. B Batubara 136.67 136.67 9 3,429,576,000 2,788,205
3 PT. C Batubara 725.00 546.87 11 10,623,600,000 1,766,017
4 PT. D Batubara 322.71 88.95 9 2,462,472,000 3,075,975
5 PT. E Batubara 1,810.46 837.96 14 26,692,992,000 2,275,338
6 PT. F Batubara 155.45 98.84 13 2,889,864,000 2,249,061
7 PT. G Nikel 890.00 302.00 19 11,134,560,000 1,940,495
8 PT. H Nikel 1,941.10 1,588.88 24 54,263,712,000 1,423,007
9 PT. I Nikel 3,146.20 2,191.74 24 60,842,424,000 1,156,661
10 PT. J Emas 645.45 463.50 20 30,973,776,000 3,341,292
Jumlah 9,973.74 6,301.11 153 205,053,696,000 23,825,068
Rata-rata 997.37 630.11 15.30 20,505,369,600 2,382,507

Sumber : Hasil olah data sekunder dari rencana kerja PKH masing masing perusahaan

Apabila dari perhitungan pada Tabel 14 tersebut di atas dihasilkan rata-rata


PNBP sebesar Rp. 2.382.507/ha/tahun, maka dari luas areal yang akan digunakan
dalam setahun seluas kurang lebih 630,11 hektar akan menghasilkan PNBP rata-
rata yang dikeluarkan oleh setiap perusahaan pemegang IPPKH sebesar Rp.
1.361.890.707/tahun. Maka jika dibandingkan dengan besarnya PNBP yang telah
dibayarkan oleh semua perusahaan pemegang IPPKH rata-rata setiap tahunnya
sebesar Rp 1.400.665.559/tahun, terdapat selisih sebesar Rp 38,774,852 /tahun
untuk setiap pemegang IPPKH. Sama seperti perbandingan target dan realisasi
PNBP pada Tabel 13 sebesar Rp 490.174.173/tahun, selisih PNBP sebesar Rp
38,774,852 /tahun tersebut merupakan denda keterlambatan maupun kelebihan
bayar yang tidak dapat ditarik kembali sebagai akibat dari diskresi Dirjen
Planologi Kehutanan perihal pembatalan persetujuan kelebihan pembayaran
PNBP-PKH.
Dari hasil perhitungan pada Tabel 13 dan 14 di atas terdapat perbedaan
selisih nilai PNBP yaitu berdasarkan target Kementerian Kehutanan Rp
910.491.321/ perusahaan/tahun sedangkan berdasarkan perhitungan (uji petik)
berdasarkan rencana kerja yang disusun oleh perusahaan diperkirakan adalah
sejumlah 1.361.890.707/perusahaan/tahun. Namun demikian dapat disimpulkan
bahwa kebijakan diskresi Dirjen Planologi Kehutanan tersebut meningkatkan nilai
PNBP/perusahaan/tahun sebagai tambahan biaya transaksi yang harus dibayarkan
kepada pemerintah.
Di samping PNBP, rendahnya pemenuhan kewajiban pembayaran PNBP
juga disebabkan oleh belum dipenuhinya kewajiban menyerahkan citra satelit
resolusi sangat tinggi. Citra satelit tersebut digunakan untuk menganalisis bukaan
tambang yang telah dilakukan oleh pemegang IPPKH dan membandingkannya
dengan citra satelit awal pada saat permohonan atau citra satelit pada
pengukuran/verivikasi PNBP sebelumnya. Tidak dipenuhinya kewajiban ini tidak
lepas dari ketidaktahuan dan kelalaian para pemegang IPPKH terkait dengan
faktor-faktor non teknis di internal perusahaan pemegang IPPKH.
88

4. Reklamasi dan Revegetasi

Merujuk Permenhut P.4/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Reklamasi


Hutan, pengertian reklamasi hutan adalah usaha untuk memperbaiki atau
memulihkan kembali lahan dan vegetasi yang rusak agar dapat berfungsi secara
optimal sesuai peruntukannya. Prinsip dasar reklamasi adalah satu kesatuan yang
utuh (holistic) dengan kegiatan penambangan; dan dilakukan sedini mungkin
tanpa menunggu proses penambangan secara keseluruhan selesai dilakukan.
Sedangkan revegetasi adalah usaha untuk memperbaiki dan memulihkan vegetasi
yang rusak melalui kegiatan penanaman dan pemeliharaan pada lahan bekas PKH.
Dalam implementasi kebijakan PKH kegiatan reklamasi dan revegetasi
berkategori cukup baik dengan skor 87. Kegiatan reklamasi dan revegetasi
memang telah menjadi suatu kewajiban bagi perusahaan tambang meskipun tidak
diwajibkan dalam IPPKH. Perusahaan tambang mempunyai komitmen yang
cukup baik untuk melakukan kegiatan ini, terutama pada perusahaan-perusahaan
besar dan go public. Kepercayaan terhadap komitmen perusahaan pertambangan
tersebut juga dinyatakan Dede I. Suhendra (2008)30 yang saat itu menjabat sebagai
Kepala Sub Direktorat Pengawasan Teknik Pertambangan terkait dengan sistem
pembiayaan reklamasi bagi perusahaan tambang, sebagai berikut:

―… Accounting reserve, perusahaan besar dan go publc gak harus uang


karena kita tahu dia bermasalah dengan lingkungan maka publik sahamnya
bisa wah naik turun, kita percaya mereka melakukan dengan benar. Pihak
ketiga, berupa asuransi, jaminan oleh pihak ketiga. Untuk perusahaan yang
masih maju mundur ini yang tingkat kepercayaan kita masih rendah itu
baru dalam bentuk deposito uang, itu di jamrek 336. Reklamasi adalah
kewajiban perusahaan terkait dengan itu …‖

Komitmen dalam melakukan kewajiban reklamasi dan revegetasi juga


ditunjukkan oleh perbedaan respon antara pemegang IPPKH yang mempunyai
izin pertambangan dalam bentuk PKP2B dan IUP. Respon pemegang PKP2B
yang notabene mempunyai dukungan modal finansial relatif lebih besar dan
biasanya merupakan perusahaan (grup) besar mempunyai nilai skor lebih tinggi
yaitu 50 (kategori cukup baik) dibandingkan dengan respon pemegang IUP 37
(berkategori jelek) yang biasanya dimiliki oleh pengusaha-pengusaha dalam
negeri dengan dukungan modal finansial yang tidak terlalu besar. Perbedaan
tingkat komitmen tersebut juga terkait dengan pemenuhan kewajiban-kewajiban
lainnya yang mempunyai perbedaan cukup besar.
Kenyataan kontradiktif diperlihatkan dalam Tabel 15 dibawah ini, bahwa
sampai dengan tahun 2012 realisasi reklamasi (tidak termasuk kegiatan
revegetasi) baru 38,95% dari luas areal yang telah dibuka oleh pemegang IPPKH.
Rendahnya prosentase areal yang direklamasi tersebut tidak mencerminkan
rendahnya komitmen perusahaan dalam melakukan kegiatan reklamasi. Hal itu
disebabkan oleh keterbatasan informasi terhadap data dalam tabel, terutama untuk
luas areal yang dibuka, apakah areal tersebut telah selesai ditambang (mined out)
atau masih sebagai tambang aktif. Kondisi tersebut juga bisa disebabkan oleh
30
Sari DF. 2008. Analisis komponen biaya reklamasi. [Skripsi]. Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik. Jakarta.
Universitas Indonesia.
89

faktor teknis penambangan dan proses penataan lahan dan reklamasi yang
memakan waktu cukup lama. Sehingga tingkat komitmen bisa dikatakan rendah
jika areal yang telah dibuka merupakan areal mined out dan perusahaan tidak lagi
melakukan kegiatan penambangan di areal kerjanya.

Tabel 15 Data perkembangan kegiatan reklamasi hutan pemegang IPPKH


sampai dengan tahun 2013

Jumlah Luas (Ha)


No Wilayah %-ase Reklamasi
IPPKH Bukaan Tambang Reklamasi
1 Sumatera 30 7,194.42 3,060.14 42.53
2 Jawa 5 345.18 37.53 10.87
3 Nusa Tenggara 1 2,009.63 499.60 24.86
4 Kalimantan 62 61,335.82 22,277.23 36.32
5 Maluku 6 1,760.85 1,105.86 62.80
6 Sulawesi 6 7,351.75 1,346.80 18.32
7 Papua 1 1,434.00 259.61 18.10
Jumlah 111 81,431.65 28,586.77 35.11
Sumber : Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan (2014)

Pada dasarnya, kegiatan reklamasi dan revegetasi merupakan kegiatan


yang sangat penting bagi perusahaan karena dari kegiatan ini perusahaan dapat
mengajukan claim untuk mengurangi beban PNBP dengan mengajukan penilaian
terhadap areal yang telah direklamasi dan direvegetasi kepada Kementerian
kehutanan. Keberhasilan kegiatan reklamasi dan revegetasi disebut insentif oleh
Hudoyo31 (Direktur PKH Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan
periode 2011-2012). Menurut Hudoyo; ―…syarat untuk mendapatkan insentif ini,
reklamasi harus sudah dikerjakan selama 3 tahun dan minimal 80% dari tanaman
di areal reklamasi itu harus tumbuh bagus…‖
Sampai dengan akhir tahun 2014, baru 11 perusahaan yang mengajukan
permohonan insentif reklamasi, yaitu dibebaskannya pemegang IPPKH dari
kewajiban membayar PNBP setelah dilakukan penilaian terhadap hasil kegiatan
reklamasi dan revegetasi. Dari sebelas perusahaan tersebut pada Tabel 16,
sembilan perusahaan diantaranya merupaka perusahaan pertambangan dengan
status izin tambang berupa PKP2B. Sedangkan dua perusahaan lainnya yaitu PT.
Karya Utama Tambang dan PT. Kimco Armindo merupakan perusahaan
pertambangan dengan izin yang dikeluarkan oleh Bupati, yaitu izin usaha
pertambangan (IUP). Data tersebut menunjukkan bahwa perusahaan yang
memperoleh izin dari pemerintah pusat (PKP2B maupun KK) mempunyai
komitmen yang cenderung (relative) lebih bagus dibandingkan dengan perusahaan
tambang yang mempunyai IUP dari Gubernur/Bupati/Kota.

31
Anonim. 2012. Insentif reklamasi bagi pengusaha tambang. Majalah Tropis 10 (5): 35-37
90

Tabel 16. Penilaian Keberhasilan Revegetasi Pemegang IPPKH

Luas Areal (Ha) Persentase


No Pemegang IPPKH No SK IPPKH
IPPKH Revegetasi Berhasil Revegetasi Berhasil
1. PT. Marunda Graha Mineral SK.416/Menhut-II/2009 2.248,40 199,56 74,98 5,32 62,71
2. PT. Mahakan Sumber Jaya SK.164/Menhut-II/2008 845,80 278,76 164,93 32,96 59,17
3. PT. Mahakam Sumber Jaya SK.361/Menhut-II/2009 2.925,4 78,03 76,41 2,67 97,92
4. PT. Tanito Harum SK.638/Menhut-II/2009 364,59 114,37 82,02 31,37 71,71
5. PT. Indominco Mandiri SK.565/Menhut-II/2010 4.500,10 1.288,11 248,42 28,62 19,29
6. PT. Newmont Nusa Tenggara SK.501/Menhut-II/2009 6.417,30 54,59 40,79 0,85 74,72
7. PT. Arutmin Indonesia (Batulicin) SK.469/Menhut-II/2008 3.332,46 61,02 26,96 1,83 44,18
8. PT. Arutmin Indonesia (Satui-Kintap) SK.446/Menhut-II/2008 4.114,61 89,20 44,60 2,17 50,00
9. PT. Arutmin Indonesia (Senakin) SK.390/Menhut-II/2008 2.898,40 75,30 75,30 2,60 100,00
10. PT. Karya Utama Tambang SK.293/Menhut-II/2008 695,72 125,28 47,49 18,61 37,91
11. PT. Kimco Armindo SK.217/Menhut-II/2008 873,33 11,23 10,99 1,29 97,86
SK.467/Menhut-II/2009
Jumlah [2.375,45] 892,89 7,86 38,90
Sumber : Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan (2014).

Masih rendahnya tingkat keberhasilan (38,90%) pemegang IPPKH dalam


melakukan kegiatan revegetasi perlu mendapatkan perhatian. Beberapa hal yang
perlu diperhatikan antara lain : sinkronisasi peraturan tentang reklamasi dan
revegetasi antara kehutanan dan pertambangan, criteria dan standar penilaian yang
diberlakukan, sosialisasi peraturan, keberadaan tenaga teknis kehutanan dalam
perusahaan tambang.
Insentif tambang yang diharapkan dapat menarik pemegang IPPKH untuk
lebih proaktif melakukan kegiatan reklamasi dan revegetasi ternyata tidak
ditanggapi positif. Motivasi perusahaan-perusahaan yang mengajukan penilaian
hasil reklamasi dan revegetasi tersebut dalam tabel di atas perlu dipertanyakan,
apakah betul-betul ingin mendapatkan insentif dari kegiatan reklamasi dan
revegetasi yang telah dilakukan? Berdasarkan hasil wawancara dan observasi,
perusahaan-perusahaan tersebut mengajukan penilaian hasil reklamasi dan
revegetasi dengan maksud agar bisa dikembalikan kepada kementerian kehutanan
untuk kemudian mengajukan areal yang baru untuk mendapatkan IPPKH pada
wilayah PKP2B-nya32. Bahkan, perusahaan merasa terpaksa melakukan
pengajuan tersebut karena tidak ada jalan keluar untuk dapat mengajukan
perluasan IPPKH di wilayah PKP2B-nya yang disebabkan oleh habisnya kuota
10% pada areal IUPHHK.
Di mata para pemegang IPPKH, insentif yang diharapkan dapat memacu
percepatan kegiatan reklamasi dan revegetasi dipandang hanya sebagai beban
bagi perusahaan, bukanlah insentif yang membuat para pengusaha tertarik untuk
giat dan responsive melakukan kegiatan reklamasi dan revegetasi. Gambaran itu
mengisyaratkan bahwa insentif yang dimaksudkan oleh pejabat kementerian
kehutanan bukanlah insentif yang mereka harapkan, atau dengan kata lain bahwa
insentif berupa pengurangan PNBP tidak cukup menarik para pemegang IPPKH

32
Salah satu materi yang dibicarakan dalam rapat pembahasan yang diselenggarakan di BPKH
Wilayah IV-Samarinda dan para pihak lainnya adalah membahas rencana pengembalian
kawasan hutan kepada pemerintah (cq Menteri Kehutanan)
91

untuk segera melakukan kegiatan reklamasi dan revegetasi. Sehingga bisa


dikatakan bahwa insentif tersebut dianggap tidak ada.

5. Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai

Kebijakan pemerintah memberikan kewajiban merehabilitasi daerah aliran


sungai (DAS) tersurat dalam PP Nomor 24 Tahun 2008 jo PP No 61 Tahun 2012
tentang PKH pasal 6 ayat (2) huruf b yang berbunyi sebagai berikut:

‗…izin pinjam pakai kawasan hutan dengan kompensasi membayar


Penerimaan Negara Bukan Pajak PKH dan melakukan penanaman dalam
rangka rehabilitasi daerah aliran sungai, untuk kawasan hutan pada
provinsi yang luas kawasan hutannya di atas 30% (tiga pulu perseratus)
dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi …‘

Teknis pengajuan lokasi rehabilitasi daerah aliran sungai mengacu pada


Peraturan Menteri Kehutanan Nomr P.63/Menhut-II/2011 tentang pedoman
penanaman bagi pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan dalam rangka
rehabilitasi daerah aliran sungai, sebagai berikut;
- Pemegang IPPKH mengajukan atau memohon calon lokasi penanaman kepada
Direktur Jenderal dengan tembusan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan
Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) setempat serta
instansi terkait lainnya.
- Direktur Jenderal menugaskan Kepala BPDAS setempat untuk memverifikasi
calon lokasi penanaman.
- Hasil verifikasi calon lokasi penanaman oleh Kepala BPDAS disampaikan
kepada Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan, dilampiri dengan peta
digital dengan skala minimal 1 : 10.000 dan deskripsi calon lokasi antara lain
mengenai keadaan biofisik dan sosial ekonomi.
- Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan menyiapkan konsep keputusan
Direktur Jenderal tentang penetapan lokasi penanaman dalam rangka
rehabilitasi DAS dilampiri dengan peta skala minimal 1 : 10.000.
- Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan lokasi penanaman dalam
rangka rehabilitasi DAS paling lambat 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak
tanggal diterimanya hasil verifikasi
- Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan wajib menyusun rencana
penanaman tahunan pada lokasi yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal
- Rencana penanaman tahunan memuat deskripsi lokasi, luas, jenis dan jumlah
tanaman, sarana/prasarana, biaya, tata waktu, organisasi pelaksana dan
pelaporan yang dilengkapi peta skala minimal 1 : 10.000.
- Penyusunan rencana penanaman tahunan tersebut diselesaikan paling lambat 15
(lima belas) hari kerja setelah penetapan lokasi penanaman oleh Direktur
Jenderal;
- Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan menyusun rancangan teknis
penanaman untuk setiap tapak/blok areal penanaman berdasarkan rencana
penanaman tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- Rancangan teknis penanaman memuat rincian luas areal, status penguasaan
lahan, fungsi kawasan, jenis dan jumlah tanaman, pola tanam, sarana/prasarana,
92

tenaga kerja, biaya, tata waktu, peta situasi minimal skala 1 : 10.000 dan peta
penanaman per blok minimal skala 1 : 5.000.
- Rancangan teknis penanaman pada kawasan hutan lindung dan di luar kawasan
hutan dinilai oleh Kepala BPDAS/Kepala Balai Pengelolaan Hutan Mangrove
dan disahkan oleh Kepala Dinas kabupaten/kota yang menangani kehutanan.
- Rancangan teknis penanaman pada kawasan hutan konservasi dinilai oleh
Kepala BPDAS/Kepala Balai Pengelolaan Hutan Mangrove dan disahkan oleh
Kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumberdaya Alam/Taman Nasional.
- Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan wajib memiliki unit kerja yang
menangani pelaksanaan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS.
- Unit kerja penanaman tersebut mempekerjakan tenaga teknis yang
berkualifikasi sarjana kehutanan/pertanian selama jangka waktu penanaman
dalam rangka rehabilitasi DAS dengan ketentuan luas sampai dengan 600
(enam ratus) hektar minimal 1 (satu) orang dan lebih dari 600 (enam ratus)
hektar minimal 2 (dua) orang.
- Penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS dilaksanakan oleh pemegang izin
pinjam pakai kawasan hutan dapat dilakukan dengan cara swakelola dan/atau
oleh pihak ketiga.
- Pelaksanaan penanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah
dimulai paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak disahkannya
rancangan teknis penanaman.
Permenhut P.63/Menhut-II/2011 merupakan peraturan yang digulirkan
oleh Kementerian Kehutanan sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan rehabilitasi
DAS bagi pemegang IPPKH. Peraturan ini mendukung Permenhut P.18/Menhut-
II/2011 tentang pedoman pinjam pakai kawasan hutan yang terlebih dahulu terbit
(yang kemudian diubah menjadi Permenhut Nomor P.16/Menhut-II/2014)
sebagai peraturan pelaksanaan dari PP Nomor 24 Tahun 2008 jo PP Nomor 61
Tahun 2012 tentang PKH. Namun, kurangnya sosialisasi peraturan tentang
prosedur rehabilitasi DAS kepada para pemegang IPPKH menjadikan respon
pemegang IPPKH sangat rendah. Dari 152 IPPKH yang berada di tiga provinsi
(Kaltim, Kalsel dan Sultra) baru 26 (17,11%) perusahaan yang telah mengajukan
permohonan lokasi rehabilitasi DAS (Tabel 17).

Tabel 17 Data perkembangan pemenuhan kewajiban rehabilitasi DAS di tiga


provinsi

No Provinsi IPPKH Rehabilitasi DAS Prosentase


1 Kalimantan Timur 71 Unit 19 Unit 26.76
2 Kalimantan Selatan 60 Unit 7 Unit 11.67
3 Sulawesi Tenggara 21 Unit 0 Unit -
Jumlah 152 Unit 26 Unit 17.11
Sumber : BPDAS Mahakam, BPDAS Barito, BPDAS Sampara dan
http://www.dephut.go.id/index.php/news/details/9417

Panjangnya tahapan yang harus dilalui dan banyaknya kewajiban yang


tidak dipahami oleh pemegang IPPKH menjadi pertimbangan/alasan bagi
pemegang IPPKH untuk mengenyampingkan pemenuhan kewajiban. Banyak dari
93

pemegang IPPKH menunda pemenuhan kewajiban tersebut karena kedua alasan


di atas, namun terdapat pula perusahaan yang menundanya karena belum aktifnya
kegiatan tambang di lapangan yang disebabkan oleh kesulitan financial, harga
komoditi yang anjlok, konflik dengan pihak lain (Pemegang IUPHHK dan/atau
masyarakat).
Di samping faktor kurangnya sosialisasi dan panjangnya rantai pengurusan
permohonan, terbatasnya kawasan hutan yang akan dijadikan lokasi rehabilitasi
DAS juga menghambat progres pemenuhan kewajiban ini. Kendala tersebut
sangat dirasakan terutama di Provinsi Kalimantan Selatan dan Sulawesi Tenggara.
Sebagian besar kawasan hutan di kedua provinsi tersebut telah dibebani hak, baik
IUPHHK, IPPKH, maupun IUP. Sementara hutan lindung dan kawasan
konservasi mempunyai akses yang sangat sulit, sehingga pemegang IPPKH
merasa enggan untuk mendapatkan calon lokasi dengan akses yang menyulitkan
pelaksanaan kegiatan rehabilitasinya karena akan berimbas pada tingginya biaya
transaksi yang harus ditanggung.
Beberapa pemegang IPPKH juga mengeluhkan kebijakan rehabilitasi DAS
ini, terutama pada penentuan luas kawasan hutan yang harus direhabilitasi.
Mereka berpendat bahwa ‗seharusnya luas kawasan hutan yang direhabilitasi
berdasarkan luas kawasan hutan yang digunakan/dibuka untuk kegiatan tambang,
bukan luas kawasan hutan yang dipinjam pakai‘. Situasi ini juga menjadi beban
tersendiri untuk semua pemegang IPPKH karena luas kawasan hutan yang harus
direhabilitasi lebih luar dari luas IPPKH, mengingat dalam ketentuannya
pemegang IPPKH harus merehabilitasi DAS seluas IPPKH ditambah dengan areal
kawasan hutan yang secara teknis tidak dapat dilakukan reklamasi dan revegetasi
atau masuk dalam kategori L333.
Berbagai faktor tersebut di atas yang menyebabkan respon pemegang
IPPKH sangat rendah, berkategori buruk (skor 72). Pemegang IPPKH dengan
PKP2B/KK mempunyai komitmen yang jauh lebih baik dalam pemenuhan
kewajiban ini dengan kategori cukup baik (skor 42) dibandingkan dengan
pemegang IPPKH dengan IUP yang berkategori sangat buruk (skor 30).

6. Penyerahan Laporan Periodik

Berdasarkan kategori respon yang telah ditetapkan, tidak terdapat


perbedaan respon yang mencolok antara perusahaan tambang yang mempunyai
izin dalam bentuk PKP2B/KK dengan izin dalam bentuk IUP. Untuk indikator
penyerahan laporan, respon pemegang IPPKH sama-sama dalam kategori buruk
(skor 67). Respon perusahaan tambang PKP2B sedikit lebih baik dengan skor 34
sedangkan perusahaan tambang IUP mempunyai nilai skor 33.
Skor tersebut menunjukkan bahwa kewajiban penyerahan laporan banyak
diabaikan oleh pemegang IPPKH. Sebagian besar perusahaan beralasan tidak
mengetahhui format baku/standar laporan yang diinginkan oleh kementerian
kehutanan, sebagian lainnya beralasan lupa dan terlambat menyeahkan laporan
karena waktu tersita oleh kegiatan produksi di lapangan.

33
L3 adalah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 yaitu area
terganggu karena PKH yang bersifat permanen yang secara teknis tidak dapat dilakukan
reklamasi (ha) yang selanjutnya dikenakan 2 (dua) kali tarif PNBP sampai areal diserahkan
kembali.
94

Asumsi Kebijakan PKH

Berdasarkan analisis isi terhadap peraturan-perundangan terkait dengan


kebijakan PKH, hasil wawancara dengan para pihak dan observsi di lapangan,
terdapat beberapa asumsi dalam kebijakan PKH, yaitu:

1. Pemegang IPPKH mengerti tentang pengelolaan hutan

Pertambangan dan energi merupakan sektor pembangunan penting bagi


Indonesia. Industri pertambangan sebagai bentuk kongkret sektor pertambangan
telah banyak berkontribusi terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Industri
pertambangan juga telah banyak mempekerjakan tenaga kerja masyarakat
Indonesia. Namun dari sisi lingkungan hidup, pertambangan dianggap paling
merusak dibanding kegiatan-kegiatan eksploitasi sumberdaya alam lainnya.
Pertambangan dapat mengubah bentuk bentang alam, merusak dan atau
menghilangkan vegetasi, menghasilkan limbah tailing, maupun batuan limbah,
serta menguras air tanah dan air permukaan. Jika tidak direhabilitasi, lahan-lahan
bekas pertambangan akan membentuk kubangan raksasa dan hamparan tanah
gersang yang bersifat asam.
Praktik kegiatan tambang yang merusak tersebut harus diantisipasi dengan
baik oleh sektor kehutanan. Banyaknya persyaratan dan kewajiban yang
dibebankan kepada perusahaan tambang menjadi gambaran bahwa pemerintah,
dalam hal ini kementerian kehutanan, berusaha keras untuk menjaga kondisi
kawasan hutannya (meminimalisir) dari kerusakan akibat kegiatan tambang. Pada
kenyataannya perusahaan tambang hanya mampu menyiapkan persyaratan
permohonan IPPKH saja, sementara kewajiban-kewajiban lainnya masih perlu
waktu untuk mendapatkan buktinyata. Perbedaan latar belakang, tujuan dan
motivasi, jenis komoditi dan teknik pengelolaan antara sektor pertambangan dan
kehutanan menjadi kendala bagi implementasi kebijakan PKH. Hal itu dikarena
sulitnya memadukan kepentingan kedua sektor tersebut.
Kebijakan PKH disusun oleh kementerian kehutanan yang minim aspirasi
publik. Tidak banyak pihak yang dilibatkan dalam proses perumusannya,
sehingga kementerian kehutanan terkesan berjalan di atas rel-nya sendiri dengan
cara pandangnya sendiri yang terbatas hanya pada sektor kehutanan saja.
Sementara kebijakan PKH merupakan ‗rule of the game‘ yang diperuntukkan bagi
sektor pertambangan dan sektor lainnya. Ketiadaan pertimbangan teknis dalam
perumusan kebijakan ini mengakibatkan banyaknya ‗gap‘ yang terjadi antara
narasi kebijakan dengan praktik pertambangan di lapangan. Dari data respon yang
tersaji di atas menunjukkan bahwa pemegang IPPKH masih mengalami kesulitan
dalam memenuhi hampir semua keweajiban. Banyaknya aturan main sektor
kehutanan yang tidak mereka ketahui, belum familiarnya dalam pengelolaan
kawasan hutan, kurangnya sosialisasi dan permasalahan-permasalahan yang harus
mereka hadapi terkait dengan teknis maupun administrative sektor pertambangan
menjadi alasan sulitnya kebijakan PKH untuk diimplementasikan.
95

2. Pemegang IPPKH mampu dan mau (berkomitmen) memenuhi semua


kewajiban

Asumsi kedua ini merupakan efek lanjutan dari asumsi pertama. Dengan
dukungan financial yang rata-rata sangat kuat, pemegang IPPKH dianggap
mampu untuk memenuhi semua kewajiban yang diberikan oleh pemerintah.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah seberapa besar pemerintah menaruh
kepercayaan (trust) kepada para pemegang IPPKH ? Diperlukan kemauan atau
komitmen dari pemegang IPPKH untuk melaksanakan kebijakan PKH dengan
baik dan benar.
Berdasarkan data respon terhadap enam indikator yang ditetapkan di atas,
terutama pelaksanaan kebiatan reklamasi dan revegetasi serta rehabilitasi DAS,
maka sangat perlu ditingkatkan sistem kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan
PKH di lapangan. Kontrol terutama kepada pemegang IPPKH yang mempunyai
izin tambang IUP dari Bupati yang rata-rata berkinerja buruk. Sementara
pemegang IPPKH dari PKP2B /KK rata-rata berkategori cukup baik. Diharapkan
dengan ketatnya control terhadap para pemegang IPPKH dapat meningkatkan
kemauan atau komitmen mereka terhadap keberhasilan implementasi kebijakan
PKH.

3. Perencanaan kegiatan pertambangan sama dengan kegiatan kehutanan

Asumsi bahwa kegiatan pertambangan sama dengan kegiatan kehutanan


dapat diketahui melalui pencermatan terhadap peraturan PKH mulai dari
penyiapan persyaratan permohonan, kewajiban-kewajiban pada saat mendapatkan
izin prinsip PKH sampai dengan pemenuhan kewajiban pada saat IPPKH.
Persyaratan permohonan IPPKH dalam bentuk rencana kerja34 PKH untuk
kegiatan pertambangan disusun dengan konten yang mirip dengan perencanaan
eksploitasi hasil hutan kayu. Perencanaan eksplotiasi tambang dengan metode
back filling digambarkan seperti eksploitasi hasil hutan kayu dengan siklus daur
pertumbuhannya. Pada kenyataan tidak demikian, sifat komoditi pertambangan
yang tidak dapat diprediksi dengan tepat (unpredictable) menjadi masalah
tersendiri bagi pemegang IPPKH pada saat implementasi kebijakan PKH di
lapangan. Pelaksanaan penambangan di lapangan sebagian besar tidak sesuai
dengan rencana yang telah disusun. Selain tidak tepatnya letak, arah, ketebalan,
mutu dan jumlah deposit yang terkandung dalam wilayah pertambangan,
permintaan pasar dan pengaruh kebijakan lain dari pemerintah juga sangat
mempengaruhi kinerja pemegang IPPKH dalam memenuhi kewajiban dalam
implementasi kebijakan PKH.
Pelaksanaan kegiatan pertambangan yang tidak sesuai dengan rencana
kerja tersebut di atas akan mengubah perencanaan penambangan, atau setidaknya

34
Penyusunan rencana kerja merupakan persyaratan yang diwajibkan oleh Kementerian
Kehutanan yang disertai dengan peta lokasi dan citra landsat terbaru resolusi minimal
15mx15m. Rencana kerja tersebut disusun berdasarkan format (outline) baku yang telah
disepakati di internal Direktorat PKH, Direktorat Jenderal Planologi. Dalam praktiknya, format
rencana kerja tersebut bersifat fleksibel, namun secara garis besar berisi materi-materi pokok
yang dikehendaki oleh Kementerian Kehutanan. Rencana kerja ini menjadi acuan bagi
penyusunan baseline untuk pembayaran PNBP
96

menunda waktu pelaksanaan penambangan. Imbas dari perubahan rencana


tersebut adalah tidak sesuainya baseline yang disusun oleh pemegang IPPKH
terkait dengan kewajiban pembayaran PNBP. Efek lanjutannya adalah melesetnya
target PNBP yang telah dicanangkan oleh Kementerian Kehutanan. Meskipun
Direktur Jenderal Planologi mengambil kebijakan untuk memberikan kesempatan
kepada pemegang IPPKH untuk mengubah rencana kerja dan baseline, namun hal
itu tidak menyelesaikan masalah karena masalah tersebut bukan hanya masalah
teknis dan pasar saja, tapi juga persoalan non-teknis dan politis. Karakteristik
sumbder daya tambang yang unpredictable (underground resources) tersebut
tidak bisa disamakan dengan sumberdaya kayu yang dapat dilihat di atas
permukaan bumi, dapat ditentukan ketersediaannya, diketahui jumlah dan
kualitasnya serta dapat dipastikan pemanfaatannya.

4. Para pihak yang berkepentingan mampu dan siap mengimplementasikan


kebijakan

Institusi kehutanan yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah pusat


siap dengan segala tugas dan peranannya dalam implementasi PKH. Dari tiga
provinsi yang menjadi lokus penelitian, dua provinsi mempunyai beban yang
berat. Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan merupakan provinsi
dengan IPPKH yang paling banyak. Beban tersebut tidak diimbangi dengan
kesiapan pendanaan dan keterbatasan sumber daya manusia.
Sampai dengan bulan Oktober 2013 telah terbit 71 IPPKH untuk kegiatan
pertambangan di Kalimantan Timur dan 60 IPPKH di Kalimantan Selatan. Jika
terhadap perusahaan-perusahaan pemegang IPPKH tersebut dilaksanakan
verifikasi pembayaran PNBP, maka akan memerlukan sumber daya manusia yang
sangat besar untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Demikian juga jika akan
dilakukan kegiatan monitoring yang dikoordinasikan oleh Dinas Kehutanan
Kabupaten/Kota, maka akan menjadi dua kali kebutuhan sumber daya manusia
pelaksana. Ketersediaan dana kegiatan juga masih sangat terbatas, terutama untuk
kegiatan monitoring IPPKH. Keterbatasan kemampuan institusi tersebut harus
dicarikan jalan keluarnya agar implementasi kebijakan PKH dapat berjalan
dengan lebih baik.
Sementara pemegang IPPKH sebagai implementor utama ‗mau tidak mau‘
menyatakan siap dan mampu melaksanakan kebijakan PKH. Bagi pemegang
IPPKH, akses untuk melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan
adalah hal yang paling utama. Sebesar apapun biaya korbanan yang harus
dikeluarkan, asalkan masih dalam batas kewajaran dan masih dalam batas
kemampuan finansial pemegang IPPKH akan dikerahkan demi lancarnya produksi
tambang mereka. Pemegang IPPKH memahami segala konsekuensi akibat
terbitnya IPPKH atas nama perusahaannya. Namun demikian, semakin kecil
korbanan yang mereka keluarkan akan semakin baik. Bahkan menurut salah
seorang kepala teknik tambang (KTT) yang menjadi salah satu responden
menyatakan bahwa sebenarnya setiap penurunan biaya transaksi yang diakibatkan
pelaksanaan IPPKH bagi perusahaan adalah insentif.
97

Analisis Asumsi (Gap Analysis)

Analisis asumsi diciptakan untuk mengatasi empat kelemahan utama


dalam analisis kebijakan: (1) analisis kebijakan seringkali didasarkan pada asumsi
dari satu pembuat keputusan dengan nilai-nilai yang ditata secara jelas yang dapat
direalisasikan pada satu titik waktu, (2) analisis kebijakan biasanya gagal
mempertimbangkan secara sistematis dan eksplisit pandangan-pandangan yang
sangat berlawanan mengenai sifat, masalah-masalah dan potensi pemecahannya,
(3) kebanyakan analisis kebijakan dilakukan dalam organisasi-organisasi di mana
sifat "self-sealing"nya membuat sulit atau tidak mungkin untuk menghadapi
rumusan-rumusan masalah yang besar, dan (4) kriteria yang digunakan untuk
menilai kecukupan masalah dan solusinya sering kali hanya menyentuh
karakteristik permukaannya (misalnya konsistensi logis), daripada dengan asumsi-
asumsi dasar yang melandasi konseptualisasi masalah (Dunn, 2003).
Hasil analisis asumsi terhadap implementasi kebijakan PKH sebagaimana
dijelaskan pada bagian sebelumnya terrangkum dalam Tabel 18.

Tabel 18 Matriks hasil analisis asumsi (gap analysis) yang digunakan dalam
implementasi kebijakan PKH

No Asumsi Kabijakan Hasil Analisis Keterangan


1. Pemegang IPPKH mengerti Perbedaan tujuan dan motivasi pengelolaan sumber Terdapat gap
tentang pengelolaan hutan daya alam, rigidnya peraturan perundang-undangan
sektor kehutanan terkait dengan kewajiban-
kewajiban pemegang IPPKH, kurangnya aspirasi
publik dan pertimbangan teknis pertambangan dalam
proses perumusan kebijakan PKH menjadi dasar
implementor tidak mengerti dan memahami
pengelolaan hutan seperti yang diharapkan oleh
perumus kebijakan.
2. Pemegang IPPKH mampu Kemampuan pemegang IPPKH dalam implementasi Terdapat gap
dan mau (berkomitmen) kebijakan PKH tidak diragukan, namun data respon
memenuhi semua kewajiban pemegang IPPKH menunjukkan hal yang
sebaliknya. Perlu kontrol yang lebih ketat dari
pemerintah.
3. Perencanaan kegiatan Karakteristik sumberdaya tambang yang Terdapat gap
pertambangan sama dengan unpredictable menyebabkan kegiatan tambang di
kegiatan kehutanan lapangan tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan
rencana kerja PKH yang telah disusun. Berbeda
dengan sumber daya hutan yang kayu yang dapat
dilihat di atas permukaan bumi, dapat ditentukan
ketersediaannya, diketahui jumlah dan kualitasnya
serta dapat dipastikan pemanfaatannya
4. Para pihak mampu dan siap Beban dan tanggung jawab yang harus diemban oleh Terdapat gap
mengimplementasikannya institusi kehutanan di daerah tidak sebanding dengan di beberapa
jumlah IPPKH yang berada di daerahnya. Hal itu provinsi
harus diimbangi dengan kesiapan sumber daya
manusia dan ketersediaan dana. Sementara kesiapan
dan kemampuan pemegang IPPKH untuk
mengimplementasikan kebijakan PKH tidak perlu
diragukan.
98

Isu-isu dalam Implementasi Kebijakan dan Arah Kebijakan PKH

1. Illegal mining dalam kawasan hutan

Keberadaan kebijakan PKH tidak secara otomatis membuat perusahaan


sadar dan kemudian mematuhinya. Illegal mining masih terjadi di beberapa
daerah, baik dalam skala yang kecil maupun besar, dilakukan secara tersembunyi
maupun terbuka. Beberapa faktor yang menjadi alasan perusahaan melakukan
illegal mining terkait dengan kebijakan PKH antara lain; berbelit-belitnya
prosedur perizinan, membutuhkan waktu yang lama, biaya transaksi yang tinggi,
keberadaan aktor kuat sebagai backing perusahaan, kurangnya pengawasan aparat
pemerintah yang berwenang, dan lemahnya penegakan hukum.
Salah satu maksud dirumuskannya kebijakan PKH adalah untuk
meminimalisir terjadinya illegal mining dan mengendalikan penggunaan kawasan
hutannya. Di satu sisi maksud tersebut mencapai sasaran, namun di sisi yang lain
justru mengakibatkan perilaku moral hazard bagi beberapa perusahaan. Hal itu
tidak terlepas dari prosedur perizinan yang berbelit-belit, membutuhkan waktu
yang lama dan biaya transaksi yang tinggi. Sebagai langkah konkrit untuk
mengurangi praktik illegal mining yang disebabkan oleh buruknya prosedur
perizinan, kementerian kehutanan mengambil langkah-langkah melalui kebijakan
perizinan satu pintu35, penyusunan standar pelayanan perizinan PKH melalui
Surat Keputusan (SK) Dirjen Planologi Nomor SK.8/VII-PKH/2013 tanggal 14
Juni 2013 tentang standar pelayanan pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan
(IPPKH). Kedua kebijakan tersebut juga merupakan respon dari Inpres Nomor 1
Tahun 2013 tentang aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi tahun 201336.
Diharapkan dengan kebijakan tersebut, pemohon IPPKH tidak lagi mengalami
kesulitan, birokrasi menjadi semakin ringkas, pelayanan semakin cepat, transparan
dan biaya transaksi proses perizinan dapat ditekan, sehingga praktik illegal mining
di lapangan bisa dikurangi.
Hasil pengamatan dan wawancara dengan berbagai pihak di lapangan
mendapatkan kenyataan bahwa sebagian praktik illegal mining dilakukan di dalam
kawasan hutan lindung. Para pelaku merasa tidak ada jalan lain untuk

35
Untuk memperbaiki pelayanan perizinan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan resmi meluncurkan
pelayanan informasi perizinan satu pintu Kementerian Kehutanan, Rabu, 11 September 2013.
Pelayanan ini, katanya, merupakan bentuk reformasi birokrasi dari kementeriannya. Dengan
pelayanan ini, menurut dia, proses perizinan akan menjadi lebih mudah dan transparan. Dalam
layanan baru itu, proses perizinan dilakukan melalui satu pintu sehingga lebih cepat. "…Selama
ini, orang selalu pikir birokrasi itu berbelit..." kata Zulkifli. Selain itu, pemohon dapat
mengetahui secara jelas waktu yang dibutuhkan untuk proses perizinan. "…Biaya yang
dibutuhkan juga jelas ditampilkan..." Menurut Zulkifli, selama ini memang banyak pihak yang
mengeluhkan lamanya waktu perizinan di kementeriannya. Namun, yang perlu dicatat adalah
ketersediaan kelengkapan yang dimiliki oleh pemohon. (Chairunnisa N. 2013. Kemenhut
luncurkan perizinan satu pintu. [internet] Tempo. Diakses di http://www.tempo.co/
read/news/2013/09/11/090512449/Kemenhut-Luncurkan-Perizinan-Satu-Pintu pada tanggal 29
Januari 2014.
36
Dalam lampiran Inpres Nomor 1 Tahun 2013 disebutkan bahwa kementerian kehutanan
diberikan tanggungjawab untuk melaksanakan pelayanan perizinan tepat waktu secara online
untuk 8 jenis perizinan dengan ukuran keberhasilan terselenggaranya monitoring dan evaluasi
pelayanan perizinan secara online untuk 8 jenis perizinan
99

mengembalikan investasi yang terlanjur dikeluarkan untuk mengurus perizinan


dan biaya operasional lainnya dengan melakukan penambangan di kawasan hutan
lindung tanpa izin dari menteri kehutanan. Para pelaku mengetahui bahwa
melakukan penambangan di hutan lindung secara terbuka (open surface mining)
dilarang oleh pemerintah. Keberanian para pelaku melanggar ketentuan tersebut
tidak lepas dari kekuatan aktor yang mem-back up perusahaan.
Kekuatan para aktor tersebut harus dihadapi dengan sikap penegakan
hukum yang ketat dan tegas. Melihat kecenderungan modus lain dalam praktik
illegal mining, pemerintah dirasa perlu untuk mengambil langkah-langkah konkrit
atau kebijakan pemberantasan illegal mining. Kebijakan tersebut bisa dalam
bentuk penguatan peraturan perundangan, perumusan peraturan baru, penguatan
kelembagaan PKH, pembentukan satgas pemberantasan illegal mining maupun
kebijakan starategis lainnya yang sesuai untuk menjawab permasalahan tersebut.

2. Naiknya tarif PNBP

Pro-kontra terhadap lahirnya PP Nomor 2 Tahun 2008 tentang pengenaan


tarif PNBP PKH tidak menyurutkan upaya pemerintah untuk menaikkan
pemasukan negara melalui PNBP dari pemegang IPPKH. Informasi dari berbagai
sumber menyebutkan bahwa pemerintah berencana menaikkan tarif PNBP PKH.
Pemegang IPPKH juga sebagian besar sudah mengetahui rencana pemerintah
tersebut.
Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan37 mengatakan tarif pinjam pakai
kawasan hutan akan dinaikkan 55 persen hingga 179 persen per hektar. Dengan
kenaikan ini diharapkan PNBP kehutanan bisa 5 triliun hingga 6 triliun. Kenaikan
tarif berbeda untuk masing-masing perusahaan, tergantung pada luas kawasan
hutan yang digunakan. Semakin luas lahan hutan yang dipinjam, maka semakin
besar pula kenaikan tarifnya. Hal lain yang menentukan besaran kenaikan yaitu
tingkat kerusakan lahan. Jika ada area yang mengalami kerusakan sangat berat,
akan masuk kategori L3, tarifnya akan menjadi tujuh kali. Selain itu, tarif pinjam
pakai kawasan hutan yang semula hanya dikenakan pada area pertambangan,
nantinya juga akan dikenakan pada area penyangga/pencadangan. Sehingga, jika
dulu area pencadangan tidak dikenai tarif, sekarang masuk kategori wajib PNBP,
harus bayar.
Zulkifli Hasan38 juga menjelaskan, kenaikan tarif ini diberlakukan setelah
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai tarif pinjam pakai kawasan hutan yang
dikenakan kepada pengusaha pertambangan selama ini terlalu murah. Karena itu,
lanjutnya, harus ada keadilan bagi negara. Jangan sampai negara justru dirugikan
di tengah keuntungan perusahaan tambang mengeruk hasil alam di tanah air.
Pemerintah menilai tarif pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan sektor
lain, terutama sektor pertambangan sudah tidak memadai lagi. Kementerian Kehutanan
akan menaikkan tarif pinjam pakai kawasan hutan untuk berbagai kegiatan di luar
sektor kehutanan sampai 45,8 persen.

37
Herdiman FS. 2013. Tarif naik: PNBP Kehutanan bisa capai Rp. 6T. [Internet] Jurnas.com.
Diakses di http://www.jurnas.com/news/82703 pada tanggal 29 Januari 2014
38
Ibid
100

Direktur Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan Bambang


Soepijanto39 mengatakan, Kementerian Kehutanan terus merevisi sejumlah
peraturan untuk menyederhanakan perizinan dan meningkatkan penerimaan
negara bukan pajak (PNBP) sektor kehutanan. Regulasi yang direvisi adalah
Peraturan Pemerintah No 2/ 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang
Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di
Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan. Tarif
pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan di hutan lindung akan
naik dari Rp 3 juta per hektar menjadi Rp 4 juta per hektar (33,3 persen) dan di
hutan produksi naik dari Rp 2,4 juta/hektar per tahun menjadi Rp 3,5 juta per
hektar per tahun (45,8 persen).
Meski sampai saat ini kebijakan tersebut belum dituangkan dalam bentuk
PP sebagai revisi atau mengganti dari PP Nomor 2 Tahun 2008, namun isu
tersebut telah menyita perhatian dari para pemegang IPPKH dan
pemerhati/praktisi bidang pertambangan. Keresahan tersebut terkait dengan
rencana pemerintah yang akan menghitung areal yang tidak dibuka untuk
keperluan tambang sebagai wajib PNBP. Dengan demikian maksud pengenaan
PNBP sebagai tarif atas kerusakan kawasan hutan akan berubah menjadi tarif atas
kawasan hutan yang dipinjam pakai untuk kepentingan sektor lain.

3. Terbatasnya lokasi rehabilitasi DAS.

Rehabilitasi hutan dan lahan menurut PP Nomor 76 Tahun 2009 adalah


upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan
lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung
sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Permenhut Nomor P.63/Menhut-
II/2011 tentang Pedoman Penanaman bagi Pemegang izin Pinjam Pakai Kawasan
Hutan dalam rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai, mendefinisikan Daerah
Aliran Sungai (DAS) sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke
laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di
laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
Sedangkan Penanaman dalam rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai adalah
upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi Daerah
Aliran Sungai sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam
mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.
Selanjutnya pada pasal 4 Permenhut tersebut dinyatakan bahwa sasaran
lokasi penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS dilakukan pada wilayah DAS
yang sama dengan lokasi izin pinjam pakai kawasan hutan bagian hulu, tengah
dan/atau hilir. Jikalah tidak tersedia pada wilayah DAS yang sama, maka sasaran
lokasi penanaman dapat dilakukan pada wilayah DAS yang lain di
kabupaten/provinsi yang sama atau di kabupaten/provinsi terdekat. Sedangkan
untuk sasaran lokasi penanaman pada wilayah DAS yang sama pada bagian hilir
dikhususkan di areal hutan mangrove/pantai.

39
Kompas. 2014 Februari 24. Tarip pinjam pakai kawasan untuk tambang dinaikkan: 17 (Kol 1-5)
101

Batasan tentang kriteria lokasi rehabilitasi DAS lainnya adalah lokasi


penanaman adalah lahan kritis baik di dalam kawasan hutan maupun di luar
kawasan hutan, diutamakan pada wilayah yang kompak dan bebas konflik
tenurial, diutamakan pada kawasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi
kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional. Sedangkan untuk lokasi
penanaman di luar kawasan hutan adalah pada ruang terbuka hijau, hutan kota,
fasilitas sosial dan fasilitas umum, lahan dibebani hak milik yang berfungsi
lindung, sesuai rencana tata ruang wilayah provinsi/kabupaten/kota.
Batasan-batasan tersebut bisa dikatakan cukup fleksibel, namun pada
kenyataannya, lokasi seperti yang digambarkan dalam Permenhut tersebut sulit
diterima oleh para pemegang IPPKH. Pemegang IPPKH biasanya menginginkan
lokasi rehabilitasi DAS yang dekat dengan areal tambang mereka, atau setidaknya
mempunyai akses yang mudah bagi mereka. Namun lokasi yang diharapkan
sangat sulit, karena kawasan hutan yang berdekatan dengan areal IPPKH juga
merupakan aeal IPPKH perusahaan lain, atau wilayah pertambangan perusahaan
lain, atau merupakan areal IUPHHK-HA/HT. Sedangkan untuk APL sangat sulit
untuk mendapatkan lokasi yang sesuai. Sehingga lokasi reahbailitasi DAS
dicalonkan pada kawasan hutan yang jauh dari areal IPPKH. Kriteria calon lokasi
rehabilitasi DAS berupa lahan kritis/sangat kritis yang berada di dalam kawasan
hutan tersebut rata-rata adalah di dalam hutan lindung maupun hutan konservasi
(taman nasional). Sehingga mau tidak mau pemegang IPPKH menerima
penetapan lokasi rehabilitasi tersebut sebagai sebuah konsekuensi.

4. Pembatasan luas IPPKH

Pembatasan luas bagi pemegang IPPKH mulai diberlakukan sejak


terbitnya Permenhut Nomor P.14/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan. Dalam Permenhut tersebut disebutkan bahwa batasan luas
IPPKH pada kawasan hutan yang berada di dalam wilayah kerja Perum Perhutani
atau telah dibebani Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada
hutan alam atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan
tanaman dapat diberikan hanya jika mengakibatkan kehilangan produksi kayu atau
bukan kayu setinggi-tingginya 10% dari rencana kelestarian pengelolaan hutan.
Pengurangan produksi kayu atau bukan kayu tersebut diatur sebagai berikut; untuk
luas ≤ 30.000 hektar maksimum pengurangan 10%, luas 30.000 – 50.000 hektar
maksimum 6%, luas 50.000–70.000 hektar maksimum 4% dan luas ≥70.000
hektar maksimum 3%
Pembatasan tersebut kemudian direvisi pada Permenhut Nomor
P.43/Menhut-II/2008, yaitu kawasan hutan yang telah dibebani izin di bidang
kehutanan atau areal kerja Perum Perhutani, maka pinjam pakai kawasan hutan untuk
pembangunan di luar kehutanan, dapat dipertimbangkan setinggi-tingginya 10%
(sepuluh perseratus) dari luas areal izinnya atau areal kerjanya. Hingga kini aturan
pembatasan seluas 10% tersebut masih berlaku.
Saat ini telah banyak IUPHHK-Hutan Alam (HA) dan/atau /Hutan
Tanaman (HT) yang areal kerjanya telah maksimum untuk IPPKH. Kondisi
tersebut menyebabkan perusahaan pertambangan tidak dapat beroperasi lagi di
dalam IUPHHK-HA/HT, baik untuk menambah laus areal IPPKH-nya maupun
diterbitkannya IPPKH baru untuk perusahaan lain. Untuk mendapatkan perluasan
102

areal IPPKH-nya, perusahaan yang telah mendapatkan IPPKH dalam IUPHHK-


HA/HT tersebut akan berusaha untuk mengambalikan sebagian areal yang telah
dipinjam pakai kepada pemerintah untuk kemudian mengajukan kembali IPPKH
pada wilayah PKP2B/KK/IUP miliknya. Pemegang IPPKH berharap
mendapatkan insentif ataupun kemudahan untuk mendapatkan pengganti kawasan
hutan yang telah dikembalikan tersebut. Pada dasarnya pemegang IPPKH sedang
berjudi (gambling), karena tidak ada jaminan dari pemerintah bahwa pemegang
IPPKH yang telah mengembalikan sebagian/seluruh kawasan hutan yang dipinjam
pakai akan mendapatkan IPPKH kembali pada areal IUPHHK-HA/HT yang sama.
Hal itu yang membuat keresahan bagi pemegang IPPKH yang telah
mengembalikan sebagian/seluruh kawasan hutannya terkait dengan keberlanjutan
investasi dan usaha mereka, mengingat masih banyak perusahaan tambang lainnya
yang telah mengajukan permohonan IPPKH pada areal yang sama.
Sementara untuk perusahaan tambang yang belum mendapatkan IPPKH
tentunya juga berharap akan mendapatkan izin tersebut dari Menhut segera setelah
diterimanya semua pesyaratan yang diwajibkan oleh kementerian kehutanan.
Sebuah dilemma baru bagi kementerian kehutanan untuk mengambil keputusan,
memberikan izin penambahan areal IPPKH kepada perusahaan tambang yang
telah mengembalikan kawasan hutan yang dipinjam pakai, ataukah memberikan
IPPKH kepada perusahaan baru. Sampai saat ini belum ada aturan yang
mendasari pengambilan keputusan untuk isu tersebut. Kuota 10% di Provinsi
Kalimantan Selatan telah habis. Itu berarti tidak ada lagi IPPKH di dalam
kawasan hutan yang telah memperoleh IUPHHK-HA/HT di provinsi tersebut.
Tentunya situasi ini sangat tidak menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan
tambang yang belum mendapatkan IPPKH, hingga menyiratkan niat seorang aktor
yang paling berpengaruh di Provinsi Kalimantan Selatan terkait dengan usaha
pertambangan dan perkayuan. Aktor tersebut tengah menghimpun kekuatan untuk
mengajukan uji materi terhadap Permenhut yang membatasi IPPKH hanya 10%
pada kawasan hutan yang telah memiliki IUPHHK-HA/HT maupun pada unit
pengelolaann lainnya40.
Berdasarkan pengakuan para aktor perumus kebijakan PKH, besaran 10%
tersebut hanyalah perkiraan semata, sehingga masih perlu kajian akademis yang
tepat untuk menentukan batasan luas bagi PKH di dalam suatu IUPHHK-HA/HT
maupun di dalam unit pengelolaan lainnya. Hal itu yang memberikan inspirasi
Djuwita (2013) untuk melakukan penelitian terkait dengan keberadaan IPPKH di
dalam sebauah IUPHHK-HT di Kalimantan Timur.
Djuwita (2013) dalam disertasinya menjelaskan bahwa hasil simulasi
menunjukan bahwa pada kondisi penggunaan kawasan hutan seluas 20%, 30%
dan 40%, nilai NPV tanaman pokok, hutan tanaman dan tambang batubara tetap
memberikan hasil NPV yang positif, artinya bahwa ketiga kegiatan tersebut dapat
terus dilanjutkan karena layak dari sisi ekonomi.
Jika dibandingkan antara simulasi yang satu dengan yang lainnya, dapat
dilihat bahwa simulasi yang memberikan gambaran keberlanjutan (sustainable)
pada pengelolaan hutan tanaman dan tambang batubara adalah simulasi dengan
penggunaan kawasan hutan sebanyak 30%, karena pada penggunaan kawasan
hutan 30%, nilai kelayakan hutan tanaman, tanaman pokok dan tambang batubara
40
Wawancara dengan Ir. Suwandi, Kepala Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi
(BP2HP) Wilayah XI-Banjarbaru pada tanggal 29 Oktober 2013 pukul 15.10 WITA.
103

menunjukan grafik yang terus meningkat. Pada penggunaan kawasan hutan seluas
40%, menunjukan grafik yang meningkat hingga tahun 2038 untuk kegiatan hutan
tanaman dan tanaman pokok, sedangkan setelah itu grafik kegiatan hutan tanaman
dan tanaman pokok, menunjukan penurunan.
Selanjutnya Djuwita et al (2013) menyimpulkan bahwa model
pembangunan berkelanjutan pada pengelolaan hutan tanaman dan tambang
batubara adalah layak dilakukan secara bersinergi pada areal penggunaan kawasan
hutan seluas 30% dan membayarkan nilai ganti rugi kepada pengusaha hutan
tanaman sebesar US$ 11,699/hektar, kepada pemerintah sebesar US$
30,493/hektar dan kepada masyarakat sebesar US$ 638/hektar. Namun, dalam
wawancara dengan Soetrisno41, kesimpulan tersebut masih harus dikaji lagi
mengingat penelitian yang dilakukan merupakan kasus spesifik di IUPHHK-HT
dengan metode simulasi. Belum tentu hasilnya akan sama pada kasus yang lain.
Sementara menurut Boen M Purnama42, pembatasan luas pada dasarnya
tidak terlalu penting, jika pemerintah dapat menentukan kawasan-kawasan hutan
yang relatif aman/diperbolehkan atau tidak bagi kegiatan tambang berdasarkan
kajian ekologis. Hal itu lebih memudahkan dalam pengambilan keputusan bagi
kebijakan pertambangan di dalam kawasan hutan sebagaimana diberlakukannya
moratorium izin di dalam kawasan hutan primer dan/atau gambut.

Tabel 19 Matriks isu-isu dalam implementasi kebijakan PKH dan arah kebijakan
yang akan datang

No Isu Kebijakan Hasil Analisis Arah kebijakan


1. Illegal mining Perusahaan pertambangan melakukan illegal mining Sementara ini kementerian
dalam kawasan terkait dengan kebijakan PKH yang disebabkan oleh; kehutanan baru
hutan berbelit-belitnya prosedur perizinan, membutuhkan meluncurkan kebijakan
waktu yang lama, biaya transaksi yang tinggi, pelayanan perizinan satu
keberadaan aktor kuat sebagai backing perusahaan, pintu (online) dan dan
kurangnya pengawasan aparat pemerintah yang standar pelayanan IPPKH
berwenang, dan lemahnya penegakan hukum
2. Naiknya tarif Pro-kontra tarif PNBP untuk PKH telah lama ada. Penyesuaian tarif PNBP
PNBP Pemerintah tidak menjadikan situasi tersebut sebagai
hambatan untuk memuluskan niat menaikkan tarif
PNBP PKH dengan dalih peningkatan pendapatan
negara, mengendalikan kerusakan kawasan hutan dan
berbagi tanggung jawab terhadap lingkungan.
3. Terbatasnya lokasi Kenyataan bahwa hampir semua kawasan hutan Terdapat gap antara luas
rehabilitasi DAS produksi telah memiliki izin, baik itu IUPHHK- areal DAS yang
HA/HT maupun izin pertambangan, membuat alokasi dibutuhkan oleh pemegang
kawasan hutan untuk rehabilitasi DAS menjadi IPPKH dengan DAS kritis
terbatas. Lahan kirits/sangat kritis yang bisa yang tersedia. Perlu
ditetapkan adalah di dalam kawasan hutan lindung review batasan tingkat
dan hutan konservasi (taman nasional). Kesulitan kekritisan lahan, dan
memperoleh lokasi yang sesuai mengakibatkan kemudahan bagi
perkembangan kegiatan rahabilitasi DAS oleh rehabilitasi DAS di lahan
pemegang IPPKH terhambat. milik masyarakat (areal
penggunaan lain/APL)

41
Wawancara dengan Ir Soetrisno MM, penggagas besarnya prosentase luas IPPKH di dalam
suatu unit pengelolaan (Perum Perhutani maupun IUHHK-HA/HT).
42
Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Periode 2005-2010
104

Lanjutan Tabel 19
No Isu Kebijakan Hasil Analisis Arah kebijakan

4. Pembatasan luas Semakin sempitnya kawasan hutan yang akan Perubahan Permenhut
IPPKH dalam satu digunakan untuk aktifitas pertambangan, terutama tentang pedoman pinjam
wilayah dalam suatu unit pengelolaan, memicu aksi kolektif pakai, terkait dengan
pengelolaan (collective action) para pengusaha tambang untuk prosentase luas kawasan
kawasan hutan mengajukan uji materi terhadap Permenhut yang hutan yang diizinkan di
maksimal 10 % mengatur tentang pembatasan luas IPPKH. dalam suatu unit
pengelolaan

Simpulan

Kebijakan PKH dapat dikatakan telah memenuhi (tepat) prinsip-prinsip


efektifitas dalam implementasinya. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan
PKH telah memenuhi empat prinsip tepat (dari lima prinsip yang disyaratkan)
yaitu; tepat kebijakan, tepat pelaksanaan, tepat sasaran, tepat proses dan didukung
oleh situasi dan kekuatan politik. Namun, hal itu tidak didukung oleh kemampuan
untuk menjalankannya. Ketepatan prinsip-prinsip efektifitas implementasi
kebijakan PKH tidak menjamin mendapatkan respon yang baik dari pemegang
IPPKH sebagai pemangku kepentingan atau subyek utama dalam menjalankan
kebijakan tersebut.
Buruknya respon pemegang IPPKH terhadap kebijakan PKH dipengaruhi
oleh rendahnya komitmen pemegang IPPKH, minimnya pengetahuan dan
informasi teknis tentang isi kebijakan serta kejelasan dan kemudahan dalam
melaksanakan kebijakan tersebut. Buruknya respon pemegang IPPKH
mencerminkan kegagalan implementasi kebijakan PKH. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa proses panjang perumusan dan implementasi kebijakan PKH
tidak menjadi jaminan efektifitas dan keberhasilan implementasi kebijakan
tersebut.
Dalam kebijakan PKH terdapat beberapa asumsi yang dibangun oleh para
perumus kebijakan. Kesenjangan terjadi ketika dalam tataran implementasi
kebijakan PKH asumsi tersebut justru menjadi sumber persoalan dalam
pelaksanaan di lapangan. Sehingga hampir semua asumsi yang dibangun dalam
kebijakan PKH tersebut tidak terpenuhi.
105

PERANAN PARA PIHAK DALAM IMPLEMENTASI


KEBIJAKAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN

Pendahuluan

Kebijakan PKH dirumuskan dengan maksud mengakomodasi kepentingan


sektor lain di dalam kawasan hutan. Kebijakan ini lahir untuk menyatukan
kepentingan, tujuan dan motivasi dua sektor yang berbeda, yaitu sektor
pertambangan dan energi dan sektor kehutanan. Namun, pada saat kebijakan
tersebut dirumuskan, kedua sektor pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama
yaitu pertumbuhan ekonomi sebagai modal pembangunan nasional.
Hingga saat ini kebijakan PKH telah mengalami beberapa kali perubahan
peraturan dalam perjalanan implementasinya. Proses implementasi kebijakan
PKH selama kurun waktu 36 tahun (1978-2014) tidak terlepas dari peranan
berbagai pihak. Perkembangan kebijakan PKH juga mengakibatkan semakin
beragamnya para pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan PKH tersebut.
Perkembangan tersebut juga disebabkan oleh kondisi politik dan pemerintahan
yang memberikan peranan lebih besar kepada pemerintah daerah. Dalam proses
implementasi kebijakan PKH, Pemerintah telah membagi habis peran bagi para
pihak yang berkepentingan baik di pusat maupun di daerah sesuai
kewenangannya.
Para pihak atau pemangku kepentingan (stakeholders) didefinisikan
sebagai setiap individu, kelompok, atau lembaga yang memiliki kepentingan
dalam sumber daya alam dari wilayah proyek dan/atau yang berpotensi akan
terpengaruh oleh kegiatan proyek dan memiliki sesuatu untuk mendapatkan atau
kehilangan jika terjadi atau tidak terjadi perubahan situasi atau kondisi (Golder
dan Gawler 2005). Para pihak perlu dipertimbangkan dalam mencapai tujuan
suatu kegiatan/proyek dimana partisipasi dan dukungannya sangat diperlukan
dalam proses keberhasilan mencapai tujuan institusi.
Para pihak dapat mencakup kelompok yang dipengaruhi oleh keputusan
manajemen, kelompok yang tergantung pada sumber daya yang akan dikelola,
kelompok dengan klaim atas wilayah sumber daya, dan kelompok dengan
kegiatan yang berdampak pada daerah atau sumber daya. Para pihak sering
mengadakan pengaruh politik dan/atau ekonomi yang cukup besar atas sumber
daya, berdasarkan ketergantungan historis mereka dan asosiasi, mandat
kelembagaan, kepentingan ekonomi, atau berbagai masalah lain (Pomeroy dan
Rivera-Guieb 2006).
Freeman (1984) mendefinisikan para pihak atau pemangku kepentingan
sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh
pencapaian tujuan. Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006) memberikan definisi yang
lebih holistik terhadap para pihak yang berkepentingan dan menggambarkan
mereka sebagai individu, kelompok atau organisasi, dalam berbagai cara, tertarik,
terlibat atau terpengaruh (positif atau negatif) oleh suatu kegiatan/proyek tertentu
atau tindakan terhadap sumber daya.
Menurut Golder dan Gawler (2005) melanjutkan bahwa untuk
mengidentifikasi semua pihak baik primer maupun sekunder yang memiliki
kepentingan dengan kegiatan/proyek atau kebijakan yang bersangkutan dapat
106

dilakukan dengan analisis para pihak. Tujuan dari analisis para pihak adalah untuk
mengembangkan pandangan strategis dari sudut pandang manusia dan
kelembagaan, dan hubungan antara berbagai pemangku kepentingan dan isu-isu
yang menjadi perhatian mereka.
Sementara Grimble dan Wellard (1997) berpendapat, analisis para pihak
adalah sebuah alat yang sangat baik untuk digunakan dalam menganalisis
kebijakan dan perumusannya serta dapat dipertimbangan dalam perumusan
kebijakan program-program pengelolaan sumberdaya alam. Analisis ini
merupakan sebuah pendekatan untuk memahami sebuah sistem kebijakan dan
perubahan di dalamnya dengan mengidentifikasi aktor-aktor kunci atau para pihak
dan sejauh mana peranan maupun kepentingan-kepentingan mereka di dalamnya.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi kepentingan dan pengaruh


para pihak serta peranan dan hubungannya dalam proses implementasi kebijakan
PKH untuk pertambangan. Analisis para pihak dalam penelitian ini berguna
untuk mengetahui bagaimana dukungan, kepentingan, pengaruh, peranan serta
tingkat dan bentuk hubungan antar pihak yang berkepentingan dalam
implementasi kebijakan PKH. Dalam tulisan ini akan disajikan hasil kajian
analisis para pihak tersebut di atas dalam implementasi kebijakan PKH.

Metode Analisis

Analisis para pihak adalah suatu metode untuk menilai secara mendalam
tentang karakteristik individu atau kelompok dan hubungannya terhadap
sumberdaya atau suatu proyek. Kegiatan ini menilai para pihak yang berhadapan
dengan sumberdaya dan akibat yang ditimbulkan suatu aktivitas.
Untuk mengetahui karakteristik para pihak yang berkepentingan dalam
proses dan implementasi kebijakan PKH, digunakan analisis para pihak
(stakeholders analysis) untuk menilai pihak-pihak yang berkepentingan dan
terlibat. Analisis para pihak mengacu pada berbagai alat untuk identifikasi dan
deskripsi para pihak, hubungan antarmereka, kepentingan masa depan saat ini dan
(potensial) dan tujuan (Pomeroy dan Fanny 2008), dan meneliti pertanyaan
tentang bagaimana dan sejauh mana mereka mewakili berbagai segmen
masyarakat.
Menurut Reed et al (2009), analisis para pihak dilakukan dengan cara: (1)
melakukan identifikasi para pihak; (2) mengelompokkan dan membedakan antar
pihak; dan (3) menyelidiki hubungan antar pihak. Identifikasi para pihak
merupakan proses yang dilakukan secara berulang, hingga ditetapkan pihak-pihak
yang benar-benar mengetahui permasalahan. Jika pembatasan telah ditetapkan
sejak awal, maka para pihak yang berkepentingan memang dapat lebih mudah
terindetifikasi. Namun hal ini mengandung resiko bahwa beberapa pihak akan
terabaikan, dan tentu saja identifikasi ini tidak relevan lagi.
107

1. Identifikasi Para Pihak

Identifikasi pelaku kebijakan yang terkait dengan PKH akan dilakukan


dengan analisis para pihak. Tujuan analisis para pihak adalah untuk
mengidentifikasi institusi yang terkait dengan penggunaan kawasan hutan untuk
kegiatan pertambangan. para pihak adalah orang, kelompok, atau lembaga yang
mungkin mempengaruhi atau terkena dampak intervensi proyek atau kebijakan
yang diusulkan, baik negatif atau positif (McCracken dan Narayan 1998).
Verhagen (2006) mendefinisikan para pihak sebagai orang-orang yang memiliki
kepentingan (atau saham) dalam suatu isu tertentu. para pihak bisa merupakan
orang, organisasi, institusi atau individu.
Berdasarkan Crosby (1991) karakteristik para pihak dibagi menjadi tiga
kategori, yaitu :
1. Para Pihak utama (primer), yaitu para pihak yang terkena dampak langsung,
baik positif maupun negatif oleh suatu program atau proyek serta mempunyai
kepentingan langsung dengan kegiatan tersebut. Pihak-pihak ini seharusnya
ditempatkan sebagai penentu utama dalam pengambilan keputusan dan
pelaksanaan kebijakan. Para pihak primer dalam kajian ini adalah perusahaan
pertambangan yang telah memiliki IPPKH.
2. Para pihak pendukung (sekunder), yaitu para pihak yang tidak memiliki
kepentingan langsung terhadap kegiatan tersebut, tetapi memiliki kepedulian.
Mereka dapat menjadi intermediaries atau fasilitator dalam proses dan cukup
berpengaruh terhadap pengambilan keputusan, contoh: Kementerian Energi
Sumberdaya Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup, perusahaan
kehutanan dan masyarakat lokal di sekitar lokasi IPPKH untuk operasional
pertambangan, LSM, perguruan tinggi.
3. Para pihak kunci, yaitu para pihak yang memiliki kewenangan legal dalam hal
pengambilan keputusan, contoh : pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan
dan Unit Pelaksana Teknis/UPT di daerah), pemerintah daerah provinsi
(Gubernur, Dinas Kehutanan, Dinas Pertambangan dan Energi), pemerintah
daerah kabupaten (Bupati, Dinas Kehutanan, Dinas Pertambangan dan
Energi, Badan Lingkungan Hidup Daerah).
Setelah para pihak terindetifikasi, maka langkah selanjutnya yaitu
mengelompokkan dan membedakan para pihak. Menurut Eden dan Ackermann
(1998) yang dikutip oleh Bryson (2004) dan Reed et al. (2009) metode analisis
yang digunakan yaitu menggunakan matriks pengaruh dan kepentingan dengan
mengklasifikasikan para pihak ke dalam key players, context setters, subjects, dan
crowd. Pengaruh (influence) merujuk pada kekuatan (power) yang dimiliki para
pihak untuk mengontrol proses dan hasil dari suatu keputusan. Kepentingan
(importance) merujuk pada kebutuhan para pihak di dalam pencapaian output dan
tujuan (Reed et al. 2009).
Analisis para pihak diterapkan untuk mengungkapkan kepentingan dan
pengaruh para pihak, untuk memahami sinergi dan konflik antara para pihak
dalam implementasi kebijakan PKH. Reed et al. (2009) menyatakan analisis
pemangku kepentingan dilakukan dengan cara: 1) melakukan identifikasi para
pihak dan kepentingannya; 2) mengelompokkan dan mengkategorikan para pihak;
dan 3) menyelidiki hubungan antara para pihak.
108

Data dan informasi dikumpulkan dengan metode wawancara semi


terstruktur dengan berpedoman kepada daftar topik yang telah disusun
sebelumnya. Data dan informasi tersebut kemudian dianalisis. Analisis para pihak
dilakukan dengan penafsiran matriks kepentingan dan pengaruh para pihak dalam
implementasi kebijakan PKH Penyusunan matriks pengaruh dan kepentingan
dilakukan atas dasar pada deskripsi pertanyaan responden yang dinyatakan dalam
ukuran kuantitatif (skor) dan selanjutnya dikelompokkan menurut krieteria.
Analisis para pihak dilakukan dengan penafsiran matriks kepentingan dan
pengaruh para pihak terhadap kebijakan PKH. Penetapan skoring menggunakan
pertanyaan untuk mengukur tingkat kepentingan dan pengaruh para pihak adalah
modifikasi model yang dikembangkan oleh Abbas (2005) yaitu pengukuran data
berjenjang lima yang disajikan pada Tabel 20. Nilai skor dari lima pertanyaan
dijumlahkan dan nilainya dipetakan ke dalam bentuk matriks kepentingan dan
pengaruh (Gambar 7).
Para pihak yang terindetifikasi ditulis dalam baris dan kolom tabel yang
menggambarkan hubungan antar pihak. Kata kunci yang digunakan untuk
menggambarkan hubungan ini yaitu berkonflik, saling mengisi atau bekerjasama
(Reed et al. 2009).

Tabel 20 Ukuran kuantitatif terhadap kepentingan dan pengaruh pemangku


kepentingan

Skor Nilai Kriteria Keterangan


Kepentingan para pihak
5 21-25 Sangat tinggi Sangat mendukung kebijakan PKH
4 16-20 Tinggi Mendukung kebijakan PKH
3 11-15 Cukup tinggi Cukup mendukung kebijakan PKH
2 6-10 Rendah Kurang mendukung kebijakan PKH
1 0-5 Sangat rendah Tidak mendukung kebijakan PKH
Pengaruh para pihak
5 21-25 Sangat tinggi Sangat mempengaruhi implementasi kebijakan PKH
4 16-20 Tinggi Mempengaruhi implementasi kebijakan PKH
3 11-15 Cukup tinggi Cukup mempengaruhi implementasi kebijakan PKH
2 6-10 Rendah Kurang mempengaruhi implementasi kebijakan PKH
1 0-5 Sangat rendah Tidak mempengaruhi implementasi kebijakan PKH
Tinggi

Subjects Key Players


Kuadran I Kuadran II
Kepentingan
Rendah

Crowd Context Setter


Kuadran IV Kuadran III

Rendah Tinggi
Pengaruh

Gambar 7 Matriks pengaruh dan kepentingan hasil analisis para pihak (Reed et al.
2009)
109

2. Peranan Para Pihak

Analisis ini bertujuan untuk menganalisis hubungan dan dinamika diantara


berbagai pihak di tingkat lokal, nasional maupun internasional yang mempunyai
ikatan kepentingan terhadap sumberdaya hutan dan tambang. Salah satu cara
dalam mempelajari karakteristik para pihak adalah melalui analisis kekuatan para
pihak yang bertujuan untuk menjelaskan peran para pihak yang sifat dan
hubungannya berbeda satu sama lain. Pada salah satu bagian analisis para pihak
ini terdapat suatu metode pendekatan yang disebut sebagai analisis 4R (rights,
responsibilities, revenues, dan relationship) yang membagi para pihak menurut
hak, tanggung jawab, manfaat yang diterima, serta hubungan diantara masing-
masing pihak tersebut (Wollenberg 2005).
Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan memerlukan kolaborasi
diantara para pihak (pemangku kepentingan) yang berbeda-beda. Kolaborasi tidak
membangun persetujuan diantara masyarakat tentang apa yang akan dilakukan,
tetapi lebih sering menyangkut pengaturan perbedaan dalam kepentingan
(interests) dan kekuatan (power) dalam penggunaan yang berkaitan dengan
sumberdaya alam. Oleh karena itu pendekatan dalam menganalisis para pihak
difokuskan terhadap hak-hak yang dimiliki (rights), tanggung-jawab
(responsibilities), keuntungan yang diperoleh (Revenues), dan hubungan diantara
berbagai pihak (relationships). Analisis para pihak tersebut disebut sebagai
pendekatan 4Rs (Dubois, 1998).
Pendekatan 4Rs sebagai alat analisis para pihak dapat diterapkan dalam: (a)
menganalisis situasi multi-stakeholders dan mendiagnosa permasalahan; (b)
menilai dan membandingkan kebijakan-kebijakan; (c) berperan dalam proses
negosiasi; (d) alat evaluasi dalam siklus proyek; (d) merekstrukturisasi dan
kelembagaan dan desentralisasi (Dubois, 1998).
Pendekatan 4Rs merupakan perangkat yang dapat digunakan untuk
mengklarifikasi peranan (roles) yang dimainkan oleh para pihak yang berbeda dan
sifat hubungan (relationship) diantara mereka (IIED, 2005). Peranan merupakan
bentuk dari perilaku, kebiasaan dan respon. Untuk memainkan peranan yang baik
setiap para pihak perlu untuk menginterpretasikan peranannya,
mengidentifikasinya, mengembangkannya, dan bekerja dengannya. Kerangka 4Rs
membongkar peranan dari para pihak ke dalam rights, responsibilities, Revenues
(dapat disamakan dengan return, rewards atau benefits), serta menilai relationship
diantara para pihak yang terlibat (IIED, 2005). Dalam hal ini peranan para pihak
dianalisis berdasarkan karakteristik hak-haknya (rights), tanggung-jawab
(responsibilities), manfaat atau hasil yang akan diperolehnya (revenues), dan
hubungan yang terbangun diantara para pihak (relationships).
Di dalam praktik penggunaan pendekatan 4Rs meliputi dua komponen
utama, yaitu : (a) penilaian keseimbangan dari tiga R (rights, responsibilities, dan
Revenues) di dalam dan diantara para pihak (assesment of the balance of three
Rs); serta (b) penilaian status dari R keempat yaitu relationship diantara para
pihak . Tiga Rs menunjukkan progres yang sering menunjukkan kualitas dari
hubungan antar pihak , politik lokal dan budaya, serta pengaruh tekanan eksternal
(IIED 2005).
Untuk mengidentifikasi 3Rs (right, responsibilities dan revenues)
dilakukan dengan menginventarisir dan menganalisis ketiga peranan para pihak
110

tersebut dalam peraturan perundang-undangan yang ada (desk study) terkait


dengan implementasi kebijakan PKH. Kemudian dilakukan crosscheck di
lapangan dengan interview, observasi dan penelaahan terhadap dokumen-
dokumen yang mendukung seperti laporan kegiatan terkait dengan IPPKH. Untuk
menilai tingkatan masing-masing peranan para pihak dilakukan scoring
berdasarkan interpretasi terhadap data dan informasi yang diperoleh dengan cara
menghubungkan dan/atau membandingkan antara hasil desk study dengan hasil
crosscheck tersebut. Masing-masing tingkatan diberikan bobot nilai (skor) untuk
memudahkan sebesar apa peranan para pihak tersebut dalam implementasi
kebijakan PKH.
Untuk memudahkan dalam memberikan bobot nilai pada setiap pihak,
dalam penelitian ini, 3Rs akan dibatasi sebagai berikut :
- Rigths: hak yang dimiliki oleh para pihak terkait dengan pengambilan
keputusan, perumusan kebijakan dan implementasinya, hak yang timbul
sebagai akibat dilaksanakannya kebijakan PKH, akses dalam penggunaan
kawasan hutan, serta besarnya pengaruh yang ditimbulkan.
- Responsibilities: meliputi kewenangan, kewajiban dan tugas-tugas yang
berkaitan dengan PKH dan pelaksanakan kebijakan/aturan/keputusan yang
telah ditetapkan
- Revenues: merupakan manfaat atau keuntungan yang diperoleh para pihak baik
berupa manfaat langsung maupun tidak langsung yang timbul sebagai akibat
dari dilaksanakannya kebijakan PKH baik yang telah diperhitungan (by design)
maupun tidak diperhitungkan
Dengan batasan-batasan tersebut di atas, maka dalam pemberian bobot
nilai untuk ketiga unsure tersebut adalah sebagaimana Tabel 21 berikut ini:

Tabel 21 Bobot nilai (skor) dan verifier untuk mengetahui hak, tanggungjawab
dan manfaat yang diterima para pihak dalam implementasi kebijakan
PKH.

Skor/ Kategori/ Ukuran/Verifier


Score Category Hak/Righs Tanggungjawab/Responsilities Manfaat/Revenues
5 Sangat Mempunyai hak, sangat Menjalankan tanggungjawabnya, Mendapatkan manfaat langsung,
tinggi/Highest mempengaruhi implementasi sangat mempengaruhi kinerja sesuai dengan tujuan/target
kebijakan implementasi kebijakan
4 Tinggi/High Mempunyai hak, cukup Menjalankan tanggungjawabnya, Mendapatkan manfaat tidak
mempengaruhi implementasi cukup mempengaruhi kinerja langsung sesuai dengan
kebijakan implementasi kebijakan tujuan/target
3 Cukup/Enough Mempunyai hak, sedikit Menjalankan tanggungjawabnya, Mendapatkan manfaat langsung,
mempengaruhi proses sedikit mempengaruhi kinerja tidak sesuai (tanpa) dengan
implementasi kebijakan implementasi kebijakan tujuan/target
2 Rendah/Low Mempunyai hak, tidak Menjalankan tanggun jawabnya, tidak Mendapatkan manfaat tidak
mempengaruhi proses mempengaruhi kinerja implementasi langsung tanpa ada target
implementasi kebijakan kebijakan
1 Sangat rendah/ Tidak mempunyai hak, namun Tidak mempunyai tanggungjawab, Tidak Mendapatkan manfaat
Lowest mempengaruhi proses namun mempengaruhi kinerja
implementasi kebijakan implementasi kebijakan , atau
mempunyai tanggung jawab, namun
tidak menjalankannya
0 Miskin/Poor Tidak mempunyai hak dan Tidak mempunyai tanggunjawab Tidak mempunyai
pengaruh tanggunjawab
111

3. Hubungan antar pihak

Dalam stakeholders analysis guidelines dijelaskan bahwa peran para pihak


dalam suatu kebijakan dapat dilihat dari kepentingan, keterlibatan, pengetahuan,
posisi dan kekuatan para pihak untuk mengidentifikasi berbagai komponen
permasalahan yang akan dianalisis (Schmeer 2000). Analisis para pihak dalam
penelitian ini berguna untuk mengetahui bagaimana dukungan dan pengaruh para
pihak terhadap kebijakan PKH dan peranannya dalam implementasi kebijakan.
Sebagaimana dalam mengidentifikasi 3Rs, untuk mengidentifikasi
relationships juga menggunakan cara yang sama, hanya sedikit berbeda dalam
memberikan bobot nilai (skor) untuk menilai interaksi, sinergi, keberlanjuatan
(kontinuitas) dan kekuatan hubungan bahkan untuk mengetahui ada tidaknya
konflik atau peluang terjadinya konflik akibat hubungan tersebut. Tabel 22
berikut memberikan batasan (verifier) terhadap pembobotan yang dilakukan
terhadap hubungan antar pihak.

Tabel 22 Bobot nilai (skor) dan verifier untuk mengetahui hubungan yang
diharapkan/didapatkan oleh para pihak dalam implementasi kebijakan
PKH.
Skor Katagori Hubungan Interaksi Kontinuitas Sinergitas Kekuatan Konflik
5 Sangat Baik Ada Kontinyu Ada Kuat Tidak
4 Baik Ada Kontinyu Ada Cukup Tidak
3 Cukup Baik Ada Kontinyu Tidak Lemah Tidak
2 Kurang Baik Ada Tidak Tidak Lemah Tidak
1 Tidak ada hubungan Tidak Tidak Tidak Lemah Tidak
0 Tidak teridentifikasi - - - - -
-1 Potensial terjadi konflik Ada Tidak Tidak Lemah Ada
-2 Sering terjadi konflik Ada Kontinyu Tidak Cukup Ada

Hasil dan Pembahasan

Di dalam proses implementasi kebijakan PKH terdapat aktor-aktor yang


berperan aktif. McCracken dan Narayan (1998) berpendapat bahwa dengan
melakukan analisis para pihak kita bisa memahami konteks sosial dan institusi
dari sebuah kegiatan/proyek atau kebijakan. Temuan tersebut dapat memberikan
informasi awal yang penting tentang siapa yang akan mempengaruhi atau
dipengaruhi oleh proyek (positif atau negatif); individu, kelompok, atau lembaga
yang terlibat dalam proyek, dan bagaimana kapasitas dibangun untuk
memungkinkan mereka berpartisipasi.

Identifikasi Para pihak

Identifikasi para pihak merupakan langkah awal yang dapat dilakukan


dalam analisis para pihak. Para pihak dapat diidentifikasi berdasarkan beberapa
sudut pandang, diantaranya: pihak yang menerima manfaat, siapa yang terkena
dampak, siapa yang rentan, siapa yang mendukung dan siapa lawan, hubungan
112

antar pihak (McCracken dan Narayan 1998), kepentingan (interest) dan


pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan (ODA 1995).
Para pihak yang terlibat dalam proses implementasi kebijakan PKH
teridentifikasi sebanyak 15 (lima belas) pihak. Berdasarkan batasan dalam
identifikasi yang dirangkum oleh Crosby (1991) diklasifikasikan ke dalam para
pihak kunci, para pihak utama, dan para pihak pendukung, yaitu sebagai berikut:
1. Para pihak kunci (key stakeholder), merupakan para pihak yang secara
legalitas memiliki kewenangan atau dengan kata lain memiliki pengaruh dan
kepentingan yang tinggi dalam pengambilan keputusan pada proses
pembuatan dan implementasi kebijakan PKH, yaitu: Kementerian Kehutanan,
Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), Balai Pengelolaan Daerah ALiran
Sungai (BPDAS), Balai Pemantauan dan Pemanfaatan Hutan Produksi
(BP2HP) dan Balai Konservasi Sumber daya Alam (BKSDA).
2. Para pihak utama (primary stakeholder),, yaitu para pihak yang terkena
dampak langsung, baik positif maupun negatif oleh suatu program atau proyek
serta mempunyai kepentingan langsung dengan kegiatan tersebut. Para pihak
menjadi penentu utama dalam pelaksanaan kebijakan. Para pihak tersebut
adalah perusahaan pemegang IPPKH.
3. Para pihak pendukung (secondary stakeholder),, yaitu para pihak yang tidak
memiliki kepentingan secara langsung terhadap implementasi kebijakan PKH,
tetapi memiliki kepedulian. Mereka berperan sebagai pendukung dalam
implementasi kebijakan atau dapat juga sebagai intermediaries atau fasilitator
dalam proses dan cukup berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Para
pihak pendukung ini adalah: 1) Kementerian Energi Sumber Daya Mineral
(KemESDM), 2) Pemerintah Provinsi (Gubernur, Dinas Kehutanan
Provinsi/Dishutprov, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi/
DisESDM Prov); 3) Pemerintah Kabupaten (Bupati, Dinas Kehutanan
Kabupaten/Dishutkab, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral
Kabupaten/DisESDM Kab, Badan Lingkungan Hidup Daerah/BLHD).
Selain lima belas pihak tersebut, terdapat beberapa pihak lain yang
teridentifikasi keterlibatannya dalam implementasi kebijakan PKH, meskipun
tidak mempunyai kepentingan dan pengaruh secara langsung. Para pihak tersebut
yaitu masyarakat, aparat keamanan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan
organisasi massa (Ormas).
Dari kelima belas pihak yang teridentifikasi tersebut, hanya 10 (sepuluh)
pihak yang berhasil teridentifikasi tingkat kepentingan dan pengaruhnya. Hasil
identifikasi dan kategorisasi terhadap 10 (sepuluh) pihak tersebut disajikan pada
Tabel 23.
113

Tabel 23 Nilai rataan skor dan tingkat kepentingan dan pengaruh para pihak dalam
implementasi kebijakan PKH.

Kepentingan Pengaruh
No Para pihak
Skor Tingkat Skor Tingkat
1. BPKH 17.00 Tinggi 24.00 Sangat Tinggi
2. BPDAS 16.33 Tinggi 18.00 Tinggi
3. BP2HP 8.50 Rendah 8.50 Rendah
4. Dishut Provinsi 15.00 Cukup Tinggi 15.67 Tinggi
5. Dishut Kabupaten 15.00 Cukup Tinggi 13.00 Cukup tinggi
6. Dis ESDM Provinsi 5,67 Rendah 5,67 Rendah
7. DisESDM Kabupaten 5.33 Rendah 5.00 Sangat Rendah
8. BLHD Kabupaten 8.00 Rendah 7.50 Rendah
9. Pemegang IPPKH 20.36 Sangat Tinggi 16.82 Tinggi
10. Pemegang IUPHHK 13.00 Cukup tinggi 10.67 Cukup tinggi
Keterangan: Hasil olah data dan interpretasi peneliti berdasarkan wawancara semi terstruktur.

Untuk memperjelas posisi masing-masing pihak dilakukan pemetaan


posisi para pihak dalam matriks kepentingan-pengaruh (Reed et al 2009)
sebagaimana dapat dilihat pada gambar 8.

25
Subjects Key Players

PEMEGANG IPPKH
20
Kepentingan

BPKH
BPDAS
15
DISHUT KAB DISHUT PROV

PEMEGANG IUPHHK

10
BP2HP
BLHD KAB

DISESDM PROV
DISESDM KAB Crowd Context Setter
5
5 10 15 20 25
Pengaruh

Gambar 8 Posisi para pihak dalam matriks kepentingan dan pengaruh

Key player merupakan para pihak yang aktif karena mereka mempunyai
kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap implementasi kebijakan PKH.
Subjects memiliki kepentingan yang tinggi tetapi pengaruhnya rendah dan
walaupun mereka mendukung kegiatan, kapasistasnya terhadap dampak mungkin
tidak ada. Namun para pihak dalam kategori ini akan mempunyai pengaruh
terhadap implementasi kebijakan jika mempunyai modal dan aksi bersama yang
kuat. Context setter memiliki pengaruh yang tinggi tetapi sedikit kepentingan.
114

Sedangkan crowd merupakan para pihak yang memiliki sedikit kepentingan dan
pengaruh terhadap hasil yang diinginkan dan hal ini menjadi pertimbangan untuk
mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan.
Hasil pemetaan posisi para pihak menunjukkan bahwa para pihak yang
masuk dalam kuadran key players adalah Pemegang IPPKH, BPKH, BPDAS.
Ketiganya mempunyai kepentingan dan pengaruh yang besar terhadap
keberhasilan implementasi kebijakan PKH. Pemegang IPPKH merupakan para
pihak utama dalam implementasi kebijakan PKH, keberhasilan implementasi
sangat ditentukan oleh kinerja pemegang IPPKH. Baik buruknya respon
pemegang IPPKH (sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya)
terhadap kebijakan PKH sangat menentukan keberhasilan implementasi kebijakan
tersebut. Sedangkan BPKH dan BPDAS merupakan pihak-pihak kunci yang
merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat (kementerian kehutanan) di
daerah. Kedua UPT tersebut merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan
kegiatan IPPKH di lapangan, sehingga keduanya mempunyai kepentingan dan
pengaruh yang besar terhadap keberhasilan implementasi kebijakan PKH.
Adapun pada kuadran crowd terdapat pemegang IUPHHK, BP2HP, BLHD
Kabupaten, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi. Pada kuadran ini setiap
pihak dikatagorikan tidak mempunyai kepentingan dan pengaruh yang besar
seperti pada kuadran key players. BP2HP meskipun sebagai UPT pemerintah
pusat, namun kepentingan dan pengaruh tidak terlalu besar. Hal itu terkait dengan
peranan BP2HP yang juga tidak terlalu besar terhadap keberhasilan implementasi
kebijakan PKH. Peranan BP2HP hanya sebagai pendukung dalam pelaksanaan
kebijakan PKH di lapangan. Sementara pemegang IUPHHK, BLHD Kabupaten
dan Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi juga tidak mempunyai kepentingan
dan pengaruh yang besar. Hal itu sesuai dengan hasil identifikasi bahwa ketiga
institusi tersebut merupaka pihak pendukung (secondary stakehoders).
Dinas Kehutanan Provinsi, maupun Dinas Kehutanan Kabupaten
mempunyai tingkat kepentingan yang sama, namun mempunyai tingkat pengaruh
yang berbeda. Dishut Prov mempunyai pengaruh yang lebih besar dibanding
Dishut Kab yang disebabkan oleh peranan Dishut Prov dalam implementasi
kebijakan PKH juga lebih besar. Peranan tersebut terkait dengan pemberian
pertimbangan teknis dalam rangka penerbitan rekomendasi Gubernur untuk calon
pemegang IPPKH dan koordinator tim evaluasi IPPKH dalam rangka persetujuan
prinisp IPPKH, perpanjangan IPPKH (eksplorasi maupun eksploitasi),
pengembalian lahan IPPKH maupun evaluasi IPPKH periodik. Sementara
peranan Dishut Kab adalah pada monitoring IPPKH periodik (sekali dalam satu
tahun).
Pihak-pihak lain yang teridentifikasi yaitu LSM, ormas dan masyarakat di
sekitar kawasan hutan tidak mempunyai kepentingan maupun pengaruh terhadap
tingkat keberhasilan implementasi kebijakan PKH. Namun demikian, dalam
realitanya ketiga pihak tersebut mempengaruhi kinerja pemegang IPPKH.
Masyarakat memanfaatkan keberadaan perusahaan tambang dengan melakukan
klaim atas kawasan hutan dengan harapan mendapatkan ganti rugi atau
kompensasi. Sedangkan LSM dan ormas berharap mendapatkan keuntungan dari
adanya konflik tersebut dengan berperan sebagai mediator. Pada akhirnya LSM
dan ormas juga meminta ‗imbalan jasa‘ atas peranannya sebagai mediator
tersebut.
115

Kondisi tersebut jamak terjadi hampir di seluruh kawasan hutan di


Indonesia, dimana keterlibatan atau akses masyarakat yang sangat rendah terhadap
sumber daya hutan dan lahan serta hasil-hasilnya. Pemerintah seolah tidak
memperdulikan keberadaan masyarakat di sekitar kawasan hutan. Bagaimanapun
masyarakat di sekitar kawasan hutan mempunyai kepentingan terhadap sumber
daya hutan maupun lahan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan dalam aspek
ekonomi, sosial maupun budaya (Kusumedi dan Rizal 2010, Roslinda et al 2012).
Kepentingan dan pengaruh para pihak dalam implementasi kebijakan PKH
ini bersifat dinamis, bisa berubah-ubah yang dipengaruhi oleh banyak faktor.
Kepentingan dan pengaruh institusi kehutanan baik UPT maupun institusi daerah
dipengaruhi oleh peranan mereka yang telah digariskan dalam peraturan
perundang-undangan. Sedangkan kepentingan dan pengaruh pemegang IPPKH
dipengaruhi oleh hak dan kewajiban pemegang IPPKH, keuntungan yang akan
diperoleh, partisipasi dan komitmen pemegang IPPKH dalam implementasi
kebijakan IPPKH. Berbeda dengan pemegang IPPKH, kepentingan dan pengaruh
pemegang IUPHHK dipengaruhi oleh motivasinya terhadap keberadaan sumber
daya tambang dan energi di dalam areal konsesinya. Jika motivasi pemegang
IUPHHK adalah mengambil atau mencari keuntungan/rente (rent seeking) maka
akan semakin tinggi kepentingan pemegang IUPHHK tersebut terhadap
keberadaan sumber daya tambang dan mineral atau perusahaan tambang yang
berada di dalam konsesi IUPHHK-nya. Demikian juga jika motivasi pemegang
IUPHHK adalah keinginan untuk bisa bekerjasama atau berkoordinasi dalam
pengelolaan hutan. Namun, jika pemegang IUPHHK bersikap tidak peduli maka
kepentingan mereka akan rendah, demikian juga dengan pengaruhnya terhadap
implementasi kebijakan PKH.
Berdasarkan hasil observasi di lapangan, wawancara dengan responden
dan informasi yang diperoleh selama peneliti menjadi salah satu staf Direktorat
Penggunaan Kawasan Hutan Kementerian Kehutanan, menunjukkan bahwa
perbedaan kepentingan dan pengaruh yang dimiliki oleh pemegang IPPKH dan
IUPHHK sering menimbulkan konflik. Konflik tersebut terkait dengan hak dan
kewajiban yang diberikan oleh pemerintah kepada masing-masing pemegang izin
terkait dengan pengelolaan kawasan hutan. Konflik akan semakin tinggi ketika
pemegang IUPHHK memanfaatkan situasi (opportunistic bahavior) untuk
mencari keuntungan atas keberadaan perusahaan tambang di dalam areal konsesi
IUPHHK-nya. Konflik tersebut menimbulkan permasalahan tersendiri dalam
proses implementasi kebijakan PKH. Pemerintah perlu peran aktif dalam
menyelesaikan konflik-konflik tersebut yang sebenarnya telah diketahui sejak
lama. Sementara ini, sebagian besar konflik diselesaikan dengan kompromistis,
dimana pemegang IPPKH (dengan kekuatan modal) cenderung mengalah untuk
mengikuti permintaan pemegang IUPHHK. Kompromi juga terjadi dengan
melakukan hubungan ‗business to business‘ atau B to B, sehingga terjadi
kesepakatan bersama, win-win solution, meskipun pada hakekatnya pemegang
IPPKH hanya berusaha untuk mengurangi biaya transaksi akibat sikap ambil
kesempatan yang dilakukan oleh pemegang IUPHHK43.

43
Pembahasan tentang konflik yang terjadi sebagai akibat hubungan antar para pihak akan
dibahas tersendiri dalam bab selanjutnya.
116

Peranan para pihak

Peranan para pihak juga dapat dilihat dengan menggunakan analisis 4Rs.
4Rs merupakan alat analisis bagaimana orang berhubungan satu sama lain atas
pemanfaatan sumber daya alam dalam peran pemangku kepentingan yang dibagi
menjadi hak (rights), tanggung jawab (responsibilities) dan manfaat (revenues),
dan kemudian menilai hubungan (relationships) antara peran ini (IIED 2005,
Salam dan Noguchi 2006). Kerangka pendekatan 4Rs ini dapat diterapkan pada
berbagai tingkatan yang berbeda, baik di tingkatan lokal atau proyek, wilayah, dan
nasional. Pendekatan 4Rs dianggap paling efektif sebagai participatory tool untuk
membangun dialog diantara para pihak (IIED 2005).
Sebagai langkah awal, identifikasi akan dilakukan pada 3Rs pertama, yaitu
rights, responsibilities dan revenues. Analisis 3Rs ini dilakukan secara bersamaan
di dalam serta diantara kelompok-kelompok para pihak, karena keseimbangan
(balance) diantara hak, tanggungjawab, dan manfaat merupakan indikasi yang
baik dalam membentuk struktur kekuatan serta insentif atau disinsentif dalam
mencapai pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, misalnya : (a) tanggung-
jawab yang tinggi akan meningkatkan insentif yang diberikan; dan (b) pelaksana
swasta memiliki hak dan pendapatan dari pengelolaan sumberdaya alam tetapi
memiliki beban tanggung-jawab rendah atau tanggung-jawab terhadap publik
yang kurang. Hubungan diantara pihak dianalisis dengan memperhatikan: (a)
kualitas hubungan (misalnya: baik, sedang, atau terjadi konflik); (b) kekuatan
hubungan, berkaitan dengan frekuensi dan intensitas kontak diantara pihak; (c)
formalitas hubungan, berkaitan dengan tipe hubungan yang bersifat formal atau
informal; serta (d) ketergantungan (dependence) antar pihak (IIED, 2005).
Keberhasilan implementasi kebijakan salah satunya ditentukan oleh
berfungsinya institusi yang dibangun. Aturan main dijalankan dengan baik, para
pihak yang berkompeten dapat menjalankan peranannya sesuai dengan hak, tugas,
tanggungjawab serta mendapatkan manfaat yang diharapkan. Dalam proses
perumusan dan implementasi kebijakan PKH, Kementerian Kehutanan berusaha
membagi habis tugas kepada para pihak yang berkompeten baik di institusi pusat
di daerah maupun institusi pemerintah daerah. Namun demikian, masih terdapat
berbagai kendala dalam pelaksanaannya. Keterbatasan sumberdaya manusia
pelaksana, minimnya anggaran dan lemahnya koordinasi menjadi permasalahan
klasik dalam implementasi kebijakan.
Hasil identifikasi terhadap peranan para pihak dalam implementasi
kebijakan PKH disajikan dalam Tabel 24.
117

Tabel 24 Peranan para pihak berdasaskan hak, tanggung jawab dan manfaat yang
diperoleh dalam implementasi PKH

Para pihak Rigths Skor Responsibilities Skor Revenues Skor


Kunci :
1. Kemenhut Menyusun Kebijakan 5 Mengolah, menganalisis, memproses dan 5 Mendapatkan penerimaan 5
(Peraturan), menganlisis menerbitkan IPPKH negara dari PNBP
permohonan IPPKH
2. BPKH Memberikan 4 - Tata batas dan inventarisasi 5 Penyerapan anggaran, 4
pertimbangan teknis, - Penilaian hasil revegetasi Pemberdayaan,
bimbingan dan - Verifikasi calon lokasi rehabilitasi DAS peningkatan kualitas dan
pembinaan bidang - Penilaian hasil rehabilitasi DAS kesejahteraan SDM
keplanologian - Monitoring dan atau evaluasi IPPKH
- Verifikasi PNBP
- Pemeriksaan Lapangan Lahan Kompensasi
3. BPDAS Bimbingan dan 4 - Penilaian hasil revegetasi 4 Penyerapan anggaran, 4
pembinaan rehabilitasi - Verifikasi calon lokasi rehabilitasi DAS Pemberdayaan,
DAS - Penilaian hasil rehabilitasi DAS peningkatan kualitas dan
- Monitoring dan atau evaluasi IPPKH kesejahteraan SDM
- Verifikasi PNBP
- Pemeriksaan Lapangan Lahan Kompensasi
4. BP2HP Bimbingan dan 3 - Bimbingan dan pembinaan dalam kegiatan 3 Pemberdayaan, 3
pembinaan tata usaha inventarisasi tegakan peningkatan kualitas dan
kayu - Penilaian hasil revegetasi kesejahteraan SDM
- Verifikasi calon lokasi rehabilitasi DAS
- Penilaian hasil rehabilitasi DAS
- Evaluasi IPPKH,
- Verifikasi PNBP,
5. BKSDA, BTN, Menentukan lokasi 3 - Verifikasi calon lokasi rehabilitasi DAS 3 Rahabilitasi kawasan 2
Tahura rehabilitasi DAS dalam - Penilaian hasil rehabilitasi DAS konservasi
kawasan konservasi
Utama :
1. Perusahaan Mendapatkan akses 5 Memenuhi semua kewajiban IPPKH. 5 Keuntungan finansial dari 5
Pertambangan menggunakan kawasan eksploitasi tambang
(Pemegang hutan untuk eksploitasi dalam kawasan hutan
IPPKH) tambang

Pendukung :
1. Kementerian Menerbitkan 5 Bimbingan dan Pembinaan pelaksanaan 3 Pendapatn negara 5
ESDM PKP2B/KK kegiatan pertambangan (supproting)
2. Gubernur Menerbitkan 5 Pengawasan (supproting) 3 Pendapatan daerah 5
rekomendasi
3. Bupati Menerbitkan IUP 5 Pengawasan (supproting) 3 Pendapatn daerah 5
4. Dinas Kehutanan Memberikan 4 - Tata batas dan inventarisasi 4 Pemberdayaan, 2
Prov pertimbangan teknis, - Verifikasi calon lokasi rehabilitasi DAS peningkatan kualitas dan
evaluasi IPPKH - Penilaian hasil rehabilitasi DAS kesejahteraan SDM
- Evaluasi dan atau Monitoring IPPKH,
- Verifikasi PNBP
- Pemeriksaan Lapangan Lahan Kompensasi
5. Dinas Kehutanan Monitoring IPPKH 4 - Tata batas dan inventarisasi 4 Pemberdayaan, 2
Kab/Kota - Penilaian hasil revegetasi peningkatan kualitas dan
- Verifikasi calon lokasi rehabilitasi DAS kesejahteraan SDM
- Penilaian hasil rehabilitasi DAS
- Evaluasi dan atau Monitoring IPPKH,
- Verifikasi PNBP
- Pemeriksaan Lapangan Lahan Kompensasi
6. Distamben - 1 - Memberikan pertimbangan teknis dalam 3 1
Provinsi rekomendasi Gubernur
- Penilaian hasil penanaman revegetasi
118

Lanjutan Tabel 24

Para pihak Rigths Skor Responsibilities Skor Revenues Skor


7. Distamben - 1 - Memberikan pertimbangan teknis dalam 3 1
Provinsi rekomendasi Gubernur
- Penilaian hasil penanaman revegetasi
8. Distamben - 1 Pemantauan pelaksanaan kegiatan 1 1
Kabupaten pertambangan (supproting)
9. Badan - 1 Pemantauan lingkungan hidup (supproting)
1 Membantu monitoring 2
Lingkungan dan evaluasi kinerja
Hidup perusahaan dalam
pengelolaan lingkungan
hidup
10. Perusahaan Melakukan 3 Memantau kegiatan pemegang IPPKH 2 Positif : menarik retribusi, 3
Kehutanan kerjasama/koordinasi membuat MoU dengan
(Pemegang dengan pemegang pemegang ippkh
IUPHHK) IPPKH Negatif: kegagalan
sertifikasi PHPL,
terganggunya
pengelolaan hutan dan
pemurunan kualitas
lingkungan
11. Masyarakat Mendapatkan manfaat 3 Melindungi dan menjaga kawasan hutan 2 Pendapatan, 3
kawasan hutan (supproting) kesejahteraan
12. LSM - 1 - 1 Bantuan finansial dari 3
perusahaan
13. Ormas - 1 - 1 Bantuan finansial dari 3
perusahaan
14. Aparat - 1 - 1 Bantuan financial/ 3
pendapatan dari
perusahaan
Keterangan : Supporting merupakan peranan sebuah institusi yang mendukung berjalannya implementasi
kebijakan PKH.

Kementerian kehutanan sebagai key players merupakan aktor dominan


sejak perumusan kebijakan PKH sampai dengan implementasinya. Dukungan
UPT kementerian kehutanan di daerah (BPKH, BPDAS, BP2HP dan
BKSDA/TN) memudahkan dalam pelaksanaan kebijakan. Pemberian
kewenangan monitoring kepada pemerintah kabupaten/kota dan evaluasi IPPKH
kepada pemerintah provinsi pada dasarnya meringankan beban tugas dan
tanggungjawab pemerintah pusat. Meskipun pemerintah daerah hanya
mendapatkan sedikit porsi kewenangan dalam implementasi kebijakan PKH,
namun keterlibatan pemerintah daerah dalam implementasi kebijakan tersebut
cukup besar. Hasil inventarisasi terhadap keterlibatan para pihak dalam
implementasi kebijakan PKH menunjukkan perbedaan yang tidak menyolok, yaitu
52,9% keterlibatan pemerintah pusat berbanding 47,1% keterlibatan pemerintah
daerah untuk semua kegiatan dari proses pengajuan permohonan izin sampai
dengan implementasi di lapangan (Tabel 25).
Keseimbangan antara rights, responsibilities dan revenues atau 3Rs
hampir pada setiap pihak yang terlibat menunjukkan tingkat peranan dan
keterlibatan para pihak dalam implementasi kebijakan PKH relatif merata. Nilai
bobot (skor) juga menunjukkan kecenderungan yang menurun dari para pihak
kunci, para pihak utama dan para pihak pendukung. Selain pemegang IPPKH
119

yang mendapatkan haknya atas akses memasuki dan menggunakan kawasan hutan
untuk kegiatan pertambangan, para pihak lain yang mempunyai skor rights dan
responsibilities maksimal adalah kementerian kehutanan, kementerian ESDM,
Gubernur dan Bupati. Keempat lembaga tersebut mempunyai kewenangan untuk
menerbitkan surat izin, pertimbangan teknis maupun rekomendasi yang
diperlukan dalam permohonan izin IPPKH. Dengan demikian peranan para pihak
terkait dengan rights dan responsibilities para pihak mempunyai korelasi dengan
power yang dimiliki dan besarnya pengaruh yang ditimbulkan sebagai akibat
penggunaan rights tersebut.
Sebaliknya, terdapat lima pihak yang teridentifikasi tidak memiliki rights
dan responsibilities apapun dalam implementasi kebijakan PKH, yaitu Distamben
Provinsi, Distamben Kabupaten, Badan Lingkungan Hiduap Daerah Kabupaten,
LSM, Ormas dan Aparat. Namun keberadaan kelima pihak tersebut mempunyai
pengaruh terhadap implementasi kebijakan PKH, walaupun kecil. Bahkan
masyarakat, LSM, ormas dan aparat mendapatkan manfaat langsung dari
keberadaan pemegang IPPKH. Mereka memanfaatkan situasi untuk mengambil
untung. Masyarakat melakukan klaim atas kawasan hutan yang dipinjam pakai
sebagai lahan garapan mereka yang menyebabkan terjadinya konflik atas kawasan
hutan yang dipinjam pakai. Sementara LSM dan Ormas mengatasnamankan
masyarakat berpura-pura membantu memediasi pemegang IPPKH dengan
masyarakat. Namun, ujung-ujungnya baik LSM maupun ormas hanya ingin
mendapatkan keuntungan dari pemegang IPPKH. Adapun aparat keamanan
bersikap pasif, yaitu menunggu laporan dari pihak-pihak yang berkonflik,
kemudian melihat dan menganalisis konflik. Tindakan yang akan dilakukan oleh
aparat keamanan sangat tergantung pada situasi dan kondisi masyarakat, seberapa
besar konflik yang terjadi, pendekatan pemegang IPPKH, siapa pemilik pemegang
IPPKH dan bagaimana kebijakan pimpinan kesatuan dari aparat tersebut. Pada
akhirnya apapun upaya yang dilakukan oleh aparat, mereka tetap mempunyai
kepentingan untuk bisa mendapatkan manfaat dari konflik yang terjadi..
Keseimbangan pembagian peran dan keterlibatan tersebut di atas tidak
menjadikan pemerintah daerah menerima kewenangan penerbitan IPPKH oleh
pemerintah pusat. Baik pemerintah provinsi maupun kabupaten berpendapat
bahwa pada era desentralisasi seperti sekarang ini, seharusnya kewenangan
IPPKH diberikan kepada daerah, karena daerah lebih mengetahui situasi dan
kondisi daerahnya masing-masing. Mereka menganggap bahwa pemerintah pusat
melakukan tebang pilih kewenangan. Alasan mereka adalah, terdapat kewenangan
pengelolaan kawasan hutan yang memerlukan dana diberikan ke daerah tetapi
pemerintah pusat tidak memberikan anggaran yang mencukupi. Sementara
kewenangan yang menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) diambil oleh
pemerintah pusat. Pemerintah pusat terkesan setengah hati dalam memberikan
kewenangan kepada pemerintah daerah. Demikian pendapat dan persepsi para
pihak terhadap kewenangan pemberian IPPKH.
Dalam Permenhut Nomor P.16/Menhut-II/2014 telah dijelaskan dengan
cukup lengkap peranan para pihak dalam implementasi kebijakan PKH. Para
pihak mendapatkan peranannya sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang
melekat pada institusinya. Dari 17 jenis kegiatan yang teridentifikasi dalam
proses implementasi kebijakan PKH, Dishutkab dan Dishutprov mempunyai
keterlibatan paling tinggi (11 kali) sementara BPKH (10 kali), BPDAS (7 kali),
120

dan BP2HP (7 kali). Kelima pihak tersebut secara bersamaan melakukan kegiatan-
kegiatan; pemeriksanaan lapangan calon lahan kompensasi, verifikasi calon lokasi
rehabilitasi DAS, penetapan lokasi rehabilitasi DAS, penilaian tegakan hasil
revegetasi, penilaian hasil penanaman rehabilitasi DAS, monitoring IPPKH dan
evaluasi IPPKH.
Keterlibatan pemerintah daerah bersama dengan pemerintah pusat (yang
diwakili oleh Unit Pelaksana Teknis Pusat di daerah) menunjukkan adanya sinergi
dan koordinasi yang cukup bagus dalam implementasi kebijakan PKH (Tabel 25).
Pemerintah pusat juga telah memberikan kewenangan yang cukup besar kepada
pemerintah daerah dengan selalu melibatkannya dalam setiap pengambilan
keputusan mulai dari kegiatan pengajuan permohonan IPPKH oleh perusahaan
tambang sampai dengan penilaian pengembalian areal IPPKH-nya. Namun,
Pemerintah daerah masih menuntut kewenangan pemberian IPPKH seharusnya
berada di pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten. Mereka juga
mengeluhkan keterlambatan dan tidak memadainya anggaran (dekonsentrasi)
untuk kegiatan monitoring dan evaluasi.
Tabel 25 Matriks keterlibatan para pihak dalam kegiatan implementasi kebijakan
penggunaan kawasan hutan
Keterlibatan Para pihak

DisESDM Kab/ kota


Ditjen BP DASPS

Dishut Kab/ Kota


DistESDM Prov
Ditjen Minerba
Ditjen PHKA

No Jenis Kegiatan
Men ESDM

Ditjen BUK

Dishut Prov
Ditjen Plan
Gubernur

Perhutani
BKSDA
BPDAS
Menhut

BP2HP

BLHD
BPKH
Bupati

BTN

BPN
1 Penerbitan izin tambang √ √ √
2 Penerbitan dokumen lingkungan √ √ √ √ √ √
3 Pertimbangan teknis wilayah √ √ √ √ √ √
pertambangan
4 Penerbitan rekomendasi √ √
Gubernur/Bupati
5 Proses dan analisis perizinan √
PPKH
6 Pertimbangan teknis kawasan √ √
hutan
7 Pemeriksaan lapangan calon lahan √ √ √ √ √ √ √
kompensasi
8 Penerbitan IPPKH √
9 Tata batas kawasan hutan √ √ √
10 Inventarisasi tegakan √ √ √ √
11 Verifikasi calon lokasi rehabilitasi √ √ √ √ √ √ √
DAS
12 Penetapan lokasi rehabilitasi DAS √ √ √ √ √ √
13 Verifikasi PNBP
14 Penilaian tegakan hasil revegetasi √ √ √ √ √ √ √
15 Penilaian hasil penanaman √ √ √ √ √ √ √
rehabilitasi DAS
16 Monitoring IPPKH √ √ √ √ √
17 Evaluasi IPPKH √ √ √ √ √
Jumlah 2 1 2 3 1 1 1 1 1 11 2 11 3 10 7 7 2 2 1 1 2
Keterangan = prosentase keterlibatan pemerintah pusat 37 peran (52,9%), pemerintah daerah 33 peran
(47,1%)
121

Hubungan antar pihak

Hubungan antar pihak dalam implementasi kebijakan PKH bisa terjadi


dalam dua bentuk, yaitu kooperasi dan konflik. Hubungan kooperasi terjadi
ketika dua atau lebih pihak menjalin interaksi dan bersinergi untuk melaksanakan
kebijakan PKH, sedangkan hubungan konflik terjadi jika interaksi yang terbangun
antar pihak menyebabkan ketidakharmonisan akibat perbedaan-perbedaan yang
timbul akibat implementasi kebijakan PKH tidak dapat dipersatukan.

Tabel 26 Matriks hubungan (relationship) antara pihak dalam implementasi


kebijakan PKH

DIstamben Kab/kota

Pemegang IUPHHK
Pemegang IPPKH
Dishut Kab/Kota
Distamen Prov
Dishut Prov

Para pihak

Masyarakat
BKSDA
BPDAS
BP2HP

BLHD
BPKH

Aparat
Ormas
LSM
BTN
Dishut Prov 2 3 0 5 5 3 0 0 1 2 0 4 1 0 1
Distamben Prov 0 0 2 2 2 1 1 1 0 0 2 1 0 1
Dishut Kab/Kota 2 4 4 3 0 0 2 0 0 3 1 0 1
Distamben Kab/Kota 1 1 1 1 1 2 0 0 4 1 0 1
BPKH 4 3 2 2 1 0 0 4 1 0 1
BPDAS 3 4 4 1 0 0 4 1 0 1
BP2HP 1 1 1 0 0 2 1 0 1
BKSDA 4 1 0 0 3 1 0 0
BTN 1 0 0 3 1 0 0
BLHD 0 0 3 1 0 0
LSM 4 -1 1 0 4
Ormas -2 1 0 5
Pemegang IPPKH -1 -1 -2
Pemegang IUPHHK 0 0
Aparat 2
Masyarakat
Keterangan : Hasil olah data dan informasi wawancara tidak terstruktur dan studi literatur kemudian diinterpretasikan
peneliti menjadi 8 katagori hubungan antar pihak.

Tabel 26 di atas memperlihatkan bentuk hubungan antar pihak dalam


implementasi kebijakan PKH. Tanda positif berarti bahwa hubungan yang
dibangun dalam bentuk kooperatif, meskipun nilainya bervariasi dari 2 (positif
dua) dengan kategori terjalin hubungan yang kurang baik sampai dengan 5 (positif
lima) dengan kategori hubungan sangat baik. Nilai 1 (positif satu) dikategorikan
sebagai tidak ada hubungan yang terjalin dalam konteks pelaksanaan
implementasi kebijakan PKH di lapangan, nilai 0 (nol) tidak teridentifikasi dalam
penelitian ini. Sedangkan nilai yang bertanda negatif berarti terjadi hubungan
dalam bentuk konflik, yaitu nilai -1 (negatif satu) yang berarti hubungan biasanya
122

disertai dengan konflik dan skor -2 (negatif dua) yang berarti hubungan sering
disertai dengan konflik.
Hubungan sangat baik ditunjukkan oleh Dinas Kehutanan Provinsi dengan
BPKH dan BPDAS, sementara hubungan BPKH dengan BPDAS berkategori
baik. Hubungan baik juga ditunjukkan oleh pemegang IPPKH dengan BPKH,
BPDAS, Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten
dan antara BPDAS dengan BKSDA dan BTN. Sebaliknya, hubungan konflik44
dengan intensitas sering ditunjukkan oleh pemegang IPPKH dengan masyarakat di
sekitar wilayah IPPKH dan organisasi massa, sedangkan konflik dalam kategori
biasa terjadi ditunjukkan oleh pemegang IPPKH dengan pemegang IUPHHK,
LSM dan kadang-kadang dengan aparat keamanan. Sementara hubungan antar
pihak dengan kategori lainnya terjalin dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan
keterlibatannya dalam implementasi PKH
Hasil observasi di lapangan, wawancara dengan informan kunci dan
informasi lain yang diperoleh selama penelitian menunjukkan bahwa perbedaan
kepentingan dan pengaruh yang dimiliki oleh pemegang IPPKH dan IUPHHK
sering menimbulkan konflik. Konflik tersebut terkait dengan hak dan kewajiban
yang diberikan oleh pemerintah kepada masing-masing pemegang izin terkait
dengan pengelolaan kawasan hutan. Pada umumnya, konflik muncul karena
pemegang IUPHHK tidak menyetujui aktifitas pemegang IPPKH yang dianggap
mengganggu status kelestarian hutan pemegang IUPHHK. Alasan lainnya adalah
tidak disepakatinya nilai ganti rugi tegakan dan sarana prasarana yang telah
dibangun. Sementara pemegang IPPKH merasa telah memiliki izin dari Menteri
Kehutanan yang sah secara hukum untuk dapat melakukan kegiatan di kawasan
hutan yang telah ditetapkan. Selain itu, banyak pemegang IPPKH mengeluhkan
tuntutan nilai ganti rugi tegakan dan sarana prasarana yang tidak rasional dari
pemegang IUPPHK.
Konflik akan semakin tinggi ketika pemegang IUPHHK memanfaatkan
situasi (rent seeking/opportunistic behavior) untuk mencari keuntungan atas
keberadaan perusahaan tambang di dalam areal konsesi IUPHHK-nya. Konflik
tersebut menimbulkan permasalahan tersendiri dalam proses implementasi
kebijakan PKH. Pemerintah perlu peran aktif dalam menyelesaikan konflik-
konflik tersebut yang sebenarnya telah diketahui sejak lama. Sementara ini,
sebagian besar konflik diselesaikan dengan kompromistis, di mana pemegang
IPPKH (dengan kekuatan modal) cenderung mengalah untuk mengikuti
permintaan pemegang IUPHHK. Kompromi juga terjadi dengan melakukan
hubungan ‗business to business‘. Beberapa masalah lanjutan akibat overlapping
izin dalam areal yang sama tersebut adalah ketidakjelasan batas kewenangan
pengelolaan hutan, terbukanya akses ke dalam wilayah IUPHHK tanpa bisa
dikontrol oleh kedua belah pihak.
Sedangkan hubungan konflik yang terjadi antara pemegang IPPKH dengan
masyarakat, ormas LSM maupun aparat keamanan terkait dengan klaim
masyarakat terhadap kawasan hutan. Sebagian besar kawasan hutan yang telah
mendapatkan IPPKH telah diklaim oleh masyarakat di sekitar wilayah tersebut.
Dengan berbagai modus yang dipakai, masyarakat berusaha untuk mendapatkan
kompensasi (ganti rugi) terhadap lahan yang merekea klaim. Kemudian
44
Pembahasan tentang konflik yang terjadi sebagai akibat hubungan antar para pihak akan
dibahas tersendiri dalam bab selanjutnya.
123

masyarakat menanami lahan tersebut dengan berbagai jenis tanaman kayu yang
mempunyai nilai jual. Masyarakat juga berusaha mendapatkan surat keterangan
kepemilikan lahan tersebut dari aparat yang berwenang. Sementara pemegang
IPPKH berusaha untuk membawa permasalahan tersebut ke institusi yang
berwenang namun tidak mendapatkan respon positif, hingga pada akhirnya
melaporkannya kepada aparat keamanan.
Konflik pemegang IPPKH dengan masyarakat tersebut dimanfaatkan oleh
banyak ormas yang bermunculan di dalam masyarakat yang mengatasnamakan
masyarakat asli atau masyarakat adat. LSM juga memanfaatkan kondisi tersebut
untuk mendapatkan keuntungan dari pemegang IPPKH. Sementara aparat
mendapatkan keuntungan dari peranannya dalam memediasi konflik di antara
mereka.
Hubungan konflik ini sangat merugikan pemegang IPPKH. Selain harus
mengeluarkan biaya transaksi tambahan untuk penyelesaian konflik, perusahaan
juga mengalami kerugian finansial atas biaya sewa peralatan dan waktu produksi.
Selama penyelesaian konflik tersebut tidak jarang masyarakat melakukan
pemblokiran terhadap produksi perusahaan. Dalam kurun waktu tersebut
perusahaan harus menerima kerugian dari penyewaan alat-alat berat dan alat-alat
produksi tambang yang lain. Sementara keberadaan aparat keamanan juga
mempunyai kecenderungan yang merugikan bagi perusahaan. Aparat keamanan
cenderung untuk mengulur-ulur waktu penyelesaian konflik bahkan lebih condong
‗melindungi‘ masyarakat untuk mendapatkan kompensasi. Terlebih terdapat
beberapa oknum aparat keamanan yang mempunyai klaim lahan di dalam
kawasan hutan.

Simpulan

Dari hasil identifikasi para pihak dalam implementasi kebijakan PKH ini
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Terdapat lima belas pihak yang terkait dengan implementasi kebijakan PKH
secara langsung. Kementerian Kehutanan menjadi pihak kunci (key
stakeholder) sedangkan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH)
menjadi pihak utama (primary stakeholder) dalam implementasi kebijakan
PKH. Peranan keduanya menjadi tolok ukur keberhasilan implementasi
kebijakan ini.
2. Para pihak menjalankan peranannya dengan baik. Terdapat keseimbangan
yang cukup baik antara rights, responsibility dan revenues untuk masing-
masing pihak.
3. Keseimbangan juga terjadi dalam keterlibatan pemerintah daerah, baik
Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten dalam implementasi
kebijakan IPPKH. Hal ini menunjukkan bahwa Kementerian Kehutanan telah
berusaha membagi habis tugas kepada para pihak yang berkompeten baik di
institusi pusat di daerah maupun institusi pemerintah daerah.
4. Hubungan antar pihak terjalin dalam berbagai tingkat, dari bekerjasama
sampai dengan adanya konflik.
5. Keseimbangan peranan, keterlibatan dan hubungan para pihak yang baik tidak
menjamin keberhasilan implementasi sebuah kebijakan. Keberhasilan
implementasi kebijakan ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya adalah
124

berfungsinya institusi yang dibangun dan aturan main yang dijalankan dengan
baik.
6. Dalam implementasi kebijakan PKH ini masih terdapat berbagai kendala
dalam pelaksanaannya diantaranya adalah: keterbatasan sumberdaya manusia
pelaksana, minimnya anggaran, pengawasan dan penegakkan hukum yang
lemah masih menjadi permasalahan dalam implementasi kebijakan ini.
125

HUBUNGAN PRINCIPAL-AGENT DALAM IMPLEMENTASI


KEBIJAKAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN

Pendahuluan

Konsep hubungan principal-agent atau prinsipal-agen (P-A) dalam


kebijakan kehutanan di Indonesia dipraktikkan dalam pemberian IUPHHK,
dimana pemerintah sebagai prinsipal (P) memberikan kewenangan pengelolaan
hutannya kepada perusahaan kehutanan sebagai agen (A) yang terpercaya dengan
IUPHHK-nya sebagai bentuk kespekatan (contract) yang disepakati oleh kedua
belah pihak. IPPKH juga pada prinsipnya merupakan bentuk hubungan P-A,
dimana pemerintah memberikan kewenangan kepada perusahaan pertambangan
untuk menggunakan dan memanfaatkan sumberdaya energi dan sumber daya
mineral di dalam kawasan hutan baik untuk kegiatan penyelidikan umum, survei,
eksplorasi maupun eksploitasi (operasi produksi).
Kebijakan PKH merupakan kebijakan yang mengatur diperbolehkannya
sektor lain di luar sektor kehutanan untuk menggunakan dan/atau memanfaatkan
sumberdaya alam di dalam kawasan hutan. Dalam perkembangannya, kebijakan
PKH telah mengalami metamorfosis dalam rentang waktu yang cukup lama tanpa
mengubah tujuan dan substansi kebijakan itu sendiri. Perubahan yang dilakukan
oleh para perumus kebijakan hanya pada tatacara permohonan izin dan penyesuain
(penambahan) persyaratan dan kewajiban terkait dengan isu-isu yang
mengiringinya.
Dalam tahapan implementasi, hubungan antara pemerintah dan perusahaan
pertambangan dalam kebijakan PKH diikat dalam sebuah kontrak yang berisi hak
dan kewajiban kedua belah pihak. Dengan demikian kebijakan PKH merupakan
bentuk hubungan prinsipal-agen (P-A) sebagai bentuk pemberian kewenangan
(kontrak) pengelolaan hutan dari pemerintah sebagai prinsipal (P) kepada
perusahaan tambang sebagai agen (A). Kontrak yang dimaksud adalah IPPKH
yang diberikan oleh Menteri Kehutanan atas kepercayaannya kepada sebuah
perusahaan pertambangan untuk menggunakan sekaligus memanfaatkan
sumberdaya tambang dan mineral yang berada di dalam kawasan hutan, baik
untuk kegiatan penyelidikan umum, survei, eksplorasi maupun eksploitasi (operasi
produksi) sekaligus mengelola kawasan hutan yang digunakan. Hubungan
kontraktual tersebut tidak selamanya berjalan mulus, banyak permasalahan yang
terjadi pada saat diimplementasikan di lapangan sebagai akibat dari
ketidaksempurnaan kebijakan tersebut.
Hubungan keagenan (agency relationship) adalah suatu kontrak dimana
satu orang atau lebih (prinsipal) menugaskan orang lain (agen) untuk melakukan
sebagian kewenangan prinsipal dan meliputi juga pendelegasian sebagian
wewenang untuk mengambil keputusan (Jensen dan Meckling 1986). Hubungan
kemitraan antara P dan A tersebut merupakan suatu pertukaran yang kompleks
sehingga mempunyai berbagai potensi permasalahan.
Eisenhardt (1980) menjelaskan, hubungan P-A atau dikenal dengan teori
keagenan (agency theory) dilandasi oleh tiga buah asumsi, yaitu:
126

1. Asumsi tentang sifat manusia, yang menekankan bahwa manusia memiliki


sifat untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan
rasionalitas (bounded rationality) dan tidak menyukai resiko (risk aversion)
2. Asumsi tentang keorganisasian, adalah adanya konflik antar anggota
organisasi, efisien sebagai kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetric
Information antara prinsipal dan agen, dan
3. Asumsi tentang informasi, adalah informasi yang dipandang sebagai barang
komoditi yang diperjualbelikan.
Beberapa peneliti berpendapat bahwa pendekatan PA dapat dilakukan
dalam ranah kebijakan (Tabel 27).
Tabel 27 Pendapat beberapa peneliti tentang penggunaan hubungan P-A dalam
kebijakan publik
No Referensi Prinsipal-agen dalam kebijakan
1. Jensen dan Teori agensi mampu menjelaskan potensi konflik kepentingan
Meckling (1976) diantara berbagai pihak yang berkepentingan
2. Andvig et al (2001) Model PA merupakan kerangka analitik yang sangat berguna dalam
menjelaskan masalah insentif dalam institusi publik dengan dua
kemungkinan kondisi, yakni (1) terdapat beberapa prinsipal dengan
masing-masing tujuan dan kepentingan yang tidak koheren dan (2)
prinsipal juga bisa bertindak tidak sesuai dengan kepentingan
masyarakat, tetapi mengutamakan kepentingannya yang sifatnya lebih
sempit.
3. Bergman dan Lane Kerangka PA merupakan pendekatan untuk menganalisis komitmen
(1990) kebijakan publik karena perumusan dan pengimplementasiannya
melibatkan persoalan kontraktual yang berkaitan dengan asssymetric
information, moral hazard, bounded rationality, dan adverse
selection.
4. Lane (2013) Model PA dapat digunakan untuk menjelaskan masalah utama dalam
interaksi antara prinsipal dengan agen dalam perumusan dan
implementasi kebijakan publik terkait dengan kinerja dan
pelayanannya, diantaranya;
1) pemerintah sebagai prinsipal untuk agen dalam pelayanan publik;
2) masyarakat sebagai prinsipal untuk agen politik dalam berbagai
bentuk pemerintahan.

Secara garis besar, agency theory ditujukan untuk memecahkan dua


permasalahan yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan. Pertama, masalah
keagenan timbul pada saat: a) keinginan-keinginan atau tujuan-tujuan dari P dan
A berlawanan; dan b) merupakan suatu hal yang mahal bagi P untuk
memverifikasi tentang apa yang benar-benar dilakukan oleh A. Kedua, adanya
masalah pembagian risiko yang timbul pada saat P dan A memiliki sikap yang
berbeda terhadap risiko (Rungtusanatham et al 2007). Teori keagenan berfokus
pada persoalan asimetri informasi, dimana agen mempunyai informasi lebih
banyak tentang kinerja aktual, motivasi, dan tujuan, yang berpotensi menciptakan
moral hazard dan adverse selection. P sendiri harus mengeluarkan biaya (costs)
untuk memonitor kinerja A dan menentukan struktur insentif dan monitoring yang
efisien (Petrie 2002).
Hubungan P-A akan efisien apabila tingkat harapan keuntungan (reward)
kedua belah pihak seimbang dengan korbanan masing-masing serta biaya
127

transaksi sehubungan dengan pembuatan kontrak-kontrak atau kesepakatan-


kesepakatan dapat diminimalkan (Rodgers 1994 dalam Nugroho 2003)
Selanjutnya Nugroho (2003) menjelaskan hubungan P-A yang efisien
menjadi sesuatu yang kompleks untuk dipecahkan. Besarnya biaya transaksi
sangat dipengaruhi oleh derajat ketidaksepadanan informasi (asssymetric
information), kekuasaan, kepemilikan asset (endowment) yang dimiliki oleh pihak
yang terlibat dalam transaksi tersebut. Asssymetric information muncul karena
pada umumnya pihak A menguasai informasi tentang keragaan (work effort) yang
ada pada dirinya, sedangkan informasi tentang keragaan agen yang dimiliki oleh P
umumnya sangat terbatas. Pada kondisi demikian, maka P menghadapi dua risiko
yaitu risiko salah memilih agen yang sesuai dengan keinginan (adverse selection
of risk) pada ex ante (sebelum kontrak dibuat) dan resiko agen ingkar janji (moral
hazard) pada ex post (setelah kontrak disepakati). Semakin tidak sepadan
informasi, kekuasaan dan endowment yang dimiliki oleh para pihak yang
mengadakan pertukaran, biaya transaksi ini akan semakin besar.
Sementara itu menurut Ostrom et al (1993), teori dan konsep biaya
transaksi menyatakan bahwa pada prinsipnya situasi biaya transaksi tinggi yang
terjadi akan menyebabkan perilaku moral hazard dari para pihak yang terlibat
dalam pengelolaan hutan yaitu bentuk perilaku opurtunistis atau free riding, antara
lain terdiri dari perilaku sub optimal, melalaikan (shirking) dan pencarian rente
(rent seeking) dan korupsi (corruption).
Apabila biaya transaksi dalam pemenuhan kewajiban IPPKH sangat tinggi,
maka moral hazard seperti yang dikhawatirkan Ostrom et al (1993) kemungkinan
besar akan terjadi. Akibatnya adalah tidak dilaksanakannya sebagian atau bahkan
seluruh kewajiban yang dipersyaratkan dalam IPPKH, sehingga tujuan kebijakan
PKH tidak akan tercapai. Oleh karena itu perlu dikaji teks kebijakan PKH dan
implementasinya dengan monitoring dan evaluasi yang benar dan ketat.

Tujuan

Tujuan penelitian dalam bab ini adalah:


1. Menganalisis implementasi kebijakan PKH dengan pendekatan hubungan
antara pemerintah (prinsipal) dan perusahaan pemegang IPPKH (agen).
2. Mengidentifikasi permasalahan dan hambatan dalam implementasi kebijakan
PKH.
3. Memberikan masukan kepada pemerintah dalam perbaikan kebijakan PKH.

Hasil dan Pembahasan

Tinjauan Agency Theory (Teori Keagenan) dalam Kebijakan PKH

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa pada hakekatnya IPPKH


merupakan hubungan P-A antara pemerintah dan perusahaan pertambangan. Oleh
karena itu, pada kajian implementasi kebijakan ini menggunakan pendekatan P-A.
Menurut Jensen dan Meckling (1976), hubungan P-A adalah sebagai kontrak,
dimana satu atau beberapa orang (prinsipal) mempekerjakan orang lain (agen)
untuk melaksanakan sejumlah jasa dan mendelegasikan wewenang untuk
mengambil keputusan kepada agen tersebut.
128

Hubungan P-A tersebut dijelaskan dalam teori keagenan (agency theory)


yang berakar pada teori ekonomi, teori pengambilan keputusan, teori-teori
sosiologi dan teori organisasi. Teori keagenan menganalisis susunan kontraktual
di antara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Salah satu pihak (P)
membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain
(A) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang
diinginkan oleh P (Abdullah dan Asmara, 2007). Menurut Ross (1973) contoh-
contoh hubungan keagenan sangat universal.
Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan adanya konflik kepentingan
dalam hubungan keagenan. Terjadinya konflik kepentingan antara prinsipal dan
agen karena kemungkinan agen bertindak tidak sesuai dengan kepentingan
prinsipal. Teori agensi mampu menjelaskan potensi konflik kepentingan diantara
berbagai pihak yang berkepentingan dalam perusahaan tersebut. Sebagai agen,
dalam hal ini perusahaan tambang, bertanggung jawab secara moral untuk
mengoptimalkan keuntungan P, yaitu pemerintah. Namun demikian, agen juga
menginginkan untuk selalu memperoleh kompensasi sesuai dengan kontrak.
Terkait dengan kebijakan penggunaan kawasan hutan, maka teori
keagenan merupakan landasan dari hubungan antara pemerintah dan perusahaan
tambang yang telah memiliki izin penggunaan kawasan hutan atau izin pinjam
pakai kawasan hutan (IPPKH). Sedangkan IPPKH merupakan sebuah kontrak di
dalam hubungan keagenan tersebut, dimana pihak pemerintah memberikan
wewenang kepada perusahaan pertambangan untuk melakukan pengelolaan
kawasan hutan dan membuat keputusan yang terbaik bagi pemerintah.
Selain kepada perusahaan pertambangan, pemerintah (pusat) di dalam
kebijakan PKH juga memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk
melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi kegiatan PKH di wilayah kerjanya.
Pendelegasian ini juga berarti adanya hubungan P-A antara pemerintah pusat (P)
dan pemerintah daerah (A). Keputusan pemerintah pusat untuk memberikan
kewenangan monitoring dan evaluasi kepada pemerintah didasarkan pada
peraturan perundang-undangan pemerintahan daerah serta adanya asumsi bahwa
pemerintah daerah siap dan mampu untuk melaksanakan kewenangan tersebut.
Kesiapan dan kemampuan dalam implementasi kebijakan PKH oleh pemerintah
daerah sangat penting karena monitoring dan evaluasi menjadi salah satu tolok
ukur keberhasilan implementasi kebijakan PKH.
Dalam hubungan kontraktual antara pemerintah dan perusahaan
pertambangan serta pendelegasian kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah melibatkan berbagai pihak dalam pelaksanaannya. Para pihak
tersebut diantaranya adalah: pemerintah provinsi (Gubernur, Dinas Kehutanan
Provinsi, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi, Dinas Lingkungan Hidup
Provinsi, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten), pemerintah kabupaten (Bupati,
Dinas Kehutanan Kabupaten, Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten), Unit
Pelaksana Teknis (UPT) di daerah (BPKH, BPDASPS, BP2HP, BKSDA), dan
elemen masyarakat di sekitar areal IPPKH.
Sementara perusahaan pertambangan sebagai agen juga mempunyai hak
dan kewajiban sebagaimana yang tertuang dalam kontrak yang ditandatangni oleh
Menteri Kehutanan dalam bentuk IPKKH serta mempunyai beban dan
tanggungjawab untuk mengimplementasikan kebijakan PKH dengan baik dan
benar. Implementasi kebijakan PKH sangat dipengaruhi oleh persepsi dan respon
129

perusahaan pertambangan terhadap hutan dan kawasan hutan, hak dan kewajiban
perusahaan dalam IPPKH maupun keberlanjutan/kelestarian lingkungan. Respon
perusahaan merupakan cerminan kepatuhannya terhadap kontrak yang telah
disepakati antara pemerintah dengan perusahaan pertambangan. Respon
perusahaan juga dapat menjadi sarana untuk menggali hambatan-hambatan
maupun permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan dalam
mengimplementasikan kebijakan PKH.
Teori keagenan (Eisenhardt 1989) mendasarkan pada beberapa asumsi.
Pertama, asumsi tentang sifat manusia. Asumsi ini menekankan bahwa manusia
selalu mengutamakan kepentingan dirinya sendiri (selfinterest), selalu berupaya
untuk menghindari risiko (risk-aversion), dan manusia dianggap memiliki
rasionalitas yang terbatas (bounded rasionality). Kedua, asumsi tentang
organisasi, dalam asumsi ini organisasi dianggap selalu terjadi konflik tujuan antar
pihak yang berkepentingan, adanya informasi yang tidak simetris (asymmetric
information) antara prinsipal dan agen, dan efisiensi sebagai criteria efektivitas.
Ketiga, asumsi informasi adalah bahwa informasi sebagai komoditas yang dapat
diperjualbelikan (information as a purchasable commodity).
Hubungan keagenan berimplikasi pada pembahasan konflik kepentingan
antara agen dan prinsipal akibat adanya asymmetries of information (Hart 1989).
Secara garis besar, agency theory ditujukan untuk memecahkan dua permasalahan
yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan. Pertama, masalah keagenan timbul
pada saat: a) keinginan-keinginan atau tujuan-tujuan dari prinsipal dan agen
berlawanan; dan b) merupakan suatu hal yang mahal bagi prinsipal untuk
memverifikasi tentang apa yang benar-benar dilakukan oleh agen. Kedua, adanya
masalah pembagian risiko yang timbul pada saat prinsipal dan agen memiliki
sikap yang berbeda terhadap risiko (Rungtusanatham et al 2007).

Bounded
Rationality

Self Interest Asumsi I Risk Aversion


Sifat Manusia

Asymmetric
Information

Asumsi III
Informasi adalah AGENCY Asumsi II Permasalahan
Conflict of Interest
komoditas yang bisa THEORY Organisasi Kebijakan PKH
dipertukarkan

Eficiency

Moral Hazard PROBLEMS Monitoring

Advers Selection Transaction Cost

Gambar 9 Asumsi dalam agency theory (teori keagenan) dan permasalahan dalam
kebijakan PKH
130

Tujuan utama digulirkannya kebijakan PKH adalah untuk memberikan


ruang bagi sektor lain di luar kehutanan untuk menggunakan dan mengambil
manfaat sumberdaya yang berada di dalam kawasan hutan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Rakyat adalah tujuan akhir, namun pada hakekatnya
kebijakan tersebut juga merupakan amanat dari rakyat yang harus dilaksanakan
dengan bijaksana. Dalam teori keagenan, amanat dari rakyat diwujudkan secara
berantai sampai dengan tujuan akhir, kemakmuran rakyat. Hubungan P-A yang
terjadi dapat melalui 6 (enam) rantai atau tahapan, dimulai dari rakyat sebagai P
yang memberikan kepercayaan kepada legiskatif (A) melalui pemilihan umum
untuk menyusun kebijakan dan peraturan perundang-undangan pengelolaan
sumber daya alam. Kemudian legilatif (P) memberikan kewenangannya kepada
eksekutif (A) untuk melaksanakan kebijakan maupun peraturan perundang-
undangan yang telah disusun, demikian seterusnya sampai dengan manfaat
terdistribusi secara adil dan merata untuk kesejahteraan rakyat.

Tabel 28 Aliran/rantai panjang hubungan P-A dalam kebijakan PKH


Rantai/Tahapan Hubungan
Subyek
I II III IV V VI
Rakyat/
Prinsipal Legislatif Eksekutif Kementerian Perusahaan
Pemilih
Manfaat, Distribusi
Peraturan Izin, Surat Pajak, manfaat
Pemilihan Konstitusi,
Presiden, Isntruksi Keputusan Royalti, kepada
Kontrak Umum Undang-
Presiden Peraturan Menteri, Pendapatan rakyat/
Legislatif undang
Pemerintah Permenhut Negara pemilih
lainnya
Agen Legislatif Eksekutif Kementerian Perusahaan Eksekutif

Isu-isu Hubungan Prinsipal-Agen dalam Implementasi Kebijakan PKH

Menurut Eisenhardt (1989), fokus dari teori keagenan adalah pada


penentuan/pembuatan kontrak yang optimal, perilaku dan hasil (tujuan) yang
diharapkan dan hubungan antara P dan A. Teori keagenan juga mengaplikasikan
berbagai disiplin ilmu yang berbeda. Berbagai isu dalam teori keagenan adalah
sebagaimana yang digambarkan Murphy (2007) yaitu; moral hazard, adverse
selection, asymmetric information, risk preferences, transaction cost, monitoring,
incentives dan contract design.
131

Cost

Monitoring Incentives
PRINCIPAL

CONTRACT Assymetric
Risk Preferense Information

AGENT
Moral Hazard Adverse Selection

Gambar 10 Isu-isu dalam teori keagenan (Ackere 1993 dalam Murphy 2007)

1. Seleksi Terhadap Agen

Seleksi dalam hubungan P-A merupakan tahapan awal yang sangat penting
artinya bagi pelaksanaan dan keberlanjutan kontrak yang akan disepakaati
bersama. Seleksi sangat menentukan keberhasilan P dalam mencapai tujuan atau
kepentingannya. Namun dalam praktiknya, seringkali P melakukan kesalahan
dalam memilih A yang sesuai untuk diberi kewenangan mengelola sumberdaya
(adverse selection). Petrie (2002) dan Murphy (2007) mengartikan salah pilih
sebagai kesalahan P dalam mengidentifikasi keahlian A dan ketidakmampuan P
dalam memverifikasi secara lengkap kemampuan A sebelum mengambil
keputusan untuk memberikan kewenangannya kepada A.
Salah pilih mempunyai dampak yang sangat besar terhadap pelaksanaan
kontrak. Peluang terjadinya ketidaksesuaian pelaksanaan (risiko kegagalan)
dengan kontrak yang disepakati sangat besar. Tanggunjawab P menjadi semakin
besar, demikian juga dengan usaha yang harus dilakukan, terutama untuk
mengeliminir terjadinya akibat selanjutnya dalam bentuk moral hazard yang
dilakukan oleh A dan menekan biaya dalam memantau pelaksanaan kontrak
(monitoring cost).
Dalam implementasi kebijakan PKH, A merupakan perusahaan yang telah
mendapatkan izin pengusahaan tambang dalam bentuk Kontrak Karya (KK) atau
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dari pemerintah
pusat (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral) atau Izin Usaha Pertambangan
(IUP) dari pemerintah daerah (Gubernur atau Bupati). Sehingga, seleksi terhadap
kelayakan atau kemampuan A berada pada sektor lain. P justru tidak mempunyai
pilihan untuk menyeleksi A yang cakap dan sesuai untuk diberi kewenangan
mengelola kawasan hutan dalam bentuk IPPKH. P akan menerima siapa saja A
(dengan kemampuan dan kelayakan yang ada) yang mengajukan IPPKH jika
semua syarat administrasi maupun teknis yang diwajibkan oleh P dapat dipenuhi.
Peryaratan yang diwajibkan dalam proses seleksi berdasarkan Permenhut
P.14/Menhut-II/2011 jo P.38/Menhut-II/2012 Jo P.14/Menhut-II/2013, adalah
sebagai berikut;
132

1. Persyaratan Administratif
a. surat permohonan yang dilampiri dengan peta lokasi kawasan hutan yang
dimohon;
b. Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi (IUP Eksplorasi)/Izin Usaha
Pertambangan Operasi Produksi (IUP Operasi Produksi) atau
perizinan/perjanjian lainnya yang telah diterbitkan oleh pejabat sesuai
kewenangannya, kecuali untuk kegiatan yang tidak wajib memiliki
perizinan/perjanjian;
c. rekomendasi:
- gubernur untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar
bidang kehutanan yang diterbitkan oleh bupati/walikota dan
Pemerintah; atau
- bupati/walikota untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di
luar bidang kehutanan yang diterbitkan oleh gubernur; atau
- bupati/walikota untuk pinjam pakai kawasan hutan yang tidak
memerlukan perizinan sesuai bidangnya; dan
d. pernyataan bermeterai cukup yang memuat:
- kesanggupan untuk memenuhi semua kewajiban dan kesanggupan
menanggung seluruh biaya sehubungan dengan permohonan;
- semua dokumen yang dilampirkan dalam permohonan adalah sah; dan
- belum melakukan kegiatan di lapangan dan tidak akan melakukan
kegiatan sebelum ada izin dari Menteri.
2. Persyaratan Teknis
a. rencana kerja penggunaan kawasan hutan dilampiri dengan peta lokasi
skala 1:50.000 atau skala terbesar pada lokasi tersebut dengan informasi
luas kawasan hutan yang dimohon;
b. citra satelit terbaru dengan resolusi detail 15 (lima belas) meter atau
resolusi lebih detail dari 15 (lima belas) meter dan hasil penafsiran citra
satelit dalam bentuk digital dan hard copy yang ditandatangani oleh
pemohon dengan mencantumkan sumber citra satelit dan pernyataan
bahwa citra satelit dan hasil penafsiran benar;
c. AMDAL yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, kecuali untuk
kegiatan yang tidak wajib menyusun AMDAL, sesuai peraturan
perundang-undangan atau dokumen lingkungan sesuai peraturan
perundang-undangan dan disahkan oleh instansi yang berwenang; dan
d. pertimbangan teknis Direktur Jenderal yang membidangi Mineral Batubara
dan Panas Bumi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
untuk perizinan kegiatan pertambangan yang diterbitkan oleh gubernur
atau bupati/walikota sesuai kewenangannya, memuat informasi antara lain
bahwa areal yang dimohon di dalam atau di luar WUPK yang berasal dari
WPN dan pola pertambangan.
Dari persyaratan yang diwajibkan tersebut di atas, P tidak melakukan
seleksi dengan melakukan penilaian kemampuan atau kelayakan secara teknis
dalam bidang kehutanan. P hanya melakukan seleksi terhadap kelengkapan
persyaratan administratif yang diajukan oleh A, meskipun dalam Permenhut
P.14/Menhut-II/2011 jo P.38/Menhut-II/2012 Jo P.14/Menhut-II/2013 disebutkan
adanya syarat teknis, namun persyaratan tersebut tidak menunjukkan adanya
seleksi terhadap kemampuan teknis yang dimiliki A. Persyaratan teknis tersebut
133

hanya kelengkapan adminsitratif yang bersifat teknis, sehingga pada hakekatnya


semua persyaratan yang diwajibkan oleh P merupakan persyaratan adminstratif.
Hubungan P-A dalam kebijakan PKH merupakan hubungan yang unik,
karena hubungan P-A ini berbeda dengan hubungan P-A pada penerapan teori
keagenan pada umumnya. Hubungan P-A dibangun atas dasar kebutuhan P yang
mempunyai kepentingan atau tujuan terhadap sesuatu hal yang kemudian
memberikan kepercayaan kepada pihak lain (A) untuk melakukan pekerjaan
tersebut dengan harapan dapat mencapai tujuan yang ingin dicapai oleh P.
Sedangkan hubungan P-A dalam kebijakan PKH lebih pada adanya permintaan
dari A yang mempunyai kepentingan atau tujuan untuk mengeksploitasi bahan
tambang yang berada di dalam kawasan hutan dengan mengajukan permohonan
kepada P untuk mengabulkan permintaan A tersebut.
Situasi hubungan P-A tersebut membawa 2 (dua) konsekuensi. Pertama, P
tidak mempunyai pilihan A yang lain untuk bisa menyeleksi kemampuan A.
Kedua, A tidak mempunyai kesempatan atau ‗hak‘ untuk menolak kontrak yang
diajukan oleh P. A mau tidak mau menerima kontrak yang telah disusun oleh P.
Ketiadaan pilihan bagi P mempunyai dampak yang sangat besar terhadap kinerja
kelembagaan yang terbentuk selama implementasi kebijakan PKH, terutama pada
pemenuhan kewajiban A selama menjalankan kontrak.

2. Hubungan Kontraktual

Pada dasarnya permasalahan keagenan dipicu oleh adanya konflik


(perbedaan) kepentingan antara prinsipal dengan agen. Permasalahan tersebut
dapat dieliminr dengan menyusun kontrak yang baik untuk mendekatkan
kepentingan P dan A. Kontrak seharusnya dapat disusun dengan
mempertimbangkan segala aspek yang dapat memacu peningkatan kinerja dan
menguatkan komitmen A untuk memenuhi tujuan yang diinginkan P. Kontrak
juga dapat meminimasi kemungkinan A melakukan penyimpangan perilaku dalam
kinerjanya.
P selalu memiliki harapan bahwa A dapat memenuhi kepentingannya. Di
satu pihak, kegagalan menyusun kontrak akan menimbulkan sikap oportunis pada
diri A. Opportunism adalah suatu sikap, perilaku ataupun tindakan yang bertujuan
untuk mencari keuntungan demi kepentingan sendiri dengan cara yang tidak
dibenarkan, curang atau melanggar ketentuan yang telah ditentukan/disepakati.
Sikap opportunist A timbul dalam bentuk melalaikan atau menghindari kewajiban
dan tanggungjawab dan/atau melakukan kegiatan lain secara tidak sah (illegal)
yang merugikan P. Di sisi lain, A juga berusaha untuk menyejahterakan dirinya
sendiri dengan sumberdaya yang tersedia. A tidak akan menerima kontrak yang
diajukan oleh P jika tidak mendapatkan kesempatan untuk menjadikan dirinya
lebih sejahtera. Dengan demikian masalah keagenan muncul karena
ketidaksempurnaan kontrak yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Menurut Eisenhardt (1989), fokus teori keagenan terdapat pada penentuan
kontrak yang optimal. Dalam implementasi kebijakan PKH, hubungan P-A juga
merupakan hubungan kontraktual antara keduanya. Kontrak yang dibuat oleh P
dalam bentuk hak dan kewajiban yang termaktub dalam SK Menteri Kehutanan
tentang izin pinjam pakai kehutanan disepakati oleh A (given contract). P telah
menyusun desain kontrak sedemikian rupa yang didominasi oleh kewajiban-
134

kewajiban yang harus dilaksanakan oleh A dengan harapan dapat dipenuhi


sehingga mencapai tujuan yang diinginkan P. kewajiban-kewajiban tersebut
dimaksudkan untuk membatasi (luas) dan mengendalikan kerusakan serta
pemulihan atas kawasan hutan yang dipinjampakai.
Dalam model keagenan dirancang sebuah sistem yang melibatkan kedua
belah pihak, sehingga diperlukan kontrak yang jelas dan terkontrol antara P dan A.
Model hubungan P-A juga diharapkan dapat memuaskan serta menjamin A untuk
menerima incentives dari hasil aktivitas pengelolaan sumberdaya tambangnya
sekaligus keberadaan kawasan hutannya.
Dalam kontrak yang disepakati A disebutkan bahwa P memberikan hak
kepada A untuk :
a. berada, menempati dan mengelola serta melakukan kegiatan-kegiatan yang
meliputi kegiatan operasi produksi batubara dan sarana penunjangnya, serta
melakukan kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan itu dalam
kawasan hutan yang dipinjam pakai;
b. memanfaatkan hasil kegiatan yang dilakukan sehubungan dengan kegiatan
operasi produksi batubara dan sarana penunjangnya, pada kawasan hutan yang
dipinjam pakai.
c. melakukan penebangan pohon dalam rangka pembukaan lahan dengan
membayar penggantian nilai tegakan, provisi sumber daya hutan dan/ atau
dana reboisasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dan mewajibkan A untuk:
a. membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan dan melakukan penanaman
dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai dengan ratio 1:1 ditambah
dengan luas rencana areal terganggu dengan kategori L3;
b. melaksanakan reklamasi dan reboisasi pada kawasan hutan yang sudah tidak
dipergunakan tanpa menunggu selesainya jangka waktu izin pinjam pakai
kawasan hutan;
c. membayar PSDH, DR dan penggantian nilai tegakan, dan kewajiban keuangan
lainnya pada hutan alam di luar areal IUPHHK-HA/HT sesuai peraturan
perundang-undangan.
d. melakukan pemeliharaan batas pinjam pakai kawasan hutan;
e. melaksanakan perlindungan hutan sesuai peraturan perundang-undangan;
f. memberikan kemudahan bagi aparat kehutanan baik pusat maupun daerah pada
saat melakukan monitoring dan evaluasi di lapangan;
g. menanggung seluruh biaya sebagai akibat adanya pinjam pakai kawasan hutan;
h. mengembangkan ekonomi berkelanjutan masyarakat dan memberdayakan
masyarakat disekitar areal pinjam pakai kawasan hutan;
i. melaksanakan inventarisasi tegakan sebelum dilakukannya pembukaan lahan
pada areal izin pinjam pakai kawasan hutan sesuai tahapan pelaksanaan
kegiatan dengan intensitas 100%;
j. mengkoordinasikan kegiatan kepada instansi kehutanan setempat;
k. menyerahkan rencana kerja pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
huruf a sampai dengan huruf i, selambat-lambatnya 100 (seratus) hari kerja
setelah ditetapkan keputusan izin pinjam pakai kawasan hutan, dan
l. membuat laporan pemenuhan kewajiban yang ditetapkan dalam izin secara
berkala setiap 6 (enam) bulan;
135

Untuk mengatasi masalah keagenan, teori hubungan keagenan


mengidentifikasi dan menentukan pilihan antara dua tipe kontrak formal untuk
mengendalikan hubungan P-A, pertama kontrak yang berdasarkan perilaku A
(behavioral based contract); dan kedua kontrak yang berdasarkan hasil akhir atau
outcome (outcome based contract). Dalam kaitan ini ketepatan pemilihan kontrak
merujuk efisiensi pertukaran antara: a) biaya perolehan informasi untuk
memonitor perilaku A, dan b) biaya untuk menentukan outcome dan
memindahkan risiko ke A.
Rungtusanathan et al (2007) menggambarkan karakteristik kedua tipe
kontrak yang disepakati sebagaimana matrik dalam tabel di bawah ini dengan
membandingkan hasil kajian terhadap kontrak dalam IPPKH selama penelitian.

Tabel 29 Matrik perbandingan karakteristik kontrak berdasarkan perilaku dan


hasil akhir.
Indikator Yang Menentukan Behavior Based Outcome Based PPKH's Contract**
No
Hubungan P-A Contract* Contract*
1 Biaya perolehan informasi Rendah Tinggi Relatif
(Asymmetric information) Tinggi
2 Ketidakpastian hasil akhir Tinggi Rendah Tinggi
(Outcome Uncertanty)
3 Kesulitan dalam pengukuran Relatif sulit Relatif mudah Relatif mudah
outcome
4 Penghindaran risiko agen Tinggi Rendah Tinggi
terhadap prinsipal (risk
aversion)
5 Konflik tujuan antara prinsipal Rendah Tinggi Tinggi
dan agen
6 Pendekatan insentif-disinsentif Prinsipal dan Agen Prinsipal Prinsipal dan agen tidak
memiliki kesamaan memberikan memiliki kesamaan
penilaian bahwa reward agen penilaian terhadap
agen berhak berdasarkan adanya reward dan
memperoleh kemampuan kompensasi, Prinsipal
kompensasi dan produktivitas juga tidak memberikan
reward sesuai reward apapun atas
dengan ketentuan kinerja agen
7 Biaya transaksi pelaksanaan - - Relatif Tinggi
kontrak (transaction cost)
8 Peluang agen melakukan moral - - Tinggi
hazard
9 Kemudahan implementasi - - Sulit
(contract implementastion)
Sumber :
* = Diadaptasi dari Rungtusanathan et al (2007) dalam Sarwoko (2010)
** = Penilaian peneliti berdasarkan hasil interpretasi selama penelitian dan observasi lapangan

Jika menganalisis dan membandingkan kontrak IPPKH dengan indikator


yang dikemukan oleh Rungtusanatham et al (2007) pada Tabel 29, maka kontrak
IPPKH cenderung tidak mengikuti model kedua kontrak tersebut. Pada
kenyataannya, P tidak mempunyai kemampuan untuk mengawasi perilaku A,
136

demikian juga outcome yang diinginkan tidak seperti yang diinginkan oleh P.
Hasil penilaian terhadap respon A dalam implementasi kontrak IPPKH
menunjukkan bahwa hampir semua kewajiban A tidak dilaksanakan dengan baik
sesuai kontrak IPPKH. Kondisi tersebut tidak seperti yang dikemukakan oleh
Sarwoko (2010), dimana ketika P mempunyai kecukupan untuk memperoleh dan
menganalisis informasi yang digunakan untuk memonitor perilaku agen dengan
biaya yang efisien, maka behavioral based contract menjadi pilihan.
Dalam kenyataan, P tidak mempunyai kemampuan untuk mengawasi
perilaku A, demikian juga hasil akhir yang diinginkan tidak seperti yang
diinginkan oleh P. Hasil penilaian terhadap respon A dalam implementasi kontrak
IPPKH menunjukkan bahwa hampir semua kewajiban A tidak dilaksanakan
dengan baik sesuai kontrak IPPKH maupun peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Selama proses mengkaji kontrak IPPKH, teridentifikasi indikator-
indikator lainnya yang menjadi karakteristik tersendiri dalam kontrak IPPKH
selain indikator yang telah disusun oleh Rungtusanathan et al (2007) tersebut.
Indikator-indikator tersebut adalah; biaya transaksi pelaksanaan kontrak, peluang
A melakukan moral hazard dan kemudahan implementasi kontrak.
Menurut Nielsen dan Tierney (2003), P dapat menyusun kontrak dimana
mereka dapat melakukan taktik atau stategi untuk memodifikasi perilaku A.
Untuk mendisain hubungan P-A yang efisien, kontrak sebaiknya bersifat self-
enforcing. Yaitu, kontrak dapat memaksa atau menekan sifat mementingkan diri
sendiri yang ada pada A untuk mematuhi apa yang diharapkan/diinginkan P. P
harus memiliki setidaknya empat cara untuk merancang/mendesain kontrak yang
efisien dan memiliki self-enforcing untuk membatasi kecurangan yang mungkin
akan dilakukan oleh A. Pertama, P dapat dengan hati-hati menyaring potensi yang
dimiliki A ketika hendak melakukan kesepatakan. Seperti melakukan mekanisme
penyaringan dan seleksi mungkin dapat dilakukan oleh P kepada A yang
mempunyai ketertarikan atau keinginan yang sama seperti apa yang diinginkan
oleh P. Kedua, P dapat memonitor/memantau kegiatan A, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Ketiga, P dapat menyusun kontrak yang di dalamnya
memuat pasal-pasal yang dapat meningkatkan kredibilitas P dan komitmen A,
seperti adanya sanksi dan penghargaan bagi A. Keempat, P dapat
membandingkan kinerja antara dua atau lebih A. Jika rancangan tersebut sesuai,
cara memperbandingkan tersebut dapat mengumpulkan informasi tentang perilaku
A dan juga dapat menghalangi perilaku A yang akan merusak kinerjanya.
Jika mengacu pada saran Nielson dan Tierney (2003) tersebut di atas,
setidaknya dua cara telah dilakukan oleh kementerian kehutanan dalam menyusun
kontrak IPPKH, yaitu kontrak telah berisi aturan main untuk
memonitor/memantau pelaksanaan kegiatan A, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Kontrak juga telah memuat aturan-aturan atau pasal-pasal yang
dapat meningkatkan komitmen A, seperti adanya sanksi. Namun, kontrak belum
dapat dipatuhi oleh A sepenuhnya yang disebabkan oleh lemahnya pengawasan P
terhadap kinerja A, ketiadaan instrument insentif dan lemahnya penegakan
hukum. Sementara untuk menilai kinerja A dan membandingkannya dengan A
lainnya, sampai saat ini belum dilakukan. Penilaian kinerja tersebut juga dapat
menjadi sebuah sarana atau motivasi untuk meningkatkan komitmennya, terlebih
jika ada insentif kinerja untuk A.
137

3. Asymmetric Information (Ketidaksepadanan Informasi)

Asymmetric information terjadi jika satu atau lebih pihak mempunyai


informasi yang lebih baik mengenai kualitas suatu produk atau jasa yang
dipertukarkan dibandingkan pihak lain, sehingga tidak terjadi proses komunikasi
dan pertukaran informasi yang seimbang antara para pelaku kemitraan.
Asymmetric information bukan berarti tidak dimilikinya informasi, tetapi
terkadang informasi tersebut tidak dapat diperoleh dan berbiaya tinggi sampai
dengan pertukaran terjadi, atau terkadang diperoleh namun sudah sangat
terlambat. Munculnya asymmetric information dan adanya kepentingan pribadi
yang tidak selalu sama antara P dan A, mempengaruhi tindakan yang dilakukan
oleh A.
Hal ini mengakibatkan pertukaran tersebut rawan terhadap resiko salah pilih
mitra (adverse selection) pada ex ante (sebelum kejadian) dan bahaya ingkar janji
(moral hazard) pada ex post (setelah kejadian), dan bahkan dalam suatu kemitraan
terdapat kemungkinan terjadinya double moral hazard (Maskin, 2001). Salah satu
bentuk moral hazard adalah munculnya perilaku oportunis dari salah satu pihak yang
melakukan pertukaran. Perilaku oportunis umumnya terjadi pada situasi ex post atau
disebut sebagai oportunis pasca kontrak (post-contractual opportunistic behavior).
Lemahnya pengawasan P terhadap kinerja A berpotensi menimbulkan
masalah keagenan. Masalah keagenan timbul karena adanya ketidaksepadanan
informasi (asymmetric information). ketidaksepadanan informasi merupakan suatu
kondisi dimana satu pihak mempunyai lebih banyak informasi/pengetahuan
tertentu dibandingkan pihak lainnya.
Ketidaksepadanan informasi yang terjadi dalam proses implementasi
kebijakan PKH dapat diidentifikasi dalam 2 (dua) sel dari 4 empat sel menurut
Waterman dan Meier (1998) yang terkait dengan perbedaan tujuan antara P dan A
(Gambar 11).

Tingkat Informasi A
Sedikit Banyak
Tingkat Informasi P

Banyak

C D
Sedikit

A B

Gambar 11 Ketidaksepadanan informasi terkait dengan perbedaan tujuan antara P


dan A (diadopsi dari Waterman dan Meier 1998)

Dalam implementasi kebijakan PKH hanya teridentifikasi sel B dan C


dengan materi informasi yang berbeda terkait dengan perbedaan tujuan antara P
dan A. Jika materi informasi tersebut adalah berdasarkan tujuan P, maka
hubungan ketidaksepadanan informasi akan berlaku seperti sel C, yaitu P
138

menguasai sepenuhnya informasi. Sedangkan apabila materi informasinya


berdasarkan pada tujuan A, maka situasinya akan berlawanan menjadi B, dimana
informasi banyak dikuasai oleh A. Sementara sel A dan D tidak teridentifikasi
dalam kajian ini.
Dalam berbagai studi dan literatur ketidaksepadanan informasi tipe sel B
banyak ditemukan dan dibahas. Dimana A menguasai sebagian besar informasi
atau pengetahuan tentang potensi sumberdaya, materi teknis dan kekuatan institusi
(organisasi). Tipe ketidaksepadanan informasi tersebut oleh Waterman dan Meier
(1998) disebut sebagai kasus klasik dari sebuah hubungan P-A.
Ketidaksepadanan informasi ini yang memicu timbulnya moral hazard pada diri
A. Untuk mengatasi hal tersebut P harus melakukan sistem pengawasan atas
kinerja A dengan menerapkan kontrak yang telah ditandatangani oleh P dan
disepakati oleh A.
P selaku pemegang kewenangan pengelolaan kawasan hutan memberikan
kewenangan pengelolaannya kepada A untuk mengelola kawasan hutan secara
efisien dan efektif, memberikan profit kepada kedua belah pihak yang
berkelanjutan. Permasalahan yang sering terjadi yaitu adanya conflict of interest
antara P dan A yang dapat menimbulkan masalah keagenan, dimana A tidak
bertindak sesuai dengan kepentingan P dan hal ini akan berpengaruh kepada
kinerja kebijakan PKH.
Perbedaan tujuan atau kepentingan antara P dan A (conflict of intersest)
yang disebabkan oleh perbedaan motivasi dan perbedaan sektor usaha (core
business) mengakibatkan perbedaan materi informasi yang dimiliki oleh kedua
belah pihak. Perbedaan itulah yang menciptakan adanya dua tipe
ketidaksepadanan informasi dalam kajian implementasi kebijakan PKH ini. Tipe
yang disebut sebagai kasus klasik dalam teori keagenan di atas mengacu pada
tujuan yang ingin dicapai oleh A. P tidak memiliki informasi, pengetahuan
maupun pengalaman apapun tentang tujuan A, sehingga P tidak dapat melakukan
pengawasan terkait dengan aktifitas dan proses produksi tambang yang dilakukan
oleh A. Sehingga P tidak mengetahui kinerja A dan sangat sulit mengetahui
apakah A melakukan penyimpangan terhadap kontrak atau tidak (moral hazard)
Sebaliknya, dalam kajian ini terdapat situasi yang menarik, yaitu
teridentifikasinya ketidaksepadanan informasi dengan tipe C, di mana P
menguasai informasi (dominan) sedangkan A memiliki sangat sedikit (minim)
informasi. Waterman dan Meier (1998) mencontohkan situasi seperti ini terjadi di
dalam organisasi besar dimana A melakukan pekerjaan yang sangat terspesialisasi
sehingga mereka tidak dapat melihat bagaimana pekerjaan mereka berkontribusi
terhadap apa yang telah organisasi lakukan. Situasi tersebut juga terjadi di
lembaga-lembaga militer di mana A melakukan tugas khusus tetapi hanya atasan
atau P yang tahu persis alasan dari pelaksanaan tugas tersebut. Lebih lanjut
Waterman dan Meier (1998) menjelaskan bahwa dalam kedua contoh ini hanya
atasan di dalam hirarki (P) yang bisa melihat seluruh rentang operasi. Dalam
kaitannya dengan P dan A, situasi seperti ini mungkin terjadi di antara P yang
mengarahkan kebijakan dan instruksinya kepada A. Sementara A hanya
mengetahui sebagian kecil rencana kebijakan P dan karena itu A berada pada
kondisi kekurangan informasi.
Implementasi kebijakan PKH cenderung memiliki tipe sel C, karena
hampir semua informasi tentang pengelolaan hutan merupakan domain
139

kementerian kehutanan sebagai P. Sementara perusahaan pemegang IPPKH


hampir tidak mempunyai informasi tersebut, sehingga A hanya mengikuti
instruksi dan kebijakan yang berlaku di lingkup kementerian kehutanan serta
menerima apa yang termaktub dalam klausul IPPKH sebagai kontrak antara
kementerian kehutanan sebagai P dan perusahaan pertambangan sebagai A.
Ketiadaan informasi, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh A
tentang pengelolaan hutan menyebabkan terjadinya kesenjangan yang lebar antara
tujuan yang ingin dicapai oleh P dengan apa yang dilakukan oleh A. Di sisi lain,
A mempunyai tujuan untuk mengoptimalkan produksi hasil pertambangan yang
berada di dalam kawasan hutan, yang pastinya akan mendayaupayakan semua
kemampuannya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Ketiadaan informasi
tersebut dapat menjadi penyebab utama A melakukan moral hazard akibat
ketidaktahuan meskipun P telah berusaha untuk mengeliminirnya. Melalui
Permenhut Nomor P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan
Hutan, P mewajibkan A untuk mempekerjakan seorang teknisi kehutanan untuk
mengangani masalah-masalah teknis dan seorang forestry policy advisor45 untuk
perrmasalahan kebijakan dan peraturan-peraturan di bidang kehutanan. Namun,
sampai saat ini kebijakan tersebut belum efektif karena belum semua A mengikuti
kebijakan tersebut. Bahkan, menurut penuturan beberapa responden dari
pemegang IPPKH, kebijakan tersebut hanya akan meningkatkan biaya transaksi
saja, karena tenaga forestry policy advisor hanya makan gaji buta, tidak
memberikan manfaat yang berarti. Alasan yang dikemukanan oleh pemegang
IPPKH adalah bahwa mereka telah memiliki legal advisor yang bisa difungsikan
sebagai forestry policy advisor.

4. Insentif

Keterbatasan rasionalitas manusia merupakan salah satu asumsi yang


digunakan dalam teori keagenan. Keterbatasan tersebut menjadi dasar bagi A
untuk melakukan tindakan apapun untuk mendapatkan keuntungan sebagai tujuan
utama dalam mengelola pertambangan di dalam kawasan hutan. Sehingga
perilaku oportunistik maupun perilaku moral hazard lainnya dapat saja dilakukan
oleh A untuk mencapai tujuannya tersebut. Di lain pihak, keterbatasan P dalam
melakukan kontrol terhadap kinerja A meningkatkan risiko bagi P dalam
upayanya mencapai tujuan akhirnya, pemulihan kondisi hutan. P seharusnya
melakukan upaya untuk meminimasi risiko kegagalan. Upaya tersebut bisa
dilakukan secara aktif dari dalam diri P sendiri dengan penguatan kontrol dan
penegakan hukum maupun dengan memacu A untuk meningkatkan kinerja,
motivasi dan komitmennya terhadap kontrak.
Rajan dan Saouma (2006) menyatakan bahwa besarnya kompensasi yang
diterima oleh pihak A tergantung pada besarnya laba/profit yang dihasilkan sesuai

45
Policy Advisor Bidang Kehutanan adalah pejabat atau purna tugas yang berasal dari
Kementerian Kehutanan atau pejabat instansi lain yang berkompetensi di bidang kebijakan
pembangunan kehutanan yang ditempatkan dan diangkat oleh pemegang izin pinjam pakai
kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan operasi produksi (Permenhut P.65/Menhut-
II/2013 tentang Policy Advisor Bidang Kehutanan pada Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
untuk Kegiatan Pertambangan Operasi Produksi)
140

dengan kontrak yang telah disepakati dengan pihak P. Dengan demikian, maka A
seharusnya menerima incentives dari keberhasilannya mengelola kawasan hutan
sebesar atau sebanding dengan tercapainya harapan atau kepentingan P. Dalam
implementasi kebijakan PKH hal itu sulit diterapkan mengingat tidak ada standar
atau parameter pengukuran yang jelas. Namun demikian, incentives merupakan
bentuk penghargaan yang harus diterapkan oleh P untuk merangsang A
menjalankan kontraknya dengan baik, benar dan mencapai tujuan.
Salah satu cara untuk merangsang agar A dapat bertindak seperti yang
diinginkan P adalah dengan memberikan insentif. Insentif, dalam berbagai teori
ekonomi telah banyak dikupas. Secara spesifik, dalam konteks kebijakan PKH ini
insentif merupakan pemberian penghargaan atau kemudahan yang diberikan oleh
pemerintah (kementerian kehutanan) kepada perusahaan pemegang IPPKH atas
kinerjanya dalam melaksanakan kewajibannya sesuai dengan IPPKH yang
dimilikinya. Tujuan pemberian insentif tersebut antara lain: menghargai prestasi
kinerja agen, meningkatkan motivasi dan komitmen agen, menjamin keadilan,
mempertahankan kinerja, mengurangi risiko kegagalan.
Adanya kontradiksi pengenaan PNBP sebagai salah satu mekanisme
pemerintah untuk menggantikan nilai kerusakan kawasan hutan dan pengurangan
jumlah kewajiban PNBP sebagai salah satu bentuk intensif masih harus dikaji
lebih mendalam. Pengenaan PNBP dirasakan oleh para penggiat terlalu kecil
untuk ukuran kerusakan yang tak ternilai, sementara bagi perusahaan pemilik
IPPKH justru sebaliknya, merupakan beban yang sangat berat. Di sisi lain,
menurut beberapa birokrat di kementerian kehutanan (P), pengurangan PNBP
melalui keberhasilan dalam reklamasi dan revegetasi adalah bentuk intensif bagi
A. Sedangkan bagi A pengurangan PNBP tidak berarti banyak dan tidak menarik,
terlebih dengan adanya diskresi Direktur Jenderal Planologi tentang PNBP yang
justru menjadi disinsentif bagi A.
A lebih tertarik dengan kepastian hukum dan keberlanjutan usaha mereka
di dalam kawasan hutan. Adanya peraturan yang dirumuskan oleh P yang
membatasi kuota 10% pada kawasan hutan yang telah memiliki IUPHHK,
merupakan kartu mati bagi A untuk mengajukan perluasan areal IPPKH di dalam
aeal IUPHHK yang sama, walaupun A telah dengan baik melakukan kontrak
IPPKH. Diterimanya kawasan hutan yang telah direklamasi dan revegetasi tidak
menjamin bagi A untuk mendapatkan areal pengganti, karena belum ada peraturan
yang mengatur tentang hal itu.
Terkait dengan hal tersebut di atas, berdasarkan informasi dari salah satu
perusahaan46 yang sedang mengajukan pengembalian kawasan hutan kepada
Menteri Kehutanan sekaligus memohon penggantian areal lain di dalam kawasan
hutan ber-IUPHHK yang telah habis kuotanya, Menteri Kehutanan menyetujui
kedua permohonan tersebut. Kebijakan Menteri Kehutanan sebagai P tersebut
bisa dikatakan sebagai diskresi yang sekaligus menjadi insentif bagi IPPKH yang
mengembalikan kawasan hutan dan dinyatakan lulus untuk kemudian
mendapatkan reward berupa IPPKH baru. Persetujuan P juga merupakan salah

46
Informasi diperoleh dari staf perusahaan yang menjadi salah satu responden dalam penelitian
ini. Penulis mengikuti rapat pembahasan rencana pengajuan pengembalian kawasan hutan yang
difasilitasi oleh BPKH Wilayah IV-Samarinda dan dihadiri oleh berbagai para pihak dari
pemegang IPPKH, pemegang IUPHHK, Dinas Kehutanan Provinsi dan Dinas Kehutanan
Kabupaten
141

satu langkah untuk mengurangi kesalahan dalam memilih A yang baru, mengingat
P dalam konteks teori keagenan PKH ini tidak mempunyai kemampuan untuk
melakukan pemilihan terhadap A.
Insentif juga bisa diberikan oleh P (misalkan) dalam bentuk sertifikat
penghargaan yang menunjukkan pencapaian kinerja A dalam menjalankan
kontraknya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Kementerian ESDM yang
memberikan sertifikat (piagam penghargaan) untuk berbagai katagori dalam
bidang pengelolaan lingkungan dan pengelolaan tambang. Piagam penghargaan
tersebut mempunyai tiga tingkatan yaitu aditama, utama dan pratama. Dalam
rangka pemberian sertifikat atau piagam penghargaan pengelolaan kawasan hutan
kepada A, tentunya P terlebih dahulu melakukan penilaian kepada semua A
dengan batasan, kriteria dan indikator yang telah ditetapkan sebelumnya.
Sertifikat penghargaan tersebut merupakan gambaran prestasi dan partisipasi A
dalam mengelola hutan dengan baik. Sertifikat tersebut dapat menjadi salah satu
syarat tambahan bagi A yang akan mengajukan IPPKH pada areal lain.
Insentif berupa kepastian hukum dan jaminan keberlanjutan usaha maupun
dalam bentuk lainnya sangat diharapkan oleh A, oleh karena itu P perlu membuat
batasan atau aturan tentang instrument insentif dalam IPPKH untuk meningkatkan
motivasi dan komitmen A dalam menjalankan kontraknya dengan baik dan sesuai
dengan keinginan P.

5. Risk Preference

Tidak satupun manusia yang menginginkan adanya risiko yang harus


ditanggung dalam menjalin sebuah hubungan karena risiko berkonotasi dengan
kerugian yang harus diterima akibat suatu keputusan yang diambil. Dalam
hubungan P-A, risiko bisa dipastikan akan dirasakan oleh kedua belah pihak.
Namun, dalam teori keagenan baik P maupun A akan berusaha untuk menghindari
risiko dari pelaksanaan kontrak yang telah disepakati. Kebijakan PKH
hakekatnya merupakan kebijakan minimasi risiko yang diakibatkan oleh
opeasional sektor lain di dalam kawasan hutan. Pilihan yang dianggap paling
rasional, memberikan kesempatan sektor lain menggunakan kawasan hutan
sekaligus bersinergi dengan sektor lain untuk menjalankan dan mewujudkan
‗amanat rakyat‘.
Pemerintah, dalam hal ini kementerian kehutanan, tidak begitu saja
menerima kehadiran sektor lain yang akan menggunakan dan menguras isi perut
bumi yang berada di dalam kawasan hutan tanpa pengaturan yang dapat menjamin
pemulihan kawasan hutan tersebut. Risiko sudah barang tentu harus diterima
pemerintah (P) ketika memberikan kewenangan pengelolaan hutan pada institusi
(A) yang belum diketahui sejauhmana kemampuan dan komitmennya dalam
menyelenggarakan tata kelola hutan. Apalagi, dalam konteks kebijakan PKH
institusi tersebut bukan institusi dengan core bussiness kehutanan.
142

Tabel 30 Matriks pembagian risiko dan konsekuensi pelaksanaan kontrak IPPKH.

Proses kegiatan Jenis Risiko


No implementasi kebijakan
PKH Prinsipal Agen
1. Pengajuan izin Adverse selection, moral Waktu lama, mengurangi waktu
hazard produksi, meningkatkan biaya
produksi dan biaya transaksi
(moral hazard)
2. Penerbitan izin (kontrak) Moral hazard Meningkatnya biaya transaksi
(moral hazard), menimbulkan
konflik dengan pihak lain,
3. Pelaksanaan kontrak Biaya pengawasan Meningkatnya biaya transaksi,
pengabaian kewajiban (moral
hazard)
4. Akhir/Pasca kontrak Kegagalan pencapaian Pengabaian kewajiban (moral
tujuan, Kerusakan hazard)
kawasan hutan

Risiko yang diterima (baik oleh P maupun A) merupakan akibat dari


kontrak yang tidak sempurna dan lemahnya pengawasan pelaksanaan kontrak oleh
P. Perbaikan atau penyempurnaan kontrak perlu dilakukan dengan senantiasa
memperhatikan isu-isu yang berkembang serta hasil monitoring dan evaluasi
pelaksanaan kontrak. Proses tersebut harus selalu dilakukan jika P jika ingin
mencapai tujuan dengan risiko yang kecil.
Menilik proses implementasi kebijakan PKH, risiko akan lebih besar
ditanggung oleh P. Faktor kontinuitas dan efektifitas pengawasan yang dilakukan
oleh P serta proses pelaksanaan kontrak yang panjang47 menjadi tantangan besar
selama eksekusi kontrak tersebut. Dua faktor tersebut membuka kesempatan yang
lebih besar bagi A untuk melakukan pengingkaran kontrak. Jika melihat proses
pelaksanaan kontrak, risiko yang ditanggung oleh P merupakan akumulasi dari
kinerja A serta kontinuitas dan efektifitas pengawasan yang dilakukan.
Keberhasilan minimasi risiko P sangat dipengaruhi oleh kinerja A, terutama
terhadap perilaku moral hazard selama menjalankan kontrak. Jika A melakukan
moral hazard dan P gagal melakukan pengawasan, maka risiko terbesar akan
ditanggung oleh P dengan rusaknya kondisi kawasan hutan, lubang-lubang
tambang ditinggalkan tanpa reklamasi dan revegetasi. Pemulihan kawasan hutan
dapat dipastikan mengalami kegagalan.

6. Moral Hazard

Dalam suatu hubungan keagenan, kedua pihak (P-A) akan berupaya


memaksimumkan utilitasnya dengan asas saling menguntungkan. Namun karena

47
Masa berlakunya kontrak (IPPKH) tergantung dari masa berlakunya izin sektor pertambangan,
baik PKP2B, KK maupun IUP yang dimiliki Agent ditambah dengan waktu untuk melakukan
kegiatan reklamasi dan revegetasi. Izin pertambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat
biasanya mempunyai rentang waktu yang sangat panjang dibandingkan dengan izin
pertambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Izin-izin tersebut dapat diperpanjang
sesuai kebutuhan, demikian juga dengan IPPKH.
143

salah satu pihak (khususnya agen) menguasai informasi yang lebih baik, sehingga
terdapat resiko atau kemungkinan perilaku oportunis salah satu pihak untuk tidak
selalu bertindak guna kepentingan pihak lain. Situasi ini menimbulkan munculnya
insentif (godaan) bagi satu atau lebih pelaku (khususnya agen) untuk berperilaku
menyimpang dalam rangka memaksimumkan kesejahteraan dan utilitasnya sendiri
(Eisenhardt, 1989; Gibbons, 2005).
Perilaku oportunis juga terindikasi dalam implementasi kebijakan PKH.
Sebagaimana disebutkan oleh Eisenhardt (1989) dan Gibbons (2005) di atas, perilaku
oportunis juga dilakukan oleh A untuk mencapai tujuan, mengurangi risiko dan
mengurangi biaya transaksi dalam melaksanakan kontraknya. Sebagaimana telah
disebutkan dalam bagian lain tulisan ini, kurangnya informasi yang dimiliki tentang
kebijakan dan peraturan dalam pengelolaan kawasan hutan, justru menjadi pemicu A
melakukan moral hazard. Perilaku tersebut didukung dengan ketidakmampuan P
dalam menjalankan fungsi pengawasan serta penegakan hukum terhadap perilaku A.
Di sisi lain, A justru menguasai informasi, pengetahuan dan pengalaman teknik untuk
mencapai tujuannya yang sama sekali tidak dimiliki oleh P. Penguasaan informasi
tersebut yang dipergunakan oleh A untuk melakukan aktifitas pembukaan kawasan
hutan, penambangan dan aktifitas pasca tambang tanpa mengindahkan kewajiban-
kewajiban yang telah disepakatai dalam kontrak.
Di sisi lain, menurut Kiewiet dan McCubbins (1991), pihak P dihadapkan
pada tiga hal khusus yang sulit ketika memberikan delegasi. Pertama, A dapat
menyimpan/ menyembunyikan informasi dari P dimana informasi tersebut akan
merugikan A dan menguntungkan P. Kedua, A dapat melakukan sesuatu di
belakang (tanpa sepengetahuan) P, menyembunyikan sesuatu yang apabila P
mengetahuinya akan menjadi bumerang bagi A. Ketiga, prinsipal menghadapi
‗Madison dilemma‘ yang harus mendelegasikan kewenangannya, namun di sisi
lain akan memberikan kekuatan untuk A yang akan mengancam eksistensi P.
Moral hazard tidak saja dilakukan oleh A dalam implementasi kebijakan
PKH, namun juga dilakukan oleh P. Indikasi perilaku moral hazard dilakukan oleh P
yang mendominasi informasi tentang kebijakan dan peraturan pengelolaan hutan.
Sebagaimana telah lazim terjadi di hampir semua aspek kepemerintahan di Indonesia,
praktik korupsi dan kolusi juga terjadi dalam proses implementasi kebijakan PKH.
Ketiadaan informasi yang dimiliki A tentang proses perizinan maupun implementasi
kebijakan PKH dimanfaatkan oleh segelintir oknum yang menjadi penumpang gelap
(free rider) mencari keuntungan dari situasi tersebut.

Perilaku Moral Hazard A

Perilaku mengabaikan kontrak hampir selalu dilakukan oleh A. Dari


pengamatan yang dilakukan selama penelitian maupun pengumpulan data dan
informasi sekunder yang berhasil dikumpulkan menunjukkan bahwa semua A
melakukan pengabaian kontrak. Dari enam indikator yang dikumpulkan tidak
satupun dari A mempunyai nilai sempurna (lihat pembahasan respon perusahaan
pada bab sebelumnya). Dalam wawancara dengan beberapa responden yang
mewakili A, sebagian besar menyatakan tidak tahu prosedur dan teknis yang harus
dilakukan untuk memenuhi kewajiban dalam kontrak IPPKH. Hal itu
menunjukkan bahwa kurangnya informasi yang dimiliki A menyebabkan
pengabaian terhadap kontrak. Sebaliknya, kelebihan informasi dan pengetahuan
tentang pengelolaan sumberdaya tambang justru tidak mempengaruhi kinerja
144

mereka dalam melaksanakan kontrak, karena informasi dan pengetahuan tersebut


tidak berhubungan dengan isi kontrak.
Dalam kontrak disebutkan beberapa kewajiban A selama masa IPPKH-nya
berlaku. Dari kewajiban-kewajiban tersebut, A harus mengacu pada peraturan
perundang-undangan lain di sektor kehutanan seperti tata cara pemeliharaan tata
batas kawasan hutan, tata cara perlindungan kawasan hutan, tata cara rehabilitasi
DAS, tata cara reklamasi dan revegetasi (versi kehutanan) maupun tata cara teknis
lainnya. Untuk memenuhi kewajiban-kewajiban tersebut tentunya akan
meningkatkan biaya transaksi.
Banyak kasus yang terjadi di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan
adalah dibiarkannya bekas tambang yang sudah tidak dipergunakan lagi. Lubang-
lubang tambang dibiarkan terbuka tanpa perlakuan reklamasi dan revegetasi. Hal
itu akan menjadi risiko terbesar bagi P jika pengabaian terhadap kontrak IPPKH
dibiarkan terjadi. Moral hazard yang dilakukan oleh A akibat keterbatasan
informasi dan lemahnya pengawasan P terhadap perilaku A menjadi penyebab
gagalnya P mencapai tujuan dalam pengelolaan kawasan hutan.

Illegal Mining

Selain perilaku moral hazard tersebut di atas yang teridentifikasi, dalam


proses implementasi kebijakan PKH juga menimbulkan moral hazard yang lebih
besar, yaitu illegal mining yang disebabkan oleh ketidakmampuan financial A
untuk memenuhi biaya transaksi selama permohonan IPPKH. Illegal mining biasa
dilakukan oleh A dengan kekuatan finansial yang rendah dan dipicu oleh beberapa
faktor lainnya seperti; birokrasi pengurusan izin yang lama, lemahnya pengawasan
dan penegakan hukum, permintaan pasar akan jenis komoditi tambang, harga
komoditi di pasar dan adanya kekuatan backing perusahaan.
Tingginya biaya dan lamanya waktu yang diperlukan dalam pengurusan
IPPKH di Kementertian Kehutanan menjadi salah satu alasan beberapa
perusahaan melakukan illegal mining. Terlebih jika pada saat yang bersamaan
harga komoditas tambang sedang bagus. Tergiur oleh keuntungan yang besar,
pengusaha memberanikan diri untuk melakukan kegiatan tambangnya di dalam
kawasan hutan tanpa harus memperoleh IPPKH terlebih dahulu. Menurut
penuturan beberapa narasumber, cara-cara seperti itu sudah jamak terjadi,
terutama pada saat harga komoditas melambung. Mereka menambang terlebih
dahulu untuk mendapatkan modal, sembari mengajukan IPPKH kepada menteri
kehutanan. Keberanian mereka didukung oleh aparat yang berada di belakangnya
untuk melindungi jika terjadi satu dan lain hal terkait dengan aksi illegal mining
yang dilakukan. Dengan demikian, mereka berharap sambil menambang
mendapatkan izin dari Menteri Kehutanan.
Modus lain yang dipakai adalah dengan mengajukan alih fungsi kawasan
hutan melalui pemerintah daerah. Modus ini juga banyak dilakukan, terutama
bagi izin-izin pertambangan yang berada di dalam hutan lindung. Para pengusaha
melakukan illegal mining, di lain pihak pengusaha juga mengajukan alih fungsi
kawasan hutan. Selain alih fungsi kawasan hutan, pengusaha juga berusaha untuk
mengubah kawasan hutan tersebut melalui review RTRW yang setiap lima tahun
dilakukan pengkajian ulang, dan hampir selalu terdapat perubahan fungsi kawasan
hutan.
145

Peranan aparat (birokrat maupun keamanan) sangat besar dalam praktik


illegal mining ini. Hanya beberapa diantara mereka yang tertangkap dan diusut
sampai tuntas. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Kendari Pos48, polisi hanya
mem-police line tiga perusahaan yang melakukan aktifitas illegal mining di
Kabupaten Kolaka, sementara tiga atau mungkin 4 perusahaan lainnya masih aktif
beroperasi. Polisi juga terkesan mengulur waktu agar ketiga perusahaan yang
belum di-police line tersebut mengapalkan ores (bijih mineral nikel) yang pada
saat itu sedang dalam proses pengapalan. Perusahaan-perusahaan tersebut bukan
saja tidak memiliki IPPKH namun juga diragukan telah memiliki izin di bidang
pertambangan dari pemerintah kabupaten setempat. Sekelompok masyarakat
yang tergabung dalam Gerakan Rakyat (Gerak) Sultra melakukan demonstsrasi di
depan Kepolisian Daerah dan DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara. Mereka
mempersoalkan adanya illegal mining yang telah merugikan daerah dan negara.
Mereka juga menganggap operasi perusahaa-perusahaan tersebut telah melanggar
prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup dan fungsi/pemanfaatan
sumberdaya hutan.
Sementara itu, Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe Utara telah
mengidentifikasi praktik illegal mining di kabupaten tersebut. Sejumlah 17 (tujuh
belas) perusahaan telah dilaporkan oleh Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten
Konawr Utara melalui surat nomor 522.2/99/VI/2013 tanggal 24 Juni 2013
tentang laporan perambahan kawasan hutan kepada Bupati Konawe Utara. Surat
tersebut ditembuskan ke 24 institusi yang berkompeten, diantaranya adalah KPK,
Kementeri Kehutanan, Kementerian ESDM, Gubernur Sulawesi Tenggara, DPRD
Kabupaten Konawe Utara, Kepala Kepolosian Daerah Sulawesi Tenggara, dan
Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara. Menurut Kepala Dinas Kabupaten
Konawe Utara, mereka semua beroperasi di dalam kawasan hutan lindung (HL),
hutan produksi terbatas (HPT, hutan produksi tetap (HP) dan hutan produksi
konversi (HPK).
Menurut salah seorang penyidik Balai Konservasi Sumber Daya Alam
(BKSDA) Provinsi Sulawesi Tenggara, BKSDA beberapa kali menangkap illegal
mining bahkan hingga sampai pada putusan pengadilan. Sebenarnya Bupati yang
seharusnya bertanggungjawab terhadap operasional IUP-IUP yang telah
dikeluarkan, Bupati harus melakukan kontrol terhadap aktifitas mereka. Bahkan
di Kabupaten Konawe Utara, terdapat ratusan IUP yang telah diterbitkan oleh
Bupati, namun sebagian diantaranya adalah fiktif. Banyak IUP yang arealnya
adalah laut, sementara areal daratannya adalah hutan lindung atau kawasan
konserasi. Dalam aktifitasnya mereka berdalih bahwa mereka melakukan
kegiatan di dalam areal penggunaan lain (APL), padahal ketika dicek oleh
penyidik BKSDA mereka bekerja secara illegal di dalam kawasan hutan.
Sementara APL yang mereka maksud berada di laut. Penyidik BKSDA tersebut
juga menegaskan bahwa adanya orang-orang kuat dibalik IUP-IUP yang
melakukan illegal mining, merupakan kekuatan tambahan bagi pelaku-pelaku
illegal mining melakukan aktifitasnya. Bahkan para Bupati dan Ketua DPRD
berani menjadi ‗penjamin‘ untuk sebuah chainsaw yang ditahan oleh penyidik
BKSDA. Praktik moral hazard juga terjadi di lingkungan pemerintah daerah.

48
Kendari Pos. 2013 Oktober 1. Polisi ulur waktu. Kendari Pos;1 (kol 4-5)
146

Seorang sekretaris kepala dinas kehutanan menerima Rp. 250 juta hanya untuk
membuat konsep surat rekomendasi untuk persetujuan penerbitan sebuah IUP.

Mine and Run

Bentuk moral hazard lainnya adalah meninggalkan bekas tambang yang


tanpa dilakukan reklamasi dan revegetasi (kecuali pit atau lubang terakhir
tambang). Perilaku ini acapkali terjadi yang disebabkan oleh rendahnya komitmen
A untuk melaksanakan kontrak dengan baik sesuai dengan harapan P. Terlebih
jika P tidak melakukan kontrol atau monitoring dengan baik dan kontinyu. Massa
berlaku izin pertambangan (IUP ≤ 5 tahun) yang pendek mempunyai peluang
melakukan ‗mine and run‘ atau ‗tambang kemudian segera pergi‘ lebih besar
daripada yang mempunyai masa berlaku panjang. Pendeknya waktu izin
pertambangan yang kemudian disusul dengan terbitnya IPPKH akan cenderung
untuk mengekspoitasi bahan tambangnya dengan masif, mereka mengutamakan
produksi tambangnya semaksimal mungkin. Sedangkan untuk pemulihan
kawasan hutannya tidak begitu dipedulikan. Bagi pemilik IPPKH, maksimasi
produksi dan kemudian membayar semua kewajiban administratif termasuk di
dalamnya PNBP sudah cukup, tanpa harus melakukan kewajiban mereklamasi dan
merevegetasi49.
Pengamatan di lapangan menunjukkan hampir semua A tidak bisa
melakukan rencana tambangnya seperti yang disusun dalam rencana penggunaan
kawasan hutan50. Berbagai kendala menjadi penghalang, baik teknis maupun non
teknis. Terlebih jika letak bijih tambang atau mineral berada pada satu hamparan
yang luas, bisa memakan waktu yang lama untuk mengeksploitasinya, dan
kegiatan reklamasi dan revegetasinya juga akan mundur. Teknik back filling tidak
dapat dijalankan dengan baik sesuai rencana, dimana seharusnya pit yang dibuka
tahun lalu harus ditutup (direklamasi) tahun ini dengan menggunakan material
tanah dari pit tahun lalu ditambah dengan material tanah pada lubang tambang
yang digali tahun ini. Namun dalam praktiknya reklamasi baru bisa dilakukan
pada tahun ke 3 atau lebih lama lagi.
Kekhawatiran tersebut juga dirasakan oleh Setiyadi (2011)51. Dalam
sebuah tabloid Setiadi (2001) mengingatkan;

― … banyak perusahaan tambang, terutama yang skala kecil, yang bersifat


hit and run. Semuanya kembali kepada perusahaannya, memang. Hanya
saja, banyak pengusaha tambang yang tidak disiplin. Akibatnya, biaya
reklamasi yang harus dilakukan menjadi besar,‖.

49
Sebagian pengusaha berpendapat, dengan adanya kewajiban membayar jaminan reklamasi ke
pemerintah, maka jika perusahaan tidak melakukan kewajiban untuk mereklamasi areal bekas
tambang tidak menjadi masalah, karena sudah diganti dengan jaminan tersebut.
50
Setiap perusahaan yang mengajukan IPPKH diwajibkan menyusun rencana kerja penggunaan
kawasan hutan yang berisi rencana operasi produksi, rencana kegiatan reklamasi dan revegetasi
setiap tahunnya. Massa berlaku IPPKH biasanya akan menyesuaikan dengan masa berlaku izin
pertambangannya ditambah dengan waktu untuk reklamasi dan revegetasi sampai dianggap lulus
dalam penilaian. IPPKH bisa diperpanjang jika diperlukan.
51
AgroIndonesia. 2011 April 18. Waspadai hit and run. Diakses di
http://agroindonesia.co.id/2011/04/18/demi-kepentingan-nasional/ pada tanggal 11 Januari 2014
147

Terkait dengan praktik mine and run tersebut, seorang pejabat Dinas
Kehutanan Kabupaten Konawe Selatan juga menyampaikan pendapatnya
berdasarkan pengamatannya di lapangan. Dalam kesempatan interview, pejabat
tersebut mengatakan:

―…walaupun ada seratusan IUP yang dikeluarkan oleh Bupati tapi kalau
saya untuk ini, selama saya masih belum pensiun, saya hanya bisa
memprogramkan paling tidak 4 yang terjadi izin pinjam pakai karena saya
juga banyak melihat Konawe Utara ya sekarang baru dirasakan, suatu saat
akan terasa, bagaimana nanti. Adakah sekarang yang betul-betul setelah
selesai penambangan adakah yang terjadi sampai bisa betul dia reklamasi
yang sebenarnya? Kan ndak ada! Dimanapun itu pertambangan ndak ada
yang bisa. Selesai menambang kalau sudah selesai ya pulang …‖

Perilaku Moral Hazard P

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa korupsi dan kolusi sebagai


salah satu bentuk moral hazard di Indonesia masih jamak terjadi terutama di
kalangan birokrat. Hal itu juga terindikasi dalam proses implementasi kebijakan
PKH. Korupsi dan kolusi sebagaimana yang diungkapkan oleh Yusra et al (2011)
bahwa:

―… Pengurusan izin pinjam pakai kawasan hutan harus melalui sejumlah


pintu. Ada belasan syarat yang harus dipenuhi dan diverifikasi sebelum
izin diterbitkan Kementrian Kehutanan. Dengan prosedur normal, proses
itu memerlukan 1-2 tahun. Tapi jalan pintas selalu terbuka—dengan
sejumlah ongkos, tentu saja…‖

Yusra et al (2011) juga mengungkapkan bahwa untuk mengurus IPPKH


seorang pengusaha tambang bauksit di Kalimantan Timur dikenakan tarif Rp 2-5
milyar. Setoran lainnya yang harus disediakan oleh pengusaha tersebut adalah
adanya kesepakatan di muka berupa pengenaan royalti sebesar 2,5% dari jumlah
produksi bauksit selama konsesi IPPKH (30 tahun). Permintaan tersebut
dirasakan sangat sulit dipenuhi oleh pengusaha, hingga akhirnya pengusaha
tersebut membiarkan dokumen permohonan IPPKH terbenam di Kementerian
Kehutanan.
Berdasarkan penelusuran informasi selama penelitian di Provinsi
Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara diperoleh informasi bahwa untuk
mendapatkan sebuah kontrak yang telah ditandatangani Menteri Kehutanan dalam
bentuk IPPKH, seorang pengusaha harus mengeluarkan biaya transaksi sebesar 7
milyar rupiah. Sementara itu, informasi lain yang diperoleh dari seorang
pengusaha batubara yang sedang mengajukan IPPKH (lokasi tambang di Provinsi
Kalimantan Tengah) menyatakan bahwa besarnya biaya transaksi untuk
mendapatkan IPPKH dari Menteri Kehutanan jauh lebih besar dari apa yang
pernah diungkap dan diberitakan Majalah Tempo52. Tingginya biaya tersebut

52
Disebutkan dalam Majalah Tempo 3 Juli 2011 bahwa biaya pengurusan IPPKH di Kementrian
Kehutanan adalah berkisar antara Rp 3-4 milyar ditambah 10% kepemilikan saham (Septian et
al 2011)
148

menjadi dasar bagi pengusaha untuk mengurungkan maksudnya mengurus lebih


lanjut IPPKH yang saat itu sudah berada di meja Menhut.
Dalam melakukan kajian terhadap perizinan pengelolaan sumber daya
alam di sektor kehutanan, KPK melakukan kajian sistem perizinan yang
dilakukan pada akhir tahun 2013, dengan menggunakan data dan informasi hasi1
wawancara di 10 provinsi dan para pelaku usaha. Dari hasil wawancara itu
sebagian besar pengusaha mengatakan bahwa perizinan di sektor kehutanan tidak
gratis dan bahkan memerlukan biaya besar untuk memperoleh surat-surat izin.
―Sebagian besar pengusaha mengatakan ini tidak gratis, perlu biaya besar untuk
memperoleh surat-surat seperti itu. Banyak sekali orang yang mendapatkan izin,
banyak juga dapat pengesahan" kata Kartodihardjo dalam AgroIndonesia (2014).
Dalam kajian tersebut teridentifikasi sebelas temuan yang terindikasi
adanya praktik korupsi dalam pengurusan izin di sektor kehutanan, salah satu
diantaranya adalah IPPKH. Mengenai 11 temuan dalam hasil kajian KPK,
Menteri Kehutanan menjanjikan perbaikan dengan berencana memutus rantai-
rantai perizinan yang menghambat. KPK juga menemukan adanya kelemahan
dalam pengawasan dan pengendalian pemermtah atas ketertiban pelaksanaan
pelaporan penyetoran Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Jika saja
pengawasan dan pengendalian ini dapat dikendalikan, akan banyak uang negara yang
dapat diselamatkan. Sebagai contoh, jika dalam aktifitas pertambangan di dalam
kawasan hutan dapat dikendalikan, maka akan ada lebih dari Rp l5,9 triliun yang
dapat diselamatkan. Sedangkan, PNBP yang bisa diselamatkan sekitar Rp 12
triliun dari sektor kehutanan (AgroIndonesia, 2014).
Data dan informasi tersebut di atas menunjukkan adanya moral hazard
dalam praktik perizinan pinjam pakai kawasan hutan di Kementerian Kehutanan.
Berkeliarannya free rider baik dari kalangan partai politik, konsultan53 maupun
oknum (orang dalam) di Kementerian Kehutanan menjadi aktor yang
memanfaatkan situasi dari kurangnya informasi yang dimiliki A. Free rider juga
terindikasi pada pengurusan izin usaha pertambangan (IUP) di kabupaten dan
permohonan rekomendasi gubernur. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh
oknum-oknum tertentu untuk mendapatkan keuntungan baik untuk dirinya sendiri
maupun untuk kepentingan kelompoknya. Menurut Hasanbasri (2012) perilaku
mementingkan diri sendiri bukan merupakan persoalan moral. Dalam kacamata
organisasi, perilaku itu adalah normal karena kesempatan untuk melakukannya
memang tersedia.
Sependapat dengan situasi tersebut, Hechter (1997, 2004) dalam
Hasanbasri (2012) menyatakan bahwa dalam rational choice theory meyebutkan
perilaku adalah pilihan individual. Orang memilih tindakan sesuai dengan apa
yang paling menguntungkan dirinya. Prinsip maksimasi ini membuat orang selalu
menilai situasi yang ada dan kepentingan pribadi yang bisa ia gunakan dari sebuah
situasi. Kepentingan pribadi tercermin dari tujuan-tujuan yang terungkap maupun
yang tidak terungkap. Pilihan rasional memberikan kesempatan orang berhitung
manfaat yang paling tinggi dari konteks sebuah perilaku. Perilaku maksimasi yang

53
Konsultan berperan dalam mengurus IPPKH dan memuluskan jalan dengan menghubungkan
perusahaan dengan birokrat yang mempunyai kewenangan dalam proses perizinan tersebut.
Dalam menjalankan peranannya, konsultan bekerjasama dengan oknum di Kementerian
Kehutanan untuk memperlancar proses perizinan. Untuk satu perusahaan pertambangan yang
mengurus IPPKH, konsultan membandrol harga antara Rp 400-500 juta.
149

ekstrim berupa fenomena penumpang gelap atau free rider, yang intinya mencari
kesempatan gratis. Orang berupaya sampai di tempat tujuan tanpa harus membeli
tiket. Mereka menikmati hasil tanpa bekerja keras.

Kontrol Lemah

Principal
Agent Principal Agent Agent Agent Principal
Menerima/
Mengajukan Menyusun Menerima Melaksanakan Moral Menerima
Menolak
Permohonan Kontrak Kontrak Kontrak Hazard Risiko
Permohonan

Adverse Selection, Informasi dan


Prinsipal tidak tahu Pengetahuan Agent
siapa dan bagaimana terbatas/ minim
kemampuan Agen

Gambar 12 Tahapan penyusunan kontrak dan interaksi antara prinsipal dan


agen

7. Kontrol

Kontrol atau monitoring dalam pelaksanaan kontrak IPPKH menjadi salah


satu permasalahan yang pelik dalam implementasi kebijakan PKH. Untuk
mengatasi permasalahan hubungan keagenan antara P dan A tersebut, diperlukan
sistem manajemen kontrol (management control systems) yang merupakan sarana
untuk menyelaraskan tujuan antara P dengan A. Dengan disain sistem manajemen
kontrol yang tepat, diharapkan akan mampu memahami hubungan antara P dan A
tersebut dengan baik sehingga tujuan umum organisasi dapat dicapai (Ekanayake
2004).
Sistem manajemen kontrol tersebut memiliki peranan penting dalam
mengelola hubungan P-A secara optimal dalam upaya untuk mencapai tujuan.
Aspek-aspek dalam sistem tersebut antara lain sistem informasi dan proses
informasi, internal control dan audits, pengukuran kinerja dan evaluasi,
kompensasi dan insentif. Terdapat implikasi agency theory pada management
control, yaitu, pertama, perilaku self-interest agen dapat dimonitor melalu sistem
informasi. Kedua, kompensasi dan insentif dapat menjadi alat untuk
menyelaraskan motivasi agen dengan tujuan organisasi. Ketiga, kondisi
ketidakpastian dan pertimbangan risiko yang dijelaskan agency theory
memerlukan perhatian mengenai sistem pengendalian.
Sebagaimana dijelaskan dalam sub-bab kontrak, bahwa kontrak IPPKH
yang disusun oleh P adalah kombinasi antara berbasis perilaku dan hasil akhir.
Meskipun demikian, kontrak tersebut lebih cenderung berbasiskan perilaku.
Demikian juga dengan kontrol yang dilakukan oleh P terhadap kinerja A, lebih
condong kepada behavior based control. Dalam pelaksanaannya P akan selalu
melakukan kontrol aktif kepada A, meskipun A tidak merasa nyaman dengan
perilaku P tersebut. Hal itu dilakukan untuk mengeliminir terjadinya moral
hazard oleh A sekaligus meyakinkan diri bahwa aksi A telah mengikuti prosedur
dan memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan. Sebaliknya dengan kontrol
150

berbasis hasil akhir (outcome based control) lebih menitikberatkan pada outcome
atau hasil akhir dari kinerja A, meskipun tanpa pengawasan dari P.
Pada kenyataannya, kontrol berbasis perilaku tersebut tidak dapat
dilaksanakan dengan baik oleh P. Ketidakmampuan P dalam menjalankan fungsi
kontrol menjadi penyebab tidak tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.
Keterbatasan anggaran dan sumberdaya aparatur menjadi alasan klasik bagi P
dalam menjalankan fungsi kontrolnya terhadap kinerja A. P tidak bisa hanya
mengandalkan komitmen A untuk menjalankan kontraknya dengan baik, terlebih
P tidak dapat menilai kemampuan dan track record A sebelum kontrak IPPKH
diberikan kepada A. Sementara A, dengan keterbatasan informasi dan
pengetahuan dalam pengelolaan hutan seolah dibiarkan untuk menjalankan
kontraknya.
Pelaksanaan kontrol oleh P kepada A juga tidak didukung dengan peranan
pemerintah daerah, terutama dalam monitoring dan evalusi pelaksanaan IPPKH.
Desentralisasi yang telah bergulir belum dapat dilaksanakan dengan baik.
Desentralisasi tidak secara otomatis menghasilkan metode pengelolaan sumber
daya hutan yang lebih baik (Nurrohmat et al 2006, Nurrochmat dan Purwandari
2006).

Area Kontrol
Area Kontrol Perilaku Hasil Akhir

Serah
Kesepakatan Pajak dan Pemulihan Terima Distribusi
AGENT Operasional
PRINCIPAL Kontrak Royalti Kawasan Kawasan
PRINCIPAL
Manfaat
Tambang
(IPPKH) Hutan
Hutan

Gambar 13 Area kontrol prinsipal (behavior based control dan outcome based
control) dalam proses implementasi kebijakan PKH.

Kontrol berbasis hasil akhir mempunyai keuntungan yaitu antara P dan A


dapat mengamati hasil yang diinginkan. Namun usaha-usaha atau tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh A tidak dapat diamati oleh P dan hanya diketahui
oleh pihak A itu sendiri. Untuk itu P menggunakan kontrol perilaku dengan
maksud untuk dapat memonitoring tindakan-tindakan A.
Rendahnya upaya A merupakan masalah moral hazard dalam teori
keagenan. Masalah moral hazard dapat terjadi pada tahap ex ante yaitu pada
kegiatan pra operasional (pengajuan IPPKH) dan pada tahap ex post yaitu saat
eksekusi kontrak, monitoring saat operasional tambang (meliputi; perlindungan
kawasan hutan, pemeliharaan batas kawasan IPPKH, pembayaran PNBP,
reklamasi dan revegetasi, pelaporan kegiatan), kontrol hasil pasca tambang
(revegetasi, rehabilitasi DAS). Dalam tahapan teori keagenan, masalah kedua
adalah masalah kesalahan dalam pemilihan A. A mungkin tidak mempunyai
kemampuan dan P tidak melakukan pengamatan terhadap kemampuan A.
151

Ketidaktahuan P terhadap kemampuan A mensyaratkan P untuk melakukan


kontrol terhadap perilaku A ekstra ketat. Dalam situasi seperti itu kontrol berbasis
perilaku menjadi pilihan utama, meskipun menimbulkan biaya transaksi yang
lebih tinggi sebagai konsekuensi logis yang harus diterima.
Ackere (1993) menyatakan bahwa dalam model kesalahan pemilihan
agen, daripada berusaha menyesuaikan kemampuan A melalui kontrak, P mencoba
memilih A sesuai dengan tingkat kemampuannya. P akan membuat kontrak
dengan A yang mempunyai kemampuan yang tinggi dan akan menerima kontrak
yang telah dibuat tersebut. Namun tidak demikian halnya dalam implementasi
kebijakan PKH, P justru tidak mendapatkan pilihan untuk mengukur kemampuan
A, sehingga P hanya berasumsi bahwa semua kemampuan A adalah sama.
Seharusnya P menyusun kontrak seefisien dan seefektif mungkin dengan melihat
kemampuan (standar) A agar kontrak dapat diimplementasikan dengan baik.
Dengan demikian kontrol berbasis perilaku terhadap kinerja A juga dapat
dilakukan dengan baik.
Untuk mengoptimalkan fungsi kontrol terhadap A dalam melaksanakan
kontrak IPPKH, P dituntut untuk menyediakan anggaran untuk melakukan
kegiatan supervisi, monitoring dan evaluasi, menyiapkan sumber daya manusia
pelaksana yang handal, kompeten dan cukup untuk melaksanakan kegiatan-
kegiatan kontrol di lapangan.
Di samping itu, pemerintah perlu meningkatkan fungsi kontrol
implementasi kebijakan PKH dengan membangun institusi yang kuat di ranah
tapak. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang saat in sedang dipacu
pembangunannya menjadi salah satu institusi yang dapat meningkatkan fungsi
kontrol tersebut. Diharapkan dengan KPH dapat mengurangi kesenjangan
informasi (asymmetric information) antara P dan A, mengeliminir terjadinya
konflik di lapangan dan juga sekaligus mengurangi biaya transaksi A.

Masalah Hubungan Prinsipal-Agen dalam Implementasi Kebijakan PKH

Teori keagenan memberikan perhatian pada penyelesaian dua


permasalahan yang dapat terjadi pada hubungan keagenan (Murphy 2007). Teori
keagenan menjadikan kontrak yang disepakati antara dua pihak (P dan A) sebagai
unit analisis. A, selalu diposisikan sebagai pihak yang cenderung mendahulukan
kepentingannya daripada kepentingan P. Kecenderungan tersebut pada akhirnya
memunculkan permasalahan tersendiri atau masalah keagenan (agency problem).
Teori keagenan yang telah banyak berkembang umumnya diarahkan untuk
mengatasi permasalahan-permasalahan yang dapat terjadi dalam hubungan
keagenan.
Murphy (2007) menyatakan bahwa masalah pertama timbul sebagai akibat
adanya konflik (perbedaan) tujuan antara kedua belah pihak. Permasalahan ini
sulit bagi P untuk memverifikasi tindakan-tindakan yang dilakukan A, demikian
juga dengan mampu tidaknya A menjalankan kewenangan yang diemban.
Masalah kedua adalah terkait dengan pembagian dalam menanggung resiko, yaitu
adanya perbedaan perilaku antara P dan A dalam menghadapi risiko (adanya
berbagai ketidakpastian).
152

1. Masalah Hubungan Prinsipal-Agen

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa dalam hubungan P-A dalam


implementasi kebijakan PKH mempunyai karakteristik dan permasalahan yang
berbeda dengan hubungan P-A dalam teori keagenannya pada umumnya.
Sebagaimana gambaran untuk memudahkan dalam membandingkan perbedaan
permasalahan yang timbul dalam dua tipe hubungan P-A tersebut dirangkum
dalam tabel matrik sebagai berikut:
Tabel 31 Perbandingan permasalahan hubungan P-A pada umumnya dengan
hubungan P-A dalam implementasi kebijakan PKH

Hubungan Prinsipal-Agen
Identifikasi Masalah
Secara umum Kebijakan PKH
Inisiatif Prinsipal Agen
Seleksi Agen Diterapkan Tidak diterapkan
Perumusan (hubungan) Kontrak Bersama (bargaining) Prinsipal (mutlak)
Penguasaan informasi Agen Prinsipal
Moral Hazard Agen Prinsipal dan Agen
Penerapan insentif Diterapkan Tidak diterapkan
Kontrol Kuat Lemah
Pembagian Risiko Prinsipal Prinsipal

2. Masalah Hubungan Prinsipal-Prinsipal

Teori keagenan klasik menyarankan bahwa aktifitas P merupakan


mekanisme untuk membatasi masalah P-A dalam proses mencapai tujuan. Sudut
pandang hubungan prinsipal-prinsipal (P-P) menyarankan agar aktifitas P menjadi
mekanisme P untuk memberdayakan sumberdaya perusahaan.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa masalah prinsipal-prinsipal dapat
terjadi di dalam sebuah institusi jika terdapat ketidaksesuaian tujuan diantara P
dalam institusi tersebut (Su et al 2008). Secara khusus, hal itu terjadi karena
adanya perbedaan kepentingan antara P besar dan kecil. Studi sebelumnya
menguji masalah P-P mempuyai dasar yang kuat karena adanya masalah ekonomi
dimana mayoritas P melakukan persekongkolan dengan pemilik perusahaan untuk
mengambil alih sumberdaya/aset dari perusahaan (Young et al 2008 dalam Kahle
2010).
Dalam konteks implementasi kebijakan PKH, hubungan P-A tersebut tidak
berjalan dengan semestinya. Hubungan P-A tersebut sering menimbulkan
permasalahan bukan saja antara P dan A, namun juga pada hubungan prinsipal-
prinsipal (P-P) dan hubungan agen-agen (A-A). Hal itu disebabkan pemegang
IPPKH memiliki 2 P yaitu Kementrian Kehutanan (P-hut) dan Kementerian
ESDM (P-esdm) atau Bupati (P-bup). Di sisi lain, Kementerian Kehutanan juga
mempunyai dua agen, yaitu perusahaan tambang sebagai pemegang IPPKH dan
perusahaan kehutanan sebagai pemegang IUPHHK.
Jiang dan Peng (2010) mendefinisikan masalah P-P sebagai konflik antara
dua individu atau kelompok P, P besar sebagai pihak yang mengontrol dan P kecil
sebagai yang dikontrol. Su et al (2008) mengembangkan definisi tersebut dengan
menyatakan bahwa masalah P-P merujuk pada penyesuaian nilai dari P kecil
153

menjadi P besar, hal itu sering mempengaruhi pengambilan keputusan seperti aset
penjualan dan pembelian. Meskipun demikian, masalah P-P mempunyai kajian
utama pada konteks ekonomi (Su et al 2008, Jiang dan Peng 2010). Sedangkan
dalam kajian ini, masalah P-P dimaknai sebagai hubungan antara 2 (dua) atau
lebih P yang memberikan pekerjaan/delegasi/kewenangannya kepada satu A untuk
memenuhi kepentingan masing-masing P. Level P dapat setingkat maupun
terdapat perbedaan level dengan P lainnya, baik dalam posisi di pemerintahan,
politik, ekonomi, sosial maupun budaya.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian (chapter) sebelumnya, masalah
mendasar yang timbul antara P-hut dan P-tamb adalah perbedaan tujuan dan
motivasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Perbedaan tersebut yang
menyebabkan terjadinya konflik kepentingan diantara keduanya. Hingga saat ini
belum tersedia kebijakan atau peraturan baru yang dapat menjembatani kedua
kepentingan tersebut. Kondisi tersebut membuat posisi tawar sektor kehutanan
sangat lemah dalam menentukan kebijakan keberadaan pertambangan di dalam
kawasan hutan. Sementara sektor pertambangan masih mengacu pada Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1976 tentang sinkronisasi pelaksanaan tugas bidang
keagrariaan dengna bidang kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan
umun, yang menyebutkan bahwa ―Bila pertindihan penetapan/penggunaan tanah
tidak dapat dicegah maka hak prioritas pertambangan harus diutamakan sesuai
dengan ketentuan UU Nomor 11 Tahun 1967‖.
Hingga saat ini, sektor pertambangan selalu menggunakan Inpres tersebut
sebagai ‗senjata‘ untuk melawan argument-argumen yang dikemukan oleh sektor
kehutanan dalam mengantisipasi dan mengurangi laju kerusakan hutan. Lemahnya
posisi tawar sektor kehutanan tersebut tidak saja pada tataran nasional, tapi juga
pada skala regional dan internasional. Sektor kehutanan nyaris selalu dikalahkan
oleh sektor lain (tidak hanya oleh sektor pertambangan) dengan alasan kepentingan
nasional dan pertumbuhan ekonomi. Terlebih jika ada investor asing yang telah
menanamkan modalnya di Indonesia, terutama di dalam kawasan hutan. Segala
daya upaya dilakukan oleh sektor lain untuk mencapai tujuannya, termasuk
diantaranya adalah mengubah undang-undang, mengubah tata ruang, menyusun
peraturan pemerintah baru, maupun peraturan-peraturan daerah yang berbasis pada
peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dan pertumbuhan perekonomian daerah.
Namun demikian, lemahnya posisi tawar sektor kehutanan yang
mengakibatkan meningkatnya kerusakan hutan akibat operasionalisasi sektor
pertambangan di dalam kawasan hutan, terbantu oleh adanya beberapa kebijakan
pemerintah meskipun kebijakan tersebut tidak dimaksudkan untuk membatasi
kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan. Kebijakan tersebut antara lain:
1. Moratorium izin dalam kawasan hutan berdasarkan Instruksi Presiden RI No 10
Tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata
kelola hutan alam primer dan lahan gambut yang kemudian diperbaharui dengan
Inpres RI No 6 Tahun 2013 yang memperpanjang penundaan untuk masa waktu
2 tahun ke depan. Kebijakan melalui inpres ini setidaknya menjadi penghalang
bagi penerbitan IPPKH di hutan primer dan gambut selama 4 tahun terhitung
sejak berlakunya inpres tersebut, 20 Mei 2011 sampai dengan 13 Mei 2015.
Menurut Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan54, selama periode moratorium
54
Kompas. 2013 Oktober 9. Kampanye mengakhiri deforestasi masih dibutuhkan. Kompas.
Rubrik Lingkungan dan Kesehatan: 12 (kol 1-4).
154

dijalankan, terhitung Januari 2010 meski tak sesuai peraturan perundang-


undangan (kebijakan moratorium baru diberlakukan pada 20 Mei 2011), laju
deforestasi bisa ditekan signifikan dari 3,5 juta hektar sampai tahun 2006
menjadi 450.000 hektar setelah moratorium.
2. Kebijakan larangan ekspor mineral mentah yang didasari oleh Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara, menetapkan
kebijakan pengendalian produksi dan ekspor mineral dan/atau batubara demi
mengutamakan kepentingan dalam negeri. Undang-undang tersebut kemudian
diikuti dengan Peraturan pemerintah nomor 23 tahun 2010 tentang pelaksanaan
kegiatan usaha pertambang mineral dan batubara yang menyebutkan bahwa
pemegang IUP operasi produksi dan IUPK operasi produksi dapat mengekspor
setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi. Kemudian melalui Peraturan
Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012 jo Nomor 11 Tahun 2012 jo Nomor 20
Tahun 2013 tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan
pengolahan dan permurnian mineral, mengatur kewajiban pengolahan dan
pemurnian mineral di dalam negeri paling lambat tanggai 12 Januari 2014.
Dalam peraturan mentri ESDM tersebut juga mengharuskan perusahaan IUP
dan IUPK yang tidak ekonomis untuk melakukan sendiri kegiatan pengolahan
untuk bekerja sama dengan pihak lain setelah mendapatkan persetujuan dari
menteri atau kepala daerah, menghapuskan aturan kemitraan melalui saham55.
Meskipun masa berlaku kebijakan tersebut baru beberapa bulan, namun
kebijakan tersebut diharapkan dapat mengurangi animo atau menunda
perusahaan tambang mineral untuk mengajukan IPPKH sampai dengan
kesiapan perusahaan tambang tersebut untuk memenuhi kewajiban membangun
smelter (pabrik pengolahan mineral) sendiri.
Selain kedua kebijakan tersebut, fluktuasi harga komoditas mineral dan
batubara juga berpengaruh menunda kerusakan hutan akibat adanya aktifitas
tambang di dalam kawasan hutan (IPPKH). Seperti pada saat harga nikel dan
batubara mengalami penurunan, banyak pengusaha yang mengeluh dan
mengurungkan niatnya untuk mengajukan IPPKH serta menunda kegiatan operasi
produksi. Tingginya biaya produksi dan rendahnya harga komoditas tambang
yang diusahakan tidak profitable bagi perusahaan. Fakta tersebut di atas
menunjukkan bahwa kebijakan PKH merupakan kebijakan yang sangat
terpengaruh oleh keberadaan dan kinerja kebijakan sektor lain.
Keberadaan lebih dari satu P tersebut oleh Nielson dan Tierney (2003)
disebut sebagai multiple principal. Masing-masing P memberikan
pekerjaan/instruksi/delegasi sesuai dengan kewenangan dan tugas pokok dan
fungsinya secara terpisah. Meskipun tugas dan fungsi kedua P dalam
kepemerintahan berbeda, namun dalam kontrak yang disepakati oleh A dengan
masing-masing P terdapat klausul-klausul yang hampir sama, seperti kewajiban
untuk reklamasi dan revegetasi lahan pasca tambang. Adanya multiple principal
juga membawa konsekuensi peningkatan biaya produksi dan transaksi.
Menurut Nielson dan Tierney (2003) setidaknya para P terlebih dahulu
memecahkan permasalahan internal antar mereka untuk kemudian secara bersama
(collective principal) memotivasi A untuk meningkatkan kinerjanya dalam
memenuhi kepentingan P. Pengambilan keputusan dalam aksi bersama tersebut
55
Kompas. 2013 Desember 24. Pemerintah memastikan larangan ekspor mineral mentah: 1 (kol
3-7)
155

penting untuk menghadapi masalah beberapa P secara kolektif. Menganalogikan


pendapat Nielson dan Tierney (2003) tersebut, maka seharusnya P-hut bersama P-
esdm melakukan koordinasi intensif untuk merumuskan kebijakan yang sesuai
untuk A, sehingga kebijakan dapat di implementasi dengan baik, efisien dan
mencapai tujuan yang diinginkan P. Terbentuknya collective principal juga akan
memudahkan bagi A untuk mengimplementasikan kontrak yang telah dirumuskan
bersama. Namun, collective principal sulit terbentuk akibat dari lemahnya
koordinasi dan ketiadaan arus informasi (information sharing) antara kedua P.
Dalam situasi seperti itu, pemerintah perlu menyatukan kepentingan para pihak
dengan kebijakan khusus. Undang-undang pengelolaan sumber daya alam (UU
PSDA) bisa menjadi jawaban untuk menyatukan motivasi dan tujuan para P. UU
PSDA diharapkan dapat mengintegrasikan PSDA dan menyatukan manajemen
PSDA berdasarkan informasi dan ruang kelola yang sama.

Prinsipal-1 Prinsipal-1

Prinsipal-2 Agen Prinsipal-2 Agen

Prinsipal-n Prinsipal-n

Gambar 14 Multiple and Collective Principals (Diadaptasi dari Nielson dan


Tierney 2003)

3. Masalah Hubungan Agen-Agen

Selain adanya konflik antara P-P, dalam implementasi kebijakan PKH juga
terjadi konflik atau masalah antara agent satu dengan agent lainnya, agent-agent
(A-A) conflicts/ problems. Permasalahan muncul sebagai akibat P-hut
memberikan areal IPPKH yang dimiliki oleh perusanaan pertambangan (A-tamb)
overlapping dengan konsesi IUPHHK yang dimiliki oleh perusahaan kehutanan
(A-hut), baik pada hutan alam maupun hutan tanaman. Meskipun, P-hut telah
bertindak antisipatif dalam memberikan IPPKH, namun konflik antara A-tamb
dan A-hut masih terjadi baik di ranah administrasi, koordinasi maupun di
lapangan.
Sebagian permasalahan antara A-hut dan A-tamb diselesaikan dengan
business to business (B to B). Sebagian kasus yang lain terpaksa melaporkan
permasalahan tersebut kepada P. Cara penyelesaian B to B dilakukan jika kedua
belah pihak bersedia untuk melakukan koordinasi dan kooperasi untuk
merumuskan kesepakatan bersama. Hasil dari kesepakatan dapat bermacam-
macam bentuknya, diantaranya;
1. A-hut menerima keberadaan A-tamb tanpa syarat. Kesepakatan seperti ini
biasanya dihasilkan oleh dua A yang masih dalam satu grup perusahaan besar,
atau pemilik (owner) dari kedua A tersebut masih mempunyai hubungan
kekeluarganaan/ kekerabatan
156

2. A-hut menerima keberadaan A-tamb dengan syarat. Kesepakatan model ini


biasanya didahului dengan bargaining mengenai bentuk syarat yang
diinginkan A-hut. Syarat yang diajukan oleh A-hut biasanya dalam bentuk;
kompensasi atas pengelolaan hutan yang telah dilakukan, kompensasi atas
sarana prasana yang telah dibangun, kerja sama pemeliharaan sarana
prasarana.
3. A-tamb menerima persyaratan yang diajukan A-tamb dengan keterpaksaan.
Kesepakatan model ini (bisa saja) terjadi dalam hubungan A-A sebagai akibat
dari dominasi kekuatan A-hut terhadap A-tamb. A-hut menggunakan
kekuatan kekuasaan maupun kedekatannya dengan penguasa, sementara A-
tamb terpaksa menyepakati agar aktifitas tambangnya bisa berproduksi.
Bentuk persyaratan yang disepakati oleh A-tamb adalah pengenaan biaya sewa
atas sarana prasarana yang telah dibangun dengan harga tinggi dan/atau
pengenaan tarif prosentase dari hasil tambang per satuan produksi yang
dihasilkan oleh A-tamb.
Jika ketiga model hubungan koordinasi dan kooperasi tersebut di atas tidak
menemui kesepakatan, biasanya salah satu pihak akan melaporkannya kepada P.
Namun demikian, untuk kasus-kasus yang telah dilaporkan ke pihak P biasanya
juga mengalami deadlock. Hal itu disebabkan hingga saat ini P belum memiliki
instrument penyelesaian konflik antara A-hut dan A-tamb yang bisa diterima
kedua belah pihak. Pada umumnya, A-hut tidak setuju dengan keberadaan
aktifitas A-tamb (meskipun telah memiliki IPPKH) karena dianggap akan
mengganggu status kelestarian hutan yang selama ini telah dibangun oleh A-hut.
Alasan lainnya adalah tidak disepakatinya nilai ganti rugi (kompensasi) atas
tegakan dan sarana prasarana yang telah dibangun. Sementara dari A-tamb
melaporkan adanya larangan dari A-hut atas aktifitas pertambangannya di dalam
areal A-hut atau adanya tuntutan A-hut yang tidak masuk akal sebagai nilai ganti
rugi (kompensasi) atas tegakan dan sarana prasarana yang telah dibangun oleh A-
hut.

Tabel 32 Beberapa kasus konflik kepentingan antara A-hut dan A-tamb

No A-hut A-tamb Konflik Penyelesaian Perkembangan


1. PT. Intracawood PT. Jelai Cahaya Pengelolaan Mediasi oleh Belum selesai
Manifacturing Mineral kawasan hutan Kemenhut
2. PT. Adindo Hutani PT. Pipit Mutiara Pengelolaan Mediasi oleh Selesai
Lestari Jaya kawasan hutan dan Kemenhut
penggantian biaya
investasi
3. PT. ITCI Hutani PT. Gunungbayan Pengelolaan Mediasi oleh Belum selesai
Manunggal Pratamacoal kawasan hutan dan Kemenhut
penggantian biaya
investasi
4. PT. Kirana PT. Anugerah Penggantian biaya Business to Selesai
Chatulistiwa Daya Gemilang investasi Business
5 PT. Karda Traders, PT. Kapuas Prima Penggantian biaya Business to Selesai
PT. Amprah Mitra Coal investasi Business
Jaya, PT. Sari Bumi
Kusuma
157

Dalam hubungan A-hut dan A-tamb yang tidak menemukan kata sepakat,
teridentifikasi bahwa A-hut berusaha untuk melakukan rent seeking sebagai
bentuk opportunistict behavior dalam situasi konflik tersebut. Akibatnya adalah
naiknya biaya transaksi yang harus ditanggung oleh A-tamb. Hubungan keduanya
adalah saling bebas, tidak diikat dalam sebuah kontrak apapun. Hubungan kedua
agen tersebut berbeda dengan yang diteliti oleh Nugroho (2003).
Dalam penelitiannya, Nugroho (2003) mengungkapkan adanya hubungan
P-A dua tingkat antara pemerintah (P) dengan pemegang IUPHHK (A) dan
adanya kehadiran A lain yaitu UKM-IPH (Usaha Kecil Menengah-Industri
Pemanenan Hutan) sebagai mitra kerja pemegang IUPHHK. Dari sudut pandang
teori hubungan P-A, masuknya UKM-IPH menyebabkan adanya hubungan 2
tingkat. Pertama antara pemerintah dengan pemegang IUPHHK dan kedua antara
pemegang IUPHHK dengan UKM-IPH. Pada hubungan tingkat petama,
pemegang IUPHHK bertindak sebagai pihak yang menjalankan sebagian
kewenangan pemerintah dan pemerintah bertindak sebagai pemilik sumberdaya
hutan. Sementara pada hubungan tingkat kedua, UKM-IPH bertindak sebagai
pihak yang melaksanakan sebagian hak yang dimiliki pemegang IUPHHK untuk
melaksanakan kegiatan pemanenan hutan yang diberikan pemerintah kepadanya
dan pemegang IUPHHK bertindak sebagai pemilik hak pengelolaan hutan
produksi yang dikuasakannya. Kedua-duanya memenuhi syarat hubungan P-A.
Apabila kepemilikan sumberdaya hutan dijadikan acuan untuk mendefinisikan P,
maka di dalam institusi pengelolaan hutan produksi yang melibatkan UKM-IPH
sebagai salah satu pelakunya, pemerintah dapat disebut sebagai prinsipal murni,
pelaku UKM-IPH sebagai agen murni dan pemegang IUPHHK dapat bertindak
agen atau prinsipal tergantung pada hubungan tingkat mana melihatnya (Nugroho
2003).

Hubungan P-A
Tingkat 1
Agen-tamb
Prinsipal Agen (IUPHHK)
Conflict
Prinsipal (IUPHHK) No conflict
Conflict

Prinsipal Agen-hut
Hubungan P-A
Partnership No Conflict
Tingkat ke 2

Agen (UKM-IPH) Agen-tamb

Pola hubungan P-A dalam institusi pemanenan hutan (Nugroho 2003) Pola hubungan P-A dalam institusi penggunaan kawasan
hutan

Gambar 15 Perbedaan hubungan P-A pada institusi pemanenan hutan (Nugroho


2003) dan PKH
Beberapa masalah lanjutan akibat overlapping izin dalam areal yang sama
tersebut adalah ketidakjelasan batas kewenangan pengelolaan hutan, terbukanya
akses ke dalam wilayah IUPHHK milik A-hut tanpa bisa dikontrol. Sebagai
ilustrasi konflik atau masalah yang muncul dalam implementasi kebijakan PKH
dapat dilihat dalam Gambar 16.
158

KONTRAK

PRINCIPAL PROBLEM AGENT

KAWASAN
HUTAN
Kementerian IUPHHK Perusahaan
Kehutanan Kehutanan
IPPKH, IUPHHHK-
IPK HA/HT
Principal-
Agent-agent
principal IPPKH,
IPK problems
problems

Kementerian KK/PKP2B Perusahaan


Energi Sumber
Pertambangan
Daya dan
Mineral

Perusahaan
BUPATI IUP
Pertambangan

Gambar 16 Hubungan multi P-A dan jenis-jenis kontrak (perizinan) di dalam


kawasan hutan

4. Perubahan Hubungan Prinsipal-Agen menjadi Agen-Agen

Indikasi adanya praktik moral hazard yang dilakukan oleh prinsipal (P-
hut) dan agen (A-tamb) dalam implementasi kebijakan PKH pada dasarnya bukan
merupakan praktik yang dilakukan oleh P-hut sebagai sebuah institusi/lembaga
pemerintah, namun lebih pada praktik moral hazard yang dilakukan oleh
aparatnya. Sedangkan aparat Kementerian Kehutanan pada hakekatnya juga
merupakan agen dari Kementerian Kehutanan sebagai sebuah institusi pemerintah
yang diikat dengan kontrak dalam bentuk sumpah jabatan. Sehingga hubungan
antara P (Kementerian Kehutanan) dan A (pemegang IPPKH) dalam proses
implementasi kebijakan PKH adalah hubungan agen-agen yang sama-sama
terindikasi melakukan praktik moral hazard dalam implementasi kebijakan
tersebut.
159

PRINSIPAL
Kementerian
Kehutanan
PRINSIPAL
Kementerian
Kehutanan
Moral Hazard
Kontrak Kontrak
(Sumpah Jabatan) (IPPKH)
Kontrak
(IPPKH)
AGEN 1 Proses Penerbitan AGEN 2
IPPKH
Aparat Kementerian Perusahaan
Kehutanan Kontrol IPPKH Pertambangan
AGEN
Perusahaan
Pertambangan

RISIKO
Degradasi Kawasan Hutan

Gambar 17 Perubahan hubungan prinsipal-agen menjadi agen-agen dalam implementasi


kebijakan PKH.

Sebagai bahan rangkuman untuk memudahkan mengidentifikasi variasi


dan kompleksitas permasalahan hubungan P-A dalam implementasi kebijakan
PKH dapat dicermati dalam matrik sebagai berikut:

Kehutanan
Prinsipal Agen (A-hut)

- Perbedaan motivasi dan tujuan


Prinsipal

pengelolaan SDA (self-interest conflict)


Tidak Teridentifikasi
- Lemahnya koordinasi
- Pertukaran informasi terbatas
Pertambangan

- Bargaining position (Politic, Power)

- Mengganggu kinerja tata kelola hutan A-hut


- Adverse Selection - Ketidakjelasan batas kewenangan
Agen (A-tamb)

- Moral hazard pengelolaan


- Lemahnya kontrol P - Compensation cost
- Rendahnya komitmen A - Ketiadaan koordinasi dan kerjasama
- Transaction Cost A - Moral hazard (rent seeking, opprotunistict
- Ketiadaan insentif behavior) A-hut
- Transaction cost relatif tinggi bagi A-tamb
- Forestland access

Gambar 18 Kuadran variasi hubungan P-A dan identifikasi permasalahannya.


160

Biaya Transaksi

Dalam proses implementasi kebijakan PKH tersebut, A tidak terlepas dari


konsekuensi biaya, mulai dari pencarian informasi, pengajuan permohonan
IPPKH, menjalankan hak dan kewajibannya (kontrak), sampai dengan resiko-
resiko atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh agen. Biaya-biaya
tersebut harus dikeluarkan oleh A sebagai biaya transaksi, di luar biaya produksi
perusahaan untuk menjalankan proses produksi komoditas tambangnya.
Biaya transaksi sangat berpengaruh terhadap kinerja perusahaan, terutama
dalam pengambilan keputusan untuk mengalokasikan sumber dana perusahaan
untuk memenuhi kewajiban dalam IPPKH serta meningternalisasi eksternalitas
yang terjadi akibat operasionalisasi pertambangan yang dilakukan oleh
perusahaan. Pengukuran besarnya biaya transaksi setiap perusahaan sangat khas
dan berbeda satu dengan lainnya. Menurut pendapat beberapa ahli ekonomi
kelembagaan sampai saat ini belum ditemukan formula yang tepat untuk
mengukur besarnya biaya transaksi tersebut. Dalam penelitian ini analisis biaya
transaksi akan diidentifikasi berdasarkan pendekatan yang dikemukakan Fox
(2006) dan Yustika (2006).
Biaya transaksi (transaction cost) dalam konteks implementasi kebijakan
PKH ini adalah sejumlah biaya yang harus ditanggung oleh P maupun A akibat
dari pelaksanaan kontrak yang telah disepakati. Biaya transaksi ini meliputi biaya
pengurusan sampai dengan penerbitan IPPKH (kontrak), pelaksanaan kontrak
beserta biaya-biaya lainnya sebagai akibat dari pelaksanaan kontrak dan biaya
penyelesaian kontrak. Sebagai gambaran perkiraan besarnya biaya transaksi yang
dikeluarkan oleh A adalah sebagai berikut:

1. Pengajuan permohonan IPPKH

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa biaya untuk


memperoleh IPPKH adalah Rp 7 miliar. Biaya tersebut bisa semakin tinggi jika
terbukti bahwa perusahaan tersebut melakukan kesepakatan dengan free rider di
Kementerian Kehutanan untuk mengalokasikan saham maupun bagi hasil dari
produksi yang diperoleh.

2. Biaya Penyelesaian Konflik

Biaya transasksi ini dikeluarkan oleh A untuk menyelesaikan konflik,


terutama dengan masyarakat di sekitar areal IPPKH atas klaim lahan mereka di
dalam kawasan hutan yang telah mempunyai IPPKH. Konflik ini jamak terjadi di
Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, sedangkan di Provinsi
Sulawesi Tenggara relatif aman dari klaim-klaim masyarakat. Sebuah perusahaan
yang telah memiliki IPPKH di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan
Timur telah mengeluarkan biaya lebih dari Rp. 8 M untuk membebaskan areal
IPPKH-nya dari klaim-klaim masyarakat. Biaya tersebut merupakan tali asih atas
lahan yang diklaim dan ganti rugi tanam tumbuh56
56
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara menerbitkan Surat Keputusan Bupati Nomor
180.188/HK-630/2008 tanggal 8 Juli 2008 tentang penetapan harga dasar pengganti nilai tanam
161

Nilai tersebut tidak termasuk biaya bagi free rider lainnya seperti
organisasi non pemerintah (LSM dan Ormas), institusi keamanan maupun
pemerintah daerah sekitar areal IPPKH (camat dan kepala desa)

3. Kesepakatan (MoU) dengan Pemegang IUPHHK

Biaya transaksi ini sebagai akibat dari adanya konflik permit overlaying
antara A (perusahaan tambang) yang memiliki IPPKH (A-tamb) dengan A
(perusahaan kehutanan) yang memiliki IUPHHK (A-hut). Kesepakatan (untuk
tidak menyebutnya sebagai keterpaksaan) menjadi jalan keluar bagi kedua belah
pihak. Biasa A-hut mengajukan persyaratan yang ‗memaksa‘ A-tamb jika ingin
melanjutkan aktifitas tambangnya di dalam areal IUPHHK milik A-hut. Adanya
jaringan kekuasaan (power) yang dimiliki A-hut dan besarnya nilai investasi yang
telah dikeluarkan oleh A-tamb serta keuntungan yang akan diperoleh jika
menjalankan aktifitas tambangnya menjadi pertimbangan A-tamb untuk
menyetujui kesepakatan tersebut.
Biasanya A-hut meminta sejumlah ganti rugi atas nilai untuk tanaman
yang telah di tanam, tegakan hutan alam, sarana prasarana yang telah dibangun
maupun nilai investasi yang telah dikeluarkan lainnya dengan nilai yang terkadang
tidak rasional. Sebagian lainnya meminta bagi hasil (persentase) dari hasil
tambang yang diproduksi dan sebagian lainnya dengan mengenakan kewajiban
share pemeliharaan atas sarana prasarana yang digunakan bersama.
Hasil temuan di Provinsi Kalimantan Selatan, IPPKH milik A-tamb berada
di dalam konsesi sebuah IUPHHK (HT) milik A-hut. A-hut dimiliki oleh orang
yang sangat berpengaruh di provinsi tersebut (hampir semua orang yang memiliki
bisnis kehutanan dan pertambangan mengenalnya, termasuk para
birokrat/pejabat/pegawai yang bekerja di provinsi tersebut). Pemilik perusahaan
tersebut sengaja membelinya dari lama karena mengetahui prospek tambang yang
sangat besar di dalam areal konsesi IUPHHK tersebut. A-hut mewajibkan A-tamb
untuk menyepakati sharing penggunaan bersama jalan angkutan logging yang
telah ada sepanjang lebih kurang 3 km. Nilai yang ditetapkan adalah sebesar US$
1,2/ton produksi mineral yang diangkut. Setiap tahun, A-tamb rata-rata
mengangkut mineral yang ditambang 385.000 ton, sehingga harus mengeluarkan
biaya sharing pemeliharaan jalan sebesar US$ 5.544.000. Dengan kurs US$ 1
senilai Rp 12.000, maka A-tamb akan mengeluarkan biaya transaksi sebesar Rp
66,528 miliar/tahun yang diberikan secara cuma-cuma kepada A-hut, karena
realitanya pemeliharaan jalan tersebut juga tetap dilakukan oleh A-tamb.

Biaya Lainnya

Selain ketiga macam biaya transaksi yang harus dikeluarkan oleh A-tamb
untuk keperluan penyelesaian izin dan kenyamanan dalam melakukan kegiatan
operasi produksi tambangnya di dalam kawasan hutan, A-tamb juga masih harus
menerima kewajiban lainnya. Kewajiban tersebut adalah membayar PNBP dan
menyediakan policy advisor dan tenaga teknis kehutanan, sebagai berikut:

tumbuh dalam wilayah Kabupaten KutaiKartangera yang kemudian dijadikan dasar untuk
memberikan ganti rugi tanam tumbuh di atas lahan klaim masyarakat di dalam areal IPPKH
162

1. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)

PNBP dibayarkan sebelum jatuh tempo oleh A sebagai wajib bayar.


Adanya diskresi (discretion of power) dari Direktur Jenderal Planologi yang
menghapuskan pengembalian jumlah PNBP yang telah dibayarkan jika terdapat
kelebihan, serta pengenaan denda bagi wajib bayar yang membayar setelah jatuh
tempo (terlambat) mengakibatkan biaya transaksi yang harus ditanggung A
semakin tinggi. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya bahwa
terjadi lonjakan realisasi PNBP yang jauh melampaui dari target yang ditetapkan
setiap tahunnya. Setiap A, rata-rata wajib membayar PNBP sebesar Rp
1.400.665.559/tahun, padahal seharusnya rata-rata harus membayar PNBP sebesar
Rp. 910.491.321/tahun (Tabel 13) untuk setiap perusahaan (dengan asumsi
penyusunan target PNBP kementerian kehutanan berdasarkan baseline oleh setiap
perusahaan yang telah mendapatkan IPPKH).

2. Policy Advisor dan Teknisi Kehutanan

Berdasarkan Permenhut Nomor P.16/Menhut-II/2014 pasal 17 ayat (1)


huruf f dan pasal 30 ayat (1) huruf k menyebutkan adanya persyaratan telah
memiliki tenaga teknis kehutanan dan policy advisor untuk permohonan izin
pinjam pakai kawasan hutan operasi produksi. Ketentuan tentang tenaga teknis
kehutanan dan policy advisor telah diatur dalam Permenhut Nomor P.65/Menhut-
II/2013 tentang Policy advisor bidang kehutanan pada izin pinjam pakai kawasan
hutan untuk kegiatan pertambangan operasi produksi.
Ketentuan ini juga berakibat pada biaya transaksi yang harus dikeluarkan
A-tamb. Untuk policy advisor berdasarkan informasi yang didapatkan adalah
Rp 15 juta/bulan selama masa operasi produksi tambang, sedangkan untuk tenaga
teknis kehutanan tidak diketahui.

Tabel 33 Besarnya biaya transaksi dan biaya lainnya yang dikeluarkan A-tamb

No Jenis Biaya Transaksi (Rp) Keterangan


Biaya Transaski
1. Pengajuan permohonan IPPKH 7M A-tamb ke P-hut
2. Penyelesaian konflik ≥8M A-tamb ke masyarakat
3. Kesepakatan dengan pemegang IUPPHK 66,528 M/Tahun A-tamb ke A-hut
Biaya Lainnya
1. PNBP 1,40 M/tahun A-tamb ke P-hut
2. Policy Advisor 15 Jt/Bulan A-tamb ke Staff

Arah Perbaikan Kebijakan PKH

Dari uraian hubungan antara P dan A tersebut di atas beserta dengan isu-
isu dalam teori keagenan sebagai parameter analisis, dapat disimpulkan bahwa
kebijakan PKH telah gagal diimplementasikan. Terdapat banyak faktor yang
menyebabkan terjadinya kesenjangan antara tujuan yang ingin dicapai oleh P
dengan pelaksanaan kebijakan tersebut yang dilakukan oleh A. Untuk mengatasi
163

kesenjangan tersebut dapat dipertimbangkan beberapa hal terkait dengan


perbaikan perumusan kebijakan PKH sebagaimana Tabel 34 dan Gambar 19.

Tabel 34 Isu-isu dalam teori keagenan dan saran-saran implementasinya dalam


kebijakan PKH

No Issue Implementasi Saran Konsekuensi

1. Seleksi - Tidak dilakukan - Seleksi agen dengan - Kontrol P harus ketat.


- Fakta: peursahaan mempertimbangkan - Komitmen A tinggi
besar (asing) kepemilikan dan jumlah
cenderung saham.
mempunyai - Bersama-sama
komitmen dan kinerja menjalankan kontrak
yang lebih baik dengan baik (Guston
2003)
2. Kesepadanan Tidak sepadan KPH dapat sumber - Koordinasi dengan Kem
informasi indormasi sumber daya ESDM intensif
hutan - Pembangunan KPH
sedang berproses
3. Insentif Diterapkan, Tidak Adanya kenyamanan Perlu kebijakan untuk
efektif berusaha di dalam kawasan memberikan kepastian
hutan berusaha bagi agen yang
telah menunjukkan kinerja
baik
3. Kontrak Belum lengkap dan Kontrak dibuat lebih detail, - Meningkatkan biaya
tidak efektif memuat reward-punishment, agensi
self-enforcing (Nielson dan
Tierney (2003)
4. Kontrol Lemah Penguatan institusi di daerah Memerlukan sumber daya
dan tingkat tapak. yang cukup besar
5. Risiko Besar Kontrol ketat, pembangunan - Meningkatkan biasya
KPH dan penyusunan UU agensi, Perumusan
SDA untuk meminalisir dan/atau revisi peraturan
perundang-undangan
risiko
- Memerlukan sumber
daya yang cukup besar
6. Konflik Tinggi KPH, RUU SDA, Revisi - Perumusan dan/atau
IUPHHK revisi peraturan
perundang-undangan
- Memerlukan sumber
daya yang cukup besar
7. Biaya Relatif Tinggi, terkait - Good forestry governance - Perumusan dan/atau
dengan perizinan dan - KPH dan Adendum revisi peraturan
IUPHH untuk minimalisir perundang-undangan
penyelesaian konflik
konflik - Memerlukan sumber
daya yang cukup besar
164

1. Ketersediaan anggaran supervisi, monitoring


dan evaluasi
1. Mengurangi kesenjangan informasi
2. Ketersedaiaan sumber daya manusia pelaksana
(asymmetric information)
3. Biaya agensi P meningkat, namun disisi lain
2. Mengeliminir terjadinya konflik di lapangan
3. Mengurangi biaya transaksi A-tamb pendapatan negara naik dari PNBP

PEMBANGUNAN KPH ANGGARAN DAN SDM

CONTROL AND LAW ENFORCEMENT


HUKUM
REVISI IUPHHK

1. Mengurangi biaya transaksi A-tamb


2. Kejelasan areal dan pengelolaan kawasan
COMMITMENT CONTRACT hutan
3. Ganti rugi investasi menjadi tanggungjawab
Prinsipal untuk menyelesaikan sesuai
peraturan yang berlaku

COST AND INCENTIVE

MENAIKKAN TARIF PNBP KENYAMANAN USAHA

1. A-tamb kecil (IUP) terpacu untuk segera 1. Kepastian usaha


melakukan reklamasi dan revegetasi untuk 2. Keamanan berusaha
mengurangi besarnya PNBP 3. A-tamb besar (PKP2B/KK) mendapatkan
2. Pendapatan Negara meningkat  Sebagai kepastian penambahan/penggantian areal usaha
anggaran melakukan kegiatan kontrol baru di dalam kawasan hutan  meningkatkan
3. Biaya transaksi A-tamb naik, namun biaya kinerja reklamasi dan revegatasi
transaksi pada aspek lain turun (aspek 4. Memilimanisir adverse selection (daripada
kenyamanan usaha dan ketiadaan konflik memberikan IPPKH baru pada A-tamb lain yang
dengan A-hut dan masyarakat) belum diketahui kinerjanya)

Gambar 19 Hubungan beberapa faktor dalam perbaikan kinerja implementasi kebijakan


PKH

Simpulan

1. Dengan menggunakan telaah teori keagenan (agency theory) kebijakan


penggunaan kawasan hutan telah salah diimplementasikan dalam
pelaksanaannya, baik dalam hal faktor pemilihan agen, bentuk dan isi kontrak,
fungsi kontrol, ketidaksepadanan informasi, struktur insentif, tingkat biaya
transaksi, dan pelanggaran terhadap aturan/kewajiban (moral hazard).
2. Dalam hal proses pemilihan agen, prinsipal tidak dapat melakukan proses
pemilihan dengan baik dan memenuhi persyaratan yang dikehendakinya.
Bahkan, prinsipal tidak melakukan pemilihan terhadap agen karena prinsipal
tidak mengetahui kinerja agen. Prinsipal dapat menyeleksi agen dengan
melihat kinerjanya selama proses pelaksanaan izin pinjam pakai kawasan
hutan. Langkah ini hanya berlaku bagi agen yang pernah memperoleh izin
pinjam pakai kawasan hutan dan akan mengajukan permohonan baru di areal
165

yang lain atau penambahan luas izin pinjam pakai kawasan hutan dengan areal
yang sama. Sementara untuk agen yang belum pernah memperoleh izin
pinjam pakai kawasan hutan, seleksi hanya dapat dilakukan dengan
penelusuran dokumen perusahaan, kepemilikan saham, kapital perusahaan
maupun dokumen lainnya. Perusahaan dengan kapital besar cenderung
dan/atau perusahaan dengan izin dari pemerintah pusat (Kontrak
Karya/Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) mempunyai
komitmen dan kinerja yang lebih baik dalam implementasi kebijakan
penggunaan kawasan hutan.
3. Kontrak dalam izin pinjam pakai kawasan hutan tidak lengkap dan kontrol
prinsipal lemah, Dalam kontrak pinjam pakai kawasan hutan tidak secara
implisit menjelaskan tentang sanksi pidana dan denda bagi pelanggaran
terhadap izin pinjam pakai kawasan hutan. Prinsipal juga tidak berani
menyebutkan kewajibannya dalam melakukan kontrol terhadap agen dan
dalam pelaksanaannya tidak optimal. Kontrak dalam izin pinjam pakai
kawasan hutan juga tidak menyebutkan struktur insentif bagi agen yang
berkinerja baik. Izin pinjam pakai kawasan hutan sebaiknya disusun dengan
kejelasan hak dan tanggungjawab, mekanisme kontrol, konsekuensi dan
penegakan hukum dan struktur insentif.
4. Lemahnya kontrol terhadap implementasi kebijakan penggunaan kawasan
hutan meningkatkan perilaku moral hazard. Dalam Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan hutan, fungsi kontrol justru tidak menjadi sebuah kewajiban. Fungsi
kontrol seharusnya ditingkatkan yang disertai dengan penegakkan hukum
meskipun dalam praktiknya akan mempunyai konsekuensi seperti:
meningkatnya anggaran supervisi, monitoring dan evaluasi yang berarti
meningkatkan biaya transaksi bagi prinsipal dan ketersedaiaan sumber daya
manusia pelaksana.
5. Fungsi kontrol dapat ditingkatkan dengan percepatan pembangunan Kesatuan
Pengelolaan Hutan. Kesatuan Pengelolaan Hutan diharapkan dapat
meningkatkan kinferja institusi penggunaan kawasan hutan, yaitu: mengurangi
kesenjangan informasi (asymmetric information), mengeliminir terjadinya
konflik di lapangan yang akan berdampak pada menurunnya biaya transaksi
bagi A.
6. Terdapat kesenjangan dalam pemberian insentif kepada agen. Kesenjangan
tersebut menyebabkan tujuan prinsipal memberikan instenif untuk agen tidak
tercapai bahkan dapat menurunkan kinerja agen dalam implementasi kebijakan
penggunaan kawasan hutan. Kejelasan dan ketepatan insentif bagi agen
sangat diperlukan. Kenyamanan berusaha bagi agen adalah insentif yang
tepat. Kebijakan menaikkan tarif penerimaan negera bukan pajak (PNBP) per
satuan luas izin pinjam pakai kawasan hutan diharapkan akan dapat memacu
agen-agen dengan capital kecil dan komitmen yang rendah untuk dapat
meningkatkan kinerjanya. Sementara insentif berupa kenyamanan berusaha
(kepastian dan keamanan berusaha dan areal usaha, kepastian mendapatkan
penambahan areal usaha baru) akan berdampak pada menurunkannya biaya
transaksi yang diakibatkan oleh penyelesaian konflik dengan A lain maupun
dengan masyarakat.
166

7. Tumpang tindih areal dan pengelolaan kawasan hutan merupakan sumber


konflik antara perusahaan tambang dan perusahaan kehutanan. Konflik dapat
dieliminir dengan merevisi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
(IUPHHK) sebagai konsekuensi dari diterbitkannya izin pinjam pakai kawasan
hutan di dalam areal izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu. Kejelasan
status areal dan pengelolaan kawasan hutan juga merupakan salah satu bentuk
kenyamanan dalam berusaha di dalam kawasan hutan. Permasalahan ganti
rugi/biaya kompensasi investasi bagi pemegang izin usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu menjadi tanggungjawab prinsipal untuk menyelesaikannya sesuai
peraturan yang berlaku.
167

SINTESIS HASIL PENELITIAN

Penggunaan kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan


hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa merubah
fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut. Digulirkannya kebijakan PKH
diharapkan menjadi upaya pemerintah dalam pengelolaan hutan terkait dengan
keberadaan pertambangan di dalam kawasan hutan. Dibukanya keran PKH bagi
sektor di luar kehutanan, terutama sektor pertambangan, mengakibatkan
permohonan izin penggunaan kawasan hutan melalui mekanisme izin pinjam
pakai kawasan hutan (IPPKH) berkembang sangat pesat sejalan dengan maraknya
operasionalisasi pertambangan di daerah.
Kebijakan penggunaan kawasan hutan (PKH) merupakan kebijakan yang
dikeluarkan oleh kementerian kehutanan untuk mengakomodir kepentingan sektor
lain di dalam kawasan hutan. Pengaturan dan pelaksanaan kebijakan ini mulai
dirumuskan pada tahun 1978 dengan diterbitkannya SK Direktur Jenderal
Kehutanan Nomor 64/Kpts/DJ/I/1978 tentang pedoman pinjam pakai tanah
kehutanan. SK Direktur Jenderal Kehutanan tersebut merupakan respon terhadap
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976. Inpres tersebut merupakan landasan
hukum yang ‗sakti‘ bagi sektor pertambangan. Dengan inpres tersebut sektor
pertambangan menjadi superior terhadap sektor lainnya. Posisi sektor kehutanan
menjadi lemah dan tidak berdaya dalam berbagai kesempatan pengambilan
kebijakan terkait dengan aktifitas sektor pertambangan di dalam kawasan hutan.
Mencermati proses perumusan kebijakan penggunaan kawasan hutan bisa
dikatakan bahwa model dari kebijakan ini adalah model inkrementalis atau model
tahap demi tahap (incrementalist model). Pemerintah telah beberapa kali merubah
dan/atau merevisi peraturan-peraturan terkait dengan kebijakan PKH. Perubahan-
perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan isu-isu yang
berkembang saat itu.
Berbagai tonggak kunci yang menyertai perumusan dan perkembangan
kebijakan PKH antara lain; lahirnya undang-undang kehutanan, undang-undang
pertambangan, undangan-undang penanaman modal asing dan dalam negeri,
Inpres Nomor 1 Tahun 1976, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 dan
revisinya, kebijakan energi nasional dan moratorium izin penggunaan kawasan
hutan. Tonggak kunci tersebut tidak lepas dari sistem politik dan pemerintahan
yang berkuasa pada saat itu.
Kebijakan PKH telah digulirkan hampir 36 tahun yang lalu. Dalam
perkembangannya, peraturan perundang-undangan yang mendasari kebijakan
PKH tersebut telah delapan kali mengalami pergantian dan tujuh kali mengalami
revisi. Berdasarkan hasil analisis, perumusan kebijakan PKH dipengaruhi oleh isi-
isi kebijakan PKH sebelumnya. Perubahan dan atau perbaikan/revisi peraturan
perundang-undangan PKH pada hakekatnya tidak merubah tujuan dan substasi
yang signifikan kebijakan tersebut. Peraturan-peraturan yang dirumuskan oleh
Kementerian Kehutanan tersebut juga tetap mempertahankan pola pikir bahwa
kawasan hutan harus dipertahankan luasnya (tidak mengalami perubahan status
kawasan hutan).
Dari perubahan-perubahan pada peraturan perundang-udnagan PKH yang
terjadi dapat ditarik benang merah bahwa kebijakan PKH dirumuskan atas dasar
168

tekanan dari pihak di luar kementerian kehutanan, baik tekanan secara politik,
ekonomi maupun isu-isu yang berkembang pada saat itu. Namun, dalam satu
dekade terakhir, perubahan-perubahan yang terjadi menggambarkan arah positif
yang bertujuan untuk membatasi dan mengendalikan IPPKH serta upaya-upaya
pemulihan lahan.
Kebijakan PKH dapat dikatakan telah memenuhi (tepat) prinsip-prinsip
efektifitas dalam implementasinya. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan
PKH telah memenuhi empat prinsip tepat (dari lima prinsip yang disyaratkan)
yaitu; tepat kebijakan, tepat pelaksanaan, tepat sasaran, tepat proses dan didukung
oleh situasi dan kekuatan politik. Namun, hal itu tidak didukung oleh kemampuan
untuk menjalankannya. Ketepatan prinsip-prinsip efektifitas implementasi
kebijakan PKH tidak menjamin mendapatkan respon yang baik dari pemegang
IPPKH sebagai pemangku kepentingan atau subyek utama dalam menjalankan
kebijakan tersebut.
Respon yang buruk dari pemegang IPPKH terhadap kebijakan PKH
dipengaruhi oleh rendahnya komitmen pemegang IPPKH, minimnya pengetahuan
dan informasi teknis tentang isi kebijakan serta kejelasan dan kemudahan dalam
melaksanakan kebijakan tersebut. Buruknya respon pemegang IPPKH
mencerminkan kegagalan implementasi kebijakan PKH. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa proses panjang perumusan dan implementasi kebijakan PKH
tidak menjadi jaminan efektifitas dan keberhasilan implementasi kebijakan
tersebut.
Kebijakan PKH merupakan sandaran/acuan mekanisme hubungan antara
pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan sebagai prinsipal (P) dan
pemegang IPPKH sebagai agen (A). Seharusnya kebijakan PKH dapat dipahami
dan dilaksanakan oleh kedua belah pihak dengan menggunakan asumsi-asumsi
yang sesuai. Ketiadaan informasi tentang pertambangan dan operasionalnya di
lapangan dapat menjadi penyebab kekeliruan menentukan asumsi.
Dalam kebijakan PKH terdapat beberapa asumsi yang dibangun oleh para
perumus kebijakan. Perumus kebijakan berasumsi bahwa implementor mengerti
persoalan pengelolaan hutan, implementor mau (berkomitmen) dan mampu
mengemban tugas dan tanggungjawabnya dengan baik, kegiatan perencanaan
sektor pertambangan sama dengan sektor kehutanan, dan kebijakan dapat
dijalankan dengan baik oleh para pihak di lapangan. Faktanya, kesenjangan
(assumption gap) terjadi ketika dalam tataran implementasi asumsi tersebut justru
menjadi sumber persoalan bagi pelaksanaan di lapangan. Sehingga hampir semua
asumsi yang dibangun dalam kebijakan PKH tidak dapat dipenuhi.
Dalam proses implementasi kebijakan tidak terlepas dari peranan para
pihak (stakeholder). Hasil identifikasi menunjukkan bahwa terdapat lima belas
pihak yang terkait dengan implementasi kebijakan PKH, meskipun tidak semua
pihak yang teridentifkasi mempunyai kepentingan dan pengaruh dalam
implementasi kebijakan tersebut. Kementerian kehutanan menjadi pemangku
kepentigan utama sedangkan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH)
menjadi pemangku kepentingan kunci dalam implementasi kebijakan PKH.
Peranan keduanya menjadi tolok ukur keberhasilan implementasi kebijakan ini.
Berdasarkan analisis peranan terhadap para pihak, terdapat keseimbangan yang
cukup baik antara hak (rights), tanggungjawab (responsibilities) dan manfaat
(revenues) untuk masing-masing pemangku kepentingan. Sedangkan hubungan
169

(relationships) di antara pemangku kepentingan terjalin dalam berbagai tingkat,


dari bekerjasama sampai dengan adanya konflik.
Keberhasilan implementasi kebijakan salah satunya ditentukan oleh
berfungsinya institusi yang dibangun. Aturan main dijalankan dengan baik, para
pihak yang berkompeten dapat menjalankan peranannya sesuai dengan hak, tugas,
tanggungjawab serta mendapatkan manfaat yang diharapkan. Dalam proses
perumusan dan implementasi kebijakan PKH ini, kementerian kehutanan berusaha
membagi habis tugas dan tanggunjawabnya kepada para pemangku kepentingan
yang berkompeten baik di institusi pusat di daerah maupun institusi pemerintah
daerah. Namun, masih terdapat berbagai kendala dalam pelaksanaannya.
Keterbatasan sumberdaya manusia pelaksana, minimnya anggaran dan lemahnya
koordinasi, pengawasan dan penegakkan hukum yang lemah menjadi
permasalahan klasik dalam implementasi kebijakan. Keseimbangan peranan dan
hubungan yang dibangun oleh pemerintah tidak cukup membantu keberhasilan
implementasi kebijakan PKH ini.
Dalam hubungan antara pemerintah sebagai prinsipal (P) dan perusahaan
pertambangan yang telah memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH)
sebagai agen (A), perbedaan kepentingan dan tujuan antara P dan A menjadi
perhatian dan permasalahan utama dalam mengkaji hubungan P-A. Hubungan P-A
dalam implementasi kebijakan PKH mempunyai kekhasan tersendiri (berbeda
dengan pengetahuan teori keagenan pada umumnya), dimana inisiatif untuk
menjalin hubungan tersebut berasal dari A. Dalam hubungan tersebut juga tidak
melalui seleksi terhadap A (P hanya menerima siapa saja yang mengajukan
permohonan), penguasaan informasi oleh P, perilaku moral hazard yang
dilakukan oleh kedua belah pihak, dan belum adanya struktur insentif dalam
kebijakan tersebut.
Hasil empiris penelitian dengan analisis menggunakan telaahan teori
keagenan (agency theory) kebijakan PKH telah salah diimplementasikan dalam
pelaksanaannya, baik dalam hal pemilihan agen, bentuk dan isi kontrak, fungsi
kontrol, ketidaksepadanan informasi, struktur insentif, tingkat biaya transaksi, dan
pelanggaran terhadap aturan/kewajiban (moral hazard).
Dalam hal proses pemilihan terhadap A, P tidak dapat melakukan proses
pemilihan terhadap A. P hanya menerima dan melayani permohonan IPPKH dari
A. Dengan demikian P tidak mengetahui kinerja A sebelumnya. P dapat melihat
kinerja A selama proses pelaksanaan IPPKH. Langkah ini hanya berlaku bagi A
yang pernah memperoleh IPPKH dan akan mengajukan permohonan izin baru di
areal yang lain atau penambahan luas IPPKH pada areal yang sama. Sementara
untuk A yang belum pernah memperoleh IPPKH, seleksi hanya dapat dilakukan
dengan penelusuran dokumen perusahaan, kepemilikan saham, kapital perusahaan
maupun dokumen lainnya. Perusahaan dengan kapital besar dan/atau perusahaan
dengan izin dari pemerintah pusat (KK/PKP2B) mempunyai respon dan kinerja
yang lebih baik dalam implementasi kebijakan PKH.
Kontrak yang dirumuskan oleh pemerintah dalam IPPKH tidak lengkap
dan kontrol P sangat lemah. Dalam kontrak IPPKH tidak secara implisit
menjelaskan tentang sanksi pidana dan/atau denda bagi pelanggaran terhadap
IPPKH. Sanksi hanya berupa pencabutan IPPKH jika A tidak dapat memenuhi
kewajiban-kewajibannya selama implementasi IPPKH. P juga tidak menyebutkan
kewajibannya dalam melakukan kontrol terhadap A dan dalam pelaksanaannya
170

kontrol P terhadap A tersebut tidak efektif. Kontrak dalam IPPKH juga tidak
menyebutkan struktur insentif bagi agen yang berkinerja baik. IPPKH sebaiknya
disusun dengan kejelasan hak dan tanggungjawab, mekanisme kontrol,
konsekuensi dan penegakan hukum serta struktur insentif.
Lemahnya kontrol dalam proses implementasi kebijakan PKH
meningkatkan perilaku moral hazard. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan hutan,
fungsi kontrol justru tidak menjadi sebuah kewajiban bagi P. Fungsi kontrol
seharusnya ditingkatkan yang disertai dengan penegakkan hukum meskipun dalam
praktiknya akan mempunyai konsekuensi seperti: meningkatnya anggaran untuk
kegiatan supervisi, monitoring dan evaluasi serta ketersedaiaan sumber daya
manusia pelaksana. Fungsi kontrol dapat ditingkatkan dengan percepatan
pembangunan KPH. KPH diharapkan dapat meningkatkan kinerja institusi PKH,
yaitu: mengurangi kesenjangan informasi (asymmetric information), mengeliminir
terjadinya konflik di lapangan yang akan berdampak pada menurunnya biaya
transaksi bagi A.
Kejelasan dan ketepatan insentif bagi A sangat diperlukan. Dalam
implementasi kebijakan PKH terdapat kesenjangan yang cukup jauh antara
insentif yang diberikan oleh P dengan yang diinginkan oleh A. P sebenarnya
memberikan insentif kepada A berupa pengurangan pembayaran PNBP jika A
dapat melakukan reklamasi dan revetegetasi serta dapat mengembalikan kawasan
hutan sesuai dengan ketentuan. P menganggap bahwa dengan memberlakukan
kewajiban membayar PNBP dapat meningkatkan kinerja A, sedangkan A justru
lebih mementingkan kepastian usaha (meliputi: keamanan investasi dan usaha,
kepastian hukum, kepastian kawasan hutan dan keuntungan usaha serta kepastian
mendapatkan areal baru) di dalam kawasan hutan. Dengan demikian dalam
implementasi kebijakan PKH terjadi kesenjangan pemberian insentif kepada A
tersebut. Kesenjangan tersebut menyebabkan tujuan P memberikan instenif untuk
A tidak tercapai. Sementara A menginginkan adanya jaminan kenyamanan
berusaha selama masa pinjam pakai kawasan hutan tersebut.
Untuk itu perlu diambil kebijakan menaikkan tarif PNBP per satuan luas
IPPKH yang diharapkan dapat memacu A dengan kapital kecil dan komitmen
yang rendah untuk dapat meningkatkan kinerjanya. Sementara insentif berupa
kenyamanan berusaha akan berdampak pada menurunnya biaya transaksi yang
diakibatkan oleh penyelesaian konflik dengan A lain maupun dengan masyarakat.
Dalam proses implementasinya, kebijakan PKH juga menimbulkan
berbagai konflik. Tumpang tindih areal dan pengelolaan kawasan hutan
merupakan sumber konflik antara perusahaan tambang dan perusahaan kehutanan.
Konflik dapat dieliminr dengan merevisi IUPHHK-HA/HT sebagai konsekuensi
dari diterbitkannya IPPKH di dalam areal IUPHHK. Kejelasan status areal dan
pengelolaan kawasan hutan juga merupakan salah satu bentuk kenyamanan dalam
berusaha di dalam kawasan hutan. Permasalahan ganti rugi/biaya kompensasi
investasi kepada pemegang IUPHHK (A-hut) menjadi tanggungjawab pemegang
IPPKH (A-tamb). Namun, jika tidak terjadi kata sepakat diantara keduanya maka
tanggungjawab dilimpahkan kepada P untuk memediasi dan menyelesaikannya
sesuai peraturan yang berlaku. P dapat menggunakan lembaga/jasa penilai
asset/investasi untuk menentukan besaran ganti rugi investasi. Hasil penilaian
harus menjadi kesepakatan dan ditaati bersama.
171

Hubungan keagenan yang teridentifikasi dalam implementasi kebijakan


PKH bukan hanya hubungan antara P dan A saja, tetapi juga terjadi hubungan P-
hut (Kementerian Kehutanan) dan P-tamb (Kementerian ESDM) serta hubungan
A-hut dan A-tamb yang keduanya dalam bentuk kooperasi maupun konflik.
Hubungan konflik antara P-hut dan P-tamb disebabkan oleh perbedaan tujuan dan
motivasi dalam pengelolaan sumberdaya. Sedangkan hubungan konflik yang
terjadi antara A-hut dan A-tamb banyak disebabkan oleh ‗perebutan‘ hak atas
pengelolaan kawasan hutan. Konflik tersebut terjadi karena adanya tumpang
tindih izin dalam satu areal kawasan hutan yang sama, sementara P-hut tidak
secara jelas mengatur hak dan kewajiban A-hut pada kawasan hutan setelah
diterbitkannya IPPKH untuk A-tamb.
Perilaku moral hazard dilakukan oleh P-hut akibat penguasaan informasi
dan power yang dimilikinya. Perilaku tersebut dalam bentuk kolusi, gratifikasi
dan praktek percaloan. Sementara perilaku moral hazard dalam bentuk pemerasan
dan land trading dilakukan oleh A-hut ketika berkonflik dengan A-tamb. A-tamb
juga melakukan moral hazard yaitu pengingkaran terhadap kontrak yang telah
disepakati dengan P-hut. Pengingkaran kontrak yang dilakukan oleh A-tamb
berupa kawasan hutan yang telah menjadi lubang-lubang tambang yang
ditinggalkan oleh A-tamb baik di dalam maupun di luar konsesi A-hut dalam
kawasan hutan. A-tamb tidak melakukan reklamasi bekas tambangnya, apalagi
melakukan revegetasi dan mengembalikan kawasan hutan yang dipinjam pakai
kepada P-hut. Moral hazard ini merupakan risiko paling besar secara ekologi
yang harus diterima oleh P-hut sebagai akibat akumulasi dari kegagalan
implementasi kebijakan PKH.
Indikasi adanya praktik moral hazard yang dilakukan oleh prinsipal (P-
hut) dan agen (A-tamb) dalam implementasi kebijakan PKH pada dasarnya bukan
merupakan praktik yang dilakukan oleh P-hut sebagai sebuah institusi/lembaga
pemerintah, namun lebih pada praktik moral hazard yang dilakukan oleh
aparatnya. Sedangkan aparat Kementerian Kehutanan pada hakekatnya juga
merupakan agen dari Kementerian Kehutanan sebagai sebuah institusi pemerintah
yang diikat dengan kontrak dalam bentuk sumpah jabatan. Sehingga hubungan
antara P (Kementerian Kehutanan) dan A (pemegang IPPKH) dalam proses
implementasi kebijakan PKH adalah hubungan agen-agen yang sama-sama
terindikasi melakukan praktik moral hazard dalam implementasi kebijakan
tersebut.
Besarnya risiko yang ditanggung oleh pemerintah (negara) dan banyaknya
moral hazard baik yang dilakukan oleh P-hut, P-tamb, A-tamb maupun A-hut
merupakan penyimpangan dalam implementasi kebijakan PKH. Oleh karena itu
dipandang perlu untuk melakukan penundaan/penghentian sementara
(moratorium) terhadap pelaksanaan kebijakan PKH ini untuk menghindari
dampak ekologi (degradasi hutan) yang lebih besar. Penundaan IPPKH ini
dimaksudkan untuk memberikan ruang dan waktu bagi evaluasi secara
menyeluruh dan perbaikan kebijakan PKH menuju ke arah tata kelola kehutanan
yang baik.
Berdasarkan fakta empiris dan hasil analisis dalam penelitian ini maka
kebijakan PKH perlu diperbaiki dengan beberapa masukan antara lain:
1. Pemberlakuan insentif adanya kepastian hukum dan kepastian perluasan areal
pinjam pakai kawasan hutan bagi perusahaan dengan kinerja baik.
172

2. Peningkatan besaran tarif PNBP penggunaan kawasan hutan.


3. Pengenaan jaminan pemulihan lahan sebagai salah satu syarat dalam
permohonan IPPKH.
4. Mekanisme kontrol yang efektif, penerapan sangsi dan penegakan hukum.
5. Penyempurnaan isi kontrak.
Untuk mendukung implementasi kebijakan PKH di masa yang akan datang
maka perlu diupayakan percepatan pembangunan KPH dan perumusan kembali
Rancangan Undang-undang Sumber Daya Alam (RUU-SDA) dan tata
pemerintahan yang baik (good governance). KPH dapat mengurangi kesenjangan
informasi antara P dan A serta meningkatkan fungsi kontrol P terhadap A di ranah
tapak. Sedangkan RUU-SDA dimaksudkan untuk menjembatani perbedaan
tujuan antara sektor kehutanan dan pertambangan serta sebagai upaya pengaturan
pengelolaan SDA secara terpadu.

Simpulan

Meskipun proses perumusan dan perbaikan kebijakan penggunaan


kawasan hutan telah dilakukan dalam arentang waktu yang cukup lama serta telah
diimplementasikan dengan keseimbangan peranan para pihak yang
berkepentingan, namun hal itu tidak menjamin keberhasilan pelaksanaan
kebijakan tersebut. Dalam hubungan keagenan (principal-agent), perbedaan
kepentingan/tujuan antara pemerintah sebagai prinsipal dan pemegang izin pinjam
pakai kawasan hutan sebagai agen menjadi salah satu penyebab kegagalan
implementasi tersebut. Penyebab lainnya adalah ketidaksempurnaan kontrak (izin
pinjam pakai kawasan hutan), rendahnya komitmen agent, belum adanya struktur
insentif yang sesuai, tingginya biaya transaksi, lemahnya kontrol dan penegakan
hukum dari pemerintah serta terjadinya moral hazard yang dilakukan oleh
pemerintah maupun perusahaan petambangan. Pemerintah hanya menjalankan
fungsinya sebagai prinsipal hanyapada saat merumuskan kontrak atau
mengeluarkan izin pinjam pakai kawasan hutan. Sementara peranan lain
pemerintah sebagai prinsipal tidak dijalankan dengan baik.
Banyaknya ketidaksesuaian dalam implementasi dan penyimpangan yang
terjadi, maka dipandang perlu untuk menunda atau menghentikan sementara
(moratorium) implementasi kebijakan penggunaan kawasan hutan untuk
mengurangi degradasi hutan serta memberikan waktu untuk perbaikan kebijakan
pengggunaan kawasan hutan.
Secara umum, agency theory sebagai salah satu pendekatan dalam ranah
ilmu kelembagaan merupakan alat analisis yang sederhana dan relatif mudah
diaplikasikan untuk mengurai permasalahan hubungan transfer of right antara
pemerintah sebagai prinsipal dengan perusahaan-perusahaan pada sektor-nya
masing-masing sebagai agen yang dihubungkan dengan kontrak/izin yang
disepakati kedua pihak. Penggunaan agency theory dalam kajian kebijakan
memudahkan dalam menganalisis hubungan, peranan, tanggungjawab, perilaku,
risiko dan prediksi hasil (outcome) yang akan diperoleh. Sehingga dalam proses
implementasi kebijakan, prinsipal mempunyai kesempatan untuk melakukan
upaya-upaya pembenahan terhadap kebijakan untuk meningkatkan kinerja
kelembagaan.
173

DAFTAR PUSTAKA

Abbas R. 2005. Mekanisme perencanaan partisipasi stakeholder Taman Nasional


Gunung Rinjani [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Abdullah S, Asmara JA. 2007. Perilaku oportunistuk legislatif dalam
penganggaran daerah: bukti empiris atas aplikasi agency theory di sektor
publik. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia Edisi I.
Ackere AV. 1993. The principal/agent paradigm: Its relevance to various
functional fields. European Journal of Operational Research 70: 83-103

Adler PA, Adler P. 2009. Teknik-teknik Obeservasi. Dalam Denzin NK, Lincoln
YS. Handbook of Qualitative Research, Secon Edition. California: Sage
Publication. Dariyanto, Badrus SF, Abi, John R, Penerjemah. Yogyakarta;
Penerbit Pustaka Pelajar. Terjemahan dari: Handbook of Qualitative
Research
Agusta I. 1997. Response komunitas terhadap industrialisasi desa (Studi kasus di
Desa Kedungombo, Kecamatan Kaliwungu,Kabupaten Kudus, Propinsi
Jawa Tengah) [tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana IPB
Agroindonesia. 2014 Februari 11-17. Sebelas Titik Rawan Korupsi Kemenhut.
Agroindonesia. Rubrik Kehutanan Halaman 13, 11(484) Kol 1-4
Agroindonesia. 2012 September 18-24. Kemenhut bebas dari korupsi.
Agroindonesia. Rubrik Kehutanan Halaman 09, 7(416) Kol 1-4
Akerlof GA. 1986. The Market for ‖Lemons‖ : Quality Uncertainty and the
Market Mechanism. Di dalam Barney, JB, Ouchi, WG. editors. 1986.
Organizational Economics. California (USA): Jossey-Bass Inc.
Publication.
Andvig JC, Fjeldstad OH, Amundsen I, Sissener T, Søreide T. 2001. Corruption a
review of contemporary research. Chr. Michelsen Institute Development
Studies and Human Rights Report R 2001: 7
Aspinall C. 2001. Small-scale mining in Indonesia. Mining, Minerals, and
Sustainable Development No. 79 (September).
Awang SA. 2000. Dinamika proses RUU Kehutanan: (Disparitas cita dan fakta) .
Jurnal PSDA 1(1):13-17

Baginski OS, Soussan G. 2002. A methodology for policy process analysis.


Livelihood-Policy Relationships in South Asia. Working Paper 9.
Departemen for International Development. Oliver Springate.
Bergman M, Lane JE. 1990. Public Policy in a Principal-Agent Framework.
Journal of Theoretical Politics 2(3):339-352
Blumer H. 1992. Symbolic Interaction. Dalam Spadley JP. Cultural and
Cognition,.San Fransisco: Chandler Publisihing Company.
174

Bryson JM. 2004. What to Do When Stakeholders Matter: A Guide to Stakeholder


Identification and Analysis Techniques. Public Management Review 6(1):
21-53
Buckles, Daniel. 1999. Cultivating Peace: Conflict and collaboration in natural
resource management. International Development Research Centre
(IDRC) – Ottawa, Canada.
Bungin B. 2009. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,
dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup
Calhoun MA. 2007. An agency assessment if host country employee goal
misalignment and information asymmetry. International Business
Reseacrh Teaching and Practice 1(1):1-15
Colombatto E. 2001. Discretionary power, rent-seeking and corruption.
International Centre for Economic Research Working Paper. University di
Torino & ICER
Cooley A, Ron J. 2002. The NGO Scramble: Organizational Insecurity and the
Political Economy of Transnational Action. International Security 27
(1):5-39.
Cousins K. 2006. Principals, agents, and public goods: Information and structural
complexity in policy implementation systems. Paper. Prepared for the 47th
Annual International Studies Association Meeting. March 22-25, 2006.
San Diego, California. Department of Government and Politics. University
of Maryland
Creswell JW. 2002. Desain penelitian: Pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
Angkatan III dan IV KIK-UI dan Nur Khabibah, penerjemah. Budiman A,
Bambang H dan Chryshnada DL, editor. Jakarta (ID): KIK Pr.
Crosby BL. 1991. Stakeholders analysis: A vital tool for strategic managers.
Technical Notes, No. 2. Agency for International Development,
Washington DC.
Daniels S.E. and Walker, G.B. 2001. Working through environmental conflict:
The collaborative learning approach. Praeger Publishers, Westport,
Connecticut.
Darusman D, 2002. Masalah property right dalam pemanfaatan sumberdaya alam
hutan di Indonesia. Dalam Darusman D. Pembendahan kehutanan
Indonesia. Bogor. Laboratorium Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan Yayasan Dani Hanifah
Dewar JA, Builder Carl HB, William MH and Morlie HL. 1993. Assumption
Based Planning: A Planning Tool for Very Uncertain Times. United
States. RAND
Dewar JA. 2002. Assumption-Based Planning : A Tool for Reducing Avoidable
Surprise. Cambridge: Cambriddge University Press.
Diamond J. 2005. Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed. London:
Penguin Books.
175

Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan. 2014. Data dan Informasi Penggunaan


Kawasan Hutan 2013. Jakarta. Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan.
Direktorat Jenderal Planologi. Kementerian Kehutanan
Dixit A, Grossman G, Helpman E. 1997. Common agency and coordination:
general theory and application to government policy making. Journal of
Political Economy 105 (4):752-69
Djajapertjunda S, Djamhuri E, 2013. Hutan dan kehutanan Indonesia dari masa
ke masa. Bogor (ID). IPB Pr.
Djuwita F, Tjiptoherijanto P, Haeruman H, Djajadiningrat T. 2013. Sustainable
Development Models Of Plantation Forest With Coal Mine In The Forest
Production. International Journal of Engineering Research & Technology
(IJERT) 2(5):585-598
Djuwita F. 2013. Model pembangunan berkelanjutan hutan tanaman dengan
tambang batubara di kawasan uhtan produksi (Kajian Pengusahaan Hutan
Tanaman dengan Tambang Batubara di Areal Kerja IUPHHK-HT PT.
Sumalindo Hutani Jaya II, Provinsi Kalimantan Timur) [disertasi]. Jakarta
(ID). Program Studi Ilmu Lingkungan. Program Pascasarjana Universitas
Indonesia
Downs A. 1997. An economic theory of democracy. New York: Addison Wesley.
Dubois O. 1998. Capacity to manage role changes in forestry. International
Institute for Environment and Development (IIED). London.
Dunn WN. 2003. Pengantar analisis kebijakan publik edisi kedua. Wibawa S,
Asitadani D, Hadna AH, Purwanto EA, penerjemah: Darwin M, editor.
Yogyakarta: Gajahmada University Press. Terjemahan dari Public Policy
Analysis: An Introduction.
Dye TR. 1995. Understanding publik policy. New Jersey: Prentice Hall
Eisenhardt, K. 1989. Agency theory: an assesment and review. Academy of
Management Review 14:57-74.
Ekanayake S. 2004. Agency theory, national culture and management control
system. Cambridge. Journal of American Academy of Business 4:49-54
Ekawati S. 2012. Analisis Proses Pembuatan dan Implementasi Kebiajakan
Desentralisasi Pengelolaan Hutan Lindung (Studi Kasus di Tiga
Kabupaten dalam DAS Batanghari) [disertasi]. Bogor (ID); Sekolah
Pascasarjama, Institut Pertanian Bogor.
Ekowati MRL. 2009. Perencanaan, implementasi dan evaluasi kebiajakan atau
program: suatu kajian teoritis dan praktis. Jakarta. Pustaka Cakra
Ellsworth L. 2002. A Place in The World: Tenure Security and Community
Livelihoods, a Literature Review. Forest Trends and Ford Foundation

Eriyatno. Sofyar F. 2007. Riset Kebijakan: Metode Penelitian untuk


Pascasarjana. Bogor (ID): IPB Press.
176

Erman, E. 2007. Rethinking Legal and Illegal Economy: a Case Study of Tin
Mining in Bangka Island. http://globetrotter.berkeley.edu/GreenGovernance/
papers/Erman2007.pdf. Diunduh pada 22 Mei 2008.
Erman E. 2005. ―Illegal Coalmining in West Sumatra: Access and Actors in the Post-
Soeharto Era,‖ in The Politics and Economics of Indonesia’s Natural Resources,.
Resosudarmo BP (Editor). Singapore. Institute of Southeast Asian Studies.
FAO. 2002. Land tenure and rural development. Roma

Fontana A, Frey JH. 2009. Wawancara Seni Ilmu Pengetahuan. Dalam Denzin
NK, Lincoln YS. Handbook of Qualitative Research, Secon Edition.
California: Sage Publication. Dariyanto, Badrus SF, Abi, John R,
Penerjemah. Yogyakarta; Penerbit Pustaka Pelajar. Terjemahan dari:
Handbook of Qualitative Research

Fox G. 2007. The Real Coase Theorems. Cato Journal 27 (3), Hlm 373-396.
Freeman RE. 1984. Strategic management: a stakeholders approach. Cambridge:
Ballinger.
Gibbons R. 1998. Incentives in organizations. The Journal of Economic Perspectives
12(4 ):115–132.
Gibbons R. 2005. Incentives between firms (and within). Management Science
51(1):2–17.
Gilardi, F. 2001. P-A models go to Europe: Independent regulatory agencies as
ultimate step of delegation. Paper presented at the ECPR General
Conference, Canterbury (UK), 6-8 September 2001.
Golder B, Gawler M. 2005. Cross-cutting tool stakeholder analysis. Resources for
implementing the WWF standards. World Wide Fund.
Grimble R, Wellard K. 1997. Stakeholder methodologies in natural resource
management: a review of principles, context, experiences and
opportunities. Agricultural System 55(2): 173-193
Grimble R, Chan MK, Aglionby J, Quan J. (Tanpa Tahun). Trees and trade-offs:
A stakeholder approach to natural resource management. International
Institute for Environment and Development (IIED). Gatekeeper Series No
52
Grindle MS. 1980. Politics and policy implementation in third world. New Jersey:
Princeton University Press
Groehendijk, Nico. 1997. A P-A model of corruption. Crime, Law & Social
Change 27: 207-229

Guba EG, Lincoln YS. 2009. Berbagai Paradigma yang Bersaing dalam Penelitian
Kualitatif. Dalam Denzin NK, Lincoln YS. Handbook of Qualitative
Research, Secon Edition. California: Sage Publication. Dariyanto, Badrus
SF, Abi, John R, Penerjemah. Yogyakarta; Penerbit Pustaka Pelajar.
Terjemahan dari: Handbook of Qualitative Research
177

Guston DH. 2003. P-A theory and the structure of science policy, revisited:
science in policy and the US report on Carcinogens. Science and Public
Ploicy 30(5):347-357
Halim A, Abdullah S. 2006. Hubungan dan masalah keagenan di Pemerintah
Daerah. Jurnal Akuntasi Pemerintah 2(1):53-64
Hamzah, H. 2005. Dampak kegiatan pertambangan terhadap pengembangan
wilayah: Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur Propinsi
Kalimantan Timur [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Hardin D. 1968. The Tragedy of the commons. Science 162:1243-1248
Hero Y. 2012. Peran Kelembagaan dalam Proses Pembuatan Kebijakan
Pengelolaan Hutan Pendidikan Gunung Walat Berdasarkan Pendekatan
Diskursus dan Sejarah [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Hart O. 1989. An Economist's perspective on the theory of the firm. Columbia
Law Review 89(7):1757-1774
Hasanbasri M. 2012. Maksimasi, free rider dan kegagalan implementasi
kebijakan. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia 1(3):121-124
Hechter M, Kanazawa S. 1997. Sociological Rational Choice Theory. Annual
Review of Sociology 23:191–214.
Heriawan R. 2004. Informal Sector Statistics and Supporting Surveys: Indonesian
Experience. Paper presented at the 7th Meeting of the Expert Group of
Informal Sector Statistics (Delhi Group), February 2–4, 2004, New Delhi,
available at http://mospi.nic.in/rusman_heriawan_a.htm; accessed 22
Pebruari 2014.
Hidayat H. 2008. Politik lingkungan: Pengelolaan hutan masa orde baru dan
reformasi. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

[IDS] Intitute of Development Studies. 2006. Understanding policy process: A


review of IDS reseach on the environment. University of Sussex. United
Kingdom. 47p.
[IIED] International Institute for Environment and Development. 2005. The four
Rs. International Institute for Environment and Development (IIED).
London
Jensen M, Meckling W. 1976. Theory of the firm: managerial behaviour, agency
cost, and ownership structure. Jurnal of Financial Economics 3(4):305-
360.
Jiang Y, Peng MW. 2010. Principal-principal conflicts during crisis. Asia Pacific
Journal of Management, Forthcoming:1-13.
Kahle MIM. 2010. What is influencing financially driven shareholder activism in
the US and the UK-P-A or principal-principal problem? [dissertasion].
Massachusetts: Faculty of Old Dominion University. University of
Massachusetts. Amherst
178

Kangas A, Laukkanen S, Kangas J. 2006. Social choice theory and its


applications in sustainable forest management-a review. Forest Policy
and Economics 9: 77– 92
Kartodirdjo S. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta
(ID): PT Gramedia Pustaka Utama.
Kartodihardjo H. 2005 Juli 11. Nasib tambang di hutan lindung. Kompas. Rubrik
Opini
Kartodihardjo H, Jhamtani H. 2006. Politik lingkungan dan kekuasaan di
Indonesia. Jakarta Singapore: Equinox Publishing.
Kartodihardjo H. 2006a. Masalah kapasitas kelembagaan dan arah kebijakan
kehutanan : studi tiga kasus. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 12(3):14-
25
Kartodihardjo H. 2006b. Ekonomi dan insttitusi pengelolaan hutan: Telaah lanjut
analisis kebijakan usaha kehutanan. Bogor (ID): Penerbit Institute for
Deveopment Economics of Agriculture and Rural Areas (IDEALS)
Kartodihardjo H. 2008a. Diskursus dan aktor dalam pembuatan dan implementasi
kebijakan kehutanan: masalah kerangka pendekatan rasional. Jurnal
Manajemen Hutan Tropika 14(1):19-27
Kartodihardjo H. 2008b. Dibalik kerusakan hutan dan bencana alam : masalah
transformasi kebijakan kehutanan. Tangerang (ID): Penerbit Wana Aksara
Khan A, Gunawan AB, Smajgl A. 2010. Impacts of non-forestry policy on
deforestation and poverty in East Kalimantan: An agent-based analysis.
Tropical Forest Management Journal 16(1):41-52
Kiewiet DR, McCubbins MD. 1991. The logic of delegation: Congressional
parties and the appropriations process. Chicago: University of Chicago Pr
Krauss M, Nake F, Grabowski S. 2001. Chinese Whispers. Semiotically
Mediating Between Idea and Program. Paper read at IEEE 2001 Symposia
on Human Centric Computing Languages and Environments, at Stresa,
Italy.
Kusdamayanti. 2008. Peran masyarakat dalam penyusuanan kebijakan pola
kemitraan pengelolaan hutan di Kaputanen Malang. Jurnal Penelitian
Sosial dan Ekonomi Kehutanan 5(2):111-124
Kusumedi P, Rizal A. 2010. Analisis stakeholder dan kebijakan pembangunan
KPH model Maros di Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Analisis
Kebijakan Kehutanan 7(3):179-193.
Laffont JJ. 1994. The New Economics of Regulation Ten Years After.
Econometrica 62(3):507-537.
Laffont JJ, Martimort D. 2001. The theory of incentives I: the P-A model.
Princeton University Press
Lane JE. 2013. The principal-agent approach to politics: policy implementation
and public policy-making. Open Journal of Political Sciencel 3(2): 85-89
179

Latifah, Nurul P. 2010. Adakah Perilaku Oportunistik dalam Aplikasi Agency


Theory di Sektor Publik. Semarang: Jurnal Fokus Ekonomi STIE Pelita
Nusantara 5(2)

Legrain A, Auwers T. 2006. The P-A Model and The Network Theory as
Framework for Administrative Procedures Social Security in Belgium.
EGPA conference ―Public Manager Under Pressure: Between Politics,
Professionalism and Civil Society‖, Milan, September 6-9, 2006 (Study
group VI : Governance of Public Sector Organizations).

Madhok A. 2002. Reassessing the fundamentals and beyond: Ronald Coase, the
transaction cost and resourcebased theories of the firm and the institutional
structure of production. Strategic Management Journal 23:535-50.
Magin G, Marijnissen C, Moniaga S, Meek C. 2001. Forests of fear. The abuse of
human rights in forest conflicts. Smith JW, editor. Fern, Brussels
Malanuang, L. 2002. Analisis Dampak Ekonomi dan Sosial Tambang Emas dan
Tembaga bagi masyarakat komunal dan pembangunan wilayah Provinsi
NTB (Studi kasus proyek batu hijau PT. Newmont Nusa Tenggara di
Kabupaten Sumbawa) [thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Marwa J, Purnomo H, Nurrochmat DR. 2010. Managing the last frontier of
Indonesian forests in Papua. Bogor. AKECOP Korea & IPB.
Maskin ES. 2001. Roy Radner and Incentive Theory. Review of Economic Design
6:311-324.
Matland RE. 1995. Synthesizing the implementation literature: The ambiguity-
conflict model of policy implementation. Journal of Public Administration
Research and Theory 5(2):145-174

Mazmanian DH, Sabatier PA. 1980. The implementing of public policy: a


framework of analysis. Paper of Symposium on Succesfull Policy
Implementation. Policy Studies Journal 8(4):535-651

McCracken JR, Narayan D. 1998. Participation and Social Assessment: Tools


and Techniques. Washington DC. The International Bank for
Reconstruction and Development.

Mitroff II, Emshoff JR. 1979. On strategic assumption-making: a dialectical


approach to policy planning. Academy of Management. The Academy of
Management Review 4 (1); 1-12
Moleong, RJ. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Mulyaningrum. 2013. Tinjaun kritis kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat:
Kasus di Kabupaten Lampung Tengah, Konawe Selatan, Buleleng dan
Kulonprogo [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor
180

Murdiyarso D, Dewi S, Lawrence D, Seymour, F. 2011 Moratorium hutan


Indonesia: Batu loncatan untuk memperbaiki tata kelola hutan? Working
paper 77. Murdiyarso D, Dewi S, Lawrence D, Seymour F, penerjemah.
Diterjemahkan dari: Indonesia’s forest moratorium: a stepping stone to
better forest governance? Working paper 76. Bogor. CIFOR.
Murphy DNP. 2007. Product reliability and warranty: an overview and future
research. Produção 17(3):426-434
Nawira AA, Murniati dan Rumboko L. 2008. Reorientasi program rehabilitasi di
Indonesia: akan ke manakah arahnya setelah lebih dari tiga dasawarsa?
Dalam Nawira AA, Murniati dan Rumboko L, editor. Rehabilitasi hutan di
Indonesia Akan kemanakah arahnya setelah lebih dari tiga dasawarsa?
Bogor, Indonesia: Center for International Forestry Research (CIFOR)
Ngadiono. 2004. Tiga puluh lima tahun pengelolaan hutan Indonesia: Refleksi
dan Prospek. Bogor. Yayasan Adi Sanggoro.
Nielson DL, Tierney MJ. 2003. Delegation to International Organizations: Agency
Theory and World Bank Environmental Reform. International
Organization 57:241-276.

Nugroho B. 2003. Kajian institusi pelibatan usaha kecil menengah iIndustri


pemanenan hutan untuk mendukung pengelolaan hutan produksi lestari
[disertasi]. Bogor (ID): Program Pasca Sarjana Fakultas Kehutanan.
Institut Pertanian Bogor,
Nugroho R. 2009. Public Policy: Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan,
Manajemen Kebijakan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok
Gramedia
Nurrochmat DR, 2005. Strategi pengelolaan hutan: upaya menyelamatkan rimba
yang tersisa. Yogyakarta. Penerbit Pustaka Pelajar.
Nurrochmat DR, Purwandari H. 2006. Politik Desentralisasi Pemerintahan Desa.
Bogor. Kemitraan UNDP-PSP3 IPB.
Nurrochmat DR, Krott M, Birner R. 2006. Decentralization policy and the
struggle for authority over forest resources in Tebo Regency, Jambi.
Tropical Forest Management Journal 12(2):27-35
Nurrochmat DR, Hasan MF, Suharjito D, Hadianto A, Ekayani M, Sudarmalik,
Purwawangsa H, Mustaghfirin, Ryandi ED. 2012. Dalam: Nurrochmat &
Hasan (Ed.). Ekonomi Politik Kehutanan. Mengurai Mitos dan Fakta
Pengelolaan Hutan. Cetakan Kedua (Revisi). Jakarta. INDEF.
Olson M. 1965. The logic of collective action: Public goods and the theory of
groups. Cambridge MA. Harvard University Press.
Ostrom E. 1990. Governing the Commons: The Evolution of Institutions for
Collective Action. Cambridge: Cambridge University Press
Ostrom E, Schroeder L, Wynne S. 1993. Institustional incentives and sustainable
development. USA. Westview Press. Colorado
Peluso NL, Ribot JC. 2003. A Theory of Access. Rural Sociology 68(2):153-181
181

Peters GB. 2000. Institutional theory: problems and prospects. Vienna: University
of Pittsburgh.

Peters GB, Piere J, and King D. 2005. The politics of path dependency: political
conflict in historical institutionalism. The Journal of Politics 67 (4), pp.
1275–1300.
Petrie M. 2002. A framework for public sector performance contracting. OECD
Journal on Budgeting 2:117-153

Pomeroy R, Guieb RR. 2006. Fishery Co-Management. A Practical Handbook.


Cambridge, MA: CABI Publishing and Ottawa: International
Development Research Centre; 2006

Pomeroy R, Fanny D. 2008. The engagement of stakeholders in the marine spatial


planning process. Marine Policy 32: 816– 822

Pratiwi S. 2008. Model Pengembangan Institusi Ekowisata untuk Penyelsaian


Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak [tesis]. Bogor (ID):
Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor

Qomariah R. 2003. Dampak kegiatan pertambangan tanpa izin (PETI) batubara


terhadap kualitas sumberdaya lahan dan sosial ekonomi masyarakat di
Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan [tesis]. Bogor (ID):
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rajan MV, Saouma RE. 2006. Optimal information asymmetry. The Accounting
Review 81(3):677–712.
Reed MS, Graves A, Dandy N, Posthumus H, Hubacek K, Morris J, Prell C,
Quinn CH, Stringer LC. 2009. Who‘s in and why ? A typology of
stakeholder analysis methods for natural resource management. Journal of
Environmental Management 90; 1933-1949
Regmi AR. 2007. The role of group heterogeneity in collective action: a look at
the intertie between irrigation and forest. Case studies from Chitwan,
Nepal. Indiana: School of Public and Environmental Affairs And the
Department of Political Science, Indiana University.
Resosudarmo BP, Resosudarmo IAP, Sarosa W, Subiman N.2009. Sosioeconomic
conflicts in Indonesia‘s mining industry. Cronin R, Pandya A, editor.
Exploiting natural resources: growth, instability, and conflict in the
Middle East and Asia. The Henry L Stimson Center. Pragmatic Steps for
Global Security
Ritzer G, Goodman DJ. 2007. Teori Sosiologi Modern. Alimandan, penerjemah.
Jakarta: Penerbit Kencana. Terjemahan dari Modern sosiological theory
Rogers EM. 1983. Diffusion of innovation. New York: The Free Pr. A Division of
Macmillan Publishing Co, Inc.
Roslinda E, Darusman D, Suhardjito D, Nurrochmat DR. 2012. Stakeholders
Analysis on the Management of Danau Sentarum National Park Kapuas
182

Hulu Regency, West Kalimantan. Tropical Forest Management Journal 18


(2):78–85
Ross SA. 1973. The economic theory of agency: The principal‘s problem.
American Economic Review 63(2):134-139
Rungtusanatham M., Rabinovich E., Ashenbaum B, Wallin C. 2007. Vendor-
Owned Inventory Management Arrangements in Retail: An Agency
Theory Perspective. Journal of Business Logistics 28(1):111-135.
Rusli Y. 2008. Penjelasan PP No. 2 Tahun 2008. Laporan utama. Majalah
Kehutanan Indonesia 2:8-9
Salam MA, Noguchi T. 2006. Evaluating capacity development for participatory
forest management in Bangladesh‘s Sal forests based on ‗4Rs‘ stakeholder
analysis. Forest Policy and Economics 8:785–796.
Salim. 2003. Dasar-dasar hukum kehutanan. Jakarta. Sinar Grafika
Sarwoko H. 2010. Analisis Hubungan antara Prinsipal dan Agen pada Perguruan
Muhammadiyah di Jakarta [disertasi]. Jakarta (ID): Fakultasi Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik. Program Pascasarjana. Universitas Indonesia

Satori D, Komariah A. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit


Alfabeta
Schlager E, Ostrom E. 1992. Property Rights Regimes and Natural Resources: A
Conseptual Analysis. Land Economics 68(3):249-262

Schmeer K. 2000. Stakeholder analysis guidelines in Policy Toolkit for


Strengthening Health Sector Reform, Abt Associates, Inc., Bethesda, MD
Septian A, Febiana F, Pramono. 2011 Juli 3. Dua tangan Pak Menteri. Majalah
Tempo. Laporan Utama: Rezeki hitam politikus PAN. Hal 32-33
Setiawan B. 2014 Maret 3. Mengentalnya primordialisme. Kompas. Rubrik Politik
dan Hukum: 5 (kol 1-5)
Setyaningsih B. 2009. Kebijakan pemberantasan illegal logging untuk
perlindungan sumberdaya hutan di Indonesia [disertasi]. Bogor (ID):
Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor
Shaffer JD. 1980. Food system organization and performance: Toward a
conceptual framework. American Journal Agriculturral Economic 310-
318
Simon, H. 2000. Kilas balik sejarah tentang peraturan kehutanan. Jurnal PSDA
1(1):1-12
Sodikin A. 2003 Juni 13. Kalsel Dihidupi Batubara Illegal. Kompas. Di akses
https://groups.yahoo.com/neo/groups/beritalingkungan/conversations/topics/5084
pada tanggal 22 Pebruari 2014.

Stake RE. 2009. Studi Kasus. Dalam Denzin NK, Lincoln YS. Handbook of
Qualitative Research, Secon Edition. California: Sage Publication.
183

Dariyanto, Badrus SF, Abi, John R, Penerjemah. Yogyakarta; Penerbit


Pustaka Pelajar. Terjemahan dari: Handbook of Qualitative Research

Steinmo S. 2008. What is historical institutionalism?. Cambridge: Cambridge


University Pr.
Sugiyono A. 2004. Perubahan paradigma kebijakan energi menuju pembangunan
yang berkelanjutan. Makalah dipresentasikan pada Seminar Akademik
Tahunan Ekonomi I. Jakarta (ID): Pascasarjana FEUI & ISEI, tanggal 8-9
Desember 2004.
Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung; Penerbit Alfabet

Sutrisno A. 2011. Pengembangan Institusi Pemulihan Fungsi Hutan Lindung


Pulau Tarakan Sebagai Penyangga Ekosisten Pulau Kecil [disertasi].
Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor
Su Y, Xu D, Phan PH. 2008. Principal-principal conflict in the governance of the
Chineses public corporation. Management and organization review 4(1):
17-38
Subiman NL, Resosudarmo BP. 2010. Tambang untuk kesejahteraan rakyat:
Konflik dan usaha penyelesaiannya. Azis IJ, Napitupulu LM, Patunru AA,
Resosudarmo BP, editor. Pembangunan berkelanjutan: peran dan
kontribusi Emil Salim. Jakarta (ID): Kepustakaan Populer Gramedia.
Sunarto. 2009. Teori Keagenan dan Manajemen Laba. Kajian Akuntansi 1(1):13–
28
Sutton, R. 1999. The policy proccess: An overview. Working paper 118. Overseas
Development Institute. Portland House Stag Place, Chameleon Press Ltd..
London. 35 hlm
Tekwe T, Percy F. 2001. The 4Rs: a Valuable tool for management and benefits
sharing decisions for the Bimbia Bonadikombo Forest, Cameroon. Rural
Development Forestry Network. Network Paper 25h July 2001:17-27
Thorms CA, Karna BK, Karmacharya MB. 2006. Limitations of leasehold forest
for poverty alleviation in Nepal. Society and Natural Resources 19:951-
958
Verhagen J. 2006. WASPA guidance note 2: Stakeholder analysis. IRC
International Water and Sanitation Centre. Wastewater Agriculture and
Sanitation for Poverty Alleviation. Diakses di http://www.iwmi.cgiar.org/
pada tanggal 21 Mei 2012.
Wagley M, Ojha H. 2002. Analyzing participatory trends in Nepal‘s community
forestry. Policy Trend Report: 122-142
Walker GB, Daniels SE. 1997. Foundation of natural resource conflict: Conflict
theory and public policy. Solberg B dan Mina, editor. Conflict
management and participation in land management, 7-36. European
Forestry Institutes Proceedings No. 14. Joensuu. Finland.
184

Waterman RW, Meier KJ. 1998. P-A Models: An Expansion? Journal of Public
Administration Research and Theory 8 (2):173-202.
Wittmer H, Birner R. 2005. Between conservationism, eco-populism and
developmentalism discourses in biodiversity policy in Thailand and
Indonesia. International Food Policy Research Institute. CAPRi Working
Paper 37: 1-27
Wondolleck, J. 1998. Public lands conflict and resolution: managing national
forest disputes. Plenum Press, New York.
Worsham J. 2003. Multiple principals, multiple signals: A signaling model of P-A
relations. Paper Read at Meeting of the National Public Management
Research Conference October 9-11, 2003. Georgetown University.
Wulan YC, Yasmi Y, Purba C, Wollenberg E. 2004a. Konflik kehutanan di
Indonesia sebelum dan sesudah reformasi. Warta kebijakan. Bogor. Center
for International Forestry Research
_________, Yasmi Y, Purba C, Wollenberg E. 2004b. Analisa konflik sektor
kehutanan di Indonesia 1997-2003. Bogor. Center for International
Forestry Research
Yasmi Y, Kelley L, Enters T. 2010. Forest conflict in Asia and the role of
collective action in its management. Presented at Research Workshop on
International workshop on Collective Action, Property Rigths, and
Conflict in Naturl Resources Management on June 28th-July 1st, Siem
Reap-Cambodia. Collective Action and Property Rights. CAPRI Working
Paper No. 102
Yasmi Y, Anshari GZ, Alqadrie S, Budiarto T, Abidin NE, Komarudin H,
McGrath S, Zulkifli, Afifudin. 2005. Kompleksitas pengelolaan
sumberdaya hutan di Era Otonomi Daerah Studi Kasus di Kabupaten
Sintang, Kalimantan Barat. Bogor. Center for International Forestry
Research.
Yusra S, Septian A, Febiana F. 2011 Juli 3. Matahari di atas Manggala. Majalah
Tempo. Laporan Utama: Rezeki hitam politikus PAN. Hal 26-30
Yustika AE. 2006. Ekonomi Kelembagaan; Definisi, Teori dan Strategi.
Bayumedia Publishing. Malang
Zulkarnain I, Erman E, Pudjiastuti TN, Mulyaningsih Y. 2005. Konflik di
Kawasan Pertambangan Timah Bangka Belitung: Persoalan dan
Alternatif Solusi. Jakarta. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
185

Lampiran 1

KUESIONER
PAKAR-BIROKRAT-PERUMUS KEBIJAKAN

Daftar pertanyaan ini hanya merupakan panduan, tidak untuk diberikan kepada
informan/narasumber/responden

PERUMUSAN KEBIJAKAN

Tonggak kunci kebijakan.

1. Kapan pertama kali terminologi PKH digulirkan?


2. Apa tujuan dirumuskannya kebijakan PKH?
3. Apakah ada/kapan tonggak kunci/penting dalam perkembangan kebijakan PKH
hingga saat ini ?
4. Perubahan-perubahan apa yang signifikan, atas dasar petimbangan/alasan apa dan apa
tujuannya?
5. Bagaimana perkembangan kebijakan PKH terkait dengan tujuan awal tersebut?
(Apakah telah sesuai dengan tujuan/mencapai tujuan yang diharapkan, adakah
penyimpangan, atau adakah perubahan/ perkembangan tujuan kebijakan?)

Konteks Politik dan Pemerintahan.

1. Bagaimana situasi politik pada saat perumusan kebijakan PKH?


2. Apakah ada tekanan politik dalam proses perumusan kebijakan PKH?
3. Bagaimana situasi pemerintahan saat perumusan kebijakan PKH?
4. Apakah situasi pemerintahan saat itu mendukung dirumuskannya kebijakan PKH?
5. Apa strategi implementasi dan antisipasi pemerintah jika terjadi penyimpangan dalam
pelaksanaannya?

Isu Kunci Kebijakan.

- Apa masalah utama yang melatarbelakaangi/mendasari dirumuskannya kebijakan


PKH?  Problem oriented (Politik, sosial, ekonomi, ekologi/lingkungan)
- Apakah ada fakta-fakta yang mendukung alasan dirumuskannya kebijakan PKH?
(Politis, rasional, normatif, administratif)
- Apakah kebijakan PKH menjawab atau menyelesaikan permasalahan tersebut?
(sekedar menyelesaikan masalah, memperbaiki situasi atau bahkan menjadi lebih
buruk?)
- Bagaimana seharusnya permasalahan tersebut diselesaikan?
- Apakah memerlukan prasyarat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut?
- Apakah ada model sebab-akibat dari proses perumusan kebijakan PKH? (misalkan
jika dilakukan A maka akan B).
- Bagaimana kita mengetahuinya?
- Apakah kebijakan PKH merupakan akibat atau jawaban dari adanya sebab (pesoalan)
pengelolaan hutan terkait dengan sektor lain
- Apakah ada alternatif/pilihan kebijakan yang lain?
- Apa tujuan utama kebijakan PKH saat itu?
- Asumsi apa yang dipakai dalam kebijakan PKH?
186

Proses Pembentukan Kebijakan.

1. Siapa para aktor penggagas kebijakan PKH?


2. Seberapa besar kekuatan-kekuatan para aktor dalam proses perumusan kebijakan
PKH ?
3. Apakah ada aktor yang dominan dalam proses perumusan kebijakan PKH?
4. Bagaimana strategi para aktor mencapai tujuannya dalam kebijakan PKH?
5. Ide dasar/diskursus/landasan pikir utama dirumuskannya kebijakan PKH?
6. Bagaimana situasi kelembagaan (struktur organisasi formal) saat itu?

Instrumen kebijakan

1. Instrumen apa (saja) yang digunakan agar kebijakan bisa dijalankan?


2. Apakah instrument itu cukup mendukung?
3. Apakah instrument berupa insentif, persuasive atau sekedar informasi?
4. Apakah perlu upaya peningkatan kapasitas?

Sasaran kebijakan

1. Perilaku siapa yang diharapkan berubah?


2. Adakah sasaran langsung dan tak langsung
3. Apakah pilihan rancangan kebijakan berdasarkan konstruksi sosial dari populasi
sasaran?

Implementasi kebijakan

1. Bagaimana kebijakan PKH dilaksanakan?


2. Siapa yang akan menata system implementasi?
3. Apakah akan top-down atau bottom-up? Mengapa?
4. Bagaimana keterlibatan pemda dalam implementasi kebijakan? Apakah sudah tepat?
5. Bagaimana keterlibatan institusi pemerintah pusat di daerah dalam implementasi
kebijakan PKH? Apakah sudah tepat?
6. Apakah dalam kebijakan PKH sudah mencakup langkah-langkah antisipatif terhadap
akibat yang akan ditimbulkan dari implementasi kebijakan PKH?

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Ketepatan Pelaksanaan

Aktor implementasi kebijakan tidaklah hanya pemerintah. Ada tiga lembaga yang bisa
menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah-masyarakat/swasta,
atau implementasi kebijakan yang diswastakan (privatization atau contracting out).

Pertanyaan berikut diajukan kepada para birokrat maupun stakeholder lainnya untuk
mengetahui sejauh mana keberhasilan implementasi kebijakan PKH

1. Sampai sejauhmana tindakan-tindakan pejabat pelaksana konsisten dengan keputusan


kebijakan tersebut?
2. Sejauhmana tujuan kebijakan tercapai?
3. Faktor-faktor apa yang secara prinsipil mempengaruhi output dan dampak kebijakan?
4. Bagaimana kebijakan tersebut diformulasikan kembali sesuai pengalaman lapangan?
187

5. Adakah areal perjanjian/IPPKH yang telah dikembalikan kepada pemerintah? Atas


dasar apa? (selesai kegiatan, pelanggaran, atau yang lain)
6. Apakah kegiatan monitoring evaluasi dilakukan dengan kontinyu dan terprogram?
7. Apa tindaklanjut dari kegiatan monitoring dan evaluasi yang telah dilakukan?
8. Darimana anggaran pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi? Mengapa?

Ketepatan Kebijakan

Pertanyaan untuk ketepatan kebijakan di bawah ini merupakan pertanyaan-pertanyaan


yang saling mendukung dengan pertanyaan-pertanyaan untuk analisis kebijakan.
Pertanyaan-pertanyaan ini juga akan diajukan kepada kalangan akademisi, birokrat
maupun praktisi

1. Sejauh mana kabijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan
masalah yang hendak dipecahkan. Pertanyaannya adalah how excellent is the policy.
- Apa masalah yang mendasari?
- Bagaimana proses perumusan kebijakan PKH?
- Apakah kebijakan PKH menjawab atau dapat menyelesaikan permasalahan
pengelolaan hutan?
2. Apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai dengan karakter masalah yang
hendak dipecahkan.
- Apakah permasalahan yang mendasari dipecahkan berdasarkan konsep
perumusan kebijakan yang benar? (teori, teknis, antisipatif)
3. Apakah kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan (misi
kelembagaan) yang sesuai dengan karakter kebijakan
- Siapa aktor dan stakeholder perumus kebijakan?
- Apa dasar penentuan aktor dan stakeholder? (kewenangan, pengaruh,
kepentingan, keterkaitan)
- Apa kontribusi dari para aktor dan stakeholder

Ketepatan Pelaksanaan

Pertanyaan berikut diajukan kepada para birokrat maupun stakeholder lainnya untuk
mengetahui sejauh mana keberhasilan implementasi kebijakan PKH

1. Sampai sejauhmana tindakan-tindakan pejabat pelaksana konsisten dengan keputusan


kebijakan tersebut?
2. Sejauhmana tujuan kebijakan tercapai?
3. Faktor-faktor apa yang secara prinsipil mempengaruhi output dan dampak kebijakan?
4. Bagaimana kebijakan tersebut diformulasikan kembali sesuai pengalaman lapangan?
5. Adakah areal perjanjian/IPPKH yang telah dikembalikan kepada pemerintah? Atas
dasar apa? (selesai kegiatan, pelanggaran, atau yang lain)
6. Apakah kegiatan monitoring evaluasi dilakukan dengan kontinyu dan terprogram?
7. Apa tindaklanjut dari kegiatan monitoring dan evaluasi yang telah dilakukan?
8. Darimana anggaran pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi? Mengapa?

Ketepatan Target

Pertanyaan di bawah ini diajukan kepada para stakeholder

1. Apakah target yang dintervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak ada
tumpang tindih dengan intervensi lain, atau tidak bertentangan dengan intervensi
kebijakan lain?.
188

2. Apakah targetnya dalam kondisi siap untuk dintervensi atau tidak? (Kesiapan bukan
saja dalam arti secara alami, namun juga apakah kondisi target ada dalam konflik atau
harmoni, dan apakah kondisi target ada dalam kondisi mendukung atau menolak)
3. Apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbarui
implementasi kebijakan sebelumnya? (Terlalu banyak kebijakan yang tampaknya
baru namun pada prinsipnya mengulang kebijakan yang lama dengan hasil yang sama
tidak efektifnya dengan kebijakan sebelumnya)

Ketepatan Lingkungan

1. Lingkungan Kebijakan, yaitu interaksi antara lembaga perumus kebijakan dengan


pelaksana kebijakan dengan lembaga yang terkait. Donald J. Calista (tanpa tahun)
dalam Nugroho (2009) menyebutnya sebagai variabel endogen,
- Authoritative arrangement yang berkenaan dengan kekuatan sumber otoritas dari
kebijakan
- Network composition yang berkenaan dengan komposisi jejaring dari berbagai
organisasi yang terlibat kebijakan, baik dari pemerintah maupun masyarakat,
- Implementation setting yang berkenaan dengan posisi tawar-menawar antara
otoritas yang mengeluarkan kebijakan dan jejaring yang berkenaan dengan
implementasi kebijakan.
2. Lingkungan Eksternal Kebijakan, yang terdiri dari atas
- Public opinion, yaitu persepsi publik akan kebijakan dan implementasi kebijakan
- Interpretive institutions yang berkenaan dengan interprestasi lembaga-lembaga
strategis dalam masyarakat, seperti media massa, kelompok penekan, dan
kelompok kepentingan, dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi
kebijakan, dan
- Individuals, yakni individu-individu tertentu yang mampu memainkan peran
penting dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan.

Ketepatan Proses

Secara umum, implemetnasi kebijakan publik terdiri dari tiga proses, yaitu:
1. Policy acceptance, yaitu publik memahami kebijakan sebagai sebuah ―aturan main‖
yang diperlukan untuk masa depan, di sisi lain pemerintah memahami kebijakan
sebagai tugas yang harus dilaksanakan.
2. Policy adoption, yaitu publik menerima kebijakan sebagai sebuah ―aturan main‖ yang
diperlukan untuk masa depan, di sisi lain pemerintah menerima kebijakan sebagai
tugas yang harus dilaksanakan
3. Strategic readiness, yaitu publik siap melaksanakan atau menjadi bagian dari
kebijakan, disisi lain birokrat on the street (atau birokrat pelaksana) siap menjadi
pelaksana kebijakan.
Kelima ―tepat‖ di atas tersebut masih perlu didukung oleh tiga jenis dukungan,
yaitu:
- Dukungan politik;
- Dukungan strategik; dan
- Dukungan teknis.
189

KUESIONER
UNTUK STAKEHOLDER (PERUSAHAAN PERTAMBANGAN)

Pertanyaan-pertanyaan berikut merupakan pertanyaan terbuka yang diajukan kepada


para stakeholder diantaranya adalah: perusahaan pertambangan yang telah memiliki
IPPKH, Pemilik IPHHK-H/A, LSM, Organisasi Profesi. Tujuan dari pertanyaan ini
adalah untuk menggali pendapat, persepsi dan partisipasi stakeholders dalam
implementasi kebiajakan PKH. Sedangkan jawaban merupakan interpretasi dari peneliti
dari pendapat responden yang kemudian ditanyakan kembali (diyakinkan) kepada
responden

1. IPPKH

- Apakah responden mengetahui adanya kebijakan PKH? Dari mana/siapa?


- Apakah responden telah memahami kebijakan PKH tersebut?
- Apakah responden telah mengetahui tujuan kebijakan PKH tersebut?
- Apakah kebijakan tersebut cocok dirumuskan dan diimplementasikan untuk
situasi dan kondisi kehutanan di Indoensia? Mengapa?
- Apakah ada alternative mekanisme lain selain PPKH? Apa itu? Bagaimana
konsep/mekanismenya?
- Apakah responden sepakat dengan kebijakan PKH? Mengapa?
- Apakah ada hal-hal lain yang perlu diperbaiki, dikurangi atau ditambahkan dalam
kebjakan PKH tersebut? Apa saja dan Mengapa?
- Apakah ada kendala atau hambatan dalam pelaksanaannya ? Apa saja? Mengapa?
Bagaimana mengatasinya?
- Apakah penyebab kendala/hambatan tersebut dari teks kebijakan, ketidaksesuaian
dengan sikon (biofisik, politik, financial, sosial budaya)?
- Apakah kebijakan PKH ini dirasakan manfaatnya? Apa saja manfaatnya?
- Apakah kebijakan PKH ini telah menjawab permasalahan pengelolaan KH?
Mengapa?
- Bagaimana pandangan responden terhadap peran institusi pusat atau daerah?
- Bagaimana peranan/dukungan LSM/Institusi Profesi/Masyarakat?

2. Pengelolaan Sumberdaya Hutan dan Tambang


- Bagaimana sebaiknya mengelola sumberdaya hutan di Indonesia?
- Bagaimana dengan keberadaan sumberdaya mineral dan tambang di dalam
kawasan hutan?
- Konflik apa saja yang terjadi terkait dengan keberadaan sumberdaya
mineral dan tambang di dalam kawasan hutan?
- Bagaimana pengelolaan sumberdaya mineral dan tambang di dalam
kawasan hutan? Bagaimana pengaturannya

Dalam Konsideran Undang-undang Kehutanan No.41 tahun 1999 dinyatakan


bahwa hutan, sebagai karunia dan amanat Tuhan Yang Maha Esa yang
dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasi oleh
negara ……
190

1. Setujukah bapak/ibu/Sdr dengan pernyataan bahwa hutan dikuasai negara?


2. Bagaimana sesungguhnya pengelolaan hutan yang sesuai untuk kondisi hutan
Indonesia saat ini?
3. Bagaimana dengan kekayaan lain (tambang) yang ada di dalam kawasan
hutan?
4. Bagaimana pengaturannya?
5. Apa masalah utama (dominan) dalam operasional tambang di dalam kawasan
hutan?

Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk mengatur penggunaan kawasan


hutan untuk sektor di luar kehutanan dengan kebijakan pinjam pakai kawasan
hutan melalui Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 yang ditindaklanjuti dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 dan pelaksanaan teknisnya melalui
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 jo P.38/Menhut-
II/2012 jo P.14/Menhut-II/2013
6. Apakah kebijakan penggunaan kawasan hutan yang telah dirumuskan dan
dilaksanakan oleh pemerintah saat ini sudah tepat? Menagapa (apa
alasannya)?
7. Apakah kebijakan tersebut telah menyelesaikan masalah penggunaan kawasan
hutan oleh sektor lain?
8. Apakah kebijakan tersebut mengandung ambiguitas, baik dalam teks, konteks
maupun implementasinya?
9. Apakah kebijakan tersebut justru menimbulkan konflik baru dalam
implementasinya?
10. Apakah ada bagian dari kebijakan tersebut yang tumpang tindih dengan
kebijakan pemerintah atau sektor lain? Sebutkan? Bagaimana seharusnya?
11. Bagaimana hubungan para pemegang IUPHHK (HA/HT) dengan pemegang
IPPKH?
12. Bagaimana jika terjadi konflik? Bagaimana sikap (repson) pemegang
IUPHHK?
13. Bagaimana himpunan/organisasi profesi kehutanan menyikapinya?
14. Langkah-langkah (strategis) apa yang telah/akan dilakukan?
15. Dengan media apa langkah-langkah tersebut disalurkan?
16. Bagaimana perkembangan dengan langkah-langkah yang telah dilakukan
tersebut?
17. Apakah pemerintah (cq Kemenhut) mengakomodir?
18. Apakah stakeholder puas dengan keputusan atau kebijakan yang diambil
pemerintah?
191

Untuk pertanyaan selanjutnya responden diharapkan dapat memilih jawaban yang


tersedia (Responden dipersilahkan untuk menjelaskan pendapatnya, catat hal-hal
penting yang terkait dengan pertanyaan utama maupun hal-hal lain yang
berhubungan dengan materi penelitian, simpulkan jawaban responden dari
penjelasan/pendapat responden)

No Pertanyaan STS TS R S SS
1 Program PKH sesuai dengan kebutuhan stakeholder akan akses
sumberdaya hutan
2 Sosialisasi program PKH telah dilakukan dengan baik
3 Stakeholder terkait dengan program PKH telah memahami
mekanisme IPPKH
4 Terdapat ketersediaan lahan yang cukup untuk dialokasikan sebagai
lokasi PKH
5 Areal hutan yang dialokasikan untuk PKH merupakan lahan bebas
konflik
6 Perijinan usaha PKH sangat tepat dikeluarkan oleh Menteri
Jika tidak tepat, bagaimana sebaiknya dan apa sebutkan alasannya:
1.
2.
7 Stakeholder sangat berminat untuk mematuhi aturan dalam proses
IPPKH
8 Stakeholder masih perlu pendampingan untuk menjalankan
kebijakan PKH
9 Kewajiban dalam IPPKH telah jelas dan dimengerti/dipahami
dengan baik
10 Persyaratan permohonan IPPKH telah cukup dan sesuai
Jika kurang, terlalu banyak atau tidak sesuai sebutkan:
1.
2.
3
11 Stakeholder tidak mengalami kesulitan dalam pemenuhan kewajiban
persyaratan.
Jika ada kesulitan sebutkan dan mengapa?
1.
2.
3.
12 Kewajiban dalam izin persetujuan prinsip PKH telah cukup dan
sesuai
Jika kurang, terlalu banyak atau tidak sesuai sebutkan:
1.
2.
3
13 Kewajiban-kewajiban IPPKH telah cukup dan sesuai
Jika kurang, terlalu banyak atau tidak sesuai sebutkan:
1.
2.
3
192

No Pertanyaan STS TS R S SS
14 Stakeholder tidak mengalami kesulitan dalam pemenuhan kewajiban
izin persetujuan prinzip PKH.
Jika ada kesulitan sebutkan dan mengapa?
1.
2.
3.
15 Stakeholder tidak mengalami kesulitan dalam pemenuhan kewajiban
IPPKH.
Jika ada kesulitan sebutkan dan mengapa?
1.
2.
3.
16 Selama dalam melaksanakan kebijakan PKH tidak terdapat konflik
Jika ada konflik sebutkan dan apa penyebabnya:
1.
2.
3.
17 Stakeholder telah terbiasa mengurus administrasi perijinan di
Kementerian kehutanan dan pemerindah daerah
18 Kewajiban peserta PKH sama dengan kewajiban-kewajiban
pengusahaan hutan

Pendapat tambahan, sekiranya masih ada yang belum tertampung dalam daftar pertanyaan
ini.
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
193

KUESIONER
UNTUK PARA PIHAK DI DAERAH

Pertanyaan Untuk Stakeholder di Daerah

No Pernyataan/Pertanyaan STS TS R S SS
1 Aturan penggunaan kawasan hutan ditentukan oleh Pemerintah
Pusat
2 Peran pemerintah daerah di provinsi atau kabupaten merupakan
pelaksana di tingkat lapangan
3 Dalam kebijakan penggunaan kawasan hutan, pemerintah daerah
(provinsi/ kabupaten) telah diberikan peranan yang sesuai
4 Pemerintah daerah berperan serta dalam menentukan arah
kebijakan pengelolaan hutan sesuai dengan kondisi spesifik di
masing-masing wilayahnya, yaitu (sebutkan)
1.
2.
5 Kebijakan penggunaan kawasan hutan merupakan kebijakan yang
baik, lengkap dan sesuai dengan situasi dan kondisi poleksosbud
6 Kebijakan penggunaan kawasan hutan mengandung konflik
dengan pihak/sektor lain. Apa saja itu (sebutkan)?
1.
2.
7 Kebijakan penggunaan kawasan hutan tidak tumpang tindih
dengan kebijakan (peraturan) lain. (Jika tumpang tindih, sebutkan
di bagian apa dan dengan peraturan apa)
1.
2.
8 Kebijakan penggunaan kawasan hutan telah jelas, tidak multitafsir
dan tidak ambigu. (Jika belum jelas, multitafsir atau adanya
ambigu agar dicatat penjelasannya)
9 Kebijakan penggunaan kawasan hutan saat ini telah tepat tujuan
dan sasaran
10 Kebijakan penggunaan kawasan hutan telah memperhatikan
aspirasi seluruh kalangan (stakeholder)? (Jika belum, catat
penjelasan responden)
11 Kebijakan penggunaan kawasan hutan sudah memperhatikan
kepentingan masyarakat di sekitar kawasan hutan/tambang
194

PENGARUH DAN KEPENTINGAN PARA PIHAK


PENGARUH

No Pertanyaan SP P CP KP TP
1. Apakah stakeholder mempunyai kewenangan (authority) dalam
pengambilan keputusan/kebijakan baik dalam tahap perencanaan,
pelaksanaan maupun monitoring evaluasi kebijakan?
Sebutkan : ….
2. Apakah stakeholder mempunyai kekuasaan (power) dalam pengambilan
keputusan/kebijakan baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan
maupun monitoring evaluasi kebijakan?
Sebutkan : ….
3. Apakah stakeholder mempunyai tugas (tasks) dalam proses
implementasi kebijakan penggunaan kawasan hutan, dan apakah tugas
tersebut telah dilaksanakan dengan baik. Apa tugas-tugas tersebut?
Sebutkan:
4. Apakah peranan (roles) stakeholder dalam implemetnasi kebijakan
penggunaan kawasan hutan? Apakah peranan tersebut mempengaruhi
pengambilan keputusan/kebijakan dalam implementasi kebijakan
penggunaan kawasan hutan? Sebutkan contohnya: …
5. Apakah dalam implemetnasi kebijakan penggunaan kawasan hutan
stakeholder mempunyai hak dan kewajiban yang tidak tersurat (tertulis
dalam peraturan perundang-undangan)? Apa saja hak dan kewajiban
itu? Sebutkan: …
Sejauh mana hak dan kewajiban itu dilaksanakan?
Sejauh mana mempengaruhi hasil atau pelaksanaan implementasi
kebijakan?
6. Hal-hal lainnya:

KEPENTINGAN

No Pertanyaan SP P CP KP TP
1 Sejauh mana stakeholder terlibat (participation) dalam proses
implementasi kebijakan penggunaan kawasan hutan di wilayah
kerjanya? Terlibat dalam hal apa saja? Sebutkan : …
Apakah selalu terlibat dalam pengambilan keputusan?
2 Apa motivasi (motivation) stakeholder dalam implementasi kebijakan
penggunaan kawasan hutan? Jika bisa disebutkan: ….
3. Apakah stakeholder melakukan hak dan kewajiban atau peranannya
dengan proaktif? Untuk hak, kewajiban, peranan apa saja? Sebutkan: ….
Apakah dalam melakukan hak, kewajiban, peranan tersebut telah
terprogam atau terrencana?
4. Apa keuntungan yang bias stakeholder ambil (benefit) dari adanya
keijakan penggunaan kawasan hutan tersebut? Sebutkan :…
Apakah keuntungan tersebut dapat dirasakan secara langsung?
5. Apakah stakeholder mendapatkan kemudahan setelah melaksanakan
kebijakan penggunaan kawasan hutan? Dalam hal apa? Sebutkan: ..
Apakah kemudahan tersebut dapat dirasakan secara langsung?
6. Hal lainnya?
195

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pemalang pada tanggal 5 Agustus 1969 sebagai anak


pertama dari lima bersaudara pasangan H. Alif Fatichin (Alm) dan Hj. Siti
Ruchayah. Penulis menikah dengan Elfita Nurrahma Agustami, SP dan telah
dikaruniai tiga orang putra-putri, yaitu: Muhammad Elfaza Faishal Musyaffa,
Zuyyina Elshafna Rifda Nurrahma dan Alifia Elnaifa Rizkia Nurrahma.
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan,
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1995. Pada tahun
2002, penulis melanjutkan pendidikannya di Program Studi Pengelolaan
Lingkungan pada Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya dan
menamatkannya pada tahun 2005. Melalui program beasiswa dari Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Kementerian Kehutanan, pada tahun 2009
penulis memilih melanjutkan pendidikan strata tiganya di Program Studi Ilmu
Pengelolaan Hutan (IPH), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Riwayat pekerjaan penulis dimulai pada tahun 1996 sebagai salah seorang
karyawan di perusahaan hutan tanaman industry (HTI) di Provinsi Jambi. Pada
tahun 2008 penulis diterima sebagai calon pegawai negeri sipil di Kementerian
Kehutanan dan ditempatkan di Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH)
Wilayah II di Palembang. Selanjutnya pada tahun 2006 penulis mengajukan alih
tugas dan ditempatkan di Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan, Direktorat
Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan di Jakarta sampai dengan
tahun 2011. Sejak tahun 2011 penulis dialihtugaskan di Direktorat Perencanaan
Kawasan Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan
dengan jabatan terakhir sebagai pejabat fungsional Pengendali Ekosistem Hutan
Tingkat Madya.
Berkenaan dengan tugas selama studi di Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor, penulis telah menulis sebuah karya ilmiah dengan judul
Principal-agent Relationship in Policy Implementation of the Use of Forest Area
for Mining Activity. Karya ilmiah tersebut telah diterbitkan pada jurnal ilmiah
Agriculture, Forestry and Fisheries Volume 3 Nomor 3 pada Bulan Juni 2014.
Karya ilmiah lain berjudul Peranan Para Pihak dalam Implementasi Kebijakan
Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pertambangan telah diterima sebagai salah
satu karya tulis di Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Volume 11 Nomor 3 yang
akan diterbitkan pada Bulan Desember 2014. Jurnal tersebut merupakan salah satu
jurnal yang terakrediatasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai