Akut On CKD
Akut On CKD
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. D
Agama : Islam
1
A. ANAMNESIS
Keluhan Utama:
Pasien datang ke IGD RSUD Tarakan dengan keluhan muntah - muntah 1 minggu SMRS.
Keluhan disertai mual dan batuk selama seminggu, batuk disertai dahak. Pasien juga mengeluh
adanya luka pada kedua kakinya, luka tersebut terjadi akibat pasien merendam kakinya pada air
hangat terlalu lama sehingga kulit kedua kaki pasien melepuh dan terjadi luka. Pasien
mengatakan merendam kedua kaki dengan air hangat karena kedua kaki baal, keluhan baal sudah
dirasakan pasien sejak lama. Batuk darah dan demam disangkal, BAB dan BAK pasien rasakan
normal.
Pasien merupakan rujukan dari RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso. Pasien dirujuk ke RSUD
Tarakan karena memerlukan fasilitas hemodialisa. Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus tipe
2 sejak tahun 2000. Pada awalnya pasien mengeluh sering lemas dan berobat ke klinik dekat
rumahnya, dan dinyatakan menderita diabetes melitus. Pasien mengkontrol penyakit diabetes
selama ini di RSPI. Pasien pernah dirawat di RSPAD Gatot Subroto akibat hiperglikemia pada
tahun 2016, selama dirawat pasien mulai meraskan baal pada kedua kakinya. Setelah dinyatakan
rawat jalan, pasien kembali mengkontrol kondisinya ke RSPI. Selama ini pasien memiliki gejala
sering lemas, cepat lelah, sering haus, sering lapar, sering berkemih, dan sering bangun malam
hari untuk berkemih. Pasien rutin mengkonsumsi metformin, namun saat kontrol keadaan pasien
tidak membaik dan diberikan obat insulin, 3 kali sehari 8 unit. Pasien juga memiliki riwayat TB
paru, pasien mengatakan sudah mengkonsumsi obat anti tuberkulosis selama 6 bulan tanpa
berhenti dan sudah dikatakan sembuh.
Tiga minggu SMRS pasien mengkontrol keadaannya di RSPI dan pada hasil laboratorium
dikatakan bahwa kondisi ginjal pasien memburuk dan membutuhkan tindakan hemodialisa dan
direncanakan untuk dirujuk ke RSUD Tarakan. Pasien memiliki riwayat hipertensi yang mulai
2
diketahui pasien saat kontrol di RSPI. Pasien mengakui memiliki kebiasaan makanan yang
kurang baik, pasien sering makan makanan yang asin, dan manis. Pasien tidak memiliki riwayat
penyakit ginjal sebelum ini. Keluarga pasien tidak ada yang mengalami hal yang serupa, namun
ayah pasien memiliki riwayat hipertensi.
3
Nenek 76 Tahun Perempuan Meninggal Usia Tua
Alergi -
Asma -
Tuberkulosis -
Artritis -
Rematisme -
Hipertensi
- Ayah
Jantung -
Ginjal -
4
Lambung -
ANAMNESIS SISTEM
Kulit
(-) Lain-lain
Kepala
Mata
Telinga
Hidung
(-) Epistaksis
Mulut
5
(-) Bibir (-) Lidah (-) Gusi
Tenggorokan
Leher
(-) Tinja berwarna ter (-) Nyeri perut, kolik (-) Mencret
Katamenia
Haid
Ekstremitas
BERAT BADAN
Turun ( )
Naik ( )
RIWAYAT HIDUP
Riwayat Kelahiran
Riwayat Imunisasi
(+) Hepatitis (+) BCG (+) Campak (+) DPT (+) Polio (+) Tetanus
Riwayat Makanan
Pendidikan
7
( + ) Universitas ( ) Kursus ( )Tidak Sekolah
Kesulitan
Keuangan : Tidak ada
Pekerjaan : Tidak ada
Keluarga : Tidak ada
Lain-lain : Tidak ada
A. PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaan Umum
Berat Badan : 67 kg
Nadi : 95 x/menit
Habitus : Atletikus
Kulit
Kepala
Mata
9
Konjungtiva : Tidak anemis Visus : (Tidak diperiksa)
Mulut
Lidah : Normal
Leher
Dada
Bentuk : Simetris
Buah dada :-
10
Paru – paru
Depan Belakang
Inspeksi Kiri : Dada simetris saat statis dan Dada simetris saat statis dan
dinamis dinamis
Kanan : Dada simetris saat statis dan Dada simetris saat statis dan
dinamis dinamis
Palpasi Kiri : Retraksi sela iga (-) Retraksi sela iga (-)
Perkusi Kiri : Sonor diseluruh lapang paru Sonor diseluruh lapang paru
Wheezing ( - / - ) Wheezing ( - / - )
Rhonki ( - / - ) Rhonki ( - / - )
Wheezing ( - / - ) Wheezing ( - / - )
11
Rhonki ( - / - ) Rhonki ( - / - )
Jantung
Palpasi Ictus cordis teraba kuat angkat dan reguler pada ICS V garis midklavikularis
kiri
Batas atas: ICS II linea sternal kiri, Batas pinggang: ICS III linea parasternal
Perkusi
kiri, Batas kanan: ICS 4 linea sternal kanan, Batas kiri: ICS V 2 cm lateral
linea midklavikula kiri, Batas bawah: ICS VI linea midklavikula kiri
Pembuluh darah
Arteri Tibialis Posterior : Teraba pulsasi denyut nadi kuat, teraba reguler
Arteri Dorsalis Pedis : Teraba pulsasi denyut nadi kuat, teraba reguler ‘
Abdomen
Inspeksi Perut datar, caput medusa ( - ), spider nevi ( - ), dilatasi vena ( - ), terdapat luka
post section caesarea
Palpasi Distensi perut ( - ), nyeri tekan ( - ), teraba massa ( - ), hati, limpa dan ginjal
tidak teraba membesar, lain – lain ( - )
12
Auskultasi Bising usus ( + ), normoperistaltik
Anggota Gerak
Otot
Kekuatan +5 +5
Kanan Kiri
13
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan +5 +5
Refleks
Kanan Kiri
Tidak dilakukan
LABORATORIUM RUTIN
Hematologi
Darah rutin
14
Hemoglobin 9,3 g/dL 13 - 18 g/dL
Hematokrit 30,6 % 40 – 50 %
Kimia Klinik
Gula Darah
Fungsi Ginjal
15
EKG
- Irama Sinus,
- Laju QRS 88 x/menit,
- Reguler
- Interval PR normal, 0,12 detik
- Aksis: normal
- Gelombang P: normal
- Komplek QRS: QRS tidak melebar, low voltage
- Segmen ST: normal
Echocardiography
- Dimensi ruang jantung : Dalam batas normal
- LVH (+)
- Kontraktilitas LV baik, EF : 70%
- Kontraktilitas RV baik,
- Analisa segmental : Global normokinetik
- Katup Aorta : kalsifikasi ( - )
- Katup Mitral : dalam batas normal
- Katup Pulmonal : dalam batas normal
- Katup Trikuspid : dalam batas normal
USG Abdomen
Kesan: Nephrocalsinosis Bilateral
RINGKASAN (RESUME)
Pasien datang ke IGD RSUD Tarakan dengan keluhan muntah - muntah 1 minggu SMRS.
Keluhan disertai mual dan batuk selama seminggu, batuk disertai dahak. Pasien juga mengeluh
adanya luka pada kedua kakinya. Pasien mengatakan merendam kedua kaki dengan air hangat
karena kedua kaki baal. Batuk darah dan demam disangkal, BAB dan BAK pasien rasakan
16
normal. Pasien merupakan rujukan dari RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso. Pasien dirujuk ke RSUD
Tarakan karena memerlukan fasilitas hemodialisa. Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus tipe
2 sejak tahun 2000. Pasien pernah dirawat di RSPAD Gatot Subroto akibat hiperglikemia pada
tahun 2016, selama dirawat pasien mulai meraskan baal pada kedua kakinya. Pasien rutin
mengkonsumsi metformin, namun saat kontrol keadaan pasien tidak membaik dan diberikan obat
insulin, 3 kali sehari 8 unit. Pasien juga memiliki riwayat TB paru, pasien mengatakan sudah
mengkonsumsi obat anti tuberkulosis selama 6 bulan tanpa berhenti dan sudah dikatakan
sembuh. Pasien memiliki riwayat hipertensi yang mulai diketahui pasien saat kontrol di RSPI.
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit ginjal sebelum ini. Keluarga pasien tidak ada yang
mengalami hal yang serupa, namun ayah pasien memiliki riwayat hipertensi.
Keadaan umum pasien; kesadaran compos menits, tampak sakit sedang, TD: 170/90 mmHg,
HR: 95 x/menit, Suhu: 36,5OC – suhu dahi, Pernafasaan: 21 x/mnt, BB: 67 kg. Paru: dada
simetris kanan dan kiri saat statis maupun dinamis, taktil fremitus simetris, suara nafas vesikuler,
rhonki: ( - / - ), wheezing ( - / - ). Jantung: bunyi jantung I- II reguler, kuat, cepat, takikardi,
murmur (-), gallop (-). Pemeriksaan Penunjang; Hb: 8,3 g/dL, Ht: 26,1 %, Eritrosit: 2,98 juta /
uL, Leukosit: 14,500 / mm3, Trombosit: 250,200 / mm3. Echocardiographi: Dimensi ruang
jantung: dalam batas normal, LVH (+), Kontraktilitas LV baik, EF: 70%, Kontraktilitas RV baik,
Analisa segmental: Global normokinetik, Katup Aorta: kalsifikasi ( - ), Katup Mitral, Pulmonal
dan Trikuspid: dalam batas normal.
17
yaitu hypokalemia, dan adanya kadar gula darah yang meningkat. Hasil USG juga
didapatkan adanya kalsifikasi pada kedua ginjal, kesan; hidrocalsinosis bilateral. Pada
fungsi ginjal didapatkan kadar ureum dan kreatinin yang tinggi. Pada hasil penghitungan
laju filtrasi ginjal (LFG) didapatkan hasil l0,15. Berdasarkan The Renal Association, 2013.
Pasien termasuk dalam CKD Stadium V. Karena hasil LFG pasien menunjukkan angka
dibawah 15, yang merupakan stadium V. Berdasarkan The Kidney Disease Outcome Quality
Initiative (KDOQI), pasien dengan CKD stadium V diharuskan untuk dilakukan hemodialisa.
Diagnosis diabetes mellitus tipe 2 berdasarkan gejala klinik pasien dan hasil
laboratorium. Berdasarkan Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe-2, tahun 2011, kriteria diagnosis diabetes dapat ditegakkan dengan adanya gejala
klasik, yaitu poliuri, polidipsi dan polifagi dapat disertai lemas dan kadar glukosa darah
diatas normal. Pada pasien ini didapatkan gejala sering lemas, cepat lelah, sering haus,
sering lapar, sering berkemih, dan sering bangun malam hari untuk berkemih. Pasien juga
mulai mengeluhkan kaki baal pada tahun 2016 saat dirawat akibat hiperglikemia.
Diagnosis hipertensi ditentukan dengan pengukuran tekanan darah pasien. Saat
datang ke IGD, tekanan darah pasien mencapai 170/90 mmHg. Menurut Pedoman
Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular tahun 2015. Tekanan darah sistolik
160 – 179 mmHg, dan tekanan darah diastolik 100 – 109 mmHg merupakan termasuk
dalam stadium II. Begitu pula berdasarkan Joint National Committee 7 (JNC 7),
menyatakan bila tekanan darah sistolik >160 mmHg, dan tekanan darah diastolik >100
mmHg dikatakan termasuk stadium II.
Pemeriksaan yang dianjurkan
1. Foto Rontgen Thorax.
2. Pemeriksaan darah rutin, kimia darah dan kadar elektrolit (natrium, kalium), gula darah,
dan fungsi ginjal.
Rencana pengelolaan
- Captopril 3 x 1 tab
- Spironolacton 1 x 1 tab
- Nocid 3 x 1 tab
- Acarbose 3 x 1 tab
- IVFD NaCL 500 cc
18
Prognosis
Dubia ad malam
Tinjauan Pustaka
Pendahuluan
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kondisi hilangnya fungsi ginjal yang terjadi
secara bertahap dari waktu ke waktu. CKD merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh
dunia. Penderita Chronic Kidney Disease memiliki resiko yang lebih tinggi terjadi penyakit
kardiovaskular dan harus segera dideteksi secara dini, sehingga dapat dilakukan usaha preventif.
Faktor resiko utama terjadinya CKD diantaranya adalah umur, jenis kelamin, dan ras, faktor
resiko lain diantaranya adalah kebiasaan hidup seperti merokok, dan faktor biomedik seperti
tekanan darah tinggi dan gula darah.
Pada stadium dini, penderita CKD mungkin tidak menyadari bahwa mereka sedang sakit,
pemeriksaan darah dan urine merupakan satu – satunya cara untuk mendeteksi. Perlu diadakan
pemeriksaan urin dan darah pada orang-orang yang memiliki predisposisi terjadinya CKD.
Deteksi dini sangat diperlukan untuk mencegah atau memperlambat terjadinya progresifitas.
Ginjal terdiri dari jutaan unit nefron yang terdiri dari glomerulus dan tubulus renalis yang
bekerja sebagai penyaring darah dan juga menyerap serta mengeluarkan produknya dalam
bentuk urin. Urin akan dialirkan ke uretra lalu ditampung dalam vesika urinaria lalu dikeluarkan
dari dalam tubuh melalui ureter.
Fungsi ginjal diatas dapat saja berkurang hingga tidak terjalankan sama sekali. Hal
tersebut tentunya dikarenakan ada kerusakan yang terjadi pada ginjal ataupun bagian tubuh lain
yang menginduksi kerusakan ginjal. Dalam kesempatan kali ini kita akan membahas mengenai
Acute Kidney Injury dan Chronic Kidney Disease, 2 penyakti yang berhubungan dengan fungsi
ginjal dan banyak dijumpai. Acute Kidney Injury (AKI) atau dalam bahasa Indonesia disebut
dengan gangguan ginjal akut adalah kerusakan mendadak dari ginjal yang menyebabkan ginjal
tidak dapat bekerja dengan baik. Kerusakan tadi dapat menyebabkan sedikit gangguan fungsi
hingga kegagalan fungsi total ginjal.
19
Defiini
Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan sebagai kelainan struktur atau fungsi ginjal,
terjadi selama >3 bulan yang berakibat pada kesehatan.1 Diagnosis CKD ditegakkan dengan
beberapa kriteria, sebagai berikut pada tabel 1 (salah satu dari yang dibawah terjadi selama > 3
bulan):
Tanda kerusakan ginjal - Albuminuria (AER ≥30 mg/24 hours; ACR ≥30 mg/g [≥3 mg/mmol])
(1 atau lebih) - Abnormalitas sedimen urin
- Abnormalitas elektrolit dan abnormalitas lain disebabkan oleh penyakit tubular
- Abnormalitas yang terdeteksi pada histologi
- Abnormalitas struktur yang terdeteksi dengan gambaran radiologi
- Riwayat transplantasi ginjal
Penurunan LFG LFG <60ml/min/1.73 m2 (GFR kategori G3a-G5)
20
Tabel 2. Tahap CKD menurut NKF-DOQI
Epidemiologi
Prevalensi penyakit ginjal kronis tahap 1-4 meningkat dari 10% pada tahun 1988-1994
menjadi 13,1% pada 1999-2004. Peningkatan ini sebagian dijelaskan oleh peningkatan
prevalensi diabetes dan hipertensi, yang merupakan penyebab paling umum dari penyakit ginjal
kronis. Data dari Amerika Serikat Renal Data System (USRDS) menunjukkan bahwa prevalensi
gagal ginjal kronis meningkat 104% antara tahun 1990-2001.
Menurut ketiga Kesehatan Nasional dan Survei Pemeriksaan Gizi, diperkirakan bahwa
6,2 juta orang (yaitu 3% dari total penduduk AS) lebih tua dari 12 tahun memiliki nilai kreatinin
serum di atas 1,5 mg / dL; 8 juta orang memiliki GFR kurang dari 60 mL / menit, mayoritas dari
mereka berada di populasi medicare senior (5,9 juta orang). Tingkat kejadian stadium akhir
penyakit ginjal (ESRD) telah terus meningkat secara internasional sejak tahun 1989. Amerika
Serikat memiliki tingkat kejadian tertinggi ESRD, diikuti oleh Jepang.
Etiologi
Etiologi atau penyebab dari CKD dapat dibagi menjadi 2 sub-bagian, yaitu etiologi yang
berasal dari kelainan parenkim ginjal dan etiologi yang disebabkan obstruksi ginjal.2
21
Hipertensi 13% Striktur uretra
Lain-lain 10%
(Penyakit ginjal polikistik, SLE, TBC)
CKD juga dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologinya, yaitu penyakit ginjal diabetik,
penyakit ginjal non-diabetik seperti penyakit glomerular, penyakit vaskular, penyakit
tubulointerstisial, serta penyakit kistik dan penyakit ginjal pada transplantasi seperti rejeksi
kronik, keracunan obat, dan penyakit rekuren. 2
Patofisiologi
Patogenesis terjadinya CKD tergantung dari etiologinya. Pada intinya, etiologi yang
beragam tadi menyebabkan kerusakan pada ginjal hingga ginjal kehilangan fungsinya. Awalnya,
kelainan yang terjadi pada sebagian jaringan ginjal menyebabkan sebagai jaringan ginjal tadi
kehilangan fungsinya.3 Jaringan lain yang masih normal dapat meningkatkan kinerjanya sebagai
kompensasi (adaptasi fungsional ginjal). Apabila dibiarkan, kerusakan 75% dari jaringan ginjal
menyebabkan penurunan GFR hanya 50% dari normal.3 Kerusakan ginjal tadi akan
menimbulkan menifestasi yang beragam pada CKD. Berikut patogenesis terjadinya menifestasi
klinis pada CKD.3
Edema
22
Hipokalemia terjadi bila terapi diuretik berlebihan disertai dengan kurangnya asupan K.
Biasanya, penderita CKD mengalami hiperkalemia sebab GFR yang menurun. Hiperkalemia
tampak bila GFR sudah turun dibawah 15 ml/menit. GFR diatas 15 ml/menit masih
memungkinkan kompensasi sekresi K+ oleh aldoteron pada tubulus distal.
Hiperfosfatemia dan hipokalsemia berkaitan dengan PTH dan tulang. Mulai tampak sejak
stadium 2. Fosfat meningkat akibat defek ekskresi dan kebutuhan kompensasi untuk asidosis
metabolik. Fosfat dan PTH akan menurunkan absorpsi kalsium dan menyebabkan berbagai
gangguan pada tulang, seperti osteomalasia, osteodistrofi. Keadaan ini diperburuk dengan
defek aktivasi vitamin D oleh ginjal yang rusak. Gangguan keseimbangan magnesium
minimal sebab terjadi mekanisme sekresi di tubulus distal dan collecting duct.
Metabolik Asidosis.
Pada keadaan gagal ginjal, tubulus tidak dapat menyekresikan ion hidrogen (H+) dari
tubuh, sehingga menyebabkan peningkatan asam dalam tubuh. Keadaan metabolik asidosis
ditandai dengan kurangnya ion basa bikarbonat (HCO3-) akibat terus digunakan untuk
mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh.
Gangguan Hematologik
Anemia normokromatik normositik biasanya baru tampak pada stadium 3 CKD, tetapi
anemia telah ada sejak awal progresi CKD. Anemia bisa disebabkan gangguan produksi
eritropoetin (EPO), defisiensi zat besi atau folat atau vitamin B12, serta gangguan faktor III
pada CKD tahap 5. PTH yang meningkat menyebabkan fibrosis pada sumsum tulang. Toksin
uremik dapat mensupresi fungsi sumsum tulang anemia pucat, sel darah putih ↓
sistem imun berkurang infeksi ↑. Trombosit juga berkurang trombositopenia
gangguan koagulasi. Anemia menyebabkan hipertropi ventrikel eksentrik sebab pada anemia,
selain ventrikel kanan (VK) harus bekerja memompa lebih kuat, disertai dengan vasodilatasi
perifer sebagai mekanisme kompensasi akibat oksigenasi yang berkurang. Akibatnya, venous
23
return bertambah sehingga penebalan VK diikuti dilatasi VK. Jadi, koreksi dan diagnosis
anemia secara dini dapat memperlambat penurunan fungsi ginjal.
Gangguan kardiovaskular
Diagnosis
Diagnosa defenitif untuk CKD adalah biopsi ginjal. Dari biopsi ginjal, dapat ditentukan
diagnosa, pengobatan apa yang akan dilakukan dan prognosa penyakit. Namun, pemeriksaan ini
berisiko tinggi dan dapat menimbulkan komplikasi. Untuk itu berdasarkan anamnesis yang baik,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lain seharusnya sudah dapat mendiagnosa CKD.
Pada anamnesa pasien biasanya ditemukan keluhan seperti mual, muntah, diare, nyeri
perut, hilangnya nafsu makan, penurunan produksi urin, bengkak-bengkak di tubuh, lesu, mudah
lelah, hingga masalah berkonsentrasi dan kebingungan.3 Kejang dan koma juga dapat dijumpai
pada pasien CKD yang telah parah. Sering ditemukan adanya riwayat keluarga yang mengalami
CKD, sedangkan pada pasien remaja muda akan dikeluhkan gangguan pertumbuhan. Selain itu
juga dapat ditanyakan riwayat konsumsi minuman berenergi dalam jumlah besar dan jangka
waktu yang lama dan juga penyakit kronis yang sedang diderita seperti DM, hipertensi dan gagal
jantung.3
Pada pemeriksaan fisik, biasanya gagal ginjal kronik bersifat asimptomatik apabila tahap
yang dialami baru 1-3. Gejala gagal ginjal kronik baru akan terlihat jika sudah mencapai tahap 4
atau 5, gejala kliniknya dapat berupa pernapasan dan detak jantung yang cepat, fatigue,
berkurangnya berat badan, anoreksia, nokturia, dan pruritus. Gejala ini terjadi akibat dari
24
akumulasi bahan-bahan yang bersifat toksin yang tidak dapat dibuang oleh tubuh. Namun,
gejala klinis yang muncul sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti DM, ISK,
nefrolithiasis, hipertensi, dan lainnya. Umumnya pemeriksaan fisik pada CKD tidak begitu
membantu namun dapat mengetahui etiologi atau komplikasi yang telah terjadi.
Apabila CKD sudah menimbulkan komplikasi, maka gejala yang akan muncul adalah
hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan
keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida). Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
untuk membantuk menegakkan diagnosa CKD antara lain urinalisa, hitung darah lengkap serta
3,4
pengukuran BUN dan kreatinin serum. Pemeriksaan elektrolit juga merupakan pemeriksaan
yang rutin dilakukan pada penderita CKD. 3,4
Pada urinalisa, apabila didapati hasil positif pada pemeriksaan proteinuria dengan
menggunakan dipstick menunjukkan kemungkinan adanya gangguan pada glomerulus atau
tubulus dengan interstitium ginjal. Sedangkan pada sedimen urin apabila ditemukan sel darah
menunjukkan dan RBC cast menunjukkan proliferatif glomerulonefritis. Piuria dan/atau WBC
cast menunjukkan adanya nefritis interstitial atau adanya infeksi saluran kemih.3
Serum BUN dan kreatinin akan meningkat pada pasien dengan CKD. Selain itu, juga
dapat didapati serum albumin turun pada pasien yang dikarenakan kehilangan protein melalui
urin atau malnutrisi.3 Pada hitung darah lengkap, dapat ditemukan anemia normokromik
normositik, sering juga ditemukan disfungsi platelet akibat uremia.3
25
polos abdomen biasanya dilakukan untuk melihat adanya batu radioopaq. Ultrasound renal
biasanya digunakan untuk mengetahui ukuran ginjal. Ginjal kecil ditemukan pada CKD.
Sedangkan pada diabetik nefropati lanjut ditemukan ukuran ginjal yang normal, namun awalnya
ginjal akan membesar karena terjadi hiperfiltrasi. Selain itu, ultrasound ginjal digunakan untuk
skrining hidronefrosis yang tidak tampak pada awal obstruksi.
CT scan berguna untuk menentukan masa renal dan kista dengan lebih baik dibandingkan
USG. CT scan juga merupakan test yang paling sensitif untuk mengetahui batu ginjal.
Penggunaan kontras iv untuk CT scan tidak dianjurkan pada penderita gangguan ginjal (pada
kasus ini gagal ginjal kronik dengan tingkat sedang sampai berat) karena dapat menyebabkan
gagal ginjal akut. MRI sangat berguna pada pasien yang membutuhkan pemeriksaan CT scan
tetapi tidak dapat menggunakan kontras intravena. MRI bisa juga untuk mendiagonsa terjadi
trombosis vena renalis seperti pada CT scan. Namun, perlu diketahui bahwa pemeriksaan MRI
sangat mahal.
Tes lainnya seperti penghitungan dengan rumus Cockcroft-Gault digunakan untuk mengukur
fungsi residu ginjal pada semua pasien dengan CKD.3
Tatalaksana
Tatalaksana pasien CKD meliputi terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya, pencegahan
dan terapi terhadap kondisi kormobid, memperlambat perburukan fungsi ginjal, pencegahan dan
terapi terhadap penyakit kardiovaskular, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, dan terapi
pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.5,6 Penatalaksanaan yang dilakukan tadi
dapat disebut sebagai terapi konservatif, dan dilakukan sampai pasien merasa tidak dapat
melakukan hidupnya seperti biasa.
Terapi spesifik pada penyakit dasar CKD paling tepat dilakukan jika belum terjadi
penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Untuk itu pemeriksaan
penunjang berupa USG, biopsi dan pemeriksaan histopatologi dapat menentukan indikasi terapi
spesifik. Selanjutnya pada semua stadium CKD, dianjurkan untuk dilakukan pengukuran fungsi
ginjal dan tes laboratorium lainnya tergantung tingkat rusaknya ginjal untuk follow up dan
evaluasi.
26
Pencegahan dan terapi terhadap kondisi kormobid seperti gangguan keseimbangan cairan,
hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obatan nefrotoksik, bahan
radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya. Untuk itu dibutuhkan
penatalaksanaan non farmakologis yang mencakup beberapa hal. Pertama, untuk kesehatan
secara umum pasien disarankan untuk menghentikan merokok, kurangi berat badan, lakukan
olah raga yang bersifat aerobik, membatasi konsumsi alkohol, dan kurangi konsumsi sodium.
Kemudian, pasien CKD juga harus bahan-bahan yang bersifat nefrotoksik seperti agen
radiokontras intravena, NSAID, aminoglikosida, dan bahan-bahan lainnya.
Ratio protein dan kreatinin urin di bawah 100 mg/mmol: dengan ambang hipertensi 140/90
mmHg, diberikan antihipertensi sampai tekanan darah 130/80 mmHg.
Ratio protein dan kreatinin urin di atas 100 mg/mol, ambang hipertensi 130/80 mmHg,
diberikan antihipertensi sampai tekanan darah 125/75 mmHg.
Untuk mencegah efek gagal ginjal kepada jantung, pasien dengan resiko penyakit jantung
lebih dari 20% untuk 10 tahun diberikan aspirin dan obat-obat penurun kadar lipid. Jika Hb di
bawah 11 g/dL dan semua penyebab anemia sudah dieksklusi, pasien diberikan eritropoiesis-
stimulating agents dan preparat besi. Pemberian ini dihentikan apabila serum ferritin telah
melebihi 500mcg/L. Pemberian eritropoietin secara cepat akan mencegah timbulnya hipertrofi
ventrikel kiri.
27
Jika hiperfosfatemia diberikan fosfat binder dan restriksi fosfat seperti lanthanum
karbonat yang bekerja dengan cara mengikat fosfor pada traktus pencernaan sehingga
menghambat absorpsi fosfor. Hipokalsemia diobati dengan suplemen kalsium dan kalsitriol.
Hiperparatiroidisme diobati kalsitriol atau analog vitamin D. Dari penelitian yang dilakukan
Fishbane dkk diketahui bahwa pemberian paricalcitriol dapat menurunkan proteinuria sebanyak
10% dari kelompok kontrol.
Asidosis pada penderita CKD harus diobati secepat mungkin Apabila terjadi keadaan
asidosis yang kronik dapat menyebabkan hiperkalemia, menghambat sintesa protein, dan
mempercepat hilangnya kalsium dari tulang. Untuk asidosis yang diderita pasien bisa diberikan
bikarbonat. Pencegahan osteodistrofi uremik dan hiperparatiroidisme sekunder dengan
pengawasan terhadap keseimbangan kalsium dan fosfor.
Untuk terapi pengganti ginjal, terdiri dari dua jenis yaitu dialisis dan transplantasi ginjal.
Adapun terdapat dua jenis dialisis, dialisis peritoneal dan hemodialisis. Transplantasi ginjal dapat
berasal dari donor hidup atau donor jenazah.8
Sebelum dilakukan hemodialisa, dilakukan dulu penyambungan antara vena dan arteri
(akses vaskular). Terdapat 3 jenis akses vaskular yaitu fistula (cimino), graft, dan kateter (CDL).8
28
Fistula dan graft merupakan akses yang permanen sedangkan kateter merupakan akses yang
sementara dan digunakan sampai pasien siap untuk membuat fistula atau graft.
Tujuan dibuatnya akses ini agar vena tidak kolaps ketika dilakukan dialisis. Karena vena
mempunyai dinding yang lemah. Beberapa minggu atau bulan sebelum dialisis, ahli bedah akan
membuat akses ini.
Graft adalah penggabungan vena dan arteri dengan menggunakan pipa atau potongan
vena pada kaki. Graft dilakukan apabila fistula tidak dapat dilakukan. Pada saat akan dilakukan
dialisis, dua jarum yang telah dimasukkan ke pipa dimasukkan ke dalam akses vaskular. Jarum
yang satu berfungsi menarik darah ke mesin, sedangkan yang lain berfungsi untuk
mengembalikan darah. Dialisis dilakukan 3 kali seminggu dan dilakukan seumur hidup atau
dilakukan sampai transplantasi ginjal.
Prinsip kerja hemodialisa dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung
ginjal buatan atau disebut juga dialiser yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah.7
Masing-masing dari kompartemen tersebut dipisahkan oleh selaput semipermeabel buatan.
Kemudian darah pasien dialirkan ke salah satu kompartemen, sedangkan kompartemen yang
lain, yaitu kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang berisi larutan dengan komposisi
elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen.
Cairan dialisat yang digunakan tidak perlu steril. Karena selaput semipermeabel akan
menyaring endotoksin dan bakteri. Tetapi perlu juga diingat bahwa kuman harus dijaga kurang
dari 200 koloni/mL. Kadar natrium dalam cairan dialisat berkisar antara 135-145 mEq/L. Bila
kadar natrium rendah, maka akan terjadi resiko gangguan hemodinamik karena berpindahnya
29
natrium. Sebaliknya, jika natrium tinggi, akan meningkatkan kadar natrium pascadialisis
sehingga akan membuat pasien haus dan minum lebih banyak.
Dialiser dapat didaur ulang untuk mengurangi biaya pengobatan. Untuk mendaur ulang,
perlu dibersihkan terlebih dahulu dengan cairan dialisat yang banyak untuk menghilangkan
bekuan darah yang ada. Selanjutnya, dialiser disimpan dengan cairan antiseptik (formaldehid
4%). Jika ingin dipakai kembali, cuci kembali dengan cairan dialisat. Dialiser dapat dipakai bila
volume dialiser masih 80%.7
Cairan dialisat yang digunakan ada 2 macam, asetat dan bikarbonat. Masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk gagal ginjal kronik, biasanya dipakai cairan
bikarbonat karena dapat menetralkan asidosis, juga tidak menimbulkan vasodilatasi yang dapat
ditimbulkan oleh cairan asetat. Selain itu, perlu diingat pemberian heparin pada pasien yang akan
menjalani dialisis karena pada saat aliran darah berada pada luar tubuh, akan terjadi aktivasi
sistem koagulasi.7
Setelah pengisian rongga peritoneum dengan cairan dialisat, maka larutan dialisat
dibiarkan di rongga abdomen selama 4 – 6 jam untuk dibiarkan terjadinya dialisis. Sisa-sisa
metabolisme pada penyakit ginjal kronik akan berada dalam konsentrasi tinggi dalam darah
akibat tidak dapat dibuang oleh ginjal. Karena tingginya kadar ini, maka zat-zat ini akan
berpindah secara difusi ke cairan dialisat. Setelah ditunggu selama 4 – 6 jam, dengan bantuan
gravitasi cairan dikeluarkan dari dalam tubuh. Cairan yang dikeluarkan akan berwarna kuning
jernih. Waktu pengeluaran cairan sekitar 10 – 20 menit.
30
Komposisi elektrolit dialisat seperti pada plasma darah normal. Pada umumnya cairan
dialisat, tidak mengandung kalium karena tujuannya untuk mengeluarkan kalium. Namun, jika
pasien dengan kadar kalium normal maka kadar kalium dalam dialisat dapat disamakan dengan
plasma. Indikasi pemakaian dialisis peritoneal:
Rehabilitasi adalah suatu proses yang menghasilkan pemulihan fungsi dan prestasi
individu ke tingkat maksimal yang diharapkan. Bagi orang-orang dengan penyakit ginjal,
rehabilitasi mencakup restorasi kesejahteraan, kinerja fisik, kestabilan emosi, penyesuaian
sosial dan kapasitas kerja.
Seorang yang divonis menderita gagal ginjal pasti akan mengalami penurunan percaya
diri yang mengakibatkan penurunan prestasi dalam aktivitas, perkerjaan dan pergaulan sosial.
Berbagai gangguan elektrolit maupun organ, khususnya anemia menyebabkan penurunan
ketahanan tubuh. Ketahanan tubuh yang berkurang akan mengakibatkan pasien CKD
dianggap seperti pasien cacat yang tidak dapat bekerja lagi. Secara psikis, penderita penyakit
kronik seperti gagal ginjal akan merasa depresi, marah dan merasa bersalah. Sehingga, perlu
rehabilitasi untuk meningkatkan fungsi fisik dan psikis penderita CKD.8
CKD termasuk sillent killer karena pada tahap awalnya, bahkan sebelum kerusakan
nefron 70% kerap kali tidak menimbulkan gejala apapun. CKD tidak dapat dicegah, tetapi
31
ginjal dapat dilindungi dari kerusakan dan memperlambat progresivitas kerusakan. Prinsip
prevensi di mulai dengan mengidentifikasi pasien yang beresiko tinggi menderita gagal ginjal
dan kemudian lakukan skrining teratur serta menatalaksana penyakit yang menjadi faktor
resiko tersebut.
Anjuran Diet
Pasien dengan CKD disarankan merubah pola diet untuk menjaga keseimbangan
elektrolit, mineral dan cairan dalam tubuh. Rekomendasi untuk pasien dengan CKD adalah
diet cukup kalori, rendah protein dan membatasi asupan cairan. Mengganti protein dengan
karbohidrat untuk mendapat energi dapat dilakukan, pilih konsumsi lemak nabati dibanding
lemak hewani untuk mengurangi resiko komplikasi kardivaskular, konsumsi makanan tinggi
protein jika sudah menjalani HD, kurangi konsumsi produk-produk yang mengandung tinggi
fosfor dan meminum vitamin D, dan juga pasien dengan CKD perlu membatasi asupan
garam dan juga buah-buahan dan sayur-sayuran yang tinggi kalium, serta perlunya memakan
produk-produk makanan yang dapat meningkatkan zat besi.
Komplikasi CKD dapat berupa anemia. Anemia yang terjadi dapat mengakibatkan LVH
(left ventricular hypertrophy), kelelahan, gangguan fungsi kognitif. Selain itu juga dapat terjadi
komplikasi berupa hipertensi.5 Hipertensi juga dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri, gagal
jantung, stroke, dan penyakit jantung lainnya.
Selain itu, akan terjadi juga gangguan neurologis akibat penumpukan urea, seperti
ensefalopati uremik, neuropati perifer. Penyakit Ginjal Kronik juga dapat menyebabkan
gangguan koagulopati, renal osteodistrofi, overload cairan, malnutrisi, intoleransi glukosa akibat
resistensi insulin, dan perubahan struktur tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder.5
Prognosis CKD, biasanya pasien berakhir pada ESRD (End-Stage Renal Disease).
Kecepatan perubahan tergantung diagnosa, keberhasilan tindakan preventif sekunder, dan
tergantung pada individu pasien. Kebanyakan kerusakan oleh CKD terjadi secara awal sehingga
intervensi yang dini akan lebih memperbaiki prognosa.5
32
Pasien dengan dialisis kronik mempunyai insidens tinggi akan morbiditas dan mortalitas.
Pasien dengan ESRD yang menjalani transplantasi ginjal akan bertahan lebih lama daripada
dengan dialisis kronik. Penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian yang paling umum
pada CKD. Tidak ada medikamentosa yang dapat mengembalikan kerusakan irreversibel nefron
pada CKD, pengobatan hanya untuk memperlambat progresifitas perburukan penyakit dan
penyakit penyerta. Tatalaksana secara dini ditemukan dapat meningkatkan harapan hidup
sebanyak 5-8 tahun dibandingkan gagal ginjal yang baru diketahui pada stadium lanjut.5
Skrining CKD
Stadium dini penyakit ginjal kronik dapat dideteksi dengan pemeriksaan laboratorium.
Pengukuran kadar kreatinin serum disertai dengan pengukuran laju filtrasi glomerulus dapat
mengidentifikasi pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal. Pemeriksaan ekskresi albumin
dalam urin dapat mengidentifikasi pada sebagian pasien adanya kerusakan ginjal. Deteksi dini
kerusakan ginjal sangat penting untuk dapat memberikan pengobatan segera, sebelom terjadi
kerusakan dan komplikasi lebih lanjut. Pemeriksaan skrining pada individu asimptomatik yang
menyandang faktor resiko dapat membantu deteksi dini penyakit ginjal kronik.
Pemeriksaan skrining seperti pemeriksaan kadar kreatinin serum dan ekskresi albumin
dalam urin dianjurkan untuk individu yang menyandang faktor resiko penyakit ginjal kronik,
yaitu pada:
d. Individu dengan riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam
keluarga
Skrining meliputi pemeriksaan secara teratur dan kontrol tekanan darah (diet dan
olahraga, usahakan TD ≤130/80 mmHg), periksa secara teratur proteinuria dan
mikroalbuminuria, periksa secara teratur dan kontrol kadar gula darah, diet rendah protein
33
hewani dan hentikan merokok bagi yang memiliki riwayat keluarga menderita gagal ginjal;
cegah dan atasi infeksi saluran kemih.
Pencegahan
a. Pengobatan hipertensi yaitu makin rendah tekanan darah makin kecil resiko penurunan
fungsi ginjal.
c. Penghentian merokok.
c. Nefropati obstruktif
34
d. Penyakit glomerulus: NSAID, pamidronat.
e. Penyakit tubulointerstitial
Kesimpulan
Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan sebagai kelainan struktur atau fungsi ginjal,
terjadi selama >3 bulan yang berakibat pada kesehatan. Diagnosis CKD ditegakkan dengan
beberapa kriteria, salah satunya adalah penurunan LFG hingga <60ml/min/1.73 m2.
CKD juga dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologinya, yaitu penyakit ginjal diabetik,
penyakit ginjal non-diabetik seperti penyakit glomerular, penyakit vaskular, penyakit
tubulointerstisial, serta penyakit kistik dan penyakit ginjal pada transplantasi seperti rejeksi
kronik, keracunan obat, dan penyakit rekuren.
Patogenesis terjadinya CKD tergantung dari etiologinya. Pada intinya, etiologi yang
beragam tadi menyebabkan kerusakan pada ginjal hingga ginjal kehilangan fungsinya. Awalnya,
kelainan yang terjadi pada sebagian jaringan ginjal menyebabkan sebagai jaringan ginjal tadi
kehilangan fungsinya.3 Jaringan lain yang masih normal dapat meningkatkan kinerjanya sebagai
kompensasi (adaptasi fungsional ginjal). Apabila dibiarkan, kerusakan 75% dari jaringan ginjal
35
menyebabkan penurunan GFR hanya 50% dari normal. Kerusakan ginjal tadi akan menimbulkan
menifestasi yang beragam pada CKD.
Tatalaksana pasien CKD meliputi terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya, pencegahan
dan terapi terhadap kondisi kormobid, memperlambat perburukan fungsi ginjal, pencegahan dan
terapi terhadap penyakit kardiovaskular, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, dan terapi
pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan tadi
dapat disebut sebagai terapi konservatif, dan dilakukan sampai pasien merasa tidak dapat
melakukan hidupnya seperti biasa.
Daftar Pustaka
1. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of
Chronic Kidney Disease. Januari; 2013.
2. Andreoli TE, Bennett JC, Carpenter CJ, Plum F. Acute renal failure; Chronic renal
failure. In: Abdulezz SR, Bunke M, Singh H, Shah SV, editors. Cecil essentials of
medicine 4th edition. Philadelphia: WB Saunders Company; 2001.
3. Chronic kidney disease,; Early identification and management of chronic kidney disease
in adults in primary and secondary care. NICE Clinical Guideline (September 2008)
4. Clinical practice guidelines: complications of chronic kidney disease, 4th edition;
Clinical practice guidelines: complications of chronic kidney disease, Renal Association
(December 2007)
5. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadribata
M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. jilid 2. ed.4. Jakarta: Interna Publishing;
2014. h.2161-7.
6. The Renal Association; UK Guidelines for the management of Chronic Kidney Disease.
January 2009.
7. Haemodialysis – a treatment option. National Renal Resource Centre and KHA Kidney
and Urinary Advisory Group: March 05;1-5
8. Ingram RH, Brady HR, Brenner BM, Karl S, Jacob G, Singh AK. Dyspnea; Acute renal
failure; Chronic renal failure; Dialysis in the treatment of renal failure. In: Kasper DL,
36
Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo LL, Jameson JL, editors. Harrison’s
principles of internal medicine 16th edition. New York: Mc-Hill Company; 2005.
37