PENDAHULUAN
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh kuman
Salmonella typhi. Sampai saat ini demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat serta berkaitan erat dengan sanitasi yang buruk terutama di negara-
negara berkembang.1
klinis dan kelainan anatomis dari demam tifoid, sedangkan Cornwalls Hewett
(Perancis) mengeluarkan istilah typhoid yang berarti seperti typhus. Baik kata
typhoid maupun typhus berasal dari kata Yunani typhos yang berarti asap/kabut.
kesadaran yang terganggu. Baru pada tahun 1837 William Word Gerhard dari
Philadelphia dapat membedakan tifoid dari typhus. Pada tahun 1880 Eberth
menemukan Bacillus typhosus pada sediaan histologi yang berasal dari kelenjar
limfe mesenterial dan limpa. Pada tahun 1884 Gaffky berhasil membiakkan
Salmonella typhi, dan memastikan bahwa penularannya melalui air dan bukan
udara. Pada tahun 1896 A. Pfeifer berhasil pertama kali menemukan kuman
diagnosis serologis demam tifoid. Pfeifer dan Wright mencoba vaksinasi terhadap
demam tifoid. Pada era 1970 dan 1980 mulai dicoba vaksin oral yang berisi
1
kuman hidup yang dilemahkan dan vaksin suntik yang berisi Vi kapsul
tifoid di seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap
tahunnya. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi
pada anak maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan terkena demam
tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir
semua daerah endemik, insidensi demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19
tahun.3
meningkat pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan yang rendah. 96
% kasus demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh
Salmonella paratyphi. 91 % kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun,
tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah
wabah.4
2
BAB 2
LAPORAN KASUS
Nama : An. A S
Umur : 12 tahun
Suku : Aceh
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Ayah
Nama : Tn. S
Umur : 40 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswata
3
Ibu
Nama : Ny. M
Umur : 34 tahun
Pendidikan : SMA
2.3 Anamnesis
2015 pukul 10.00 WIB dengan keluhan demam 3 hari sebelum ke Puskesmas.
Demamnya meningkat pada menjelang sore dan malam hari. Demam tidak di
sertai menggigil. Pasien sebelum minum obat penurun panas, namum kemudian
demam timbul kembali. Pasien juga mengeluh mual dan muntah. Muntah
sebanyak 5 kali berisi makanan tidak disertai darah. Pasien juga lemah setelah
mengalami muntah sebanyak 5 kali Selain itu, pasien juga mengeluh nyeri di ulu
hati. Selain itu pasien mengeluh pusing pada kepalanya sehari sebelum masuk
rumah sakit. Pasien nafsu makan baik. Pasien tidak ada masalah pada BAB dan
BAK.
4
Riwayat penyakit dahulu
• Riwayat antenatal
tiap bulan, dikasih obat penambah darah dan vitamin. Suntik TT3 selama
kehamilan yang ke 1
• Riwayat natal
• Riwayat neonatal
Riwayat imunisasi
5
Riwayat makanan
Ibu mengaku anak diberi ASI sampai usia 6 bulan. Setelah usia 6 bulan,
selain ASI anak juga mendapat makanan pendamping ASI, bubur susu, nasi tim,
dan buah. Anak sudah diberikan nasi biasa dan lauk pauk seperti makan keluarga
Pola makan anak saat ini biasa mengkonsumsi nasi, tahu, tempe, ikan,
daging, telur, sayur-sayuran dan kadang buah-buahan. Frekuensi makan 2-3 kali
Pasien tinggal bersama 5 anggota dirumahnya yang terdiri dari ayah dan
ibu pasien dan berserta dengan 2 orang adik. Pasien merupakan keluarga ekonomi
pasien bekerja sebagai wiraswata dan ibunya bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Rumah yang dihuni saat ini terdiri dari 2 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1
dapur dan 1 kamar mandi. Luas rumah pasien ± 8x8 meter, dengan teras. Jarak
rumah pasien dengan rumah tetangga berjarak 3 meter di sebelah utara, sedangkan
belakang dapur. Terdapat kali di belakang rumah pasien yang digunakan sebagai
tempat untuk mandi, mencuci pakaian dan alat rumah tangga, serta sebagai tempat
6
Ventilasi kurang baik, walaupun memiliki jendela, namun jendela pada kamar
tidur jarang dibuka, plafon terbuat dari triplek, atap rumah terbuat dari genteng.
Terdapat juga sumber air berupa sumur yang digunakan untuk minum
memasak,dan menyuci pakaian. Ibu pasien mengaku setiap menggunkan air untuk
diminum, air tersebut dimasak terlebih dahulu. Jarak antara sumur dengan kali
sekitar 6 meter. WC dengan jarak 1,5 meter dengan tidak terdapat penyediaan air
untuk menampung WC. Biasanya keluarga pasien mengambil air di sumur dengan
yang serupa dengan pasien namun berupa demam biasa tanpa disertai adanya
mencret dan berlangsung hanya beberapa hari saja dan langsung sembuh dengan
Ikhtisar keluarga
Keterangan
: Laki-laki
: Perempuan
: Pasien
7
Denah rumah
Kandang
Septi tank
ayam
dapur Kamar
mandi
W
C Keterangan :
Kamar tidur
pasien : Pintu
: Jendela
a) Status Present
• Temperatur : 38,2 ºC
• Berat badan : 30 kg
8
b) Status General
normocephali.
• Mata : Mata cekung (-/-), Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
• Gigi geligi : Struktur gigi atas dan bawah normal, karies (-).
• Thoraks :
Pulmo
simetris
9
Cor
Perkusi : Pekak
Abdomen
Palpasi : hepar (tidak teraba), lien (tidak teraba), massa tidak teraba
Ekstremitas
10
Perhitungan status Gizi
BB : 30 kg
TB : 142 cm
𝐵𝐵 30
Status gizi : menurut CDC adalah = 36 Kg , Jadi 36 = 83 % gizi cukup,
𝑈
2.7 Penatalaksanaan
a. Tirah baring
b. IVFD RL 20 gtt/i
Rencana Pemeriksaan:
a. Laboratorium : darah rutin, urin rutin, Uji tourniquet, Anti Dengue IgM dan
IgG, Uji Widal, Uji TUBEX, Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT,
11
Metode ELISA, Uji IgM Disptick, dan Pemeriksaan bakteriologis dengan
2.8 Prognosis
Sanitasi lingkungan yang buruk meliputi sumber air bersih yang tercemar, kondisi
lingkungan sekitar rumah maupun di dalam rumah yang kotor (sampah bertebaran
2.Ventilasi kurang
Ventilasi rumah yang kurang hanya sedikit dan tidak setiap hari dibuka. hanya ada
12
2.11 Faktor Resiko Lingkungan Sosial dari Penyakit
1. Ekonomi
saranan air bersih yang memadai dan terkendala dalam pengobatan ke puskesmas.
2.Pengetahuan
bersih dan sehat dalam rumah tangga menyebabkan pasien mengalami penyakit
demam tifoid.
`3. Sosial
sekitar rumah menjadi salah satu sumber penularan penyakit demam tifoid yang di
yang terkontaminasi tinja dan urin,dan melalui vector seperti lalat,kecoa,dan tikus
2. Keadaaan gizi yang kurang baik juga dapat mempengaruhi imunitas yang
13
2.13 Upaya Promotif Pada Demam Tifoid
peralatan memasak yang bersih, serta jauhkan makanan dari lalat maupun
akan di konsumsi
6. Cuci tangan dengan benar menggunakan sabun dan air yang mengalir
14
2.14 Upaya Preventif Pada Demam Tifoid
1.Upaya primer
lainnya
2.Upaya sekunder
Deteksi dini dan pengobatan yang cepat dan tepat, seperti pemberian
antibiotika yang tepat untuk mencegah terjadinya komplikasi.
3.Upaya tersier
komplikasi.
15
2.15 Upaya Kuratif Pada Demam Tifoid
mungkin dan mengobati secara tepat dan rasional terhadap individu yang
terserang penyakit. Upaya kuratif yang dilakukan pada penderita ini meliputi
kebutuhan gizi tetap terpenuhi dengan baik dan pasien memiliki daya
tahan tubuh yang baik pula sehingga tidak mudah terserang penyakit
sabun, memasak air sebelum di minum, mencuci buah dan sayur sebelum
makan
Menganjurkan agar pakaian diganti ketika kotor dan setelah mandi serta
16
2.16 Upaya Psikososial Pada Demam Tifoid
17
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.1 Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever.
Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1
3.1.2 Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat
terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi
600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Di negara berkembang, kasus demam tifoid
dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan
sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan
rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh
daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta
kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19
18
mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka
waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada diluar tubuh manusia
dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada didalam air, es, debu, atau
kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi hanya dapat
hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan
minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau
pembawa kuman, biasanya keluar bersama – sama dengan tinja (melalui rute oral
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang
berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-
fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada
3.1.3 Etiologi
Salmonella typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S.
Hirschfeldii).
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-
anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar
antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri
19
polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi
3.1.4 Patogenesis
ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2)
bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus
lumen intestinal
20
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam
kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2)
banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang
biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk
dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja
meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria,
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum
dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka
kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang
yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan
difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan
tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan
sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
21
selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi
ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis
malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai
gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental
ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari
berturut- turut.1,4
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis
otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel
22
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika
untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang
dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang
tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga
23
3.1.5 Patologi
Keempat fase ini akan terjadi secara berurutan bila tidak segera diberikan
antibiotik yaitu :
Fase 2 : nekrosis folikel limfoid selama seminggu kedua melibatkan mukosa dan
submukosa
Fase 3 : ulserasi pada aksis panjang bowel dengan kemungkinan perforasi dan
pendarahan
Ileum merupakan lokasi patologi tifoid klasik, tetapi folikel limfoid pada
bagian traktus gastrointestinal lainnya juga dapat terlibat seperti yeyunum dan
kolon ascending. Ileum biasanya mengandung plaque Peyeri lebih banyak dan
bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada
gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam
tifoid pada anak, terutama pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid
24
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa
inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi
akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare,
konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.
Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam
remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada
pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula
dengan tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di
bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan.
25
Bila penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila
lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu
kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm,
berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan
limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.
ukuran 1 – 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas
dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada
anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3
hari.1,7,8
tahun dengan diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam
darah dan 85% telah mendapatkan terapi antibiotika sebelum masuk rumah sakit
dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut : panas (100%), anoreksia (88%),
nyeri perut (49%), muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare (31%). Dari
26
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan
sopor (1%) serta lidah kotor (54%), meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan
dengan diare (39,47%), sembelit (15,79%), sakit kepala (76,32%), nyeri perut
(31,58%) dan delirium (2,63%).9 Sedangkan tanda klinis yang lebih jarang
dijumpai adalah disorientasi, bradikardi relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk,
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang
yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus.
leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas
normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain.
relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung
pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan
kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak
27
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid
2. Uji serologis
maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji
antikoagulan.
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan
adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen
spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang
diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
meliputi :
a) Uji Widal
terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896.
Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan
antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan
pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama.
28
Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran
serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa
tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah
sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin
H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat
dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap
pengidap S.typhi.
menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus
29
benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan.
Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200
atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid
infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman
S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang
dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan
5. Riwayat vaksinasi.
30
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
1) Negatif Palsu
sering di negara kita, demam –> kasih antibiotika –> nggak sembuh dalam 5 hari
–> tes Widal) menghalangi respon antibodi.Padahal sebenarnya bisa positif jika
2) Positif Palsu
jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive).
b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh
31
Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.15
89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara
berkembang.9
kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap sel B.
melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.
32
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :
IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM
menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi
terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi.
Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang
tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid
bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai
prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.16
Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam
tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan
33
efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79%
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-
dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif
yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa
Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan
kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang
dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah
bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan
diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG
terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji
ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam
spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992)
34
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada
sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang
didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan
sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial
serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine
penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada
deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen
Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih
lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada
minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya
e) Pemeriksaan dipstik
dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi
sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila
dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai
prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap
35
30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan
spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata
sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang
menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.22 Uji ini terbukti
mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar
manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil
kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak
typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau
dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih
mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit,
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil
jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu;
kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan
untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih
sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat
36
menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana
dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.
pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-
80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50%
pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita
yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah
dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan
meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun
secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum
tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi
dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama
perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama
bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan
kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan
kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil
yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko
aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa
37
sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur
sumsum tulang.8.9
minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang
dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri
sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan
teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase
chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya
dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi
risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila
38
prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam
spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam
spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya
yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari
spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat
3.1.8 Diagnosis
gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan
pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat
timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi,
sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat
meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare,
menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh
tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa.
Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada
dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3
39
hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala
menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk
bakteriologis.7,8
bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam
tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai
dignosis banding.1
40
3.1.10 Komplikasi
a) Perdarahan usus
benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada
bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang
dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang
c) Peritonitis
Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang,
disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat
timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah
41
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua
dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka
c) Typhoid ensefalopati
dalam batas normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya
jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan
pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis
tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering
terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain
melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis
42
dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering
g) Karier kronik
temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10%
pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu
setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk
sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier
adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis.
3.1.11 Penatalaksanaan
a) Tirah baring
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.8
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat
adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak
43
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya
diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus
suhu tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan
Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla
diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai keadaan normal
kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
44
2.Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik.
Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk
diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat
diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
b) Antibiotik
fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100
hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri.
45
dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian
secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari
anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis
yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama
terapi chloramphenicol.
mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari.
Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis.
Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai
46
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang
diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera
3.1.12 Prognosis
Typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi
karier pada anak – anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi
47
BAB IV
KESIMPULAN
Demam tifoid pada anak disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella
typhi yang ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan
Demam tifoid pada anak memiliki gejala yang cukup spesifik berupa
demam, gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam yang
terjadi lebih dari 7 hari terutama pada sore menjelang malam dan turun pada pagi
hari. Gejala gastrointestinal bisa terjadi diare yang diselingi konstipasi. Pada
cavum oris bisa didapatkan Tifoid Tongue yaitu lidah kotor dengan tepi hiperemi
yang mungkin disertai tremor. Gangguan Susunan Saraf Pusat berupa Sindroma
Otak Organik, biasanya anak sering ngelindur waktu tidur. Dalam keadaan yang
berat dapat terjadi penurunan kesadaran seperti delirium, supor sampai koma.
dapat menunjang infeksi Demam Tifoid ini adalah Darah Lengkap, Uji Widal,
dengan tirah baring yang cukup, Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein Rendah Serat,
dan Antibiotika yang memiliki efektivitas yang cukup tinggi terhadap kuman
Salmonella typhi.
48