Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh kuman

Salmonella typhi. Sampai saat ini demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan

masyarakat serta berkaitan erat dengan sanitasi yang buruk terutama di negara-

negara berkembang.1

Pada tahun 1813 Bretoneau melaporkan pertama kali tentang gambaran

klinis dan kelainan anatomis dari demam tifoid, sedangkan Cornwalls Hewett

(1826) melaporkan perubahan patologisnya. Pada tahun 1829 Pierre Louis

(Perancis) mengeluarkan istilah typhoid yang berarti seperti typhus. Baik kata

typhoid maupun typhus berasal dari kata Yunani typhos yang berarti asap/kabut.

Terminologi ini dipakai pada penderita yang mengalami demam disertai

kesadaran yang terganggu. Baru pada tahun 1837 William Word Gerhard dari

Philadelphia dapat membedakan tifoid dari typhus. Pada tahun 1880 Eberth

menemukan Bacillus typhosus pada sediaan histologi yang berasal dari kelenjar

limfe mesenterial dan limpa. Pada tahun 1884 Gaffky berhasil membiakkan

Salmonella typhi, dan memastikan bahwa penularannya melalui air dan bukan

udara. Pada tahun 1896 A. Pfeifer berhasil pertama kali menemukan kuman

Salmonella dari feses penderita, kemudian Haeppe menemukan kuman

Salmonella di dalam urin, dan R. Neuhauss menemukan kuman Salmonella di

dalam darah. Pada tahun yang bersamaan Widal berhasil memperkenalkan

diagnosis serologis demam tifoid. Pfeifer dan Wright mencoba vaksinasi terhadap

demam tifoid. Pada era 1970 dan 1980 mulai dicoba vaksin oral yang berisi

1
kuman hidup yang dilemahkan dan vaksin suntik yang berisi Vi kapsul

polisakarida. Pada tahun 1948 Woodward dkk di Malaysia menemukan bahwa

kloramfenikol adalah efektif untuk pengobatan penyakit demam tifoid.1,2

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam

tifoid di seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap

tahunnya. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi

pada anak maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan terkena demam

tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir

semua daerah endemik, insidensi demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19

tahun.3

Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang cenderung

meningkat pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan yang rendah. 96

% kasus demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh

Salmonella paratyphi. 91 % kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun,

kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Penyakit demam tifoid termasuk

penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 1962

tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah

menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan

wabah.4

2
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : An. A S

Umur : 12 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Suku : Aceh

Agama : Islam

Alamat : Ds.Ceumpedak kecamatan tanah jambo aye panton labu

Pendidikan : SD

Anak Ke : 1 dari 3 bersaudara

2.2 Identitas Orang tua/ Wali

Ayah

Nama : Tn. S

Umur : 40 tahun

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Wiraswata

Alamat : Ds.Ceumpedak kecamatan tanah jambo aye panton labu

3
Ibu

Nama : Ny. M

Umur : 34 tahun

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : Ds.Ceumpedak kecamatan tanah jambo aye panton labu

2.3 Anamnesis

Anamnesis diperoleh melalui aloanamnesis terhadap ibu pasien

Keluhan Utama : demam

Keluhan Tambahan : mual, muntah, nyeri perut dan pusing

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke Puskesmas Tanah Jambo Aye pada tanggal 11 Desember

2015 pukul 10.00 WIB dengan keluhan demam 3 hari sebelum ke Puskesmas.

Demamnya meningkat pada menjelang sore dan malam hari. Demam tidak di

sertai menggigil. Pasien sebelum minum obat penurun panas, namum kemudian

demam timbul kembali. Pasien juga mengeluh mual dan muntah. Muntah

sebanyak 5 kali berisi makanan tidak disertai darah. Pasien juga lemah setelah

mengalami muntah sebanyak 5 kali Selain itu, pasien juga mengeluh nyeri di ulu

hati. Selain itu pasien mengeluh pusing pada kepalanya sehari sebelum masuk

rumah sakit. Pasien nafsu makan baik. Pasien tidak ada masalah pada BAB dan

BAK.

4
Riwayat penyakit dahulu

Pasien riwayat rhinitis alergika pada saat minum es dan debu

Riwayat penyaki keluarga

Riwayat keluhan yang sama pada keluarga disangkal.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan

• Riwayat antenatal

Pasien dikandung cukup bulan dan sesuai masa kehamilan.Ibu mengaku

tidak menderita penyakit selama kehamilan. Riwayat perdarahan selama

kehamilan disangkal, riwayat trauma selama kehamilan disangkal, Riwayat TB

paru di sangkal. Selama kehamilan ibu memeriksa kehamilannya ke puskesmas

tiap bulan, dikasih obat penambah darah dan vitamin. Suntik TT3 selama

kehamilan yang ke 1

• Riwayat natal

Lahir secara : Spontan pervaginam

Berat badan lahir : 4500 gram

Panjang badan lahir : Ibu tidak tau

Lingkar kepala lahir : Ibu tidak tau

Tempat : Di rumah dengan pertolongan bidan

• Riwayat neonatal

Anak langsung menangis dan gerak aktif

Riwayat imunisasi

Orang tua pasien mengatakan imunisasi anak lengkap.

5
Riwayat makanan

Ibu mengaku anak diberi ASI sampai usia 6 bulan. Setelah usia 6 bulan,

selain ASI anak juga mendapat makanan pendamping ASI, bubur susu, nasi tim,

dan buah. Anak sudah diberikan nasi biasa dan lauk pauk seperti makan keluarga

saat umur 1 tahun.

Pola makan anak saat ini biasa mengkonsumsi nasi, tahu, tempe, ikan,

daging, telur, sayur-sayuran dan kadang buah-buahan. Frekuensi makan 2-3 kali

dalam sehari. Anak ini suka jajan di sekolah

Riwayat sosial,ekonomi,dan lingkungan

Pasien tinggal bersama 5 anggota dirumahnya yang terdiri dari ayah dan

ibu pasien dan berserta dengan 2 orang adik. Pasien merupakan keluarga ekonomi

menengah ke bawah dengan penghasilan kurang Rp.700.000 per bulan. Ayah

pasien bekerja sebagai wiraswata dan ibunya bekerja sebagai ibu rumah tangga.

Keluarga memelihara ayam sebagai tambahan kebutuhan sehari-hari. Anak

biasanya suka bermain dan membantu orang tua.

Rumah yang dihuni saat ini terdiri dari 2 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1

dapur dan 1 kamar mandi. Luas rumah pasien ± 8x8 meter, dengan teras. Jarak

rumah pasien dengan rumah tetangga berjarak 3 meter di sebelah utara, sedangkan

dapur keluarga terletak di belakang rumah. Tempat pembuangan sampah berada di

belakang dapur. Terdapat kali di belakang rumah pasien yang digunakan sebagai

tempat untuk mandi, mencuci pakaian dan alat rumah tangga, serta sebagai tempat

pembuangan sampah. Tembok rumah tidak menyatu dengan tembok tetangga.

6
Ventilasi kurang baik, walaupun memiliki jendela, namun jendela pada kamar

tidur jarang dibuka, plafon terbuat dari triplek, atap rumah terbuat dari genteng.

Terdapat juga sumber air berupa sumur yang digunakan untuk minum

memasak,dan menyuci pakaian. Ibu pasien mengaku setiap menggunkan air untuk

diminum, air tersebut dimasak terlebih dahulu. Jarak antara sumur dengan kali

sekitar 6 meter. WC dengan jarak 1,5 meter dengan tidak terdapat penyediaan air

untuk menampung WC. Biasanya keluarga pasien mengambil air di sumur dengan

timbangan jika ke WC. Dibelakang rumah ter dapat kandang ayam.

Terdapat keluarga pasien dan tetangga pasien yang memiliki penyakit

yang serupa dengan pasien namun berupa demam biasa tanpa disertai adanya

mencret dan berlangsung hanya beberapa hari saja dan langsung sembuh dengan

meminum obat yang dibeli di warung-warung

Ikhtisar keluarga
Keterangan

: Laki-laki

: Perempuan

: Pasien

7
Denah rumah

Kandang
Septi tank
ayam

dapur Kamar
mandi
W
C Keterangan :
Kamar tidur
pasien : Pintu

: Jendela

Ruang tamu Kamar tidur

2.4 Pemeriksaan Fisik

a) Status Present

• Keadaan umum : Lemah

• Kesadaran : Compos Mentis

• Frekuensi jantung : 100 kali/menit

• Frekuensi nafas : 22 kali/menit

• Temperatur : 38,2 ºC

• Berat badan : 30 kg

• Tinggi badan : 142 cm

8
b) Status General

• Kulit : Warna sawo matang,

• Kepala : Rambut hitam dan sulit dicabut, kepala bulat, kesan

normocephali.

• Mata : Mata cekung (-/-), Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),

pupil bulat, isokor, refleks cahaya (+/+), edema palpebra (-/-).

• Hidung : Bentuk normal, Konka hiperemis (+/+), sekret (-/-), pernapasan

cuping hidung (-/-)

• Telinga : Bentuk normal, Sekret (-/-), membran timpani utuh

• Bibir : Sianosis (-), kering

• Lidah : Beslag (-), bersih

• Gigi geligi : Struktur gigi atas dan bawah normal, karies (-).

• Tonsil : Hiperemis (-)

• Faring : Hiperemis (-)

Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), massa (-)

• Thoraks :

Pulmo

 Inspeksi : Retraksi dinding dada (-), Pergerakan dinding dada

simetris

 Palpasi : Vocal Fremitus kanan dan kiri tidak meningkat.

 Perkusi : Sonor (+/+)

 Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

9
Cor

 Inspeksi : Iktus kordis tidak nampak

 Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea mid klavikula sinistra

 Perkusi : Pekak

Batas kanan : ICS III linea parasternal dextra

Batas kiri : ICS V linea mid klavikula sinistra

Batas atas : ICS II linea parasternal sinistra

 Auskultasi : BJ I > BJ II, murmur (-) reguler,

 Abdomen

Inspeksi : Soepel, bentuk simetris,

Palpasi : hepar (tidak teraba), lien (tidak teraba), massa tidak teraba

Perkusi : Timpani (+)

Auskultasi : Bising usus normal

Genitalia : Pasien tidak mau diperiksa

Ekstremitas

Superior : Akral hangat (+/+), Sianosis (-/-)

Inferior : Akral hangat (+/+), Sianosis (-/-), edema pretibial (-/-)

10
Perhitungan status Gizi

BB : 30 kg

TB : 142 cm
𝐵𝐵 30
Status gizi : menurut CDC adalah = 36 Kg , Jadi 36 = 83 % gizi cukup,
𝑈

2.5 Diagnosa Banding

 Obs susp demam tifoid

 Obs susp DBD

 Obs susp ISK

 Obs susp malaria

2.6 Diagnosa Kerja

Diagnosa Kerja: Obs Susp demam Tifoid

2.7 Penatalaksanaan

a. Tirah baring

b. IVFD RL 20 gtt/i

c. Ceftriakson 750 mg/12 jam IV

d. Ranitidine 1 amp/12 jam Iv

e. Domperidon 3x1 tab

f. Paracetamol 3x1 tab

Rencana Pemeriksaan:

a. Laboratorium : darah rutin, urin rutin, Uji tourniquet, Anti Dengue IgM dan

IgG, Uji Widal, Uji TUBEX, Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT,

11
Metode ELISA, Uji IgM Disptick, dan Pemeriksaan bakteriologis dengan

isolasi dan biakan kuman

2.8 Prognosis

o Quo Ad Vitam : Dubia ad bonam

o Quo Ad Fungsionam : Dubia ad bonam

o Quo Ad Sanactionam : Dubia ad bonam

2.9 Faktor Resiko Lingkungan Fisik dari Penyakit

1. Sanitasi lingkungan yang buruk

Sanitasi lingkungan yang buruk meliputi sumber air bersih yang tercemar, kondisi

lingkungan sekitar rumah maupun di dalam rumah yang kotor (sampah bertebaran

di mana-mana), kotoran hewan di jalan umum yang tidak dibersihkan (dibiarkan

begitu saja), dan sebagainya.

2.Ventilasi kurang

Ventilasi rumah yang kurang hanya sedikit dan tidak setiap hari dibuka. hanya ada

1 kamar tidur memiliki ventilasi.

2.10 Faktor Resiko Lingkungan Biologis dari Penyakit

Mikroorganisme yang mendukung terjadinya penyakit demam tifoid

adalah dari bakteri salmonella typhi .

12
2.11 Faktor Resiko Lingkungan Sosial dari Penyakit

1. Ekonomi

Kondisi ekonomi pada keluarga ini tergolong menengah ke bawah yang

menyebabkan pasien sulit memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari, sulit memenuhi

saranan air bersih yang memadai dan terkendala dalam pengobatan ke puskesmas.

2.Pengetahuan

Rendahnya tingkat pengetahuan yang kurang mengenai perilaku hidup

bersih dan sehat dalam rumah tangga menyebabkan pasien mengalami penyakit

demam tifoid.

`3. Sosial

Pasien sering berjajan sembarangan baik di sekolah maupun di dekat

sekitar rumah menjadi salah satu sumber penularan penyakit demam tifoid yang di

sebabkan bakteri salmonella typhi melalui sistem pengelolahan makanan.

2.12 Penentuan Masalah Kesehatan

Penentuan masalah kesehatan penyakit demam tifoid adalah

1.demam tifoid disebakan salmonella typhi.Penularan disebabkan oleh sanitasi

buruk , penyebaran fekal-oral personal hyginie buruk, makanan dan minuman

yang terkontaminasi tinja dan urin,dan melalui vector seperti lalat,kecoa,dan tikus

yang membawa bakteri salmonella typhi.

2. Keadaaan gizi yang kurang baik juga dapat mempengaruhi imunitas yang

menyebabkan pasien rentan terserang demam tifoid.

13
2.13 Upaya Promotif Pada Demam Tifoid

Dalam kasus ini upaya promotif yang dapat dilakukan yaitu

1. Memberikan informasi tentang penyakit demam tifoid dan juga cara

penanganan yang dapat dilakukan di rumah

2. Meningkatkan pengetahuan pasien tentang perilaku hidup bersih dan sehat

untuk menjaga kebersihan diri

3. Meningkatkan pengetahuan untuk menjaga kebersihan lingkungan dan

pentingnya membuka ventilasi rumah

4. Menganjurkan untuk menggunakan sumber air yang bersih dan dimasak

hingga mendidih samapai 5-10 menit sebelum di minum

5. Mengelolah makanan dan minuman yang baik. Memasak hingga matang

dan menggunakan air bersih untuk mencuci makanan, menggunakan

peralatan memasak yang bersih, serta jauhkan makanan dari lalat maupun

alat/bahan-bahan yang berpotensi untuk mengkontaminasi makanan yang

akan di konsumsi

6. Cuci tangan dengan benar menggunakan sabun dan air yang mengalir

7. Menganjurkan untuk mengganti pakaian ketika kotor dan setelah mandi,

memotong kuku yang panjang

8. Menganjurkan untuk anak tidak jajan sembarangan baik di sekolah

maupun dekat rumah.

14
2.14 Upaya Preventif Pada Demam Tifoid

Upaya preventif terdapat 3 hal

1.Upaya primer

 Menggunakan air bersih untuk memasak, mandi dan kegiatan sehari-hari

lainnya

 Mencuci tangan yang benar pada 5 waktu yaitu sebelum/sesudah makan,

setelah BAB, sebelum memegang bayi, setelah menceboki anak dan

sebelum menyiapkan makanan dengan cara yang benar dengan

menggunakan sabun dan air yang mengalir

 Membuka ventilasi rumah setiap hari

 Mengkonsumsi makanan yang bersih dan bergizi

 Mengurangi anak tidak jajan sembarangan disekolah dan menyediakan

bekal makanan yang bergizi.

2.Upaya sekunder

 Deteksi dini dan pengobatan yang cepat dan tepat, seperti pemberian
antibiotika yang tepat untuk mencegah terjadinya komplikasi.

3.Upaya tersier

 Pengembalian fungsi baik fisik dan psikologis

 Mengkonsumsi makanan bergizi, tinggi kalori dan protein serta menjaga

keseimbangan cairan untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan mencegah

komplikasi.

15
2.15 Upaya Kuratif Pada Demam Tifoid

Upaya kuratif adalah upaya yang dilakukan untuk mendiagnosis sedini

mungkin dan mengobati secara tepat dan rasional terhadap individu yang

terserang penyakit. Upaya kuratif yang dilakukan pada penderita ini meliputi

 Diet tinggi kalori dan protein

 Pemberian antibiotik dan antipiretik yang tepat.

2.15 Upaya Rehabilitatif Pada Demam Tifoid

Upaya-upaya yang dilakukan adalah

 Istirahat yang cukup selama di rawat di rumah

 Menjaga kualitas dan kuantitas makanan sehari-hari di rumah, agar

kebutuhan gizi tetap terpenuhi dengan baik dan pasien memiliki daya

tahan tubuh yang baik pula sehingga tidak mudah terserang penyakit

 Menganjurkan cuci tangan secara rutin sebelum makan dan menggunakan

sabun, memasak air sebelum di minum, mencuci buah dan sayur sebelum

makan

 Menyediakan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari

 Menganjurkan agar pakaian diganti ketika kotor dan setelah mandi serta

tidak digunakan secara bergantian

16
2.16 Upaya Psikososial Pada Demam Tifoid

Aspek psikososial adalah aspek yang berkaitan dengan emosi, sikap,

pengetahuan, perilaku, keterampilan, nilai-nilai social budaya,

kepercayaan, dan adat istiadat di lingkungan sekitar

 Pemberian dukungan/motivasi kepada keluarga pasien agar tidak khawatir

dengan keluhan yang dialami

 Mendorong pasien serta keluarga pasien untuk menerapkan perilaku hidup

bersih dan sehat

 Memberikan motivasi untuk terus mengkonsumsi makanan yang sehat

 Menyarankan agar anak mengurangi jajan sembarangan baik

disekolah/maupun sekitar rumah

17
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEMAM TIFOID

3.1.1 Definisi

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever.

Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran

pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai

gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1

3.1.2 Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan

karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat

luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan

terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi

600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Di negara berkembang, kasus demam tifoid

dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan

sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan

rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh

propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di

daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta

kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19

tahun pada 91% kasus.5

Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai

natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat

18
mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka

waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada diluar tubuh manusia

dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada didalam air, es, debu, atau

kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi hanya dapat

hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan

klorinasi dan pasteurisasi (temp 63°C).1

Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui

minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau

pembawa kuman, biasanya keluar bersama – sama dengan tinja (melalui rute oral

fekal = jalurr oro-fekal).

Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang

berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-

fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada

bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.1

3.1.3 Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri

Salmonella typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S.

paratyphi A, S. paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S.

Hirschfeldii).

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-

negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif

anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar

antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri

19
polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang

membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi

juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik.1

Gambar 3.1. Mikroskopik Salmonella Typhi

3.1.4 Patogenesis

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti

ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2)

bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus

limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial

3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang

meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas

membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal

20
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam

tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian

kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2)

banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang

biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk

dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja

meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria,

post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan

Proton Pump Inhibitor.

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum

dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka

kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang

yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan

selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan

difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan

berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di

ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.

Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam

makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama

yang sifatnya asimtomatik dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial

tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan

sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan

21
selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia

kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.

Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang

biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam

lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi

ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,

berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis

kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam,

malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai

gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental

ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari

berturut- turut.1,4

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi

jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,

hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi

akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis

dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan

otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel

di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti

gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.

22
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut

terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui

pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi

makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika

untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang

dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang

tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis.1,4

Bagan 3.1. Patofisiologi Demam Tifoid

23
3.1.5 Patologi

Huckstep membagi patologi dalam plaque Peyeri dalam empat fase.

Keempat fase ini akan terjadi secara berurutan bila tidak segera diberikan

antibiotik yaitu :

Fase 1 : hiperplasia folikel limfoid

Fase 2 : nekrosis folikel limfoid selama seminggu kedua melibatkan mukosa dan

submukosa

Fase 3 : ulserasi pada aksis panjang bowel dengan kemungkinan perforasi dan

pendarahan

Fase 4 : penyembuhan terjadi pada minggu keempat dan tidak menyebabkan

terbentuknya struktur seperti pada tuberkulosis bowel.6

Ileum merupakan lokasi patologi tifoid klasik, tetapi folikel limfoid pada

bagian traktus gastrointestinal lainnya juga dapat terlibat seperti yeyunum dan

kolon ascending. Ileum biasanya mengandung plaque Peyeri lebih banyak dan

luas dibandingkan yeyunum. Jumlah folikel limfoid akan berkurang seiring

dengan pertambahan usia.6

3.1.6 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih

bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada

gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam

tifoid pada anak, terutama pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid

kongenital ataupun tifoid pada bayi.

24
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa

inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi

mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status

gizi serta status imunologis penderita.1,7,8

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis

besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :

 Demam satu minggu atau lebih.

 Gangguan saluran pencernaan

 Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi

akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare,

konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.

Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam

remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai

ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat.

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada

orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise

pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula

bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital.

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat

dengan tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di

bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan.

25
Bila penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila

lebih prominen.

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu

kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm,

berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan

emboli kuman yang didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama

didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian

fleksor lengan atas.

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu

pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran

limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.

Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan

ukuran 1 – 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas

dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada

anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3

hari.1,7,8

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan

Anak FK Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12

tahun dengan diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam

darah dan 85% telah mendapatkan terapi antibiotika sebelum masuk rumah sakit

serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit penderita, didapatkan keluhan

dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut : panas (100%), anoreksia (88%),

nyeri perut (49%), muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare (31%). Dari

26
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan

sopor (1%) serta lidah kotor (54%), meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan

splenomegali (7%).10 Hal ini sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta

dengan diare (39,47%), sembelit (15,79%), sakit kepala (76,32%), nyeri perut

(60,5%), muntah (26,32%), mual (42,11%), gangguan kesadaran (34,21%), apatis

(31,58%) dan delirium (2,63%).9 Sedangkan tanda klinis yang lebih jarang

dijumpai adalah disorientasi, bradikardi relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk,

penurunan pendengaran, stupor dan kelainan neurologis fokal.9

3.1.7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam

tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :

1. Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang

dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer,

yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus.

Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi

leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas

normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain.

Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis

relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung

pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan

kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak

memerlukan penanganan khusus.

27
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid

sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.1,7,9

2. Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam

tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi

maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji

serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa

antikoagulan.

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai

penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan

adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen

spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang

diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang

digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).9

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini

meliputi :

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi

terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896.

Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan

antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan

pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama.

28
Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam

serum.

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum

penderita tersangka demam tifoid yaitu;

1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2. Aglutinin H (flagel kuman)

3. Aglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan

untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar

kemungkinan terinfeksi kuman ini.

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.

Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa

tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah

sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin

H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat

dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap

S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai

untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan

pengidap S.typhi.

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai

uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit)

menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus

29
benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan.

Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200

atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid

dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau

infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman

S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang

dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang

terbukti biakan darah positif.

Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan

dengan penderita dan faktor teknis.

 Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu

1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.

2. Gangguan pembentukan antibodi.

3. Saat pengambilan darah.

4. Daerah endemik atau non endemik.

5. Riwayat vaksinasi.

6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan

demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.

 Faktor teknik, yaitu

1. Akibat aglutinin silang.

2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.

30
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:

1) Negatif Palsu

Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling

sering di negara kita, demam –> kasih antibiotika –> nggak sembuh dalam 5 hari

–> tes Widal) menghalangi respon antibodi.Padahal sebenarnya bisa positif jika

dilakukan kultur darah.

2) Positif Palsu

Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B,

C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan

jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive).

Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).

b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang

sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang

berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan

menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada

Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena

hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam

waktu beberapa menit.

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ® ini,

beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai

sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh

31
Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.15

Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar

89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk

pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara

berkembang.9

Ada 4 interpretasi hasil :


 Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid.

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.

 Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid

 Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:

 Immunodominan yang kuat

 Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan H

kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap sel B.

 Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga respon

antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.

 Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat

melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.

 Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang ditemukan

baik di alam maupun diantara mikroorganisme

32
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :

 Mendeteksi infeksi akut Salmonella

 Muncul pada hari ke 3 demam

 Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella

 Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit

 Hasil dapat diperoleh lebih cepat

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT


Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik

IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM

menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi

terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi.

Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang

tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-

M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi

dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan

pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.

Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid

bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai

prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.16

Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam

tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan

33
efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79%

dan spesifisitas sebesar 89%.

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-

tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan

dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif

yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa

Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan

kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan

spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang

dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran

nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat

digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan

sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah

bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan

diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila

hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.9

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk

melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG

terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji

ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam

spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992)

34
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada

sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang

didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan

sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial

serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine

penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada

deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen

Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih

lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada

minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya

nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.9

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda

dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi

dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi

sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen

kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak

memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.3,7

Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar

69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila

dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai

prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap

35
30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan

spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata

sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang

menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.22 Uji ini terbukti

mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar

manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil

kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak

tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.

3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S.

typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau

dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih

mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit,

sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil

negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada

beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1)

jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu;

dan (3) waktu pengambilan darah.

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak

kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan

untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih

sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat

36
menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila

dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana

dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.

typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan

pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-

80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50%

pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita

yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah

dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan

meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun

secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum

tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi

dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama

perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama

bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan

kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan

kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil

yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko

aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa

37
sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur

sumsum tulang.8.9

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media

yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat

minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu

pengambilan spesimen yang tidak tepat.

Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai

sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang

dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri

sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis

baku dalam pelayanan penderita.

4. Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah

mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan

teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase

chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar

100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya

dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk

(2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur

darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi

risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila

38
prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam

spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam

spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya

yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari

spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat

ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.9

3.1.8 Diagnosis

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang

ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun

gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan

saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis

biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti

nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen,

pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat

merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua

timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi,

sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat

meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare,

menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh

tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa.

Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada

dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3

39
hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis

menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala

klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam

menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk

menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium

yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan

diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan

bakteriologis.7,8

3.1.9 Diagnosis Banding

Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara

klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis,

bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh

mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik,

bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam

tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai

dignosis banding.1

40
3.1.10 Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :7

1. Komplikasi pada usus halus

a) Perdarahan usus

Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan

benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut

dengan tanda – tanda renjatan.

b) Perforasi usus

Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada

bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat

ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang

dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang

dibuat dalam keadaan tegak.

c) Peritonitis

Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.

Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang,

dan nyeri tekan.

2. Komplikasi diluar usus halus

a) Bronkitis dan bronkopneumonia

Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan

disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat

timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah

abses paru, efusi, dan empiema.

41
b) Kolesistitis

Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua

dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka

penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.

c) Typhoid ensefalopati

Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa

kesadaran menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak

dalam batas normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya

jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.

d) Meningitis

Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan

pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas

sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella

havana dan Salmonella oranemburg.

e) Miokarditis

Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis

tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering

terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain

: sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat

I, aritmia, supraventrikular takikardi.

f) Infeksi saluran kemih

Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi

melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis

42
dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering

dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal

ginjal maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.

g) Karier kronik

Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit

demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier

temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10%

pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu

setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk

sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier

adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis.

Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin

memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.

3.1.11 Penatalaksanaan

1. Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien

harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.8

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat

adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak

memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk

43
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya

diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun

parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada

komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus

mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus

setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan

suhu tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan

memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika

reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor

mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer.

Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla

oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior

sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan

pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat (berkeringat),

diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai keadaan normal

kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus.

Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha

menurunkannya begitu juga sebaliknya.10

44
2.Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik.

Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah

Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk

menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran

cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk

diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat

diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,7,8

 Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid

fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100

mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup

50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah

demam turun. Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena

hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri.

Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder pengobatan

diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah

mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.

 Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan

sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari

45
dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian

secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari

diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika

golongan ini adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia

megaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara

antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.

 Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah

dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk

anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis

yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama

2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan

terapi chloramphenicol.

 Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan

pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari

Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap

Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100

mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari.

Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis.

Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15

mg/kg/hari selama 10 hari.

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai

syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit

untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.

46
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang

diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera

dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.

3.1.12 Prognosis

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan

kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan

terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang,

angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan,

dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau

perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan

morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser.

Typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi

karier pada anak – anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi

pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.1

47
BAB IV
KESIMPULAN

Demam tifoid pada anak disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella

typhi yang ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan

masuk ke saluran cerna dan melakukan replikasi dapal ileum terminal.

Demam tifoid pada anak memiliki gejala yang cukup spesifik berupa

demam, gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam yang

terjadi lebih dari 7 hari terutama pada sore menjelang malam dan turun pada pagi

hari. Gejala gastrointestinal bisa terjadi diare yang diselingi konstipasi. Pada

cavum oris bisa didapatkan Tifoid Tongue yaitu lidah kotor dengan tepi hiperemi

yang mungkin disertai tremor. Gangguan Susunan Saraf Pusat berupa Sindroma

Otak Organik, biasanya anak sering ngelindur waktu tidur. Dalam keadaan yang

berat dapat terjadi penurunan kesadaran seperti delirium, supor sampai koma.

Diagnosis cukup ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan penunjang yang

dapat menunjang infeksi Demam Tifoid ini adalah Darah Lengkap, Uji Widal,

atau pemeriksaan serologi khusus yaitu IgM dan IgG antiSalmonella.

Penatalaksanaan penyakit ini meliputi 3 pokok utama yaitu: istirahat

dengan tirah baring yang cukup, Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein Rendah Serat,

dan Antibiotika yang memiliki efektivitas yang cukup tinggi terhadap kuman

Salmonella typhi.

48

Anda mungkin juga menyukai