Referat PD Fix
Referat PD Fix
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemeriksaan fisik merupakan salah satu pemeriksaan yang dapat memperkuat temuan-
temuan yang didapatkan dalam anamnesis. Pemeriksaan fisik adalah suatu proses dari
seorang ahli medis yang memeriksa tubuh pasien untuk menemukan tanda klinis suatu
penyakit. Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan visual atau pemeriksaan pandang
(insepksi), pemeriksaan perabaan (palpasi), pemeriksaan ketok (perkusi) dan pemeriksaan
dengar dengan menggunakan stetoskop (auskultasi). Pemeriksaan fisik sangat berpengaruh
terhadap diagnosis yang akan di tegakkan untuk pasien, karena pemeriksaan fisik dapat
menunjukkan tanda-tanda dari suatu penyakit1.
Biasanya pemeriksaan fisik dilakukan secara sistematis, mulai dari bagian kepala hingga
berakhir pada anggota gerak2. Saat melakukan pemeriksaan fisik, pemeriksa harus menjaga
sikap sopan santun dan rasa hormat terhadap tubuh dan pribadi pasien yang akan di periksa.
Sebisa mungkin hindari tindakan yang dapat mengakibatkan rasa malu atau rasa tidak
nyaman pada pasien. Dan pemerisa juga diharapkan untuk tidak kaku dan canggung saat
memeriksa pasien, karena hal ini dapat mengurangi kepercayaan pasien terhadap pemeriksa1.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara pemeriksaan fisik
yang baik dan benar
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
direkomendasikan saat ini. Jika IMT kurang dari 17 atau berat badannya kurang dari
batas bawah kisaran nilai berat terhadap tinggi badan, harus diwaspadai kemungkinan
anoreksia nervosa, bulimia atau keadaan medis lainnya2.
3
Ada beberapa jenis tingkat kesadaran, yaitu :
1. Kompos mentis, yaitu sadar sepenuhnya baik terhadap dirinya maupun terhadap
lingkungannya. Pasien biasanya dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan
baik.
2. Apatis, yaitu dimana pasien tampak segan dan acuh tak acuh terhadap
lingkungannya.
3. Delirium, yaitu penurunan kesadaran disertai kekacauan motoric dan siklus tidur
bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh, gelisah, kacau, disorientasi dan
meronta-ronta
4. Somnolen (letargia, obtundasi, hypersomnia), yaitu keadaan mengantuk yang
masih dapat pulih penuh bila dirangsang, tetapi bila rangsangan berhenti pasien
akan tertidur kembali.
5. Spoor (stupor), yaitu keadaan mengantuk yag dalam, pasien masih bisa
dibangunkan dengan rangsangan yang kuat, misalnnya rangsangan nyeri tetapi
pasien tidak terbangun sempurna dan tidak dapat memberikan jawaban verbal
yang baik.
6. Semi koma (koma ringan), yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan
respon terhadap rangsangan verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali,
tetapi reflex (kornea, pupil) masih baik. Respons terhadap rangsangan nyeri tidak
adekuat.
7. Koma, yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan
dan tidak ada respons terhadap rangsangan nyeri.
Tabel 1. Tingkat kesadaran, teknik pemeriksaan dan respons abnormal2
Tingkat Teknik pemeriksaan Respon abnormal
kesadaran
Kompos mentis Bicaralah kepada pasien dengan nada
(kesadaran penuh) suara yang normal. Pasien yang sadar
akan membuka matanya, menatap
pemeriksa dan bereaksi secara penuh
serta tepat terhadap rangsangan
(arousal intact)
Letargi Bicaralah kepada pasien dengan Pasien letargi akan tampak mengantuk
suara yang keras misalnya panggil tetapi masih membuka kedua matanya dan
nama pasien dan tanyakan “ menatap pemeriksa, menjawab pertanyaan
bagaimana keadaan bapak/ibu?” dan kemudian tidur lagi
4
Somnolen Guncangkan tubuh pasien secara Pasien somnolen akan membuka matanya
perlahan seperti ketika dan menatap pemeriksa, tetapi
membangunkan orang yang tidur menunjukkan respon yang lambat dan
terlihat agak bingung, kesadaran dan
perhatian terhadap lingkungan tampak
menurun
Stupor Berikan rangsangan yang Pasien stupor hanya bangun dari tempat
menimbulkan rasa nyeri misalnya tidurnya jika dilakukan rangsangan yang
memijit tendon, gosok tulang menimbulkan rasa nyeri. Respon
sternum atau menggulirkan pensil verbalnya lambat atau mungkin tidak ada,
dengan penekanan pada kuku pasien segera masuk dalam keadaan
nonresponsif (tidak bereaksi) ketika
rangsangan dihentikan.keadaan ini
merupakan tingkat kesadaran yang paling
minimal terhadap diri atau lingkungannya
Koma Berikan rangsangan yang kuat secara Pasien yang koma tetap tidak bisa
berulang-ulang dibangunkan sementara kedua matanya
tertutup. Tidak ada bukti bahwa pasien
bereaksi terhadap kebutuhan internal atau
rangsangan eksternal
5
Interpretasi :
Skor 14-15 : Kompos mentis
Skor 12-13 : Apatis
Skor 11-12 : Somnolen
Skor 8-10 : Stupor
Skor <5 : Koma
c. Tanda-tanda distress
Sebagai contoh apakah pasien ada menunjukkan bukti adanya permasalahan dibawah ini:
Distres jantung atau Keluhan dada seperti tertindih, pucat, pernapasan yang berat,
respirasi mengi (wheezing), batuk-batuk
Rasa nyeri Wajah yang menyeringai kesakitan, pengeluaran keringat
(perspirasi), gejala melindungi bagian tubuh yang nyeri
Kecemasan atau depresi Wajah yang cemas, memainkan jari-jari tangan, telapak tangan
yang dingin dan basah, keadaan afektif yang tanpa ekspresi atau
yang datar, kontak mata yang buruk, perlambatan psikomotor
6
diantara tekanan darah sistolik atau diastolik dapat dinyatakan tinggi untuk orang dewasa
(berusia 18 tahun atau lebih)2.
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Hipertensi
Stadium 3 (berat) ≥180 ≥110
Stadium 2 (sedang) 160-179 100-109
Stadium 1 (ringan) 140-159 90-99
Normal Tinggi 130-139 85-89
Normal <130 <85
Optimal <120 <80
7
bronkial seing kali pasien mengalami sesak napas jika berbaring dan akn lebih nyaman
jika dalam posisi tegak (berdiri atau duduk) keadaan ini disebut dengan ortopneu1.
Perhatikan frekuensi pernapasan, irama, dalamnya pernapasan, dan upaya bernapas.
Hitung jumlah respirasi selama satu menit dengan inspeksi visual atau dengan
mendengarkan bunyi pernapasan pada trakea pasien dengan stetoskop. Normalnya orang
dewasa akan menarik napas sebanyak 14-20 kali per menit dengan pola regular tanpa
mengeluarkan suara. Ekskpresi yang memanjang menunjukkan adanya penyempitan
bronkiolus2.
d. Suhu tubuh
Suhu tubuh yang normal adalah 360-370 C. pada pagi hari suhu mendekati 360C dan
pada sore hari mendekati 370 C. pengukuran suhu direktum juga akan lebih tinggi 0,50-10
C dibandingan suhu mulut, dan suhu mulut 0,50 lebih tinggi dibandingkan suhu aksila1.
2.4 Pemeriksaan Kulit
a. Kualitas kulit
Dinilain kelembaban kulit, elastisitas kulit( turgor) diperiksa pada dinding perut, dikulit
lengan atau kulit punggung tangan dengan cara mencubitny. Turgor yang menurun
didapatkan pada pasien dehidrasi, kaheksia dan senilitas. Dinilai ada tidaknya atrofi kulit,
hipertrofi kulit1.
b. Warna kulit
Melanosis , yaitu kelaianan warna kulit yang disebabkan berkurang atau bertambahnya
pembentukan pigmen melanin pada kulit. Albinisme , yaitu tidak adanya pigmen melanin
dikulit, rambut dan mata, dapat bersifat partial atau generalisata. Vitiligo (hipomelanosis
yang berbatas tegas), icterus (warna kekuningan) yang biasanya mudah dilihat di sclera1.
2.5 Pemeriksaan Kepala dan Wajah
a. Kepala
Untuk pemeriksaan kepala, pasien disuruh duduk dihadapan pemeriksa dengan mata
pasien sama tinggi dengan mata pemeriksa. Bentuk dan ukuran kepala harus diperhatikan
dengan seksama1.
8
b. Rambut
Kerontokan rambut serta tidak tumbuhnya rambut (kebotakan) disebut dengan alopesia.
Bila alopesia mengenai seluruh tubuh disebut alopesia universal. Kelebatan rambut juga
bisa bertambah pada tempat tempat yang biasa ditumbuhi rambut disebut hipertrikosis1.
c. Wajah
Pucat, icterus, dan sianosis segera terlihat pada wajah pasien. Sianosis akan ditemukan
pada pasien dengan kelainan jantung bawaan dengan shunt dari kanan ke kiri, penyakit
paru obstruktif menahun atau keadaan hipoksia lainnya. Pasien lupus eritematous akan
menunjukkan gambaran eritema pada kedua pipinya yang disebut ruam malar atau
betterfly rash1.
d. Mata
Pemeriksaan mata dimulai dengan mengamati pasien waktu masuk kedalam ruang
periksa, misalnya apakah pasien dibimbing oleh keluarga atau tidak, adanya mata merah
atau berdarah. Dinilai ada tidaknya eksoftalmus ( bola mata keluarkarena fisura palpebral
melebar), enoftalmus ( bola mata tertarik ke dalam) biasanya terdapat pada dehidrasi dan
sindrom horner, gerakan bola mata, strabismus, nistagmus, sekresi air mata, konjungtiva,
sclera, kornea1,2.
e. Telinga
Suruh pasien duduk dengan posisi badan condong sedikit kedepan dan kepala lebih tinggi
sedikit dari kepala emeriksa, sehingga pemeriksa dapat melihat liang telinga luar dan
membrane timpani1.
f. Hidung
Dilakukan pemeriksaan hidung bagian luar ( rinoskopi posterior dan rinoskopi anterior)1.
g. Mulut
Dilihat bibir dan mukosa mulut, lidah, gigi geligi, palatum, bau pernapasan.
2.6 Pemeriksaan Leher
Inspeksi
- Bentuk leher dan warna (simetris/asimetris, kemerahan)
- Adakah penonjolan vena jugularis
- Adakah terlihat tumor (soliter/multiple, unilateral/bilateral, konfluens/diseminata)
- Adakah tortikolis
9
Palpasi
Auskultasi
10
Kelainan yang langsung dapat didengar tanpa bantuan alat pemeriksa, seperti :
a. Suara mengi (wheezing), suara napas seperti music yang terdengar selama fase
inspirasi dan ekspirasi karena terjadinya penyempitan jalan udara
b. Stridor, suara napas yang mendengkur secara teratur. Terjadi karena adanya
penyumbatan daerah laring. Stridor dapat berupa inspiratoar atau ekspiratoar. Yang
terbanyak adalah stridor inspiratoar, misalnya pada tumor, peradangan pada trakea,
atau benda asing di trakea
c. Suara serak ( hoarseness) terjadi karena kelumpuhan pada saraf laring atau
peradangan pita suara
Setelah melakukan pengamatan awal dilakukan pemeriksaan fisik paru yang terdiri dari
inspeksi , palpasi, perkusi dan auskultasi3.
11
- Abdominal, biasanya pada pasien PPOK
- Kombinasi ( jenis pernapasan yang paling banyak)
e. Pola pernapasan
- Pernapasan normal : irama pernapasan yang berlangsung secara teratur ditandai
dengan adanya fase-fase inspirasi dan ekspirasi yang silih berganti
- Takipnea : napas cepat dan dangkal
- Hiperpnea/hiperventilasi : napas cepat dan dalam
- Bradipnea : napas yang lambat
- Pernapasan cheyne stokes : irama pernapasan yang ditandai dengan adanya periode
apnea (berhentinya gerakan pernapasan) kemudian disusul periode hiperpnea
(pernapasan yang mula-mula kecil amplitudonya kemudian cepat membesar dan
kemudian mengecil lagi)
- Pernapasan Biot (ataxic breathing) : jenis pernapasan yang tidak teratur baik dalam
hal frekuensi maupun amplitudonya.
- Sighing respiration : pernapasan normal yang diselingi oleh tarikan napas yang dalam
12
Obstruksi ( ekspirasi memanjang) Asma
PPOK
Bradipneu (pernapasan melambat Depresi napas karena obat; koma
abnormal) diabetic
Kussmaul (pernapasan cepat dan Asidosis metabolic;olahraga;anxietas
dalam)
Biot/ataxic (ireguler dengan episode Depresi napas karena obat; kerusakan
upneu memanjang) otak (khususnya medulla oblongata)
Cheyne stokes (irama napas berubah Depresi napas karena obat;kerusakan
dan dalam dengan periode apneu) otak; uremia
Apneustik ( pernapasan dengan jeda Lesi dipons
inspirasi panjang)
Sighing respiration
Palpasi
13
Cara Melakukan Pemeriksaan Palpasi Thoraks2,3
- Memeriksa adanya nyeri tekan, massa (deskripsikan), patah tulang, posisi trakea,
emfisema
- Memeriksa pengembangan dinding dada, dengan cara menempelkan tangan pada
dinding dada bagian bawah dengan kedua ibu jari bertemu pada garis midsternalis
dan jari lain mengarah sisi kiri dan kanan dinding thoraks, pasien inspirasi dalam,
perhatikan gerakan kedua ibu jari pemeriksa (simetris/asimetris)
- Memeriksa fremitus taktil, dengan meletakkan kedua telapak tangan pada dinding
dada, melakukan palpasi pada permukaan dinding thoraks secara berurut untuk
menilai tactile fremitus pada hemithoraks kiri dan kanan secara simetris dan
menyilang tangan, pasien menyebutkan tujuh-tujuh atau sembilan-sembilan (sama
kuat : normal. Menguat : meningkatnya intensitas paru (infiltrate/konsolidasi
pneumonia. Melemah : getaran suara dipantulkan/diresorbsi intensitas paru
berkurang atelektasi, efusi)2,3
- Memeriksa iktus kordis, meraba iktus kordis dengan 4 jari tangan kanan pada ruang
intercostal 4 dan 5 linea midclavicularis kiri. Kemudian dirasakan hanya dengan ibu
jari.
Gizi kurang
Tampak
Kardiomegali (pembesaran jantung)
14
Letak IC Kesan
Bergeser
Kardiomegali
Right ventricle enlargement (RVE)
Ke lateral
Left ventricle enlargment (LVE)
Ke kaudolateral
Perkusi
- Meletakkan posisi tangan dengan benar (jari tengah tangan kiri sebagai fleximeter,
jari tengan tangan kanan sebagai flexor) dan melakukan perkusi pada kedua
hemithoraks kiri dan kanan, mulai dari dinding thoraks atas ke bawah2,3. Bandingkan
kiri dan kanan.
Sonor : normal, bila udara dalam alveoli cukup banyak
Hipersonor : pneumotoraks, emfisema
Redup :jaringan padat bertambah misalnya pada pneumonia, massa, cairan
Pekak : jaringan tidak mengandung udara didalamnya , misalnya tumor paru,
efusi pleura massif
15
- Menilai batas paru dan jantung. Melakukan perkusi untuk menilai batas-batas jantung
atas (parasternalis sinistra SIC III), kiri ( SIC V midclavicularis sinistra), kanan
(sternalis dekstra SIC IV)
- Menilai batas paru-hepar. Melakukan perkusi mulai dari ICS II dekstra, sepanjang
linea midclavicula dekstra kea rah inferior ( perubahan suara dari sonor ke redup,
normal pada SIC V dekstra)2,3
Kesan melebar
Kardiomegali
RVE
Ke lateral
LVE
Ke kaudolateral
Auskultasi
Cara Pemeriksaan Fisik Auskultasi Thoraks2,3
- Meminta pasien untuk bernapas dalam, mendengarkan dengan menggunakan
diafragma/bell stetoskop sesuai lokasi, bandingkan auskultasi beberapa area lapang
paru ada tidak suara napas tambahan2,3.
Bunyi napas tambahan :
1. Ronki basah kasar : saluran napas besar, gelembung udara besar pecah
2. Ronki basah sedang : saluran napas kecil/sedang, gelembung udara kecil
pecah (bronkiektasis, bronkopneumonia)
16
3. Ronki basah halus : terbukanya alveolus,gesekan rambut/permukaan dan
jari (sembab paru dini, pneumonia dini)
4. Ronki kering : obstruksi parsial saluran napas besar, mengerang
sonorous (nada rendah) dan obstruksi saluran napas kecil, mencicit
(wheezing) sebilan (nada tinggi)
Catatan :
Bunyi jantung I akibat penutupan katup mitral dan tricuspid, tanda dimulainya
sistol
17
Bunyi jantung II akibat penutupan katup aorta dan pulmonal, tanda dimulainya
diastolic
Bunyi jantung III akibat pengisian cepat ventrikel, bernada rendah, paling jelas
di apeks jantung ( terjadi pada pase diastolic awal). Bunyi
dihasilkan karena aliran darah yang mendadak dengan jumlah
banyak dari atrium kiri ke ventrikel kiri, pada permulaan fase
diastolic. Dapat ditemukan pada payah jantung dan
miokarditis atau fisiologis pada anak-anak dan dewasa muda
Bunyi jantung IV akibat distensi ventrikel yang dipaksakan akibat kontraksi
atrium yang kuat dalam memompakan darah ke ventrikel. Hal
ini terjadi karena terdapat bendungan di venntrikel sehingga
atrium harus memompa lebih kuat untuk mengososngkan
atrium, paling jelas terdengar di apeks cordis (terjadi pada
fase diastolic akhir). Biasanya terdapat pada kasus gagal
jantung4
Split BJ II merupaka bunyi jantung II terpecah dengan intensitas
yang sama dan jarak keduanya dekat.hal ini terjadi karena
penutupan katup pulmonal dan katup aorta tidak jatuh
bersamaan sehingga tidak sinkron. Perbedaan ini terjadi
karena ventrikel kanan missal lebih besar sehingga katup
pulmonal menutup lebih lambat. Missal terjadi pada kasus
ASD
Opening snap terbukanya katup mitral yang kaku dengan mendadak,
sehingga terdengar bunyidengan intensitas tinggi sesudah BJ
II. Didapat pada kasus stenosis mitral
Aortic click bunyi yang dihasilkan karena katup aorta membuka secara
cepat dan didapatkan pada kelainan stenosis aorta
Pericardial rub didapat pada kasus pericarditis konstriktiva, terjadi
gesekan antara perikard visceral dan lapis parietal. Bunyi ini
tidak di pengaruhi oleh pernapasan. Bunyinya kasar dan
18
dapat di dengar di daerah tricuspid dan apical pada fase
sistolik atau diastolic atau keduanya
Derajat intensitas bising terdapat 6 tingkat, yaitu :
1. Derajat I terdengar sama-samar
2. Derajat II terdengar halus
3. Derajat II terdengar jelas dan agak keras
4. Derajat IV terdengar keras, dapat dengan stetoskop yang diletakkan pada
punggung telapak tangan yang diletakkan di atas apeks.
5. Derajat V terdengar sangat keras, dapat dengan telapak tangan diletakkan di apeks
dan stetoskop diletakkan di lengan bagian bawah dan bising jantung masih
terdengar
6. Derajat VI sudah terdengar meskipun stetoskop tidak diletakkan di dinding dada
Interval
Normal
Jantung terkompensasi
Tidak normal
Atrial fibrillation (AF)
Keteraturan
Reguler
Jantung terkompensasi
Ireguler
AF
Bising
Pansistolik
Kelainan katup
Mitral stenosis (MS)
Mitral regurgitasi (MR)
Diagnosis banding
Hipertension heart
disease (HHD)Penyakit jantung rematik
(PJR)
19
Pemeriksaan Thoraks Posterior2,3
Inspeksi
- Meminta pasien duduk dengan rileks dan menyilangkan kedua tangan di depan,
pemeriksa berdiri dibelakang pasien
- Perhatikan bentuk dada bagian belakang, bentuk tulang belakang (kifosis, lordosis,
scoliosis, gibbus)
- Meminta pasien untuk bernapas dalam, perhatikan asimetris gerakan/keterlambatan
gerakan3
Palpasi
- Memeriksa adanya nyeri tekan, massa (deskripsikan), patah tulang
- Memeriksa pengembangan dada, dengan cara meletakkan kedua telapak tangan pada
dinding dada dan meminta pasien bernapas dalam
- Memeriksa fremitus taktil, dengan cara melakukan palpasi pada permukaan dinding
thoraks secara berurutan untuk menilai tactl fremitus pada hemitotaks kiri dan kanan
secara simetris dan menyilangkan tangan, pasien menyebutkan tujuh-tujuh2,3.
Perkusi
- Melakukan perkusi pada kedua hemithoraks belakang kiri dan kanan mulai dari atas
kebawah, bandingkan kiri dan kanan
- Menentukan batas paru belakang kanan dan kiri ( normal pada vertebra torakal X-XI).
20
- Menentukan peranjakan batas paru belakang ( tentukan batas paru saat inspirasi biasa
kemudian tentukan batas paru saat inspirasi dalam (normalnya batas paru beranjak
turun 2 jari/ lebih kurang 4cm))3
Auskultasi
- Mendengarkan suara napas pada hemithoraks belakang kiri dan kanan, secara berurut
dai atas kebawah. Menilai hasil auskultasi ( suara napas tambahan)3
21
Auskultasi
Perkusi
22
Palpasi
Pasien akut abdomen datang dengan keluhan nyeri perut, karena subyektifitas nyeri
sangat tinggi maka perlu dilakukan pemeriksaan untuk konfirmasi sumber nyeri. Nyeri pada
akut abdomen disebabkan karena adanya rangsangan pada peritoneum, untuk itu
pemeriksaan bertujuan memastikan hal tersebut4. Penilaian rangsangan peritoneal :
1. Nyeri batuk. Minta pasien untuk batuk, bila terasa nyeri minta pasien menunjukkan
lokasinya
2. Nyeri ketok, rasa nyeri pada saat perkusi ringan menunjukkan adanya peradangan
peritoneum
3. Defans muskuler, rasa adanya ketegangan/tahanan dinding perut saat melakukan palpasi
4. Nyeri tekan lepas (tanda Blumberg), dengan cara menekankan jari secara pelan-pelan
sampai dalam , kemudian di lepaskan mendadak. Dianggap positif dan menunjukkan adanya
peradangan peritoneum bila timbul nyeri bila tahanan dilepas. Biasanya tidak dilakukan bila
telah jelas adanya defans muskuler.
5. Tanda Rovsing, tanda ini muncul jika merasakan nyeri pada bagian kanan bawah dan
atau saat pemeriksa melepaskan tangan pasien juga merasakan nyeri pada bagian kanan
bawah
23
6. Tes Psoas, letakkan tangan kanan dipaha kanan pasien sedikit diatas lutut lalu minta
pasien mengangkat tungkai kanan melawan tahanan tangan pemeriksa . tanyakan pada
pasien ada nyeri atau tidak (penderita apendisitis cenderung memfleksikan tungkai atau jalan
membungkuk untuk mengurangi peregangan otot psoas).
7. Tes Obturator, pasien tidur terlentang, fleksikan sendi lutut dan fleksi sendi panggul
kanan. Rotasikan sendi panggul kedalam, tanyakan ada menimbulkan rasa nyeri atau tidak.
NAMA PENYAKIT KELAINAN PADA PEMERIKSAAN FISIK
Asma Auskultasi : Ekspirasi memanjang disertai ronki kering
Mengi (wheezing)
TB paru Perkusi : Redup pada bagian apeks pulmo
Auskultasi : Suara napas tambahan, ronki basah, kasar dan
nyaring
Bronchitis Inspeksi : Dispneu
Auskultasi :Terdengar ronchi yang halus atau kasar secara
kontinyu ( terutama pada saat inspirasi)
Emfisema Inspeksi : Dispneu, barrel chest
Palpasi : Fremitus taktil menurun
Auskultasi : Penurunan suara napas, Hiperonans
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiyohadi, B dan Subekti, I. 2009. Pemeriksaan Fisis Umum : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : Interna Publising
2. Bickley, L.S. 2009. Memulai Pemeriksaan Fisik : Keadaan Umum Dan Tanda-Tanda Vital
(BATES, Buku Ajar Pemeriksaan Fisik Dan Riwayat Kesehatan). Jakarta : EGC
3. Rumende, C.M. 2009. Pemeriksaan Fisik Dada dan Paru : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta : Interna Publising
4. Lukaman, H dan Abdurrachman, N. 2009. Pemeriksaan Fisis Jantung : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publising
5. Simadibrata, M.K. 2009. Pemeriksaan Abdomen Urogenital dan Anorektal : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publising
25