Anda di halaman 1dari 10

Tugas Farmasi Praktis 3

1. Kenapa praktik kefarmasian diatur dengan Etika dan Undang-Undang ?


2. Siapa itu apoteker
-Bagaimana jadi apoteker
-Tugas dan kewenangannya
3. Sistematika Pengajuan SIA ?
4. Syarat sebuah apotek : cek lampiran permenkes apotek ?
5. Bagaimana SOP (Sistematika pelayanan resep di apotek) ?
6. Jelaskan tentang registrasi dan izin praktek apoteker ?
7. Apa alasan keluarnya PMK tentang OWA ?
8. SOP pelayanan OWA/Swamedikasi ?
9. Bagaimana SOP atau prosedur pemusnahan obat (obat lainnya) ?
10. Bagaimana SOP atau prosedur pemusnahan obat narkotika atau psikotropika ?

Jawab :

1) Tujuan pengaturan Pekerjaan Kefarmasian untuk:

a. memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh


dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian;

b. mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Pekerjaan


Kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta peraturan perundangan-undangan; dan
c. memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan Tenaga
Kefarmasian.

2) -Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah
mengucapkan sumpah apoteker (PP 51, 2009 ; Permenkes RI, 2014).
Keberadaaan apoteker di apotek tidak hanya terkait dengan permasalahan obat, namun apoteker
dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat menjalankan
profesi secara professional dan berinteraksi langsung dengan pasien, termasuk untuk pemberian
informasi obat dan konseling kepada pasien yang membutuhkan. Apoteker harus juga memahami
dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error),
mengidentifikasi, mencegah, mengatasi masalah farmakoekonomi, dan farmasi sosial
(sociopharmacoeconomy). Hal ini bila dikaitkan dengan standar pelayanan kefarmasian di
apotek menjadikan peranan apoteker di apotek sangatlah penting (Permenkes RI, 2014).
-Tugas dan kewenangannya
1. Berhak melakukan pekerjaan kefarmasian (Permenkes No.922 tahun 1993, Kepmenkes No.
1332 tahun 2002, Kepmenkes N0. 1027 tahun 2004, serta batasan pekerjaan kefarmasian
UU No. 23 tahun 1992).
2. Berwenang menjadi penanggung jawab pedagang besar farmasi penyalur obat dan/atau
bahan baku obat (Permenkes No. 1191 tahun 2002 pasal 7).
3. Berhak menjalankan peracikan (pembuatan atau penyerahan obat-obatan untuk maksud-
maksud kesehatan} Obat (Reglement DVG St. 1949 NCL228 pasal 56 dan UU Obat
Keras/St. No. 419 tgl 22 Desember 1949 pasal 1).
4. Berwenang menyelenggarakan apotek di suatu tempat tertentu setelah mendapat surat izin
apotek dari menteri (PP No.25 tahun 1980 pasal 3; Permenkes N0. 922 tahun 1991 pasal 1
dan Kepmenkes No. 1332 tahun 2002).
5. Berwenang menjadi penanggung jawab produksi di in- dustri farmasi obatjadi dan bahan
baku obat (SK Menkes No.245 tahun 1990).
6. Berwenang menjadi penanggung jawab usaha industri obat tradisional {Permenkes M0246
tahun 1990 pasal 8).
7. Berwenang menjadi penanggung jawab pengawasan mutu di industri farmasi obat jadi dan
bahan baku obat (SK Menkes No.245 tahun 1990).
8. Berwenang menyalurkan dan menerima obat keras melalui pedagang besar farmasi atau
apotek {Permenkes Nc-.918 tahun 1993 pasal 16).
9. Melakukan masa bakti apoteker di sarana kesehatan pemerintah atau sarana kesehatan lain,
seperti sarana kesehatan milik BUMN/BUML, industri farmasi (pabrik obat dan bahan
bahan obat}, industri obat tradisional, industri kosmetika, industri makanan dan minuman,
apotek di luar ibukota negara, pedagang besar farmasi, rumah sakit, pendidikan tinggi dan
menengah bidang farmasi milik swasta (sebagai pengajar), atau di lembaga penelitian dan
pengembangan (sebagai peneliti). (Permenkes No.149 tahun 1998)
10. Mendapat surat penugasan jika sudah melengkapi persyaratan administratif

-Kewajiban Apoteker
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, berikut ini kewajiban seorang apoteker.

1. Sebelum melakukan jabatannya, apoteker harus mengucapkan sumpah menurut agama yang
dianutnya atau mengucapkan janji (PP No. 20 tahun 1962 pasal 1).
2. Apoteker yang baru lulus dan telah dilaporkan oleh pimpinan perguruan tinggi tempat
lulusnya, wajib melengkapi persyaratan administrasi yang disampaikan melalui Kanwil
setempat lokasi institusi pendidikan berada, selambat -lambatnya satu bulan setelah
menerima ijazah asli (Permenkes N0.184 tahun 1995 pasal 3).
3. Selama menjalankan tugas profesinya, apoteker wajib mentaati semua peraturan perundang-
undangan dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (Permenkes No. 184 tahun 1995
pasal 17).
4. Apoteker yang telah memiliki izin kerja dan bekerja di sarana kesehatan milik swasta wajib
melaporkan diri kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk (PP No.41 tahun 1990 pasal 9).
5. Selama menjalankan tugas profesinya. apoteker wajib meningkatkan pengetahuan
profesionalnya (Permenkes No. 184 tahun 1995 pasal 17}.
6. Apoteker wajib menjalankan masa bakti sekurang- kurangnya tiga tahun dan selama-
lamanya lima tahun, yang penetapannya dilakukan oleh menteri (PP No.41 tahun 1990 pasal
4). Pelaksanaan masa bakti ditetapkan menurut pembagian wilayah penempatan, yaitu tiga
tahun bagi yang ditempatkan di Pulau Jawa atau ibukota provinsi di luar Pulau Jawa dan dua
tahun bagi yang ditempatkan di luar Jawa, selain ibukota provinsi (Permenkes No. 184
tahun 1995 pasai 12).
7. Untuk memperoleh Surat lzin Apotek (SIA), apoteker harus memiliki surat penugasan dan
persyaratan lainnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Permenkes
No. 184 tahun 1990 pasal 15}.
8. Memiliki surat izin kerja bagi apoteker yang bekerja di sarana kesehatan milik swasta (PP
No.41 tahun 1990 pasal 6). Bentuk izin kerjanya sebagai berikut.
— SIA bagi Apoteker Pengelola Apotek (APA).
— Visum bagi apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai apoteker pendan”-
ping atau apoteker pengganti, seiama atau setelah selesai masa bakti.
— Visum bagi apoteker yang melakukan perkerjaan kefarmasian di sarana kesehatan swasta,
setelah selesai melaksanakan masa bakti.

3) Sistematika Pengajuan SIA

BAB III
PERIZINAN
Bagian Kesatu
Surat Izin Apotek
Pasal 12
(1) Setiap pendirian Apotek wajib memiliki izin dari Menteri.
(2) Menteri melimpahkan kewenangan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa SIA.
(4) SIA berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.

Pasal 13
(1) Untuk memperoleh SIA, Apoteker harus mengajukan permohonan tertulis kepada Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota dengan menggunakan Formulir 1.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Apoteker
disertai dengan kelengkapan dokumen administratif meliputi: a. fotokopi STRA dengan
menunjukan STRA asli;
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);
c. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Apoteker;
d. fotokopi peta lokasi dan denah bangunan;dan
e. daftar prasarana, sarana, dan peralatan.

(3) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak menerima permohonan dan dinyatakan
telah memenuhi kelengkapan dokumen administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menugaskan tim pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan
setempat terhadap kesiapan Apotek dengan menggunakan Formulir 2.
(4) Tim pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus melibatkan unsur dinas kesehatan
kabupaten/kota yang terdiri atas:
a. tenaga kefarmasian; dan
b. tenaga lainnya yang menangani bidang sarana dan prasarana.
(5) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak tim pemeriksa ditugaskan, tim pemeriksa
harus melaporkan hasil pemeriksaan setempat yang dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan menggunakan Formulir 3.
(6) Paling lama dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja sejak Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan dinyatakan memenuhi persyaratan,
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menerbitkan SIA dengan tembusan kepada Direktur
Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Balai POM, Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, dan Organisasi Profesi dengan menggunakan Formulir 4.
(7) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dinyatakan masih belum
memenuhi persyaratan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota harus mengeluarkan surat
penundaan paling lama dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja dengan menggunakan Formulir 5.
(8) Tehadap permohonan yang dinyatakan belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (7), pemohon dapat melengkapi persyaratan paling lambat dalam waktu 1 (satu) bulan
sejak surat penundaan diterima.
(9) Apabila pemohon tidak dapat memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (8), maka Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengeluarkan Surat Penolakan dengan
menggunakan Formulir 6.
(10) Apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menerbitkan SIA melebihi jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Apoteker pemohon dapat menyelenggarakan Apotek
dengan menggunakan BAP sebagai pengganti SIA.
Pasal 14
(1) Dalam hal pemerintah daerah menerbitkan SIA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(6), maka penerbitannya bersama dengan penerbitan SIPA untuk Apoteker pemegang SIA.
(2) Masa berlaku SIA mengikuti masa berlaku SIPA.

4) Syarat sebuah Apotek


PENDIRIANAPOTEK
Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan
No.1332/Menkes/SK/X/2002 pasal 4 (2)menyatakan bahwa wewenang pemberian izin apotek dilimpahkan oleh
Menteri kepada KepalaDinas Kesehatan Kabupaten/Kota.APOTEK

-SYARATAPOTEK
A. Lokasi dan tempat :Mempertimbangkan segi penyebaran dan pemerataanpelayanan kesehatan, jumlah
penduduk, dan kemampuandaya beli penduduk di sekitar lokasi apotek,kesehatan lingkungan, keamanan dan
mudah dijangkaumasyarakat dengan kendaraan.

B. BANGUNAN DAN KELENGKAPAN : bangunan apotek harus mempunyai luas dan


memenuhipersyaratan yang cukup, serta memenuhi persyaratanteknis sehingga dapat menjamin kelancaran
pelaksanaantugas dan fungsi apotek serta memelihara mutuperbekalan kesehatan di bidang farmasi.
-Bangunan apotek sekurang-kurangnya terdiridari :- Ruang tunggu, ruang administrasi dan ruangkerja apoteker,
ruang penyimpanan obat,
ruang peracikan dan penyerahan obat, tempatpencucian obat, kamar mandi dan toilet.
- Bangunan apotek juga harus dilengkapidengan :Sumber air yang memenuhi syaratkesehatan, penerangan
yang baik, Alatpemadam kebakaran yang berfungsi baik,Ventilasi dan sistem sanitasi yang baikdan memenuhi
syarat higienis, Papan namayang memuat nama apotek, nama APA, nomorSIA, alamat apotek, nomor telepon
apotek.

BAB II
PERSYARATAN PENDIRIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
(1) Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari pemilik modal
baik perorangan maupun perusahaan.
(2) Dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerjasama dengan pemilik modal maka
pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan.

Pasal 4
Pendirian Apotek harus memenuhi persyaratan, meliputi:
a. lokasi;
b. bangunan;
c. sarana, prasarana, dan peralatan;dan
d. ketenagaan.

Bagian Kedua
Lokasi

Pasal 5
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengatur persebaran Apotek di wilayahnya dengan
memperhatikan akses masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kefarmasian.
Bagian Ketiga
Bangunan

Pasal 6
(1) Bangunan Apotek harus memiliki fungsi keamanan, kenyamanan, dan kemudahan dalam
pemberian pelayanan kepada pasien serta perlindungan dan keselamatan bagi semua orang
termasuk penyandang cacat, anakanak, dan orang lanjut usia.
(2) Bangunan Apotek harus bersifat permanen.
(3) Bangunan bersifat permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat merupakan bagian
dan/atau terpisah dari pusat perbelanjaan, apartemen, rumah toko, rumah kantor, rumah susun,
dan bangunan yang sejenis.

Bagian Keempat
Sarana, Prasarana, dan Peralatan

Pasal 7
Bangunan Apotek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 paling sedikit memiliki sarana ruang
yang berfungsi:
a. penerimaan Resep;
b. pelayanan Resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas);
c. penyerahan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan;
d. konseling;
e. penyimpanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan;dan
f. arsip.

5) Prosedur SOP Pelayanan Resep


1. Saat melayani resep, berikan perhatian pada pasien, jangan mencoba melayani 2 resep
sekaligus dalam satu waktu
2. Saat menerima resep, periksa baik-baik kelengkapannya, ketepatannya dan kelegalannya
3. Melangkah menuju rak obat yang dibutuhkan
4. Cek nama, dosis, bentuk dan kekuatan obat yang diresepkan
5. Saat mengambil obat, ambil obat tersebut dari depan atau dari kanan (obat-obat yang
kadaluarsanya masih lama disimpan dibelakang atau bagian kiri)
6. Cek kadaluarsanya
7. Letakkan semua obat yang telah diambil pada konter didepan pasien
8. Setelah menerima persetujuan pasien, proses penagihan dilakukan
9. Saat penagihan, tempatkanlah obat di kotak yang telah disediakan untuk penagihan
10. Buat tanda terima untuk pasien yang berisi nama obat, nomor batch, tanggal kadaluarsa dan
harga obatnya
11. Setelah penagihan, letakkan obat di kotak yang tersedia, siap untuk dikemas
12. Pastikan bahwa keduanya,orang yang melayani resep sama dengan orang yang menyiapkan
tagihan serta menandai tagihan(setidaknya salah satu diantara mereka adalah seorang ahli
farmasi)
13. Kirim obat ke kasir dan serahkan pada pasien setelah mereka membayar tagihannya
14. Setelah selesai melayani resep, stempel resep dengan stempel ”OBAT TELAH
DISERAHKAN” untuk mencegah penyalahgunaan obat
15. Sebelum pasien meninggalkan apotek, jelaskanlah pada pasien mengenai aturan dosisnya,
jenis diet, tindakan pencegahan khusus, dan sampaikan harapan anda akan kesembuhannya.
16. Setelah melayani resep, pastikan tidak ada kotak kosong atau potonan strep yang tertinggal
diatas konter. Kembalikan obat-obat ke raknya masing-masing

6) Registrasi dan Izin Praktek Apoteker

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 tentang


Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 322) diubah sebagai berikut :
1. Nomenklatur yang berbunyi Surat Izin Kerja harus dibaca dan dimaknai sebagai Surat Izin
Praktik.
2. Ketentuan ayat (2) Pasal 17 diubah, sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17
(1) Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki
surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja.
(2) Surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. SIPA bagi Apoteker; atau
b. SIPTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian.

3. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18
(1) SIPA bagi Apoteker di fasilitas kefarmasian hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat fasilitas
kefarmasian.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) SIPA bagi Apoteker di
fasilitas pelayanan kefarmasian dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas
pelayanan kefarmasian.
(3) Dalam hal Apoteker telah memiliki Surat Izin Apotek, maka Apoteker yang bersangkutan
hanya dapat memiliki 2 (dua) SIPA pada fasilitas pelayanan kefarmasian lain.
(4) SIPTTK dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas kefarmasian.

4. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga Pasal 19 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19
SIPA atau SIPTTK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 diberikan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota atas rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat
Tenaga Kefarmasian menjalankan praktiknya.

Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

7)

8) Peraturan tentang OWA meliputi:

1. Kepmenkes no 347 tahun 1990 tentang Obat Wajib Apotek, berisi Daftar Obat Wajib Apotek
No. 1.
2. Kepmenkes no 924 tahun 1993 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 2.
3. Kepmenkes no 925 tahun 1993 tentang perubahan golongan OWA No.1, memuat perubahan
golongan obat terhadap daftar OWA No. 1, beberapa obat yang semula OWA berubah
menjadi obat bebas terbatas atau obat bebas.
4. Kepmenkes no 1176 tahun 1999 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 3
Penyerahan OWA oleh apoteker kepada pasien harus memenuhi ketentuan:

1. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap OWA (misal kekuatan, maksimal jumlah obat yang
diserahkan, dan pasien sudah pernah menggunakannya dengan resep)
2. Membuat catatan informasi pasien dan obat yang diserahkan
3. Memberikan informasi kepada pasien agar aman digunakan (misal dosis dan aturan pakainya,
kontraindikasi, efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien)

9) Pemusnahan dan Penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai
Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
bila:
a. produk tidak memenuhi persyaratan mutu;
b. telah kadaluwarsa;
c. tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu
pengetahuan; dan
d. dicabut izin edarnya.

Tahapan pemusnahan Obat terdiri dari:


a. membuat daftar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang akan
dimusnahkan;
b. menyiapkan Berita Acara Pemusnahan;
c. mengoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan kepada pihak terkait;
d. menyiapkan tempat pemusnahan; dan
e. melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan serta peraturan yang
berlaku.

10. Prosedur pemusnahan obat narkotika atau psikotropika

BAB IV
PEMUSNAHAN
Pasal 37
Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dilakukan dalam hal:
a. diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat diolah
kembali;
b. telah kadaluarsa;
c. tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk
pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa penggunaan;
d. dibatalkan izin edarnya; atau
e. berhubungan dengan tindak pidana.

Pasal 38
(1) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a sampai dengan huruf d
dilaksanakan oleh Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Instalasi
Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu Pengetahuan, Dokter atau Toko
Obat.
(2) Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang memenuhi kriteria pemusnahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a sampai dengan huruf d yang berada di Puskesmas
harus dikembalikan kepada Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah setempat.
(3) Instalasi Farmasi Pemerintah yang melaksanakan pemusnahan harus melakukan penghapusan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah.
(4) Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang berhubungan dengan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf e dilaksanakan oleh instansi
pemerintah yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 39
Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi harus dilakukan dengan:
a. tidak mencemari lingkungan; dan
a. tidak membahayakan kesehatan masyarakat.

Pasal 40
Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut:
a. penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan
kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan menyampaikan surat pemberitahuan
dan permohonan saksi kepada: 1. Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan
Makanan, bagi Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat;
2. Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat,
bagi Importir, Industri Farmasi, PBF, Lembaga Ilmu Pengetahuan, atau Instalasi Farmasi
Pemerintah Provinsi; atau
3. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan
setempat, bagi Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi
Farmasi Pemerintah Kabupaten/Kota, Dokter, atau Toko Obat.

Provinsi, Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat, dan Dinas b. Kementerian
Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Dinas Kesehatan Kesehatan Kabupaten/Kota
menetapkan petugas di lingkungannya menjadi saksi pemusnahan sesuai dengan surat
permohonan sebagai saksi.
c. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf
b.
d. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku, produk antara, dan
produk ruahan harus dilakukan sampling untuk kepentingan pengujian oleh petugas yang
berwenang sebelum dilakukan pemusnahan.
e. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi harus dilakukan
pemastian kebenaran secara organoleptis oleh saksi sebelum dilakukan pemusnahan.

Pasal 41
Dalam hal Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dilakukan oleh pihak
ketiga, wajib disaksikan oleh pemilik Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dan saksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b.

Pasal 42
(1) Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan
kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan yang melaksanakan pemusnahan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi harus membuat Berita Acara Pemusnahan.
(2) Berita Acara Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
a. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan;
b. tempat pemusnahan;
c. nama penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan
kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan;
d. nama petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain badan/sarana tersebut;
e. nama dan jumlah Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang dimusnahkan;
f. cara pemusnahan; dan
g. tanda tangan penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan
kefarmasian/pimpinan lembaga/ dokter praktik perorangan dan saksi.
(3) Berita Acara Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam rangkap 3 (tiga)
dan tembusannya disampaikan kepada Direktur Jenderal dan Kepala Badan/Kepala Balai
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 10 terlampir.

Anda mungkin juga menyukai