Anda di halaman 1dari 29

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Susu merupakan bahan pangan yang mengandung zat nutrisi seperti air,

lemak, protein, karbohidrat, mineral dan vitamin. Berdasarkan susunan zat

tersebut menyebabkan susu termasuk salah satu media yang baik untuk

tumbuhnya mikroorganisme sehingga susu mudah rusak. Salah satu upaya untuk

mengatasinya dengan penganekaragaman pengolahan susu dengan teknologi tepat

guna yang efisien dan ekonomis, yaitu mengolah susu menjadi tahu susu (Saleh,

2004).

Tahu merupakan pangan olahan yang sangat digemari masyarakat Indonesia

dan menjadi konsumsi masyarakat luas, baik sebagai lauk maupun makanan

ringan. Seiring perkembangan teknologi pangan, tahu diolah dengan

memanfaatkan bahan dasar susu sapi sehingga menghasilkan produk olahan tahu

susu. Menurut Winarno (2008) tahu susu yang dibuat dari susu segar mempunyai

kadar air 61,51% ; kadar abu 5,98%; kadar protein 46,25%; kadar lemak 35,07%.

Nilai gizi di atas menunjukkan bahwa tahu susu merupakan bahan makanan yang

bergizi untuk di konsumsi dibandingkan dengan tahu berbahan dasar kedelai yang

hanya mengandung 7,8% protein. Daya simpan tahu susu lebih lama

dibandingkan susu segar, hal ini disebabkan karena proses pembuatan tahu susu

dilakukan dengan penambahan koagulan yang mampu mencegah mikroba.

Pada proses pembuatan tahu susu tidak jauh berbeda dengan pembuatan tahu

menggunakan bahan baku kedelai, penggumpalan merupakan hal yang penting.

Proses pembuatan tahu susu memerlukan bahan penggumpal untuk

1
menggumpalkan protein yang masih tercampur didalam susu, dengan demikian

akan diperoleh bubur tahu yang dapat dicetak (Suprapti, 2005). Penggumpalan

protein susu dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan pemberian

larutan kitosan.

Kitosan mempunyai kemampuan sebagai koagulan dan juga sebagai

pengawet alami (Chang et al., 2003). Proses produksi kitosan meliputi

demineralisasi, deproteinasi dan deaselitasi. Proses ini bertujuan untuk

menghilangkan mineral dan sisa-sisa protein yang terkandung dalam bahan baku.

Kitosan mempunyai rektifitas kimia yang tinggi, sifat inilah yang menyebabkan

kitosan mampu mengikat air dan minyak. Kemampuan tersebut membuat kitosan

dapat digunakan sebagai bahan pengental atau pembentuk gel yang sangat baik,

sebagai pengikat, penstabil dan pembentuk tekstur. Kitosan dapat berinteraksi

dengan bahan-bahan yang bermuatan seperti protein, polisakarida, anionik, asam

lemak, asam empedu dan fospolipid. Menurut Synowiecki dkk. (2003) kitosan

memiliki sifat afinitas (mengikat) yang luar biasa terhadap protein.

Penelitian Aryanti, dkk (2016) tentang tahu berbahan dasar kedelai dengan

koagulan kitosan 1% dalam 2% asam asetat memiliki kadar protein paling tinggi

yaitu 14,17% diikuti oleh kitosan 0,5 dalam 2% asam asetat yaitu 12,74% dan

kadar protein paling rendah dimiliki oleh tahu dengan koagulan CaSO4 yaitu

9,6%. Penelitian sebelumnya tentang kitosan sebagai koagulan pada pembuatan

tahu berbahan dasar kedelai telah dilakukan, namun penelitian menggunakan

kitosan sebagai bahan koagulan pada proses pembuatan tahu susu belum pernah

dilakukan sebelumnya. Pada pra-penelitian pembuatan tahu susu dengan koagulan

2
kitosan, konsentrasi penambahan mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh

Aryanti, dkk (2016).

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul “Pengaruh Pemberian Beberapa Level Larutan Kitosan Sebagai

Bahan Koagulan pada Proses Pembuatan Tahu Susu Terhadap Kadar

Protein, Kadar Lemak dan Uji Organoleptik”

1.2. Perumusan Masalah

1. Apakah pemberian beberapa level larutan kitosan berpengaruh pada kadar

protein, kadar lemak dan organoleptik tahu susu?

2. Pada level berapakah yang memberikan sifat terbaik diantara perlakuan?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian beberapa level

larutan kitosan yang digunakan sebagai bahan koagulan pada pembuatan tahu

terhadap kualitas tahu susu yang dimanifestasikan dalam kadar protein, kadar

lemak dan organoleptik.

Manfaat penelitian ini bagi peneliti adalah sebagai referensi bahwa kitosan

dapat dijadikan sebagai koagulan pada produk tahu susu. Manfaat penelitian ini

bagi masyarakat yaitu sebagai inovasi penggunaan kitosan dalam lingkungan

masyarakat khususnya sebagai koagulan pembuatan tahu susu.

3
1.4. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah beberapa level larutan kitosan memberikan

pengaruh yang nyata terhadap kadar protein, kadar lemak dan organoleptik tahu

susu

4
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Susu

Susu adalah hasil sekresi dari kelenjar mamae atau kelenjar mamalia baik

binatang maupun manusia. Susu dapat dikonsumsi dalam bentuk susu segar

maupun dalam bentuk produk olahan. Binatang yang paling banyak diambil

susunya untuk dikonsumsi adalah sapi, kerbau, kambing, dan domba (Walstra,

Wouters and T. J. Geurts, 2006).

Tabel 1. Komposisi Rata-rata Susu (%) dari Berbagai Mamalia

Hewan Lemak Protein Laktosa Mineral Bahan Kering


Sapi 4.00 3.50 4.90 0.70 13.10
Kerbau 12.40 6.03 3.74 0.89 13.91
Domba 6.18 5.15 4.17 0.93 16.43
Kambing 4.09 3.71 4.20 0.78 12.68
Kuda 1.59 2.69 6.14 0.51 10.96
Manusia 3.70 1.63 6.98 0.21 12.57
Sumber: Aritonang (2010)

Kualitas fisik dan kimia susu sapi segar dipengaruhi oleh faktor bangsa sapi

perah, pakan, sistem pemberian pakan, frekuensi pemerahan, metode pemerahan,

perubahan musim dan periode laktasi (Lingathurai, Vellathurai, Vendan, and

Anand, 2009). Susu segar mempunyai sifat ampoter, artinya dapat bersifat asam

dan basa sekaligus. Jika diberi kertas lakmus biru, maka warnanya akan menjadi

merah, sebaliknya jika diberi kertas lakmus merah warnanya akan berubah

menjadi biru. Potensial ion hydrogen (pH) susu segar terletak antara 6.5 – 6.7.

Jika dititrasi dengan alkali dan katalisator penolptalin, total asam dalam susu

diketahui hanya 0.10 – 0.26 % saja. Sebagian besar asam yang ada dalam susu

adalah asam laktat (Saleh, 2004).

5
Klasifikasi susu segar didasarkan dengan jumlah bakteri dalam susu dibagi

menjadi tiga kelas. Susu kelas A berasal dari sapi yang sehat dan memenuhi

sanitasi yang telah ditentukan. Kandungan bakteri sebelum dipasteurisasi

kandungan bakteri tidak boleh lebih dari 300.000/ml, apabila sudah dipasteurisasi

kandungan bakterinya tidak boleh lebih dari 20.000/ml. Susu kelas B, sebelum

dipasteurisasi kandungan bakteri tidak boleh lebih dari 1.000.000/ml dan

kandungan bakteri setelah pasteurisasi tidak boleh lebih dari 50.000/ml. Susu

kelas C adalah susu yang tidak memenuhi syarat kelas B. Biasanya kelas ini

disebabkan oleh sanitasi yang kurang baik dan tidak memenuhi syarat (Soeparno,

Rihastuti, Indratiningsih, dan Triatmojo, 2011).

Proses pengolahan susu bertujuan untuk memperoleh susu yang beraneka

ragam, berkualitas tinggi, berkadar gizi tinggi, tahan simpan, mempermudah

pemasaran dan transportasi, sekaligus meningkatkan nilai tukar dan daya guna

bahan mentahnya. Proses pengolahan susu selalu berkembang sejalan dengan

berkembangnya ilmu di bidang teknologi pangan. Banyak jenis bahan makanan

yang dapat dibuat dari bahan baku susu. Antara lain jenis produk susu yang sudah

dikenal di kalangan masyarakat adalah es krim, susu bubuk, susu kental, mentega,

keju, tahu susu, yoghurt yang dihasilkan melalui proses homogenisasi, sterilisasi,

pasteurisasi dan fermentasi (Saleh, 2004).

2.2. Tahu Susu

Tahu adalah gumpalan protein kedelai yang diperoleh dari hasil penyaringan

kedelai yang telah digiling dengan penambahan air (Sarwono dan Saragih, 2006).

Menurut Dewanti (2000) tahu susu merupakan hasil olahan air susu yang

mempunyai bentuk dan warna mirip tahu kedelai namun teksturnya (kekenyalan)

6
lebih halus dan baunya lebih menyerupai bau keju. Tahu susu dapat dibuat dari

susu segar. Untuk pembuatan tahu susu diperlukan enzim proteolitik untuk

menggumpalkan susu. Pembuatan tahu susu pada prinsipnya adalah sama dengan

pembuatan tahu dari kacang kedelai bahkan lebih singkat waktu pengolahannya

(Astawan dalam Rokhayati, 2011). Prinsip pengolahannya yaitu menggumpalkan

protein dalam susu (kasein) yang bisa dilakukan dengan menambahkan bahan

yang memiliki sifat asam (Meilisa, et al., 2014). Penggumpalan protein tersebut

dapat dilakukan dengan cara pemanasan dan pemberian bahan penggumpal berupa

enzim proteolitik ataupun bahan kimia tertentu (Dewanti, 2000).

Tahu bersifat mudah rusak. Pada kondisi normal (suhu kamar) daya tahannya

rata-rata sekitar 1 – 2 hari saja. Setelah lebih dari batas tersebut rasanya menjadi

asam dan terjadi penyimpangan warna, aroma, dan tekstur sehingga tidak layak

untuk dikonsumsi. Hal ini disebabkan oleh kadar air dan protein tahu relatif

tinggi, masing-masing 61,51 persen dan 46,25 persen. Tahu mengandung lemak

35,07 persen dan abu 5,98 persen. Dengan komposisi nutrisi tersebut, tahu

merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme pembusuk,

terutama bakteri (Koswara 2011).

Faktor yang mempengaruhi suatu mutu tahu susu adalah pemberian

penggumpal. Penggumpal yang biasa digunakan adalah penggumpal kimia antara

lain kalsium / magnesium klorida; kalsium sulfat; glukano-D-laktone; dan

penggumpal asam (asam laktat, asam asetat) (Anggraini et al., 2013). Selain itu

ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi mutu tahu yaitu adanya bakteri yang

tahan panas seperti golongan pembentuk spora dan bersifat termodurik, adanya

bakteri kontaminan yang mencemari tahu pada saat proses pembuatan tahu sampai

7
selesai, suhu penyimpanan dan adanya enzim tahan panas yang dihasilkan oleh

jenis mikroba tertentu yang dapat menghidrolisis lemak tahu (Mustafa, 2006).

Departemen perindustrian telah mengeluarkan standar mutu tahu yaitu

SNI Nomer. 01-3142-1998. Standar ini meliputi beberapa parameter yang

mempengaruhi mutu tahu, hal ini dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Syarat Mutu Tahu

No Jenis Uji Satuan Persyaratan


1. Keadaan :
a. Bau Normal
b. Rasa Normal
c. Warna Putih mormal atau kuning normal
d. Penampakan Normal tidak berlendir dan tidak
berjamur
2. Abu % b/b Maksimal 1,0
3. Protein (N x 6,25) % b/b Minimal 9,0
4. Lemak % b/b Minimal 0,5
5. Serat kasar % b/b Maksimal 0,1
6. Bahan tambahan % b/b Sesuai SNI 01-0222-M dan peraturan
pangan Ment. Kes No.722/Ment.Kes/per/IX/1988
7. Cemaran arsen Mg/kg Maksimal 1,0
8. Cemaran mikroba
- E. Coli APM/g/ Maksimal 6
- Salmonella 25g Negatif/25 gram
Sumber : Departemen Perindustrian (1998)

2.3 Koagulasi (Penggumpalan)

Penggumpalan merupakan tahapan proses yang paling penting karena adanya

korelasi yang kompleks pada variabel sifat kimia (total padatan, pH, volume)

susu, tipe, jumlah dan konsentrasi penggumpal, metode penambahan dan

pencampuran serta suhu dan waktu penggumpalan. Bahan penggumpal

merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap rendemen dan kualitas

tahu. Bahan penggumpal susu pada pembuatan tahu terdapat beberapa tipe. Di

8
Indonesia, tipe penggumpal asam banyak digunakan oleh sentra industri tahu

(Susanti, 1999).

Secara umum, ada tiga jenis koagulan yang dapat digunakan dalam koagulasi

protein pada tahu yaitu: garam (CaCl2, CaSO4, MgCl2), proteinase dan asam

(Asam Asetat, Glukano δ-lactone), (Fasoyiro, 2014). Beberapa penelitian tentang

penggunaan bahan-bahan alami sebagai koagulan pada produksi tahu telah

dilakukan dengan menggunakan 𝛾-polyglutamate (Lee and Kuo, 2011), lemon,

tamarind, garcinia, gooseberry, dan markisa (Rekha and Vijayalakhsmi, 2010),

ekstrak Rosella, ekstrak daun Calotropis procera dan fermentasi tepung jagung

(Fasoyiro, 2014), koagulan withania (Sarani et al., 2014), bubuk cangkang kerang

(Kim et al., 2007), jeruk nipis (Citrus aurantifolia) Sementara itu, chitosan

mempunyai kemampuan sebagai koagulan dan juga sebagai pengawet alami

(Chang et al., 2003).

2.4 Asam Cuka

Asam asetat memiliki nama lain yang dikenal sebagai asam cuka atau asam

etanoat. Asam asetat sendiri merupakan senyawa kimia asam organik yaitu asam

karboksilat yang sering digunakan dalam pemberi rasa dan aroma dalam makanan.

Rumus kimia dari asam asetat adalah CH3-COOH, CH3COOH atau CH3CO2H.

Bentuk murni asam atetat adalah asam asetat glacial yang memiliki ciri-ciri tidak

berwarna, mudah terbakar (titik beku 17°C dan titik didih 118°C), mampu

bercampur dengan air dan pelarut organik. Asam asetat glacial sangat korosif

terhadap jaringan lain suatu molekul asam asetat yang mengandung gugus –OH

dan akan membentuk ikatan hidrogen dengan air apabila dalam bentuk cair dan

9
banyak pelarut organik (Hewitt, 2003). Menurut Kohar (2004), asam asetat

tergolong asam lemah yang terionisasi di dalam air tetapi keasaman asam asetat

lebih tinggi daripada air.

Asam asetat merupakan pelarut protik hidrofilik (polar). Asam asetat ini akan

mudah bercampur dengan pelarut polar atau nonpolar seperti air, kloroform dan

heksana (Hart, 2003). Asam asetat mudah menguap di udara terbuka, mudah

terbakar dan mengakibatkan korosif pada logam. Apabila asam asetat akan

direaksikan dengan karbonat maka akan menghasilkan karbon dioksida.

Pembuatan asam asetat ini biasanya dengan fermentasi alkohol oleh bakteri

Acetobacter. Asam asetat memiliki rumus molekul CH3COOH dengan berat

molekul 60,05. Menurut Hart (2003), asam asetat tergolong dalam asam organik

yang dapat dibuat dengan berbagai cara, yaitu: oksidasi alkohol primer atau

aldehid, oksidasi rantai samping alkil pada cincin aromatik, dengan karbon

dioksida, dan hidrolisis alkil sianida (nitril).

2.5 Kitosan

Kitosan sebagai polimer yang tersusun dari 2-amino-2-deoksi-β-D-glukosa

dapat diperoleh dengan cara mengolah kitin. Pengubahan molekul kitin menjadi

kitosan diperoleh dengan cara mengubah gugus asetamida (–NHCOCH) pada

kitin menjadi gugus amina (–NH3) pada kitosan. Proses penghilangan gugus

asetil pada kitin untuk mengubah kitin menjadi kitosan dapat dilakukan dengan

menggunakan larutan basa pekat (Yoshida et al., 2009).

Untuk memperoleh kitosan dilakukan proses ekstraksi kitin yang

kemudian dilanjutkan dengan proses deasetilasi kitin (Suptijah, 2004). Proses

10
deasetilasi kitin ini bertujuan untuk menghilangkan gugus asetil. Proses tersebut

dilakukan selama 30 menit atau lebih. Hasil kitosan yang didapatkan kemudian

dinetralkan dengan cara mencuci dengan menggunakan air sampai netral

kemudian disaring dan dikeringkan menggunakan oven pada suhu 60oC selama 24

jam untuk mendapatkan kitosan kering. Karakteristik kitosan dapat dilihat dari

derajat deasetilasi, viskositas, berat molekul, maupun kelarutannya (Fernandez-

Kim, 2004).

Tabel 3. Karateristik Kitin dan Kitosan

Proses Deproteinasi Demineralisasi Deasetilasi


Warna Kuning keruh Kuning keruh Berubah warna
kemerahan menjadi oranye (lebih dari kuning pucat
kuning keruh muda) menjadi menjadi putih
oranye (lebih kuning pucat kekuningan
muda). (semi transparan). (semi transparan)
Zat yang Penambahan NaOH HCl 2 N NaOH 50 %
Ditamba 7% (NaOH tak (terbentuk (merusak zat
hkan berwarna menjadi gelembung gas warna).
coklat dan terbentuk artinya ada CO2
endapan) yang terbentuk)
Pengurangan 42,65% (Tanda 62,18% 7,078% (mengalami
Massa proses penghilangan (menunjukkan deasetilasi)
protein dari kulit larutnya mineral
udang) pada crude
chitin)
Hasil akhir Crude Chitin Kitin Kitosan

Derajat - 37,25 % 79,32 %


Deasetilasi
Sumber : (Widarta,2004)

2. 6 Kadar Protein

Protein merupakan satu kelompok bahan makronutrien, tidak seperti bahan

makronutrien lainnya (lemak dan karbohidrat), protein berperan lebih penting

11
dalam pembentukan biomolekul daripada sebagai sumber energi. Namun

demikian apabila organisme sedang kekurangan energi, maka protein dapat juga

dipakai sebagai sumber energi (Sudarmadji dalam Ina, Hasnelly dan Mega, 2006)

Analisis kadar protein terhadap produk sangatlah perlu dilakukan mengingat

faktor terpenting pada tahu susu adalah protein. Sehingga dengan menganalisis

kadar protein dapat diketahui perlakuan mana yang memberikan kadar protein

tertinggi. Perlakuan panas dapat memberikan pengaruh yang merugikan terhadap

protein. Pengaruh yang merugikan yaitu menurunnya stabilisator protein, daya

emulsifier, dan terjadi penurunan nilai gizi (Winarno, 2002).

2.7 Kadar Lemak

Lemak merupakan sumber energi yang lebih efektif dibanding dengan

karbohidrat dan protein. Satu minyak dan lemak dapat menghasilkan 9 kkal/gram,

sedangkan protein dan karbohidrat hanya menghasilkan 4 kkal/gram. Lemak dan

minyak terdapat hampir di semua bahan pangan dengan kandungan yang berbeda-

beda. Tetapi minyak dan lemak sering kali ditambahkan dengan sengaja ke bahan

makanan dengan berbagai tujuan. Lemak yang ditambahkan ke dalam pangan atau

dijadikan bahan pangan membutuhkan persyaratan dan sifat-sifat tertentu

(Budiyanto, 2005).

Lemak berbeda dengan karbohidrat dan protein karena tidak terdiri dari

polimer satuan-satuan molekuler. Setiap kandungan lemak mengandung kalori

2,25 kali dari jumlah kalori yang dihasilkan oleh protein atau karbohidrat. Lemak

selalu tercampur dengan komponen-komponen lain dalam makanan, misalnya

vitamin- vitamin yang larut dalam lemak yaitu A, D, E, K, sterol seperti zoo sterol

12
(dalam lemak hewan) dan fitosterol (dalam lemak sayuran), fosfolida yang

bersifat sebagai zat pengemulsi dengan protein, yaitu lipoprotein atau dengan

karbohidrat yaitu glikolipid (Hutagalung, 2009).

Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen

dengan lemak atau minyak. Terjadinya reaksi oksidasi akan mengakibatkan bau

tengik pada lemak atau minyak. Oksidasi biasanya dimulai dengan

pembentukannya, tingkat selanjutnya ialah terurainya asam- asam lemak bebas.

Pengujian asam lemak bebas dalam tahu susu Produksi asam lemak bebas

disebabkan oleh enzim pada umumnya, yaitu berada dalam jaringan lemak yang

bersifat netral dan masih utuh (Ketaren, 2008).

2.8 Pengujian Organoleptik

Dalam dunia pangan, sifat mutu subjektif pangan disebut dengan organoleptik

atau inderawi. Hal tersebut karena penilaiannya menggunakan organ manusia.

Sebutan lainnya adalah sifat sensorik karena penilaiannya berdasarkan pada

rangsangan sensorik pada organ indera (Soekarto, 1985). Kemampuan

memberikan kesan dapat dibedakan berdasarkan kemampuan alat indra

memberikan reaksi atas rangsangan yang diterima. Kemampuan tersebut meliputi

kemampuan mendeteksi (detection), mengenali (recognition), membedakan

(discrimination), membandingkan (scalling) dan kemampuan menyatakan suka

atau tidak suka (hedonik) (Saleh, 2004). Pengujian ini penting untuk

pengembangan produk yang dihasilkan.

Menurut Rahayu (1998) indera yang berperan dalam uji organoleptik adalah

penglihatan, penciuman, pencicipan, peraba dan pendengaran. Untuk

13
melaksanakan suatu penilaian organoletik, diperlukan panel yang bertindak

sebagai instrumen atau alat. Orang yang menjadi anggota panel disebut panelis.

Dalam penelitian ini digunakan uji hedonik atau disebut juga dengan uji

kesukaan. Dalam uji hedonik, panelis diminta untuk memberikan tanggapan

pribadinya tentang suka atau tidak suka terhadap produk yang diuji. Tingkat

kesukaan ini disebut juga dengan skala hedonik, misalnya sangat suka, suka, tidak

suka dan sangat tidak suka. Skala hedonik ditransformasikan menjadi skala

numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaan. Adanya skala hedonik,

secara tidak langsung uji ini dapat digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan

(Rahayu, 1998). Uji kesukaan umumnya menggunakan panelis tidak terlatih

sebanyak 25 orang atau lebih (Soekarto, 1985).

2.8.1. Warna
Menurut Winarno (2002) faktor warna lebih berpengaruh dan sangat

menentukan suatu bahan pangan yang dinilai enak, bergizi, dan teksturnya sangat

baik, tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak dipandang atau

memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya. Secara visual

factor warna akan tampil lebih dahulu dan sering kali menentukan nilai suatu

produk. Soeparno (2005) warna makanan memiliki peranan utama dalam

penampilan makanan, meskipun makanan tersebut lezat, tetapi bila penampilan

tidak menarik waktu disajikan akan mengakibatkan selera orang yang akan

memakannya menjadi hilang.

2..8.2. Rasa
Menurut Meilgaard et al., (2000) rasa merupakan hasil dari beberapa

tanggapan dan merupakan dari campuran tanggapan cicip dan bau yang

14
dipengaruhi oleh kesan lain seperti pengelihatan, pendengaran dan sentuhan.

Winarno (2008) Rasa merupakan tanggapan atas adanya rangsangan kimiawi pada

indera pengecap lidah, khususnya jenis rasa dasar yaitu manis, asin, asam dan

pahit. Rasa merupakan salah satu penentu daya terima konsumen.

15
III. MATERI DAN METODE PENELITIAN

3.1. Materi Penelitian

Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini antara lain susu sapi segar

berasal dari peternakan di Limau Manis sebanyak 17,5 L untuk pembuatan Tahu

Susu sebanyak 5 perlakuan dan 4 ulangan. Asam cuka diperoleh dari pasar

tradisional di kota Padang. Kemudian kitosan diperoleh dari CHIMULTIGUNA

di daerah Indramayu.

Bahan kimia yang digunakan adalah NaOH, CH3COOH, selenium,

aquades, larutan benzena, larutan dietil eter, penolptalin, H2SO4.

Alat yang digunakan untuk penelitian antara lain pisau, cetakan tahu, kain

bleaching, telenan, gelas, erlenmeyer, oven, kertas saring (whatman), pipet ukur,

magnetik stirer, neraca analitik, cawan porselen, cawan petri, gelas ukur, batang

pengaduk, desikator, kompor, oven, seperangkat alat destilasi dan seperangkat alat

titrasi.

3.2. Metode Penelitian

3.2.1. Rancangan Penelitian


Metode ini adalah metode eksperimen dengan menggunakan Rancangan Acak

Kelompok (RAK) yang terdiri dari 5 perlakuan dengan 4 ulangan. Dimana setiap

perlakuan terdiri dari :

A : Pemberian kitosan 0% (Kontrol)

B : Pemberian kitosan 0,5%

C : Pemberian kitosan 1%

16
D : Pemberian kitosan 1,5%

E : Pemberian kitosan 2%

Model matematika rancangan yang digunakan menurut Steel dan Torrie

(1991) adalah:

Yij = μ + αi + βj + Eij

Keterangan :

Yij = hasil pengamatan dari unit percobaan yang mendapat perlakuan ke (i)

ulangan ke (j)

μ = nilai tengah umum

αi = pengaruh perlakuan ke (i)

βj = pengaruh perlakuan ke (j)

Eij = pengaruh sisa dari unit percobaan yang mendapat perlakuan ke (i) dan

kelompok ke (j)

I = banyak perlakuan (A, B, C, D, E)

J = banyak kelompok ulangan (1, 2, 3, 4)

Tabel 4 . Bagan pengamatan untuk setiap perlakuan

Perlakuan
Ulangan Total Rata-rata
A B C D E
1 Y11 Y21 Y31 Y41 Y51 ∑ Y11-Y51 𝑌̅ Y11-51
2 Y12 Y22 Y32 Y42 Y52 ∑ Y12-Y52 𝑌̅ Y12-52
3 Y13 Y23 Y33 Y43 Y53 ∑ Y13-Y53 𝑌̅ Y13-53
4 Y14 Y24 Y34 Y44 Y54 ∑ Y14-Y54 𝑌̅ Y14-54
Total ∑ Y1 ∑ Y2 ∑ Y3 ∑ Y4 ∑ Y5 ∑Y…
Rataan 𝑌̅ 1 𝑌̅ 2 𝑌̅ 3 𝑌̅ 4 𝑌̅5 𝑌̅

17
Menurut Steel dan Torrie (1991) jika antar perlakuan berbeda nyata

(P<0,05) dan berbeda sangat nyata (P<0,01) maka dilakukan uji lanjut dengan

Duncan’s Multiple Range Test (DMRT).

Tabel 5 . Analisis keragaman rancangan acak kelompok (RAK)

F tabel
SK DB JK KT Fhit
0.05 0.01
Perlakuan t-1= JKP KJP/db KTP/KTS
Kelompok n-1=3 JKK JKK/db KTK/KTS
Sisa (t-1)(n-1) JKS JKS/db
Total tn-1= 19 JKT

Jika: F Hitung > F Tabel 0,05 berarti berbeda nyata (*)

F Hitung > F Tabel 0,01 berarti berbeda sangat nyata (**)

F Hitung < F Tabel antar perlakuan berbeda tidak nyata (ns)

3.2.2. Peubah yang Diukur

a. Uji Kadar Protein (Sudarmadji et al., 1997)

1) Tahap destruksi

1. Dimasukan 1 gram sampel kering kedalam labu kjehdahl.

2. Ditambahkan katalisator berupa selenium sebanyak 1 gram serta 25 ml

H2SO4 pekat kemudian dipanaskan hingga terjadi destruksi.

3. Pemanasan dilakukan terus hingga larutan jernih atau tidak berwarna

kemudian didinginkan.

2) Tahap destilasi

1. Pindahkan larutan kedalam labu ukur 250 ml.

2. Diencerkan larutan dengan aquades sampai tanda garis

18
3. Mengambil 25 ml larutan sampel lalu ditambahkan 25 ml NaOH 30%

yang telah dicampurkan dengan aquades sebanyak 150 ml, masukan

dalam labu destilasi.

4. Panaskan larutan (2/3 tersuling) hingga semua N dari cairan yang ada

dalam labu tertangkap oleh H2SO4 0,05 N yang terlebih dahulu dicampur

dengan 3 tetes indikator metil merah dalam Erlemeyer.

3) Tahap titrasi

1. Erlemeyer yang berisi hasil sulingan dititer dengan NaOH 0,1 N

(misalkan X ml).

2. Dalam Erlemyer lain ditambahkan pula 25 ml H2SO4 0,05 N dan 3 tetes

indikator metil merah. Dititer dengan NaOH 0,1 N sehingga terjadi

perubahan warna dari merah jambu menjadi kuning sebagai blanko

(misalkan Y ml).

Rumusnya yaitu :

Kadar protein = (Y - X) x N NaOH x 0,014 x 6,25 x 100%


Z
Keterangan :

Y = Jumlah ml NaOH peniteran blanko

X = Jumlah ml NaOH peniteran contoh

N = Normalitas NaOH

Z = Berat sampel (gram)

0,014 = Konstanta

6,25 = Faktor konversi dari total nitrogen ke dalam protein

19
b. Uji Kadar Lemak (Sudarmadji et al,. 1997)

Perhitungan kadar lemak dengan menggunakan metode soxhlet, cara kerja

sebagai berikut :

a. Sampel ditimbang sebanyak 1 gram lalu dibungkus dengan kertas lemak dan

dikeringkan dalam oven selama 12 jam pada suhu 105-110oC (c gram).

b. Setelah itu dikeluarkan dalam oven dan ditimbang dalam keadaan panas-panas

satu persatu (b gram).

c. Lalu diekstraksi dalam benzena selama 16 jam sampai benzena dalam soxhlet

jernih, kemudian sampel tersebut diangin-anginkan sampai kering (benzena

akan menguap).

d. Kemudian dikeringkan dalam oven selama 1 jam dengan suhu 105-110oC dan

ditimbang bungkus tersebut satu persatu (a gram).

Dengan perhitungan :

𝑏−𝑎
Kadar Lemak (%) = x 100%
𝑐

Keterangan:

a = Berat sampel setelah diektraksi (gram)

b = Berat sampel sebelum diekstraksi (gram)

c = Berat sampel (gram)

c. Uji Organoleptik (Modifikas Rahayu, 1997)

Uji organoleptik yang digunakan adalah uji kesukaan (uji hedonik) yaitu

uji untuk melihat tingkat kesukaan panelis terhadap suatu produk. Uji ini

dilakukan oleh 25 orang panelis terdiri dari 20 mahasiswa dan 5 orang dosen.

Atribut yang dinilai pada uji organoleptik antara rasa dan warna yang terdiri dari 5

20
skala hedonik pada setiap atribut yang dinilai, yaitu (1) sangat tidak suka, (2) tidak

suka, (3) netral, (4) suka dan (5) sangat suka.

Tabel 6. Data skala hedonik dan numerik

Skala Hedonik Skala Numerik


Sangat suka 5
Suka 4
Netral 3
Tidak suka 2
Sangat tidak suka 1

Prosedur uji organoleptik :

a. Masing-masing contoh diletakkan kedalam wadah plastik bening, setiap

contoh diberikan kode secara acak.

b. Air minum disediakan untuk menetralkan atau mencuci mulut.

c. Pengujian dilakukan dalam ruangan

d. Kode contoh pengujian dicantumkan pada formulir uji organoleptik.

e. Panelis melakukan uji organoleptik sesuai dengan instruksi yang

diberikan.

3.3. Pelaksanaan Penelitian

3.3.1. Pembuatan Larutan Kitosan 0,5%, 1%, 1,5% dan 2% (Modifikasi

Budi et.al, 2017)

Larutan kitosan 0,5%, 1%, 1,5% dan 2% dibuat dengan cara mula-mula

serbuk kitosan ditimbang sebanyak 0,5 gram, 1 gram, 1,5 gram, dan 2 gram

lalu dicampurkan kedalam larutan asam cuka 2 % dan dilarutkan dengan

magnetik stirer hingga chitosan larut dalam asam cuka.

21
Timbang serbuk kitosan 0,5 gram, 1 gram, 1,5 gram
dan 2 gram

Campurkan dengan larutan asam cuka 2%

Larutkan dengan magnetik stirer

Tunggu sampai kitosan larut dalam asam cuka

Gambar 1. Bagan pembuatan Larutan Kitosan 0,5%, 1%, 1,5% dan 2%


(Modifikasi Budi et.al, 2017)

3.3.2. Pembuatan Tahu Susu (Modifikasi Astawan, 1989)

Pembuatan tahu susu dimulai dengan menyediakan susu sapi yang disaring

hal ini untuk memisahkan dengan kotoran kemudian dipanaskan pada suhu 72 oC

diaduk serta dilakukan penambahan bahan penggumpal pada susu dengan suhu 72
o
C diaduk selama 15 menit hingga menggumpal, jenis dan jumlah bahan

penggumpal yang ditambahkan ke dalam susu adalah larutan kitosan dengan

konsentrasi 0 %, 0,5%, 1%, 1,5% dan 2% kemudian disaring untuk memisahkan

hasil gumpalan tahu susu dengan whey susu untuk mendapatkan gumpalan protein

selanjutnya dilakukan pengepresan dengan beban sebesar 500 gram selama 20

menit kemudian tahu susu dipotong dengan ukuran 5x5 cm, produk tahu susu siap

saji.

22
Susu sapi

Kotoran
Penyaringan

Pemanasan suhu 72oC selama 15


menit

Pengadukan

Penambahan bahan koagulan berupa


larutan kitosan 0%, 0,5%, 1%, 1,5%
dan 2%

Terjadi koagulasi

Whey

Penyaringan gumpalan protein atau


calon tahu

Pengepresan berat beban 500 gram

Pemotongan tahu

Gambar 2. Bagan pembuatan tahu susu (Modifikasi Astawan, 1989)

23
3.4 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas

Peternakan dan di Laborotorium Teknologi Pertanian Universitas Andalas Padang

dari bulan ... sampai bulan... 2018

24
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, R. P., Rahardjo, A. H.D., dan Santosa, R. S. S. 2013. Pengaruh


Level Enzim Bromelin Dari Nanas Masak Dalam Pembuatan Tahu Susu
Terhadap Rendemen Dan Kekenyalan Tahu Susu. Fakultas Peternakan
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Aritonang, S. N. 2010. Susu dan Teknologi. Swagati Press. Cirebon.

Astawan, M.W. dan M. Astawan. 1988. Teknologi Pengolahan Hewani Tepat


Guna. Jakarta: CV. Akademika Pressindo.

Aryanti, dkk. 2016. Karakteristik Dan Analisis Sensorik Produk Tahu Dengan
Koagulan Alami. Fakultas Teknik, Departemen Teknik Kimia Universitas
Diponegoro, Semarang.

Budianto, A, K. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Cetakan keempat. Malang :


Penerbit UMM Press.

Chang, K. L. B., Lin, Y-S., Chen, R-H., 2003. The Effect of Chitosan on the Gel
Properties of Tofu (Soybean Curd). Journal of Food Engineering, 57, pp.
315–319.

Dewanti. 2000. Teknologi Pengolahan Hasil Ternak. Fakultas Teknologi


Pertanian. Malang: Universitas Brawijaya.

Fasoyiro, S.B., 2014. Physical, Chemical and Sensory Qualities of Roselle Water
Extractcoagulated Tofu Compared with Tofu from Two Natural Coagulants.
Nigerian Food Journal., 32(1), pp. 97 – 102.

Fernandez-Kim, S.-O., 2004, Physicochemical and Functional Properties of


Crawfish Chitosan as Affected by Different Processing Protocols, A Thesis
in Department of Food Science, Seoul National University, Seoul.

Hart . H. Craine. L.E. and Hart. D.J. 2003. Kimia Organik. Edisi Kesebelas.
Erlangga. Jakarta.

Hewitt, P.G. 2003. Conseptual Integrated Science Chemistry. Pearson Education,


Inc. San Fransisco.

Hutagalung, L. E. 2009. Penentuan kadar lemak dalam margarin dengan metode


ekstraksi sokletasi di balai besar pengawas obat dan makanan medan. Karya

25
Ilmiah. Diploma 3 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Sumatera Utara. Medan.

Indriyanti, dkk., 2008. Pengaruh Perbedaan Kedelai dan Jenis Penggumpal


terhadap Kadar Protein, Sifat Organoleptik, dan Daya Terima pada
Pembuatan Tahu. Skripsi thesis. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta.

Ketaren, S. 2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Cetakan


Pertama. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Kim, Y.S., Choi, Y. M., Noh, D. O., Cho, S. Y., Suh, H. J., 2007. The Effect of
Oyster Shell Powder on the Extension of the Shelf Life of Tofu. Food
Chemistry. 103, pp. 155–160.

Kohar, H. J. dan Agustanti. 2004. Daun Kangkung (Ipomoea Reptans) yang


Direbus Dengan Penambahan NaCl Dan Asam Asetat. Makara Sains.
8(3):85-88.

Koswara, S. 2011. Nilai Gizi, Pengawetan dan pengolahan Tahu.


http://www.ebookpangan.com (11 Januari 2018).

Lee, C.-Y., and Kuo, M.-I., 2011. Effect of γ -polyglutamate on the Rheological
Properties and Microstructure of Tofu. Food Hydrocolloid. 25, pp.1034–
1040.

Lingathurai, S, Vellathurai, P, Vendan, S. E, and Anand, A. A. P. 2009. A


comparative study on the microbiological and chemical composition of cow
milk from different locations in Madurai, Tamil Nadu. Indian Journal of
Science and Technology. Vol.2 No 2 (Feb. 2009):51 54. ISSN: 0974- 6846.
India.

Mustafa, R. M. 2006. Studi Efektivitas Bahan Pengawet Alami Dalam


Pengawetan Tahu. Skripsi. Program Studi Gizi Masyarakat, IPB-Bogor.

Rahayu, W.P. 1998. Penuntun praktikum penilaian organoleptik. Institut Pertanian


Bogor, Bogor.

Rekha, C. R., and Vijayalakhsmi, G., 2010. Influence of Natural Coagulants on


Isoflavones and Antioxidant Activity of Tofu. Journal of Food Science and
Technology, 47(4), pp.387-393.

26
Rokhayati, U.A. 2011. Pengaruh Penggunaan Asam Cuka dan Substitusi Susu
Kedelai terhadap Bau Tahu Susu. Inovasi. 08(01):113-122.

Saleh, E. 2004. Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Medan (ID):
USU Digital Library.

Sarani, R., Mohtadi, J. and Jafar, M. A., 2014. The effect of Withania coagulans
as a coagulant on the quality and sensorial properties of Tofu. African
Journal of Food Science, 8(3), pp. 112-115.

Sarwono, B., Saragih, Y.P. 2006. Membuat Aneka Tahu (Cetakan 6). Jakarta:
Penebar Swadaya.

Soekarto. 1985. Penilaian organoleptik untuk industri pangan dan hasil pertanian.
Pusat Pengembangan Teknologi Pangan, IPB, Bogor.

Soeparno, Rihastuti, Indratiningsih, Triatmojo S. 2011. Dasar Teknologi Hasil


Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sudarmadji. S., Haryono. B., dan Suhardi, 1997, “Prosedur Analisa untuk Bahan
Makanan dan Pertanian”, PAU Pangan dan Gizi Universitas Gaja Mada,
Yogyakarta.

Suprapti, L. 2005. Kedelai Tradisional. Kanisius. Jogjakarta.

Suptijah, P. 2004. Tingkat Kualitas Kitosan Hasil Modifikasi Proses Produksi,


Buletin Teknologi Hasil Pertanian IPB, Volume VIII No.1.

Walstra, P ., J. T. M., Wouters and T. J. Geurts. 2006. Dairy Science and


Technology 2nd Edition. Taylor and Francis Group. Boca Raton.

Winarno, F.G., 2002. Tahu Cina Tradisional.M-Brio Press. Bogor.

Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi: Edisi Terbaru. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.

Yoshida, C.M.P., Junior, E.N.O., and Franco, T.T. 2009. Chitosan Tailor-Made
Films: The Effects of Additives on Barrier and Mechanical Properties,
Packaging Technology and Science.

27
Lembaran Pengujian Organoleptik

Nama Panelis :
No. Panelis :
Hari/Tanggal Pengujian :
Produk : Tahu Susu
Instruksi : Lakukan pencicipan tahu susu satu per satu. Sebelum
mencicip, minum air putih untuk menetralkan lidah. Setelah mencicip sampel
nilailah kesukaan Anda terhadap warna dengan memberikan tanda √ pada kolom
perlakuan yang menurut Anda sangat suka, suka, agak suka, biasa, agak tidak
suka, tidak suka dan sangat tidak suka.

Perlakuan
Indikator 234 341 315 412 245 423
Warna
Sangat suka

Suka

Netral
Tidak suka
Sangat tidak
suka
Komentar (berikan alasan Anda kenapa sangat suka, suka atau tidak suka) :

28
Lembaran Pengujian Organoleptik

Nama Panelis :
No. Panelis :
Hari/Tanggal Pengujian :
Produk : Tahu Susu
Instruksi : Lakukan pencicipan tahu susu satu per satu. Sebelum
mencicip, minum air putih untuk menetralkan lidah. Setelah mencicip sampel
nilailah kesukaan Anda terhadap rasa dengan memberikan tanda √ pada kolom
perlakuan yang menurut Anda sangat suka, suka, agak suka, biasa, agak tidak
suka, tidak suka dan sangat tidak suka.

Perlakuan
Indikator 234 341 315 412 245 423
Rasa
Sangat suka

Suka

Netral
Tidak suka
Sangat tidak
suka
Komentar (berikan alasan Anda kenapa sangat suka, suka atau tidak suka) :

29

Anda mungkin juga menyukai