Anda di halaman 1dari 12

Legitimasi Kekuasaan.

Kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi tingkah laku
orang lain sehingga orang lain menjadi sesuai dengan yang diinginkan oleh orang yang memiliki
kekuasaan tersebut. Namun dalam mempelajari kehidupan politik, kekuasaan tidak hanya
sebagai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain akan tetapi juga dipandang sebagai
kemampuan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijaksanaan yang mengikat seluruh
anggota masyarakat. Suatu kekuasaan akan memunculkan sebuah kewenangan. Laswell dan
Kaplan menyatakan bahwa wewenang (authority) merupakan sebuah kekuasaan formal, atau
dengan kata lain wewenang merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan atau legitimasi.

Kewenangan seseorang belum lengkap jika seseorang belum mendapatkan legitimasi.


Legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin
untuk memerintah, membuat, dan melaksanakan keputusan politik. Secara garis besar legitimasi
merupakan hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin, hubungan itu lebih ditentukan
oleh yang dipimpin karena penerimaan dan pengakuan atas kewenangan hanya berasal dari yang
diperintah.

Secara umum alasan utama mengapa legitimasi menjadi penting bagi pemimpin pemerintahan.
Pertama, legitimasi akan mendatangkan kestabilan politik dari kemungkinan-kemungkinan untuk
perubahan sosial. Pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap pihak yang berwenang akan
menciptakan pemerintahan yang stabil sehingga pemerintah dapat membuat dan melaksanakan
keputusan yang menguntungkan masyarakat umum. Pemerintah yang memiliki legitimasi akan
lebih mudah mengatasi permasalahan daripada pemerintah yang kurang mendapatkan legitimasi.

Adanya pengakuan seseorang terhadap keunggulan orang lain pada hakekatnya menunjukkan
adanya keabsahan atas keunggulan yang dimiliki fihak yang disebut belakangan. Pengakuan
tersebut murni diperlukan karena tanpa adanya pengakuan tersebut, maka keunggulan yang
dimiliki seseorang tidak mempunyai makna apapun. Menurut Gaetano Mosca, pengakuan
terhadap keberadaan elit yang dapat dinyatakan sebagai suatu legitimasi ini diistilahkan sebagai
suatu ‘political formula’ yang maksudnya adalah terdapatnya suatu keyakinan yang
menunjukkan mengapa ‘the rullers’ dipatuhi kepemimpinannya.[4]
1. Pengertian Legitimasi Kekuasaan
Sebelum kita membahas apa itu legitimasi kekuasaan, sebelumnya kita terlebih dahulu
memahami apa yang dimaksud kekuasaan. Konsep kekuasaan menurut Max Weber
dalam Frans Magnis-Suseno (1994:54) bahwa ”kekuasaan adalah kemampuan untuk,
dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami
perlawanan dan apapun dasar kemampuan itu”. Tetapi kekuasaan yang dipersoalkan
disini adalah kekuasaan negara. Adalah ciri khas negara bahwa kekuasaannya memiliki
wewenang. Maka kekuasaan negara itu dapat disebut ”otoritas” atau ”wewenang”.
Menurut Miriam Budiardjo dalam Frans Magnis—Suseno (1994:54) otoritas atau
wewenang adalah ”kekuasaan yang dilembagakan”, yaitu kekuasaan yang tidak hanya
de facto menguasai, melainkan juga berhak untuk menguasai. Wewenang adalah
kekuasaan yang berhak untuk menuntut ketaatan, jadi berhak untuk memberikan
perintah.
Terhadap wewenang itu timbul pertanyaan tentang apa yang menjadi dasarnya. Itulah
pertanyaan tentang legitimasi atau keabsahan kekuasaan. Terhadap setiap wewenang
dapat dipersoalkan apakah wewenang itu absah atau tidak, apakah mempunyai dasar
atau tidak.
Konsep legitimasi berkaitan dengan sikap masyarakat terhadap kewenangan. Artinya
apakah masyarakat menerima dan mengakui hak moral pemimpin untuk membuat dan
melaksanakan keputusan yang mengikat masyarakat ataukah tidak. Apabila
masyarakat menerima dan mengakui hak moral pemimpin untuk membuat dan
melaksanakan keputusan yang mengikat masyarakat maka kewenangan itu
dikategorikan sebagai berlegitimasi. Maksudnya, legitimasi merupakan penerimaan dan
pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah, membuat dan
melaksanakan keputusan politik.
Secara etimologi legitimasi berasal dari bahasa latin “lex” yang berarti hukum. Kata
legitimasi identik dengan munculnya kata-kata seperti legalitas, legal dan legitim. Jadi
secara sederhana legitimasi adalah kesesuaian suatu tindakan perbuatan dengan
hukum yang berlaku, atau peraturan yang ada, baik peraturan hukum formal, etis, adat
istiadat maupun hukum kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara sah.
2. Teori Legitimasi
Kekuasaan Negara adalah suatu organisasi kekuasaan dan organisasi itu merupakan
tatakerja daripada alat-alat perlengkapan negara yang merupakan suatu keutuhan,
tatakerja mana melukiskan hubungan serta pembagian tugas dan kewajiban antara
masing-masing alat perlengkapan negara itu untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Suatu negara pasti dipimpin oleh pemegang kekuasaan

LEGITIMASI
Definisi
Pengakuan dan penerimaan masyarakat kepada pemimpin untuk memerintah, membuat dan
melaksanakan keputusan politik.
Persamaan antara kekuasaan, kewenangan dan legitimasi karena ketiganya berkaitan dengan
hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin atau masyarakat.
Perbedaannya kekuasaan adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mempengaruhi
pembuat dan pelaksana kebijakan politik, sedangkan kewenangan adalah hak moral untuk
membuat dan melaksanakan keputusan politik (bersifat top down), adapun legitimasi adalah
pengakuan dan penerimaan kepada pemimpin (bersifat bottom up)
Objek legitimasi
BEBERAPA KONSEPSI TENTANG LEGITIMASI KEKUASAAN,
BIROKRASI, DAN ADMINISTRASI NEGARA
OLEH DELZI GUINDRA ADRI

SELASA, 19 FEBRUARI 2013

Bagikan :

Tweet

A. Antara Legitimasi Sosiologis dan Legitimasi Etis


Tinjauan etis mengenai kekuasaan (power, authority) pertama-tama berkenaan dengan
masalah legitimasinya. Kata legitimasi berasal dari bahasa Latin yaitu lex , yang berarti hukum.
Padanan kata yang akgaknya paling tepat untuk istilah legitimasi adalah kewenangan atau
keabsahan.
Weber melihat adanya tiga corak legitimasi sosiologis melalui konsepsinya tentang
domination dalam masyarakat. Pertama adalah kewenangan tradisional (traditional domination),
bahwa kekuasaan untuk mengambil keputusan umum diserahkan kepada seseorang berdasarkan
keyakinan-keyakinan tradisional. Misalnya, seseorang diberi hak atau kekuasaan karena ia
berasal dari golongan bangsawan atau dinasti yang memang sudah memerintah untuk kurun
waktu yang lama. Jenis kewenangan ini mirip dengan legitimasi religius. Kedua, kewenangan
kharismatik, yang mengambil landasan pada charisma pribadi sesesorang sehingga ia dikagumi
dan dihormati oleh khalayak. Ketiga, kewenangan legal-rasional yag mengambil landasan dari
hukum-hukum formal dan rasional bagi dipegangnya kekuasaan oleh seorang pemimpin.
Kehidupan kenegaraan yang modern lebih banyak menggunakan konsepsi kewenangan legal-
rasional.
Legitimasi sosiologis menyangkut proses interaksi di dalam masyarakat yang
memungkinkan sebagian besar kelompok sosial setuju bahwa seseorang patut memimpin mereka
dalam periode pemerintahan tertentu. Ini ditentukan oleh keyakinan anggota-anggota masyarakat
bahwa wewenang yang melekat patut dihormati. Apabila bagian terbesar dari masyarakat sudah
memiliki keyakinan tersebut, kekuasaan tersebut dianggap absah secara sosiologis. Singkatnya,
legitimasi sosiologis mempertanyakan mekanisme motivatif mana yang nyata-nyata membuat
masyarakat mau menerima wewenang penguasa. Beberapa ciri yang spesifik mengenai
legitimasi etis.
Pertama, kerangka legitimasi etis mengandaikan bahwa setiap persoalan yang
menyangkut manusia hendaknya diselesaikan secara etis termasuk persoalan kekuasaan. Hal
yang dipertanyakan dalam hal ini adalah apakah kedudukan seseorang yang punya hak untuk
mengatur perilaku sejumlah besar orang itu memang telah benar-benar sesuai dengan nilai-nilai
moral.
Kedua, legitimasi etis berada di belakang setiap tatanan normative dalam perilaku
manusia. Etika menjadi landasan dari setiap kodifikasi peraturan hukum pada suatu negara. Oleh
karena itu, paham etis tidak dilecehkan oleh perubahan situasi kemasyarakatan atau positivitas
hukum. Dialang yang justru menjadi kekuatan pokok yang menopang aturan-aturan hukum yang
terdapat dalam masyarakat.
Akhirnya, karena etika tidak mendasarkan diri pada pandangan-pandangan moral de facto yang
berlaku dalam masyarakat saja, legitimasi etis tak akan pernah dibatasi oleh ruang dan waktu.

B. Legitimasi Kekuasaan Negara Menurut Beberapa Pemikir


Unsur pokok yang biasanya dikaitkan dengan negara adalah:

1. Penduduk atau sekelompok orang, yang jumlahnya relatif besar


2. Wilayah/ teritori yang pasti
3. Organisai politik atau sistem pemerintahan yang mengorganisasi kelompok tersebut ke dalam
suatu “tubuh politik”
4. Kedaulatan (sovereignty)
Beberapa pemikiran dari filsuf dan ahli kenegaraan mengenai persoalan kekuasaan negara ;

1. Plato
Plato merumuskan bahwa pemerintahan akan adil jika raja yang berkuasa adalah seorang yang
bijaksana . Kebijaksanaan (wisdom) kebanyakan dimiliki oleh seorang filsuf. Maka konsepsi
tentang “filsuf raja” atau “raja filsuf” banyak disebut sebagai inti teori Plato mengenai
kekuasaan negara. Selain itu, Plato mengatakan bahwa kebaikan publik akan tercapai jika setiap
potensi individu terpenuhi. Oligarki musti dicegah untuk menghindari supaya kelas penguasa
tidak justru melayani diri sendiri. Jika dibandingkan dengan kondisi negara-negara modern
sekarang ini, model Plato terasa sangat utopis.

2. Thomas Aquinais
Masalah keadilan diterjemahkannya ke dalam dua bentuk yaitu pertama, keadilan yang timbul
dari transaksi-transaksi seperti pembelian penjualan yang sesuai dengan azas-azas distribusi
pasar, dan kedua, menyangkut pangkat bahwa keadilan yang wajar terjadi bila seorang penguasa
atau pemimpin memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya berdasarkan pangkat.
Kemudian, St. Thomass aquinas membahas tentang hukum melalui pembedaan jenis-jenis
hukum berikut ini menjadi tiga.
a. Hukum abadi (Lex Eterna)
Kebenaran dari hukum ini ditunjang oleh kearifan ilahi yang merupakan landasan dari segala
ciptaan.
b. Hukum Kodrat (Lex Naturalis)
Menurut Aquinas, Tuhan menghendaki agar manusia hidup sesuai dengan kodratnya. Itu berarti
bahwa manusia hidup sedemikian rupa sehingga ia dapat berkembang, membangun dan
menemukan identitasnya, serta dapat mencapai kebahagiaan. Aquinas menolak segala paham
kewajiban yang tidak absah dan tidak sesuai dengan martabat manusia.

c. Hukum Buatan Manusia (Lex Humana)


Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur tatanan sosial sesuai dengan nilai-nilai kebajikan dan
keadilan. Aquinas menekankan bahwa isi hukum buatan manusia hendaknya sesuai dengan
hukum kodrat. Secara radikal dia menegaskan bahwa hukum yang bertentangan dengan hukum
kodrat tidak meiliki status hukum melainkan justru merupakan “penghancuran hukum”
(corruptio legis). Dalam hal kekuasaan raja atau negara, Aquinas menggolongkan dua corak
pemerintahan, yaitu: pemerintahan despotik dan pemerintahan politik. Pertama adalah
pemerintahan yang hanya berdasarkan kekuasaan, sedangkan yang kedua adalah pemerintahan
yang sesuai dengan kodrat masyarakat sebagai kelompok individu yang bebas. Yang kita
perlukan ialah kondisi yang bisa mencegah bahwa negara tidak punya kesempatan untuk
mendirikan pemerintahan depotik. Sebaliknya kekuasaan harus memihak kepada rakyat
(populus) atau masyarakat umum (public).

3. Niccolo Machiavelli
Pada saat Niccolo machiavelli menulis pemikiran-pemikirannya tentang filsafat politik, ia
menyaksikan terpecah belahnya kekuasan di Italia dengan banyak munculnya negara-negara
kota yang rapuh. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa ajaran-ajarannya kemudian
mengandung sinisme yang keras terhadap moralitas di dalam kekuasaan.
Machiavelli bergerak terlalu jauh ketika mengatakan bahwa tindakan-tindakan yang jahat pun
dapat dimaafkan oleh masyarakat asal saja penguasa mencapai sukses. Bahwa, kekejaman asal
dipakai secara tepat, merupakan sarana stabilitasi kekuasaan raja yang mutlak ada. Beberapa
pernyataannya yang ekstrim mengenai pentingnya kekuasaan dapat dilihat dari kutipan berikut.
Oleh karena itu, raja harus membuat dirinya ditakuti sedemikian rupa sehingga kalau ia tidak
dicintai rakyatnya, setidak-tidaknya ia tidak dibenci.
.....kalau raja berperang bersama pasukannya dan memimpin pasukan yang besar, ia tidak perlu
merasa khawatir disebut kejam. Karena tanpa sebutan itu, ia tidak akan pernah dapat
mempersatukan dan mengatur passukan.
Walau terdapat kelemahan-kelemahan mencolok dalam pemikiran Machiavelli, ia telah berhasil
menyuarakan penderitaan rakyat yang tercerai berai karena adanya intrik politik yang
berkepanjangan. Setidak-tidaknya telah menegaskan bahwa suatu pemerintahan tidak seharusnya
bertindak setengah-setengah.

4. Thomas Hobbes
Dasar dari ajaran Hobbes adalah tinjauan psikologis terhadap motivasi tindakan manusia. Dia
menemukan bahwa manusia selalu memiliki harapan dan keinginan yang terkadang absurd,
licik, dan emosional. Semua itu akan berpengaruh apabila seseorang manusia mengenggam
kekuasaan.
Hobbes mengatakan bahwa untuk menertibkan tindakan manusia, mencegah kekacauan, dan
mengatasi anarki, kita tidak mungkin mengandalkan kepada imbauan-imbaauan moral. Negara
harus membuat supaya manusia-manusia itu takut, dan perkakas utama yang mesti digunakan
adalah tatanan hukum. Hobbes adalah orang yang pertama kali menyatakan dengan pasti paham
positivisme hukum; bagi Hobbes hukum di atas segala-galanya. Sesuatu dianggap adil apabila
itu sesuai dengan undang-undang, betapapun buruknya. Kesimpulan pemikiran Hobbes bahwa
pembatasan konflik itu dilakukan melalui saran hukum.

5. Jean-Jacques Rousseau
Rousseau memandang ketertiban yang dihasilkan sebagai akibat dari hak-hak yang sama.
Rousseau berangkat dari asumsi bahwa ada dasarnya manusia itu baik. Negara dibentuk karena
adanya niat-niat baik untuk melestarikan kebebasan dan kesejahteraan individu.

Guna menangani konflik-konflik yang akan selalu ada dalam masyarakat, Rousseau
mendesakkan persamaan demi tujuan-tujuan yang lebih besar. Dia mengandaikan bahwa
keinginan umum dan semua kesejahteraan individu akan muncul bersamaan. dalam melihat dua
sisi kepentingan ini, Rousseu mengatakan:

Para warga negara setuju terhadap semua hukum, terhadap undang-undang sah yang bermaksud
jahat kepadanya, dan bahkan terhadap undang-undang yang menghukumnya bila ia berani
melanggarnya. Keinginan yang tidak berubah dari semua anggota negara adalah keinginan
umum; melalui hal itulah mereka menjadi warga negara dan bebas. Ketika undang-undang
diajukan dalam majelis rakyat, apa yang diminta dari mereka sebenarnya, apakah mererka
menyetujui usulan itu atau menolaknya, tetapi apakah ia sesuai atau tidak dengan keinginan
umum, yang adalah keinginan mereka sendiri; lalu msing-masing dalam memberikan suaranya
menyatakan pendapatnya; dan dari perhitungan suara diperoleh pernyataan keinginan umum.

Inilah landasan dari konsep kontrak sosial Rousseau yang begitu memikat. Segala bentuk
kepentingan individu yang menyimpang dari kepentingan umum adalah salah, dan karena itu
orang harus melihat kebebasan itu justru pada kesamaan yang terbentuk dalam komunitas.
Rousseau terlalu idealis dalam memandang manusia. Dia ternyata telah menjungkirbalikkan
logika secara a posteriori dengan mengatakan bahwa kepentingan publik kolektif senantiasa
memperkuat kebebasan dan kesejahteraan individu sambil menguraikan bahwa setiap pribadi
hendaknya tidak lagi menganggap dirinya sebagai kesatuan melainkan bagian dari kesatuan yang
disebut komunitas.
Pengertian Legitimasi Kekuasaan Negara Menurut
Para Ahli
A. Menurut Plato

Plato adalah pemikir yang pertama berbicara mengenai negara ideal. Dia bermaksud
membangun suatu masyarakat dimana orang banyak menyumbang kepada kemakmuran
komunitas tanpa adanya kekuasaan kolektif yang merusak. Dalam model distribusi kekuasaan
antara penguasa dan yang dikuasai, Plato mengandaikan bahwa para penguasa memperoleh
hak memakai kekuasaan untuk mencapai kebaikan publik dari kecerdasan mereka

Oleh sebab itu, dengan merujuk pada sistem monarki yang lazim pada waktu itu, Plato
merumuskan bahwa pemerintahan akan adil jika raja yang berkuasa adalah seorang yang
bijaksana. Kebijaksanaan kebanyakan dimiliki oleh seorang filsuf. Maka konsepsi tentang “filsuf
raja” atau “raja filsuf” banyak disebut sebagai inti dari teori Plato mengenai kekuasaan
negara.selain itu Plato mengatakan bahwa kebaikan publik akan tercapai jika setiap potensi
individu terpenuhi.

Teori Plato memang masih mengandung banyak kelemahan karena adanya beberapa
pertanyaan mendasar yang belum terjawab. Jika dibandingkan dengan kondisi negara- negara
modern sekarang ini, model Plato terasa sangat utopis. Untuk menerima model ini kita perlu
menerima pemikiran bahwa kualitas dasar individu secara alamiah berbeda. Pemikiran Plato
sudah mampu menjadi peletak dasar sistem kenegaraan modern. Legitimasi negara tidak harus
selalu dikaitkan dengan hal-hal supernatural dan masalah-masalah sakral yang ada di luar
jangkauan pemikiran manusia.

B. Menurut Thomas Aquinas

Masalah keadilan diterjemahkan oleh pemikir ini ke dalam dua bentuk, yaitu pertama,
keadilan yang timbul dari transaksi- transaksi seperti pembelian penjualan yang sesuai dengan
asas-asas distribusi pasar, dan kedua, menyangkut pangkat bahwa keadilan yang wajar terjadi
bila seorang penguasa atau pemimpin memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi
haknya berdasarkan pangkat. Kemudian Thomas Aquinas membahas tentang hukum melalui
pembedaan jenis-jenis hukum menjadi tiga, yaitu:

a. Hukum Abadi (Lex Externa)

Kebenaran hukum ini ditunjang oleh kearifan Ilahi yang merupakan landasan dari segala
ciptaan. Manusia merupakan salah satu makhluk yang mencerminkan kebijaksanaan Sang
Pencipta. Makhluk itu ada, berbentuk/berkodrat sebagaimana yang dikehendakinya. Oleh
sebab itu, manusia sebagai makhluk yang berakal wajib memenuhi setiap kehendak Tuhan dan
mempertanggung jawabkannya.

b. Hukum Kodrat (Lex Naturalis)

Hukum ini dijadikan dasar dari semua tuntutan moral. Tampak dia bukan hanya membuat
pembahasan yang berkaitan dengan etika religius tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan
tentang mengapa Tuhan menghendaki keadilan. Menurut Aquinas, Tuhan menghendaki agar
manusia hidup sesuai kodratnya. Itu berarti bahwa manusia hidup sedemikian rupa sehingga ia
dapat berkembang, membangun dan menentukan identitasnya, serta mencapai kebahagiaan.

c. Hukum Buatan Manusia (Lex Humana)

Hukum ini untuk mengatur tatanan sosial sesuai dengan nilai-nilai kebajikan dan keadilan.
Norma hukum berlaku karena adanya perjanjian antara penguasa dengan rakyatnya. Di
dalamnya tersirat rakyat akan taat pada penguasa, dan penguasa berjanji akan
mempergunakan kekuasaannya demi kepentingan masyarakat umum. Namun Aquinas
menekankan bahwa isi hukum buatan manusia hendaknya sesuai dengan hokum
kodrat.kekuasaan harus memiliki legitimasi etis.

Dia menegaskan bahwa hukum yang bertentangan dengan hukum kodrat merupakan
“penghancur hukum”. Untuk itu Aquinas menggolongkan dua corak pemerintah, yaitu:
pemerintahan berdasarkan kekuasaan (despotik), dan pemerintahan yang sesuai dengan
kodrat masyarakat sebagai individu yang bebas (politik).
C. Menurut Niccolo Machiavelli

Saat Niccolo menulis pemikirannya tentang filsafat politik, ia menyaksikan terpecahnya


kekuasaan di Italia dengan muncul banyak negara-negara kota yang rapuh, sehingga dapat
dipahami bahwa ajarannya mengandung sinisme yang keras terhadap moralitas di dalam
kekuasaan. Ia sesungguhnya merindukan suatu keadaan dimana Negara merupakan pusat
kekuasaan yang didukung sepenuhnya oleh rakyat banyak sehingga roda pemerintahan
berjalan lancar.

Untuk itu pemimpin harus punya kekuatan dalam mempertahankan kekuasaannya.


Kaidah etika politik yang dianut oleh Machiavelli ialah bahwa apa yang baik adalah sesuatu
yang mampu menunjang kekuasaan negara. Namun Machiavelli bergerak terlalu jauh ketika
mengatakan bahwa tindakan yang jahat pun dapat dimaafkan oleh masyarakat asal penguasa
mencapai sukses. Tampak bahwa Niccolo ingin mengadakan pemisahan yang tegas antara
prinsip moral dan prinsip ketatanegaraan.

Selain itu, ia tidak memperhitungkan bagaimana sikap-sikap masyarakat terhadap


legitimasi kekuasaan. Namun demikian, ia telah berhasil menyuarakan penderitaan rakyat yang
tercerai-berai karena intrik politik yang berkepanjangan.

D. Menurut Thomas Hobbes

Dasar dari ajaran Hobbes adalah tinjauan psikologi terhadap motivasi tindakan
manusia. Dia menemukan bahwa manusia selalu memiliki harapan dan keinginan yang
terkadang licik dan emosional. Semua itu akan berpengaruh apabila seorang manusia
menggenggam kekuasaan. Hobbes mengaitkan masalah tersebut dengan legitimasi kekuasaan
politik.

Hobbes mengatakan bahwa untuk menertibkan tindakan manusia, negara harus


membuat supaya manusia itu takut dan perkakas utama yang harus digunakan adalah tatanan
hukum. Negara harus benar-benar kuat agar mampu memaksakan hukum melalui ancaman
yang paling ditakuti manusia., yaitu hukuman mati. Pembentukan undang-undang digariskan
dengan tujuan untuk mencegah anarki.

Oleh karena itu, negara harus berkuasa jika tidak ingin keropos karena banyaknya
anarki. Hobbes adalah orang pertama yang menyatakan paham positivisme hukum, bagi dia
hukum di atas segala-galanya. Namun Hobbes lupa bahwa tindakan manusia tidak hanya
ditentukan oleh emosi, karena manusia dikaruniai akal budi. Dan pendirian suatu negara juga
bukan hanya atas pertimbangan emosional tapi juga pemikiran rasional. Kesimpulan dari
Hobbes bahwa pembatasan konflik dilakukan melalui saran hukum,

E. Menurut Jean-Jacques Rousseau

Ditinjau dari titik tolak ajaran yang dikemukakannya Rousseau termasuk pemikir utopis,
seperti Plato, yang berusaha menggambrkan negara ideal dengan tujuan mengajarkan
perbaikan cita-cita rakyat. Rousseau memandang ketertiban dihasilkan sebagai akibat dari hak-
hak yang sama. Rousseau berangkat dari asumsi bahwa pada dasarnya manusia itu baik.

Negara dibentuk karena adanya niat-niat baik untuk melestarikan kebebasan dan
kesejahteraan individu. Dia mengandaikan bahwa keinginan umum dan semua kesejahteraan
individu akan muncul bersamaan. Menurutnya segala bentuk kepentingan individu yang
menyimpang dari kepentingan umum adalah salah, karena justru orang harus melihat
kebebasan itu pada kesamaan yang terbentuk dalam komunitas. Rousseau terlalu idealis dalam
memandang manusia, ia lupa bahwa tidak setiap individu mempunyai iktikad baik serta
bersedia menyerahkan kebebasan individu demi kebaikan umum.

Selain itu dia mengatakan bahwa kepentingan publik kolektif senantiasa memperkuat
kebebasan individu sambil menguraikan bahwa setiap pribadi bukan sebagai kesatuan
melainkan bagian dari kesatuan yang disebut komunitas. Namun pada dasarnya Rousseau
sangat mencintai kesamaan dan ketenangan yang dijamin oleh Negara melalui keutuhan
masyarakat yang organis.

Anda mungkin juga menyukai