Oleh:
3) KLASIFIKASI
Gagal ginjal kronis dibagi 3 stadium:
1. Stadium 1: penurunan cadangan ginjal, ditandai dengan kehilangan fungsi nefron
40 – 75%. Pasien biasanya tidak mempunyai gejala, karena sisa nefron yang ada
dapat membawa fungsi-fungsi normal ginjal.
2. Stadium 2: insufisiensi ginjal, kehilangan fungsi ginjal 75 – 90%. Pada tingkat ini
terjadi kreatinin serum dan nitrogen urea darah, ginjal kehilangan kemampuannya
untuk mengembangkan urin pekat dan azotemia. Pasien mungkin melaporkan
poliuri dan nokturia.
3. Stadium 3: gagal ginjal stadium akhir atau uremia. Tingkat renal dari gagal ginjal
kronis yaitu sisa nefron yang berfungsi < 10%. Pada keadaan ini kreatinin serum
dan kadar BUN akan meningkat dengan menyolok sekali sebagai respon terhadap
GFR (Glomerular Filtration Rate) yang mengalami penurunan sehingga terjadi
ketidakseimbangan kadar ureum nitrogen darah dan elektrolit, pasien diindikasikan
untuk dialysis.
4) ETIOLOGI
Gagal ginjal kronis sering kali menjadi penyakit komplikasi dari penyakit lainnya,
sehingga merupakan penyakit sekunder (secondary illness). Menurut Sylvia Anderson
(2006) klasifikasi penyebab gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut :
1. Penyakit infeksi tubulointerstitial : Pielonefritis kronik atau refluks nefropati
Pielonefritis kronik adalah infeksi pada ginjal itu sendiri, dapat terjadi akibat
infeksi berulang, dan biasanya dijumpai pada penderita batu. Gejala–gejala
umum seperti demam, menggigil, nyeri pinggang, dan disuria. Atau
memperlihatkan gambaran mirip dengan pielonefritis akut, tetapi juga
menimbulkan hipertensi dan gagal ginjal (Elizabeth, 2000).
2. Penyakit peradangan : Glomerulonefritis
Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak.
Peradangan akut glomerulus terjadi akibat peradangan komplek antigen dan
antibodi di kapiler – kapiler glomerulus. Komplek biasanya terbentuk 7 – 10 hari
setelah infeksi faring atau kulit oleh Streptococcus (glomerulonefritis
pascastreptococcus ) tetapi dapat timbul setelah infeksi lain (Elizabeth, 2000).
Glomerulonefritis kronik adalah peradangan yang lama dari sel – sel glomerulus.
Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut yang tidak membaik atau
timbul secara spontan. Glomerulonefritis kronik sering timbul beberapa tahun
setelah cidera dan peradangan glomerulus sub klinis yang disertai oleh hematuria
(darah dalam urin) dan proteinuria ( protein dalam urin ) ringan, yang sering
menjadi penyebab adalah diabetes mellitus dan hipertensi kronik. Hasil akhir
dari peradangan adalah pembentukan jaringan parut dan menurunnya fungsi
glomerulus. Pada pengidap diabetes yang mengalami hipertensi ringan, memiliki
prognosis fungsi ginjal jangka panjang yang kurang baik (Elizabeth, 2000).
3. Penyakit vaskuler hipertensif : Nefrosklerosis benigna, Nefrosklerosis maligna,
Stenosis arteria renalis
Nefrosklerosis Benigna merupakan istilah untuk menyatakan berubah ginjal
yang berkaitan dengan skerosis pada arteriol ginjal dan arteri kecil.
Nefrosklerosis Maligna suatu keadaan yang berhubungan dengan tekanan darah
tinggi (hipertensi maligna), dimana arteri-arteri yang terkecil (arteriola) di dalam
ginjal mengalami kerusakan dan dengan segera terjadi gagal ginjal. Stenosis
arteri renalis (RAS) adalah penyempitan dari satu atau kedua pembuluh darah
(arteri ginjal) yang membawa darah ke ginjal. Ginjal membantu untuk
mengontrol tekanan darah. Renalis menyempit menyulitkan ginjal untuk bekerja.
RAS dapat menjadi lebih buruk dari waktu ke waktu. Sering menyebabkan
tekanan darah tinggi dan kerusakan ginjal.
4. Gangguan jaringan ikat : Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,
sklerosis sistemik progresif Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus
eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem
yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun.
5. Gangguan congenital dan herediter : Penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus
ginjal
6. Nefropati toksik : Penyalahgunaan analgesi, nefropati timah
7. Nefropati obstruktif : Traktus urinarius bagian atas (batu/calculi, neoplasma,
fibrosis, retroperitineal), traktus urinarius bawah (hipertropi prostat, striktur
uretra, anomaly congenital leher vesika urinaria dan uretra).
5) PATHOFISIOLOGI
Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat dari
penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang normalnya diekresikan
kedalam urin tertimbun dalam darah sehingga terjadi uremia yang mempengarui sistem
tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka setiap gejala semakin
meningkat. Sehingga menyebabkan gangguan kliren renal. Banyak masalah pada ginjal
sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi, sehingga menyebabkan
penurunan klirens subtsansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan mendapatkan
urin 24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya filtrasi glomelurus atau
akibat tidak berfungsinya glomeluri klirens kreatinin. Sehingga kadar kreatinin serum
akan meningkat selain itu, kadar nitrogen urea darah (NUD) biasanya meningkat.
Kreatinin serum merupakan indikator paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini
diproduksi secara konstan oleh tubuh. NUD tidak hanya dipengarui oleh penyakit renal
tahap akhir, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme dan medikasi
seperti steroid.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga berpengaruh pada retensi cairan
dan natrium. Retensi cairan dan natrium tidak terkontol dikarenakan ginjal tidak mampu
untuk mengonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal
tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit
sehari-hari tidak terjadi. Natrium dan cairan sering tertahan dalam tubuh yang
meningkatkan resiko terjadinya oedema, gagal jantung kongesti, dan hipertensi.
Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin angiotensin dan kerjasama
keduanya meningkatkan sekresi aldosteron.
Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam, mencetuskan
resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan air
dan natrium, yang semakin memperburuk status uremik. Asidosis metabolik terjadi akibat
ketidakmampuan ginjal mensekresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Sekresi asam
terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mensekresi amonia (NH3) dan
mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan sekresi fosfat dan asam organik
lain juga terjadi.
Kerusakan ginjal pada CKD juga menyebabkan produksi eritropoetin menurun
dan anemia terjadi disertai sesak napas, angina dan keletian. Eritropoetin yang tidak
adekuat dapat memendekkan usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan
untuk mengalami perdarahan karena setatus pasien, terutama dari saluran gastrointestinal
sehingga terjadi anemia berat atau sedang. Eritropoitin sendiri adalah subtansi normal
yang diproduksi oleh ginjal untuk menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel
darah merah.
Abnormalitas utama yang lain pada CKD menurut Smeltzer, dan Bare (2001)
adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat tubuh yang memiliki hubungan saling
timbal balik, jika salah satunya meningkat yang lain menurun. Penurunan LFG
menyebabkan peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan kadar serum
menyebabkan penurunan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun pada
CKD, tubuh tidak berespon secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon, dan
akibatnya kalsium di tulang menurun, menyebabkan perubahan pada tulang dan
menyebabkan penyakit tulang, selain itu metabolik aktif vitamin D (1,25
dihidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat didalam ginjal menurun, seiring dengan
berkembangnya CKD terjadi penyakit tulang uremik dan sering disebut
Osteodistrofienal. Osteodistrofienal terjadi dari perubahan komplek kalsium, fosfat dan
keseimbangan parathormon.Laju penurunan fungsi ginjal juga berkaitan dengan
gangguan yang mendasari ekresi protein dan urin, dan adanya hipertensi. Pasien yang
mengekresikan secara signifikan sejumlah protein atau mengalami peningkatan tekanan
darah cenderung akan cepat memburuk dari pada mereka yang tidak mengalimi kondisi
ini.
6) PATHWAY KEPERAWATAN
7) MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronis dikarenakan gangguan yang
bersifat sistemik. Ginjal sebagai organ koordinasi dalam peran sirkulasi memiliki fungsi
yang banyak, sehingga kerusakan kronis secara fisiologis ginjal akan mengakibatkan
gangguan keseimbangan sirkulasi dan vasomotor. Berikut ini adalah tanda dan gejala
yang ditunjukkan oleh gagal ginjal kronis (Robinson, 2013; Judith, 2006).
1. Ginjal dan gastrointestinal
Sebagai akibat dari hiponatremi maka timbul hipotensi, mulut kering,
penurunan turgor kulit, kelemahan, fatique, dan mual. Kemudian terjadi penurunan
kesadaran (somnolen) dan nyeri kepala yang hebat. Dampak dari peningkatan
kalium adalah peningkatan iritabilitas otot dan akhirnya otot mengalami kelemahan.
Kelebihan cairan yang tidak terkompensasi akan mengakibatkan asidosis metabolik.
Tanda paling khas adalah terjadinya penurunan urin output dengan sedimentasi yang
tinggi.
2. Kardiovaskuler
Biasanya terjadi hipertensi, aritmia, kardiomyopati, uremic pericarditis, effusi
pericardial (kemungkinan bisa terjadi tamponade jantung), gagal jantung, edema
periorbital dan edema perifer.
3. Sistem respirasi
Biasanya terjadi edema pulmonal, nyeri pleura, efusi pleura, crackles, sputum
yang kental, uremic pleuritic dan uremic lung, dan sesak napas.
4. Gastrointestinal
Biasanya menunjukkan adanya inflamasi dan ulserasi pada mukosa
gastrointestinal karena stomatitis, ulserasi dan perdarahan gusi, dan kemungkinan
juga disertai parotitis, esophagitis, gastritis, ulseratif duodenal, lesi pada usus
halus/usus besar, colitis, dan pankreatitis. Kejadian sekunder biasanya mengikuti
seperti anoreksia, nausea, dan vomiting.
5. Integumen
Kulit pucat, kekuning-kuningan, kecoklatan, kering dan ada scalp. Selain itu,
biasanya juga menunjukkan adanya purpura, ekimosis, petechiae, dan timbunan urea
pada kulit.
6. Neurologis
Biasanya ditunjukkan dengan neuropati perifer, nyeri, gatal pada lengan dan
kaki. Selain itu juga adanya kram pada otot dan refleks kedutan, daya memori
menurun, apatis, rasa kantuk meningkat, iritabilitas, pusing, koma, dan kejang. Dari
hasil EEG menunjukkan adanya perubahan metabolic encephalophaty.
7. Endokrin
Bisa terjadi infertilitas dan penurunan libido, amenorrhea dan gangguan siklus
menstruasi pada wanita, impoten, penurunan sekresi sperma, peningkatan sekresi
aldosterone, dan kerusakan metabolisme karbohidrat.
8. Hematopoitiec
Terjadi anemia, penurunan waktu hidup sel darah merah, trombositopenia
(dampak dari dialysis), dan kerusakan platelet. Biasanya masalah yang serius pada
system hematologi ditunjukkan dengan adanya perdarahan (purpura, ekimosis, dan
petechiae).
9. Musculoskeletal
Nyeri pada sendi dan tulang, demineralisasi tulang, fraktur patologis, dan
kalsifikasi (otak, mata, gusi, sendi, miokard).
8) KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit gagal ginjal kronis :
1. Asidosis
Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis metabolik seiring
dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam H+ yang berlebihan.
Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk
menyekresi amonia (NH3) dan mengabsorbsi natrium bikarbonat (HCO3). (Brunner &
Suddarth).
2. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat
Abnormalitas utama yang lain pada gagal ginjal kronis adalah gangguan
metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki
hubungan saling timbal balik: jika satunya meningkat, yang lain akan menurun.
Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar
fosfat serum dan sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar serum
menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun demikian, pada
gagal ginjal, tubuh tidak berespons secara normal terhadap peningkatan sekresi
parathormon, dan akibatnya, kalsium di tulang menurun, menyebabkan perubahan
pada tulang dan penyakit tulang. Selain itu, metabolit aktif vitamin D (1,25-
dihidrokolekalsiferol) yang dibuat di ginjal juga menurun akibat berkembangnya gagal
ginjal. (Brunner & Suddarth)
3. Penyakit tulang
Penyakit tulang uremik, sering disebut osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan
kompleks kalsium, fosfat, dan kesimbangan parathormon. Laju penurunan fungsi
ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang
mendasari, sekresi protein dalam urine, dan adanya hipertensi.
Penurunan kadar kalsium (hipokalsemia) secara langsung akan mengakibatkan
dekalsifikasi matriks tulang, sehingga tulang akan menjadi rapuh (osteoporosis) dan
jika berlangsung lama akan menyebabkan fraktur patologis.
4. Penyakit kardiovaskuler
Ginjal sebagai kontrol sirkulasi sistemik akan berdampak secara sistemik berupa
hipertensi, kelainan lipid, intoleransi glukosa, dan kelainan hemodinamik (sering
terjadi hipertrofi ventrikel kiri).
5. Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% penderita gagal ginjal kronik. Anemia pada gagal
ginjal kronik disebabkan oleh defisiensi eritropoitin. Hal-hal lain yang ikut berperan
terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal, hematuria), masa
hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun
kronik. (Ketut Suwitra, 2009)
6. Disfungsi seksual
Dengan gangguan sirkulasi pada ginjal, maka libido sering mengalami penurunan
dan terjadi impotensi pada pria. Pada wanita, dapat terjadi hiperprolaktinemia.
9) PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada gagal ginjal kronik menurut Doenges (2000) adalah :
1) Urine
a. Volume, biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tidak
ada (anuria).
b. Warna, secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, pertikel koloid, fosfat atau urat.
c. Berat jenis urine, kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat)
d. Klirens kreatinin, mungkin menurun
e. Natrium, lebih besar dari 40 meq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsobsi natrium.
f. Protein, derajat tinggi proteinuria (3-4 +) secara kuat menunjukkan
kerusakan glomerulus.
2) Darah
a. BUN dan serum kreatinin digunakan untuk mengevaluasi fungsi ginjal
dan menilai perkembangan kerusakan ginjal. Nilai BUN 20-50 mg/dl
menandakan azotemia ringan; level lebih besar dari 100 mg/dl
mengindikasikan kerusakan ginjal berat; level BUN berkisar ≥200
mg/dl menjadi gejala uremia. Nilai serum kreatinin ≥ 4 mg/dl
mengindikasikan kerusakan ginjal serius. (Bauldoft, 2011).
3) Pemeriksaan radiologi
a. Foto ginjal, ureter dan kandung kemih (kidney, ureter dan
bladder/KUB): menunjukkan ukuran ginjal, ureter, kandung kemih, dan
adanya obstruksi (batu).
b. Pielogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskuler, masa
c. Sistouretrogram berkemih; menunjukkan ukuran kandung kemih,
refluks kedalam ureter dan retensi.
d. Ultrasonografi ginjal: menentukan ukuran ginjal dan adanya masa,
kista, obstruksi pada saluran perkemuhan bagian atas.
e. Biopsy ginjal: mungkin dilakukan secara endoskopik, untuk
menentukan sel jaringan untuk diagnosis hostologis.
f. Endoskopi ginjal dan nefroskopi: dilakukan untuk menentukan pelis
ginjal (keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif).
g. Elektrokardiografi (EKG): mungkin abnormal menunjukkan
ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.
h. Foto kaki, tengkorak, kolumna spinal dan tangan, dapat menunjukkan
demineralisasi, kalsifikasi.
i. Pielogram intravena (IVP), menunjukkan keberadaan dan posisi ginjal,
ukuran dan bentuk ginjal.
j. CT scan untuk mendeteksi massa retroperitoneal (seperti penyebararn
tumor).
k. Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk mendeteksi struktur ginjal,
luasnya lesi invasif ginjal.
10) PENATALAKSANAAN MEDIS
Adapun penatalaksanaan medis yang diberikan pada penderita gagal ginjal kronis adalah
sebagai berikut:
a. Dialisis (cuci darah)
b. Obat-obatan: antihipertensi, suplemen besi, agen pengikat fosfat, suplemen
kalsium, furosemid (membantu berkemih)
c. Diit rendah protein dan tinggi karbohidrat
d. Transfusi darah
e. Transplantasi ginjal
(.........................................................) (.........................................................)
NIP: NIM:
Clinical Teacher/CT
(.........................................................)
NIP: